Kearifan Lokal Tradisi Bertani Padi Pada Masyarakat Batak Toba Di Baktiraja: Kajian Antropolinguistik

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Sibarani, Robert. 2003. Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan.

Sibarani, Robert. 2014. Kearifan Lokal Gotong-royong Pada Upacara Adat Etnik Batak

Toba. Medan : Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara

Sibarani, Robert, dkk. 2014. Pola Gotong-royong dan Model Revitalisasinya Pada

Masyarakat Batak Toba. Medan: Lembaga Penelitian Sumatera Utara.

Haviland, William A. 1999. Antropologi. Edisi Keempat, Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Duranti, Alessandro.2001. Linguistic Anthropology.Massachusetts : Blacwell

http://budaya-indonesia.org/Alat-Pertanian-Tradisional-Batak http://www.humbanghasundutankab.go.id/


(2)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Dasar

Penelitian kualitatif penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.Dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu “teori”.

Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Sifat dari jenis penelitian ini adalah penelitian dan penjelajahan terbuka berakhir dilakukan dalam jumlah relatif kelompok kecil yang diwawancarai secara mendalam.

Menurut Sibarani, dkk (2014:25), metode kualitatif berusaha menggali, menemukan, mengungkapkan, dan menjelaskan “meaning” (makna) dan “patterns” (pola) objek peneliti yang diteliti secara holasik. Penelitian kualitatif ini mengikuti langkah langkah Miles dan Huberman (Sibarani,2014:24-27) yakni:

1. Data colection (pengumpulan data), yakni mengumpulkan data berupa kata-kata dengan cara wawancara, pengamatan, intisari dokumen, perekaman, dan pencatatan. 2. Data reduction (reduksi data), yakni merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan “menyisihkan” yang tidak perlu.

3. Data display (penyajian data), yakni memperlihatkan data, mengklasifikasikan data,menyajikannya dalam bentuk teks yang bersifat naratif atau bagan.

4. Conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan/verifikasi), yakni penarikan kesimpulan dan verifikasi sehingga dapat merumuskan temuan-temuan peneliti.


(3)

Dalam penelitian kualitatif, identitas dan peran informan serta informasi-informasi yang disampaikan menjadi hal-hal yang berharga sehingga peneliti harus memiliki tanggungjawab untuk memperlakukan identitas diri dan informasi yang disampaikan oleh informan. Identitas dan informasi tersebut dapat dibuka atau tertutup untuk khalayak, tergantung dari kesepakatan antara peneliti dan informan yang tertulis dalam formulir kesepakatan (consent form). Peneliti boleh membuka identitas selama informan sepakat dan peneliti juga harus menghargai keputusan apabila informan ingin identitasnya dilindungi.

Dalam pengambilan data penelitian kualitatif, sebaiknya peneliti mendapatkan izin baik secara tertulis ataupun lisan sehingga penelitian tidak melanggar norma-norma yang mungkin dianut oleh informan atau objek penelitian.

3.2 Lokasi dan Sumber Data

Lokasi penelitian berada di kecamatan Baktiraja, Kabuten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya asli etnis Batak Toba dan juga masih menerapkan kegiatan bertani padi tersebut. Di desa ini penulis dapat memperoleh keterangan bagaimana cara melestarikan kebiasaan atau warisan tradisi bertani padi tersebut. Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara dengan informan antara 5-8 orang yang tinggal di desa itu. Letak Geografis Humbang Hasundutan adalah Kabupaten Pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara, Tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan UU No.9 tahun 2003. Yang terletak ditengah wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dengan Luas Wilayah daratan: 250.271,02 Ha dan 1.494,91 Ha luas perairan (Danau Toba), terdiri dari 10 Kecamatan, 1 Kelurahan dan 143 Desa dengan Suhu Udara berkisar antara 170 C - 290 C.

Keadaan geografi dan iklim.secara astronomis, Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada garis 2o1' - 2o 28' Lintang Utara. 98o10o - 98o58' Bujur Timur.

Dan berdasarkan posisi geografisnya memiliki batas : -Sebelah Utara : Kabupaten Samosir -Sebelah Timur : Kabupaten Tapanuli Utara -Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Tengah


(4)

-Sebelah Barat : Kabupaten Pakpak Bharat

Seperti layaknya daerah tropis lainnya, Humbang Hasundutan mengalami dua musim yaitu Hujan dan Kemarau. Selama tahun 2011 hujan cenderung lebih sering terjadi di Humbang Hasundutan, dimana tercatat bahwa hujan terjadi sebanyak 208 hari dengan rata - rata curah hujan mencapai 228,76 mm setiap bulannya.

Keadaantopografi kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang mempunyai ketinggian bervariasi antara 330-2.075 Meter diatas permukaan laut, dengan perincian:

-Datar = 278,75 Km2 (0 s/d 2 %) -Landai = 491,63 Km2 (2 s/d 15 %) -Miring = 1.066,50 Km2 (15 s/d 40 %) -Terjal = 665,82 Km2 (40 s/d 44 %)

Tingkat kesuburan tanah di Humbang Hasundutan relatif subur yaitu secara umum merupakan jenis tanah yang mengandung bahan organik dan memiliki keasaman tanah yang tinggi dengan rata - rata pH 5-6,5. Pengoptimalan tanah dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi yang tepat sesuai dengan jenis tanaman yang akan dikembangkan.Sumber daya air yang dimiliki Humbang Hasundutan berasal dari danau, sungai dan rawa - rawa.

Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri dari :

a. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari objek peneliti melalui wawancara langsung dan observasi.

b. Data skunder adalah data yang diperoleh dari berbagai tulisan mulai buku,jurnal,tesis dan sumber-sumber lain yang dapat memperkuat hasil analisa.

3.3 Instrumen dan Panduan Penelitian

Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas hasil penelitian, yaitu kualitasinstrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data(Sugiyono, 2011:305).Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai human instrumen berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan dari temuan di lapangan.Peneliti kualitatif adalah instrumenutama yang semestinya memiliki kapasitas


(5)

intelektual yang tinggi terkait dengan kapasitas berfikir reflektif dan rasional yang digunakan saat perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan penelitian. (Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2011: 69).

Dalam hal instrumen penelitian kualitatif, Sugiyono (2011:306) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara.

Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan. Alat bantu yang digunakan adalah:

1. Alat rekam (tape recorder): dengan keterbatasan daya ingat, penulis tidak dapat menghasilkan data dengan sempurna dan lengkap. Oleh karena itu, seorang penulis harus membawa alat rekam untuk merekam apa yang telah penulis dapat dari informan.

2. Buku tulis dan pulpen: sebelum ke lapangan, penulis membutuhkan buku tulis dan pulpen untuk mencatat pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar penting untuk judul yang tengan diteliti, agar tidak lari dari topik yang diinginkan serta mencatat informasi-informasi yang didapat dari informan .

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam mengkaji data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangan. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah :

3.4.1 Observasi

Obrservasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket) namun juga dapat digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi (situasi, kondisi.Metode ini diterapkan terutama dalam mendapatkan data untuk menjawab pertanyaan tentang menanam padi dalam siklus


(6)

mata pencaharian pada zaman dahulu dan masa sekarang ini di masyarakat Batak Toba di Baktiraja.

Metode ini dilakukan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap tentang menanam padi sebagai objek yang diteliti, sehingga data yang diperoleh lengkap.

3.4.2 Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpul data maupun peneliti terhadap nara sumber atau informan.

Wawancara dapat diterapkan sebagai teknik pengumpul data (umumnya penelitian kualitatif).Metode dilakukan secara purporsive sampling kepada para informan terpilih untuk menjawab pertanyaan pertama, kedua, dan ketiga.

Wawancara terbagi atas wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.

1. Wawancara terstruktur artinya peneliti telah mengetahui dengan pasti apa informasi yang ingin digali dari responden sehingga daftar pertanyaannya sudah dibuat secara sistematis. Peneliti juga dapat menggunakan alat bantu tape recorder, kamera photo, dan material lain yang dapat membantu kelancaran wawancara.

2. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas, yaitu peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang akan diajukan secara spesifik, dan hanya memuat poin-poin penting masalah yang ingin digali dari responden.Sesuai dengan kriteria pendekatan kualitatif, jumlah informan ditentukan berdasarkan kepadaan, kecukupan, dan keakuratan data.

3.4.2 Studi Dokumentasi

Studi dokumrntasi yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi dsri buku-buku,internet,dan skripsi yang berkaitan dengan penelitian.


(7)

3.5 Metode Analisis Data

Metode analis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. metodeanalisis deskriptif merupakan cara merumuskan dan menafsirkan data yang ada sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai Kearifan Lokal Bertani Padi secara umum.

