Makna Pesan Tato Sebagai Bentuk Komunikasi Non Verbal Di Kalangan Pengguna Tato Di Kota Bandung

(1)

(Studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif tentang makna pesan Tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung)

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk menempuh sidang sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Oleh:

ABDULLAH FIKRI NIM. 41805057

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G


(2)

iii

Abdullah Fikri NIM. 41805057

Skripsi ini di bawah bimbingan, Melly Maulin P., S.Sos., M. Si.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pesan tato sebagai bentuk komunikasi non verbal di kalangan pengguna tato di Kota Bandung. Untuk menjawab masalah diatas, maka peneliti menyusun identifikasi penelitian sebagai berikut: isyarat, bentuk struktural, pengaruh sosial, penafsiran, refleksi diri, kebersamaan (commonality), dan makna pesan tato dikalangan pengguna tato di Kota Bandung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara, studi pustaka, observasi, studi dokumentasi, dan internet searching. Subjek penelitian ini adalah pengguna tato di Kota Bandung. Informan dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan berjumlah tiga informan. Teknik analisis data dilakukan dengan reduksi data, kategorisasi, dan sintesisasi.

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan, bahwa makna pesan tato sebagai isyarat, yaitu tato diaplikasikan pada berbagai simbol-simbol isyarat seperti sebagai memorabilia, ekspresi diri, aktualisasi, pendewasaan dan bentuk-bentuk ritual, lambang, serta simbol. Makna pesan tato sebagai bentuk struktural, yaitu pemaknaan dari adanya struktur tato secara visualisasi yang dapat dilihat dari penggunaan gambar, posisi, warna dan letak tato tersebut. Makna pesan tato sebagai pengaruh sosial, yaitu tato dapat menunjukan sikap-sikap pemberontakan, politis, dan sikap kritis, serta status sosial. Makna pesan tato sebagai penafsiran, yaitu tato dapat menunjukan nilai-nilai penafsiran yang merujuk adanya pemahaman simbol yang telah ada atau mengaitkannya dalam kebudayaan yang bersangkutan. Makna pesan tato sebagai refleksi diri, yaitu tato dapat menunjukan sisi yang sangat personal seperti halnya makna gambar yang digunakan dan motivasi dalam membuat tato. Makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality), yaitu tato dapat menunjukan status kelompok, alat akses, loyalitas dan sikap-sikap tolerasi antar anggota kelompok..Makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung, yaitu pengguna tato di Bandung menunjukan adanya pemahaman apresiasi seni dan aktualisasi diri dan hal-hal yang bersifat personal dari pada nilai-nilai sakralitas dan religiusitas.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa makna pesan tato dikalangan pengguna tato di Kota Bandung sangat beragam. Hal ini terbukti dengan adanya makna pesan sebagai isyarat, bentuk struktural, pengaruh sosial, penafsiran, refleksi diri, dan kebersamaan (commonality).

Saran bagi pengguna tato yaitu, diharapakan pengguna tato dapat memahami gambar yang akan digunakan pada tubuhnya, karena tato tersebut akan menempel seumur hidup sehingga harus dipikirkan dengan matang mengenai keinginannya untuk menato agar tidak menyesal dikemudian hari.


(3)

iv

By: Abdullah Fikri NIM. 41805057

This script under the guidance of Melly Maulin P., S.Sos., M. Si. ,

This study aims to determine how the meaning of the message the tattoo as a form of nonverbal communication among users of tattooing in the city of Bandung. To address the above problems, the researchers develop research identification as follows: cue, structural form, social influence, interpretation, self-reflection, togetherness (commonality), and the meaning of messages among users tattoo in Bandung.

This study used a qualitative approach with descriptive methods. Data were collected through interviews, literature study, observation, study documentation, and Internet

searching. The subject of this research is the user's tattoo in the city of Bandung.

Informants in the study are determined by using purposive sampling technique and number three informants. Technique of data analysis conducted with data reduction,

categorization, and synthesis.

The results of this research shows, that the meaning of the message the tattoo as a cue, that is a tattoo applied to various cues such symbols as a memorabilia, the expression of self-actualization, maturation and other forms of ritual, symbol, and symbols. The meaning of the message the tattoo as a form of structural, that is the meaning of the tattoo in a visualization structure which can be seen from the use of the image, position, color and location of the tattoo. The meaning of the message the tattoo as social influence, namely the tattoo can show the attitudes of rebellion, political, and critical attitude, and social status. The meaning of the message the tattoo as interpretation, that is a tattoo can show the values of the interpretation which refers to the understanding of symbols that already exist or associate in the culture concerned. The meaning of the message the tattoo as self-reflection, which can show the tattoo is very personal as well as the meaning and motivation of images used in making tattoos. The meaning of the message the tattoo as togetherness (commonality), the tattoo can show the status of the group, means of access, loyalty and tolerance attitudes among members of the group .. Meaning messages among users tattoo tattoo in Bandung, namely users of tattoos in Bandung showed an understanding appreciation arts and self-actualization and the things that are personal rather than sacred values and religiosity.

The conclusion from this study indicate that the meaning of messages among users tattoo tattoo in Bandung is very diverse. This is proven by the meaning of the message as a signal, structural form, social influence, interpretation, self-reflection, and sharing (commonality).

Advice for users of the tattoo is, the expected users of the tattoo can understand the pictures to be used on the body, because the tattoo will stick for life and should be thought through on his desire to tattooing so as not to regret in the future.


(4)

vi

karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna Pesan Tato Sebagai Bentuk Komunikasi Non Verbal di Kalangan Pengguna Tato di Kota Bandung”. Skripsi ini diajukan untuk menempuh ujian sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung.

Penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari keluarga tercinta. Terima kasih kepada ayahanda tercinta Bpk Yayat Subarjat, Terima kasih Almarhum Ibunda tercinta Diah Siti Nurfauziah, terima kasih atas segala doa dan dorongan yang tak terhingga untuk peneliti. Serta berbagai pihak lainnya yang banyak membantu peneliti, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Soisal dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan izin untuk penelitian ini dan dapat mengesahkan skripsi ini sehingga dapat dijadikan sebagai literatur bagi semua pihak yang memerlukan.


(5)

vii

3. Yth. Ibu Melly Maulin, S.Sos., M.Si Selaku dosen dan pembimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini saya ucapkan banyak-banyak terima kasih ibu yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyususunan skripsi ini.

4. Yth. Ibu Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si yang telah banyak membantu penulis dalam banyak hal dan memberikan berbagai pembelajaran yang positif dan sangat menginspirasi penulis.

5. Yth. Bapak Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si selaku dosen yang sangat penulis kagumi dan sangat menginspirasi penulis untuk dapat pintar dalam berbagai hal. 6. Yth. Seluruh Staff dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer

Indonesia yang telah banyak memberikan berbagai pengetahuan bagi penulis. 7. Yth. Seluruh staff seketariat Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas

Komputer Indonesia, terima kasih untuk Ibu Ratna, Amd. dan Ibu Astri, Amd. Atas berbagai bantuan yang telah diberikan bagi penulis.

8. Terima kasih kepada keluargaku tersayang Ibunda tercinta Rina Yanti

9. Serta adik-adikku (Zakiyah Ulfah, Rival Alrasyid, Alvin Afnan Riquwlloh, Refilla Nurfadillah).


(6)

viii

12.Terima kasih kepada Anak-anak IK- Humas angkatan 2006, 2007, 2008.

13.Terima kasih kepada sahabat - sahabatku Taufik rismawan, Ridwan arifin, Deri Sutia Wibawa, Dea Ahmad Barata, Galih Saepul Bathni, Yoga Perdana, Panji Margono, Nur Akhsan, Vito Karya Hermawan Sugars, Eka, Putut Puja Giri, Mulky Munawar, Alant, dan yang lain nya

14.Terima Kasih kepada Raharjo (bejo) terima kasih atas semua bantuan nya

15. Serta semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kebaikannya dapat di balas oleh Allah SWT.

Akhir kata Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Semoga Allah SWT membalas budi baik kepada kita semua serta melimpahkan segala karunia- Nya. Amin.

Bandung, Februari 2011


(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tato atau dalam kebudayaan Indonesia dikenal sebagai salah satu bentuk praktek me tubuh memberikan fenomena tersendiri dalam masyarakat, terkait pemakaiannya dan persepsi setuju atau ketidaksetujuan mengenai tato. Perbedaan persepsi individu dalam menilai tato memberikan ilustrasi yang tidak hanya secara equal menjadikannya sebagai bentuk pilihan antara memakai atau tidak, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai lain diluar dua pilihan hitam-putih. Lebih dari sekedar bentuk persetujuan, peneliti melihat tato bukan hanya sebagai wacana dalam bentuk ilustrasi gambar saja. Perkembangan pemaknaan tato yang individualistik tentunya memberikan warna tersendiri untuk dapat dilihat dari berbagai aspek.

Pengertian tato seperti yang dikutip dari blog bernama “bocahpolah.blogspot.com” pada bagian yang mengulas mengenai hukum tato, bahwa:

“Tato berasal dari kata “tatau” dalam bahasa Tahiti. Menurut Oxford Encyclopedic Dictionary - tato v.t. Mark (skin) with permanent pattern or design by puncturing it and inserting pigment; make (design) thus - n. Tatoing (Tahitian tatau). (Tato adalah menandai (pada kulit) menggunakan pola atau design secara permanen dengan membubuhkan dan memasukan cairan berwarna. Tato juga merupakan berasal dari kata Tahiti tato). Dalam


(8)

bahasa Indonesia, istilah tato merupakan adaptasi, dalam bahasa Indonesia, tato disebut dengan istilah rajah.” 1

Tato pada dasarnya diaplikasikan pada bagian-bagian tubuh yang sesuai dengan kehendak penggunanya. Tangan, kaki, pergelangan tangan, jari, kuku, daun telinga, kulit kepala, wajah, leher, pinggul, betis dan bagian tubuh lainnya. Bahkan bagian-bagian tubuh yang terdengar tidak lazim juga menjadi media aplikasi gambar tato, seperti bola mata (melalui jalan operasi), gigi, lidah, dan bagian-bagian intim. Untuk kelompok, komunitas, atau sekte dalam kaitannya sebagai suatu keanggotaan, terkadang tato di buat pada bagian tubuh yang sama pada setiap anggotanya menurut kesepakan atau ketentuan yang telah ada. Hal ini sebagai suatu penunjuk keanggotaan, solidaritas, syarat, atau sebagai identitas dari kelompok bersangkutan.

