Regulasi Etilen dalam Respon Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench.] terhadap Cekaman Defisiensi P dan Toksisitas Al

REGULASI ETILEN DALAM RESPON TANAMAN SORGUM
[Sorghum bicolor (L.) Moench.] TERHADAP CEKAMAN
DEFISIENSI P DAN TOKSISITAS Al

NURUL FAUZIAH

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Regulasi Etilen dalam
Respon Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench.] terhadap Cekaman
Defisiensi P dan Toksisitas Al adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Nurul Fauziah
NIM A24090001

ABSTRAK
NURUL FAUZIAH. Regulasi Etilen dalam Respon Tanaman Sorgum [Sorghum
bicolor (L.) Moench.] terhadap Cekaman Defisiensi P dan Toksisitas Al. Dibimbing
oleh DIDY SOPANDIE dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Pemahaman mengenai mekanisme toleransi sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] terhadap toksisitas alumunium (Al) dan defisiensi (P) sangat diperlukan
untuk mendukung program pemuliaan sorgum toleran tanah masam. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari peran etilen dalam respon sorgum terhadap
toksisitas Al dan defisiensi P. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan
Cikabayan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2013. Penelitian ini terdiri atas
dua percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk mengetahui konsentrasi etepon
yang dapat membedakan akumulasi Al antara genotipe Numbu (toleran) dan B69
(peka) menggunakan perwarnaan haematoxylin pada ujung akar. Bibit genotipe

Numbu dan B69 ditanam secara hidroponik dalam kultur hara yang mengandung 0
dan 74 µM AlCl3 selama dua hari dengan empat taraf konsentrasi etepon yaitu 0,
12.5, 25 dan 50 ppm. Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa konsentrasi etepon
yang dapat membedakan akumulasi Al antara tanaman sorgum toleran dan peka
terhadap toksisitas Al adalahn 12.5 ppm. Percobaan kedua disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor
pertama merupakan ketersediaan P dan toksisitas Al yang terdiri atas empat taraf,
yaitu P-rendah (0.001 mM KH2PO4), P-cukup (0.1 mM KH2PO4), P-rendah + 74
µM AlCl3, dan P-cukup + 74 µM AlCl3. Faktor kedua merupakan penambahan
regulator etilen yang terdiri atas tiga taraf, yaitu kontrol (tanpa penambahan
regulator etilen), prekursor etilen (12.5 ppm etepon), dan inhibitor aksi etilen (0.6
µM AgNO3). Genotipe Numbu dan B69 ditanam secara hidroponik dalam kultur
hara selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Numbu, genotipe toleran
tanah masam, tidak dipengaruhi oleh ketersediaan P dan toksisitas Al. Sebaliknya,
P-rendah dan toksisitas Al menurunkan panjang akar dan tajuk, serta bobot basah
tajuk dan akar B69 yang merupakan genotipe peka tanah masam. Perubahan
panjang akar akibat aplikasi etilen maupun inhibitor aksi etilen pada genotipe
Numbu mengindikasikan bahwa genotipe Numbu lebih responsif terhadap etilen
dibandingkan genotipe B69. Penghambatan aksi etilen pada kondisi P-rendah dan
toksisitas Al menyebabkan hambatan pertumbuhan pada genotipe B69. Hasil

penelitian ini mengindikasikan bahwa perbedaan toleransi terhadap tanah masam
antara genotipe Numbu dan B69 disebabkan oleh perbedaan respon kedua genotipe
tersebut terhadap etilen.
Kata kunci: cekaman abiotik, defisiensi P, etilen, sorgum, toksisitas Al

ABSTRACT
NURUL FAUZIAH. Role of Ethylene in Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench.]
Responses to Phosphorus Deficiency and Aluminium Toxicity Stresses. Supervised
by DIDY SOPANDIE and SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Understanding the tolerance mechanism of sorghum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] to aluminium (Al) toxicity and phosphorus (P) deficiency is of high
importance to assists breeding program of acid soil-tolerant sorghum. The objective
of this research was to study the role of ethylene in the response of sorghum to Al
toxicity and P deficiency. This research was conducted in Cikabayan Experimental
Field from March to June 2013. This research consisted of two experiments. The
first experiment was aimed to determine etephon concentration that could
distinguished Al accumulation in the root of Numbu (toleran) and B69 (sensitive)
genotypes by haematoxylin staining. The Numbu and B69 seedlings were grown
hydroponically for two days in the nutrient solutions containing 0 and 74 µM AlCl3,
and different levels of etephon concentrations (i.e. 0, 12.5, 25 and 50 ppm). The

first experiment result showed that under 74 µM AlCl3, 12.5 ppm etephon could
distinguished the Al accumulation in Numbu and B69 root tip. The second
experiment was arranged in randomized completely block design with two factors
and three replications. The first factor was P availability and Al toxicity, consisted
of four levels i.e. low-P (0.001 mM KH2PO4), sufficient-P (0.1 mM KH2PO4), lowP + 74 µM AlCl3, and sufficient-P +74 µM AlCl3. The second factor was the
exogenous application of ethylene regulator, consisted of three levels i.e. control
(without ethylene regulator), ethylene precursor (12.5 ppm ethepon), and ethylene
action inhibitor (0.6 µM AgNO3). Two sorghum genotypes (Numbu and B69) were
grown hydroponically for 14 days. The results showed that Numbu, the acid soil
tolerant genotype, was less affected by the P-availability and Al toxicity. In contrast,
low-P and Al toxicity significantly decreased root- and shoot length, and shoot- and
root-fresh weight of B69, the acid soil sensitive genotype. Application of exogenous
ethylene significantly decreased root length, while application of ethylene action
inhibitor significantly increase root length in Numbu genotype but not in B69
genotype, indicating that Numbu was more responsive to ethylene. Inhibition of
ethylene action under low-P and Al toxicity caused growth inhibition in B69
genotype. Taken together our results imply that the different tolerance to acid soil
of Numbu and B69 genotype might be caused by the different responsiveness to
ethylene.
Key words: abiotic stress, Al-toxicity, ethylene, phosphorus deficiency, sorghum


REGULASI ETILEN DALAM RESPON TANAMAN SORGUM
[Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP CEKAMAN
DEFISIENSI P DAN TOKSISITAS Al

NURUL FAUZIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Regulasi Etilen dalam Respon Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor

(L.) Moench.] terhadap Cekaman Defisiensi P dan Toksisitas Al
Nama
: Nurul Fauziah
NIM
: A24090001

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr
Pembimbing I

Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juni 2013 di
Kebun Pecobaan Cikabayan IPB ini ialah defisiensi P dan toksisitas Al, dengan
judul Regulasi Etilen dalam Respon Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench.] terhadap Cekaman Defisiensi P dan Toksisitas Al. Penelitian ini didanai
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan
Nasional melalui hibah Penelitian Unggulan Strategi T.A. 2012.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Didy Sopandie dan
Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie selaku pembimbing skripsi serta Bapak Dr Ir Agus
Purwito selaku pembimbing akademik dan Ibu Dr Ir Tri Koesoemaningtyas selaku
pemberi saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Joko Mulyono
laboran Micro Technique Laboratory dan Ibu Ismiyanti, SP laboran Molecular
Marker and Spectrophotometry UV-VIS Laboratory serta Pak Mamat yang telah
mebantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, teman-teman Agronomi dan Hortikultura 46
(SOCRATES) serta teman-teman OMDA Bima, atas segala doa dan kasih
sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Nurul Fauziah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Tanaman Sorgum