Dalam metode bertani padi dan teori kearifan lokal penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menuliskan data dan menganalisis dari lapangan.

2. Data yang diperoleh diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

3. Setelah data diterjemahkan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan objek penelitian

4. Setelah diklasifikasikan, data-data dinalisis sesuai dengan kajian yang telah ditetapkan.


(8)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Baktiraja Sebagai Lokasi Penelitian

Humbang Hasundutan adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia. Dibentuk pada 28 Juli2003, kabupaten ini mempunyai luas sebesar 2.335,33 km² dan beribukotakan Dolok Sanggul. Semboyan Kabupaten Humbang Hasundutan adalah Huta Mas (Humbang Hasundutan Mandiri dan Sejahtera).

Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 kecamatan yaitu: 1. Baktiraja

2. Dolok Sanggul 3. Lintong Nihuta 4. Onan Ganjang 5. Pakkat

6. Paranginan 7. Parlilitan 8. Pollung 9. Sijama Polang 10.Tarabintang

Kecamatan Baktirajaterdiri dari 8 desa yaitu : 1. Desa Marbun

2. Desa Marbun Dolok 3. Desa Marbun Tonga 4. Desa Simamora 5. Desa Simangulampe 6. Desa Sinambela

7. Desa Siunong-Unong Julu 8. Desa Tipang


(9)

(10)

Kecamatan Baktiraja dalam penetapannya menjadi kecamatan adalah singkatan dari Bakkara, Tipang Haroroan ni Raja(asal raja) “karena di wilayah Bakkara ada Raja Na Onom(raja yang enam) dan Tipang dengan sebutan Raja Na Pitu” (raja yang tujuh).

Bakkara artinya tempat kediaman yang teduh (damai) nama ini diberi oleh seorang Raja yang bernama Raja Oloan, sebagai pembuka lahan pemukiman. Bakkara kemudian diberikan sebagai nama anak laki-laki pertamanya (dari istri kedua Siboru Pasaribu). Bakkara menjadi satu marga yang disandang oleh keturunannya. Marga dalam masyarakat Batak adalah nama keluarga dari satu keturunan leluhur, dan membentuk kelompok masyarakat yang mendiami suatu kampung.

Sebutan Bakkara berasal dari kata “Bangka” dan “ra” dalam bahasa Batak Toba Bangka dengan dialek Batak Toba diucappkan “bakka” artinya tekikan pada kayu, dan “ra” artinya akan terjadi/ mungkin. Pada masyarkat Tradisional untuk dapat memanjat pohon seperti pohon kelapa dengan cara membuat takikan pada batangnya. Dengan adanya takikan ini akan lebih mudah sampai diatas pohon dan tidak tergelincir.

Kata Bakkara juga kemungkinannya bersal dari kata “bangkar” dan “ra”. Bangkar dalam bahsa Batak Toba artinya kulit pohon enau yang keras pada cabang bawah dan meliliti ijuk.Di Bakkara dahulu terdapat banyak pohon enau.

Dari kedua kata tersebut dapat disimpulkan makna filosofi dari leluhur Batak memulai kehidupan di wilayah ini yaitu harapan bahwa tanah tersebut menjadi tempat pemukiman dan berketurunan, serta wilayah perlindungan ideal untuk mencapai tingkat kesejahtraan kehidupan. Oleh karena itu Bakkara adalah “ tanah harapan untuk permukiman yang damai, aman dan sejahtera”.

Bakkara merupakan nama sebuah desa di lembah yang diapit pegunungan dataran tinggi Toba, terletak diBarat daya Danau Toba. Jumlah penduduknya tahun 2006 sekitar 1.600 jiwa, 400 kepala keluarga.Mayoritas suku Batak Toba, keturunan marga Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora.Mata pencaharian penduduk bertani padi, palawija (cabai, bawang, tomat), sebagian kecil lahan pertanian ditanami kopi dan coklat.

Wilayah sub desa di Bakkara diantaranya Huta Tinggi, Huta Ginjang, Huta Siunong-unong Julu, Sitedak, Lumban Sibabiat, Sionggang, Simangulampe, Huta Sihite, Huta


(11)

Huta Marbun, Sosor Tangga, Sosor Gonting, Janji Raja perbatasan Tipang dan wilayah Muara. Salah satu cirri khas perkampungan marga adalah pohon Hariara, yang masih ada hingga kini di Lumban Raja, Siunong-unong Julu, Huta Simanullang, Huta Sinambela, dan Huta Marbun.

Bakkara beriklim sejuk dan pemandangannya indah permai.Bakkara sebagai situs sejarah kebudayaan Batak dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di tanah Batak melawan Belanda selama 30 tahun (1877-1907) di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja dari Bakkara.

Sebagai mana yang disebutkan di atas Kecamatan Baktiraja membawahi beberapa desa yang salah satunya adalah Desa Tipang yang mempunyai jarak tempuh sekitar 20Km dari pusat Ibu kota Humbang Hasundutan yaitu kota Dolok Sanggul.

Menurut letak geografis Pemerintah, Desa Tipang beriklim tropis dan berada pada ketinggian 900-1300 di atas permukaan laut.

Desa Tipang dengan batas-batas wilayah sebagai berikat : Sebelah Timur : Danau Toba.

Sebelah Selatan : Kota Bakkara.

Sebelah Barat : Sisi terjal bukit arah Siria-siria. Sebelah Utara : Desa Janjiraja, Kabuten Samosir.

Sebelumnya Desa Tipang terbagi atas tiga desa yang dipimpin tiga orang kepala desa yaitu .

1. Desa Tipang Dolok 2. Desa Tipang Habinsaran 3. Desa Tipang Hasundutan

Pada tahun 1996 ke tiganya digabung menjadi satu yang disebut menjadi Desa Tipang saja, dan desa sebelumnya diubah menjadi dusun.

1. Desa Tipang Dolok ditetapkan menjadi Dusun III 2. Desa Tipang Hasundutan ditetapkan menjadi Dusun II 3. Desa Tipang Habinsaran ditetapkan menjadi Dusun I


(12)

Pada table kependudukannya tahun 2011 desa Tipang adalah desa yang memiliki wilayah paling luas diantara desa yang terletak di Kecamatan Baktiraja, dihuni 458 kepala keluarga dan 1.800 jiwa, umumnya yang bermukim di desa Tipang adalah keturunan Pomparan Raja Sumba yaitu Toga Sihombing dan Toga Simamora, dalam kehidupan sehari-hari menjalankan falsafah Dalihan Natolu (saling hormat mengormati).

Nama Tipang diambil dari nama tanaman yang disebut :”duhut-duhut simardimpos dohot tano simarhilop” yang artinya sejenis tanaman yang tumbuh diantara tanah gersang dan berbatu-batu, yang berarti keadaan tanah yang ditempati tidak subur dan berbukit-bukit tidak teratur.

Dalam mengatur hubungan kekerabatan, mereka membuat aturan bersama yaitu mengatur bagian-bagian huta (kampung) dan ketertiban huta(kampung), maka dipilihlah “kepala dalam huta” dan “raja jolo dari setiap marga sekaligus raja bius dalam peradaban”.

Pertambahan anggota keturunan marga mengakibatkan pertambahan huta atau dengan sebutan lain seperti lumban, sosor, lobudan lain-lainl yang dibuka disekitar huta yang pertama. Untuk mendukung suatu kegiatan pengambilan keputusan tentang hukum-hukum pertanian, hukum-hukum peradaton, hukum-hukum pembukaan irigasi atau talian dan hukum-hukum pembagian lahan secara demokratis makaketujuh marga yang bermukim di Tipang menyepakati tempat parapotan(rapat) 25 x 40 M ditengah parhutaan ni marga

Hutasoit(di tengah kampung marga Hutasoit), lokasi itu dinamai toguan(tempat berkumpul). Toguan memiliki arti yang sangat luas saat itu :

a) Parsanggul baringin (simamora),pangulutaon (sihombing), amang pangoloi, inang na nioloan.

b) Parapotan ni raja na pitu( musyawarah dari raja yang tujuh) untuk meletakkan

dasar-dasar hukum kehidupan masyarakat Tipang.

c) Tempat menjalankan ritual doa, persembahan dan tempat horja(pesta dan kerja).

Raja na pitu/raja biusTipang berarti ada tujuh marga yang bermukim di Tipang yaitu

orang yang pandai dalam adat dalam kedudukannya sebagai pelaksana kontrol sosial atau

panimbangi, dalam melaksanakan hukum adat atau aturan paradaton, mengatur ketertiban huta, atau bagian-bagian huta seta memutuskan suatu gelar acara yang juga dapat memberi


(13)

Fungsi Raja na pitu/raja biusTipang sekarang hanyalah dalam pelaksanaan horja bius

(matua natua-tua) atau acara peresmian tugu dan mangongkal holi, tetapi dalam sistem paradaton mengikutkan ke tujuh marga yang telah ditetapakan.

