Analisis Penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada Ibu Rumah Tangga di Perkotaan dan Perdesaan Bogor

(1)

DE

F

E

EPARTEM

FAKULTA

INSTITUT

BOGO

ELSA MUR

MEN GIZI

AS EKOL

T PERTA

BOGO

2012

OR

RDIANA

I MASYAR

OGI MAN

ANIAN BO

OR

2

RAKAT

NUSIA

OGOR


(2)

Rural and Urban in Bogor. Supervised by Ali Khomsan

The objective of this study was to identify knowledge, attitude and practice of MSG usage, determine variety of MSG product commonly used by housewives in rural and urban, and analyze correlation among knowledge, perception, attitude and practice of MSG usage. The study used a cross sectional design. Data was collected on August to November 2011 at Kelurahan Tegallega and Desa Babakan. Sample was chosen with purposive sampling. Number of sample was 64 housewives. Based on this study most housewives in rural and urban had fair knowledge about MSG. However, attitude of MSG usage was categorized as low. More than half of the housewives in rural and urban used MSG and the most widely MSG product commonly used by housewives were instant portion meal product. Based on Spearman correlation analysis there was a significant correlation between knowledge about MSG with age and education level of housewives in rural. There was also a significant correlation between attitude with practice MSG usage in urban.

Keyword : monosodium glutamate, MSG, housewives, MSG usage, knowledge, perception, attitude, practice


(3)

Rumah Tangga di Perkotaan dan Perdesaan Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN.

 

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada ibu rumah tangga di daerah perkotaan dan perdesaan di Bogor. Adapun tujuan khususnya adalah 1) mengetahui pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan

Monosodium Glutamat (MSG) 2) mengetahui beragam jenis produk makanan/bahan makanan mengandung MSG yang biasa dikonsumsi/digunakan ibu rumah tangga di perkotaan dan perdesaan, 3) menganalisis keterkaitan antar variabel pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat

(MSG). 

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yang dilakukan di Kelurahan Tegalega sebagai daerah perkotaan dan Desa Babakan sebagai daerah perdesaan. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih satu minggu yaitu dari tanggal 11 sampai tanggal 19 Agustus 2011. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 64 ibu rumah tangga yang terdiri dari 32 orang ibu rumah tangga di kelurahan Tegalega dan 32 orang ibu rumah tangga di desa Babakan. Penarikan contoh penelitian dilakukan dengan teknik simple random sampling pada tingkatan RW dan RT. Kemudian pada tingkatan RT dipilih secara purposive dengan kriteria yaitu ibu rumah tangga yang berasal dari keluarga utuh tidak buta huruf dan tidak bekerja di sektor formal. Jumlah contoh yang diambil dalam peneltian ini adalah sebanyak 64 ibu rumah tangga yang terdiri dari 32 orang dari perkotaan dan 32 orang dari perdesaan.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumah tangga (umur dan pendidikan ibu, besar keluarga dan pendapatan keluarga), persepsi, pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) ibu. Data sekunder berupa data keadaan umum lokasi penelitian dan data pendukung lainnya. Selanjutnya data dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 16,0 for windows.

Hampir tiga perempat keluarga responden di kota (78.1%) dan lebih dari setengah keluarga responden di desa (65.5%) merupakan keluarga kecil dengan rata-rata pendapatan di kota (Rp 422 999/kap/bln) lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan keluarga responden di desa (Rp 326 079/kap/bln). Sepertiga responden di kota berada pada kisaran usia 30-39 tahun (34.4%), sedangkan di desa hampir separuh (43.8%) responden berada pada kisaran tersebut. Rata-rata umur responden di kota (39.5 tahun) lebih tua dibandingkan dengan umur responden di desa (37.9 tahun). Secara keseluruhan tingkat pendidikan responden di kota lebih tinggi dibandingkan responden di desa. Lebih dari sepertiga contoh di kota (40.6%) berpendidikan SMP. Sementara itu, contoh di desa tersebar pada tingkat SD (37.5%) dan tingkat SMP (34.4%).

Berdasarkan persentase yang didapat, sebanyak 40.6% responden di kota dan 56.2% responden di desa termasuk dalam kategori pengetahuan sedang. Rata-rata pengetahuan MSG responden di kota (68.4 ± 16.7) lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengetahuan responden di desa (60.6 ± 16.8). Hampir sebagian besar responden di kota (81.2%) dan di desa (71.9%) memiliki sikap kategori kurang terhadap penggunaan MSG. Rata-rata sikap terhadap


(4)

MSG yang paling banyak digunakan responden baik di kota maupun di desa adalah produk makanan porsi instan dengan rata-rata frekuensi 11.3 kali/bulan di kota dan 12.8 kali/bulan di desa.

Berdasarkan uji korelasi Spearman, didapatkan adanya hubungan nyata antara variabel pengetahuan tentang MSG dengan umur pada contoh di kota (r=-0.376; p= 0.034), pengetahuan tentang MSG dengan tingkat pendidikan contoh di kota (r= 1.000; p= 0.005), pengetahuan dengan sikap terhadap penggunaan MSG responden di kota (r= -0.371; p= 0.037) dan sikap responden dengan praktik penggunaan MSG di desa(r= 0.367; p= 0.043).


(5)

BOGOR

ELSA MURDIANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

 

Judul : Analisis Penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada Ibu Rumah Tangga di Perkotaan dan Perdesaan Bogor

Nama : Elsa Murdiana NIM : I 14096030

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. NIP. 19600202 198403 1 001

Mengetahui : Ketua Departemen

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001


(7)

 

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada Ibu Rumah Tangga di Perkotaan dan Pedesaan Bogor” ini berhasil diselesaikan.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku pembimbing yang telah dengan sabar membimbing, memberikan saran dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku pemandu seminar dan penguji skripsi. 3. Drh. M. Rizal Martua Damanik, M.RepSc, Ph.D. selaku dosen pembimbing

akademik yang selalu mengarahkan dan membimbing penulis selama masa studi.

4. Kedua orang tua, adik-adik dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dorongan baik materi maupun moral.

5. Tony Ardiansyah beserta keluarga yang telah memberikan semangat dan doa untuk penulis.

6. Ifna Fani, Ani Maria, Ramatina, Nurul Huda, dan semua teman-teman Program Alih Jenis S1 Mayor Ilmu Gizi Angkatan 3 yang selalu memberikan dukungan, saran, doa dan semangat kepada penulis.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian hingga skripsi ini selesai.

Penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2012


(8)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kerinci pada tanggal 29 Agustus 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari keluarga Bapak Ramli, SPd dan Ibu Suryani BR, SPd.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 03 Pariaman pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan di MTsN Model Padang. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Padang dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 sampai 2009 melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Padang. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Program Alih Jenis Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor.


(9)

i   

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesis ………. 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Monosodium Glutamat ………. 4

Sejarah ... 6

Metabolisme ... 7

Batasan penggunaan ... 8

Kontroversi ... 10

Persepsi ……... 12

Pengetahuan ………..……….…... 13

Sikap ……… 14

Praktik ……….. 16

Karakteristik Sosial Ekonomi ………... 17

Pendidikan ... 17

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga ... 18

Besar Keluarga ... 18

KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

METODE PENELITIAN ... 22

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh... 22

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 23

Definisi Operasional ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 27

Karakteristik Rumah Tangga Responden ... 29

Karakteristik Responden …..……… 30

Persepsi terhadap MSG……….……….. 32

Pengetahuan MSG ……….……….. 33

Sikap terhadap Penggunaan MSG ……… 36

Praktik Penggunaan MSG ……….. 38

Penggunaan Produk Makanan/Bahan Masakan yang Mengandung MSG ……… 40


(10)

ii   

KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

Kesimpulan... 45

Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(11)

iii   

1. Cara pengumpulan data penelitian………...….. 23 2. Kelompok dan kategori variabel penelitian………. 24 3. Sebaran besar keluarga responden di perkotaan dan

perdesaan ……….…... 29 4. Sebaran pendapatan keluarga responden……….. 30 5. Sebaran umur responden di perkotaan dan perdesaan………….. 31 6. Sebaran pendidikan responden di perkotaan dan

perdesaan…….………. 31 7. Sebaran jawaban setuju atas pertanyaan persepsi terhadap

MSG oleh responden di perkotaan dan perdesaan ………. 32 8. Sebaran pertanyaan pengetahuan yang dijawab benar oleh

responden di perkotaan dan perdesaan……… 34 9. Sebaran tingkat pengetahuan responden MSG di

perkotaan dan perdesaan……….. 35 10. Sebaran sikap persetujuan terhadap penggunaan MSG oleh

responden di perkotaan dan perdesaan……….. 36 11. Sebaran tingkat sikap terhadap MSG responden di perkotaan

dan perdesaan……… 37

12. Sebaran jawaban responden tentang praktik penggunaan MSG di perkotaan dan perdesaan……….... 38

13. Sebaran jawaban responden terhadap takaran jumlah MSG yang digunakan pada setiap kali pemakaian………... 39 14. Sebaran tingkat praktik penggunaan MSG responden

di perkotaan dan perdesaan………. 40 15. Penggunaan produk makanan/bahan masakan yang

mengandung MSG oleh responden di perkotaan dan

perdesaan……….... 41 16. Rata-rata frekuensi penggunaan produk makanan/bahan

masakan yang mengandung MSG oleh responden di perkotaan dan perdesaan………... 41 17. Hasil uji korelasi Spearman variabel pengetahuan tentang MSG

dengan beberapa variabel………. 42 18. Hasil uji korelasi Spearman variabel sikap terhadap penggunaan


(12)

iv   

1. Hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku dengan praktik

penggunaan MSG pada ibu rumah tangga………. 21

                                             


(13)

v   

1. Lembar persetujuan (Informed concern) ………... 52 2. Kuesioner penelitian ……….... 53


(14)

Sejalan dengan perkembangan teknologi pangan, pengembangan bahan tambahan makanan sintetis saat ini juga semakin maju. Penggunaan bahan tambahan sintetis saat ini telah semakin meluas di kalangan masyarakat, baik untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Menurut Saparinto dan Hidayati (2009) bahan tambahan makanan digunakan untuk meningkatkan nilai gizi makanan, memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan dan memperpanjang umur simpan makanan.