2

Lahan Kering Bertanah Masam

3

Mekanisme Toleransi terhadap Tanah Masam

3

Etilen

4

METODE

4

Tempat dan Waktu


4

Bahan dan Alat

4

Pelaksanaan 5
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN

7
8

Percobaan 1 Penentuan konsentrasi prekursor etilen yang dapat membedakan
akumulasi Al pada akar genotipe toleran dan peka
8
Percobaan 2 Peran etilen dalam mekanisme adaptasi fisiologi genotipe sorgum
dengan toleransi berbeda terhadap cekaman defisiensi P dan
toksisitas Al yang terjadi di tanah masam
9
SIMPULAN

16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata panjang akar dan tinggi tajuk genotipe Numbu dan B69 pada
konsentasi P dan Al yang berbeda dalam larutan hara
2 Rata-rata bobot basah dan bobot kering genotipe Numbu dan B69 pada
konsentasi P dan Al yang berbeda dalam larutan hara
3 Rata-rata kerapatan stomata, klorofil total, karotenoid dan antosianin
daun genotipe Numbu dan B69 pada konsentasi P dan Al yang berbeda
dalam larutan hara pada 14 HSP
4 Rata-rata panjang akar dan tinggi tajuk genotipe Numbu dan B69 pada
penambahan regulator etilen dalam larutan hara
5 Rata-rata bobot basah dan bobot kering genotipe Numbu dan B69 pada
penambahan regulator etilen dalam larutan hara pada 14 HSP
6 Rata-rata kerapatan stomata, klorofil total, karotenoid dan antosianin
daun genotipe Numbu dan B69 pada penambahan regulator etilen
dalam larutan hara

10
12

12
13
15

15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Pelaksanaan penanaman bibit sorgum dalam kultur hara
Suhu dan kelembaban udara harian rumah kaca selama penelitian
Pola akumulasi Al pada ujung akar dengan pewarnaan hematoxylin
Keragaan bibit sorgum pada kondisi kontrol (tanpa regulator etilen)
Keragaan bibit sorgum pada kondisi P-rendah dan ditambahkan Al

5
8
9
11
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis ragam genotipe Numbu pada parameter agronomi
20
2 Hasil analisis ragam genotipe B69 pada parameter agronomi
21
3 Hasil analisis ragam genotipe Numbu dan B69 pada parameter fisiologi 22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu alternatif pemecahan masalah pemenuhan kebutuhan pangan
adalah diversifikasi pangan. Mencari alternatif sumber pangan utama selain beras
menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] merupakan tanaman pangan yang banyak dibudidayakan di seluruh dunia
dan dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan dan bahan baku industri bioetanol
(Henzell dan Jordan 2009). Tanaman sorgum sangat potensial sebagai bahan
pangan utama karena selain sebagai sumber karbohidrat, sorgum memiliki
kandungan protein, kalsium dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding beras dan
jagung (DEPKES RI 1992). Sorgum juga potensial dikembangkan sebagai bahan
baku industri bioetanol. Produktivitas bioetanol dari sorgum dapat mencapai 8.4 L
ha-1 tahun-1 (Ditjen Tanaman Pangan 2007).
Produktivitas sorgum yang berkisar antara 2.5-6.0 ton ha-1, merupakan yang
tertinggi ke-5 di dunia setelah gandum, padi, jagung, barley, namun di tingkat petani
produktivitas sorgum masih jauh di bawah potensi hasil penelitian, yaitu antara
0.37-1.80 ton ha-1 (Sirappa 2003). Produktivitas sorgum tertinggi pada tahun 2010
adalah sebesar 8.7 ton ha-1 dicapai di Amerika Serikat (FAO 2011). Sebagai
alternatif sumber pangan utama, keunggulan sorgum adalah memiliki daya adaptasi
yang baik pada berbagai agroekologi termasuk pada lahan kering. Luas lahan kering
di Indonesia mencapai 148 juta ha, dimana 69.46% (102.8 juta ha) dari lahan kering
tersebut merupakan lahan kering bertanah masam (Mulyani et al. 2009). Lahan
bertanah masam mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah, yang menjadi
kendala dalam produksi tanaman, akibat tingginya konsentrasi Al, terutama Al3+.
Selain cekaman Al, kendala produksi di lahan bertanah masam adalah defisiensi P
akibat terikatnya P oleh Al yang menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi
tanaman (Agustina 2011).
Strategi untuk meningkatkan produktivitas sorgum di lahan bertanah masam
adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh pemahaman
tentang aspek fisiologi adaptasi tanaman. Pemahaman tentang mekanisme toleransi
tanaman sorgum terhadap keracunan Al dan defisiensi P pada tanah masam dapat
membantu meningkatkan efektivitas seleksi galur-galur sorgum toleran tanah
masam. Etilen, hormon tanaman berbentuk gas, telah diketahui terlibat erat dalam
respon tanaman terhadap cekaman abiotik (Chen et al. 2005). Etilen berperan dalam
lintasan respon pada beberapa tanaman, misalnya terhadap cekaman defisiensi
kalium (Jung et al. 2009) dan kondisi hipoxia (Peng et al. 2005) pada tanaman
Arabidopsis, cekaman salinitas pada tanaman Arabidopsis thaliana (Cao et al.
2007), cekaman defisiensi fosfor pada tanaman jagung (He et al. 1992), dan
terhadap cekaman defisiensi nitrogen pada biji tanaman sesawi (Iqbal et al. 2011).
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran etilen dalam
mekanisme adaptasi fisiologi genotipe sorgum dengan toleransi berbeda terhadap
cekaman defisiensi P dan toksisitas Al yang terjadi di tanah masam. Secara khusus

2
penelitian ini bertujuan mengetahui konsentrasi prekursor etilen (etepon) yang
dapat membedakan akumulasi Al pada akar genotipe toleran dan peka dan
mempelajari regulasi etilen dalam respon tanaman sorgum terhadap cekaman
defisiensi P dan toksisitas Al.
Hipotesis
1. Terdapat konsentrasi prekursor etilen (etepon) yang dapat membedakan genotipe
sorgum toleran dan peka terhadap toksisitas Al melalui uji pewarnaan
haematoxylin
2. Terdapat perbedaan respon genotipe sorgum toleran dan peka terhadap toksisitas
Al dan ketersediaan P
3. Terdapat perbedaan respon genotipe sorgum toleran dan peka terhadap aplikasi
regulator etilen secara eksogen