Adapun ciri khas yang masih dimiliki sampai sekarang antara lain:

1. Memiliki asal-usul atau keturunan berdasarkan susunan asli abadi yang disebut marga raja ataumarga partano.

2. Memiliki sistem pembagian tanah warisan yang disebut golat.

3. Memiliki lembaga adat istiadat yaitu komunitas bona pasogit raja na

pituTipang

4. Memiliki lokasi untuk melaksanakan rapat Raja na pitu, ritus dan horja disebutToguan.

5. Memiliki kelompok kerja irigasi atau talian yang disebut sihali aek dolok dan

sihali aek toba.

6. Memiliki ritual atau upacara yang digelar setiap tahun yaitu pangkalion ni aek

dan mangan indahan siporhis.

7. Memiliki lagu dan umpasa khusus untuk sihali aek. 8. Memiliki rumah adat khas batak yaitu rumah bolon. 9. Memiliki jenis ikan khas batak yaitu ihanBatak.

10. Disetiap lokasi huta, lumban, sosor, lobu masih dapat dijumpai losung.

Losung pada umumnya dipakai sebagai alat menumbuk padi untuk menjadi beras, losung dipahat dari batu (umumnya losung memiliki satu lubang, tetapi ada juga yang

mempunyai dua dan tiga lubang) , menurut perkiraan masih ada sekitar 120 lagi losung batu yang ditempatkan dirumah penduduk.


(14)

4.1.2 Marga-marga di Baktiraja

Kita meyakini bahwa kehidupan sekarang dan kehidupan keturunan atau pomparan kita adalah salah satu kehidupan nenek moyang kita, sehingga Tarombo(silsilah)sangat penting untuk kita ketahui, yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunan kita secara turun-menurun. Bagi masyarakat Batak yang bermukim di Bonapasogit sebagian besar mengimplementasikan dengan cara menggantungkan Tarombo yang tersusun dari garis keturunan marga ayah.

Di Bakkara dikenal ada Raja Na Onom yaitu Sinambela, Simanullang, Marbun, Simamora, Sihite, Bakkara.Simamora memiliki legenda bahwa dia memiliki dua istri yang pertama boru Pasaribu, karena istri pertamanya tidak memiliki anak maka dia kawin lagi dengan salah seorang cucu Si Raja Lontung boru Siregar, kedua istrinya hidup dalam satu rumah, dari perkawinannya ini dianugrahi tiga anak yaitu Purba, Manalu, Debataraja.

Keadaan ini menimbulkan persoalan rumah tangga mereka sehingga terjadi perselisihan sehingga istri pertamanya meninggalkan Tipang. Simamora pergi mengembara dan meninggalkan istri dan ketiga anaknya di Tipang dalam waktu yang cukup lama, maka Raja Lontung berpesan kepada Sihombing “pature ma haha borumi”, maka

dipagodang(dibesarkan) Sihombing ma haha boruna tubu ma : Silaban, Lumbantoruan,

Nababan dan Hutasoit.

Dalam sebutan untuk keturunan Simamora dan Sihombing disebutkan Pitu Saina (tujuh satu ibu) : Purba, Manalu, Debata Raja, Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit dan Opat Saama yaitu marga : Silaban, Lumban toruan, Nababan, Hutasoit.

Keturunan dari Simamora dan Sihombing menjadi cabang marga baru yaitu kelompok keturunan yang terdiri sendiri secara horizontal di Tipang. Simamora dalam hal ini adalah sebagai yang sulung tetapi dalam adat istiadat yang diterima keturunan SiRaja Sumba (marga

parbaru) Sihombing lebih dulu membayar adat sehingga disebutkan:

- Simamora sebagai hahani partubu/ abang/ kakak dari lahir.

- Sihombing sebagai hahani parrajaonabang/ kakak dari yang dirajakan.

Dalam acara penyerahan uhum paradaton (aturan dalam adat) kepada hula-hulanya, Si Raja Lontung memberikan penambahan nama identitas “Borsak” kepada keturunan


(15)

Sihombing karena bersedia membesarkan ke empat anak Simamora sampai dewasa dengan sebutan:

1. Marga Silaban untuk sebutan Borsak Junjungan.

2. Marga lumbantoruan untuk sebutan Borsak Sirumonggur. 3. Marga nababan untuk sebutan Borsak Mangatasi.

4. Marga hutasoit untuk sebutan Borsak Bimbinan.

Ketujuh marga tersebut sebagai marga raja/marga partano(pemilik tanah) yaitu marga pemilik daerah Tipang, yang secara terus-menerus menempati Tipang sampai sekarang. Dalam ikatan kekerabatan yang masih dekat keturunan Toga Simamora dan Toga Sihombing dalam ikrarnya pada saat itu dibagi:

1) Dongan Tubu : karena mereka satu ibu.

2) Sisada Somba : karena Purba, Manalu, Debataraja, Silaban, Lumbantoruan, Nababan, Hutasoit satu ibu, sehingga mereka menjadi satu kurban untuk persembahan kepada Hula-hulanya.

3) Sisada Sinamot : satu dalam kemakmuran wilayah yang dibagi samarata.

4) Sisada Sipanganon : satu kesatuan makan bersama makan bersama (ritual satu ompu)

5) Sisada Harajaon : satu dalam kemulaian, yaitu menetapkan sebutan “Raja Partano”.

6) Sisada Hailaon : satu dalam kenistaan, supaya kesatuan ini tidak hilang sampai keturunannya nanti.

Tipang diyakini sebagai Bonapasogit dari Raja Sumba (yang digelar sebagai Sumba Napaduahon ) yang merupakan salah satu anak dari Ompu Tuan Sorba Dibanua.Setelah menikahi Boru Pandan Nauli yaitu putri dari Raja Lontung, Raja Sumba berangkat kearah Selatan dan membuka perkampungan yang dinamai Tipang.

Dari perkawinan dengan Boru Pandan Nauli, Raja Sumba dianugrahi dua orang putra yaitu Simamora yang tertua dan Sihombing yang termuda.Adapun simamora mempunyai keturunan yaitu Purba, Manalu, dan Debataraja sedangkan Sihombing memiliki ketununan Silaban, Nababan, Hutasoit dan Lumban toruan.Ketujuh keturunan tersebut secara terus menerus menempati Tipang hingga saat ini dan pengaturan pembagian sawah dan ladang di atur dengan musyawarah dan damai secara turun menurun.


(16)

Dari hasil penelusuran tarombo yang ditulis Gr.Dj Hutasoit, Datu Nauala tetap bermukim di Tipang dan untuk mencukupi kelompok marga Hutasoit dalam mengikuti hukum-hukum pangkolian ni aek atau pembukaan irigasi dan pembagian golat hauma(batas tali air) maka pomparan dari Guru Sohatahutan dansindar Mataniari dijou atau dipanggil dari Humbang. Marga Hutasoit yang menempati Parhutaan di Tipang sekarang ini dipanggil dari tiga keturunan yaitu

1. Di Tipang Dolok Pomparan Datu Naualu yang bermukim di Huta Hutasoit. 2. Di Tipang Dolok Pomparan Datu Naualu yang bermukiman di Sosor Baringin. 3. Di Tipang Habinsaran Pomparan Sindar Mataniari yang bermukim di Janji Nahata. Jumlah Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit Boru, Bere dan Ibebere yang bermukim di Tipang sekarang ini sebanyak 85 kepala keluarga.

Boru Bius dalam pengertian di Tipang adalah Boru yang sudah mendapat bagian tanah

pauseang, sehingga mereka menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari marga Hutasoit, sehingga secara simbolikdan mendasar mereka diposisikan seperti ungkapan Boru

do dipartubu alai anak do dipambahenan, demikian juga boru yang lainnya saat pengukuhan

Punguan Hutasoit Bonapasogit Tipang mereka telah siap menjadi parhobas (pelayan) yang memberikan waktu dan tenaga. Hubungan pernikahan sesama keturunan Toga Sihombing terjadi pertama sekali antara keturunan Lumbantoruan atau Binjori menikahi puteri Datu Naulu atau puteri boru Hutasoit.


(17)

(18)

(19)

Disekitar lokasi toguan ketujuh marga tersebut sepakat menempatkan situs peninggalan Sumba berupa batu Siungkap-ungkapon dan batu Pahusean yang diterima Raja Sumba bersamaan dalam satu tempat. Adapun ketujuh marga tersebut adalah purba, manalu, debata raja, silaban, lumbantoruan, nababan, hutasoit.