Dewasa ini sebagian besar produk makanan yang beredar di masyarakat diolah menggunakan bahan tambahan makanan baik alami maupun sintetis. Menurut Cahyadi (2006) penggunaan bahan tambahan makanan sudah berperan penting sejak awal abad ke-20. Salah satu bahan tambahan makanan tersebut adalah Monosodium Glutamat (MSG).

Menurut Bellisle (1999) diacu dalam Populin (2007), Monosodium Glutamat (MSG) merupakan bentuk bebas dari asam glutamat yang berperan untuk meningkatkan cita rasa masakan sehingga Monosodium Glutamat (MSG) banyak digunakan sebagai penambah rasa dalam industri makanan terutama dalam bentuk garam monosodium. Monosodium Glutamat (MSG) memberikan aroma khas “umami” yang diakui sebagai rasa dasar kelima yang sangat mirip dengan aroma daging atau aroma kaldu.

Monosodium Glutamat (MSG) lebih dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan micin atau vetsin yang dijual di toko-toko eceran dengan berbagai merek dagang seperti Ajinomoto, Sasa, dan Miwon. Produk-produk tersebut digunakan sebagai bumbu masak, penyedap rasa atau juga dikenal dengan istilah pembangkit citarasa (flavour enhancer) (Winarno 2004). Menurut Cahyadi (2006) flavor enhancer atau flavor potentiator adalah bahan yang dapat meningkatkan rasa enak atau dapat menekan rasa yang kurang enak dari suatu bahan pangan.

Monosodium Glutamat (MSG) banyak dijual di toko-toko eceran di seluruh pelosok tanah air, diproduksi dalam skala komersial melalui proses fermentasi dengan menggunakan bahan mentah pati, gula bit, gula tebu, atau molasses (tetes). Dari data 1989, di Indonesia terdapat 9 pabrik MSG dengan estimasi produksi 16.375 ton per tahun. Konsumsi MSG rata-rata orang Indonesia adalah 0,12 kg per orang per tahun dan untuk anak-anak sekolah sekitar 0,06 kg/kapita/tahun (Winarno 2004). Data Departemen Perdagangan dan Industri


(15)

diacu dalam Magaziner (2007) menyatakan bahwa konsumsi MSG tiap tahun rata-rata meningkat 10,3%. Hasil penelitian Astuti (2003) menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian MSG per porsi pada pedagang bakso adalah 4,79 gram dengan maksimum pemakaian adalah 10,35 gram per porsi.

Namun demikian, Monosodium Glutamat (MSG) telah lama menjadi penyebab kontroversi masyarakat karena sebagian masyarakat percaya bahwa bila mengonsumsi makanan yang mengandung MSG, mereka sering menunjukkan gejala alergi, menimbulkan kerusakan otak dan lain sebagainya. Menurut Winarno (2004) hasil penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga independen seperti Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), yang diumumkan pada tahun 1980 menyimpulkan bahwa MSG dinyatakan aman pada dosis rata-rata yang digunakan saat itu. Namun mereka juga menyatakan bahwa keamanan untuk konsumsi MSG dengan dosis yang lebih tinggi masih memerlukan evaluasi tambahan.

MSG selain digunakan sebagai bahan tambahan pangan pada industri makanan, juga lazim digunakan sebagai penyedap rasa oleh ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga merupakan anggota keluarga yang berperan penting sebagai gate keeper dalam keluarga. Dalam sebuah rumah tangga, ibu berperan dalam menentukan menu makanan keluarga dan bahan-bahan apa saja yang digunakan dalam menyiapkannya. Pola konsumsi yang diterapkan ibu secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh pada pembangunan suatu bangsa. Pemilihan bahan makanan oleh ibu dipengaruhi oleh beberapa determinan psikologis seperti pengetahuan, persepsi dan sikap. Peneliti ingin mengetahui apakah praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) yang masih menjadi kontroversi berhubungan dengan pengetahuan, persepsi dan sikap ibu rumah tangga yang ada di daerah perkotaan dan perdesaan.

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada ibu rumah tangga di daerah perkotaan dan perdesaan.


(16)

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada ibu rumah tangga di perkotaan dan perdesaan. 2. Mengetahui beragam jenis produk makanan/bahan makanan

mengandung MSG yang biasa dikonsumsi/digunakan ibu rumah tangga di perkotaan dan perdesaan.

3. Menganalisis keterkaitan antar variabel pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada ibu rumah tangga di perkotaan dan perdesaan.

Hipotesis

Ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada ibu rumah tangga.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama sebagai tambahan informasi tentang keamanan konsumsi Monosodium Glutamat (MSG). Selain itu diharapkan juga dapat bermanfaat bagi ahli gizi sebagai pemerhati keamanan pangan serta menambah pengetahuan bagi penulis agar dapat menerapkan ilmu keamanan pangan terutama tentang penggunaan Monosodium Glutamat (MSG).


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Monosodium Glutamat

Mutu gizi pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan (acceptability) dan penggunaan (utilisation) makanan oleh tubuh yang pada gilirannya mempengaruhi status gizi dan kesehatan individu dan masyarakat. Mutu gizi pangan merupakan salah satu komponen dari totalitas mutu pangan. Menurut UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, gizi pangan dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman (Hardinsyah 2000). Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan mutu gizi pangan adalah dengan menggunakan bahan tambahan pangan atau makanan.

Menurut Anwar (2004) bahan tambahan makanan (BTM) digunakan untuk mendapatkan pengaruh tertentu misalnya untuk memperbaiki tekstur, rasa, penampilan, dan memperpanjang daya simpan. Berbeda dengan racun, Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan (Yuliarti 2007). Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan pada bab I pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan atau produk makanan (Saparinto & Hidayati 2009). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.325/MEN.KES/VI/1979 mengelompokan bahan tambahan makanan (BTM) berdasarkan fungsinya, yaitu 1)antioksidan dan antioksidan sinergis, 2) antikempal, 3)pengasam, penetral dan pendapar, 4) enzim, 5) pemanis buatan 6)pemutih dan pematang, 7)penambah gizi 8)pengawet, 9) pengemulsi, pemantap dan pengental, 10) pengeras, 11)pewarna alami dan sintetik, 12) penyedap rasa dan aroma, 13)sekuestran dan 14) bahan tambahan lain (Puspitasari 2000).

Pemakaian BTM yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah BTM yang diizinkan untuk digunakan dalam bahan pangan harus merupakan kebutuhan minimum untuk mendapatkan pengaruh yang dikehendaki. Batasannya harus ditetapkan dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu 1) perkiraan jumlah pangan yang dikonsumsi atau bahan pangan yang diusulkan ditambahkan. 2) ukuran minimal yang pada pengujian terhadap


(18)

binatang percobaan menghasilkan penyimpangan yang normal pada kelakuan fisiologisnya. 3) batasan terendah yang cukup aman bagi kesehatan semua golongan konsumen (Anwar 2004). Pemakaian bahan tambahan pangan di Indonesia diatur oleh Kementerian Kesehatan. Sementara, pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). Di Amerika keduanya dilakukan oleh Food and Drug Administration (Saparinto & Hidayati 2009).

Penyedap rasa atau bumbu masak saat ini sudah biasa digunakan masyarakat. Sebagian besar masyarakat merasa masakan akan hambar tanpa diberi penyedap. Menurut Saparinto dan Hidayati (2009) penyedap rasa ditambahkan untuk menambah kelezatan pada masakan selain itu juga berfungsi untuk menghilangkan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Zat penyedap rasa buatan merupakan hasil dari sintesis zat-zat kimia, salah satunya adalah vetsin atau MSG (Monosodium Glutamat).

Monosodium Glutamate atau Mononatrium Glutamate adalah garam asam glutamat yang berperan pada rasa umami (gurih) (Pramadi 2006). Menurut Basri (2005) MSG merupakan senyawa dengan formula HOO-CCH(NH2 )-CH2CH2COONa yang dihasilkan dari hidrolisa protein nabati atau larutan dari limbah penggilingan gula tebu atau bit. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan 2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang menjadi ciri asam amino (Sukawan 2008).

MSG berbentuk kristal putih dengan rasa seperti daging (Mulyono 2008). Sabri et al. (2006) menyebutkan vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan berwarna putih dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molasses (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat.

Menurut Yuliarti (2007) MSG adalah garam sodium dari asam glutamat yang ada secara alami dalam tubuh kita. Asam glutamat merupakan bagian dari kerangka utama berbagai jenis molekul protein yang terdapat dalam makanan secara alami dan dalam jaringan tubuh manusia (Winarno 2004). Asam glutamat merupakan salah satu dari 20 asam amino yang ditemukan pada protein, sementara MSG merupakan monomer dari asam glutamat. Menurut Persatuan Monosodium Glutamat dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) dalam Tobing (2009) asam glutamat terdiri dari dua bentuk yaitu bentuk terikat (in bound) dan bentuk bebas (in free form). Bentuk terikat merupakan asam glutamat yang terikat pada


(19)

asam amino lain membentuk protein, selanjutnya bentuk bebas merupakan asam glutamat yang tidak berikatan dengan protein. Glutamat bebas tersebut dapat bereaksi dengan ion sodium (natrium) membentuk garam MSG. Jenis garam lain seperti garam kalium glutamat dan kalsium glutamat ternyata juga memiliki daya pembangkit citarasa (Winarno 2004). Sukawan (2008) menyatakan bahwa perbedaan struktur kimia MSG dengan asam glutamat hanya terletak pada salah satu gugus karboksil asam glutamate yang mengandung hidrogen diganti dengan natrium sehingga membentuk monosodium glutamate.

