Tradisi MarsirimpaBatak Toba pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1

Daftar Pertanyaan

No Topik Deskripsi

jawaban

Interpresentasi 1 Jenis-jenis marsirimpa

 Sebelum menananm, • Apa-apa saja mata

pencaharian di kecamatan Baktiraja?

• Apakah ada tahap-tahap marsirimpa sebelum menanam?

• Apa saja contoh marsirimpa yang di lakukan masyarakat sebelum menanam? • Apa saja nama marsirimpa

sebelum menanam itu disebut ?

• Bagaimana cara kerja marsirimpa sebelum menanam, apa ada istilah-istilah lain yang digunakan untuk itu?

• Bagaimana keberadaan marsirimpa sebelum menanam itu, apa ada perubahan dari sebelumnya hingga sekarang?

 Masa menanam • Tahap-tahap apa yang

dilakukan saat menanam? • Apakah ada juga

marsirimpa menanam dalam pekerjaan tersebut? • Bagaimana cara kerja

marsirimpa menanamnya tersebut?

• Bagaimana kesepakatan marsirimpa mananam tersebut?


(2)

saat memanen tersebut? • Bagaimana cara

marsirimpa masa memanen?

• Bagaimana tahapan marsirimpa memanen tersebut?

2 Prosedur marsirimpa

• Apakah ada pembentukan pekerja untuk marsirimpa tersebut?

• Siapa-siapa saja yang ikut marsirimpa, apakah laki-laki dan perempuan bisa satu tempat melakukan marsirimpa?

• Apakah dalam marsirimpa itu hanya dilakukan perempuan saja? • Berapa orang batasan

untuk melakukan marsirimpa itu?

• Apakah ada makna tertentu dari jumlah orang yang marsirimpa tersebut? • Apakah hanya satu

kampung saja yang dapat untuk marsirimpa, apakah bisa juga dari kampung sebelah?

• Bagaimana dengan makanan yang ikut serta marsirimpa tersebut, apakah ada kesepakatan untuk itu?

• Bagaimana kesepakatan marsirimpanya?

3 Ungkapan-ungkapan marsirimpa • Apakah ada upacara

sebelum menanam tersebut?

• Apakah ada Umpama dan umpasa sebelum menanam tersebut?

• Umpasa dan umpama apa saja yang digunakan untuk


(3)

itu?

• Pada saat kapan umpama dan umpasa tersebut dilakukan atau diucapkan? • Apakah ada cerita-cerita

nenek moyang dulu tentang marsirimpa tersebut?


(4)

Lampiran 2 Daftar Informan

1. Nama : Garih Pasaribu Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 79 tahun Pekerjaan : Petani

2. Nama : Denis Nababan Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 39 tahun Pekerjaan : Petani

3. Nama : Eddy Hutasoit Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 49 tahun Pekerjaan :Petani

4. Nama : Raudin Purba Jenis kelamin : Laki-laki Usia :78 tahun Pekerjaan : Petani

5. Nama : Darwin Manalu Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 46 tahun Pekerjaan : Petani


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, dkk. 1984. Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewah Aceh. Banda Aceh : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bintoro, R. 1980. Gotong-royong: Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Yogyakarta. PT. Bina Ilmu

Makmur, Mariana & Berutu, Lister. 2013. Sistem Gotong-royong pada Masyarakat Pakpak di Sumatera Utara. Medan : Grasindo Monoratama Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta. PT Bumi Aksara Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda

2012. Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan . Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan

2014. Kearifan Lokal Gotong-royong Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba. Medan : Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara

Sibarani, Robert, dkk. 2014. Pola Gotong-royong dan Model Revitalisasinya Pada Masyarakat Batak Toba. Medan: Lembaga Penelitian Sumatera Utara

Sibarani, Robert. 2015. Retorika Jurnal Ilmu Budaya. Denpasar: Dewan Penyunting/Redaksi

Suwondo, Bambang. 1983. Sistem Gotong-royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


(6)

BAB III

METODE PENELITIAN

Menurut Maryaeni (2005:58), “Metode merupakan cara yang ditempuh peneliti dalam menemukan pemahaman sejalan dengan fokus dan tujuan yang ditetapkan. Istilah metode sering dihubungkan dengan istilah pendekatan, strategi, dan teknik”.

Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis, sampai dengan menyusun laporan. Jadi metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman. Menurut Maryaeni(2005:1), penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.

Dalam konteks penelitian istilah fakta memiliki pengertian tidak sama dengan kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu daripada kenyataan exact, dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang terbentuk dalam pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkrit dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.

3.1Metode Dasar

Metode yang dipergunakan dalam penganalisisan adalahmetode deskriptif kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Menurut Sibarani, dkk (2014:25), metode kualitatif berusaha menggali, menemukan, mengungkapkan, dan


(7)

secara holistik. Tujuan metode kualitatif dapat dipahami sebagai makna menjelaskan bagaimana fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal, sedangkan pola dapat dipahami sebagai kaidah, struktur, formula yang pada gilirannya dapat menghasilkan model. Penelitian kualitatif ini mengikuti langkah-langkah Miles dan Huberman (Sibarani, 2014: 24-27) yakni:

1. Data collection (pengumpulan data), yakni mengumpulkan data berupa kata-kata dengan cara wawancara, pengamatan, intisari dokumen, perekaman, dan pencatatan.

2. Data reduction (reduksi data), yakni merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan “menyisihkan” yang tidak perlu.

3. Data display (penyajian data), yakni memperlihatkan data, mengklasifikasikan data, menyajikannya dalam bentuk teks yang bersifat naratif atau bagan.

4. Conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan/verifikasi), yakni penarikan kesimpulan dan verifikasi sehingga dapat merumuskan temuan-temuan peneliti.

Demikianhalnya pada tradisi gotong-royong tersebut, bahkan sampai sekarang tradisi gotong-royong tersebut masih diterapkan disana.

3.2 Lokasi dan Sumber DataPenelitian

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya asli etnis Batak Toba danmasih menerapkan kegiatan gotong-royong tersebut. Di desa ini penulis dapat


(8)

memperoleh keterangan bagaimana cara melestarikan kebiasaan atau warisan tersebut. Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara dengan informan antara 5-8 orangyang tinggal di desa itu.

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan. Alat bantu yang digunakan yaitu :

1. Alat rekam (tape recorder): dengan keterbatasan daya ingat, penulis tidak dapat menghasilkan data dengan sempurnah. Oleh karena itu, seorang penulis harus membawa alat perekam yang dapat merekam apa yang telah penulis dapat dari informan.

2. Buku tulis dan pulpen: sebelum terjun kelapangan, penulis memerlukan buku tulis dan pulpen untuk mencatat pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar penting untuk judul yang tengah diteliti, agar tidak lari dari topik yang diinginkan serta mencatat kata-kata yang informan ucapkan jika memang penting dicatat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangannya.Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini adalah :

a. Metode wawancara mendalam dan terbuka, metode ini dilakukan secara purporsive sampling kepada para informan terpilih untuk menjawab pertanyaan


(9)

pertama, kedua, dan ketiga. Wawancara mendalam dan terbuka ini dilakukan kepada masyarakat yang sering terlibat dalam gotong-royong. Hasil wawancara ini direkam dan dicatat sehingga tidak ada informan yang tertinggal. Sesuai dengan kriteria pendekatan kualitatif, jumlah informan ditentukan berdasarkan kepadaan, kecukupan, dan keakuratan data sehingga jika tidak terdapat lagi informan baru (redundant) pada informasi tertentu, maka pencarian informasi dari informan dicukupkan sampai disitu. Panduan wawancara yang mencantumkan pertanyaan-pertanyaan mengenai rumusan masalah dipersiapkan pada waktu pengumpulan data wawancara mendalam, dan terbuka.

b. Metode observasi partisipotoris dan langsung diterapkan terutama dalam mendapatkan data untuk menjawab pertanyaan tentang gotong-royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang berkenaan dengan tradisi lisan seperti siklus mata pencaharian yakni pertanian pada zaman dahulu dan masa sekarang ini di masyarakat Batak Toba di Baktiraja.

Metode ini dilakukan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap tentang royong sebagai objek yang diteliti, sehingga didapatkan data gotong-royong secara sepenuhnya.

3.5Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan


(10)

peneliti dalam menalar sesuatu. Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menggunakan metode gotong-royong dan teori tradisi lisan.

Dalam metode gotong-royong dan teori tradisi lisan penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1.Mengumpulkan data dan menganalisis ungkapan-ungkapan tradisional yang berisi marsirimpa (gotong-royong)dari lapangan.

2.Data yang diperoleh akan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

3.Mengumpulkan data marsirimpa (gotong-royong) pada upacara siklus mata pencaharian seperti (menanam, mengelola, dan memanen) yang terdapat di daerah tersebut.

4.Membuat kesimpulan.

Parameter antropolinguistik yang diterapkan adalah (1) keterhubungan (interconnection) antara teks, ko-teks, dan konteks, (2) kebernilaian (cultural values) melalui dari makna atau fungsi, sampai ke nilai atau norma, serta akhirnya sampai pada kearifan lokal, dan (3) keberlanjutan (continuity) yang memperlihatkan keadaan tradisi dan pewarisannya. Ketiga parameter itu akan dimanfaatkan baik pada waktu menganalisis unkapan-ungkapan tentang gotong-royong dan kegiatan mata pencaharian. Dalam menganalisis data, mengolah data, mendeskripsikannya dalam laporan penelitian, ketiga parameter itu dipedomani oleh peneliti (Sibarani, 2014:21).


(11)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Jenis-jenis Marsirimpa pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatam Baktiraja

Jenis-jenis marsirimpa yang ada di Bakara adalah di mulaidari marsirimpa perbaikan parit (raja bondar), proses menanam dan proses memanen. Namun, cara kerja untuk memperbaiki tali air berbeda dengan yang ada di Tipang dan keberadaan marsirimpa yang ada di Bakara sudah mulai pudar. Di Tipang jenis-jenis marsirimpaadalah dimulai dari proses perbaikan tali air (sialih aek), proses menanam, dan proses memanen masih tetap berjalan dengan baik.

4.1.1 Marsirimpa dalam Proses Perbaikan Tali Air (Mangallang Indahan Siporgis di Tipang)

Dahulu untuk perbaikan tali air masyarakat Bakara mempercayai pekerja parit yang disebut dengan raja bondar. Pekerja parit (raja bondar) adalah orang-orang yang di pilih dari setiap Desa untuk memperbaiki atau memantau keadaan aliran air ke sawah. Untuk mendapatkan air, pekerja parit (raja bondar) membendung dua sungai yaitu sungai silang dan sungai simangira untuk dapat mengaliri persawahan masyarakat. Dan sebagai upah pekerja parit (raja bondar) adalah padi dua kaleng tiap keluarga. Akan tetapi, untuk sekarang pekerja parit (raja bondar) sudah tidak ada lagi karena untuk memperbaiki parit dan juga perbaikan bendungannya sudah ada bantuan dari pemerintah sehingga kelompok


(12)

kerja sudah diberi upah. Bisa saja yang ikut kerja memperbaiki paritnya bukan dari masyarakat setempat melainkan dari luar masyarakat itu atau dari luar kota.