Batu Siungkap-ungkapon sebagai panungkunan boni bagi masyarakat petani di Tipang,

tanpa membawa benih padi ketempat itu tetapi hanya berdoa. Bila musim masa pencangkul atau ombahon hauma sudah dimulai, tiba saatnya menabur benih padi. Maka diadakan ritual

tonggo ni harbue atau doa untuk padi dan meminta petunjuk melalui batu ungkapon. Jenis benih padi yang mana akan ditabur dilahan. Maka dibukalah batu Siungkap-ungkapon jika semut merah yang muncul dari bawah batu tersebut, mengisyaratkan boni(benih) padi merah yang ditanam dan apabila semut warna putih maka benih padi putih

yang akan ditabur dilahan.

Tujuh marga Raja Jolo Turpuk Marga atau sebutan Raja Bius/ Raja Na Pitu duduk bersilah di depan batu Siungkap-ungkapon. Raja Na Pinajolo Niturpuk atau yang disebut juru bicara dari Toga Simamora yang mempunyaiilmu. Marga Purba atau Parsanggul Baringin yang meminta doa kepada Raja Namula Jadi Nabolon petunjuk menanam benih padi. Setelah berdoa ada satu lagi jubir (juru bicara) dari Toga Sihombing yaitu marga Silaban atau

Pangulu Oloan yang bertugas membuka batu Siungkap-ungkapon.

.


(20)

Pauseang yang diterima Raja Sumba dari Raja Lontung :

Tiga batu yang mempunyai arti :

a. Batu si boru gabe : asa gabe naniula/gok eme di sopo (melambangkan supaya

hasil panen padi dari sawah bagus)

b. Batu siboru torop : asa torop maribur, maranak, marboru huhut sangap angka pinomparna, horas jolma, (melambangkan supaya banyak

keturunannya, baik keturunan laki-laki dan perempuan sampai anak cucu, cicit dan seterusnya dan sehat selalu).

c. Batu siboru sinur : asa sinur napinahan/gok horbo dibara (melambangkan

kemakmuran atas ternak yang dikembang biakkan oleh seluruh keturunannya).


(21)

Ketujuh kelompok marga tersebut sebagai marga raja atau marga partano yaitu marga pemilik daerah tipang, yang secara terus menerus menempati Tipang hingga saat ini yang diyakini sebagai Bona Ni Pinasa.

4.1.3 Sistem Irigasi/ Pengairan di Baktiraja

Padapengelolaan tanah persawahan di Bakkara dan Tipang masih marturpuk-turpuk atau berkelompok, belum memiliki tali air yang baik, sehingga pengelolahan sawah untuk pertanian hanya memanfaatkan tanah atau lokko-lokko dan mimir ni aek(air dari atas bukit) karena kondisi sungai di Tipang yang curam, hal ini menyebabkan sumber air yang dapat dimanfaatkan pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas.

Seiring dengan pertambahan garis keturunan ketujuh marga di Tipang serta keterbatasan lahan persawahan yang sempit memaksa sebagian besar dari keturunannya cepat berimigrasi ke wilayah Humbang.

Maka ada kesepakatan bagi yang masih tetap bertahan di Tipang untuk membuat sanksi bagi yang sudah meninggalkan Tipang disebut dalam bahasa Batak “molo nungga tundal sian solotan(bila sudah meninggalkan tempatnya) perbatasan Tipang dengan Bakkara

maka yang meninggalkan Tipang tidak boleh lagi mewarisi tanah bagiannya’’.

Tujuh marga di Tipang yang masih bertahan di Tipang duduk bersama di lokasi

Toguan untuk membicarakan hukum-hukum yang sesuai dengan ruhut-ruhut paradaton(aturan-aturan), pembukaan irigasi (talian) serta pembukaan lahan persawahan

baru serta pembagian lahan persawahan secara adil dan merata.

Latar belakang ditetapkannya hukum-hukum sistem irigasi (talian) ini ratusan tahun yang lalu tujuannya memanfaatkan air terjun yang ada di Tipang dan sungai yang melintasi desanya, diyakini dapat mengaliri persawahan sepanjang tahun, sehingga memungkinkan keturunannya dapat mengolah lahan kering menjadi lahan persawahan yang lebih luas lagi.

Karena kondisi lingkungan irigasi (talian) yang harus dikerjakan harus disesuaikan dengan letak persawahan dimana fotografinya yang berundak (susunan tanah dan batu bertingkat-tingkat), mereka juga memikirkan cara menembus bukit cadas dengan cara memahat, irigasi (talian) yang akan dikerjakan dekat dengan bukit yang terjal, memindahkan batu-batuan yang menghalangi saluran yang akan dibuka, pengaturan kemiringan dan lekukan saluran air, membuat saluran air yang harus melalui lembah, pengaturan saluran


(22)

masuk dan keluarnya air (disesuaikan dengan topografi sungai-sungai kecil), semua perencanaan ini tidak akan berhasil jika tidak diikuti campur tangan manusia dengan pola piker bersama serta tingkat intelektual yang mereka miliki untuk dapat menyalurkan air sungai yang melintasi desanya ke wilayah persawahan baru.

Dalam perencanaan pembukaan irigasi dan lahan persawahan baru mereka mendapat permasalahan yaitu kekurangan tenaga untuk membuka irigasi tersebut maka disepakati memanggil saudara dari ketujuh marga tersebut dari wilayah Bakkara dan Humbang. Untuk saudaranya yang dipanggil untuk tinggal di Tipang ada sebutan “tano na tinundalhon tano na ni dapothon, manjou sian na jonok manghirap sian na dao”. Yang artinya yang sudah meninggalkan Tipang, dipanggil kembali karena diperlukan untuk membuka talian (irigasi) dan membagi lahan persawahan.

System irigasi (talian) yang akan ditetapkan kelompok kerja dengan sebutan Sihali Aek adalah sistem pengelolaan pendistribusian aliran air untuk lahan persawahan,

implementasi konsep kegiatan dalam pembukaan irigasi (talian) ini tidak selalu mengenai pertanian saja, tetapi manifestasi luar biasa yang menggabungkan nilai-nilai tradisional dan interaksi sosial antara ketujuh marga yang termasuk dalam kelompok ritual keagamaan pada zamannya, juga terbukti menciptakan pembagian tanah (golat) yang teratur, rapi dan demokratis, maka hasil rapat memutuskan untuk membuka dan mengerjakan Talian (irigasi) pertama :

Nama kelompok kerja : Sihali aek Toba Nama Irigasi (talian) : Panaharan

Panjang Irigasi : 4000 mtr (dari batang aek sampai puncu ni aek) Jumlah pekerja kelompok : 60 kepala keluarga

Jumlah Parhra : 2 orang

Tingkat kesulitan lokasi : membuat lebar irigasi lebar 1,5 mtr dan tinggi 1-2 mtr Tujuannya : supaya dapat mengaliri persawahan 60 persen dari

sawah sekarang.

Hasilnya : irigasi berfungsi dengan baik, sampai sekarang masih dapat digunakan.

Karena irigasi pertama belum dapat mengairi sebagian lagi persawahan karena kontur tanah berundak (teras bertingkat-tingkat) dari atas bukit hingga pinggiran Danau Toba, maka masyarakat umum memilih lagi 60 kk untuk bekerja membuka irigasi (talian ke dua) :


(23)

Nama kelompok kerja : Sihali aek Dolok

Nama Irigasi (talian) : Ulu ni aek (hulu sungai)

Panjang Irigasi : 2500 meter (dari Hulu sungai pertama sampaiSirongit) Jumlah pekerja kelompok : 60 kepala keluarga

Jumlah Parhara : 2 orang

Tingkat kesulitan lokasi : tingkat kemiringan lokasi kerja 45 derajat dan lebar irigasi 1 mtr dan tinggi 1 s/d 3 mtr

Tujuannya : supaya dapat mengaliri persawahan 40 persen lagi

Hasilnya : talian berfungsi dan sekarang dapat digunakan penduduk setempat.

Ada beberapa irigasi (talian) lain yang memiliki panjang 500 meter seperti irigasi

(talian)Sitanduk ni Hambing, Siamboga, Hauma Bulu yang dikombinasikan dengan saluran

irigasi besar.

Setelah pembukaan irigasi (talian) pertama dan kedua selesai dikerjakan maka pembagian lahan persawahan dilakukan, yang ikut membagi tanah untuk persawahan hanyalah yang ikut dalam kelompok Si Hali Aek dan parhara.

a. Pembagian Golat Pertama : diukur dari Habinsaran ke Hasundutan dengan sistem kelompok marga masing-masing memiliki tiga atau empat petak persawahan, demikian selanjutnya untuk marga yang lain secara berurutan tiap marga yang ada di Tipang.

b. Pembagian Golat ke dua : jika panjang sawah dari pembagian pertama kurang panjangnya maka disepakati lagi pembagian sawah dengan pengukuran dari Dolok ke

Toruan(atas ke bawah).