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sorgum
Tanaman sorgum merupakan tanaman gramine yang memiliki taksonomi:
kingdom Plantae; sub kingdom Tracheobionta, super divisi Spermatophyta; divisi
Magnoliophyta; kelas Liliopsida; sub kelas Commelinidae; ordo Cyperales; famili
Poaceae; genus Sorghum; spesies Sorghum bicolor (Simon 2003). Sorgum
memiliki keragaman genetik yang luas dengan karakter utama toleran terhadap
suhu tinggi dan kekeringan (Poehlman dan Sleper 1995). Tinggi tanaman sorgum
bervariasi antara 0.6-4.5 m. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang
ruas batang, panjang tangkai malai dan panjang malai. Daun sorgum bervariasi
dengan jumlah antara 7-24 helai, panjang berkisar 0.3-1.4 m dan lebar berkisar 113 cm (Dicko et al. 2006). Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan
banyak bunga pada setiap malai sekitar 1 500-4 000 bunga. Bunga sorgum akan
mekar teratur dari cabang malai paling atas sampai bawah. Malai sorgum memiliki
tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran panjang atau pendek dan berbentuk
kompak sampai terbuka (Poehlman dan Sleper 1995; Dicko et al. 2006). Tanaman
sorgum merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan peluang menyerbuk silang
sekitar 6% (Poehlman dan Sleper 1995).
Tanaman sorgum sangat potensial sebagai sumber karbohidrat (DEPKES RI
1992). Sebagai sumber pangan, sorgum dikonsumsi dalam bentuk roti, bubur,
minuman, berondong dan kripik (Dicko et al. 2006). Tanaman sorgum juga dapat
dimanfaatkan sebagai pakan. Biji sorgum sebagai pakan ternak unggas, sedangkan
batang dan daun tanaman sorgum sebagai pakan ternak ruminansia. Tanaman
sorgum dapat dikonversi menjadi bahan bakar karena batangnya mengandung gula
yang dapat difermentasi menjadi bioetanol. Pengembangan sorgum sebagai sumber
bahan bakar alternatif telah dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat,
India dan Cina (BATAN 2011).
Numbu merupakan varietas nasional sorgum yang dilepas pada 22 Oktober
2001, berasal dari India dengan umur berbunga 50% sekitar 69 hari dan umur panen

3
berkisar 100-105 hari. Sorgum varietas Numbu memiliki bobot 1 000 biji 36-37 g,
dengan rata-rata hasil 3.11 ton ha-1, potensi hasil 4-5 ton ha-1, tahan rebah dan tahan
hama aphis, penyakit karat serta bercak daun. Kadar protein 9.12%, kadar lemak
3.94% dan kadar karbohidrat 84.58% (BPTS 2011). Sorgum varietas Numbu
tergolong toleran terhadap tanah masam. Produktivitas sorgum varietas Numbu di
daerah Tenjo Kabupaten Bogor (pH 4.4-4.3, Al-dd 11.2 me (100 g)-1) dapat
mencapai 67-118 g tanaman-1, sedangkan produktivitas B69 hanya berkisar 56-98
g tanaman-1 (Agustina 2011).
Sorgum dapat ditanam di lahan sawah dan tegalan. Daerah asal tanaman
sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya ditemukan di Afrika dan hingga
saat ini 90% luas lahan pertanaman sorgum berada di wilayah Afrika dan Asia
(Acquaah 2007).
Lahan Kering Bertanah Masam
Tanah di lingkungan tropika basah pada umunya bersifat masam dan
merupakan ciri khas sebagian besar wilayah di Indonesia. Tanah jenis ini tersebar
di beberapa daerah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera
terdapat sekitar 21 juta ha, Kalimantan 15.5 juta ha dan Jawa 2 juta ha (Van et al.
1992). Iklim tropika basah di Indonesia dengan curah hujan tinggi dapat
mengakibatkan pencucian, sehingga menyebabkan kesuburan tanah rendah,
kandungan Al dapat ditukar (Al-dd) dan kapasitas retensi P tinggi, kandungan
nitrogen yang rendah, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, serta keracunan Al di
lapisan bawah (Hairiah et al. 2000).
Pengelolaan kesuburan di tanah masam diarahkan untuk menurunkan
kemasaman tanah, menambah hara dan menekan tingkat kejenuhan Al. Teknologi
untuk meningkatkan kesuburan tanah masam yang dapat diterapkan antara lain
pemupukan berimbang, pengelolaan hara P, pengapuran serta pemberian bahan
organik (Puslittanak 2000). Aluminium dapat mempengaruhi tanaman secara
morfologis dan fisiologis. Gejala umum yang ditemukan akibat cekaman Al adalah
terjadinya klorosis, defisiensi nutrisi dan tanaman menjadi kerdil (Taiz dan Zeiger
2002). Respon morfologi nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya penebalan
pada ujung akar dan akar cabang (Matsumoto et al. 2003).
Mekanisme Toleransi terhadap Tanah Masam
Pengaruh cekaman Al3+ tidak sama pada setiap spesies, bahkan pada
tanaman dalam satu spesies. Perbedaan tersebut menunjukan adanya mekanisme
toleransi yang berbeda pada setiap tanaman dalam mengatasi cekaman. Mekanisme
toleransi terhadap toksisitas Al antara lain adalah ekslusi Al di membran akar, KTK
dinding sel rendah, alkalisasi di daerah perakaran, proteksi ujung akar oleh
mucilage dan efluks Al (Marschner 1995). Respon fisiologi yang terjadi pada
kondisi toksisitas Al pada beberapa spesies adalah pembentukan kompleks Al-asam
organik dan peningkatan kandungan asam organik pada akar tanaman dengan cara
Al mengaktivasi kerja enzim yang berperan dalam biosintesis asam organik dan
adanya asam organik yang ditransportasikan dari batang menuju akar (Matsumoto
et al. 2003). Selain cekaman Al, pada tanah masam terjadi defisiensi P. Secara
umum adaptasi tanaman terhadap defisiensi P dicapai melalui mekanisme

4
peningkatan penyerapan dan efisiensi penggunaan. Peningkatan penyerapan
dicapai melalui perbedaan morfologi (pertumbuhan dan distribusi, diameter,
rambut akar), fisiologi akar (sistem penyerapan dan mobilisasi P pada rizosfir) dan
efisiensi penggunaan yang dicapai melalui mobilisasi P dalam tanaman (Rao et al.
1999).
Etilen
Etilen merupakan zat pengatur tumbuh berupa gas dalam suhu ruang dengan
struktur kimia paling sederhana (Abeles 1973). Biosintesis etilen dimulai dari
pengubahan metionin menjadi S-adenosil metionin (SAM) yang menggunakan
energi berbentuk ATP, selanjutnya SAM dikonversi menjadi 1-amino
siklopropana-1-asam karboksilat (ACC) oleh enzim ACC-sintase sebagai
katalisator. Konversi ACC menjadi etilen merupakan tahap akhir yang berlangsung
secara oksidatif dan dikatalisis oleh enzim ACC-oksidase (McKeon et al. 1995).
Tanggap tanaman secara umum dalam mengalami cekaman adalah dengan
meningkatkan kadar etilen dalam jaringan. Cekaman dapat berupa cekaman
genangan, suhu rendah, kekeringan, cekaman kimia, cekaman mekanis, pelukaan
dan radiasi (Wang et al. 1990). Peran etilen dalam lintasan respon terhadap
beberapa cekaman abiotik telah dilaporkan, misalnya pada cekaman defisiensi P
(he et al. 1992), hipoxia (Peng et al. 2005), defisiensi kalium (Jung et al. 2009),
cekaman salinitas (Cao et al. 2007) dan defisiensi nitrogen (Iqbal et al. 2011).

METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan,
Laboratorium Micro Technique, Molecular Marker and Spectrophotometry UV-VIS,
mulai bulan Maret sampai Juni 2013, Departemen Agronomi dan Horikultura,
Fakultas Pertanian, IPB.
Bahan dan Alat
Bahan tanam yang digunakan adalah benih genotipe sorgum toleran
(Numbu, varietas nasional) dan peka (B69, galur mutan) terhadap cekaman tanah
masam, aquades, prekursor etilen (etepon), inhibitor aksi etilen (AgNO3) dan AlCl3.
Komposisi larutan hara yang digunakan mengacu pada Ohki (1987), yaitu 0.24 mM
NH4NO3, 0.03 mM (NH4)2SO4, 0.088 mM K2SO4, 0.38 mM KNO3, 1.27 mM
Ca(NO3)2.4H2O, 0.27 mM Mg(NO3)2.4H2O, 0.14 mM NaCl, 6.6 µM H3BO3, 5.1 µM
MnSO4.4H2O, 0.61 µM ZnSO4.7H2O, 0.16 µM CuSO4.5H2O, 0.1 µM Na2Mo7.7H2O, 45
µM FeSO4.7H2O-EDTA. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah
tanam, styrofoam, mesin dan selang aerator, pH meter dan EC meter, mikroskop
dan timbangan analitik.

5
Pelaksanaan
Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan yaitu (1) penentuan konsentrasi
prekursor etilen (etepon) dan (2) regulasi etilen dalam respon tanaman sorgum
terhadap defisiensi P dan toksisitas Al. Percobaan 1 disusun berdasarkan rancangan
kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor, dengan konsentrasi AlCl3 sebagai
faktor pertama dan konsentrasi etepon sebagai faktor kedua. Media tanam yang
digunakan pada Percobaan 1 adalah larutan hara (Ohki 1987) yang mengandung 0.1
mM KH2PO4 dengan dua taraf konsentrasi Al yaitu 0 dan 74 µM AlCl3. Konsentrasi
etepon terdiri atas empat taraf yaitu kontrol (0), 12.5, 25, 50 ppm. Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan setiap unit percobaan terdiri dari satu pot
berisi 2 L larutan hara dengan lima tanaman dan dipelihara selama 48 jam.
Benih sorgum yang disemai pada media arang sekam hingga berumur 7 hari
setelah tanam (HST) kemudian dipindahkan pada kultur hara dengan memilih bibit
yang panjang akarnya seragam. Penanaman dilakukan dengan cara memisahkan
bibit dari media tanam, mencuci akar hingga bersih dan melepaskan benih yang
masih menempel. Pangkal bibit kemudian dibungkus dengan busa lunak dan
diapungkan pada media kultur menggunakan styrofoam. Media tanam disiapkan
dengan mengisi larutan hara sebanyak 2 L setiap pot dan menambahkan NaOH 1
M atau HCl 1 M untuk mencapai pH 4.0±1. Penambahan 74 µM AlCl3 dan
prekursor etilen ke dalam larutan hara sesuai perlakuan dilakukan pada saat pindah
tanam bibit ke kultur hara. Larutan hara diberi aerasi agar Al dan hara tidak
mengendap. Aquades ditambahkan agar jumlah larutan tetap dan pH dikontrol
selama tanaman dipelihara menggunakan pH meter portable AD-110 (Gambar 1).

Gambar 1 Pelaksanaan penanaman bibit dalam media kultur hara
Pengamatan pada Percobaan 1 dilakukan dengan uji pewarnaan
haematoxylin. Secara teknis metode pewarnaan haematoxylin pada percobaan ini

6
menggunakan prosedur Polle et al. (1990). Akar tanaman yang telah ditumbuhkan
pada kultur hara dengan perlakuan Al selama 48 jam dicuci dengan aquades untuk
menghilangkan Al yang masih menempel di mucilage. Akar kemudian dicelupkan
ke dalam larutan hematoxylin 2 mg L-1 selama 60 menit kemudian dicuci kembali
dengan aquades. Pengamatan akumulasi Al pada ujung akar dengan membuat
sediaan mikroskopis akar. Akar bibit diambil dari setiap perlakuan yang telah
diwarnai dengan larutan haematoxylin. Akumulasi Al ditandai dengan ujung akar
berwarna biru gelap yang diamati menggunakan mikroskop stereo.
Percobaan 2 terdiri atas 2 sub percobaan, yaitu pada genotipe Numbu dan
B69. Setiap sub percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap
teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama merupakan ketersediaan fosfor
(P) dan toksisitas Al yang terdiri atas empat taraf yaitu P-rendah, P-cukup, P-rendah
+ 74 µM AlCl3 dan P-cukup + 74 µM AlCl3. Perlakuan P-rendah mengandung 0.001
mM KH2PO4, sedangkan perlakuan P-cukup mengandung 0.1 mM KH2PO4. Faktor
kedua merupakan penambahan regulator etilen secara eksogen yang terdiri atas tiga
taraf, yaitu kontrol (tanpa penambahan regulator etilen), 12.5 ppm etepon dan 0.6
µM AgNO3. Etepon merupakan prekursor etilen yang dapat diaplikasikan secara
eksogen (Watanabe et al. 2007), sedangkan AgNO3 merupakan inhibitor aksi etilen
(He et al. 1992). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan setiap unit
percobaan terdiri dari satu pot berisi 2 L larutan hara dengan lima tanaman.
Prosedur persiapan dan penanaman bibit sama dengan prosedur pada Percobaan 1.
Pengamatan pertumbuhan pada percobaan 2 dilakukan terhadap parameter
agronomi dan parameter fisiologi, pengamatan data lingkungan dilakukan pada
parameter suhu dan kelembaban udara lingkungan rumah kaca dan parameter pH
dan EC larutan hara pada media tanam.
A. Parameter agronomi. Pengamatan panjang akar dan tinggi tajuk dilakukan pada
7 dan 14 hari setelah perlakuan (HSP), bobot basah tajuk dan akar serta bobot
kering tajuk dan akar dilakukan pada 14 HSP.
1. Panjang akar (cm). Pengamatan panjang akar diukur dengan menggunakan
penggaris dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang.
2. Tinggi tajuk (cm). Pengamatan tinggi tajuk bibit dengan mengukur dari
pangkal tanaman (pada permukaan media) sampai bagian ujung daun bibit
tertinggi.
3. Bobot basah tajuk (g). Pengamatan bobot basah tajuk dilakukan dengan
menimbang tajuk menggunakan timbangan analitik.
4. Bobot basah akar (g). Pengamatan bobot basah akar dilakukan dengan
menimbang akar menggunakan timbangan analitik.
5. Bobot kering tajuk (g). Pengamatan bobot kering tajuk dilakukan dengan
menimbang tajuk setelah dikeringkan menggunakan oven selama 72 jam pada
suhu 60 oC.
6. Bobot kering akar (g). Pengamatan bobot kering akar dilakukan dengan
menimbang akar setelah dikeringkan menggunakan oven selama 72 jam pada
suhu 60 oC.