Marsirimpa pada masa mangallang indahan siporgis ini ialah di mana masyarakat Tipang memiliki tujuh marga raja yakni Purba, Manalu, Debataraja, Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit. Ke tujuh marga ini membentuk kelompok 62 orang, yakni 60 sebagai sialihaek(orang yang membersihkan tali air) dan dua lagi sebagai parhara (orang yang selalu melihat tali air dan selalu memberitahukan apa yang terjadi pada tali air).

Sebelum ke-62 orang tersebut membersihkan tali air, terlebih dahulu yang mereka diberi makan nasi tumbuk(indahan siporgis). Hal ini dilakukan bertujuan untuk memberi semangat kepada mereka agar semua berjalan lancar dan jauh dari segala bahaya (parmaraan). Selesai makan indahan siporgis, biasanya enam dari tujuh marga raja akan memberi berkat kepada tuan rumah (hasuhuton) agar selalu sehat dan diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan makan indahan siporgis ini dilakukan secara bergantian dari ke-7 raja marga tersebut agar terjadi kerja sama dan adil dalam perkumpulan masyarakat. Kemudian kalau salah seorang dari ke-62 itu tidak hadir untuk makan, maka akan dikenakan denda sebesar upah satu hari. Jika setiap anggota sialih aek itu tidak dapat hadir untuk makan, maka dia akan menggaji orang lain untuk makan indahan siporgis tersebut agar tidak terkena denda. Bagi yang tidak dapat hadir makan dan tidak mencari penggantinya untuk makan akan dikenakan denda. Untuk memperingan denda seorang yang tidak hadir, raja jolo atau kepala marga akan menggantikannya dengan menggadeikan barang-barang yang hendak dipakainya. Maka tidak asing lagi kalau setiap kepala marga (raja jolo) memakai baju tiga lapis karena ada


(13)

kejadian pada waktu makan nasi tumbuk (indahan siporgis),tujuh anggota siraja jolotidak hadir.Jika demikian maka mau tidak mau semua barang si raja jolo yang dikenakannya digadeikan untuk memperingan denda dari anggotanya tersebut. Ia pulang hanya memakai celana dalam dan dia bisa pulang pada tengah malam dimana semua orang sudah tidur agar tidak malu.

Setelah itu, jangka waktu 2-3 hari tidak ada pemohon maaf dari orangyang tidak hadir makan, ke-7 raja marga tersebut akan membuat rapat untuk menentukan kesepakatan itu, apakah langsung pergi kerumahnya dan meminta denda atau masih diberi kelonggaran. Biasanya masyarakat yang lainnya masih memberi kelonggaran satu hari lagi. Si raja jolo akan berkunjung kerumahnya untuk menanyakan bagaimana selanjutnya, apakah dia mau membayar dendanya atau tidak.

Kalau hal itu juga tidak ditanggapi oleh siempunya utang, maka semua anggota ke-7 raja marga akan pergi kerumah yang siempunya utang sambil membawa cangkul dan mencangkuli halaman rumahnya sambil berkata “bayar utang mu” berkali-kali sambil menyangkoli halaman rumahnya sampai rusak dan tidak heran dia akan dikeluarkan dari kelompok sialihaek dan menarik tanah yang di upahkan sebelumnya dan sudah disepakati sebagai sangsi bagi siapa melanggar perjanjian tersebut. Acaramangallang indahan siporgis ini dilakukan di dua tempat secara bersamaan dan tuan rumah (hasuhuton) nya sama dan biasanya dilaksanakan pada bulan-bulan September atau oktober dan sebagai tuan rumahnya dilakukan secara bergantian tiap tahunnya. Hal ini sudah ada sejak dahulu dan tetap dilakukan hingga sekarang di Tipang.


(14)

(15)

Gotong-royong perbaikan tali air (sialih aek)

Marsirimpapada perbaikan tali air (aek) ini dilakukan setelah makan indahan siporgis. Dalam perbaikan tali air (aek)ini masyarakat Tipang membentuk dua kelompok perbaikan tali air(sialih aek) dari ke-7 raja marga tersebut yang terdiri dari 60 orang yaknisialih aek toba dan sialih aek dolok dan dua orang sebagai parhara. Parhara biasanya orang yang selalu memerhatikan aliran air (aek). Jika ada kesilapan atau kebocoran dari hasil kinerja sialih aek tersebut maka akan diperbaiki oleh parhara. Jika tidak dapat diperbaiki lagi, makaparhara akan memgumpulkan 60 orang sialih aek tersebut untuk membantu memperbaiki tali air itu.

Setelah perbaikan aliran air selesai, waktunya mengalirkan air (manabar). Pada saat air dijalankan (manabar), semua raja jolo atau pimpinan setiap 7raja marga tersebut akan berjalan mulai dari pangkal aliran air sampai ke ujung aliran air untuk melihat apakah aliran airnya bagus atau lancar mengalir. Kalau ada yang rusak atau bocor, 7raja marga tersebut akan mencari tahu hasil kerja siapa yang


(16)

bocor itu. Setelah diketahui hal itu, maka akan dikumpulkan semua sialih aek dan memberi sanksi pada kelompok siapa yang tidak memperhatikan hasil kerjanya itu dengan mendendanya seharga upah satu hari.

Hal itu dilakukan agar setiap pekerjaberhati-hati, bertanggung-jawab, dan saling bekerja sama satu sama lain. Karena hasil pekerjaan yang dilakukan berkelompok tersebut dapat dilihat bagaimana kelompok tersebut melakukan tugasnya. Kekompakan dapat dilihat dari hasil kerja sama itu sendiri. Jika kelompok tersebut tidak melakukan tugasnya dengan baik, maka akan jadi kesalahanraja jolo mereka sendiri, karena tidak memberi arahan dan nasehat untuk kelompoknya.

Kemudian istri (paniaran) Hutasoit boru Sitohangtidak sengaja melihat aliran air yang dikerjakan sialih aek, begitu banyak lahan yang masih kosong yang tidak dapat teraliran air, kemudian paniaran Hutasoit (istri marga Hutasoit) menemui raja jolo dan memberi saran untuk membengkok(menglehu) aliran air baru agar dapat mengaliri ke lahan yang lainnya. Ia kemudian menunjukkan cara membengkok (menglehu) dengan membawa seekor anjing bersamanya.

Kemudian raja jolo mengikuti saran istri dari marga Hutasoit (paniaran Hutasoit)dan memberitahukannya pada 60 sialih aek itu agar membengkok (menglehu) aliran air yang ditunjuk, benar adanya setelah dilakukan bengkokan(lehuan) itu dapat membuat persawahan ke atas dengan begitu luas.


(17)

4.1.2 Marsialap Ari dalam Proses Menanam

Di Bakara marsialapari dalam proses menanam dimulaidari mencangkul (marluku).Untuk marsialap ari tersebut masyarakat Bakara membutuhkan tenaga yang lebih sehingga memerlukan teman untuk mencangkul (marluku). Masyarakat Bakara biasanya memerlukan enam orang untuk menyelesaikan lahannya. Kemudian meratakan (menggairi) tanah dan membuat pembatas (galung) sebagai tempat aliran air seperti parit.

Pada saat ini marsirimpa sudah tidak dipraktikkan lagi dalam mencangkul atau mengolah tanah di masyarakat Bakara. Alasannya, teknologi mesin traktor telah masuk ke Desa Bakara sehingga keinginan masyarakat untuk marsirimpa sudah minim. Semua lahan di Bakara dapat dimasuki traktor sehingga masyarakat sudah memakainya dan tidak melakukan marsirimpa lagi. Semuanya sudah mengandalkan barang-barang teknologi canggih. Tidak heran, masyarakatnya jadi malas bekerja.

Kemudian menanam padi (marsuan) adalah suatu pekerjaan yang melibatkan beberapa orang untuk menyelesaikannya. Menanam (marsuan) dilakukan setelah menyediakan bibit tanaman. Proses menanam ini dahulu dilakukan dengan marsirumpa di Bakara terutama pada kaum perempuan dan melibatkan enam orang untuk marsirimpa, untuk mengumpulkan yang enam orang tersebut para ibu mencari teman yang dapat ikut marsirimpa di lahannya, ada sebagian ibu yang menawarkan diri sendiri untuk ikut marsirimpa di lahan tersebut dan itu berdasarkan kesepakatan bersama yang sudah disepakati terlebih dahulu.


(18)

Marsirimpa ini bermanfaat untuk menjalin kebersamaan dan kerja sama secara bergantian yang dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik, mengeratkan ikatan persaudaraan dan kekeluargaan dalam suatu masyarakat. Namun sekarang sudah jarang dilakukan marsirimpa untuk menanam (marsuan) di karenakan masyarakat sudah memberi dan menerima upah dari masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat menurunkan kebersamaan dalam pertanian sehingga hasil pertanian semakin menurun.

Lahan pertanian di Bakara

Di Tipang marsialap ari di mulai dari mencangkul (mangombak balik), pada saat mencangkul (mangombak balik) membutuhkan tenaga yang lebih sehingga memerlukan teman untuk mencangkul (mangombak balik) yang disebut dengan marsialapari atau mangalapari. Di Tipang hanya memerlukan tiga orang teman untuk marsialapari. Mereka membagi kerja dengan waktu enam hari,


(19)

biasa digunakan untuk mangombak adalah cangkul (hudali). Untuk membersihkan lahan tersebut yang pertama dilakukan ialah mengumpulkan rumput-rumputnya kemudian mencangkul tanah dengan kedalaman 5cm untuk memasukkan rumput-rumput itu ke dalamnya.Rumput-rumput-rumput yang ditanam didalam akan menjadi pupuk di kemudian harinya. Jadi tidak ada rumput yang dibuang dari lahan. Begitu seterusnya dilakukan, kemudian membuat pembatas (manggadui) dan meratakan tanah (mangalotok) hingga hasil cangkulan itu siap untuk ditanam.