Selain bagian tubuh, pemilihan gambar tato memiliki bagian penting dalam penelitian ini, karena mentato dengan sendirinya menempatkan gambar tertentu pada bagian tubuh. Mengenai gambar yang digunakan, itu akan menyangkut pada masalah kecenderungan individual untuk menentukan pilihannya. Di luar dari gambar tato kelompok atau komunitas tertentu yang sebagian bersifat seragam karena diperuntukan sebagai identitas bersama atau memiliki arti yang dipahami bersama, maka gambar tato individual akan memiliki banyak ragam. Tidak ada batasan tertentu dalam mengaplikasikan gambar tato, tidak ada ketentuan baku

1


(9)

mengenai penggunaan gambar tertentu untuk dijadikan tato. Sepenuhnya gambar tato individual akan sangat ditentukan oleh pilihan pengguna tato itu sendiri.

Penggunaan gambar tato sangat beragam seperti halnya icon-icon tertentu yang memiliki nilai pribadi pada diri pengguna tato; seperti wajah idola, nama orang yang dikasihi, simbol zodiak, shio, hewan favorit, dan lain sebagainya biasa menjadi pilihan. Gambar-gambar unik, atau memiliki nilai historical, simbol-simbol tertentu, sampai dengan gambar yang cenderung abstrak karena memiliki alur cerita yang hanya di mengerti oleh pemilik tato juga dapat diaplikasikan sesuai kehendak pengguna tato. Kebebasan pengguna tato menentukan gambar dan posisi tatonya tersebut, tentu memberikan banyak sekali keberagaman pada arti tato masing-masing individu. Pengertiannya bahwa dengan adanya perbedaan tersebut berarti setiap individu memiliki pemahaman sendiri mengenai letak dan gambar tato yang digunakannya.

Keberagaman pada gambar tato setiap pengguna tato, diyakini peneliti memiliki pesan tersendiri. Pesan yang dibuat untuk dapat menjadi bahan pengingat dirinya atau pun orang lain. Pesan yang dengan sengaja di buat melalui ukiran gambar tato pada tubuh penggunanya, sangat memiliki esensi dalam menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang secara penuh seharusnya di mengerti oleh si pemilik tato sebelum menya pada bagian tubuh. Terkadang orang lain juga dapat mengerti pesan yang dimaksud dengan sekilas melihat gambar tato, tetapi


(10)

terkadang juga si pemilik tato bahkan tidak mengetahui apa pesan yang ingin di sampaikan dalam gambar tatonya.

Kegiatan komunikasi yang dipraktekan pengguna tato melalui serangkaian objek tato dan elemen pendukungnya, seharusnya menjadi salah satu bagian yang dapat di integrasikan oleh pemiliknya. Sejalan dari penjelasan di atas, dapat dilihat kutipan dari Onong Uhjana Effendy yang menjelaskan mengenai pengertian komunikasi yang paling mendasar berdasarkan paradigma Lasswell, bahwa “Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.” (Effendy, 2000: 10)

Pengertian pesan sendiri dapat dilihat dari kutipan selanjutnya dari Onong Uhjana Effendy yang menunjukan pemahamannya dalam paradigm Lasswell, bahwa “Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.” (Effendy, 2000: 18)

Kutipan di atas dirasa sangat mendukung untuk melihat penelitian mengenai tato ini ke dalam bagian lambang yang mendukung untuk merujuknya pada pemahaman kata pesan. Tato sebagai lambang nonverbal berbentuk gambar pada media tubuh menjadi media aplikasi pesan yang digunakan pemiliknya untuk menunjukan pesan yang diperlihatkan kepada orang lain dan bahkan penunjuk bagi dirinya sendiri. Lambang-lambang dalam gambar tato ini seperti layaknya bahasa yang diungkapkan secara verbal, hanya dimensinya saja yang dipergunakan dalam bentuk gambar sehingga memahami pesan tato layaknya


(11)

mengartikan berbagai lambang gambar tersebut menjadi suatu makna yang tervisualisasikan dengan jelas.

Pesan merupakan konsep penting yang dipergunakan dalam banyak ulasan teoritis, praktis dan empiris tentang komunikasi manusia. Sistem yang menjadikan pesan sebagai pandangan yang paling popular tentang komunikasi manusia meliputi adanya variasi yang amat besar dalam maknanya. Dari adanya pesan dalam setiap gambar tato penggunanya, berarti juga merujuk pada alasan mengapa pesan tersebut disampaikan melalui gambar tertentu.

Makna gambar tato dapat di asumsikan oleh orang lain di luar pengguna tato, atau memang diklarifikasi secara jelas melalui pemilik tato untuk dapat mengetahui makna pesan yang ada di balik tatonya tersebut. Pengertian makna itu sendiri sepertinya akan menghadapi perpecahan pemahaman, karena konsep makna pada dasarnya abstrak dan melibatkan sisi-sisi individualitas pemahaman mengenai adanya kesepakatan bersama. Jika dilihat dari pemahman yang diberikan oleh Brodbeck mengenai pengertian konsep makna terbagi dalam tiga fase perbedaan, seperti yang dikutip oleh Fisher sebagai berikut:

“Menurut Tipologi Brodbeck, yang pertama makna referensial yakni makna suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditujukan oleh istilah itu. Kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Dengan kata lain, lambang atau istilah itu ‘berarti’ sejauh ia berhubungan dengan ‘sah’ dengan istilah konsep yang lainnya. Tipe makna yang ketiga, mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah lambang tergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.” (Fisher, 1986: 344).


(12)

Penjelasan mengenai makna ini sebenarnya akan bersifat subjektif, mengingat pemahman makna akan mengacu pada adanya abstraksi pemahman dari para penggunanya. Kutipan di atas memperlihatkan bahwa makna akan mengacu pada ide-ide dan berbagi konsep pemahman individu mengnai lambnag-lambang yang dimanifestasikan ke dalam pemahman yang bersifat subjektif dan individual. Hal ini di dapat karena pemahman dari makna itu sendiri ada dari konsepsi individu dalam melihat pengartian ‘lambang’ yang dipakai.

Hal ini juga yang memperlihatkan penelitian mengenai makna tato ini menarik perhatian peneliti, karena posisi makna pesan itu sendiri akan membutuhkan suatu penyesuaian dari berbagai sudut pendang invidu dalam melihat kan menkalkulasikan dari berbagai pemahman pribadinya tersebut untuk melihatnya dalam satu pemahman bersama. Penting untuk dapat melihat gambar tato sebagai bagian yang mengacu pada adanya pemaknaan pada pesan non verbalnya, dengan sedikit memberikan penafsiran-penafsiran, maka pemaknaan itu juga akan menghasilkan sedikit pemahaman. Dengan kata lain, peneliti menaruh harapan pada penelitian untuk dapat menyatukan makna pesan tersebut ke dalam persepsi yang dapat dimengerti bersama.

Mempelajari tato bukan hanya menuntun peneliti pada satu aspek permasalahan, tetapi merujuk pada adanya banyak sudut pandangan keilmuan yang menjelaskan bahwa penelitian mengenai tato ini akan melibatkan euphoria tersendiri secara multiaspek. Mengupas masalah tato berarti juga


(13)

mendeskripsikan tentang nilai-nilai kebudayaan, historis, sosiologi, komunikasi, seni, design, nilai gender, gaya hidup, politik, seksualitas, relijiusitas dan bahkan secara matematis pun penilaian tato dapat diterapkan. Setidaknya itu merupakan sebagian lain aspek yang dapat peneliti tangkap dalam melihat wacana tato yang berkembang melalui caranya sendiri dengan memperlihatkan adanya kompleksitas akulkturasi wacana lainnya.

Tato pada sejarahnya merupakan bagian kebudayaan kuno yang dapat ditemukan pada beberapa suku di dunia. Dalam tradisi suku Dayak di pedalaman Kalimantan (Indonesia), tato menjadi satu bentuk ritual dalam kaitannya dengan penghormatan pada leluhurnya. Tato juga menjadi suatu tradisi yang turun temurun dan dijadikan sebagai alat untuk dapat menunjukan posisi seseorang dalam suku Dayak, serta menunjukan secara historis mengenai kejadian yang pernah di alami si pemilik tato. Bentuk-bentuk kepercayaan melalui media gambar tato pada titik ini menjadikan tato sebagai nilai yang memiliki unsur budaya yang kuat. Sejarah pun dilibatkan, karena tato dapat menunjukan hal-hal yang pernah terjadi dalam momen-momen tertentu.

Dalam era modernisasi, tato tidak hanya dijadikan sebagai alat yang memiliki pandangan kuno terhadap hal animisme, kekuatan magis, atau hal-hal ortodok lainnya. Posisi tato sekarang ini jauh melebihi perannya pada masa lampau. Tato dalam pandangan modern telah banyak melibatkan unsur-unsur yang secara sinergis dapat disatukan dalam suatu ringkasan gambar. Seni design


(14)

dalam tato memiliki hubungan kuat dengan adanya sisi artistik dari gambar tato, dengan kata lain tato ini pun menjadi satu komoditas lain untuk dapat mengapresiasi seni. Bahkan hal ini justru dijadikan “alasan” umum untuk kaum urban dalam mengklaim penggunaan tato.

Eksplorasi pop art menjadi salah satu cara untuk menempatkan tato sebagai bentuk-bentuk di luar pemahaman kuno, kecenderungan memberikan wacana baru sebagai bentuk gaya hidup. Pemilihan kata gaya hidup pun akan semakin menjelaskan tato sebagai salah satu cara lain dalam mengungkapkan kebutuhan seseorang. Kebutuhan-kebutuhan yang dituju oleh para pengguna tato ini juga menarik perhatian peneliti untuk dapat meneliti maksud dari adanya penggunaan tato di era ini.