Parhara dalam hal ini bertindak sebagai yang ditugasi untuk menyampaikan undangan kepada kelompok sihali aek dan mendapat bagian sawah.Setiap petak atau kontur sawah yang dibagi mempunyai nama, sehingga kita menemui 45-55 nama sawah yang dibagi secara merata. Keberhasilan irigasi (talian) yang dikerjakan dengan pola kerjasama ini telah memberikan hasil karena ketercukupan pasokan air sepanjang tahun sehingga lahan


(24)

persawahan dapat diolah dua kali setahun untuk tanaman padi dan pola tanam padi dilakukan serentak.

Setelah semua yang ikut dalam kelompok memiliki sawah, maka dibagi lagi hak-hak khusus seperti :

1. Upa Gogo yaitu berupa bagian sawah tambahan 60 bagian untuk si Hali Aek

Toba dan 60 bagian untuk Sihali Aek Dolok

2. Upa Parhara yaitu mempunyai bagian sawah yang diterima sebagai pengawas

irigasi dan pengundang untuk kegiatan rutinitas ritual setiap tahun maka dia mendapat dua kali lebih luas dari upah gogo.

3. Upa jolo yaitu berupa bagian sawah sebagai penghormatan kepada Raja Jolo tiap

turpuk marga.

4. Upa Lehu yaitu bagian sawah yang ditrima sebagai hak intelektual salah seorang

warga yaitu boru Hutasoit, karena perannya mangalehu (memutar) peta aliran air, kalau hal ini tidak dilakukan maka 30 persen lahan persawahan tidak akan dapat dialiri air, bagian sawah tersebut masih ada sampai sekarang menjadi milik bersama marga Hutasoit.

5. Upa Rongit yaitu kemampuan warga masyarakat untuk mengolah lahan tersebut

karena banyaknya rongit atau nyamuk dilokasi tersebut.

6. Upa Bodil yaitubagian sawah yang dikerjakan berdasrkan keberaniannya, karena

letaknya yang terdapat dilokasi yang terjal dan sewaktu mengerjakannya sering longsor tanah dan bebatuan.

7. Upa Datu yaitu bagian sawah yang diterima perseorangan atau lebih yang

berperan memberikan petunjuk supra natural dan partonggoan (mendoakan) sewaktu membuka irigasi tersebut.

8. Upa Mate yaitu bagian sawah yang diterima perorangan karena waktu pembukaan

irigasi mengalami kecelakaan kerja dan meninggal dunia.

9. Upa Tundal yaitu bagian sawah yang diterima perorangan atau lebih karena

bertugas menjumpai kelompok marganya ke tempat lain agar mau ikut berpartisipasi membuka irigasi.

10.Upa Baringin yaitu bagian sawah yang diterima perorangan karena berperan

sebagai kepala dalam huta, sosor, dan humban.

11.Tanding yaitu bagian tanah perswahan yang merupakan sisa yang tidak terbagi


(25)

12.Hauma Kongsi yaitu sebidang tanah persawahan yang diberikan kepada kelompok

marga pomparan yang tetap berdiam di Tipang yang dikerjakan bergantian setiap tahun.

Prosesi ritual sistem irigasi dengan sebutan kelompoknya yaitu sihali aek dibagi 2 : 1. Ritual pembersihan saluran irigasi atau talian setiap tahun dilaksanakan pada bulan

Juni.

2. Ritual mangan indahan siporhis setiap tahun dilaksanakan pada bulan Oktober. Ritual khusus yang pernah dilakukan oleh sesepuh kelompok si Hali Aek adalah jika musim kemarau panjang, walaupun air tetap mengalir dipetak sawah tetapi kalau hujan tidak turun akan mempengaruhi produksi padi saat itu, maka Raja Jolo Sihali Aek akan dibawa ke batang air dan disirami oleh anggota kelompoknya dan menyuarakan “Ro panggurguri, ro

panggurguri” secara berulang-ulang maksudnya datanglah hujan penyejuk untuk tanaman dan Raja Jolo Sihali Aek akan diarak kelilingi kampung sambil disirami air.


(26)

Gambar Gotong Royong Membersihkan Sihalian Aek.

4.2.1 Tahapan menanam padi di Baktiraja

Tahapan menanam padi di Bakkara dan Tipang sama yaitu dimulai dari tahapan pertama yaitu :

1. Persiapan Lahan

Dalam hal menanam padi lahan yang baik ditanam padi diantaranya yaitu lahan yang subur dan yang banyak mengandung humus, tanahnya terbuka dan tidak tertutup oleh bangunan atau pohon-pohon yang besardan setelah itu tanah diratakan( mandosdoshon) .Agar padi yang ditanam bisa tumbuh dengan sempurna perlu merawatnya dengan membersihkan tanaman lain yang mengganggu atau biasa disebut dengan tanaman gulma.


(27)

2. Penggarapan Lahan(mandosdoshon)

Dalam hal penggarapan lahan,mencapurkan jerami busuk dengan pupuk kandang dan dibiarkan teraduk dengan menggunakan tratror.Hal ini dilakukan bermaksudkan untuk membuat tanahnya semakin subur dan tidak mudah cepat kering.Pengolahan bertujuan untuk mengubah sifat fisik tanah agar lapisan yang semula keras menjadi datar dan melumpur. Dengan begitu gulma akan mati dan membusuk menjadi humus, irigasi tanah menjadi lebih baik, lapisan bawah tanah menjadi jenuh air sehingga dapat menghemat air.

3. Pemisah tali air (galung)

Pemisah tali air atau galung dilakukan agar sumber air pada saat proses penanaman sampai panen tidak mengalami kekurangan maupun kekeringan. Umumnya banyaknya air akan diatur agar sawah tidak kebanjiran dan padi tidak mengalami kebusukan.Pada pengolahan tanah sawah ini, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan. Pematang (galengan) sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman.


(28)

Contoh Galung.

4. Menyemai Benih Padi di Lahan

Setelah memiliki benih padi yang baik, langkah selanjutnya adalah menyemai benih tersebut pada lahan tanam. Untuk menyemai benih padi bisa melakukannya dengan cara :

1. Rendam benih padi yang akan disemai selama sehari semalam, tiriskan dan biarkan selama 2 hari sampai benih tersebut mengeluarkan kecambah.

2. Tanam bibit padi yang sudah berkecambah tadi di lahan persemaian yang telah disiapkan. Cara menanam benih padi adalah dengan menyebar bibit secara merata pada lahan penyemaian.


(29)

Tahap selanjutnya adalah menanam bibit yang telah disemai ke dalam lahan persawahan yang sudah dipersiapkan. Cara menanam padi adalah dengan memindahkan bibit persemaian ke dalam lahan persawahan. Berikut adalah langkah-langkahnya:

a) Salah satu ciri bibit padi yang sudah siap tanam adalah memiliki daun dua sampai tiga helai dan telah berusia kurang lebih 2 minggu.

b) Cara menanam bibit padi tersebut bisa dilakukan dengan cara tunggal maupun ganda. Untuk satu lubang bisa diisi satu atau dua tanaman padi.

c) Proses penanaman bibit padi yang baik adalah dengan membuat lahan tergenang dengan air.

d) Penanaman padi dengan jarak tanam antar padi diusahakan jangan terlalu dekat atau terlalu rapat agar pertumbuhan padi bisa maksimal.

5. Pemeliharaan

Setelah selesai menanam dilakukan tahap pemeliharaan dan pemupukan agar tanaman padi subur dan menghasilkan panen yang baik. Penyiangan tanaman gulma bisa dilakukan saat masa tanam padi menginjak umur 3 minggu dan selanjutnya bisa dilakukan penyiangan rutin setiap 3 minggu sekali. Penyiangan yang baik bisa dilakukan dengan cara manual yaitu dengan mencabut gulma dengan menggunakan tangan.

6. Pemupukan

Selang dua minggu masa penanaman dilakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan untuk memancing pertumbuhan padi tersebut, dan sawah tetap dialiri air agar padi tersebut tidak mengalami kerusakan.

Tujuannya adalah untuk mencukupi kebutuhan makanan yang berperan sangat penting bagi tanaman baik dalam proses pertumbuhan/produksi.Setelah dipupuk lalu dilihat perkembangan dari padi tersebut. Selanjutnya padi sawah dikeringkan dan dipupuk kembali. Dikeringkan agar pupuk tidak terbuang dan menyerap. Setelah tiga-empat hari diairi kembali. Dan kembali melihat perkembangan (marangin) dari hasil pemupukan.