Di Tipang, dengan tanah persawahan yang dipenuhi batu-batu besar di sekitarnya membuat masyarakat desa ini tidak dapat menerima barang-barang teknologi untuk mengolah tanah. Hal ini juga yang membuat masyarakat Tipang masih melakukan marsialap ari untuk mengolah tanah. Marsialap ari dapat memotivasi semangat kerja masyarakat dan kekompakan pun masih terlihat di masyarakat ini.Marsialap ari menanam (marsuan) di Tipang masih dilakukan hingga sekarang di masyarakat, hal ini dikarenakan hubungan kekeluargaan masih ketat dalam kehidupan mereka, membuat kebersamaaan di masyarakat masih terjalin dengan baik dan hasil pertanian pun baik adanya.

Pada umumnya, laki-laki yang mengolah tanahini membutuhkan tenaga yang kuat. Terkadang ada juga perempuan yang ikut serta. Halini dilakukan agar setiap masyarakat yang bertani dapat menyelesaikan lahannya tepat waktu dan semua dapat menanam padi secara bersamaan. Jika tidak bersama-sama menanam padi, ada kemungkinan di kemudian hari mendapat kesulitan mendapatkan air dan mengusir burung (mamuro). Selain itu, kegiatan marsirimpa menunjukkan kerja sama bergantian yang baik dalam suatu masyarakat yang patut dikembangkan dan dapat mengurangi biaya pengeluaran.


(20)

Lahan pertanian di Tipang

4.1.3 MarsirimpaProses Memanen Padi (Mangamoti)

Marsirimpa memanen padi (mangamoti) di Bakara dimulai dengan menyabit padi (manabi eme) tersebut masih dilakukan, tetapi tidak seperti pada zaman dulu. Pada zaman dulu masyarakat masih melakukan marsirimpa untuk menyabit padi (manabi eme). Pekerjaan ini biasanya dilakukan laki-laki dan kaum perempuan. Setelah padi disabit, dikumpulkan di satu tempat. Setelah itu membanting (mamampas)bilur-bilur padi.

Kegiatan memanen (mangamoti) membutuhkan enam orang untuk melakukannya. Satu orang untuk membagi padi, dua orang di tempat bantingan yang pertama, kemudian dua orang untuk di tempat bantingan yang kedua, dan satu orang untuk membuang (manarsar). Orang yang berada di tempat pembuangan(panarsaran) harus teliti memisahkan bilur padi yang sudah kosong


(21)

dari padi yang sudah lepas dari bilurnya.Kemudian mengkipas (mamurpur) biasanya dilakukan kaum perempuan. Setelah itu, untuk membawa padi ke rumah, mereka melakukan marsirimpa. Padi di bawa dalam karung ayaman bayon juga berupa tandok yang berisi 100 kaleng padi.

Marsirimpa ini dilakukan untuk saling menbantu satu sama lain, saling memberi tenaga agar semua selesai dengan cepat. Biasanya orang yang memanen pagiakan memberi pekerjanya makan sebagai tanda rasa senang atas panennya. Beras yang dimasak adalah beras dari hasil panen. Menurut masyarakat setempat, hasil panen yang mereka dapat harus dimakan terlebih dahulu sebelum dijual atau dipergunakan untuk hal-hal lain.

Namun marsirimpamengkipas (mamurpur) itu sudah jarang dilakukan di Bakara. Hal ini dikarenakan sudah adanya mesin untuk membersikan padi yang sudah di banting.Marsirimpauntuk mengantar padi ke rumah sudah tidak dilakukankan lagi, karena sebagian besar masyarakat sudah menjual hasil panennya masing-masing tanpa membawanya pulang terlebih dahulu.

Beda halnya di Tipang, marsirimpa proses panen masih tetap dilakukan mulai dari menyabit padi (manabi eme), membanting (mamampas), dan mengkipas (mamurpur) padi yang sudah selesai dibanting dan juga membawa pulang, itu semua masih dilakukan dengan marsirimpa. Untuk mengkipas(mamurpur), masyarakat Tipang biasanya memakai tampi (anduri) untuk menghasilkan angin (alogo) kalau angin tidak datang.Sebaliknya, bila angin datang biasanya mereka mencari dari mana arah angin itu datang agar tidak melawan arah angin dan padi yang dikipaspun bersih. Kemudian padi dapat dibawa pulang.


(22)

4.2 Prosedur Marsirimpa pada Siklus Mata Pencaharin di Kecamatan Baktiraja

4.2.1 Pembentukan Pekerja untuk Marsirimpa Perbaikan Tali Air (Sialih Aek) di Tipang

Pembentukan pekerja perbaikan tali air (raja bondar) di Bakara adalah hasil dari pilihan dari setiap Desa yang berjumlah sekitar 10 orang dari setiap Desa yang ada di Bakara. Namun, sekarang pekerja parit (raja bondar) sudah tidak ada lagi di Bakara karena semua pembangunan di Bakara sudah dari bantuan pemerintah.

Berbeda dengan yang ada di Tipang, pembentukan pekerja perbaikan tali air(sialih aek) ini ialah dari tujuh marga raja itu sendiri, di mana pada zaman nenek moyang dahulu sudah ditunjuk siapa yang akan menjadi pemimpin marga(raja jolo)dari setiap marga. Gelar itu akan jadi turun-temurun hingga sekarang, tidak peduli pimpinan marga itu tua atau masih mudah. Tidak ada kata untuk tidak mampu, semua harus mampu.

Setelah pembentukan raja jolo, terbentuklah kelompok 62 orang dari ketujuh marga raja untuk membagi tugas yakni sebagaisialih aek dolok, sialih aek Toba, dan parhara. Pekerja sihalih aek dolok berjumlah 60 kepala keluarga dan dua parhara menyelesaikan tali air dari atas. Begitu juga pekerja sialih aek Toba berjumlah 60 orang kelapa keluarga dan dua parhara. Masing-masing anggota ke-60 kepala keluarga dan dua parhara itu akan melakukan tugasnya secara bergantian.

Setelah pembuatan tali air, maka sebagai upah untuk sialih aek tersebut akan dilakukan pembagian lahan persawahan untuk masing-masing kelompok.


(23)

Setelah lahan diukur dari atas hingga ke ujung persawahan, maka dapat disimpulkan masing-masing marga yang ada di Tipang mendapatkan 3-4 petak lahan persawahan dan 60 petak lahan untuk sihalih aek sebagai lahan tambahan. Untuk parhara diberi upah sebagai pengawas tali air. Sebagai pengundang untuk kegiatan rutinitas ritual setiap tahun, maka parhara mendapat upah lahan dua kali lipat luas dari upah sihalih aek tersebut.

Setelah semua dibagi, tidak lupa kepada istri Hutasoit (paniaran) boru Sitohang yang memberi saran atas pembengkokan (lehuan) aliran tali air tersebut. istri Hutasoit (paniaran) juga mendapat upah sebagai upah lehu yaitu, bagian sawah yang diterimanya karena peranannya membengkok (manglehu)aliran air. Kalau hal ini tidak dilakukan maka 30% lahan persawahan tidak akan dapat dialiri air. Sebagai upahnya diberi lahan di dekat pembengkokan (lehuan) air tersebut dengan dua bagian. Satu dibagian atas dan yang satunya dibawah pembengkokan(lehuan) aliran air tersebut, agar jika terjadi kelongsoron pada tanah aliran air, istri Hutasoit (paniaran Hutasoit) tidak keberatan kalau tanah persawahaannya dibuat untuk menimbunnya.

Semua pembagian lahan dilakukan menurut cara kerja masing-masing marga tersebut. Hal itu juga dilakukan untuk memjaga keadilan dan tidak menguntungkan salah satu pihak. Semuanya dibagi menurut cara kerjanya. Semakin rajin setiap marga tersebut ikut dalam pembentukan kelompok kerja, semakin bertambah lahan yang akan dia dapat, tidak ada yang dirugikan. Akan tetapi, lahan yang dia punya tidak dapat diwariskan kepada keturunannya. Dia hanya berhak untuk mengambil hasil lahannya saja. Kegiatan ini sampai sekarang masih tetap dijalankan di Tipang.


(24)

4.2.2 Pembentukan Pekerja Marsialap AriPada Proses Menanam

Beda halnya di Bakara, pembentukan marsirimpa terdiri dari enam orang dan kadang lebih, semua tergantung dari luas lahan seseorang. Hal ini terjadi karena lahan pertanian sawah masyarakatnya berbeda-beda. Tidak seperti di Tipang, lahannya masih sama rata hingga jumlah untuk marsialap ari sama. Kesepakatan kapan bisa mulai bekerja, sama dengan di Tipang. Tetapi untuk makanan, masyarakat Bakara lebih dominan dari pendapat pemilik lahan, dan semua telah disepakati bersama.

Contoh: Si A mencari teman sebanyak enam orang untuk marsirimpa setelah disepakati kapan bisa mulai bekerja, kemudian disepakati pembekalan untuk makan. Jika si A mengatakan bawah makanan dibawa masing-masing, maka ke depannya jika si A membayar hari pada si B yang ikut kerja padanya, dia juga harus membawa bekal sendiri walau teman yang lainnya ditanggung oleh si B. Semuanya telah disepakati terlebih dahulu agar tidak ada sakit hati atau pun kekecewaan di salah satu pihak. Pekerjaan marsialap arimanuan ini dilakukan oleh kaum perempuan.

Namun marsirimpa ini sudah tidak dilakukan lagi di Bakara, semuanya sudah diberi upah. Sarapan dan makananpun sudah dibawa dari tempatnya masing-masing.

Dalam pembentukan pekerja marsialap ari di Tipangpada proses menanam, yang pertama dilakukan ialah marsialap ari mencangkul (mangombak balik), masyarakat mencari 2 teman untuk melakukan marsialap ari, karena menurut pandangan masyarakat tersebut dalam seminggu waktu bekerja hanya ada enam hari, dan enam hari tersebut diselesaikan dua hari untuk pekerjaan satu orang, dan


(25)

masing-masing tiga orang harus dapat menyelesaikan lahannya dalam satu minggu itu juga, agar waktu yang digunakanpun seimbang.

Setelah mereka mendapat teman untuk marsialap ari, mereka menentukan kapan bisa mulai bekerja. Untukmakan siang, yang menanggung ialah pihak yang mempunyai lahan pekerjaan.

Contoh: Si A mencari teman untuk marsialap ari. Mereka menyepakati kapan mulai bekerja dan makan siang untuk yang ikut kerja ditanggung pemilik lahan. Hal ini dilakukan untuk menjalin kerja sama yang baik dan saling berbagi. Makan bersama dengan lauk dan sayur yang sama sehingga tidak ada yang membedakan. Sama halnya untuk menanam padi (marsuan). Marsialap arimencangkul (mangombak) dilakukan kaum laki-laki. Marsirimpa ini masih tetap dilakukan di Tipang hingga sekarang.