Tidak heran jika tato kemudian melebarkan pemahamannya dengan menyangkut pada adanya kelas gender penggunanya. Kecenderungan tato sampai saat ini sepertinya masih di pegang pada tabu laki-laki sebagai gender yang dirasa “cocok” untuk memiliki tato. Kesan maskulinitas seharusnya menjadi acuan jika nilai gender ini memang dihadirkan untuk menempatkan tato sebagai “milik” laki-laki. Kenyataannya sekarang ini tato bukan hanya di dominasi oleh laki-laki. Perempuan pun berhak menentukan pilihannya dalam menghias tubuhnya dengan beragam gambar tato. Konsep modernitas pada perempuan bertato di asumsikan peneliti sebagai karya dalam memposisikan gender mereka dengan lawannya.


(15)

Kemudian munculnya sikap feminisme dalam perlawannya menempatkan emansipasi melalui gambar tato.

Beberapa contoh aspek yang di jangkau pada gambar tato di atas seharusnya dapat membuka pemahaman-pemahaman masyarakat mengenai posisi krusial tato dalam masyarakat. Jika melihat hubungan tato dengan objek gambar tato, bahkan aspek lainnya juga memiliki kecenderungan tersendiri. Keberagaman objek yang tidak terbatas dapat diterapkan pada gambar tato. Panji-panji perlawanan minoritas dapat menjadi sarana pribadi dalam menunjukan kepentingan potitis. Gambar-gambar seperti penggunaan simbol-simbol kekuasaan, penindasan, kekuatan, rebellion, dan aroma-aroma bermuatan politik pun dapat dijadikan sebagai komoditi objek tato. Sebagai contohnya penggunaan simbol swastika pada Nazi, gambar Che Guevara, atau lainnya.

Seksualitas pun dalam hal penggunaan tato dapat dilibatkan kapan saja. Ada beberapa alasan yang mengemuka mengenai daya tarik seks tato dalam hubungan intim penggunanya. Beberapa pola menunjukan tato pada perempuan dapat menunjukan sisi seksualitasnya, apalagi dengan letak gambar tato yang dapat berada dalam jangkauan intim. Jika hal ini merupakan sebagian kecil asumsi tato yang memiliki daya tarik seksual tersendiri, maka tato sedikitnya memiliki nilai jual untuk dapat membentuk image tersendiri bagi penggunanya. Memang tidak selalu dihubungkan dengan seks, tetapi ini merupakan trend lain yang ditunjukan dari fenomena tato.


(16)

Kemajuan teknologi, pertukaran informasi, akulturasi budaya, dan menjamurnya studio tato seharusnya menjadi suatu alasan tato untuk dapat dilihat sebagai hasil dari perkembangan zaman. Tato yang tidak hanya dipandang sebagai kajian usang mengenai kebudayaan primitif sekarang ini sepertinya tidak cukup kuat untuk dapat menghalalkan tato sebagai perilaku yang dianggap umum dan biasa. Terlebih orang-orang dulu termasuk orang tua peneliti, melihat tato sebagai bentuk “aib” karena adanya sikap-sikap perlawanan atau pun pembangkangan pada perilaku norma-norma yang seharusnya.

Sikap relijiusitas masyarakat Indonesia yang menghubungkan agama sebagai alasan kuat untuk tidak mentato diri, menjadi suatu batasan ketat dan utama. Hal ini terlebih pernah dirasakan peneliti yang juga sempat menanyakan keinginan untuk dapat mentato pada orang tua. Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, mungkin dapat menjadi alasan kuat mengapa sikap-sikap religi menjadi alasan kuat masyarakat untuk sedikitnya mengharamkan tato. Islam sendiri melihat tato sebagai suatu perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Haram, Itu hukumnya. Tidak heran jika masyarakat Indonesia yang masih melihat tato dari kacamata agama, menghubungkannya sebagai bentuk perbuatan dosa untuk pemiliknya.

Terlebih tato sering dan bahkan sangat sering sehingga terkadang menjadi asumsi tersendiri bagi masyarakat dengan mengaitkan, menghubungkan, dan menjustifikasi tato dengan bentuk-bentuk kriminilitas. Tidak salah memang,


(17)

karena peneliti sendiri melihat banyak sekali preman menggunakan tato, pencuri bertato, gangster bertato, berandalan bertato, bahkan hal ini kadang dibenarkan pada saat melihat tayangan program kriminalitas di televisi yang sering memperlihatkan polisi menunjukan tato pelaku. Tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Bentuk stereotype mungkin menjadikan alasan kriminalitas dihubungkan dengan tato.

Sepertinya terlalu sempit jika melihat tato dari satu sisi kriminalitas dengan mengeneralisasi tato dekat dengan kejahatan, padahal orang jahat juga banyak yang tidak bertato. Itu keadaan masyarakat kita yang sering memandang tato sebagai bentuk kemunduran budaya, jika memang dikaitkan pada posisinya sebagai bentuk gaya hidup modern. Lain halnya dengan melihat suku-suku yang menggunakan tato sebagai suatu keharusan dan penghormatan. Tato sekarang ini juga banyak di alihkan pada perannya sebagai karya. Karya seni, katanya. Karya yang memiliki nilai seni sehingga alasan mencintai seni memang sering terdengar sebagai alasan kuat untuk meng-halal-kan tato.

Apapun tujuan tato, seharusnya alasan kesehatan sekarang ini menjadi point penting untuk pengguna tato atau yang akan di tato untuk dapat mempertimbangkannya. Kemungkinan penularan penyakit melalui jarum tato yang terinfeksi karena digunakan secara tidak steril berpeluang menimbulkan penyakit seperti HIV/AIDS dan hepatitis B. Masa setelah tato pun seharunya menjadi perhatian, karena pada sebagian orang dapat menimbulkan iritasi, infeksi,


(18)

dan bahkan kangker kulit. Perilaku seperti ini terjadi karena kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya memahami tato sebelum dan setelah menggunakannya.

Pemahaman dan kesadaran akan resiko tato patut untuk menjadi perhatian terutama yang akan menggunakan tato, baik untuk yang pertama kali atau yang menambah koleksi tatonya. Di luar dari hal tersebut, peneliti tidak memiliki kewenangnan untuk dapat menjustifikasi salah atau benarnya pengguna tato karena bukan itu inti dari penelitian ini. Peneliti hanya memperlihatkan wacana tato sebagai suatu bentuk subkultur yang sering dijumpai oleh peneliti dan masyarakat lainnya. Kepentingan penelitian ini menunjukan bahwa makna pesan yang ada di balik gambar tato jauh lebih menarik jika dapat ditelusuri lebih dalam lagi. Makna-makna yang ada dalam tato mengesensikan adanya komunikasi dalam penyampaian pesan melalui gambar. Makna pesan inilah yang kemudian akan ditindaklanjuti dalam penelitian untuk dapat melihat bagaimana orang-orang menempatkan tato pada ilustrasi pemikirannya masing-masing.

Tujuan dalam penelitian ini tidak untuk dapat memberikan solusi terkait masalah tato, hanya penggambaran wacana dirasa peneliti jauh lebih penting untuk dapat dilihat masyarakat luas dalam memahami tato. Pemahaman yang baik mengenai tato, sedikitnya akan memberikan pengertian baru bagi orang-orang yang sadar bahwa tato ada dalam lingkungannya memiliki kandungan tersendiri


(19)

untuk di mengerti. Baik buruknya pengguna tato, sebenarnya bukan tolok ukur apa pun.

Pemahaman mengenai tato akan membantu masyarakat dan para pengguna tato untuk lebih memahami tato. Di tato atau tidak, itu pilihan. Harus digarisbawahi bahwa tato menjadi bagian yang akan terus melekat. Seumur hidup. Jika tidak dengan sengaja diharpus melalui jalan operasi atau tindakan medis lainnya tato akan secara permanen melekat selamanya. Untuk itu tato akan menceritakan mengenai apa, mengapa, dan bagaimana makna gambar tato tersebut melekat.

Dari berbagai uraian penjelasan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan rumusan masalah, sebagai berikut: “Bagaimana makna pesan tato sebagai bentuk komunikasi non verbal di kalangan pengguna tato di Kota Bandung?”

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana makna pesan tato sebagai isyarat dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

2. Bagaimana makna pesan tato sebagai bentuk struktural dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

3. Bagaimana makna pesan tato sebagai pengaruh sosial dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?


(20)

4. Bagaimana makna pesan tato sebagai penafsiran dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

5. Bagaimana makna pesan tato sebagai refleksi diri dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

6. Bagaimana makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality) dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

7. Bagaimana makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk dapat mendeskripsikan tentang makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai isyarat di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

2. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai bentuk struktural dikalangan pengguna tato di Kota Bandung.

3. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai pengaruh sosial di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.


(21)

4. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai penafsiran di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

5. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai refleksi diri di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

6. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality) di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

7. Untuk mengetahui makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan ilmiah bagi Ilmu Komunikasi dalam memahami makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Kegunaan penelitian ini bagi peneliti yaitu diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang baik bagi peneliti mengenai tato dan makna pesan yang terkandung di balik gambar tato penggunanya.


(22)

2. Kegunaan penelitian ini bagi para pengguna tato, yaitu diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih mengenai asal usul kebudayaan tato dan juga diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman mengenai alasan dan motivasi penggunaan tato serta makna yang ingin disampaikan di balik seni tato tersebut.

3. Kegunaan penelitian ini bagi mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi dan mahasiswa Universitas Komputer Bandung (UNIKOM) khususnya, yaitu diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan pengembangan ilmiah sejenisnya, sehingga penelitian ini dapat memberikan suatu pengetahuan tambahan mengenai makna tato dalam masyarakat.

4. Kegunaan penelitian ini bagi masyarakat, yaitu diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan memaknai tato sebagai suatu bentuk subkultur yang dapat ditemui dalam lingkungan masyarakat, sehingga masyarakat lebih dapat menilai kebudayaan tato sebagai bentuk eksistensi yang nyata dalam kebudayaan masyarakat, dan bukan hanya melihatnya sebagai bentuk identitas kriminal semata.