7
B. Parameter fisiologi. Pengamatan kerapatan stomata dan kandungan klorofil daun,
antosianin serta karotenoid pada 14 HSP.
1. Kerapatan stomata (per mm)2. Pengambilan sampel stomata dilakukan
dengan cara mengoleskan cat kuku bening pada daun kedua bagian bawah,
dibiarkan sampai kering kemudian dilapisi dengan isolasi bening sehingga
memudahkan pengambilan sampel. Sampel stomata dilepaskan dari daun dan
ditempelkan pada kaca preparat. Sampel stomata diamati pada mikroskop
perbesaran 40X dengan menghitung jumlah stomata yang terlihat. Jumlah
stomata yang diperoleh kemudian dihitung kerapatannya menggunakan
rumus sebagai berikut:
Jumlah stomata pada bidang pandang
Luas bidang pandang*
*Diameter bidang pandang (40x)= 5x10ˉ¹mm
luas bidang pandang= ¼πd² = ¼ (3.14) (0.5)² = 0.19625 mm²
2. Kandungan klorofil daun. Analisis kandungan klorofil, antosianin dan
karotenoid dengan alat spektrofotometer UV menggunakan metode Sims dan
Gamon (2002).
C. Pengamatan data lingkungan
1. Suhu (oC) dan kelembaban (%). Pengamatan ini dilakukan dengan mengukur
suhu dan kelembaban udara rata-rata harian di dalam rumah kaca pada pukul
08.00, 12.00 dan 16.00 WIB. Pengukuran dilakukan menggunakan termohygrometer bola basah-bola kering. Data suhu dan kelembaban yang
diperoleh kemudian dibuat menjadi rata-rata suhu dan kelembaban harian.
Pengukuran suhu rata-rata harian dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut (Handoko 1993):
Trata-rata harian= (T08.00+(2 T12.00)+T16.00)/4
T08.00= suhu pada pengamatan pukul 08.00
T12.00= suhu pada pengamatan pukul 12.00
T16.00= suhu pada pengamatan pukul 16.00
2. pH dan EC larutan hara pada media. Kondisi larutan hara pada media
dimonitor dengan mengukur pH menggunakan pH meter portable AD-110
dan EC menggunakan EC meter portable AD-310 setiap hari.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F dengan perangkat lunak
SAS 9.1.3. Jika terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut menggunakan
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum suhu rata-rata di dalam rumah kaca pada bulan April hingga
Juni 2013 adalah 29oC, dengan suhu maksimum pada bulan April adalah 31oC dan
suhu minimum pada bulan Juni minggu ke-2 adalah 28oC (Gambar 2A).
Kelembaban udara rata-rata adalah 70%, dengan kelembaban udara maksimum
pada bulan Juni minggu ke-2 adalah 77% dan kelembaban minimum pada bulan
April adalah 67% (Gambar 2B). Menurut Dicko et al. (2006) tanaman sorgum dapat
tumbuh baik pada kisaran suhu 20-30 oC dan kelembaban udara yang rendah, oleh
karena itu suhu lingkungan pada penelitian ini sesuai dengan syarat tumbuh sorgum.

A

B
Kelembaban udara
harian (%)

Suhu rata-rata
harian (oC)

31
30
29
28
27
14 21 32 43 54 61 27 38
April
Mei
Juni

80
75
70
65
60
14 21 32 34 45
April
Mei

16

27 38
Juni

Gambar 2 Suhu rata-rata harian rumah kaca (A) dan kelembaban udara rata-rata
harian rumah kaca (B) lingkungan saat penelitian

Percobaan 1 Penentuan konsentrasi prekursor etilen yang dapat
membedakan akumulasi Al pada akar genotipe toleran dan peka
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui konsentrasi prekursor
etilen yang dapat membedakan akumulasi Al pada akar genotipe toleran dan peka.
Tanaman akan melakukan akumulasi Al pada ujung-ujung akar pada saat tercekam
Al. Akumulasi Al pada konsentrasi prekusor etilen (etepon) 12.5 ppm,
menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan kondisi kontrol. Media yang tidak
ditambahkan Al, baik pada genotipe Numbu maupun genotipe B69 tidak
menunjukan adanya akumulasi Al pada ujung akar. Penambahan etepon 12.5 ppm
dalam media yang ditambahkan Al pada genotipe Numbu tidak terlihat adanya
akumulasi Al sedangkan pada genotipe B69 akumulasi Al terlihat jelas pada ujung
akar. Agustina (2011), menyatakan bahwa haematoxylin menunjukkan akumulasi
Al di ujung akar.
Gambar 3 di bawah ini menunjukkan hasil uji pewarnaan hematoxylin
terhadap tanaman sorgum genotipe Numbu dan B69 dengan penambahan prekusor
etilen (etepon) pada taraf yang berbeda dalam media kontrol (tanpa Al) dan
penambahan Al 74 µm AlCl3. Pada empat taraf penambahan etepon (0, 12.5, 25, 50
ppm), hasil perlakuan kontrol (tanpa etepon) tidak terdapat perbedaan akumulasi Al
antara genotipe Numbu dan B69 sedangkan penambahan 25 dan 50 ppm etepon

9
menunjukan hasil yang berbeda dengan kontrol yaitu pada media yang
ditambahkan Al dan tanpa Al, tidak terlihat adanya akumulasi Al yang disebabkan
oleh penambahan etepon dengan konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, konsentrasi
prekursor etilen 12.5 ppm (Gambar 3B) dapat digunakan sebagai regulator etilen
dalam Percobaan 2.

Gambar 3 Pola-pola akumulasi Al pada ujung akar bibit sorgum dengan
penambahan prekursor etilen pada taraf yang berbeda 0 ppm (A), 12.5
ppm (B), 25 ppm (C) dan 50 ppm (D).

Percobaan 2 Peran etilen dalam mekanisme adaptasi fisiologi genotipe
sorgum dengan toleransi berbeda terhadap cekaman defisiensi P dan
toksisitas Al yang terjadi di tanah masam
Berdasarkan hasil uji F, pengaruh faktor pertama (ketersediaan P dan
toksisitas Al) dan pengaruh faktor kedua (aplikasi regulator etilen) terhadap
pertumbuhan bibit sorgum Numbu dan B69 berpengaruh terhadap beberapa
parameter pertumbuhan. Akan tetapi, interaksi antara keduanya tidak berpengaruh
nyata terhadap seluruh parameter yang diamati. Hasil analisis ANOVA ditampilkan
pada Lampiran 1-3.