Penggunaan dari asam glutamat hanya efektif pada daging, ayam, sup, masakan dari ikan dan lain-lain tetapi tidak efektif untuk penyedap buah, sari buah, atau pangan berbumbu manis (Cahyadi 2006). Orang Jepang biasanya menggunakan kata umami untuk menggambarkan rasa MSG yang seperti rasa daging ikan tertentu atau kaldu (Schiffman 2000). Rasa ini dalam budaya Asia berbeda dengan empat rasa dasar (manis, asam, asin, dan pahit) (Yamaguchi dan Ninomiya 2000).

Sejarah

Sejak abad ke-8 rumput laut kering telah lama digunakan sebagai bahan dalam pemasakan sup di Jepang (Sugita 2002). Penyelidikan kimiawi memperlihatkan bahwa ganggang laut (Laminaria sp) yang digunakan secara luas sebagai bumbu penyedap masakan di Jepang, merupakan substansi yang dapat mengaktifkan rasa (Sukawan 2008). Sejak tahun 1866, Ritthausen, seorang ahli kimia Jerman, berhasil mengisolasi asam glutamat. Kemudian para ilmuwan lain berhasil mengubah asam tersebut menjadi garam sodium (natrium) dan lahirlah nama Monosodium Glutamat (Belitz dan Grosch 2009). Pada tahun 1908 seorang ahli kimia Jepang dari Universitas Tokyo, Dr. Kikunae Ikeda menemukan sifat-sifat pembangkit citarasa dari MSG. Hasil penelitiannya tersebut mengungkap pula mengapa dan bagaimana rumput laut kombu (Laminaria japonica) yang sejak 1200 tahun lalu telah digunakan orang-orang sebagai penyedap sup atau pembangkit citarasa (Winarno 2004).

Komersialisasi glutamat dimulai sejak tahun 1909 dengan menggunakan isolasi dari gluten gandum. Saat ini sekitar 640 000 ton MSG diproduksi setiap tahunnya di sekita 14 negara di seluruh dunia (Sugita 2002). Menurut Belitz dan Grosch (2009) pada tahun 1978 konsumsi MSG mencapai 200.000 ton di seluruh


(20)

dunia. Menurut data 1989, di Indonesia terdapat 9 pabrik MSG dengan estimasi produksi 16.375 ton per tahun (Winarno 2004).

Di Indonesia, MSG dibuat menggunakan bahan baku dari tetes tebu (molasses) melalui proses peragian atau fermentasi, seperti pada proses pembuatan tape, kecap, bir, dan sebagainya. Tetes tebu atau molasses ini adalah hasil sampingan dari penggilingan tebu di pabrik-pabrik gula putih, yang banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, MSG juga dapat dibuat dari bahan baku lain seperti tapioka (singkong) dan sejenisnya (Tobing 2009).

Metabolisme MSG

Asam glutamat digolongkan pada asam amino non esensial karena dapat dihasilkan dalam tubuh manusia. Metabolisme asam amino non esensial termasuk glutamat tersebar luas di dalam jaringan tubuh (Sukawan 2008). Glutamat dari semua sumber tersebut sebagian besar digunakan sebagai bahan bakar energi di eritrosit (Beyreuther et al. 2006). Sedangkan glutamat yang berasal dari makanan merupakan sumber energi utama dan substrat yang penting untuk sintesis glutathione dan asam amino lainnya dalam usus (Reeds et al. 2000).

Asam amino dikarboksilat, aspartat dan glutamat memiliki peranan penting dalam produksi energi, sintesis urea, sintesis glutathione dan sebagai neurotransmitter. Asam-asam amino ini merupakan asam amino utama yang terdapat dalam mitokondria sel dan merupakan 50-70% dari total asam amino bebas. Dalam jumlah besar, secara normal glutamat terdapat di otak dan hati manusia (Sukawan 2008).

Lidah manusia merasakan glutamat bebas dalam makanannya melalui reseptor rasa sebagai rasa umami (Brand 2000), hal ini terjadi karena makanan tersebut mengandung bentuk lain dari glutamat sebagai bagian dari protein. Hampir semua bentuk glutamat makanan baik dalam bentuk bebas maupun yang terkandung dalam protein, dimetabolisme dalam mukosa usus (Reeds et al. 2000).

Glutamat dan aspartat akan dimetabolisme secara cepat oleh usus dan hati. Kemudian glutamat yang diserap ditransaminasikan dengan piruvat ke bentuk alanin. Alanin tersebut bersama asam amino dikarboksilat menghasilkan aketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya asam


(21)

amino dikarboksilat yang dilepas ke darah portal. Glutamat dan asam aspartat yang lolos dari mukosa dibawa melalui vena porta ke hati. Sebagian glutamat dan aspartat dikonversikan oleh usus dan hati ke bentuk mukosa dan laktat, kemudian dialirkan ke dalam darah perifer (Sukawan 2008).

Menurut Sukawan (2008) 57% dari asam amino yang diabsorbsi tubuh akan dikonversikan menjadi urea di hati, 6% dirubah menjadi plasma protein, 23% asam amino diserap melalui sirkulasi darah sebagai asam amino bebas, dan sisanya sebanyak 14% masih belum diketahui dan diduga disimpan sementara di dalam hati sebagai protein hati atau enzim.

Pemberian MSG secara parenteral akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian per oral karena pada pemberian secara parenteral, MSG tidak melalui usus dan vena portal. Sedangkan pada pemberian per oral, MSG akan melalui usus ke sirkulasi portal dan hati. Hati mempunyai kesanggupan untuk metabolismee asam glutamate ke metabolit lain. Oleh karena itu, apabila pemberian glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati, maka akan menyebabkan peningkatan glutamate plasma (Sukawan 2008). Menurut Stegink et al. diacu dalam Sukawan (2008) kapasitas Metabolisme glutamat oleh hati meningkat sejalan dengan meningkatnya umur.

Sukawan (2008) menyebutkan pemberian MSG dosis besar baik pada manusia maupun hewan percobaan hanya meningkatkan sedikit kadar glutamat plasma. Tetapi pemberian MSG yang dilarutkan dalam air menghasilkan kadar glutamat plasma yang lebih tinggi. Menurut Tsai dan Huang (2000) glutamat yang berasal dari penambahan MSG pada makanan berkuah dimetabolisme oleh tubuh dengan sangat cepat.

Batasan Penggunaan

Sebelum tahun 1960-an MSG biasanya digunakan oleh golongan masyarakat tertentu saja seperti di Cina, Jepang, Korea, Thailand, Vietnam dan Myanmar. Takarannya sangat kecil yakni 1-2 korek kuping (setara dengan 30-60 mg) untuk setiap porsi masakan ala Cina. Makanan tradisional dan lokal asli Indonesia tidak menggunakan sama sekali, karena sudah terasa lezat dan gurih oleh ramuan bumbu rempah. Namun pada pertengahan tahun 1960-an, produk MSG diimpor dari Jepang dan Korea, serta gencar diiklankan melalui berbagai media baik di kota maupun di desa. Sekarang hampir semua golongan penduduk di Indonesia sudah mengenalnya namun takaran penggunaannya sangat


(22)

berlebihan dan tidak wajar. Hal ini disebabkan karena kemasan produk MSG tidak disertai alat takar dan pedoman takaran pemakaian, maka bubuk ini dipakai hingga melampaui batas kewajaran (Budiarso 2003).

Tahun 1987 WHO menghapus batasan penggunaan zat penyedap rasa, khususnya asam glutamat yang semula dibatasi 120 mg/kg berat badan/hari. Dengan kata lain, WHO menyatakan bahwa MSG aman untuk dikonsumsi. Dengan dihapusnya batasan penggunaan MSG, banyak orang lupa dengan daya toleransi tubuh terhadap MSG, yang bisa berakibat fatal bagi kesehatan. Penggunaan MSG yang berlebihan lebih banyak mengandung risiko dari pada manfaat (Saparinto & Hidayati 2009). Beberapa negara industri dan negara maju menetapkan konsumsi MSG yang masih bisa ditoleransi sebesar 0,3-1 gram per hari (Yuliarti 2007). Konsumsi MSG dalam jumlah besar pada orang-orang hypersensitive dapat menyebabkan gejala reaksi Chinese Restaurant Syndrome (CRS) berupa gangguan sementara dada dan leher panas, sesak nafas dan sakit kepala (Belitz & Grosch 2009). Penelitian Woessner et al. (1999) menyebutkan terdapat peningkatan serangan pada penderita asma setelah mengonsumsi MSG, keluhan muncul pada kelompok yang mengonsumsi 0.5-2.5 gram MSG, sementara untuk penyakit kelainan syaraf seperti Alzheimer dan Hungtinton chorea tidak terbukti berhubungan dengan konsumsi MSG. Selanjutnya hasil penelitianKobayashi et al. (2006) menyatakan kemampuan identifikasi rasa MSG pada kelompok yang terpapar MSG lebih tinggi daripada kelompok kontrol, namun ketika paparan MSG dihentikan kemampuan identifikasi dapat kembali menurun.

Sebagian besar penggunaan MSG dalam masakan di seluruh dunia adalah sebagai penyedap sup, kaldu, saus dan lainnya. MSG juga terkandung dalam berbagai produk makanan kalengan seperti daging beku, sayur-sayuran dan lainnya. Hasil penelitian tentang rasa menyebutkan bahwa penambahan MSG sebanyak 0.1-0.8% dari berat bahan makanan akan memberikan kualitas citarasa terbaik. Pada masakan rumah atau restoran, jumlah ini setara dengan 1-2 sendok teh per kilogram daging atau per 8-11-2 porsi sayur ataupun sup (Sugita 2002).

Konsumsi MSG rata-rata orang Indonesia adalah 0,12 kg per orang per tahun dan untuk anak-anak sekolah sekitar 0,06 kg/kapita/tahun (Winarno 2004). Menurut data Indochemical diacu dalam Taufiqurohman et al. (2001) selama tahun 1999 Indonesia mengonsumsi 119 ribu ton MSG yang jika dihitung dengan


(23)

jumlah penduduk sama dengan 550 gram per orang per tahun, atau kurang lebih 1,5 gram sehari. Kuantitas itu adalah lebih tiga kali lipat dari batas keamanan yang dinyatakan oleh FASEB (Federation of American Societies for Experimental Biology) dan FDA di Amerika Serikat.