(30)

Membiarkan padi tetap berkembang, dan jika padi tumbuh tidak bagus maka dilakukan kembali pemupukan dan menggunakan pupuk kimia.Selang waktu empat-lima bulan dilakukan panen.

8. Memanen Tanaman Padi yang Telah Menguning

Inilah saat yang paling ditunggu oleh para petani yaitu masa panen tanaman padi. Tanda tanaman padi telah siap untuk dipanen adalah warna butiran bijinya sudah mulai menguning, ranting buahnya sudah mulai menunduk karena terisi dengan beras. Proses pemanenan padi bisa dilakukan dengan cara tradisonal yaitu menggunakan sabit atau dengan cara modern yang menggunakan mesin otomatis.Panen meliputi : menabi (menyabit), membanting, dikipas, dijemur sampai kering dan disimpan.Untuk mengurangi kerugian pada saat panen usahakan untuk segera memanen padi karena bila usia padi terlalu tua biji padi akan rontok.


(31)

Proses Memanen Padi.

Alat-alat pertanian, yang digunakan mengolah tanah pertanian adalah: 1. Pakkur (cangkul) terbuat dari besi bertangkai kayu.

2. Ninggala (bajak atau liku) terbuat dari kayu bermata besi atau teras enau,

diapakai untuk membajak.

3. Auga,terbuat dari kayu yang dikaitkan pada leher lembu/kerbau dan

berhubungan dengan ninggala, sehingga umumnya memakai tenaga dua orang manusia, satu yang memegang bajak satu orang memegang auga. Tetapi ada juga yang memakai hanya satu orang manusia dan seekor kerbau/lembu atau dua ekor.

4. Sisir terbuat dari kayu bermata besi atau teras enau. Sisir berguna untuk meratakan dan menghaluskan tanah dan cara memakainya sama dengan memakai ninggala.

5. Hudali (cangkul kecil) terbuat dari besi bertangkai kayu guna menyiangi padi,


(32)

6. Siduaraja (sidua mata) ialah semacam cangkul matanya terbuat dari besi

bertangkai kayu, tetapi matanya dua buah. Gunanya untuk mencangkul tanag keras bercampur batu.

7. Gupak (piso) atau lading terbuat dari besi bertangkai kayu gunanya untuk

memotong kayu.

8. Raut serupa pisau tetapi ukuran kecil guna memotong benda kecil.

9. Balati (balati) sama dengan raut, tetapi balati biasanya pakai sarung dan

dipakai pada waktu tertentu saja.

10.Kotam (ani-ani) terbuat dari kayu bermata pisau kecil, gunanya untuk

mengetam padi.

11.Ompon (lumbung) terbuat dari pandang untuk tempat menyimpan padi.

Ompon ini disebut juga hobon (lumbung padi)

12.Pardegean terbuat dari pandan, tempat menginjak injak agar lepas dari

tangkainya

Pada jaman dulu di Bakkara sebelum menanam padi ada Tonggo-tonggo atau

martangiang , margondang, mangele dan manungkun boni ke batu siungkap-ungkapon, yang

dilakukan Pangulu Balang agar hasil panen bagus,karena dulu belum ada Huria (gereja atau agama).Dan pada tahun 1939 sampai sekarang tidak ada lagi ritual-ritual tersebut.

Setelah huria (gereja atau agama)masuk ke Bakkara sudah tidak ada lagi ritual-ritual tersebut. Sekarang sudah marsibaen-baenna(saling masing-masing). Setelah panen dahulu dan sekarang kembali menanam bawang, tomat, bawang batak, dan sayur-sayuran di persawahan tersebut.

Sehabis panen dilakukan pesta gotilan (panen) yang dilakukan sekali setahun dan

diting-tingkan(diumumkan) di gereja tanggal berapa pesta gotilan ituakan dilaksanakan.

Selanjutnya, setiap kepala keluarga membawa padi (eme) ke gereja seikhlas hati.Dan eme tersebut dikumpulkan lalu dilelang oleh pihak Huria gereja. Hasil dari lelangan tersebut digunakan untuk pembangunan gereja.


(33)

Persawahan di Bakkara.


(34)

4.2.2 Ritual-Ritual Yang Terdapat Pada Sistem Bertani Padi Pada Di Baktiraja

1. Ritual Raja Jolo Di Toguan.

Ritual sebagai panungkunan boni bagi masyarakat. Dengan cara ritual dengan tujuh marga raja jolo turpuk marga (sebutan raja bius/raja napitu) duduk bersilah dibatu siukkap-ukkapon. Raja napinajoloniturpuk atau yang sering disebut dengan juru bicarayang mempunyai ilmu yaitu dari Toga Simamora. Disebut sebagai parsanggul baringin yang

memiliki arti

yangmembuatritualmemintadanberdoakepadaNamulaJadiNabolonmemintapetunjukmenanam benihpadi.Setelah berdoa ada satu lagi juru bicara dari TogaSihombing “pangulu oloan” yang memiliki tugas membuka batu si ukkap-ukkapon.Setelah dibuka jika semut merah bertelur merah muncul maka benih yang dipakai adalah benih beras merah dan jika semut merah bertelur putih maka benih padi yang dipakai jenis padi putih setelah itu mereka harus memberitahukan kepada masyarakat melalui Raja Napitu kepada masing-masing marga.Marga Purba yang berdoa atau martonggo dan Silaban yang membuka batu si Ungkap-ungkapon.Setelah itu mengumumkan tanggal berapa menabur benih, tanggal berapa mencangkul dan tanggal berapa menanam melalui tujuh marga tersebut dan juga memperhatikan parhalaan kalender Batak Toba.

2. Ritual Kelompok Sihali Aek.

Ritual yang dilakukan satu kali setahun yaitu sistem pengelolahan pendistribusian aliran air untuk lahan persawahan yang menggabungkan nilai-nilai tradisional dan interaksi sosial antara ketujuh marga . Ritual khusus yang pernah dilakukan oleh sepuluh kelompok si

hali aek adalah jika musim kemarau panjang , walaupun air tetap mengalir di petak sawah

tetapi kalau hujan tidak turun akan mempengaruhi produksi padi saat itu , maka Raja Jolo

Sihali Aek akan dibawa kebatang ke batang air dan disirami oleh anggota kelompoknya dan


(35)

datanglah hujan penyejuk untuk tanaman dan Raja Jolo Sihali Aek akan diarak kelilingi kampong sambil disirami air.

Perhara dalam hal ini beritndak sebagai yang ditugas untuk menyampaikan undangan kepada kelompok sihali aek dan mendapat bagian sawah. Setiap petak atau kontur sawah dibagi mempunyainama, sehingga kita manemui 45-55 nama sawah yang dbagi secara merata. Keberhasilan irigasi (talian) yang dikerjakan dengan pola kerja samaini telah memberikan hasil karena ketercukupan pasokan air sepanjang tahun sehingga lahan persawahan dapat diolah dua kali setahun untuk tanaman padi dan pola menanam padi dilakukan serentak.


(36)

3. Ritual Mangan Indahan Siporhis

Ritualini dilakukan pelaksanaan perbaikan tali air. Yang diperlukan pada ritual ini antara lain tujuh Tandok beras, tujuh ikan tawar, pora-pora, nasi tumba, kunyit, gemiri, sorbuk ( beras yang disaok lalu digiling dan pedas). Ikan pora-pora tersebut harus ada dan rasa pedas dipercayai agar tetap bersemangat.Dimakan pada saat istirahat gotong-royong membersihkan tali ari.Ritual ini dilakukan dengan martangiang dan marhata

gabe-gabe(berdoa menggunakan kata-kata bahagia).

Contoh gabe-gabe:

Bintang na somiris

Bintang yang beriringan

Mardongan ombun na somorop

Bertemankan embun yang sejuk

Di dolok ni purba tua

Di bukit dari marga purba tua

Anak pe godang riris

Anakpun banyak

Dohot boru pe tung torop

Maupun puteri

Dongan mu na saur matua

Teman mu sampai panjang umur


(37)

Manganindahansiporhis. 4. Ritual Mangamoti

Ritual ini dilakukan pada waktu dua tiga minggu akan panen. Dimana ibu-ibu akan pergi ke sawah untuk mengambil tujuh gambiur (biji) padi dan disimpan kedalam tandokdan dimana bapak-bapak pergimarbindababi maupun kerbau. Padi tujuh gambiur yang diambil tadiakandisaok atau digonseng dan ditumbuk. Hasilnya akan dibuat menjadirondang dan sisanya dicampur pada waktu memasak nasi. Kelompok bapak-bapak tersebut membagi rata hasil binda (bagian)hewan yang dipotong perkepala keluarga, dan membawa kerumah masing-masing.Yang bertugas mendoakan adalah Raja Napitu.Hasil binda tersebut dimasak dirumah masing-masing bersamaan dengan memasak tujuh gambiur padi.