4.2.3 Pembentukan Pekerja dalam Marsirimpa proses memanen

Dahulu baik di Bakara maupun di Tipang, dalam pembentukan pekerja marsirimpa proses memanen (mangamoti), membutuhkan beberapa orang, karena selain membutuhkan tenaga yang lebih, juga memiliki langkah-langkah seperti, menyabit padi (manabi eme), mengumpulkan di satu tempat, membanting (mamampas), dan mengkipas (mamurpur).

Setelah semua padi selesai disabit, kelompok kerja akan mengumpulkannya disatu tempat dan membantingnya jadi semakin cepat. Setelah sudah dikumpulkan, akan dilakukan membanting (mamampas) untuk memisahkan bilur padinya, untuk pembagian membanting harus ada enam orang untuk melakukannya, karena dibutuhkan satu orang sebagai pembagi padi, dua orang


(26)

ditempatkan di bantingan yang pertama, kemudian dua orang lagi di tempat pembantingan yang kedua, dan satu orang di pembuangan, dimana orang yang ditempat pembuangan haruslah teliti untuk memisahkan padi yang sudah terlepas dari bilurnya dengan bilur-bilur padi yang sudah kosong. Kemudian dilakukan dengan mengkipas (mamurpur), selanjutnya membawa pulang ke rumah pemilik lahan.Marsirimpa ini dilakukan kaum laki-laki dan kaum perempuan.

Dalam hal ini, makan dan minum kelompok kerja tersebut akan di tanggung pemilik lahan pekerjaan, mulai serapan hingga makan malam. Hal ini dikarenakan, pemilik lahan memiliki rejeki dan memberi sedikit hasil panennya pada yang ikut kerja dilahannya.

Akan tetapi, di Bakara untuk mengantar panennya ke rumah dan mengkipas (mamurpur) sudah tidak dilakukan lagi. Karena mengkipas masyarakat Bakara sudah menggunakan kipas dari mesin membersihkan padinya dan padi yang sudah dibuat dikarung sudah jarang masyarakat membawa panen ke rumah terlebih dahulu, tetapi sudah di jual dari tempat lahannya langsung. Hal ini yang membuat masyarakat Bakara tidak melakukan marsirimpa lagi, nilai marsirimpa di daerah ini sudah memudar. Berbeda dengan di Tipang marsirimpa ini masih dilakukan hingga sekarang.

4.3 Ungkapan-ungkapanPerumpamaan (Umpasa dan Umpama) Kearifan Lokal Gotong Royong Masyarakat Baktiraja

Pada umumnya, tradisi marsirimpa di masyarakat Batak Toba terutama masyarakat yang berada di Bakara dan Tipangyang begitu banyak versinya tidak dituliskan dalam buku sebagai pedoman yang diikuti secara rinci, tetapi akan


(27)

selalu ada di ingatan yang dapat di terapkan dalam kehidupan sosial. Tradisi marsirimpa merupakan salah satu kegiatan tradisional yang perlu di wariskan untuk menata kehidupan sosial terutama menyelesaikan permasalahan yang di hadapi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.

Masyarakat Batak Toba terutama masyarakat batak yang berada di Bakara dan Tipang memiliki memori kolektif mengenai marsirimpa yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan berupa perumpamaan (umpasa dan umpama) sebagai berikut: Perumpamaan dalam bahasa Batak Toba terbagi dua, yaitu umpasa yang biasa disebut pantun dalam bahasa Indonesia dan umpama atau disebut juga dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia. Umpasa terdiri dari empat baris sebait, dua baris pertama berupa sampiran dan dua baris berikutnya isi, setiap umpasa mempunyai pola sajak, irama dan pilihan kata, dan umpama biasanya terdiri dari dua baris sebait kedua nya saling berhubungan sebab akibat, baris pertama syarat dan baris kedua jawabanya. Umpama dan umpasa pada umumnya mengandung nasehat, pendidikan, berkat, dan doa.

Dalam tradisi masyarakat Batak Toba untuk berpantun (marumpasa)adanya intonasi pengucapan yang biasa dilakukan untuk mengucapkannya, di awal kalimat untuk berpantun(marumpasa) intonasinya biasa saja, setelah akhir dari umpasa tersebut intonasi berubah menjadi lebih lama melakukan penghentian dan inti dari umpasa tersebut pun jelas di dengar.

Umpasa pada masyarakat Batak Toba biasanya digunakan dalam tradisi adat-istiadat, dan syukuran. Tradisi adat-istiadat di mulai dari upacara siklus kelahiran, perkawinan, dan kematian, dan untuk syukuran biasanya dalam hal syukuran memasuki rumah baru, syukuran lulus sekolah, syukuran dapat


(28)

pekerjaan, syukuran panen, dan sebagainya. Berbeda halnya pada masyarakat yang tinggal di Bakara mereka memiliki adat-istiadat dalam mata pencaharian dimulai dari umpasa dan umpama perbaikan tali air (panaharan) dan makan nasi tumpeng (mangallang indahan siporgis). Sedangkan umpama selalu digunakan dalam bahasa sehari-hari sebagai bahasa kiasan yang dapat mengukuhkan topik pembicaraan. Umpasa dan umpama pada umumnya diyakini memiliki pengaruh yang kuat untuk memberikan dan menerima berkat, nasehat, dan petuah ketika dilakukan pembicaraan.

Berikut ini beberapa umpasa yang mengandung nilai gotong-royong dalam masyarakat Batak Toba yang ada di Bakara:

1. Bulung ni tele tabo baen parisapan Sisada roha ma hita marsirimpa Sae gabe ma na ta ula

Tango ma nang panaharan

Artinya: seperti daun pusuk enak di buat jadi rokok Kita harus satu hati untuk bergotong-royong Hasil panen memuaskan

Aliran airpun kokoh

Umpasa tersebut bermakna bahwa masyarakat harus saling kerja sama apabila saling kerja sama masyarakat akan mendapat kedamaian dan mendapat hasil panen yang memuaskan. Nilai gotong-royong pada umpasa tersebut adalah saling kerja sama, seia sekata, satu hati dan kompak, kearifan lokal yang terdapat dalam umpasa itu ialah saling kerja sama untuk memperbaiki tali air tersebut agar mendapatkan hasil yang memuaskan pada tanaman-tanaman yang hendak ditanam


(29)

di lahannya. Sebagai konteks penggunaannya, umpasa ini disampaikan di acara rumah (ulaon di jabu) seperti acara makan nasi tumpeng (indahan siporgis) yang dilakukan sebelum memperbaiki tali air. Umpasa ini pada umumnya disampaikan enam kepala marga (raja jolo)kepada tuan rumah yang memyediakan indahan siporgis tersebut.

2. Peak songon adian ganjang Songon tondosan Unang hita marsidalian

Rampak ma hita pature-ture halian

Artinya: berhenti seperti orang yang kelelahan Panjang seperti alat tenun

Kita jangan membuat alasan

Kita harus bekerja sama untuk memperbaiki aliran air Umpasa tersebut bermakna bahwa masyarakat harus saling kerja sama apabila saling kerja sama masyarakat akan mendapat kedamaian dan mendapat hasil panen yang memuaskan. Nilai gotong-royong pada umpasa tersebut adalah saling kerja sama, seia sekata, dan kompak, kearifan lokal yang terdapat dalam umpasa itu ialah saling kerja sama jangan membuat alasan untuk tidak ikut serta karena itu adalah untuk hasil bersama, oleh sebab itu kita harus sama-sama bekerja untuk memperbaiki tali air tersebut agar mendapatkan hasil yang memuaskan pada tanaman-tanaman yang hendak ditanam di lahannya. Sebagai konteks penggunaannya, umpasa ini disampaikan di acara rumah (ulaon di jabu) seperti acara makan nasi tumpeng (indahan siporgis) yang dilakukan sebelum memperbaiki tali air. Umpasa ini pada umumnya disampaikan enam kepala


(30)

marga(raja jolo) kepada tuan rumah yang memyediakan indahan siporgis tersebut.

3. Marsiaminan-aminan songon lampak ni gaol marsitungkol-tungkolan songon suhat dirubean artinya: saling memahami satu sama lain

saling menopang saat terjadi masalah

Umpama ini bermakna bahwa orang harus saling memahami dan saling mendukung. Nilai gotong-royong saling memahami dan saling mendukung ini dapat dilakukan sebagai kearifan lokal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Umpama tersebut sering digunakan pada waktu memberi nasihat pada generasi muda agar saling memahami dan mendukung dalam segala pekerjaan terutama dalam bersaudara, berfamili, bertetangga, dan berkelompok.


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang marsirimpa yang diperoleh melalui informan tentang marsirimpa pada data tahapan siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja dan perumpamaan pada siklus mata pencaharian padaBatak Toba yang berada di Kecamatan Baktiraja, terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam bahasa Batak Toba memiliki dua istilah yang di dalamnya mengandung nilai gotong-royong, yaitu marsialap ari dan marsirimpa yang makna konseptualnya adalah satu(sada), kompak, seia sekata (mardosniroha) dan bersama. Hal itu berarti kaidah dasar marsialap ari dan marsirimpa pada masyarakat Batak Tobadi Kecamatan Baktiraja adalah orang-orang yang marsirimpa harus satu(sada), seia-sekata(mardosniroha), dan bersama-sama. Dengan kata lain, marsialap ari dan marsirimpa pada masyarakat Batak Tobadi Kecamatan Baktiraja adalah dalam melakukan pekerjaan masyarakat harus satu(sada) yang dimaksud disini satu ialah harus sependapat untuk menyelesaikan pekerjaan atau persoalan dalam masyarakat , harus bekerja secara bersama-sama dan seia-sekata. Kaidah dasar itu mendasari konsep, jenis, dan klasifikasi marsialap ari dan marsirimpa dalam masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kecamatan Baktiraja.

2. Jenis-jenis marsirimpa yang ada pada masing-masing tahapan siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja ada empat jenis marsirimpa dari


(32)

makan nasi tumpeng (mangallang indahan siporgis), 2. Marsirimpa pada saat perbaikan irigasi (panaharan), 3. Marsirimpa dalam proses menanam, dan 4. Marsirimpa dalam proses memanen (mangamoti).

3. Keberadaan (representasi) dari pada ungkapan-ungkapan yang ada di Kecamatan Baktiraja ialah masih di pergunakan dalam masyarakat pada saat acara tertentu dan pemberian nasehat dari orang yang tertua di masyarakat kepada para anak muda untuk bekerja sama, seia sekata, dan saling memahami untuk mensejahterakan Desa tersebut.