10
Pengaruh ketersediaan P dan Toksisitas Al terhadap Pertumbuhan
Bibit Sorgum Numbu dan B69
Panjang akar dan tinggi tajuk genotipe Numbu yang telah teridentifikasi
toleran tanah masam tidak dipengaruhi oleh ketersediaan fosfor (P) dan toksisitas
Al (74 µM) pada 7 dan 14 hari setelah perlakuan (HSP) (Tabel 1). Sebaliknya, pada
genotipe B69 yang telah teridentifikasi peka tanah masam, panjang akar dan tinggi
tajuk dipengaruhi oleh ketersediaan P dan toksisitas Al. Panjang akar genotipe B69
nyata lebih tinggi pada kondisi P-rendah (0.001 mM KH2PO4) dibandingkan pada
kondisi P-cukup (0.1 mM KH2PO4).
Steingrobe et al. (2001) melaporkan bahwa pada tanaman Hordeum vulgare,
cekaman defisiensi P memicu terjadinya pemanjangan akar. Pemanjangan akar
pada kondisi defisien P diduga merupakan mekanisme untuk meningkatkan
penyerapan P saat P kurang tersedia (Lambers et al. 2006). Hasil penelitian
Agustina (2011) menunjukkan bahwa genotipe B69 memiliki efisiensi penyerapan
P yang lebih tinggi dibandingkan genotipe Numbu pada tanah masam, namun
penyerapan P tersebut tidak berdampak pada peningkatan biomassa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penyerapan P yang lebih tinggi tidak selalu menghasilkan
tanaman yang lebih toleran pada kondisi cekaman tanah masam. Pemanjangan akar
pada kondisi defisien P ternyata dihambat oleh penambahan 74 µM AlCl3 ke dalam
media kultur pada genotipe B69 (Gambar 4), namun tidak pada genotipe Numbu.
Terhambatnya pertumbuhan akar oleh Al telah banyak dilaporkan (Delhaize dan
Ryan 1995) dan merupakan salah satu karakter yang membedakan taraf toleransi
tanaman terhadap toksisitas Al (Kochian 1995). Terhambatnya pertumbuhan akar
oleh Al mengakibatkan terhambatnya translokasi air dan hara, sehingga pada
akhirnya menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tajuk.

Tabel 1 Rata-rata panjang akar dan tinggi tajuk genotipe Numbu dan
B69 pada konsentrasi P dan Al yang berbeda dalam larutan
hara
Panjang akar (cm)a Tinggi tajuk (cm)a
Ketersediaan P dan Al
7 HSP
14 HSP
7 HSP
14 HSP
Numbu
P-cukup
11.19
13.97
20.56
43.67
P-cukup + Al
11.64
15.33
21.31
42.97
P-rendah
13.47
18.31
22.11
39.36
P-rendah + Al
12.69
17.21
19.42
33.86
B69
P-cukup
11.93
12.33b
17.84a
28.78a
P-cukup + Al
10.56
12.61b
16.70ab 27.79a
P-rendah
13.71
17.22a
18.93a
32.52a
P-rendah + Al
10.93
8.49c 13.14b
18.14b
a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama di tiap
genotipe menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada
taraf α = 5%; HSP = hari setelah perlakuan

11

Tinggi tajuk genotipe B69 nyata lebih rendah pada kondisi P-rendah dan
toksisitas Al dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk pada kondisi P-cukup dan
toksisitas Al (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada genotipe peka (B69),
kepekaan terhadap Al sangat dipengaruhi oleh ketersediaan P dalam larutan hara.
Kepekaan genotipe B69 menunjukkan pertumbuhan yang terhambat yang
disebabkan oleh defisiensi P dan toksisitas Al (Gambar 4).

Gambar 4

Keragaan bibit sorgum genotipe Numbu dan B69 dalam kultur hara
pada kondisi kontrol (tanpa regulator etilen), dengan P-rendah = 0.001
mM KH2PO4; P-cukup = 0.1 mM KH2PO4; P-rendah + 74 µM AlCl3;
P-cukup + 74 µM AlCl3. Garis = 10 cm

Bobot basah dan bobot kering tajuk dan akar genotipe Numbu juga tidak
dipengaruhi oleh ketersediaan P dan toksisitas Al (Tabel 2). Genotipe Numbu masih
dapat melangsungkan pertumbuhan dan akumulasi biomassa secara normal pada
kondisi defisien P dan toksisitas Al selama 14 hari, sebaliknya bobot basah akar dan
tajuk genotipe B69 dipengaruhi oleh ketersediaan P dan toksisitas Al. Kondisi Prendah dan toksisitas Al (0.001 mM KH2PO4 + 74 µM AlCl3) menurunkan bobot
basah akar dan tajuk serta bobot kering tajuk genotipe B69 pada 14 HSP. Bobot
basah dan bobot kering akar genotipe B69 pada kondisi P-rendah tanpa toksisitas
Al lebih tinggi dibandingkan pada kondisi P-cukup tanpa toksisitas Al. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kapasitas pemanjangan akar pada kondisi defisien P pada
genotipe B69 mampu meningkatkan penyerapan P dan menunjang pertumbuhan
tanaman pada kondisi tersebut. Akan tetapi, genotipe B69 menjadi peka terhadap
toksisitas Al saat P tidak cukup tersedia. Hal ini menunjukkan besarnya hambatan
pertumbuhan pada genotipe peka akibat cekaman Al tinggi dan defisiensi P.
Menurut Ma et al. (2005) hambatan akumulasi biomassa pada kondisi tercekam Al
diduga disebabkan oleh kekurangan karbohidrat karena penyerapan dan transport
air maupun hara dari akar ke tajuk tanaman lebih sedikit.

12
Tabel 2

Rata-rata bobot basah dan bobot kering genotipe Numbu dan B69
pada konsentrasi P dan Al yang berbeda dalam larutan hara pada
14 HSP
Ketersediaan P dan Al
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
Bobot basah (g)a
Bobot kering (g)a
Numbu*
P-cukup
1.05
2.01
0.03
0.17
P-cukup + Al
0.89
1.81
0.03
0.16
P-rendah
1.04
1.62
0.05
0.16
P-rendah + Al
0.81
1.19
0.03
0.12
B69
P-cukup
0.72b
1.10a*
0.02b*
0.08a*
P-cukup + Al
0.58b
0.92a*
0.02b*
0.07ab*
P-rendah
1.05a
1.15a*
0.04a*
0.10a*
P-rendah + Al
0.31c
0.41b*
0.02b*
0.04b*
a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama di tiap genotipe
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%; *Data
ditransformasi dengan (x+0.5)1/2; HSP = hari setelah perlakuan

Walaupun menyebabkan hambatan pertumbuhan dan akumulasi biomassa
pada genotipe B69, kondisi P-rendah dan toksisitas Al tidak mempengaruhi
kerapatan stomata, kandungan klorofil total, karotenoid, dan antosianin daun pada
14 HSP (Tabel 3). Oleh karena itu, penghambatan pertumbuhan pada genotipe B69
pada kondisi kekurangan P dan toksisitas Al diduga bukan disebabkan oleh
gangguan pada kerapatan stomata, klorofil, karotenoid dan antosianin melainkan
karena gangguan pada pertumbuhan akar.
Tabel 3 Rata-rata kerapatan stomata, klorofil total, karotenoid, dan antosianin daun
genotipe Numbu dan B69 pada konsentrasi P dan Al yang berbeda dalam
larutan hara pada 14 HSP
Ketersediaan P dan Al
Numbu
P-cukup
P-cukup + Al
P-rendah
P-rendah + Al
B69
P-cukup
P-cukup + Al
P-rendah
P-rendah + Al

Kerapatan
stomata (mm2)

Klorofil total
(mg g-1)

Karotenoid
(mg g-1)

Antosianin*
(µmol g-1)