Di negara-negara Eropa, total asupan glutamat dari makanan pada umumnya stabil dan berkisar antara 5-12 g/hari (glutamat bebas 1 g, glutamate terikat pada protein 10 g, dan ditambahkan sebagai penyedap sebanyak 0.4 g). Sedangkan rata-rata asupan glutamat yang ditambahkan dalam bentuk MSG di negara Eropa berkisar antara 0.3 hingga 0.5 gram/hari dan di negara-negara Asia berkisar antara 1.2 hingga 1.7 gram per hari (Beyreuther et al. 2006).

Hasil penelitian Astuti (2003) yang dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian MSG per porsi pada pedagang bakso adalah 4,79 gram dengan maksimum pemakaian adalah 10,35 gram per porsi. Total asupan maksimum 16 g/ kg berat badan dianggap aman (Beyreuther et al. 2006). Penelitian pada manusia tidak membuktikan MSG menjadi penyebab Chinese Restaurant Syndrome (CRS) sehingga JEFCA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) menyatakan MSG sebagai bahan yang aman selama masih digunakan dalam jumlah yang wajar (Lupien & Walker 2000).

Kontroversi

Percobaan mengenai efek toksik MSG menunjukan hasil yang kontroversial. Berdasarkan berbagai penelitian yang umumnya dilakukan pada hewan percobaan dalam periode neonatal atau infant dengan pemberian MSG dosis tinggi melalui penyuntikan, telah ditemukan beberapa bukti bahwa MSG dapat menyebabkan nekrosis pada neuron hipotalamus, nucleus arkuata hipotalamus, kemandulan pada jantan dan betina, berkurangnya berat hipofisis, anterior, adrenal, tiroid, uterus, ovarium, dan testis, kerusakan fungsi reproduksi dan berkurangnya jumlah anak (Sukawan 2008). Adapun penelitian Sabri et al. (2006) menyebutkan bahwa MSG yang diberikan pada induk mencit yang sedang hamil dapat bersifat embriotoksik dan teratogenik. Penelitian Morrison et al. (2007) membuktikan bahwa pemberian MSG pada tikus percobaan meningkatkan perkembangan diabetes tipe II dan menyebabkan perubahan kadar amin pada beberapa jaringan berubah secara signifikan.


(24)

Sejak tahun 1970 US-FDA telah melaksanakan penelitian terhadap keamanan pangan bagi konsumsi MSG, demikian halnya lembaga-lembaga lain di Amerika Serikat maupun negara lain. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga yang independen seperti misalnya Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), diumumkan pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa MSG dinyatakan aman pada rata-rata dosis digunakan saat itu. Namun mereka juga bahwa keamanan pada peningkatan jumlah konsumsi MSG yang tinggi masih diperlukan evaluasi tambahan (Winarno 2004).

Dr. Rinchard A. Kenney dari Medical Center Universitas George Washington, Washington DC telah melakukan penelitian menggunakan kontrol terhadap manusia percobaan yang terpilih sedemikian rupa, sehingga secara statistik telah mewakili. MSG dimasukkan tubuh melalui oral demikian juga dengan placebo (blanko) yang tidak berisi MSG. Hasilnya menunjukkan bahwa sepertiga dari jumlah manusia percobaan yang diberi dosis tinggi MSG (tetapi masih dalam kisaran jumlah wajar untuk dikonsumsi manusia) tidak menunjukkan gejala-gejala yang aneh. Di antara mereka yang merasa dirinya peka terhadap MSG ternyata bereaksi sama bila mereka mengonsumsi placebo (Winarno 2004). Banyak penelitian menyebutkan MSG bisa menyebabkan Chinese Restaurant Syndrome (CRS) dan gangguan pada penderita asma. Namun penelitian Walker (1999) tidak menemukan keterkaitan MSG dengan CSR demikian juga Stevenson (2000) menyimpulkan bahwa MSG tidak berkaitan dengan asma. Hal tersebut dipertegas juga oleh penelitian Yoneda et al. (2010) yang menunjukkan bahwa MSG tidak terlibat dalam pengembangan penyakit asma akut. Penelitian Xiong et al. (2009) menyebutkan penggunaan vitamin C secara bersamaan dapat mengurangi efek samping dari MSG.

Berbagai penelitian yang kemudian dilakukan hasilnya banyak yang bertentangan dan sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat dan gejala yang ditimbulkan oleh MSG pada manusia belum cukup lengkap untuk dapat diungkapkan secara gamblang dan memuaskan (Cahyadi 2006). Mesti pembuktiannya masih menjadi perdebatan setidaknya kita sebaiknya membatasi penggunaannya seminimal mungkin dan menggantinya dengan bumbu alami yang lebih sehat.

Meskipun sudah dibuktikan dan dinyatakan bahwa MSG aman, beberapa negara dalam peraturannya masih mewajibkan pencatuman adanya MSG dalam label sebagai flavor enhancer (Winarno 2004). Hal ini terjadi karena dalam


(25)

kenyataannya perhatian dan keraguan terhadap konsumsi MSG memang cukup tinggi, tetapi kontroversi terhadap MSG saat ini sudah mereda.

Persepsi

Riyanto (2010) menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan sehingga pengalaman akan mempengaruhi kecermatan persepsi. Persepsi yang dibentuk seseorang dipengaruhi pikiran dan lingkungan sekitarnya dan secara substansi bisa sangat berbeda dengan realita, dengan kata lain persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar juga keadaan individu yang bersangkutan. Persepsi memiliki sifat subjektif karena setiap orang akan memandang suatu objek atau situasi dengan cara yang berbeda-beda (Setiadi 2003).

Riyanto (2010) menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri atas faktor stimulus, faktor perseptor dan faktor situasi. Faktor stimulus adalah faktor yang bersumber dari objek yang mencakup kekuatan stimulus dan faktor penarik perhatian. Faktor perseptor adalah faktor-faktor yang datang dari orang yang melakukan proses persepsi yang mencakup faktor biologis dan faktor sosio-psikologis seperti motif sosiogenis, sikap, emosi, kepercayaan, kebisaaan dan kemauan. Selanjutnya faktor situasi merupakan konteks dimana proses persepsi tersebut berlangsung baik situasi fisik maupun non-fisik.

Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa adanya perbedaan persepsi antara konsumen yang satu dengan yang lain dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan budaya. Kotler (2003) menyatakan persepsi yang berbeda terhadap objek yang sama disebabkan oleh proses pembentukan persepsi yang mengalami tiga tahap yaitu perhatian selektif, distorsi selektif dan ingatan atau retensi selektif.

Menurut Simamora (2004), apabila persepsi melekat dalam waktu yang lama maka akan terbentuk citra (image). Riset di bidang persepsi umumnya menyangkut citra produk. Terdapat dua kesulitan dalam mengukur citra, yaitu (1) konseptualisasi citra, citra adalah konsep yang mudah dimengerti, tetapi sulit untuk dijelaskan secara sistematis karena sifatnya yang abstrak dan (2) pengukuran, tidak terdapat alat ukur yang pasti, karena citra bersifat abstrak dan subjektif. Salah satu cara untuk menggambarkan citra produk adalah dengan


(26)

menggunakan metode sarang laba-laba. Metode ini menggunakan analisis multiatribut.

Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil yang diperoleh setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yakni (Notoatmodjo 2007):

1. Tahu (know): diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang sfesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (comprehension): diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application): diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysis): suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sam lain.

5. Sintesis (synthesis): suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penilaian atau responden.

Pengetahuan didefenisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan yang tersimpan di dalam ingatan merupakan determinan utama dalam pemahaman (Engel 1995). Sumarwan (2004) menyatakan bahwa pengetahuan konsumen adalah semua informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa, serta


(27)

pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk jasa tersebut dan informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen. Dalam hal ini pengetahuan ibu mencakup tentang informasi keamanan produk atau bahan MSG buatan yang dapat diperoleh ibu dari berbagai sumber baik lingkungan maupun media massa.

Mowen dan Minor (2002) membagi pengetahuan konsumen menjadi tiga kategori yaitu: (1) pengetahuan objektif, (2) pengetahuan subjektif, dan (3) informasi mengenai pengetahuan lainnya. Pengetahuan objektif adalah informasi yang benar mengenai kelas produk yang disimpan di dalam memori jangka panjang konsumen. Pengetahuan subjektif adalah persepsi konsumen mengenai apa dan berapa banyak yang diketahui mengenai kelas produk. Konsumen mungkin juga memiliki informasi mengenai pengetahuan berbagai hal lainnya.

Pengetahuan dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Menurut Andarwulan et al. (2009) tingkat pengetahuan dan keamanan pangan siswa berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan pangan yang dibeli. Demikian juga menurut Amelia (2008) pengetahuan merupakan landasan penting untuk terjadi perubahan sikap dan perilaku gizi. Tingkat pengetahuan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu pengetahuan ibu mengenai keamanan penggunaan MSG merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan praktik penggunaan MSG pada ibu rumah tangga.

Sikap

Menurut Riyanto (2010) sikap merupakan daya pendorong berupa kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang dan mengandung aspek evaluatif. Sikap adalah suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau obyek. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap belum merupakan tindakan tetapi merupakan predisposisi terjadinya tindakan atau perilaku. Menurut Engel et al. (1995) sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku.

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku


(28)

pembentukkan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu (Suhardjo 2003). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo 2007):

1. Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2. Merespon (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi.

Menurut Sumarwan (2004) sikap adalah ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek, terkait suka atau tidak suka. Sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap atribut atau manfaat dari objek tersebut. Sikap memiliki tiga unsur, yaitu kognitif (kepercayaan terkait objek), afektif (perasaan terkait objek) dan konatif (kecenderungan untuk bertindak).