(23)

1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Kerangka Teoritis

Konsep pesan dalam tinjauan komunikasi dapat dipahami dalam enam variasi konsep yang tidak banyak saling bertentangan satu sama lain, karena masing-masing variasi merefleksikan penekanan atau perhatian berbeda. Enam variasi konsep pesan mengenai komunikasi manusia ini akan menyentuh seluruh kepentingan stimuli inti dalam komunikasi yang dilakukan. Makna pesan tersebut di jelaskan oleh Aubrey Fisher dalam buku “Perspectives on Human Communication” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Teori-Teori Komunikasi”, yaitu:

1. Pesan sebagai isyarat

2. Pesan sebagai bentuk struktural 3. Pesan sebagai pengaruh sosial 4. Pesan sebagai penafsiran 5. Pesan sebagai refleksi diri

6. Pesan sebagai kebersamaan (commonality) (Fisher, 1986: 364).

1. Pesan sebagai isyarat

Suatu pesan ditransformasikan dalam titik-titik (saat-saat) penyandian dan pengalihan sandi sehingga pesan itu sendiri merupakan pikiran atau ide pada suatu tempat dalam sistem jaringan syaraf (neurophysiological) dari sumber/penerima dan, setelah penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka, ditransformasikan ke dalam


(24)

rangkaian getaran udara (gelombang suara) dan sinar-sinar cahaya yang dipantulkan (secara visual). Alat pengalihan sandi pada sumber/penerima mentransformasikan fenomena energi fisik itu kembali ke dalam kata petunjuk paragulistik, isyarat, dan pikiran. Tetapi, dalam bentuk energi fisik antara sumber/penerima, maka pesan itu bukanlah merupakan pikiran, bukan juga berupa kata-kata. Akan tetapi ia merupakan seperangkat isyarat (signals) fisik.

Colin Cherry (1964: 171) menjelaskan mengenai perbedaan antara konsep pesan dan isyarat atas dasar di mana adanya pada saluran itu dan, sebagai akibatnya, pada bentuk di mana isyarat pesan itu tampak. Sebagaimana dikatakan Cherry yang dikutip oleh Aubrey Fisher, bahwa “Suatu pesan mungkin, umpamanya merupakan pikiran,… namun pikiran itu disampaikan tidak secara fisik.” (Fisher, 1986: 365)

Bilamana bentuk fisik dari pesan itu (yakni, isyarat tersebut) disandi, ia berubah menjadi pikiran kembali dan itu menjadi pesan. Cherry menjelaskan lebih lanjut yang dikutip oleh Fisher, bahwa:

“Pesan dalam bentuk fisik yang sebenarnya disampaikan melalui ruang (misalnya, gelombang udara, impuls elektris pada kawat telepon, isyarat radio atau televisi dalam atmosfir) lebih cocok untuk dinamakan suatu signal. Karena signal itu disandi atau dialih sandi, maka bentuknya menjadi pesan.” (Fisher, 1986: 365)

Karena itu, pesan dipandang sebagai bentuk dan lokasi pikiran, verbalisasi, dan seterusnya, dalam diri individu “pesan” yang terdapat


(25)

dalam saluran di luar sumber/penerima dalam bentuk energi fisik dan lebih cocok untuk dipandang sebagai isyarat (signal). Pikiran sandi ke dalam isyarat, isyarat dialih sandi ke dalam pikiran. Atau, dinyatakan dengan cara lain, pesan sandi ke dalam pesan isyarat; isyarat dialih sandi ke dalam pesan.

2. Pesan sebagai bentuk struktural

Miller (1972: 76) mempergunakan bentuk struktural suatu pesan untuk membedakan komposisinya ke dalam tiga buah faktor yang prinsipal. Seperti penjelasannya yang dikutip oleh Fisher mengenai ketiga faktor tersebut, yaitu:

“Stimulasi verbal (yang mencakup kata-kata atau lambang-lambang), stimulasi fisik (yang mencakup isyarat atau gerakan, ekspresi muka, dan sebagainya, dalam suatu interaksi tatap muka), dan stimuli vocal (yang mencakup petunjuk paralinguistic berupa kecepatan berbicara, kerasnya suara, inflesi, penekanan, aksen berbicara, dan sejenisnya, dalam interaksi tatap muka).” (Fisher, 1986: 366)

Dalam banyak hal, konseptualisasi pesan menurut Miller lebih banyak merupakan definisi konseptual; daftar sifat atau atribusi pesan yang teramati secara fisik menyingkapkan rupa pesan sebagaimana diamati melalui alat indra. Tetapi, definisi operasional itu sebenarnya tidak berusaha menggambarkan fungsionalisasi konsep dalam peristiwa komunikatif.


(26)

3. Pesan sebagai pengaruh sosial

Pandangan Steve King (1975: 32), seorang ahli komunikasi, tidak terlalu keras seperti pendapat Schachter. Namun demikian, King memang mengganggap pesan sebagai suatu bentuk yang disandi, yang memiliki secara yang tersirat di dalamnya pengaruh sosial. Fisher mengutip penjelasan King yang menyatakan, bahwa “Pesan itu, secara sederhana adalah perilaku pemberi pengaruh yang berhubungan dengan kebutuhan.” (Fisher, 1986: 368)

Dalam pendapat King, komunikasi, sebenarnya secara mutlak dan inheren, mempunyai pengaruh sosial, tidak mesti harus bersifat manipulatif atau disengaja, namun begitu bersifat berpengaruh.

Berbeda halnya dengan Berlo (1960: 11) penjelasannya dikutip oleh Fisher, bahwa “Tujuan pokok kita dalam komunikasi adalah untuk menjadi pelaku yang mampu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik kita, dan kita sendiri… kita berkomunikasi untuk mempengaruhi, ― menimbulkan efek dengan maksud tertent.” (Fisher, 1986: 369)

Namun demikian, apakah maksud mempengaruhi itu sifatnya tersirat, jelas, atau tidak relevan, King dan Berlo akan sependapat pada prinsip fundamental bahwa komunikasi itu berpengaruh; pesan memang benar mempunyai efek.


(27)

4. Pesan sebagai penafsiran

Aubrey Fisher menjelaskan mengenai sudut pandang penafsiran dalam pesan, bahwa:

“Komunikasi manusia sebagai pandangan tentang pesan sebagai penafsiran lambang atau stimuli. Penyandian dan pengalihan sandi secara esensial menjadi menjadi proses yang sama berupa penafsiran atau persepsi makna dalam stimuli yang terpilih. Sejalan dengan itu, pesan, apakah disandi ataupun dialihsandi, merupakan masalah penafsiran individual.” (Fisher, 1986: 369) Borden (1971: 74) mengaitkan pesan secara eksplisit dengan perilaku simbolis – perilaku yang hanya dapat bersifat simbolis jika penafsiran pada perilaku itu terjadi dalam pikiran sumber atau penerima. Penjelasannya dapat dilihat dari kutipan Fisher berikut ini, bahwa “Isomorfisme itu merupakan kesamaan penafsiran pada perilaku yang sama dalam pikiran sumber atau dalam pikiran penerima.” (Fisher, 1986:370)

Clevenger dan Mathews (1971: 94) pun sama-sama jelas dalam hal ini. Seperti halnya yang dikutip oleh Fisher, bahwa “Pesan merupakan peristiwa simbolis yang menyatakan suatu penafsiran tentang kejadian fisik, baik oleh sumber ataupun penerima.” (Fisher, 1986: 370).

Proses penafsiran (yakni, proses penyandian pengalihan sandi) memberikan nilai pesan stimuli. Stimuli yang tidak ditafsirkan, dalam pengertian bahwa penafsiran tidak melihatnya ataupun tidak dihadapkan kepadanya, tidaklah merupakan bagian pesan.


(28)

5. Pesan sebagai refleksi diri

Dalam melihat aksioma yang sebenarnya, bahwa pesan mencerminkan keadaan internal individu; yakni perilaku, dalam bentuk tertentu, suatu manifestasi yang mencuat keluat dari konsep kotak hitam tentang sikap, keyakinan, persepsi, nilai, citra, emosi, dan sebagainya. Pada kenyataannya Berlo yang pernyataannya dikutip oleh Fisher secara jelas menyatakan, bahwa “Pesan merupakan peristiwa perilaku yang berhubungan dengan keadaan internal orang.” (Fisher, 1986: 372).

6. Pesan sebagai kebersaman (commonality)

Banyak diantara para peserta Konferensi Pengembangan Penelitian dan Pengajaran Komunikasi di New Orleans mengungkapkan keyakinan pada konseptualisasi pesan yang secara langsung relevan dengan implikasi “kebersamaan” (commonality) yang terkandung dalam komunikasi manusia. Fokus penelitian pada “hubungan antara orang-orang dalam tindakan komunikatif”, yakni, “pada cara tindakan komunikasi itu mengikat dua orang atau lebih bersama-sama” pesan yang dikomunikasikan sebagai suatu “sistem pemasangan” (coupeling system) yang menghubungkan sumber dan penerimanya”

Penjelasan mengenai berbagai makna pesan dalam perpektif mekanistis di atas merupakan fokus penelitian peneliti yang akan mendorong peneliti dalam satu cakupan penelitian yang telah dirumuskan


(29)

tersebut. Untuk dapat menuntun penelitian ini, maka peneliti menerapkan suatu model komunikasi yang dirasa tepat untuk dapat dijadikan sebagai ”pegangan” peneliti dalam menyusun penelitian ini. Maka peneliti menggunakan model komunikasi manusia yang dijelaskan oleh Aubrey Fisher, sebagai berikut:

Gambar 1.1

Model Komunikasi Manusia

(Sumber: Fisher, 1986: 154)

Pesan/Umpan balik

Gangguan

Pesan/Umpan balik

Pengalih Sandi Sumber-Penerima

Penyandi Penyandi

Sumber-Penerima Pengalih Sandi

Saluran Saluran


(30)

1.5.2 Kerangka Konseptual

Dengan di dapatkannya sebuah model komunikasi yang peneliti anggap tepat untuk dapat menfasilitasi penelitian ini, maka selanjutnya peneliti menerapkan model komunikasi tersebut ke dalam model konseptual yang mengaplikasikan kepentingan penelitian dalam model komunikasi manusia untuk dapat mengetahui makna pesan dikalangan pengguna tato.