4. Prosedur marsirimpa yang ada pada tahapan masing-masing siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja adalah dibentuk mulai dari memperbaiki tali air (panaharan), sebelum mengadakan kerja bakti untuk memperbaiki tali air tersebut masyarakatnya membuat makan bersama yang disebut dengan mangallang indahan siporgis khusus yang ikut kerja dalam kerja bakti tersebut. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memberi semangat kepada yang bekerja agar tetap hati-hati untuk melakukan pekerjaannya dan agar jauh dari marabahaya. Setelah semuanya selesai masyarakat dapat membersihkan lahannya untuk di tanam hingga sampai hasilnya dapat dipanen.

5. Ada tiga bentuk gotong-royong (marsirimpa) bergantian dalam siklus mata pencaharian yang terdapat pada masyarakat Batak Toba yang berada di Tipang, yakni gotong-royong dalam proses memperbaiki tali air (panaharan), gotong-royong proses menanam, dan gotong royong proses panen.


(33)

6. Berdasarkan ketiga bentuk gotong-royong (marsirimpa) yang terdapat pada siklus mata pencaharian di Baktiraja tersebut terdapat beberapa jenis

gotong-royong yang direpresentasikan dalamistilah yang berbeda-beda pula. Jenis marsirimpa itu adalah (1) mangallang

indahan siporgis, yaknimarsirimpa yang digunakan sebelum memperbaiki tali air (panaharan) dimana masyarakat harus saling menyepakati sanksi-sanksi yang sudah dibuat dalam hal mangallang indahan siporgis, bagi yang melanggar kesepakatan itu harus bertanggung-jawab dan menerima sangsi yang telah dibuat sebelumnya. (2) mangombak balik, yaitu marsirimpa yang digunakan dalam proses menanam dan dilakukan sekelompok orang sekitar tiga orang untuk menyelesaikan lahan selama dua hari, sehingga waktu yang enam hari seminggu tersebut dapat terbagi untuk yang tiga orang tersebut melakukan marsirumpa. (3) marsuan, dikatakan marsialap ari karena dalam melakukan pekerjaan marsuan (menanam padi) hanya membutuhkan satu hari saja untuk menyelesaikannya, dan marsialap ari ini digunakan pada saat menanam padi saja dan dilakukan sekelompok orang untuk menyelesaikan lahan tersebut dan sekelompok orang itu diberi makan siang dari yang empunya lahan pekerjaan itu sendiri. (4) mangamoti, yaitu marsirimpa yang digunakan dalam proses memanen padi, dan dilakukan sekelompok orang mulai dari menyabit padi (manabi eme), mengumpulkan padi,membanting bilur padi (mamampas), dan sekelompok orang tersebut diberi makan mulai pagi, siang, dan sore hal ini dilakukan karena orang yang membuat


(34)

pekerjaan tersebut bersyukur dan berniat membagi sebagian hasil dari panennya.

7. Berdasarkan jenis marsirimpa dalam masyarakat Batak Toba yang tinggal di Baktiraja tersebut, marsirimpa (gotong-royong) dapat diklasifikasikan atas: (1) gotong-royong sama-sama bekerja atau kerja bakti seperti memperbaiki tali air (panaharan), (2) gotong-royong kerja bergantian seperti marsialap ari dan marsirimpa dan juga mangallang indahan siporgis.

5.2 Saran

Hampir semua kehidupan sosial masyarakat Batak Toba yang tinggal di Baktiraja dahulu dilakukan dengan gotong-royong, tetapi sekarang gotong-royong telah mengalami penurunan terutama pada masyarakat Batak Toba di Bakara beda halnya di Tipang. Padahal, gotong-royong merupakan modal utama masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan mereka. Oleh sebab itu, sangat diperlukan ke ikut campur tanganan para generasi muda sekarang ini untuk melestarikan marsirimpa itu, agar tetap terjalin kerja sama yang baik dan dapat membentuk masyarakat yang sejahtera dalam suatu kelompok.

Disarankan agar hasil penelitian ini nantinya dapat diterapkan pada masyarakat terutama masyarakat Batak Toba yang sudah tidak melakukan marsirimpa tersebut. Dan bagi generasi muda sekarang ini diharapkan dapat melestarikan tradisi-tradisi yang sudah mulai menghilang dari masyarakat, karena kalau bukan kita generasi muda ini siapa lagi yang akan mengarahkan daerah tempat kita tinggal untuk sejahtera, aman dan kaya akan tradisi nenek moyang


(35)

terdahulu, karena tradisi tersebut dapat membuat hidup bermasyarakat menjadi semakin akrab dan kompak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat itu sendiri.

Oleh karena gotong-royong merupakan konsep sosial yang ada pada masyarakat etnik di Indonesia terutama pada masyarakat Batak Toba yang masih tinggal di daerah Toba, maka penelitian seperti ini juga diperlukan oleh masyarakat lain agar dapat diterapkan sebagai modal utama untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.


(36)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparanatau konsep-konsep tersebut bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman penelitian), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan proposal skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang,“Kearifan Lokal (hakikat, peran, dan metode tradisi lisan),” (Sibarani, 2014). Buku ini menjelaskan tentang tradisi lisan yang hidup di setiap etnik di Indonesia yang berisi nilai dan norma budaya yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, tradisi lisan menjadi sumber kearifan lokal untuk menata kehidupan masyarakat secara arif. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Kearifan lokal dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Kita mengharapkan karakter bangsa berasal dari kearifan lokal kita sendiri sebagai nilai dan norma warisan leluhur bangsa. Kita membutuhkan karakter dalam kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam penciptaan kedamaian dan peningkatan kesejahteraan.


(37)

Buku sumber selanjutnya yaitu “Kearifan Lokal Gotong-royong Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba,” (Sibarani, 2014). Buku ini menjelaskan konsep gotong-royong yang terdapat dalam perumpamaan Batak Toba sebagai memori kolektif, bahkan sebagai penyimpan kegotong-royongan dalam masyarakat Batak Toba. Berdasarkan memori kolektif itu, konsep kegotong-royongan mencakup nilai gotong-royong, yakni saling mendukung, saling mengiakan, saling menyetujui, saling menbantu, saling bekerja sama, bersama-sama bekerja, saling memahami, dan mendukung.

Makmur dan Berutu (2013) dalam bukunya “Sistem Gotong-royong Pada Masyarakat Pakpak di Sumatera Utara,” menjelaskan bahwa, di Pakpak Bharat terdapat banyak tipe gotong-royong yang dilakukan masyarakat, baik yang sifatnya tolong-menolong dijumpai dalam aktivitas upacara adat (mergugu, merkebbas, toktok ripe, muat nakan peradupen), aktivitas ekonomi (rimpah-rimpah, abin-abin, mengurupi, merkua, page kongsi, merbellah, memakan, jampalen, bendar kongsi), aktivitas religi dan berbagai aktivitas sosial lainnya. Untuk kepentingan yang lebih luas, juga masih dipraktikkan, seperti: pembuatan dan perawatan jalan, pembuatan jembatan, tempat pemandian umum, pembangunan tempat ibadah, dan upacara-upacara adat serta upacara hari-hari besar negara Republik Indonesi. Mereka selalu melaksanakan gotong-royong untuk tujuan mendapatkan hasil yang optimal dari suatu kegiatan.

Haryati Soebadio (1983)dengan bukunya berjudul “Sistem Gotong-royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Barat,” menjadi salah satu sumber penulis. Buku ini menjelaskan sistem gotong-royong dalam masyarakat pedesaan Sumatera Barat. Gotong-royong dilakukan sebagai asas timbal-balik yang


(38)

mewujudkan adanya keteraturan sosial di dalam masyarakat. Gotong-royong terlahir dari norma-norma adat yang mengatur sistem dan bentuk kerjasama masyarakat dewasa ini.

Selanjutnya Alamsyah (1984) dengan bukunya berjudul “Sistem Gotong-royong Dalam Masyarakat Pedesaan Provinsi Daerah Istimewah Aceh.” Buku ini menjelaskan bahwa gotong-royong sangat erat hubungannya dengan struktur sosial juga dengan norma-norma agama yang dianut oleh masyarakatnya.

Kemudian laporan hasil penelitian Sibarani, dkk.(2014) yang berjudul “Pola Gotong-royong dan Model Revitalisasinya Pada Masyarakat Batak Toba,” diungkapkan bahwa gotong-royong merupakan pekerjaan atau aktivitas yang harus kompak, serempak, dan bersama-sama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraraan dalam masyarakat.

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan

Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacuh pada adat atau kebiasaan yang turun-temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya.’’ Keduanya adalah hasil karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat tersebut karena kedua kata ini dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya.

Tradisi berasal dari bahasa latin traditio(diteruskan) atau kebiasaan yang telah dilakukan dengan cukup lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi yaitu adanya informasi


(39)

yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu tradisi dapat punah. Dalam pengertian lain tradisi ialah adat-istiadat atau kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan di masyarakat.

Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan. Menurut Budhisantoso (1981:64)bahwatradisi lisan merupakan sumber kebudayan seperti kemampuan bersikap dan keterampilan sosial sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma maupun kepercayaan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat pendukungnya.

Menurut Pudentia (Sibarani, 2014:32-35) bahwatradisi lisan merupakan cakupan segala hal yang berhubungan dengan sastra, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda, seperti yang umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif pada kebudayaan, seperti sejarah hukum dan pengobatan. Namun,masa sekarang tradisi lisan tersebut sudah tidak persis adanya seperti dahulu karena pengaruh zaman modern dan penyesuaian dengan konteks zaman yang kita lakukan sekarang, akan tetapi nilai dan normanya dapat diterapkan pada masa sekarang.

Nilai dan norma tradisi lisan dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan keadaan masa kini dan yang perlu diwariskan pada masa mendatang untuk mempersiapkan masa depan generasi mendatang.


(40)

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal

Istilah kearifan lokal (local wisdom)terdiri atas dua kata, yakni kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan, sedangkan kata lokal (local) ialah setempat. Maka dari itu kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya.

Sibarani (2014:180) menyatakan bahwa, kearifan lokal adalah kebijaksanaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi nilai budaya dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam mencapai peningkatan kesejahteraan dan pembentukan kedamaian.

Menurut Sibarani dan Balitbangsos Depsos RI (Sibarani, 2014:5),“Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya, gagasan-gagasan tradisional, dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki oleh anggota masyarakat dalam menata kehidupan sosial mereka. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun temurun diwariskan dan dimanfaatkan menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana”.


(41)

Menurut Balitbangsos Depsos RI (Sibarani 2014 :115) “Kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif”.

Menurut Sibarani (2014:129) bahwa “Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal budi, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan sosialnya”.