Sikap seseorang dapat diketahui dari kecenderungan seseorang tersebut dalam bertingkah laku terhadap suatu objek tertentu. Sikap terbentuk karena ada faktor pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor pengaruh emosional (Azwar 2003). Berbagai literatur psikologi dari penelitian-penelitian perilaku juga membuktikan bahwa sikap adalah peramal penting dari perilaku, kecenderungan berperilaku, dan faktor yang menjelaskan variasi perilaku (Kotchen & Reiling 2000 diacu dalam Mostafa 2007). Secara sederhana sikap merupakan ekspresi apakah ibu rumah tangga suka atau tidak


(29)

suka terhadap penggunaan MSG berkaitan dengan pengetahuan dan persepsinya.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo 2007).

Praktik

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Praktik terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, dan selanjutnya ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang sudah diketahuinya. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata diperlukan suatu faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoadmodjo 2007).

Praktik terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu 1) persepsi (perception): mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, 2) respon terpimpin (guide respons): dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh, 3) mekanisme (mechanism): Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebisaaan, 4) adaptasi (adaptation) adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi tindakan tersebut (Notoatmodjo 2007).

Maulana (2007) menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat. Faktor predisposisi (predisposing factor) merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebisaaan, nilai-nilai, norma sosial, budaya dan faktor sosio-demografi. Faktor pendukung (enabling factors) merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku berupa lingkungan fisik yang mendukung terjadinya suatu perilaku. Faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Sedangkan Notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam pembentukan perilaku


(30)

dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Persepsi termasuk faktor internal dari pembentukkan perilaku sehingga perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi.

Menurut Maulana (2007) wawancara merupakan cara yang tepat untuk mengukur pengetahuan dan sikap pada penelitian kualitatif. Sementara itu, untuk memperoleh data tindakan atau perilaku dapat diperoleh melalui observasi ataupun wawancara dengan mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan responden sebelumnya.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Faktor yang melatarbelakangi masalah gizi di negara berkembang diantaranya adalah keadaan sosial ekonomi. Faktor-faktor sosial ekonomi seperti besar keluarga, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap timbulnya masalah gizi (Khumaidi 1989).

Pendidikan

Khumaidi (1989) berpendapat bahwa pendidikan orang tua terutama ibu erat kaitannya dengan pemilihan makanan yang bergizi baik untuk keluarganya. Pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap tingkat perawatan kesehatan, higiene, kesadaran terhadap anak dan keluarga. Pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan individu. Pengetahuan dan kesehatan merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan tentang gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Pengetahuan tentang gizi dan kesehatan yang semakin baik dapat mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan mempertahankan kesehatan individu (Suhardjo 1989).

Menurut Syarief (1997) tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memilih makanan yang kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebisaaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik.


(31)

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga

Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang merupakan masukan (input) bagi terbentuknya suatu gaya hidup keluarga. Keluarga dan masyarkat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan, dan semkai tinggi penghasilan itu, semkain menurun bagian penghasilan yang dipakai untuk membeli makanan (Suhardjo 1989).

Penelitian di Banglades oleh Roushan (1996) diacu dalam Yuliansyah (2006) menyebutkan bahwa status gizi anak dipengaruhi oleh pekerjaan orang tua, jarak kelahiran dan jumlah anggota keluarga. Bagi ibu-ibu yang bekerja menunjukkan adanya kecendrungan makanan yang lebih baik (Suhardjo 2003). Semakin tinggi tingkat ekonomi keluarga semakin tinggi pula kualitas gizi konsumsi pangannya (Khumaidi 1989). Keadaan ekonomi akan mempengaruhi daya beli seseorang dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini akan mengakibatkan seseorang yang berpendapatan lebih tinggi akan memiliki kemampuan membeli bahan pangan yang berkualitas dengan jumlah yang cukup dibandingkan dengan orang yang berpendapatan lebih rendah (Sanjur 1982). Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebisaaan makan masyarakat. Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam (Rodiah 2010).

Besar Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI 1988). Menurut Suhardjo (1989), secara garis besar keluarga dapat dibagi atas keluarga inti dan keluarga dalam arti luas. Keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri dengan anak-anaknya. Sedangkan keluarga dalam arti luas yaitu keluarga yang tidak terbatas hanya pada keluarga inti, melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orang tua dan anak-anaknya terdapat pula kakek, nenek, paman, bibi, saudara, sepupu, menantu, dan cucu.

Menurut Hurlock (1998) besar keluarga menggambarkan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak-anak. Besar


(32)

keluarga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang atau sama dengan empat orang. Keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lima sampai tujuh orang, dan keluarga besar adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari delapan orang.


(33)

terjamin hanya dengan mengkonsumsi makanan yang berkualitas baik tanpa memperhatikan jumlah, jenis, dan keamanan makanan yang dikonsumsi. Untuk mengetahui hal itu dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan terutama pengetahuan ibu rumah tangga yang berperan sangat penting dalam penyediaan pangan tingkat rumah tangga. Pengetahuan merupakan dasar untuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku.

Persepsi bersama-sama dengan pengetahuan membentuk kepercayaan dan konsep kepercayaan terkait dengan konsep sikap. Persepsi yang baik terhadap suatu objek, dalam hal ini terhadap MSG akan memunculkan sikap yang positif. Persepsi bersama keterlibatan dan memori konsumen akan mempengaruhi pengolahan informasi. Setelah konsumen melihat, memperhatikan dan memahami stimulus maka konsumen dapat mengambil kesimpulan (Sumarwan 2004).

Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa adanya perbedaan persepsi antara konsumen yang satu dengan yang lain dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan budaya. Persepsi merupakan proses yang dilalui seseorang melalui tahap pemaparan, perhatian dan pemahaman. Dengan demikian, segala sesuatu yang mempengaruhi persepsi seseorang juga akan mempengaruhi perilakunya. Praktek atau perilaku merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus objek tertentu. Perilaku gizi dicerminkan oleh tindakan-tindakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan gizi dengan memperhatikan aspek keamanan pangan dalam hal ini berkaitan dengan penggunaan MSG pada ibu rumah tangga.

Sikap merupakan fungsi dari pengetahuan, pendapat, keyakinan dan penilaian seseorang terhadap objek tertentu (Contento 2007). Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap seseorang dapat diramalkan perbuatannya. Sikap mengarahkan tindakan secara langsung.sikap positif akan mendorong orang untuk menerima dan mengadopsinya menjadi tindakan (praktik), sedangkan sikap negative cenderung menimbulkan praktik yang juga negatif semacam menghindar, menolak, atau manjauhi (Notoatmodjo 2003).

Berdasarkan pengamatan dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih tahan lama dibandingkan yang tidak didasari pengetahuan. Perilaku gizi dicerminkan oleh tindakan-tindakan yang


(34)

berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan gizi dengan memperhatikan aspek keamanan pangan. Sistem nilai tindakan dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu, berkaitan dengan informasi tentang makanan dan gizi yang diterimanya dari berbagai sumber (Notoatmojo 2007).

Gambar 1. Hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan praktik penggunaan MSG pada ibu rumah tangga

Keterangan :

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti

Faktor Eksternal

• Sumber informasi tentang MSG : - Media informasi - Iklan

- Tetangga/teman - Penjual

• Ketersediaan Makanan/ bahan Makanan yang mengandung MSG

Praktik Penggunaan Monosodium

Glutamat Sikap ibu tentang

penggunaan MSG

Faktor Internal

• Karakteristik rumah tangga:

- Umur Suami - Pendidikan Suami - Besar keluarga - Pendapatan keluarga

• Karakteristik contoh: - Umur Ibu

- Pendidikan Ibu

Pengetahuan MSG Ibu

Persepsi ibu tentang penggunaan MSG

• Karakteristik contoh: - Umur Ibu


(35)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan untuk menggali informasi mengenai praktik penggunaan MSG pada ibu rumah tangga. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan kategori kota dan desa. Lokasi yang dipilih adalah Kelurahan Tegallega sebagai daerah perkotaan dan Desa Babakan sebagai daerah perdesaan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai November 2011.

Teknik Penarikan Contoh

Pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simple random sampling. Metode simple random sampling yang dilakukan yaitu dengan mengundi satuan-satuan elementer dalam populasi (Singarimbun 1989). Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh ibu rumah tangga yang tinggal di Kelurahan Tegallega dan Desa Babakan, sedangkan populasi contoh adalah seluruh ibu rumah tangga dari RW terpilih. Kelurahan/desa yang terpilih dari wilayah kota dan kabupaten diambil secara acak masing-masing 1 RW. Dari masing-masing RW diambil secara acak 1 RT, kemudian seluruh ibu rumah tangga yang memenuhi kriteria di masing-masing RT diambil sebagai contoh kemudian dipilih secara purposive. Contoh yang dipilih merupakan ibu rumah tangga yang berasal dari keluarga utuh, tidak buta huruf dan tidak bekerja di sektor formal. Dari wilayah desa didapatkan contoh yang memenuhi kriteria sebanyak 32 orang, sedang di kota didapatkan sejumlah 52 orang. Agar jumlah contoh bisa dibandingkan, maka dari masing-masing wilayah kota dan desa diambil 32 orang. Dengan demikian secara keseluruhan jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 64 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumah tangga yang terdiri atas umur dan pendidikan ibu, besar keluarga dan pendapatan keluarga, persepsi, pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) ibu


(36)

rumah tangga. Data sekunder berupa data keadaan umum lokasi penelitian dan data pendukung lainnya.

Data karakteristik rumah tangga meliputi umur dan pendidikan ibu, besar keluarga dan pendapatan keluarga diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Data mengenai persepsi, pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) ibu didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner berbentuk 8 pertanyaan tentang persepsi ibu terhadap penggunaan Monosodium Glutamat (MSG), 10 pertanyaan multiple choice untuk pengetahuan, 10 pertanyaan tentang sikap ibu terhadap penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) dan 6 pertanyaan tentang praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) ibu.

Data sekunder meliputi lokasi geografis dan jumlah ibu rumah tangga diperoleh dari instansi terkait dengan penelitian ini, yaitu kantor kelurahan, kantor desa, dan Kantor Badan Pusat Statistik Kota dan Kabupaten Bogor.