Dalam konseptual model komunikasi yang digunakan oleh peneliti, dapat dijelaskan bahwa peneliti menuangkannya dalam bentuk konseptualisasi model yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Bagian yang menjadi perhatian peneliti dalam konseptual model mekanistis ini, bahwa peneliti menempatkan diri dalam posisinya sebagai individu yang mencoba mencari makna dari gambar tato informan. Untuk dapat melihat konseptualisasi dari model mekanistis yang digunakan, maka peneliti menjelaskannya dalam enam bagian pokok di bawah ini:

1. Makna pesan sebagai isyarat dalam konseptualisasi model merujuk pada adanya pengertian bahwa dalam pesan bukan merupakan pikiran, dan bukan pula berupa kata-kata dalam bentuk energi fisik antara sumber dan penerima melainkan seperangkat isyarat (signals) fisik. Signal fisik yang dimaksudkan dalam penelitian ini terdapat pada adanya usaha untuk dapat memahami gambar tato dalam seperangkat elemen pendukungnya. Hal-hal mengenai pemahaman objek gambar,


(31)

penggunaan warna, design, posisi gambar, letak penggunaan gambar dan berbagai isyarat fisik dalam gambar tato tersebut mengindikasikan adanya pesan yang disampaikan.

2. Makna pesan sebagai bentuk struktural pada dasarnya akan mengacu pada bagian yang meliputi stimuli verbal, stimuli fisik, dan stimuli vokal. Penggunaan gambar tato pada penelitian ini tidak menunjukan adanya bagian stimuli verbal dan stimuli vokal, karena sebagaimana diketahui dengan jelas bahwa tato tidak memiliki sifat verbalitas. Bagian yang sangat memungkinkan adalah melihatnya sebagai stimuli fisik, berupa pemahaman mengenai cara lain memahami sikap-sikap non verbal.

3. Makna pesan sebagai pengaruh sosial akan memberikan ketertarikan tersendiri mengingat pesan ada karena tujuan sebagai alat untuk mempengaruhi. Konseptualisasi dari pemahaman di atas merujuk pada keinginan peneliti untuk dapat melihat tato saling mempengaruhi lingkungan dan sosial penggunanya maupun orang lain. Dari bagian ini dapat dilihat bagaimana tato mempengaruhi seseorang dalam menggunakan tatonya, juga menunjukan sikapnya dalam sosialitas.

4. Makna pesan sebagai penafsiran, sedikitnya akan menunjukan sikap orang kebanyakan dalam memaknai tato. Pemahaman mengenai maksud dari tato, tujuan tato, latar belakang penggunaan tato, keinginan yang


(32)

ingin di capai melalui tato dan berbagai hal tentang kepentingan tato diperlukan dalam bagian ini untuk dapat melihat hal-hal yang mendukung dalam mengartikan tato.

5. Makna pesan sebagai refleksi diri dalam konseptualisasi ini, berarti memberikan konsepsi bagi peneliti untuk dapat melihat kepentingan pribadi dari pengguna tato dalam memahami tato yang digunakannya. Ada hal-hal yang terkait dengan sikap dan pilihan individual dalam melihat makna tatonya tersendiri. Hal ini juga mencerminkan posisi pengguna tato dengan keterkaitannya mengenai alasan penggunaan tato, sikap diri terhadap tatonya, pandangan dalam menilai makna tatonya, dan hal-hal yang merefleksikan sikap penggunanya.

6. Makna pesan sebagai bentuk kebersamaan (commonality) dalam penelitian ini, merupakan bagian yang terintegrasi mengenai adanya alasan-alasan kuat lingkungan dan sosialias dalam memperngaruhi nilai kuat tato dalam masyarakat. Adanya sikap-sikap yang menunjukan bentuk kebersamaan, persaudaraan, nilai kelompok, identitas, atau apa pun itu yang merujuk pada adanya semangat kebersamaan dalam penggunaan tato sangat memungkinkan untuk memperlihatkan adanya makna kebersamaan dalam penggunaan tato.


(33)

1.6 Pertanyaan Penelitian

1. Makna pesan tato sebagai isyarat di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) apakah setiap gambar tato mengisyaratkan sesuatu? 2) Bagaimana isyarat tersebut digunakan?

3) Apakah ada kesepakatan bersama mengenai isyarat yang digunakan? 4) Apakah tato menunjukan hal-hal yang tidak diketahui khalayak?

2. Makna pesan tato sebagai bentuk struktural di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Bagaimanakah pesan non verbal dituangkan dalam gambar tato? 2) Apakah tato yang digunakan memang memiliki makna tersendiri? 3) Apakah tato yang dimiliki melambangkan sesuatu?

4) Apakah setiap gambar tato harus memiliki makna tersendiri?

3. Makna pesan tato sebagai pengaruh sosial di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Bagaimana lingkungan dapat memberikan andil dalam penggunaan tato? 2) Apakah tato tersebut digunakan untuk menunjukan kehidupan sosial? 3) Apakah tato yang digunakan merupakan sikap kritis terhadap lingkungan? 4) Bagaimana tato dapat memberikan pengaruhnya bagi lingkungan?


(34)

4. Makna pesan tato sebagai penafsiran di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Bagaimana gambar tato dibentuk agar memiliki pengertian tersendiri? 2) Apakah pengguna tato harus memahami makna dari gambar tatonya? 3) Apakah gambar tato tersebut dapat dimengerti oleh orang lain? 4) Bagaimana proses terbentuknya pemahaman dalam membuat tato?

5. Makna pesan tato sebagai refleksi diri di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Apakah tato merupakan simbol dari aktualisasi diri?

2) Apakah tato ditujukan untuk menunjukan hal-hal yang bersifat individual? 3) Apakah tato menunjukan sejarah hidup seseorang?

4) Apakah tato menunjukan sikap seseorang? 5) Apakah tato dapat menilai perilaku seseorang?

6) Bagaimana tato digunakan dalam menunjukan sikap diri terhadap sesuatu? 6. Makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality) di kalangan

pengguna tato di Kota Bandung:

1) Apakah tato dapat menjadi pengikat untuk kelompok tertentu? 2) Apakah tato juga menjadi identitas atau alat akses suatu kelompok? 3) Bagaimana tato di gunakan sebagai upaya membangun kebersamaan? 4) Apakah tato memiliki nilai yang sama pada suatu kelompok?


(35)

7. Makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung: 1) Apakah tujuan utama penggunaan tato?

2) Apakah yang melatarbelakangi seseorang menggunakan tato?

3) Apakah pengguna tato merasa memiliki pesan tersendiri dalam tatonya? 4) Mengapa tato dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan?

1.7 Subjek dan Informan 1.7.1 Subjek

Subjek ini berasal subjek penelitian yang merupakan bagian penting dalam penelitian, karena dengan adanya subjek ini berarti peneliti dapat melakukan penelitian dengan memfokuskan pada kumpulan subjek tersebut. subjek menjadi sebuah identitas tempat atau pun kelompok yang menjadi objek penelitian dan berusaha untuk menjelaskan bagian-bagian yang terkandung di dalamnya ke dalam bentuk laporan penelitian.

Subjek ini merupakan objek penelitian secara keseluruhan mengenai tempat dimana penelitian dilakukan dan ditujukan kepada siapa penelitian ini dilakukan. Subjek dalam hal ini berkaitan erat sebagai subjek yang dengan kependudukan, masyarakat, penduduk, khalayak umum, kumpulan orang dalam suatu tempat secara berkelompok dan segala hal yang berkenaan dengan sifat kuantitatif dalam jumlah dan data.


(36)

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bailey (1994: 83) yang dikutip oleh Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah mengatakan bahwa, “Subjek adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti.” (Prasetyo dan Jannah, 2005: 119).

Dengan di tentukannya subjek penelitian, maka peneliti dapat dengan jelas menentukan tempat dan pihak-pihak terkait untuk dapat diteliti. Ketentuan subjek penelitian ini memberikan kejelasan mengenai siapa yang menjadi perhatian penelitian. Peneliti menentukan subjek penelitian ini merupakan pengguna tato yang berdomisili atau berkegiatan di Bandung. Secara umum subjek ini dapat ditemukan pada siapa saja yang memiliki tato di Kota Bandung.

1.7.2 Informan

Selanjutnya setelah penentuan subjek penelitian, peneliti kemudian dapat menentukan informan penelitian yang menjadi narasumber untuk kepentingan perolehan informasi. Konsekuensi pemilihan informan berasal dari adanya informan yang berasal dari subjek penelitian yang tidak bergantung pada jumlahnya saja tetapi lebih terfokus pada kualitas informan yang akan digunakan. Informan ini kemudian dalam penelitian kualitatif disebut sebagai informan. Dengan ketersedian informan yang ada, maka dibutuhkan suatu teknik penarikan informan menggunakan teknik penarikan


(37)

informan, purposive sampling.

Teknik penarikan informan dengan menggunakan purposive sampling dipilih karena teknik ini memilih orang (informan) dengan berbagai penilaian tertentu menurut kebutuhan peneliti sehingga dianggap layak untuk dijadikan sumber informasi/ narasumber. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat bahwa, “Sampling purposif, yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap — berdasarkan penilaian tertentu.” (Rakhmat, 1997: 81).

Informan ini ditetapkan menurut kepentingan penelitian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jonathan Sarwono bahwa, “Banyak sedikitnya orang yang akan digunakan untuk menjadi informan dalam penelitian kita tergantung pada cakupan masalah penelitian yang akan dilakukan.” (Sarwono, 2006: 205).

Dalam penelitian ini digunakan tiga orang informan bertato yang dianggap telah cukup mewakili kepentingan penelitian. Informan ini memiliki jumlah tato yang banyak dan memiliki beragam latar belakang alasan mentato dirinya. Informan terdiri atas Yahya Ramdhani yang berprofesi sebagai pekerja sosial, Angga yang berprofesi sebagai musisi dan shopkeeper distro kenamaan kota Bandung, dan Aji Dani sebagai informan ketiga yang berprofesi sebagai karyawan di Bank Swasta.