101.91
87.19
80.40
90.59

1.92
2.31
2.22
2.37

0.36
0.40
0.41
0.42

0.31
0.24
0.30
0.26

108.70
131.92
101.91
110.97

1.87
2.42
2.38
2.38

0.35
0.43
0.45
0.44

0.54
0.58
0.54
0.53

*Data ditransformasi dengan (x+0.5)1/2; HSP = hari setelah perlakuan

13
Pengaruh Etilen terhadap Pertumbuhan Bibit Sorgum Numbu dan B69
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon terhadap etilen ternyata
dipengaruhi oleh genotipe. Genotipe Numbu yang telah teridentifikasi toleran tanah
masam lebih responsif terhadap aplikasi regulator etilen secara eksogen. Hal
tersebut tampak dari penghambatan panjang akar genotipe Numbu pada aplikasi
12.5 ppm etepon, dan peningkatan panjang akar pada aplikasi inhibitor biosintesis
etilen yaitu 0.6 µM AgNO3 (Tabel 4). Penghambatan pemanjangan akar oleh etilen
(Guzman dan Ecker 1990) disebabkan oleh penghambatan pemanjangan sel akar,
dan bukan penghambatan dalam pembelahan sel akar (Ruzicka et al. 2007). Oleh
karena itu, tidak terjadinya penghambatan pemanjangan akar pada aplikasi etilen
secara eksogen pada genotipe B69 menunjukkan bahwa genotipe B69 kurang
responsif terhadap etilen.
Kemampuan genotipe Numbu untuk mempertahankan pertumbuhannya
pada kondisi tercekam, baik cekaman defisiensi P maupun toksisitas Al, diduga
disebabkan oleh kemampuan genotipe tersebut untuk mendetoksifikasi Al yang
memasuki jaringan tanaman dan menggunakan P secara efisien. Agustina (2011)
melaporkan bahwa genotipe B69 lebih efisien dalam menyerap P dari larutan hara
(misalnya dengan memanjangkan akar pada saat defisiensi P), sedangkan genotipe
Numbu lebih efisien dalam menggunakan P. Efisiensi penggunaan P (misalnya
translokasi P di dalam tanaman) dan detoksifikasi Al (misalnya kompartementasi
Al ke dalam vakuola, ekstrusi Al dari sitoplasma, atau kelatisasi Al di dalam
sitoplasma oleh asam organik) melibatkan lintasan sinyal yang kompleks. Pada
berbagai cekaman abiotik, lintasan sinyal tersebut dimediasi oleh kalsium (Ca2+)
(Mahajan et al. 2008), spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS)
(Bowler dan Fluhr 2000), dan hormon (misalnya ABA dan etilen) (Xiong dan
Ishitani 2006). Kapasitas tiap spesies tanaman untuk merespon cekaman abiotik
menggunakan suatu lintasan sinyal diduga berbeda-beda dan pada akhirnya
menentukan taraf toleransi atau kepekaan tanaman terhadap cekaman tertentu.
Tabel 4

Rata-rata panjang akar dan tinggi tajuk genotipe Numbu dan B69 pada
penambahan regulator etilen dalam larutan hara
Panjang akar (cm)a
Tinggi tajuk (cm)
Regulator etilen
7 HSP
14 HSP
7 HSP
14 HSP
Numbu
Kontrol
12.98
16.27ab
23.13
42.31
Etilen
11.50
13.46b
19.58
40.85
AgNO3
12.27
18.88a
19.83
36.73
B69
Kontrol
Etilen
AgNO3

a

10.35
12.30
12.69

13.14
11.08
13.77

18.68
16.03
15.26

27.73
25.68
27.00

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama di tiap genotipe menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%; HSP = hari setelah
perlakuan

14
Regulasi etilen pada respon tanaman sorgum terhadap cekaman defisiensi P
dan toksisitas Al belum dilaporkan. Fakta bahwa genotipe B69 tidak responsif
terhadap aplikasi etilen secara eksogen (Tabel 4), mengindikasikan bahwa
kepekaan reseptor etilen pada genotipe B69 lebih rendah dibandingkan genotipe
Numbu. Saat etilen dihambat dengan aplikasi AgNO3, reseptor etilen pada genotipe
Numbu diduga masih dapat diaktivasi oleh etilen sedangkan pada genotipe B69
tidak. Oleh karena itu, lintasan respon terhadap cekaman defisiensi P dan toksisitas
Al yang dikendalikan etilen pada genotipe B69 sangat terhambat dan berakibat pada
terhambatnya pertumbuhan tanaman. Peran etilen dalam respon terhadap cekaman
defisiensi P dan toksisitas Al tampak dari keragaan genotipe Numbu dan B69 pada
14 HSP. Aplikasi 0.6 µM AgNO3 secara eksogen pada kondisi P-rendah dan
toksisitas Al menekan pertumbuhan genotipe B69, namun tidak terlalu berpengaruh
terhadap genotipe Numbu (Gambar 5).

A

B

Gambar 5 Keragaan bibit sorgum genotipe Numbu (A) dan B69 (B) pada kultur
hara yang mengandung 0.001 mM KH2PO4 dan 74 µM AlCl3, dengan
aplikasi regulator etilen secara eksogen. Etepon = 12.5 ppm etepon;
AgNO3 = 0.6 µM AgNO3. Garis = 10 cm
Aplikasi 12.5 ppm etilen secara eksogen menyebabkan bobot basah tajuk
yang tidak berbeda dengan kondisi kontrol, namun nyata lebih tinggi dibandingkan
pada aplikasi 0.6 µM AgNO3, baik pada genotipe Numbu dan B69 (Tabel 5).
Walaupun aplikasi etilen meningkatkan bobot basah tajuk dan sebaliknya
penghambatan aksi etilen oleh AgNO3 menyebabkan penurunan bobot basah tajuk
pada kedua genotipe sorgum, aplikasi etilen maupun AgNO3 tidak mempengaruhi
bobot kering tanaman. Hal tersebut menunjukkan pentingnya etilen dalam proses
fisiologis tanaman, khususnya transport air. Kamaluddin dan Zwiazek (2002)
melaporkan bahwa aplikasi etilen secara eksogen meningkatkan transport air
melalui akar pada tanaman Populus tremuloides. Oleh karena itu, penghambatan
aksi etilen dengan aplikasi AgNO3 pada penelitian ini diduga menghambat transport
air pada tanaman sorgum dan menurunkan bobot basah tajuk pada 14 HSP.