2.1.3 Pengertian Marsirimpa (Gotong-royong)

Marsirimpa(gotong-royong) merupakan suatu pekekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan beberapa orang untuk menyelesaikannya, sebelum melakukan marsirimpa (gotong-royong) mereka terlebih dahulu membuat kesepakatan untuk waktu kapan dilakukan marsirimpa (gotong-royong) tersebut, perlengkapan pangan buat seharian mereka bekerja serta ditempat siapa terlebih dahulu dilaksanakanmarsirimpa (gotong-royong) tersebut. Hal ini dilakukan selain sudah sebagai tradisi bagi kehidupan masyarakat juga mereka merasa senasib dan sepenanggungan dalam hidup suka maupun duka, untuk hal ini tidak ada yang kaya dan miskin karena semuanya ikut marsirimpa (gotong-royong).

Berkenaan dengan konsep kearifan lokal gotong-royong tersebut, konsep marsirimpa “kompak, serempak, bersama” sangat penting menjadi sikap bagi para


(42)

peserta gotong-royong sehingga ketiga kaidah tersebut dapat diterapkan. Persyaratan awal yang harus dimiliki oleh orang yang ingin menerapkan ketiga kaidah gotong-royong tersebut adalah kekompakan. Dengan kata lain, kaidah bergotong-royong dilandasi oleh konsep “kekompakan, keserempakan, dan kebersamaan”untuk dapat mewujudkan saling memahami, menyepakati, mendukung (marsiantusan, masiaminaminan, masitungkol-tungkolan), saling membantu (marsiurupan), dan bekerja sama (rampak mangula) Sibarani, dkk (2014:41-42).

Contoh gotong-royong yang dimaksud dalam budayamarsirimpa adalah penulismempunyai kelompok kerja sebanyak sepuluh orang. Kelompok kerja yang sepuluh orang ini membuat suatu kesepakatan yaitu pertama, kelompok kerja tersebut akan terlebih dahulu menentukan ke lahan atau ke tempat siapa yang pertama untuk memulai pekerjaan tersebut. Kedua, makanan (sarapan, makan siang, atau snack) untuk para kelompok kerja, apakah disediakan yang mempunyai lahan pekerjaan atau dibawa masing-masing. Setelah disepakati bersama barulah para kelompok kerja ini mulai bekerja sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama.

Pekerjaan yang akan dikerjakan oleh para kelompok kerja iniditentukan oleh orang yang bersangkutan. Kelompok kerja tersebut tidak boleh menentukan pekerjaan yangdikerjakan. Baik itu pekerjaan berat maupun pekerjaan ringan, para kelompok kerja harus siap atas pekerjaan yang sudah ditentukan oleh orang yang bersangkutan kepada para kelompok kerja. Demikian seterusnya bergantian mulai dari orang pertama sampai orang kesepuluh.Tetapi kebiasaan gotong-royong tersebut sudah semakin memudar.


(43)

Menurut Collette (Makmur dan Berutu, 2013:1) bahwa gotong-royong telah berurat berakar dan tersebar dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan pranata asli paling penting dalam pembangunan.

Menurut Pranadji (Sibarani, 2014:8) bahwa gotong-royong merupakan kekayaan adat-istiadat dan inti nilai modal sosial budaya bangsa, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya (adat-istiadat) komposit sosiobudaya dari berbagai suku dan masyarakat yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.

Koentjaraningrat (Sibarani 2014:8) membagi gotong-royong menjadi dua jenis yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, yakni:

1. Gotong-royong (tolong-menolong), ini biasanya terjadi pada aktivitas pertanian, aktivitas sekitar rumah tangga, aktivitas pesta, dan pada peristiwa bencana dan kematian.

2. Gotong-royong (kerja-bakti), biasanya bersifat untuk kepentingan umum yang dikelompokkan dua tipe, yakni kerja-bakti atas inisiatif warga masyarakat dan kerja-bakti karena dipaksakan atau disuruh.

Ada beberapa macam gotong-royong menurut Koentjaraningrat (skripsi Roya Kokumo,2011: 34), yakni :

1. Tolong-menolong dalam aktivitas pertanian.

2. Tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga.

3. Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara.

4. Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian. Dalam aktivitas pertanian seperti halnya yang sangat berkaitan dengan bercorak tanam, orang bisa mengalami musim sibuk, tetapi sebaliknya jugamusim yang lega. Dalam aktivitas rumah tangga, ialah kalau misal ada orang


(44)

yangmemperbaiki atap rumahnya. Adapun tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara, dalam aktivitas ini merangsang bagi para pembantu bersifatlangsung, ialah ikut merayakan pesta, ikut menikmati makanan enak danseterusnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sibarani, 2014: 9) bahwa, gotong-royong diartikan sebagai bekerja bersama-sama, tolong-menolong, dan bantu- membantu.

Menurut Berutu dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi (Sibarani, 2014:10) bahwa gotong-royong dapat diartikan sebagai suatu model kerja sama yang disepakati bersama. Menurut Makmur dan Berutu (Sibarani, 2014:10) gotong-royongmemiliki tiga defenisi, yakni:

1. Gotong-royong sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat pakpak Bharat khususnya. Kebiasaan ini telah berurat berakar dan dijadikan sebagai suatu solusi untuk pemecahan permasalahan hidup yang dihadapi.

2. Sebagai bagian dari kebudayaan yang bersifat dinamis, bentuk dan substansi sistem gotong-royong di Pakpak Bharat telah terjadi perubahan dan penyesuaian sesuai dengan tuntutan zaman.

3. Sebagai suatu potensi sosial, tentu sistem gotong royong di Pakpak Bharat dapat diadopsi dalam program pembangunan fisik, sektor budaya, maupun sektor sosial ekonomi lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, gotong-royong didefenisikan sebagai pekerjaan yang dilakukan bersama-sama, yang memiliki tujuan yang sama dan berusaha bersama untuk menyelesaikan pekerjaan yang digotong-royong kan tersebut dan


(45)

kelompok-kelompok ini melakukannya secara bergiliran dan praktik ini tidak hanya dilakukan di pedesaan saja akan tetapi dapat juga dilakukan di perkotaan dalam hal upacara siklus kehidupan seperti upacara adat pernikahan, kelahiran, dan kematian, serta juga pada siklus mata pencaharian mulai dari membibitkan, atau menanam, merawat atau memelihara, dan memanen.

Koentjaraningrat (Sibarani 2014:11) memiliki lima alasan utama untuk melakukan gotong-royong tersebut, yakni:

1. Seseorang tidak hidup sendiri, tetapi berada dalam komunitas dengan lingkungan alamnya. Dia mesti berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu komunitas untuk menghadapi lingkungan itu.

2. Sebagaimana manusia lainnya, dia memiliki kelemahan dan kelebihan yang menyebabkannya harus bekerja sama dengan orang lain,

3. Dengan demikian, keberadaannya sangat bergantung pada orang lain, 4. Atas dasar itu, dia harus menjaga hubungan baik dengan sesamanya, dan 5. Menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang lain.

Gotong-royong dapat menggambarkan perilaku-perilaku masyarakat desa yang bekerja untuk gotong-royong lainnya tanpa menerima upah. Lebih luas, sebagai suatu tradisi yang mengakar, meliputi aspek-aspek dominan lain dalam kehidupan sosial. Gotong-royong dalam masyarakat sebagaimana yang kita ketahui adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah, dan ringan.Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong-royong antara lain dalam hal mata pencaharian seperti menanam padi. Sikap gotong-royong itu seharusnya dimiliki oleh generasi muda atau lapisan masyarakat yang ada di


(46)

Kecamatan Baktiraja. Karena, dengan adanya kesadaran maka masyarakat akan melakukankegiatan dengan cara bergotong-royong.

Segalasesuatu akan lebih mudah dan cepat diselesaikan jika bergotong-royong. Dengan demikian, pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar dan maju.Bukan itu saja,dengan adanya kesadaran setiap masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong-royong maka hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

2.2 Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk mendeskripsikan tradisi marsirimpaBatak Toba pada siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja iniadalah teori tradisi lisan dan antropolinguistik. Berikut akan dijelaskan teori tersebut.

2.2.1Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan sejarah lisan melalui tutur/lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu dan membentuk karakter generasi masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi masa mendatang (Sibarani, 2014:2-3).

Menurut Sibarani (2014 :251-252), “Tradisi lisan dapat dikaji dari latar belakang ilmu sastra. Semua struktur seperti latar, alur, gaya bahasa, penokohan dan unsur estetika lain sejak dulu menjadi fokus penting dalam kajian sastra”.


(47)

Apabila hanya mengkaji teks tradisi lisan dari segi ilmu sastra, kajian itu hanya kajian sastra, bukan kajian tradisi lisan dari latar belakang ilmu sastra.

Pesan atau amanat sebagai kandungan tradisi lisan dari sudut ilmu sastra menjadi sangat penting diungkapkan, tetapi amanat atau pesan itu mesti dikaitkan dengan konteks tradisi. Kajian ilmu sastra tidak hanya mengkaji kesastraan dari tradisi lisan, tetapi lebih jauh mampu mengkaji keseluruhan tradisi lisan secara holistik dengan kekhasan kajian dari sudut ilmu sastra. Penelitian tradisi lisan harus dapat mengungkapkan kebenaran bentuk dan isi suatu tradisi lisan. Dengan demikian, diperlukan kajian ilmu sastra yang relevan untuk mengkaji tradisi lisan dengan tetap mempertimbangkan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), isi (makna, atau fungsi, nilai atau norma, dan kearifan lokal), dan model revitalisasi atau pelestarian seperti pengelolaan, proses pewarisan, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebuah tradisi lisanyang ada pada masyarakat Kecamatan Baktiraja.

Nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai warisan masa lalu, bagaimana nilai dan norma budaya itu dapat dilestarikan, direvitalisasi, dan direalisasikan pada generasi masa kini, untuk mempersiapkan generasi masa depan yang damai dan sejahtera. Disini dapat kita ketahui bahwa tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk yang dimaksud terdiri atas:

a) Teks, merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi.


(48)

b) Ko-teks, merupakan keseluruhan unsure yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinesik, dan unsur material lainnya, yang terdapat dalam tradisi lisan.

c) Konteks, merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan idiologi tradisi lisan.

Isi yang terdapat dalam tradisi lisan yakni nilai atau norma yang pada umumnya menjelaskan tentang makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai atau norma tradisi lisan yang dapat digunakan untuk membentuk kehidupan sosial itu disebut dengan kearifan lokal. Dalam hal ini, isi dapat dipilah menjadi beberapa pembentukannya. Pertama, isi adalah makna atau maksud dan fungsi atau peran. Kedua, nilai atau norma yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya kenyakinan terhadap nilai atau norma itu. Ketiga, kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif. Contoh objek kajian tradisi lisan dalam bentuk marsirimpa, (dirujuk dari Sibarani, 2012:248).