(38)

Tabel 1.1 Informan penelitian

Nama Informan Jenis Kelamin Kegiatan Jumlah tato

Yahya Ramdhani Laki-laki Pekerja sosial Hampir di seluruh bagian tubuh

Angga Laki-laki Musisi, shopkeeper Tangan, kaki, punggung, dada, dan bagian lainnya Aji Dani Laki-laki Karyawan swasta Hampir di seluruh

bagian tubuh Sumber: Data Peneliti, 2011

1.8 Metodologi Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) sebagaimana dikutip oleh Lexy J. Moleong dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” mengatakan bahwa, “Kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” (Moleong, 2002: 3).

Catherine Marshal (1995) sebagaimana dikutip oleh Jonathan Sarwono dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif” menyatakan bahwa, “Kualitatif riset didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia.” (Sarwono, 2004: 193).


(39)

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode ini dipilih dengan tujuan untuk dapat menggambarkan fenomena tato sebagai sebagai alat yang memiliki pesan dengan muatan-muatan makna tertentu. Penggunaan metode deskriptif ini pada dasarnya digunakan untuk dapat lebih memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk dapat memberikan wacana yang ada dalam penelitian sebagai sebuah upaya dalam memaparkan fenomena secara utuh.

Peneliti melihat metode penilitian deskriptif ini dapat mengakomodasi kepentingan penelitian yang diarahkan untuk menghasilkan sebuah peristiwa yang utuh secara holistik. Untuk itu pula metode deskriptif dijadikan sebagai metode penelitian yang paling cocok untuk peneliti gunakan. Pengertian lainnya adalah bahwa metode penelitian deskriptif dapat dilihat sebagai suatu upaya dalam memahami perilaku pengguna tato dan masyarakat dalam melihat tato guna lebih memahaminya lebih dalam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Djalaluddin Rakhmat mengenai pengertian metode deskriptif, bahwa:

“Metode deskriptif, yaitu dengan cara mempelajari masalah-masalah dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu dengan tujuan penelitian yaitu menggambarkan fenomena secara sistematis, fakta atau karakteristik subjek tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.” (Rakhmat, 1997: 22)

Kutipan diatas menunjukan bahwa metode deskriptif digunakan sebagai upaya penggambaran fenomena sosial yang dilaporkan dengan sistematika peristiwa yang menyeluruh. Artinya peneliti memiliki kesempatan untuk dapat memberikan pemahaman yang luas bagi penelitian ini dalam kerangka


(40)

pewacanaan yang didasarkan atas apa yang terjadi dalam penelitian dan tidak memberikan indikasi lainnya kecuali hanya memaparkan kebenarannya.

Dengan menggunakan metode deskritif ini, peneliti dapat dengan leluasa dalam menyampaikan dan merumuskan apa yang ada di lapangan secara keseluruhan dengan cakupan-cakupan tertentu yang telah dirumuskan sebelumnya. Pada dasarnya metode deskritif ada sebagai upaya dalam menjelaskan fenomena yang ada sebagai suatu permasalahan yang dapat dibahas secara umum kemudian merumuskannya ke dalam cakupan yang lebih detil lagi dengan pemaparan yang tersistematis. Penggunaan metode ini dalam penelitian ditujukan untuk lebih dapat memberikan penjelasan mengenai adanya bentuk komunikasi melalui gambar tato dengan menyampaikan pesan tersendiri yang memiliki kandungan makna tertentu di balik gambar-gambar tato.

1.9 Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara mendalam (Depth interview)

Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang salah satunya ialah wawancara. Wawancara menjadi alat alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Menurut Subana (2000: 29) yang dikutip oleh Riduwan, mengatakan bahwa: “Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara ini digunakan


(41)

bila ingin mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalam serta jumlah responden sedikit.” (Riduwan, 2005: 29).

Wawancara dilakukan dengan informan sebagai narasumber penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini menggunakan tiga orang informan bertato yang dianggap telah mewakili kepentingan penelitian yakni Yahya Ramdhani yang berprofesi sebagai pekerja sosial, Angga yang berprofesi sebagai musisi dan shopkeeper distrokenamaan kota Bandung, dan Aji Dani sebagai informan ketiga yang berprofesi sebagai karyawan di Bank Swasta.

2. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan bentuk pengumpulan data atau keterangan melalui bahan bacaan yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Studi pustaka digunakan sebagai salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, karena penting untuk peneliti memperoleh data dari buku serta karya ilmiah yang berhungan dengan penelitian ini untuk melengkapi data yang telah ada atau sebagai bahan perbandingan. Dalam studi pustaka, peneliti menggunakan berbagai buku dan karya ilmiah yang telah ada untuk mencari perkembangan baru mengenai berbagai hal mengenai penelitian.

3. Observasi Partisipan

Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu,


(42)

dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.

Bungin mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.

a. Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden. b. Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa

menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.

c. Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus. (Bungin, 2007: 115)

4. Studi Dokumentasi

Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia biasanya berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam dan dari berbagai sumber yang luas dalam mendukung penelitian.


(43)

Secara detail bahan dokumenter yang berguna bagi penelitian ini terbagi ke dalam beberapa macam. Diantaranya dapat berupa otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, kliping, dokumen pemerintah atau swasta, foto, film, dan lain sebagainya.

5. Internet Searching

Internet sebagai teknologi yang mereduksi jarak dan waktu dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat dalam penelitian dengan memanfaatkan berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang berada di dalamnya. Informasi dari berbagai penjuru dunia yang relevan untuk penelitian dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumber yang memperkaya hasil penelitian. kemudahan akses dan kemampuan internet untuk menjangkau informasi yang tidak terbatas, memungkinkan peneliti untuk menghasilkan informasi-informasi penting.

1.10 Teknik Analisa Data

Teknis analisa data penelitian ini berguna sebagai sistematika proses penelitian yang mengarahkan peneliti pada gambaran dari proses penelitian yang digunakan sebagai teknis analisis data. Teknis analisa data ini menggunakan metode perbandingan tetap (grounded research). Teknis pengumpulan data dengan metode ini disajikan sebagai suatu teknis dari kepentingan data penelitian yang meliputi:


(44)

1. Reduksi Data

Reduksi data dengan identifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.

2. Kategorisasi

a) Menyusun kategori. Kategori adalah memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.

b) Labelisasi kelompok menurut kategori yang ditentukan 3. Sintesisasi

a) Mensintesiskan berarti mencari kaitan antara satu kategori denganb kategori lainnya.

b) Kaitan satu kategori dengan kategori lainnya dikelompokan. 4. Menyusun “Hipotesis Kerja

Hal ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan yang proporsional. Hipotesis kerja ini merupakan teori subtantif yaitu teori yang berasal dan masih terkait dengan data. Hipotesis kerja hendaknya terkait dan sekaligus menjawab pertanyaaan penelitian.

(Moleong, 2006:289).

I.11 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.11.1 Lokasi Penelitian

Penelitian berlangsung di berbagai tempat di Bandung seperti halnya studio tato, komunitas musik, dan berbagai tempat lainnya di Bandung.

1.11.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara bertahap dari bulan September 2010 sampai dengan Februari 2011. Tahapan penelitian ini meliputi persiapan, pelaksanaan, penelitian lapangan, penyelesaian laporan, sidang komprehensif dan sidang kelulusan. Untuk dapat melihat tahapan penelitian secara jelas, maka dapat dilihat dalam tabel berikut ini:


(45)

Tabel 1.2 Jadwal Penelitian

No. Kegiatan September Oktober November Desember Januari Februari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Persiapan

Pengajuan judul Acc judul Pengajuan persetujuan pembimbing 2. Pelaksanaan

Bimbingan BAB I Sidang usulan penelitian

Bimbingan BAB II Bimbingan BAB III Proses wawancara Pengolahan data Bimbingan BAB IV Bimbingan BAB V 3. Penyelesaian

Laporan

Penyusunan seluruh draft skripsi 4. Sidang

Komprehensif 5. Sidang Kelulusan Sumber: Peneliti, 2011


(46)

1.12 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, pertanyaan penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, informan dan informan, lokasi dan waktu penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan mengenai tinjauan tentang komunikasi, tinjauan tentang makna, tinjauan tentang pesan, tinjauan tentang kebudayaan, tinjauan tentang tato.

BAB III OBJEK PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah tato dan perkembangan tato, sejarah perkembangan tato di Indonesia, komunitas tato di Indonesia, prosesi penatoan, jasa tato di Bandung, efek negatif tato, dan teknik penghapusan tato

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan tentang deskripsi identitas informan, hasil, dan pembahasan. BAB V PENUTUP


(47)

41

2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi

Pengertian mengenai komunikasi banyak diungkapkan oleh para ahli komunikasi dengan menilainya dari sudut kepentingan dan keteraturannya sendiri mengenai makna inti dari komunikasi. Onong Uchjana Effendy melihat pengertian komunikasi secara etimologi, bahwa “Istilah komuniksi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.” (Effendy, 2003: 9).

Komunikasi merupakan alat utama yang digunakan dalam rangka melakukan interaksi yang berkesinambungan untuk beragam kepentingan. Komunikasi bersifat fundamental karena berbagai maksud dan tujuan yang ingin dicapai memerlukan adanya suatu pengungkapan atas dasar-dasar tujuan tersebut, maka dalam hal ini komunikasi menjadi alat utama yang digunakan untuk menyampaikan tujuannya. Komunikasi sangat mendasari berbagai pemaknaan yang akan dibuat dan yang akan terbuat setelahnya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Fisher (1986: 17) yang dikutip oleh Wiryanto bahwa, “Ilmu komunikasi mencakup semua dan bersifat eklektif.” (Wiryanto, 2004: 3).


