Latar Belakang Masalah Tradisi MarsirimpaBatak Toba pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tradisi gotong-royongmerupakan kebiasaan berupa tindakan untuk melakukan sebuah aktivitas atau pekerjaan yang melibatkan orang-orang disekitar kita atau kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, tradisi gotong- royong dapat juga diartikan sebagai salah satu kegiatan tradisional yang perlu diwariskan dalam menata kehidupan sosial, terutama menyelesaikan persoalan- persoalan yang dihadapi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tradisi gotong-royong telah menjadi bagian dari praktik kehidupan masyarakat Batak Toba untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi sejak zaman dahulu. Ada istilah gotong-royong dalam masyarakat Batak Toba yaitu marsirimpayang berarti mengerjakan sawah atau ladang secara bersama-sama secara bergantian satu sama lainnya. Alasan gotong-royong disamakan dengan marsirimpa dalam Batak Toba adalah karena dalam melakukan marsirimpaditemukan unsur gotong- royong yang dapat dimaknai dengan saling atau disebut dengan kebersamaan. Hampir semua aspek kehidupan orang Batak Toba pada zaman dahulu diselesaikan dengan gotong-royong. Gotong-royong marsirimpa dilakukan karena seorang individu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan di ladangnya dengan cepat. Suatu pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat kalau dilakukan secara bersama-sama. Seluruh kegiatan yang berhubungan dengan siklus mata pencaharian yang mulai dari menanam, mengelola, dan memanen diselesaikan dengan gotong-royong. Selain itu, pelaksanaan upacara adat dalam siklus kehidupan mulai dari upacara perkawinan sampai upacara kematian, dilakukan 2 dengan gotong-royong. Pekerjaan umum seperti pembukaan kampung, perbaikan jalan, perbaikan irigasi, pendirian rumah, maupun ritual-ritual religi juga dilakukan dengan gotong-royong. Namun, disini penulis lebih fokus pada kegiatan gotong-royong dalam siklus mata pencahariannya, yaitu untuk mengetahui tahapan apa saja yang diperlukan dalam gotong-royong pada siklus mata pencaharian masyarakat tersebut. Akan tetapi, dari hasil penelitian lapangan penulis mendapat data hanya untuk mata pencaharian sawah yang melakukan marsirimpa. Kearifan lokal gotong-royong pada hakikatnya merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah dan di berbagai etnik dengan berbagai variasi istilah dan penerapannya. Meskipun istilah dan penerapannya bervariasi, pada hakikatnya semua yang menyangkut gotong-royong selalu berkaitan dengan usaha memadukan potensi, tenaga, sumber daya, dan sumber dana secara bersama-sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sekarang kearifan lokal gotong-royong semakin memudar karena kebiasaan perseorangan setelah selesai melakukan pekerjaan akanmeminta upahdan beranggapan bahwa gotong-royong tersebut tidak lagi perlu dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengedepankan kepentingan pribadi yang mengutamakan uangdaripadagotong-royong tersebut.Orang-orang yang memiliki perekonomian kurang baik, akan susah mencari teman bergotong-royong ke ladangnya, karena yang lainnya sudah memberi upah kepada para pekerja ke ladang. Dengan demikian, masyarakat yang tidak mampu memberi upah akan berupaya sendiri untuk menyelesaikanladangnya tanpa bantuan orang lain. 3 Kegiatan gotong-royong ini harus tetap dilaksanakan pada kehidupan masyarakat agar terjadi kerja sama yang dapat mewujudkan kekompakan. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul “TradisiMarsirimpa pada Siklus Mata Pencaharian di daerah Baktiraja”. Di daerah Baktiraja ini masih dilaksanakan tradisi gotong-royong tersebut. Alangkah baiknya warisan leluhur tersebut dilestarikan oleh generasi penerus bangsa kita ini.

1.2 Rumusan Masalah