(49)

2.2.2 Analisis Antropolinguistik

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan antropolinguistik. Antropolinguistik adalah studi bahasa dalam kerangka kerja antropologi, studi kebudayaan dalam kerangka kerja linguistik, dan studi aspek kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama antropologi dan linguistik. Atas dasar itu, antropolinguistik tidak hanya dapat digunakan untuk mengkaji teks ungkapan-ungkapan tradisional gotong-royong sebagai bagian bahasa, tetapi juga mengkaji unsur-unsur gotong-royong sebagai budaya dan aspek kegiatan bergotong-royong yang dilakukan masyarakat (Sibarani, 2014:20).

Antropolinguistik mengkaji tradisi lisan dalam beberapa lapisan kajian. Lapisan pertama mengkaji seluk-beluk teks, ko-teks, dan konteks untuk menemukan struktur, formula atau pola masing-masing. Lapisan berikutnya

Marsirimpa

(gotong-royong)

Bentuk

Isi

Struktur Siklus Mata Pencaharian

• Menanam

• Mengelola tanaman • Memanen

• Makna dan fungsi

• Nilai dan norma, dan


(50)

mengkaji seluk-beluk nilai dan norma budaya yang diinterpretasi berdasarkan makna, pesan, dan fungsi sebuah tradisi lisan. Lapisan tersebut termasuk mengkaji kearifan lokal yang dapat diterapkan dalam menata kehidupan sosial berdasarkan nilai dan normanya. Dengan demikian, penelitian tradisi lisan secara idealnya harus mampu mengungkapkan tiga lapisan kajian tradisi lisan atau tradisi budaya tersebut dengan karakteristik kajian masing-masing pada setiap lapisan (Sibarani, 2014:20).

Kajian bahasa dalam perspektif antropolinguistik dikaitkan dengan kebudayaan (Danesi, 2004; Duranti, 1997; Foley, 1997 dalam hasil penelitian Sibarani 2014:20). Dengan perspektif ini, kajian tradisi budaya yang dilakukan bukan hanya menggali struktur bahasa dalam kaitannya dengan budaya, melainkan menggali konteks yang lebih luas seperti konteks situasi, konteks budaya, konteks sosial, dan konteks ideology dan menggali konteks seperti unsur-unsur material dan paralinguistik yang bermanfaat untuk memahami keseluruhan tradisi yang dikaji (Sibarani, 2014:20).

2.2.2 Konsep Performansi, Indeksikalitas, dan Partisipasi

Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia, pusat perhatian antropolinguistik (Duranti, 1977) dalam jurnalnya Robert Sibarani (2015:3), ditekankan pada tiga topik penting, yakni performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), dan partisipasi (participation). Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami


(51)

secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut. Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosofi Amerika Charles Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index), symbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai.

Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik seperti pronominal demonstratif (demonstrative pronouns), pronominal diri (personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial expressions). Konsep partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors).Menurut konsep ini, kajian tentang aktivitas sosial lebih penting dalam kajian teks itu sendiri.


(52)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tradisi gotong-royongmerupakan kebiasaan berupa tindakan untuk melakukan sebuah aktivitas atau pekerjaan yang melibatkan orang-orang disekitar kita atau kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, tradisi gotong-royong dapat juga diartikan sebagai salah satu kegiatan tradisional yang perlu diwariskan dalam menata kehidupan sosial, terutama menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tradisi gotong-royong telah menjadi bagian dari praktik kehidupan masyarakat Batak Toba untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi sejak zaman dahulu. Ada istilah gotong-royong dalam masyarakat Batak Toba yaitu marsirimpayang berarti mengerjakan sawah atau ladang secara bersama-sama secara bergantian satu sama lainnya. Alasan gotong-royong disamakan dengan marsirimpa dalam Batak Toba adalah karena dalam melakukan marsirimpaditemukan unsur gotong-royong yang dapat dimaknai dengan saling atau disebut dengan kebersamaan.

Hampir semua aspek kehidupan orang Batak Toba pada zaman dahulu diselesaikan dengan gotong-royong. Gotong-royong (marsirimpa) dilakukan karena seorang individu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan di ladangnya dengan cepat. Suatu pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat kalau dilakukan secara bersama-sama. Seluruh kegiatan yang berhubungan dengan siklus mata pencaharian yang mulai dari menanam, mengelola, dan memanen diselesaikan dengan gotong-royong. Selain itu, pelaksanaan upacara adat dalam siklus kehidupan mulai dari upacara perkawinan sampai upacara kematian, dilakukan


(53)

dengan gotong-royong. Pekerjaan umum seperti pembukaan kampung, perbaikan jalan, perbaikan irigasi, pendirian rumah, maupun ritual-ritual religi juga dilakukan dengan gotong-royong. Namun, disini penulis lebih fokus pada kegiatan gotong-royong dalam siklus mata pencahariannya, yaitu untuk mengetahui tahapan apa saja yang diperlukan dalam gotong-royong pada siklus mata pencaharian masyarakat tersebut. Akan tetapi, dari hasil penelitian lapangan penulis mendapat data hanya untuk mata pencaharian sawah yang melakukan marsirimpa.

Kearifan lokal gotong-royong pada hakikatnya merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah dan di berbagai etnik dengan berbagai variasi istilah dan penerapannya. Meskipun istilah dan penerapannya bervariasi, pada hakikatnya semua yang menyangkut gotong-royong selalu berkaitan dengan usaha memadukan potensi, tenaga, sumber daya, dan sumber dana secara bersama-sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Sekarang kearifan lokal gotong-royong semakin memudar karena kebiasaan perseorangan setelah selesai melakukan pekerjaan akanmeminta upahdan beranggapan bahwa gotong-royong tersebut tidak lagi perlu dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengedepankan kepentingan pribadi yang mengutamakan uangdaripadagotong-royong tersebut.Orang-orang yang memiliki perekonomian kurang baik, akan susah mencari teman bergotong-royong ke ladangnya, karena yang lainnya sudah memberi upah kepada para pekerja ke ladang. Dengan demikian, masyarakat yang tidak mampu memberi upah akan berupaya sendiri untuk menyelesaikanladangnya tanpa bantuan orang lain.


(54)

Kegiatan gotong-royong ini harus tetap dilaksanakan pada kehidupan masyarakat agar terjadi kerja sama yang dapat mewujudkan kekompakan. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul “TradisiMarsirimpa pada Siklus Mata Pencaharian di daerah Baktiraja”. Di daerah Baktiraja ini masih dilaksanakan tradisi gotong-royong tersebut. Alangkah baiknya warisan leluhur tersebut dilestarikan oleh generasi penerus bangsa kita ini.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatanskripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan atau pernyataan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan.Perumusan masalah adalah biasanya berupa kalimat pertanyaan atau pernyataan yang dapat menarik atau menggugah perhatian.

Adapun masalah yang dibahas adalah :

1. Bagaimana jenis-jenis marsirimpa yang ada pada masing-masing tahapan siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja tersebut?

2. Bagaimana prosedurmarsirimpa yang ada pada masing-masing tahapan siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja?

3. Bagaimana representasi (keberadaandan gambaran) kearifan lokal marsirimpapada ungkapan-ungkapan (pribahasa, dan perumpamaan) pada siklus mata pencaharian Batak Toba di Kecamatan Baktiraja?


(55)

Adapun tujuanpenelitian ini adalah untuk :

1. Menguraikan jenis-jenis marsirimpayang ada pada masing-masing tahapan siklus mata pencaharianyang ada di Kecamatan Baktiraja tersebut.

2. Menguraikan prosedur marsirimpaBatak Toba pada siklus mata pencaharian yang dilakukan di Kecamatan Baktiraja.

3. Menganalisis ungkapan (peribahasa dan perumpamaan) yang mengandung kearifan marsirimpa (gotong-royong)pada siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tradisi lisan marsirimpa ini memberi manfaat untuk masyarakat dan manfaat teoretis tradisi lisan sebagai berikut. Manfaat bagi masyarakat berkenaan dengan memungkinkan hasil penelitian ini dapat diterapkan dalam masyarakat untuk meningkatkan partisivasi masyarakat dalam membangun, sedangkan manfaat teoretis berkenaan pada bidang keilmuan sebagaimana yang dijelaskan berikut ini.

1.4.1 Manfaat Praktis

1. Bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda untuk memotivasi mereka mengenai marsirimpa.

2. Bermanfaat bagi masyarakat untuk tetap melestarikan marsirimpadalam menyelesaikan pekerjaan dan persoalan dengan tradisi budaya siklus mata pencaharian.


(56)

Bermanfaat bagi para orang tua untuk mengajarkan marsirimpa kepada generasi muda, dan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena marsirimpadapat menghemat tenaga, dana, dan waktu.

1.4.2 Manfaat Teoritis

1. Dokumentasi kearifan lokal dalam hal gotong-royong pada Departemen Sastra Daerah FIB USU.

2. Sebagai apresiasi sastra daerah khususnya apresiasi sastra Batak terhadap tradisi lisan (marsirimpa).

3. Menyukseskan program pelestariansastra daerah sebagai bagian darikebudayaan nasional.

4. Menjadi sumber informasi bagi mahasiswa Departemen Sastra Daerah FIB USU.

1.5 Anggapan Dasar

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu anggapan dasar. Menurut Arikunto (1996:65), “Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud kebenaran disini adalah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannya.

Penulisberanggapan bahwa tradisi marsirimpa Batak Toba pada Siklus Mata Pencaharian ini masih dilakukan di Kecamatan Baktiraja dan mengingatkan kepada pembaca, khususnya pada masyarakat Batak Toba yang masih tinggal di perkampungan dan tidak lagi melakukan marsirimpa supaya menyadari


(57)

pentingnya kekompakan dan kebersamaan dalam suatu masyarakat untuk membangun kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1.6.1 Sejarah Kecamatan Bakara dan Tipang

Sejarah Tapanuli tidak bisa dilepaskan dari Bakara. Bakara letaknya tepat dipinggiran Danau Toba,Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Bakaraadalah pusat kerajaan Batak yang terlama yaitu dinasti Sisingamangaraja. Bakara adalah saksi bisu bagi masa pemerintahan 12 raja dinasti Sisingamangaraja hingga raja yang terakhir yakni Ompu Pulo Batu (gelar Sisingamangaraja XII). Meskipun Ompu Pulo Batu memiliki beberapa anak laki-laki antara lain Raja Buntal dan Raja Sabidan, tetapi tidak satupun dari mereka yang sempat dimahkotai sebagai penerus dinasti Sisingamangaraja. Sebagian karena semua regalia kerajaan Sisingamangaraja sudah dirampas oleh Belanda setelah berhasil membunuh Sisingamangaraja XII di hutan sekitar desa Sionomhudon Dairi. Sebagianlagi karena tidak adanya komitmen pihak keluarga keturunan Ompu Pulo Batu. Seorang cucu Sisingamangaraja ke-12 yang masih hidup bernama Raja Tonggo Tua Sinambela, saat ini berdiam di Medan.