15
Tabel 5 Rata-rata bobot basah dan bobot kering genotipe Numbu dan
B69 pada penambahan regulator etilen dalam larutan hara pada
14 HSP
Regulator etilen
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
a
Bobot basah (g)
Bobot kering (g)
Numbu*
Kontrol
1.03
1.68ab
0.04
0.16
Etilen
0.89
2.06a
0.03
0.18
AgNO3

0.92

1.22b

0.03

0.12

B69
Kontrol
Etilen

0.66
0.75

0.82ab*
1.15a*

0.02*
0.03*

0.07*
0.09*

AgNO3

0.59

0.72b*

0.02*

0.06*

a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama di tiap genotipe
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%;
*Data ditransformasi dengan (x+0.5)1/2

Aplikasi 12.5 ppm etepon dan 0.6 µM AgNO3 tidak berpengaruh terhadap
kerapatan stomata, namun menyebabkan penurunan kandungan klorofil dan
karotenoid daun pada genotipe Numbu, namun tidak pada genotipe B69 (Tabel 6).
Etilen telah dilaporkan dapat menyebabkan degradasi klorofil (Knee 1991) dan
karotenoid (Kang dan Burg 1972). Degradasi klorofil juga dilaporkan dapat
diinduksi oleh AgNO3 (Jiang et al. 2012). Hasil ini kembali mengindikasikan
bahwa genotipe Numbu lebih responsif terhadap etilen dibandingkan genotipe B69.
Tabel 6 Rata-rata kerapatan stomata, klorofil total, karotenoid, dan antosianin
daun genotpe Numbu dan B69 pada penambahan regulator etilen dalam
larutan hara pada 14 HSP
Kerapatan
Klorofil total Karotenoid Antosianin*
Regulator etilen
2
stomata (mm )
(mg g-1)a
(mg g-1)a
(µmol g-1)a
Numbu
Kontrol
82.80
2.55a
0.47a
0.29
Etilen
96.82
1.94b
0.35b
0.31
AgNO3
90.45
2.13b
0.39b
0.25
B69
Kontrol
Etilen
AgNO3
a

119.75
108.28
112.10

2.31
2.19
2.29

0.43
0.40
0.41

0.61a
0.47b
0.56ab

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama di tiap genotipe menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%; *Data ditransformasi
dengan (x+0.5)1/2; HSP = hari setelah perlakuan

Cekaman abiotik pada umumnya akan meningkatkan sintesis etilen
endogen pada tanaman sebagai salah satu mekanisme lintasan sinyal (Shin dan

16
Schachtman 2004). Etilen akan ditangkap oleh reseptor (misalnya ETR1, ethylene
response1) yang terletak pada membran retikulum endoplasma. Konformasi protein
ETR1 akibat menangkap etilen akan menginaktivasi suatu protein kinase bernama
CTR1 (constitutive triple response) dan mengaktivasi EIN2 (ethylene insensitive2)
suatu molekul transduksi sinyal. Aktifnya EIN2 akan menginduksi kerja faktor
transkripsi, misalnya EIN3 (ethylene insensitive3) (Chen et al. 2005). Faktor
transkripsi mengatur terekspresinya berbagai gen yang akan bekerja untuk
meminimalisir dampak cekaman pada tanaman. Sebagai contoh, ekspresi gen
AtHAK (Arabidopsis thaliana high affinity K+ uptake) yang berfungsi dalam
penyerapan K+ pada tanaman Arabidopsis thaliana diregulasi oleh etilen (Jung et
al. 2009), sehingga saat etilen dihambat tanaman tidak dapat mengekspresikan
AtHAK dan tidak dapat menyerap K+. Apabila tanaman tidak dapat mensintesis
etilen atau reseptor etilen pada tanaman tersebut gagal menangkap etilen secara
efisien pada saat terjadi cekaman, maka diduga tanaman tidak dapat
melangsungkan lintasan sinyal untuk mengatasi cekaman yang terjadi. Oleh karena
itu, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perbedaan toleransi terhadap
toksisitas Al dan defisiensi P antara genotipe Numbu dan B69 diduga disebabkan
oleh perbedaan respon kedua genotipe tersebut terhadap etilen.

SIMPULAN
Konsentrasi prekursor etilen yang dapat membedakan akumulasi Al antara
tanaman sorgum toleran dan peka terhadap toksisitas Al adalah 12.5 ppm.
Ketersediaan P dan toksisitas Al tidak mempengaruhi pertumbuhan bibit genotipe
Numbu yang merupakan genotipe toleran tanah masam, sebaliknya P-rendah dan
toksisitas Al menurunkan panjang akar dan tajuk, serta bobot basah akar dan tajuk
B69 yang merupakan genotipe peka tanah masam. Perubahan panjang akar akibat
aplikasi etilen maupun inhibitor aksi etilen menunjukkan bahwa genotipe Numbu
sangat responsif, sedangkan genotipe B69 kurang responsif terhadap etilen.
Penghambatan aksi etilen pada kondisi P-rendah dan toksisitas Al menyebabkan
hambatan pertumbuhan pada genotipe B69. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa perbedaan toleransi terhadap tanah masam antara genotipe Numbu dan B69
disebabkan oleh perbedaan respon kedua genotipe tersebut terhadap etilen.

DAFTAR PUSTAKA
Abeles FB. 1973. Ethylene in Plant Biology. New York (US): Academic Pr.
Agustina K. 2011. Fisiologi adaptasi sorgum (Sorghum bicolor L. Moench)
terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor di tanah masam
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Acquaah G. 2007. Principles of plant genetics and breeding. United Kingdom (UK):
Blackwell.

17
[BATAN] Badan Tenaga Atom Nasional. 2011. Mutasi dalam pemuliaan tanaman.
[Internet]
[diunduh
2013
Jan
28].
Tersedia
pada:
http://www.batan.go.id/patir/pert/pemuliaan/pemuliaan.html.
[BPTS] Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2011. Varietas Numbu Sorgum.
[Internet]
[diunduh
2013
Sept
04].
Tersedia
pada:
http://www.balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?opinion=com_c
ontent&view=article&id=117:numbu-sorgum&catid=47:databasegandum-dan –sorgum.
Bowler C, Fluhr R. 2000. The role of calcium and activated oxygens as signals for
controlling cross-tolerance. Trends Plant Sci. 5:241-246.
Cao WH, Liu J, He XJ, Mu RL, Zhou HL, Chen SY, Zhang JS. 2007. Modulation
of ethylene responses affects plant salt-stress responses. Plant Physiol.
143:707–719.
Chen YF, Etheridge N, Schaller GE. 2005. Ethylene signaling transduction. Ann
Bot. 95:901-15.
Delhaize E, Ryan PR. 1995. Aluminum toxicity and tolerance in plant. Plant
Physiol. 107:315-321.
[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Daftar Komposisi
Bahan Makanan. Jakarta (ID): Bhratara.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 1990. Teknologi Budidaya Sorgum. Irian Jaya
(ID): Balai Informasi Pertanian.
Dicko MH, Gruppen H, Traore AS, Voragen AGJ, Van BWJH. 2006. Sorghum
grain as humam food in Africa, relevance of content of starch and amylase
activities. Afr J Biotechnology. 5(5):384-395.
Ditjen Tanaman Pangan. 2007. Arah Kebijakan Pengembangan Sorgum sebagai
Sumber Bahan Baku Bioetanol. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Top production sorghum.
[Internet].
[diunduh
2012
Nov
22].
Tersedia
pada:
http://faostat.fao.org/site/339.default.aspx.
Guzman P, Ecker JR. 1990. Exploiting the triple response of Arabidopsis to identify
ethylene-related mutants. Plant Cell. 2:513-523.
Hairiah K, Utami SR, Suprayogo D, Widianto, Sitompul SM, Sunaryo, Lusiana B,
Mulia R, Van NM, Cadisch G. 2000. Agroforestri pada tanah masam di
daerah tropika basah. Bogor (ID): International Centre for Research in
Agroforestry (ICRAF).
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jakarta (ID): Pustaka Jaya.
He CJ, Morgan PW, Drew MC. 1992. Enhanced sensitivity to ethylene in nitrogenor phosphate-starved roots of Zea ma