Rincian pengumpulan data pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1 Cara pengumpulan data penelitian

Variabel Jenis Data Cara pengumpulan

data

Instrumen Karakteristik rumah tangga

• Umur dan pendidikan ibu • Umur dan pendidikan suami • Besar keluarga

• Pendapatan keluarga

Primer Wawancara Kuesioner

Pengetahuan tentang penggunaan MSG

Primer Pertanyaan multiple chice

Kuesioner

Persepsi, Sikap dan Praktik penggunaan MSG ibu

Primer Pertanyaan untuk

menilai respon contoh

Kuesioner

Data jumlah ibu rumah tangga Sekunder Wawancara Data BPS dan

Kelurahan

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning dan analisis data. Pemberian skor akan dilakukan untuk data yang pengukurannya menggunakan skala Likert. Data akan dianalisis secara deskriptif menggunakan rata-rata dan analisis statistik. Program computer yang digunakan adalah Microsoft Excel dan SPSS versi 16.0 for Windows. Untuk lebih jelasnya, rincian pengelompokan dan pengkateorian variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.


(37)

Tabel 2 Kelompok dan kategori variabel penelitian

Jenis Data Kategori pengukuran Dasar pengukuran

Karakteristik rumah tangga contoh (Besar dan pendapatan keluarga)

Besar keluarga

1. Kecil (≤4 orang) 2. Sedang (5-6 orang) 3. Besar (≥7 orang)

Besar keluarga (BKKBN 1998)

Pendapatan keluarga 1. Miskin 2. Tidak Miskin

Garis kemiskinan Perkotaan (Rp.212.210/bln/kap) dan

Perdesaan (Rp. 185.335/bln/kap) di Jawa Barat

Karakteristik contoh (Umur dan tingkat pendidikan)

Umur Ibu

1. <20 tahun 2. 20-29 tahun 3. 30-39 tahun 4. 40-49 tahun 5. ≥50 tahun

Berdasarkan sebaran contoh

Tingkat Pendidikan Ibu 1. Tidak tamat SD 2. SD

3. SMP 4. SMU 5. PT

Jenjang pendidikan formal (UU Republik Indonesia No.20 Tahun 2003)

Determinan psikologi (pengetahuan, sikap dan praktik

penggunaan MSG ibu)

Pengetahuan Ibu 1. Kurang (<60%) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (>80%)

Teknik pengukuran pengetahuan (Khomsan 2000)

Sikap Ibu

1. Kurang (<60%) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (>80%)

Teknik pengukuran pengetahuan (Khomsan 2000)

Praktik Penggunaan MSG 1. Tidak

menggunakan MSG(<64%) 2. Menggunakan

MSG(≥64%)

Rataan Deviasi

Persepsi contoh terhadap MSG diukur dengan meminta contoh untuk memberikan penilaian terhadap atribut MSG, yaitu iklan, rasa, manfaat penggunaan, dampak atau efek pada kesehatan, dan harga. Penilaian tersebut merupakan penilaian contoh berdasarkan hasil tangkapan seluruh indera, pengetahuan, serta pengalamannya dalam menggunakan MSG atau bahan yang mengandung MSG. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Likert dengan lima skala, yaitu sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), netral (3), setuju (4), dan sangat setuju (5).

Tingkat pengetahuan ibu diperoleh melalui total skor dari 10 pertanyaan berbentuk multiple choice pada kuesioner. Masing-masing pertanyaan diberi skor


(38)

1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah. Skor pengetahuan ibu merupakan total penjumlahan skor dibandingkan dengan skor maksimal, dimana skor maksimumnya adalah 10 dan skor minimumnya adalah 0. Selanjutnya tingkat pengetahuan ibu dikategorikan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori untuk tingkat pengetahuan dibagi dalam tiga kelompok baik, sedang dan kurang (Khomsan 2000).

Sikap ibu rumah tangga terhadap Monosodium Glutamat (MSG) diukur menggunakan skala Likert. Penilaian seseorang atau sekelompok orang tentang suatu variabel, konsep, gejala atau fenomena. Sikap diukur menggunakan 10 pertanyaan skala Likert, untuk pertanyaan positif yaitu sangat setuju (5), setuju ( 4), ragu-ragu (3), tidak setuju (2) dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan untuk pertanyaan negatif diberikan skor sebaliknya. Skor maksimumnya adalah 50 dan minimal 10 (Djaali dan Muljono 2004). Untuk menentukan persentase, total skor yang diperoleh dibagi dengan skor maksimal kemudian dikali 100%. Pengkategorian sikap dikelompokkan ke dalam kategori kurang, sedang dan baik.

Data praktik ibu terhadap penggunaan MSG diukur dengan 5 pertanyaan, penilaian tindakan positif akan diberi skor 2 (jawaban “ya”), skor 1 (jawaban “tidak”), sedangkan penilaian tindakan negatif diberikan skor sebaliknya sehingga jawaban skor total ibu terhadap praktik penggunaan MSG maksimum adalah 10 dan minimum 0. Dari total nilai praktik penggunaan MSG ibu, dikategorikan menjadi dua yaitu tidak menggunakan MSG dan menggunakan MSG.

Uji beda independent sample t-test dilakukan untuk melihat adanya perbedaan variabel bebas antara contoh di kota dengan contoh di desa. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas (pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik penggunaan MSG) akan dilakukan uji Korelasi Spearman.

Defenisi Operasional

Ibu rumah tangga adalah wanita yang telah menikah (tidak termasuk janda) dan tidak buta huruf serta sedang tidak bekerja di sektor formal.

Karakteristik sosial ekonomi adalah kondisi contoh penelitian yang digambarkan oleh umur (tahun), tingkat pendidikan, pendapatan per kapita dan besar keluarga


(39)

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang ditamatkan oleh contoh.

Persepsi terhadap MSG adalah hasil penilaian terhadap berbagai atribut MSG dan produk-produk yang mengandung MSG yang didasarkan pada hasil tangkapan seluruh indera, pengetahuan, serta pengalaman ibu rumah tangga dalam menggunakan MSG sebagai penyedap dalam menyiapkan makanan yang diukur menggunakan skala Likert.

Pengetahuan MSG adalah informasi yang diketahui dan diingat ibu tentang hal-hal yang berhubungan dengan gizi, makanan dan kesehatan terutama yang berkaitan dengan bahan tambahan pangan yaitu Monosodium Glutamat sebagai penyedap makanan yang tercermin dari kemampuan ibu menyebutkan jawaban yang benar dari sejumlah pertanyaan yang diajukan. Tingkat pengetahuan ibu dihitung dalam persentase serta dikategorikan menjadi baik, sedang, dan kurang.

Sikap terhadap penggunaan MSG adalah suatu respon evaluatif dan kecenderungan perilaku ibu berdasarkan kepercayaan, pengetahuan dan pengalaman tentang Monosodium Glutamate (MSG) yang diukur menggunakan skala Likert.

Praktik penggunaan MSG adalah suatu tindakan contoh menggunakan MSG dalam konsumsi rumah tangga terkait jumlah dan frekuensi penggunaan.

Perkotaan adalah karakteristik sosial ekonomi dari wilayah administratif di wilayah kota Bogor.

Perdesaan adalah karakteristik sosial ekonomi dari wilayah administratif terkecil di wilayah kabupaten Bogor.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Tegallega

Secara geografis, Kelurahan Tegallega terletak di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor dan dibatasi oleh empat wilayah yaitu Kelurahan Tega Gundil Kecamatan Bogor Utara di sebelah Utara, Kelurahan Tanah Baru di sebelah Timur, Kelurahan Baranangsiang Kecamatan Bogor Timur di sebelah Selatan dan dibatasi oleh Kelurahan Paledang dan Babakan Kecamatan Bogor Timur di sebelah Barat.

Kelurahan Tegallega memiliki luas wilayah 160.7 Ha dan terdiri atas 9 RW dan 52 RT. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Kelurahan Tegallega terdiri atas 5.720 kepala keluarga dengan 23 308 jiwa (12 334 jiwa laki-laki dan 10 974 jiwa perempuan).

Profil Kelurahan Tegallega sebanyak 44.2% penduduk Kelurahan Tegallega bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan sebanyak 31.9% bekerja sebagai karyawan swasta. Selain itu pekerjaan lainnya adalah sebagai karyawan perusahaan pemerintah, wiraswasta dan lain-lain. Sebagian besar penduduknya beragama Islam (82.3%) dan lainnya beragama Protestan (17.3%), Katolik (0.17%) dan Hindu (0.14%). Adapun suku penduduk di wilayah Kelurahan Tegallega sangat beragam seperti Sunda, Jawa, Betawi, Minang, Batak, Makassar dan lain-lain. Keanekaragaman penduduk di kelurahan ini berkaitan dengan lokasinya yang berdekatan dengan kapus IPB dan kampus Universitas Pakuan sehingga banyak penduduk dari luar daerah yang datang untuk menetap dan tinggal di Kelurahan Tegallega .

Kelurahan Tegallega termasuk kelurahan yang cukup maju karena prasarana yang ada di kelurahan Tegallega seperti jalan, bangunan kelurahan, bangunan fasilitas umum, transportasi umum dan listrik dalam kondisi cukup baik. Selain itu, bangunan-bangunan seperti sarana pendidikan, sarana olahraga, tempat ibadah dan sarana kesehatan dengan jumlah yang cukup memadai. Hal ini didukung oleh posisi kelurahan yang berada dekat dengan pusat pemerintahan di kota Bogor.


(41)

Desa Babakan

Secara geografis, Desa Babakan terletak di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dan dibatasi oleh Desa Cikarang di sebelah utara, Kelurahan Balumbang Jaya di sebelah timur, Desa Dramaga di sebelah selatan dan dibatasi oleh Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea di sebelah barat. Desa Babakan memiliki ketinggian tanah 400 m dari permukaan laut dan memiliki curah hujan 250-450 mm/thn. Daerah ini memiliki topografi dataran rendah, tinggi dan padat dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 25°-33°C. Jarak Desa Babakan dari pemerintah Kecamatan 1.5 km, jarak dari Ibu Kota Kabupaten Bogor 25 km, jarak dari Ibu Kota Propinsi 129 km dan dari ibu kota Negara adalah 60 km.