Jika ada keluarga yang tidak ikut mengamotimaka pada waktu menggiling padi di kilang, keluarga tersebut harus membayar uang sewa menggiling padinya tersebut.Dan mengatakan bahwa keluarga tersebut tidak ikut pada upacara mengamoti.Mengamoti


(38)

dilakukan sebagai ucapan terimakasih atas keberhasilan hasil pertanian, supaya hasil pertanian tahun depan lebih baik lagi, dan bebas menjual hasil panen tersebut.

4.3.1 Kearifan Lokal yang Terdapat Dalam Tradisi Menanam Padi di Baktiraja Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi nilai budaya dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam mencapai peningkatan kesejahteraan dan pembentukan kedamaian.

Pertanian dan bagian mengolahlahan pertanian merupakan hasil dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun. Bahkan, sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang mereka. Pertanian suku Batak juga tidak akan lepas dari kebiasaan bekerjasama yang disebut Marsiurupan. Masyarakat akan bekerja sama untuk mengolah lahan pertanian penduduk yang satu, dan sebaliknya. Biasanya kerja sama akan dilakukan ketika musim menanam, mengola tanaman, dan musim panen.Sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati.

Kearifan lokal yang masih terdapat di Baktiraja misalnya kearifan localyangterdapatdalam tahapan menanam padi pada masyarakat Batak Toba di Baktiraja diantaranya yaitu kearifan lokal bergotong royong, kearifan lokal kebersamaan musim tanam padi, dan orang-orangan sawah yang masih ada.

Kearifan lokal bergotong royong di Baktiraja masih dilakukan pada saat musim menanam padi, musim panen, dan gotong royong membuat irigasi air disawah. Kearifan lokal bergotong royong juga dipaikai pada saat upacara adat.

Kearifan lokal kebersaam menanam padi masih dijumpai di Baktiraja yaitu dengan serentaknya waktu tanggal menanam padi. Dan orang-orangan sawah masih dipakai untuk menakut-nakuti burung agar tidak memakan padi yang siap dipanen.


(39)

dijaga dan dilestarikan.Kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat banyak mengandung nilai luhur budaya bangsa, yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya. Namun disisi lain, nilai kearifan lokal sering kali dinegasikan atau diabaikan, karena tidak sesuai dengan perkembangan zamannya. Padahal dari nilai kearifan lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan model dalam pengembangan budaya bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, masyarakat adat yang masih tetap memelihara dan eksis dalam kearifan lokal nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pendidikan karakter. Masih banyak masyarakat yang masih tetap memelihara kearifan lokal nya misalnya masyarakat Baktiraja di Humbang Hasundutan yang tetap melaksanaan tradisi bertani padi. Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Jadi kata gotong royong secara sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau juga diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Jadi, gotong royong memiliki pengertian sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap obyek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.

Secara konseptual, gotong royong dapat diartikan sebagai suatu model kerjasama yang disepakati bersama. Dalam perspektif sosio budaya, nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa pamrih (mengharap balasan) untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu. Koentjaraningrat (1987) membagi dua jenis gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia; gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum.

Sikap gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam kehidupannya memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting. Dengan adanya gotong royong, segala permaasalahan dan


(40)

pekerjaan yang rumit akan cepat terselesaikan jika dilakukan kerjasama dan gotong royong diantara sesama penduduk di dalam masyarakat. Gotong royong menjadi salah satu penguat karakter bangsa. Gotong royong merupakan perwujudan sila Pancasila yang ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Maka dengan gotong royong akan memupuk rasa kebersamaan, meningkatkan solidaritas sosial, mempererat tali persaudaraan, menyadarkan masyarakat akan kepentingan umum dan tanggung jawab sosial, menciptakan kerukunan, toleransi yang tinggi serta rasa persatuan dalam masyarakat Indonesia.

Di era yang serba cepat, instan dan canggih ini, diharapkan gotong royong mampu bertahan, tetap terpatri kuat, menancap dan mengakar pada jiwa masyarakat terutama generasi penerus bangsa. Oleh karenanya gotong royong perlu untuk dikuatkan kembali, mengingat betapa pasang surutnya gotong royong di masa sekarang, beberapa perwujudannya mungkin masih ada, namun sudah semakin berkurang, menjadi berbeda, maupun telah mengalami pergeseran dan perubahan.

Tradisi yang sudah diterapkan sejak nenek moyang kita itu selalu menjadi elemen penting dalam pembangunan serta menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan di negeri ini. Karena budaya yang masih bertahan ialah budaya yang memiliki fungsi untuk masyarakat. Maka tradisi ini selayaknya perlu direvitalisasi kembali dikarenakan fungsinya yang cukup penting, dan akan sangat disayangkan apabila tradisi ini menghilang tertelan masa.


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kearifan lokal yang masih terdapat di Baktiraja misalnya kearifan lokalyangterdapatdalam tahapan menanam padi pada masyarakat Batak Toba di Baktiraja diantaranya yaitu kearifan lokal bergotong royong, kearifan lokal kebersamaan musim tanam padi, dan orang-orangan sawah yang masih ada.

2. Secara konseptual, gotong royong dapat diartikan sebagai suatu model kerjasama yang disepakati bersama. Dalam perspektif sosio budaya, nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa pamrih (mengharap balasan) untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu.

3. Nilai-nilai budaya dalam tahapan bertani padi yaitu : nilai kekeluargaan, tanggung jawab, saling bekerja sama, tolong menolong dan, saling menghargai.

4. Tahapan bertani padi yang terdapat di Baktiraja adalah : 1) Persiapan Lahan

2) Penggarapan Lahan(mandosdoshon)

3) Pemisah tali air (galung)

4) Penanaman(manuan) 5) Pemeliharaan

6) Pemupukan

7) Tahap Pembesaran/ Pabalgahon

5. Ritual-ritual yang terdapat pada tahapan menanam padi adalah : a. Ritual Raja Jolo Di Toguan.


(42)

c. Ritual Mangan Indahan Siporhis. d. Ritual Mangamoti.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dan telah diuraikan sebelumnya maka saran yang bisa diberikan adalah :

1. Di era yang serba cepat, instan dan canggih ini, diharapkan gotong royong mampubertahan, tetap terpatri kuat, menancap dan mengakar pada jiwa masyarakat terutama generasi penerus bangsa. Oleh karenanya gotong royong perlu untuk dikuatkan kembali, mengingat betapa pasang surutnya gotong royong di masa sekarang, beberapa perwujudannya mungkin masih ada, namun sudah semakin berkurang, menjadi berbeda, maupun telah mengalami pergeseran budaya akibat arus globalisasi.

2. Di era Globalisasi ini, asimilasi kebudayaan itu semakin meningkat, untuk itu mari kita lestarikan dan menjag eksitensi budaya tersebut. Salah satunya dengan memegang teguh norma adat Batak Toba.

3. Masyarakat Batak Toba di Baktiraja agar tetap mempertahankan kearifan lokal pada bertani padi tersebut. Agar warisan budaya yang terdapat didalamnya tidak hilang ataupun pumah.


(43)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepustakaan Yang Relevan

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparan atau konsep-konsep tersebut bersumber dari pendapat para ahli, pengalaman penelitian, dokumentasi, dan nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang, “Kearifan Lokal peran, dan metode tradisi lisan,” (Sibarani,2014). Buku ini menjelaskan tentang tradisi lisan yang ada di etnik di Indonesia yang berisi nilai dan norma budaya. Dalam hal ini tradisi lisan menjadi sumber kearifan lokal.

Kearifan lokal dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Karakter bangsa berasal dari kearifan lokal kita sendiri sebagai norma warisan leluhur bangsa. Karakter dalam kearifan lokal dapat diperdayakan dalam menciptakan kedamaian dan menjaga warisan leluhur kita yang sudah ada sejak dahulu.

Buku selanjutnya yaitu “Kearifan Lokal Gotong-royong Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba,” (Sibarani,2014). Buku ini menjelaskan tahapan dan konsep gotong royong. Konsep gotong-royong mencakup nilai saling mendukung, saling menyetujui, saling membantu, saling bekerja sama, bersama-sama bekerja, dan saling memahami.