Dahulu Bakara terkenal dengan sebutan Negeri Bakara, sebagai tempat pusat Kerajaan Sisingamangaraja I sampai XII. Pusat pemerintahan masa itu dikonsentrasikan dari bangunan istana yang terletak di Desa Lumbanraja. Peninggalan bersejarah itu kini masih bisa dilihat dan sudah direnovasi sejak masa kemerdekaan Indonesia. Untuk memasuki kompleks istana yang terletak di kaki bukit itu, sudah dibangun tangga semen dengan berpuluh undakan. Penanda


(58)

khasnya adalah sebuah Tugu Sirajaoloan yang terletak di sebelah kiri badan jalan desa.Sangat disayangkan memang, ketika di berbagai tempat lain di bumi Nusantara, keturunan raja-raja Nusantara lainnya tetap melanjutkan kelangsungan keraton dan rajanya meskipun fungsinya hanya sebatas sebagai simbol dan pengayom budaya di daerahnya, keberlangsungan dinasti Sisingamangaraja hingga saat ini nampaknya tidak mempunyai tempat di dalam sistem negara Republik Indonesia.

Selama menjadi pusat kerajaan Sisingamangaraja, Bakara mengalami paling tidak tiga kali pembumihangusan oleh musuh. Pertama oleh pasukan Paderi dari Bonjol pimpinan Panglima Tuanku Rao ketika berupaya menundukkan Sisingamangaraja X (nenek Op. Pulo Batu) dan sekaligus upaya mengislamkan masyarakat Batak pedalaman.Tuanku Rao memang berhasil menewaskan Sisingamangaraja X, tetapi gagal mengislamkan rakyat Batak di Tapanuli bagian Utara saat itu.Kemudian Belanda melakukan pembumihangusan Bakara sebanyak dua kali dalam rangka pengejaran Sisingamangaraja XII. Namun dua kali pula Belanda gagal menangkap Sisingamangaraja XII. Untuk melemahkan otoritas Sisingamangaraja XII di mata rakyat Batak, Belanda membumihanguskan seluruh Bakara termasuk komplek istana Sisingamangaraja dan Bale Pasogitnya (tempat yang dianggap suci oleh Sisingamangaraja).

Bakara berada di sebuah teluk di tepi Danau Toba yang dikenal oleh penduduk lokal dengan nama Tao Simamora. Bakara adalah tempat yang sangat indah dan tenang dikelilingi oleh bukit-bukit yang tinggi dan gagah, membuatnya sebagai benteng pertahanan yang sangat sulit ditembus oleh musuh. Di Bakara ada beberapa air terjun yang sangat indah dan sungai yang membelah dua daerah


(59)

tersebut. Kondisi alam seperti itu dan peninggalan sejarah Raja Sisingamangaraja XII membuat Bakara juga menjadi tempat wisata yang sangat bagus. (http:www.blog M.Sitohang dan Idriz BS)

Tipang diyakini sebagai bonapasogit dari Raja Sumba (yang digelar sebagai Sumba Napaduahon) yang merupakan salah satu anak dari Ompu Tuan Sorba Dibanua yang delapan orang itu. Setelah menikahi Boru Pandan Nauli, yaitu putri dari Raja Lontung dari negeri Sabulan, Raja Sumba berangkat menyisir kearah Selatan dan membuka perkampungan disalah satu tempat yang kemudian dinamai Tipang.Dari perkawinan dengan Boru Pandan Nauli, Raja Sumba dianugerahi dua orang putra, yaitu Simamora yang tertua dan Sihombing yang termuda.Simamora mempunyai keturunan, yaitu Purba, Manalu, dan Debataraja sedangkan Sihombing memperanakkan Silaban, Nababan, Hutasoit, dan Lumban Toruan. Ketujuh keturunan tersebut secara terus-menerus menempati Tipang hingga saat ini danpembagian warisan sawah dan ladang diatur dengan musyawarah dan damai secara turun-temurun.

Menurut informan, Tipang adalah nama orang. Padatahun 1921-1931 zaman penjajahan dahulu, Belanda mengibarkan bendera mereka di gunung dan kemudian si Tipang mengoyakkan bendera Belanda yang berwarna birunya pada malam hari dan tinggallah hanya merah putih yang berkibar. Halitulah yang mengakibatkan nama bukit itu menjadi Tipang.

Disuatu tempat, yakni di bagian belakang atau sebelah Selatanhutandari marga Hutasoit dan sebelah Timur dari pusat keramaian Tipang, terdapat tiga “Batu Pauseang” yang diterima oleh Raja Sumba dari Raja Lontung.Ketiga batu tersebut ukurannya kira-kira sebesar bola kaki yang diletakkan begitu saja dan


(1)

vi

terselesaikan. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Warisman Sinaga, M.Hum. selaku ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.

3. Ibu Dra.Herlina Ginting, M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. BapakProf. Dr. Robert Sibarani. M.S. selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta waktunya kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.

5. Bapak dan ibu dosen Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah membimbing penulis dalam perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan dan seluruh staf pegawai yang telah membantu penulis.

6. Teristimewa buat orangtua penulis, Ayahanda tercinta T.Siahaan dan ibunda tersayang R.Silaban yang telah memberikan cinta kasih yang tiada henti dan dukungan doa-doa bagi penulis. Terimakasih buat papa dan mama ku yang sangat aku sayangi.


(2)

vii

7. Antoni Siahaan yang penulis sayangi terimakasih atas motivasi, dukungan dan bantuan yang sudah diberikan kepada penulis. Semoga saya cepat menyusul kesuksesan yang abang dapatkan.

8. Kepada keluarga besar Siahaan dan Keluarga Silaban terimakasih atas semua dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Buat sobat-sobatku Stambuk 2011. Evelin, Ina Doris, vera, Eva yeni, Tiffani, Derin, Herawati, Berliana, Rumondang, Rijal, Jefry, Melisa, Royanti, Patra, Tivando terima kasih buat dukungan dan motivasinya, serta canda tawa yang selalu membuat penulis tak berhenti ngakak.

10. Buat teman-temanku Josia Tinambunan, Rentina lumban gaol, Evelida sinaga, Ita Putri Sinaga, Susan Yosevina Saragi, Suhariadi Tambunan, terimakasih atas dukungan dan motivasi kalian.

11. Sobat-sobatku yang tidak dapat disebut namanya satu per satu, terima kasih atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Atas semua ini penulis tidak dapat membalas budi hanya dengan setulus hati penulis menyerahkan kepada Tuhan Masa Pengasih, semoga Tuhan memberi balasan atas segala budi baik kalian.

ABSTRAK

Naomi Kristina Siahaan,2015. Judul skripsi: Tradisi Marsirimpa Masyarakat Batak Toba Pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang Tradisi marsirimpa masyarakat Batak Toba pada siklus mata pencaharian di Kecamatan Baktiraja. Masalah dalam penelitian ini adalah tahap-tahap marsirimpa, prosedur


(3)

viii

marsirimpa, nilai, dan ungkapan-ungkapan perumpamaan (umpasa dan umpama). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahap-tahap marsirimpa, prosedur marsirimpa serta ungkapan-ungkapan perumpamaan (umpasa dan umpama) yang ada di Kecamatan Baktiraja tersebut.

Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tehnik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori tradisi lisan. Adapun tradisi marsirimpa Batak Toba pada siklus mata pencaharian ini meliputi: kesepakatan merupakan hal yang tidak terlepas dari kegiatan marsirimpa tersebut, kekeluargaan yang harus tetap ditanamkan dalam masyarakat agar tetap menjaga dan saling menghargai dalam kelompok dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Marsirimpa dan Siklus mata pencaharian

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i


(4)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH………...vii

ABSTRAK……….ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Peneltian ... 4

1.4.1 Manfaat Umum Penelitian………..4

1.4.2 Manfaat Teoritis Tradisi Lisan ...5

1.5 Anggapan Dasar ………...5

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian...6

1.6.1 Sejarah Kecamatan Tipang dan Bakara...6

1.6.2 Letak Geografis Baktiraja...10

1.6.3 Situs-situs di Kecamatan Baktiraja...13

1.6.4 Keadaan penduduk ...17

1.6.4 Mata Pencaharian Kecamatan Baktiraja...18

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... ……….19

2.1 Kepustakaan yang Relevan... ...19

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan ... ...21


(5)

x

2.1.3 Pengertian Marsirumpa (gotong-royong) ... ………..24

2.1 Teori yang Digunakan ... 29

2.2.1Tradisi Lisan ... 29

2.2.2Analisis Antropolinguistik...32

2.2.3Konsep Performansi, Indeksikalitas, dan Partisipasi...33

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Metode Dasar ... 35

3.2 Lokasi dan Sumber Data Penelitian ... 36

3.3 Instrumen Penelitian ... 37

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5 Metode Analisis Data ... 38

BAB IV PEMBAHASAN ... 40

4.1 Jenis-jenis Marsirumpa Pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja………..…....40

4.1.1 Marsirumpa Dalam Proses Perbaikan Tali Air (Mangallang Indahan siporgis)………...40

4.1.2 Marsialap Ari dalam Proses Menanam padi ………...46

4.1.3 Marsirumpa dalam Proses Memanen Padi (Marpanen)…... 49

4.2 Prosedur Marsirumpa Pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamata Baktiraja ... ..51


(6)

xi

4.2.1 Pembentukan Pekerja untuk Marsirumpa Perbaikan Tali Air (sialih

aek di Tipang) ... 51

4.2.2 Pembentukan Pekerja Marsialap Ari Proses Menanam…………..53

4.2.3 Pembentukan Pekerja dalam Marsirumpa Proses Memanen……..54

4.3 Ungkapan-ungkapan Perumpamaan (Umpasa dan Umpama) Kearifan Lokal Gotong-royong Masyarakat Baktiraja………....55

BAB V KESIMPULAN DANN SARAN ... 60

5.1 Kesimpulan………... 60

5.2 Saran……….. 63 DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN...66

Lampiran 1: Pertanyaan...66

Lampiran 2: Daftar Informan...69