Desa Babakan memiliki luas wilayah 334 384 Ha dan terdiri atas 4 dusun, 9 RW dan 35 RT. Pada tahun 2010, kepadatan penduduk Desa Babakan adalah 100 jiwa per km yang terdiri atas 2 430 kepala keluarga dengan 10 910 jiwa (5 204 jiwa laki-laki dan 5 706 jiwa perempuan).

Berdasarkan profil desa, sebanyak 31.9% penduduk Desa Babakan tercatat memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta dan wiraswasta sebanyak 17.2%. Selain itu pekerjaan lainnya adalah sebagai pegawai negeri, buruh, pedagang dan lain-lain. Sebagian besar penduduknya beragama Islam (92,5%) dan lainnya beragama Protestan (3.51%), Khatolik (3.33%), Hindu (0.42%) dan Budha (0.25 %).

Penduduk Desa Babakan berdasarkan profil desa sebanyak 71.1% adalah Sunda dan 15.45% Jawa. Penduduk lainnya adalah Betawi (6.24%), Minang (3.35%), Batak (1.6%), Makassar (1.34%) dan lain-lain sebesar (0.92%). Keanekaragaman penduduk di Desa Babakan berkaitan dengan lokasi Desa Babakan yang berdekatan dengan kapus IPB sehingga banyak penduduk dari luar daerah yang datang untuk menetap dan tinggal di Desa Babakan.

Desa Babakan termasuk salah satu desa yang cukup maju karena prasarana yang ada di Desa Babakan seperti jalan desa, bangunan desa, bangunan fasilitas umum, transportasi umum dan listrik dalam kondisi cukup baik. Selain itu, bangunan-bangunan seperti sarana pendidikan, sarana olahraga, tempat ibadah dan sarana kesehatan dengan jumlah yang cukup memadai.


(42)

Karakteristik Rumah Tangga Responden Besar Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumah dan ada ikatan darah (Khomsan et al. 2007). Menurut Hurlock (1998) besar keluarga menggambarkan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak-anak. Besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang atau sama dengan empat orang. Keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lima sampai tujuh orang, dan keluarga besar adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari delapan orang. Jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa ditentukan oleh jumlah anggota keluarga atau rumah tangga (Sumarwan 2004). Sebaran besar keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran besar keluarga responden di perkotaan dan perdesaan

Besar keluarga Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Keluarga Kecil 25 78.1 19 59.4 43 67.2

Keluarga Sedang 4 12.5 11 34.4 16 25.0

Keluarga Besar 3 9.4 2 6.2 5 7.8

Total 32 100 32 100 64 100

Rata-rata ±SD(orang) 3.96 ±1.1 4.2 ± 1.1 4.1 ± 1.2

Tabel 3 memperlihatkan bahwa

hampir tiga perempat keluarga

responden di kota (78.1%) dan lebih dari setengah keluarga responden di desa (65.5%) merupakan keluarga kecil. Secara keseluruhan, rata-rata besar keluarga responden di kota (3.96 ±1.1) lebih rendah daripada di desa (4.2 ± 1.1). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden di kota dan di desa merupakan keluarga kecil. Hal ini diduga berkaitan dengan umur responden yang sebagian masih berada pada kategori dewasa muda.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam (Rodiah 2010).


(43)

Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari total pendapatan keluarga setiap bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan BPS Provinsi Jawa Barat (2010) yaitu di perkotaan Rp 212 210/bln/kap dan di perdesaan Rp 185 335/bln/kap. Berdasarkan batasan kemiskinan tersebut, keluarga responden dikategorikan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin. Pada Tabel 6 tampak sebesar 31.2% keluarga responden di kota dan 21.9% keluarga responden di desa tergolong keluarga miskin. Namun, rata-rata pendapatan per kapita keluarga responden di kota maupun di desa tidak berada dalam kategori keluarga miskin.

Tabel 4 Sebaran pendapatan keluarga responden di perkotaan dan perdesaan

Pendapatan keluarga Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Miskin 10 31.2 7 21.9 17 26.6

Tidak Miskin 22 68.8 25 78.1 47 73.4

Total 32 100.0 32 100.0 64 100.0

Rata-rata ± SD (Rupiah) 422 999 ± 354 787 326 079± 180 071 374 539 ± 283 335

Tabel 4 memperlihatkan baik di kota (68.8%) maupun di desa (78.1%) hamper sebagian besar responden termasuk dalam kategori tidak miskin. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga di kota (Rp 422 999/kap/bln) lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan per kapita keluarga responden di desa (Rp 326 079/kap/bln). Menurut Rita (2002) tingkat pendapatan ditentukan oleh pekerjaan. Pendapatan yang tinggi berarti memiliki pekerjaan yang lebih baik dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pula.

Karakteristik Responden Umur Responden

Menurut Kotler (2003) umur atau usia seseorang dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap suatu barang atau jasa. Umur responden berkisar antara 21 hingga 74 tahun dengan rata-rata 38.7 tahun. Sepertiga responden di kota berada pada kisaran usia 30-39 tahun (34.4%), sedangkan di desa hampir separuh (43.8%) responden berada pada kisaran tersebut. Rata-rata umur responden di kota (39.5 tahun) lebih tua dibandingkan dengan umur responden di desa (37.9 tahun). Sebaran responden berdasarkan umur responden di kota dan di desa dapat dilihat di Tabel 5.


(44)

Tabel 5 Sebaran umur responden di perkotaan dan perdesaan

Umur (tahun) Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

20-29 5 15.6 7 21.9 12 18.8

30-39 11 34.4 14 43.8 25 39.1

40-49 10 31.2 9 28.1 19 29.7

>50 6 18.8 2 6.2 8 12.5

Total 32 100 32 100 64 100

Rata-rata ±SD (tahun) 39.5 ± 10.7 37.9 ± 8.6 38.7 ± 9.7

Pendidikan Responden

Guhardja et al. (1992) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan faktor dari diri seseorang yang mempengaruhi perilakunya. Selain itu, pendidikan juga memiliki peranan yang cukup penting dalam perbaikan makanan, setidaknya tahu bahwa makanan sangat penting bagi kesehatan. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang baik dan lebih memperhatikan jumlah, mutu serta keamanannya dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Sebaran pendidikan responden di kota dan di desa dapat dilihat di Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran pendidikan responden di perkotaan dan perdesaan

Pendidikan contoh Perkotaan Perdesaan

n % n %

Tidak Tamat SD 0 0.0 2 6.2

SD 8 25.0 12 37.5

SMP 13 40.6 11 34.4

SMA 9 28.1 7 21.9

PT 2 6.2 0 0.0

Total 32 100 32 100

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa tingkat pendidikan responden tersebar pada tingkat tidak tamat SD, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi. Di kota terdapat sebanyak 6.2% responden yang memiliki tingkat pendidikan sampai perguruan tinggi, namun sebaliknya di desa masih terdapat 6.2% responden yang tidak tamat SD. Secara keseluruhan tingkat pendidikan responden di kota lebih tinggi dibandingkan responden di desa. Lebih dari sepertiga responden di kota (40.6%) berpendidikan SMP. Sementara itu, responden di desa tersebar pada tingkat SD (37.5%) dan tingkat SMP (34.4%).


(45)

Persepsi terhadap MSG

Menurut Kotler (2002) persepsi merupakan proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memaknai sesuatu. Keputusan konsumen untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh persepsinya terhadap satu produk. Persepsi bersifat subjektif, sehingga stimulus yang sama akan memberikan tanggapan yang berbeda antara konsumen yang satu dengan yang lainnya.

Persepsi responden mengenai MSG diukur dengan menggunakan delapan pernyataan tentang atribut MSG dalam kuesioner. Atribut-atribut tersebut meliputi iklan, harga, batasan penggunaan, manfaat dan pentingnya penggunaan MSG sebagai bahan tambahan pangan. Sebaran jumlah responden yang menilai setuju terhadap atribut MGS disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran jawaban setuju responden atas pertanyaan persepsi terhadap MSG di perkotaan dan perdesaan

No. Pernyataan Kota Desa p

n % n %

1. Iklan produk MSG/vetsin/micin

sangat menarik

25 78.1 29 90.6 0.174

2. Harga produk MSG/vetsin/micin di pasaran terjangkau

31 96.9 32 100.0 0.321

3. Penambahan MSG/vetsin/micin

sebagai penyedap itu penting

15 46.9 24 75.1 0.005*

4. MSG/vetsin/micin merupakan bahan

yang aman digunakan dalam jumlah berapapun

6 18.8 7 21.9 0.669

5. Menambahkan MSG/vetsin/micin

dalam makanan tidak akan

menimbulkan efek samping terhadap kesehatan

11 34.4 13 40.6 0.321

6. Masakan terasa kurang enak jika tidak ditambahkan MSG

23 71.9 26 81.2 0.207

7. MSG dapat bermanfaat bagi otak 7 21.9 6 18.8 1.000

8. MSG/vetsin/micin dapat membantu

mengurangi penggunaan garam

10 31.2 8 25.0 0.772 Keterangan: * berbeda nyata

Menurut Kotler (2002) persepsi yang berbeda terhadap objek yang sama disebabkan oleh proses pembentukkan persepsi mengalami tiga tahap, yaitu perhatian selektif, distorsi selektif dan ingatan. Pada Tabel 7 dapat dilihat atribut harga bahan/produk MSG memiliki persentase setuju tertinggi baik di kota maupun di desa, diikuti oleh atribut iklan bahan/produk MSG. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki penilaian yang sangat baik terhadap kedua atribut MSG tersebut. Sebagian besar responden di desa


(1)

No.

Pengetahuan tentang Monosodium Glutamat (MSG)

Koding (Diisi Petugas) 10. Pernyataan yang benar diantara berikut ini adalah :

a. MSG berlebih menyebabkan sesak nafas pada penderita asma b. MSG menyebabkan kanker

c. MSG menyebabkan darah tinggi d. Tidak tahu

Total Nilai

2. Persepsi Responden terhadap MSG/Vetsin/Micin

Apakah Anda Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Netral (N), Setuju (S), atau Sangat Setuju (SS) terhadap pernyataan-pernyataan di bawah ini? Berilah tanda (X) pada salah satu jawaban yang Anda inginkan!