(48)

Penjelasan mengenai hakikat komunikasi juga diungkapkan oleh Charles R. Berger dan Steven H. Chaffe dalam buku “Handbook Communication Science” (1983:17) yang dikutip oleh Wiryanto, bahwa:

Communication science seeks to understand the production,

processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with production, processing and effect (Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahami mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari simbol serta sistem sinyal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi guna menjelasken fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya).” (Wiryanto, 2004: 3).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sarah Trenholm dan Arthur Jensen (1966: 4) dalam buku “Interpersonal Communication” yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa, “A process by which a source transmits a message to a receiver through some channel (Komunikasi adalah suatu proses dimana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran).” (Wiryanto, 2004: 6).

Raymond S. Ross (1983: 8) dalam buku “Speech Communication; Fundamentals and Practice” sebagimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator.” (Wiryanto, 2004: 6).


(49)

Everett M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid (1981: 8) dalam buku “Communication Network: Towards a New Paradigm for Research” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa, “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.” (Wiryanto, 2004: 6).

Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (1964: 527) dalam buku “Human Behavior: An Inventory of Scientific Finding” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Communication: the transmission of information, ideas, emotions, skills, etc. by the uses of

symbol… (Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi,

keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, dan sebagainya).” (Wiryanto, 2004: 7).

Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949) dalam buku “The Mathematical Theory of Communication” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi.” (Wiryanto, 2004: 7).

Dari beragam definisi dan pengertian komunikasi yang telah dikemukakan menurut beberapa ahli komunikasi, dapat dilihat bahwa nilai


(50)

penting yang digaris bawahi di dalamnya adalah adanya proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain melalui media. Ada beberapa pandangan tentang banyaknya unsur komunikasi yang mendukung terjadi dan terjalinnya komunikasi yang efektif. secara garis besar komunikasi telah cukup didukung oleh tiga unsur utama yakni sumber, pesan dan penerima, sementara ada juga yang menambahkan umpan balik dan lingkungan selain ketiga unsur yang telah disebutkan.

Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani Kuno menerangkan dalam bukunya “Rhetorica” sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara mengatakan bahwa, “Suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukung, yakni siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengarkan.” (Cangara, 2005: 21).

Pandangan Aristoteles ini oleh sebagian pakar komunikasi dinilai lebih tepat untuk mendukung suatu proses komunikasi publik dalam bentuk pidato atau retorika, karena pada zaman Aristoteles retorika menjadi bentuk komunikasi yang sangat populer bagi masyarakat Yunani.

Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949), dua orang insinyur listrik yang mendasari hasil studi yang mereka lakukan mengenai pengiriman pesan melalui radio dan telepon, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara menyatakan bahwa, “Terjadinya proses komunikasi memerlukan lima unsur yang mendukung, yakni pengirim, transmitter,


(51)

signal, penerima dan tujuan.” (Cangara, 2005: 22).

Awal tahun 1960-an David K. Berlo membuat formula komunikasi sederhana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Formula ini dikenal dengan nama "SMCR", yakni: Source (pengirim), Message (pesan), Channel (saluran-media), dan Receiver (penerima).” (Cangara, 2005: 22).

Selain Shannon dan Berlo, juga tercatat Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. De Fleur menambahkan lagi unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara, “Unsur efek dan umpan balik (feedback) sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang sempurna.” (Cangara, 2005: 22). Kedua unsur ini nantinya lebih banyak dikembangkan pada proses komunikasi antarpribadi (persona) dan komunikasi massa.

Perkembangan terakhir adalah munculnya pandangan dari Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora yang menambahkan unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung terjadinya proses komunikasi.” (Cangara, 2005: 22).

Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain, komunikasi adalah proses membuat pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Onong Uchjana Effendy:


(52)

“Pertama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. ini berarti ia memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator itu. ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator berfungsi sebagai penyandi (encoder) dan komunikan berfungsi sebagai pengawa-sandi (decoder).” (Effendi, 2003: 13).

Bagian penting dalam proses penyandian (coding) ialah bahwa komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi hanya ke dalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam pengalamannya masing-masing.

2.1.2 Tujuan Komunikasi

Setiap individu dalam berkomunikasi pasti mengharapkan tujuan dari komunikasi itu sendiri, secara umum tujuan berkomunikasi adalah mengharapkan adanya umpan yang diberikan opleh lawan berbicara kita serta semua pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh lawan bicara kita dan adanya efek yang terjadi setelah melakukan komunikasi tersebut. Menurut Onong Uchjana dalam buku “ Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” mengatakan ada pun beberapa tujuan berkomunikasi:

a. Perubahan sikap(attitude change) b. Perubahan pendapat(opinion change) c. Perubahan perilaku(behavior change)


(53)

d. Perubahan sosial(social change). (Effendi, 2003: 8)

Joseph Devito dalam bukunya “Komunikasi Antar Manusia” menyebutkan bahwa tujuan komunikasi adalah sebagai berikut:

1. Menemukan

Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar-dunia yang dipenuhi obyek, peristiwa, dan manusia lain.

2. Untuk berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain

3. Untuk meyakinkan

Media massa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita

4. Untuk bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan.

(Devito, 1997: 31)

2.1.3Fungsi-Fungsi Komunikasi

Berbicara mengenai fungsi komunikasi, Onong Uchjana Effendy, mengemukakan bahwa fungsi komunikasi adalah :

1. Menginformasikan (to inform)

Adalah memberikan informasi kepada masyarakat, memberitahukan kepada masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi, ide atau pikiran dan tingkah laku orang lain, serta segala sesuatu yang disampaikan orang lain.

2. Mendidik (to educated)

adalah komunikasi merupakan sarana pendidikan. Dengan komunikasi, manusia dapat menyampaikan ide dan pikiranya kepada orang lain, sehingga orang lain mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan.


(54)

3. Menghibur (to entertain)

adalah komunikasi selain berguna untuk menyampaikan komunikasi, pendidikan dan mempengaruhi juga berfungsi untuk menyampaikan hiburan atau menghibur orang lain.

4. Mempengaruhi (to influence)

adalah fungsi mempengaruhi setiap individu yang berkomunikasi, tentunya berusaha saling mempengaruhi jalan pikiran komunikan dan lebih jauh lagi berusaha merubah sikap dan tingkah laku komunikan sesuai dengan yang di harapkan. (Effendy, 2003: 36)

2.1.4 Proses komunikasi

A. Proses Komunikasi Primer

Dalam melakukan komunikasi, perlu adanya suatu proses yang memungkinkannya untuk melakukan komunikasi secara efektif. Proses komunikasi inilah yang membuat komunikasi berjalan dengan baik dengan berbagai tujuan. Dengan adanya proses komunikasi, berarti ada suatu alat yang digunakan dalam prakteknya sebagai cara dalam pengungkapan komunikasi tersebut. Menurut Onong Uchjana Effendy dalam buku “Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek”, Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap yakni proses komunikasi secara primer dan secara sekunder, yakni:

“Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan.” (Effendy, 2003: 11).


(55)

Onong Uchjana Effendy mengatakan bahwa, “Bahasa digambarkan paling banyak dipergunakan dalam proses komunikasi karena dengan jelas bahwa bahasa mampu menerjemahkan pikiran seseorang untuk dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain secara terbuka.” (Effendy, 2003: 11).

Apakah penyampaian bahasa tersebut dalam bentuk ide, informasi atau opini mengenai hal yang jelas (kongkret) maupun untuk hal yang masih samar (abstrak), bukan hanya mengenai peristiwa atau berbagai hal yang sedang terjadi melainkan pada waktu dulu dan masa yang akan datang.

Effendy selanjutnya menjelaskan berbagai pemahaman lain dari elemen komunikasi primer tersebut sebagai berikut:

“Kial (gesture) merupakan terjemahan dari pikiran seseorang sehingga dapat terekspresikan secara nyata dalam bentuk fisik, tetapi kial ini hanya dapat mengkomunikasikan hal-hal tertentu secara terbatas.

Isyarat juga merupakan cara pengkomunikasian yang menggunakan alat “kedua” selain bahasa yang biasa digunakan seperti misalnya kentongan, semaphore (bahasa isyarat menggunakan bendera), sirine, dan lain-lain. Pengkomunikasian ini juga sangat terbatas dalam menyampaikan pikiran seseorang.

Warna sama seperi halnya isyarat yang dapat mengkomunikasikan dalam bentuk warna-warna tertentu sebagai pengganti bahasa dengan kemampuannya sendiri. dalam hal kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang, warna tetap tidak “berbicara” banyak untuk menerjemahkan pikiran seseorang karena kemampuannya yang sangat terbatas dalam mentransmisikan pikiran seseorang kepada orang lain.

Gambar sebagai lambang yang lebih banyak porsinya digunakan dalam komunikasi memang melebihi kial, isyarat, dan warna dalam


(56)

hal kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang, tetapi tetap tidak dapat melebihi kemampuan bahasa dalam pengkomunikasian yang terbuka dan transparan. Penggunaan bahasa sebagai “penerjemah” pikiran dapat didukung dengan menggunakan gambar sebagai alat bantu pemahaman, tetapi posisinya hanya sebagai pelengkap bahasa untuk lebih mempertegas maksud dan tujuannya.” (Effendy, 2003: 12).

Media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi adalah bahasa, tetapi tidak semua orang dapat mengutarakan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya melalui kata-kata yang tepat dan lengkap. Hal ini juga diperumit dengan adanya makna ganda yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan, dan memungkinkan kesalahan makna yang diterima. Oleh karena itu bahasa isyarat, kial, sandi, simbol, gambar, dan lain-lain dapat memperkuat kejelasan makna.

B. Proses Komunikasi Sekunder

Setelah proses komunikasi primer, maka proses komunikasi kedua adalah proses komunikasi sekunder. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Onong Uchjana Effendy bahwa, “Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.” (Effendy, 2003: 16).

Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya


(57)

berada ditempat yang relatif jauh atau dengan jumlah yang banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, internet, dan lain-lain adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Media kedua ini memudahkan proses komunikasi yang disampaikan dengan meminimalisir berbagai keterbatasan manusia mengenai jarak, ruang, dan waktu.