No. Pertanyaan Tingkat persetujuan

STS TS N S SS Nilai 1. Iklan produk MSG/vetsin/micin sangat menarik

2. Harga produk MSG/vetsin/micin di pasaran terjangkau

3. Penambahan MSG/vetsin/micin sebagai penyedap itu penting

4. MSG/vetsin/micin adalah bahan yang aman digunakan dalam jumlah berapapun

5.

Menambahkan MSG/vetsin/micin dalam makanan tidak akan menimbulkan efek samping terhadap kesehatan

6. Masakan saya akan terasa kurang enak jika tidak ditambahkan MSG/vetsin/micin

7. MSG/vetsin/micin dapat bermanfaat bagi otak 8. MSG/vetsin/micin dapat membantu mengurangi

penggunaan garam.

Total Nilai

3. Sikap Responden terhadap MSG/Vetsin/Micin

Apakah Anda Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS) terhadap pernyataan-pernyataan di bawah ini? Berilah tanda (X) pada salah satu jawaban yang Anda inginkan!


(2)

56

No. Pertanyaan Tingkat persetujuan

SS S R TS STS Nilai 1. Setujukah Anda dengan penggunaan

MSG/vetsin/micin sebagai penyedap 2. Sebaiknya memasak menggunakan

MSG/vetsin/micin dengan jumlah yang dibatasi. 3. Menggunakan MSG/vetsin/micin lebih praktis

dibandingkan bumbu alami.

4. Sebaiknya mengurangi konsumsi produk/makanan olahan yang mengandung MSG/vetsin/micin.- 5. Menurut saya MSG/vetsin sama amannya dengan

gula dan garam.

6. Menurut saya penggunaan MSG pada makanan bayi sebaiknya dihindari

8. Penggunaan bumbu alami sebaiknya digantikan dengan MSG/vetsin/micin.

7. Anak-anak tidak perlu diberitahu bahwa makanan mengadung bahan penyedap harus dibatasi konsumsinya.

9. Sebaiknya memasak menggunakan bumbu instan (contoh: tepung tempe goreng instan) karena lebih enak dan praktis.

10. Sebaiknya label kemasan produk makanan diperhatikan apakah mengandung

MSG/vetsin/micin/tidak.

Total Nilai

4. Praktik penggunaan MSG/Vetsin/Micin Responden

Kami mohon bantuan Anda untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Cara menjawab adalah dengan cara memilih dan melingkari salah satu jawaban yang Anda anggap benar.

No. Pertanyaan

Koding (Diisi petugas) 1. Saya selalu menggunakan MSG/Vetsin/Micin setiap kali memasak :

a. Ya b. Tidak

2. Setiap membeli bakso saya membiarkan pedagang bakso menambahkan MSG/vetsin/micin/vetsin dalam jumlah berapapun :

a. Ya b. Tidak

3. Jumlah MSG/Vetsin/Micin yang saya tambahkan setiap kali memasak : a. Lebih dari ½ sendok teh

b. 1/3 sendok teh c. ½ sendok teh d. Tidak ada


(3)

No. Pertanyaan

Koding (Diisi petugas) 4. Saya selalu melihat label pada produk makanan kemasan apakah

mengandung MSG/vetsin/micin atau tidak : a. ya

b. tidak

5. Saya memberikan/mengijinkan anggota keluarga saya

mengonsumsi makanan olahan yang mangandung MSG/vetsin/micin tanpa batasan jumlah tertentu :

a. Ya b. Tidak 6.

Saya sering menggunakan bumbu instan/tepung instan untuk memasak :

a. Ya b. Tidak

Total Nilai

5. Riwayat mengonsumsi makanan/bahan makanan yang mengandung MSG/Vetsin/Micin

Kami mohon bantuan Anda untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pertanyaan di bawah ini menyangkut bahan makanan yang Anda konsumsi dimana di labelnya tertulis mengandung Monosodium Glutamat/ Mononatrium glutamate atau diberi tambahan Monosodium Glutamat/ Mononatrium glutamate oleh penjual pada saat menyajikannya.

No. Daftar Makanan

Penggunaan 1 minggu

terakhir

Berapa kali per

Jumlah yang digunakan

(per pemakaian) Ya Tidak Hari Minggu Bulan

Tepung bumbu instan 1 Tepung tempe goreng

(Indofood/Sasa/Ajinomoto/ Miwon/lainnya)

2 Tepung ayam goreng (Indofood/Sasa/Ajinomoto/ Miwon/lainnya)

3 Tepung bakwan

(Indofood/Sasa/Ajinomoto/ Miwon/lainnya)

Snack/ makanan ringan 4 Chiki

5 Chitos 6 Taro 7 lainnya


(4)

58

No. Daftar Makanan

Penggunaan 1 minggu

terakhir

Berapa kali per

Jumlah yang digunakan

(per pemakaian) Ya Tidak Hari Minggu Bulan

Mie /bubur instan 8 Indomie/ Supermie/ Mie

Sedap/Nissin Mie/ Lainnya 9 Bubur ayam instan

11 Pizza

12 Lainnya

Bumbu kemasan

13 Bumbu saos tiram/terayaki Ajinomoto

14 Royco/ masako 15 MSG murni kemasan

(Ajinomoto/Sasa/Miwon) 16 Bumbu kare/rendang instan

(Indofood/Sasa/Ajinomoto/ Miwon/lainnya)

17 Bumbu sup instan

(Indofood/Sasa/Ajinomoto/ Miwon/lainnya)

18 Bumbu sayur lodeh instan (Indofood/Ajinomoto/lainnya) 19 Kaldu block (Meggie) 20 Lainnya


(5)

Rumah Tangga di Perkotaan dan Perdesaan Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN.

 

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan

pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) pada

ibu rumah tangga di daerah perkotaan dan perdesaan di Bogor. Adapun tujuan khususnya adalah 1) mengetahui pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan

Monosodium Glutamat (MSG) 2) mengetahui beragam jenis produk

makanan/bahan makanan mengandung MSG yang biasa dikonsumsi/digunakan ibu rumah tangga di perkotaan dan perdesaan, 3) menganalisis keterkaitan antar

variabel pengetahuan, sikap dan praktik penggunaan Monosodium Glutamat

(MSG). 

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yang

dilakukan di Kelurahan Tegalega sebagai daerah perkotaan dan Desa Babakan sebagai daerah perdesaan. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih satu minggu yaitu dari tanggal 11 sampai tanggal 19 Agustus 2011. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 64 ibu rumah tangga yang terdiri dari 32 orang ibu rumah tangga di kelurahan Tegalega dan 32 orang ibu rumah tangga di desa Babakan. Penarikan contoh penelitian dilakukan

dengan teknik simple random sampling pada tingkatan RW dan RT. Kemudian

pada tingkatan RT dipilih secara purposive dengan kriteria yaitu ibu rumah

tangga yang berasal dari keluarga utuh tidak buta huruf dan tidak bekerja di sektor formal. Jumlah contoh yang diambil dalam peneltian ini adalah sebanyak 64 ibu rumah tangga yang terdiri dari 32 orang dari perkotaan dan 32 orang dari perdesaan.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumah tangga (umur dan pendidikan ibu, besar keluarga dan pendapatan keluarga), persepsi, pengetahuan, sikap dan praktik

penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) ibu. Data sekunder berupa data

keadaan umum lokasi penelitian dan data pendukung lainnya. Selanjutnya data

dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Statistical

Program for Social Sciences (SPSS) versi 16,0 for windows.

Hampir tiga perempat keluarga responden di kota (78.1%) dan lebih dari setengah keluarga responden di desa (65.5%) merupakan keluarga kecil dengan rata-rata pendapatan di kota (Rp 422 999/kap/bln) lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan keluarga responden di desa (Rp 326 079/kap/bln). Sepertiga responden di kota berada pada kisaran usia 30-39 tahun (34.4%), sedangkan di desa hampir separuh (43.8%) responden berada pada kisaran tersebut. Rata-rata umur responden di kota (39.5 tahun) lebih tua dibandingkan dengan umur responden di desa (37.9 tahun). Secara keseluruhan tingkat pendidikan responden di kota lebih tinggi dibandingkan responden di desa. Lebih dari sepertiga contoh di kota (40.6%) berpendidikan SMP. Sementara itu, contoh di desa tersebar pada tingkat SD (37.5%) dan tingkat SMP (34.4%).

Berdasarkan persentase yang didapat, sebanyak 40.6% responden di kota dan 56.2% responden di desa termasuk dalam kategori pengetahuan sedang. Rata-rata pengetahuan MSG responden di kota (68.4 ± 16.7) lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengetahuan responden di desa (60.6 ± 16.8). Hampir sebagian besar responden di kota (81.2%) dan di desa (71.9%) memiliki sikap kategori kurang terhadap penggunaan MSG. Rata-rata sikap terhadap


(6)

penggunaan MSG responden di kota (51.9 ± 6.4) lebih rendah dibandingkan rata-rata sikap responden di desa (55.3 ± 7.3). Lebih dari setengah responden di kota (78.1%) maupun desa (84.4%) menggunakan MSG. Jenis produk mengandung MSG yang paling banyak digunakan responden baik di kota maupun di desa adalah produk makanan porsi instan dengan rata-rata frekuensi 11.3 kali/bulan di kota dan 12.8 kali/bulan di desa.

Berdasarkan uji korelasi Spearman, didapatkan adanya hubungan nyata

antara variabel pengetahuan tentang MSG dengan umur pada contoh di kota (r=-0.376; p= 0.034), pengetahuan tentang MSG dengan tingkat pendidikan contoh di kota (r= 1.000; p= 0.005), pengetahuan dengan sikap terhadap penggunaan MSG responden di kota (r= -0.371; p= 0.037) dan sikap responden dengan praktik penggunaan MSG di desa(r= 0.367; p= 0.043).