Menurut Onong Uchjana Effendy, “Pentingnya peran media, yakni media sekunder dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiensi dalam mencapai komunikan.” (Effendy, 2003: 17). Surat kabar, radio, atau televisi misalnya, merupakan media yang efisien dalam mencapai komunikan dalam jumlah yang amat banyak. Jelas efisien karena dengan menyiarkan sebuah pesan satu kali saja dapat tersebar luas kepada khalayak yang begitu banyak jumlahnya.

Keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Menurut para ahli komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka karena kerangkan acuan (frame of reference) komunikan dapat diketahui oleh komunikator, sedangkan dalam proses komunikasinya umpan balik berlangsung seketika, dalam artian komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu.


(58)

Ini berlainan dengan komunikasi bermedia, apalagi menggunakan media massa yang tidak memungkinkan komunikator mengetahui kerangka acuan khalayak yang menjadi sasaran komunikasinya dan dalam proses komunikasinya, umpan balik tidak berlangsung saat itu tetapi memerlukan waktu untuk menanggapinya.

Komunikasi sekunder ini merupakan sambungan dari komuniksi primer untuk menembus ruang dan waktu. Dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator harus mempertimbangkan sifat media yang akan digunakan. Penentuan media yang akan dipergunakan sebagai hasil pilihan dari sekian banyak alternatif perlu didasari atas pertimbangan mengenai siapa komunikan yang akan dituju.

Komunikan media surat, poster atau papan pengumuman akan berbeda dengan komunikan surat kabar, radio, televisi, atau film. Setiap media memiliki ciri atau sifat tertentu yang hanya efektif dan efisien untuk dipergunakan bagi penyampaian suatu pesan tertentu.

Onong Uchjana Effendy mengatakan bahwa, “Proses komunikasi sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa (massmedia) dan media nirmassa atau nonmassa ( non-mass media).” (Effendy, 2003: 18).


(59)

Media massa seperti surat kabar, radio, televisi, film, dan lain-lain memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain massif (massive) atau massal (massaal), yakni tertuju kepada sejumlah orang yang relatif banyak. Sedangkan media nirmassa atau media nonmassa seperti, telepon, surat, telegram, spanduk, papan pengumuman, dan lain-lain tertuju kepada satu orang atau sejumlah orang yang relatif sedikit.

2.2Tinjauan Tentang Makna 2.2.1 Pengertian Makna

Makna merupakan konsep yang abstrak, yang telah menarik perhatian pada ahli filsafat dan para teoretisiilmu sosial semenjak 2000 tahun yang silam. Semenjak Plato menkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang amat luas yang merentang sejakpengungkapan mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner, tetapi pengungkapan makna dari makna terkesan menemukan jalanbuntu karena konsepsi yang cenderung tidak dapat di konsepsikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jerold Katzyang dikutip oleh Fisher, bahwa “Setiap usaha untuk memberikan jawaban langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya jawaban Plato, telah terbukti terlalu samar-samar


(60)

dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban yang salah.” (Fisher, 1986: 343).

Judul-judul buku seperti misalnya “The Meaning of Meaning” dan “Understanding Understanding” bersifat provokatif akan tetapi cenderung untuk lebih banyak berjanji dari pada apa yang dapat diberikannya. Barangkali alasan mengapa terjadi kekacauan konseptual tentang makna ialah adanya kecenderungan yang meluas untuk berpikir tentang makna sebagai konsep yang bersifat tunggal. Brodbeck (1963), misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Penjelasan mengenai tiga konsep makna tersebut dikutip oleh Fisher, sebagai berikut:

“Menurut Tipologi Brodbeck, yang pertama makna referensial yakni makna suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditujukan oleh istilah itu. Kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Dengan kata lain, lambang atau istilah itu ‘berarti’ sejauh ia berhubungan dengan ‘sah’ dengan istilah konsep yang lainnya. Tipe makna yang ketiga, mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah lambang tergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.” (Fisher, 1986: 344). Sekalipun demikian, tiga makna dari makna Brodbeck itu hanyalah merupakan satu hampiran saja untuk memahami konsep itu. Rubenstain mengemukakan tiga buah teori makna yang cenderung formal dan bersifat amat berlainan, seperti yang dikutip oleh Aubrey Fisher, yakni “Makna mencakup teori referensial, teori ideasional, dan berbagai subvariasi dari teori psikologis.” (Fisher, 1986: 345).


(61)

Rubenstein berusaha untuk mengungkapkan hakikat maknayang diadaptasi padastudi bahasa. Brodbeck terutama memperhatikan makna istilah dalamteori ilmiah. Tujuannya berbeda, karena itu berbeda pula penjelasanj tentang makna itu. Dua buah contoh diatas menggambarkan adanya kekacauan konseptual secara filosofis atau pun empiris mengenai makna dari makna, tetapi tujuannya bukan untuk menemukan hakikat makna yang “sebenarnya” dari konsep makna itu. Pembahasan terdahulu ditujukan untuk menunjukan adanya fakta yang jelas mengenai makna merupakan konsep yang tersebar secara luas dan bermuka majemuk. Bergantung pada tujuan dan perspektif seseorang, konsep itu sendiri dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.

Dengan menyampingkan semua kekacauan filosofis mengenai makna, sebenarnya kita semua memiliki intuitif tentang apa itu makna. Dengan kata lain, kita mungkin tidak dapat menerangkan penjelasan teoritis yang tepat tentang makna, namun kita dapat mengatasi konsep makna dalam percakapan. Pengertian makna itu sendiri bergantung pada perspektif yang kita pergunakan untuk mengkaji proses komunikatif, oleh karena itu penggunaan konsep maknasecara konsisten dipergunakan seakan-akan kita tahu sepenuhnya tentang makna dari makna itu.


(1)

180

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Cetakan ketigabelas). Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Fisher, Aubrey. 1986. Perpective on Human Communication (Teori-Teori Komunikasi, terj. Soejono Trimo). Bandung: CV Remadja Karya.

Foucault, Michael. 1979. Seks dan Kekuasaan (Sejarah Seksualitas). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Marianto, M. Dwi dan Syamsul Barry. 2000. Tato. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi (Cetakan keduapuluh dua). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Cetakan kedelapan). Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Olong, Hatib Abdul Kadir. 2006. Tato. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Poloma, Margaret M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian (Cetakan ketiga). Bandung: Alfabeta.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial (Cetakan kedua). Jakarta: Balai Pustaka.


(2)

181

Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sumber lain:

http://www.kent-tattoo.com/ina/liat_profil.php?nomer=204/22.01.2011/21.02

22.01.2011/21.34

22.01.2011/ 21.34

http://www.bandung.go.id/c/9/?fa=pemerintah.detail&id=327/28/02/2011/21.25


(3)

220

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Diri

1. Nama : Abdullah Fikri

2. NIM : 41805057

3. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 9 agustus 1985 4. Jenis Kelamin : Laki - laki

5. Kewarganegaraan : Indonesia 6. Agama : Islam

7. Status Perkawinan : Belum Menikah

8. E-mail : vicry_thefender@ymail.com 9. No. Telepon :081221666119

10.Alamat : KP.Rambay Sukamanah Cisaat Kab. Sukabumi 11.Hobi : Main Musik

12.Nama Ayah : Yayat Subarjat 13.Pekerjaan Ayah : Pegawai BUMN

14.Nama Ibu : (Alm) Diah Siti Nur Fuaziah


(4)

221

Pendidikan Formal

• (1991 – 1997) SD Benteng 2 Sukabumi • (1997 – 2000) SLTP 5 Sukabumi

• (2000 – 2003) STM Teknika Cisaat Sukabumi

• (2005 - Sekarang) Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung

Pendidikan Non Formal

• (2007- Bersertifikat) Peserta Kunjungan Media Massa Prodi IK Unikom • (2008- Bersertifikat) Peserta Pendidikan Jurnalistik Dasar Unikom

• (2009 – Bersertifikat) Peserta Study Tour Peliputan Jurnalistik TV Unikom

• (2009) Job Training di PT.Andalan Utama Sukabumi • (2010 – Bersertifikat) Peserta English Proficiency Test (EPT) Department

UNIKOM

Pengalaman Bekerja

• 2005 – 2006 Ozst Cafe

• 2006 – 2007 Cafe Coklat Grad Setia Budi Apartement • 2008 – 2009 Karyawan Distro Options


(5)

222

Pengalaman Organisasi

• 2006 – 2008 Pengurus IO Kotamadya Sukabumi

• 2008 – 2009 Pengurus Taman Skate Park Kotamadya Sukabumi • 2005 – Sekarang Wakil Ketua Band Indie Sukabumi

Kegiatan Lainnya

Kuliah Umum Etika Pers ”Penerapan Etika Pers Dalam Dunia Jurnalistik” UNIKOM Bandung 2008

• Bisnis Tour Ciwidey ”Regar Orchid” Bandung 2008

Workshop Brain Management di Program Pendidikan Ilmu Komunikasi

dan Public Relations Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIKOM Bandung tahun 2007

• Pelatihan Pembawa Acara di Program Pendidikan Ilmu Komunikasi dan Public Relations Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIKOM Bandung tahun 2007

Workshop dan Diskusi Program Berita yang Humanis dan

Menginspirasi UNISBA Bandung 2007

Talk Show Media Literasi “Dampak Psikologis Tayangan Reality Show”


(6)

223

Prestasi

 (1997) Penampilan Terbaik pada Festival Musik Amild Debut Kotamadya Sukabumi

• (1998) Juara 1 pada Festival Musik Tropy Walikota Sukabumi

• (1999) Juara 2 pada Festival Musik LA Indie Sukabumi • (2000) Basis Terbaik pada Festival Musik Tropy Walikota

Sukabumi

• (2002) Juara 1 pada Festival Musik Tropy Walikota Sukabumi

• (2002) Basis Terbaik pada Festival Musik Tropy Walikota Sukabumi

• (2003) Juara 1 pada Festival Musik LA Indie fest Sukabumi

• (2004) Juara 1 Festival Basis Sukabumi • (2007) Basis terbaik Festival SDS Sukabumi • (2008) Basis terbaik Festival A’maild Sukabumi

• (2009) Juara 1 pada Festival Musik Class jazz Kab. Bogor • (2010) Basis Terbaik GAMMA Festival