Kemudian dalam laporan hasil penelitian Sibarani, dkk, 2014 yang berjudul ”Pola Gotong-royong dan Model Revitalisasinya Pada Masyarakat Batak Toba,” gotong royong merupakan pekerjaan atau aktivitas yang harus kompak, serempak, dam bersama-sama begitu juga dalam hal nya menanam padi pada masyarakat Batak Toba di desa Baktiraja.


(44)

2.1.1 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Sibarani (2014:180) menyatakan bahwa, kearifan lokal adalah kebijaksanaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi nilai budaya dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam mencapai peningkatan kesejahtraan dan pembentukan kedamaian.

Menurut Sibarani dan Balitbangsos Depsos RI, (Sibarani,2014:5) “Kearifan lokal (lokal wisdom) dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya, gagasan-gagasan tradisional, dan

pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki oleh anggota masyarakat dalam menata kehidupan sosial mereka”. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun menurun diwariskan dan dimanfaatkan menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif dan bijaksanan.

Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.

Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut.Sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati.

Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu


(45)

muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.

Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.

Kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat banyak mengandung nilai luhur budaya bangsa, yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya. Namun disisi lain, nilai kearifan lokal sering kali dinegasikan atau diabaikan, karena tidak sesuai dengan perkembangan zamannya. Padahal dari nilai kearifan lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan model dalam pengembangan budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, masyarakat adat yang masih tetap memelihara dan eksis dalam kearifan lokal nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pendidikan karakter. Masih banyak masyarakat yang masih tetap memelihara kearifan lokalnya misalnya masyarakat Baktiraja di Humbang Hasundutan yang tetap melaksanaan Tradisi Bertani Padi.


(46)

2.1.2. Kearifan Lokal Bertani Padi

Pada umumnya masyarakat Batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah tetapi tidak boleh menjualnya. Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar Danau Toba.Eme atau padi merupakan tanaman budidaya masyaraat Batak, baik di hauma (persawahan atau perladangan menanam padi), balian (sawah).

Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang. Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di pinggiranDanau Toba. Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah sebelah Utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa dataran tinggi yang sejuk sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai penghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.

Dalam hal bercocok tanam atau pertanian yang terdiri dari bersawah dan berkebun pada masyarat Batak diusahakan di lembah-lembah celah atau bukit yang dapat diairi. Supaya tanahnya subur, lahannya diberi pupuk atau dalam bahasa Batak disebut takkal.Penggunaan

Takkal (pupuk) dalam mengusahakan lahan persawahan dapat menghasilkan beras sebagai

bahan makanan utama.

Pertanian dan bagaian mengolahlahan pertanian merupakan hasil dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun. Bahkan, sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang mereka. Pertanian suku Batak juga tidak akan lepas dari kebiasaan bekerjasama yang disebut Marsiurupan. Masyarakat akan bekerja sama untuk mengolah lahan pertanian penduduk yang satu, dan sebaliknya. Biasanya kerja sama akan dilakukan ketika musim menanam, mengola tanaman, dan musim panen.

Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tanahBatak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini


(47)

penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja lalu kemudian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru.

Pembukaan ladang yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu (dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa terusik. Sekarang keberadaan datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi kebiasaan membuka lahan baru ini masih ada. Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah padi, tebu, tanaman obat, ubi, sayur-sayuran dan mentimun..

Bercocok tanam sudah lama dikenal di daerah Batak Toba, khususnya bersawah dan berladang, yang mana makanan penduduk utamanya adalah beras. Disamping itu padi/beras sangat berfungsi dalam upacara adat. Dari survei awal pada masyarakat Batak Toba di desa Baktiraja, melaksanakan bermacam-macam upacara untuk bercocok tanam dimulai dari masa menanam padi, masa mengolah padi dan, masa memanen padi.

Upacara ini dilakukan untuk menyatakan terima kasih kepada Tuhan maupun penguasa alam agar tanaman-tanaman subur dan banyak hasilnya. Tetapi juga dapat dilaksanakan dengan pengharapan agar apapun dikerjakan di ladang maupun sawah mendapat hasil yang berlimpah ruah.Beralih kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah Batak. Pengaruh perkembangan perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah memasuki daerah Tanah Toba.

Salah satu upacara adat menanam padi pada masyarakat Batak Toba di Baktiraja berhubungan dengan Batu Siungkap-ungkapon. Konon Batu Siungkap-ungkapon ini adalah Batu yang bertuah yang memiliki kekuatan spiritual masa itu. Pada waktu jaman dahulu pekerjaan masyarakat mayoritas adalah bertani padi, dimana masyarakat sangat percaya jika


(48)

hasil tanaman padi subur dan panen melimpah adalah tanah yang mereka garap di berkati oleh Oppu Mula Jadi Na Bolon (Tuhan)/ pencipta langit dan bumi beserta isinya..

Setelah beberapa hari setelah upacara dilakukan muncullah semut merah atau semut bertelur putih dari Batu Siungkap-ungkapon. Jika hanya semut merah saja keluar dari Batu Siungkap-ungkapon tersebut bertanda sebagaian tanah tidak akan menghasilkan panen yang baik. Jika semut merah bertelur putih bertanda bahwa tanaman tidak akan diserang oleh hama tanaman dan hasil panen melimpah. Petunjuk keluarnya semut merah inilah pemimpin akan mengumumkan kepada masyarakat kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam.

2.2 Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, secara umum teori yang digunakan penulis untuk

mendeskripsikan judul “Kearifan Lokal Bertani Padi Pada Masyarakat Batak Toba di Desa

Baktiraja,” menggunakan teori tradisi lisan dan Antropolinguistik.

2.2.1 Tradisi Lisan

Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacuh pada adat atau kebiasaan yang turun menurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” di mana keduanya adalah hasil karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat tersebut karena kedua kata ini dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya. Tradisi berasal dari bahasa Latin traditio (diteruskan) atau kebiasaan yang telah dilakukan dengan cukup lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Hal yang paling mendasar dari tradisi yaitu adanya tradisiyaitu adanya informasi yang diteruskan dari generasi kegenerasi baik tertulis maupun lisan. Dalam pengertian lain tradisi ialah adat-istiadat atau kebiasaan turun-menurun yang masih dijalankan dimasyarakat.

Nilai dan norma tradisi lisan dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan keadaan masa kini dan perlu diwariskan pada masa mendatang untuk mempersiapkan masa depan


(49)

Tradisi lisan adalah salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan sejarah lisan melalui tutur/lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan berusaha menggali, menjelaskan, menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu dan membentuk karakter generasi masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi berikutnya (Sibarani,2014:2-3).

Menurut Sibarani (2014 :251-252), “Tradisi lisan dapat dikaji dari latar belakang ilmu sastra. Semua stuktur seperti latar, alur, gaya bahasa, penokohan dan unsur estetika lain sejak dulu menjadi fokus penting dalam kajian sastra”. Apabila hanya mengkaji teks tradisi lisan dari segi ilmu sastra, kajian itu hanya kajian sastra, bukan kajian tradisi lisan dari latar belakang ilmu sastra.

Tradisi budaya atau tradisi lisan masa lalu tidak akan mungkin dapat lagi dihadirkan pada masa kini persis seperti dahulu karena telah mengalami transformasi sedemikian rupa bahkan mungkin telah ” mati” karena sudah tidak hidup lagi pada komunitasnya, tetapi nilai dan normanya dapat diaktualisasikan pada masa sekarang. Hal yang paling mendasar dari tradisi lisan yaitu adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu tradisi bisa punah. Dalam pengertian lain tradisi ialah adat istiadat atau kebiasaan turun menurun yang masih dijalankan di masyarakat.

Pesan atau amanat sebagai kandungan tradisi lisan dari sudut ilmu sastra menjadi sangat penting diungkapkan, tetapi amanat atau pesan itu mesti dikaitkan dengan konteks tradisi. Penelitian tradisi lisan dapat mengungkapkan kebenaran bentuk dan isi suatu tradisi lisan. Dengan demikian, diperlukan kajian ilmu sastra yang relevan untuk mengkaji tradisi lisan dengan tetap mempertimbangkan bentuk seperti :

1. Teks

Merupakan unsurverbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa serta maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performasi.

2. Ko-teks

Merupakan keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinisek, dan unsur material lainnya, yang terdapat dalam tradisi lisan.


(50)

3. Konteks

Merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, stuasi, dan idiologi tradisi lisan.

Isi yang terdapat dalam tradisi lisan yakni, isi tradisi yang berupa nilai dan norma yang pada umumnya menjelaskan tentang makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai dan norma tradisi lisan yang dapat digunakan untuk membentuk kehidupan sosial itu disebut dengan kearifan lokal. Dalam hal ini isi dapat dipilih jadi beberapa pembentuknya, pertama isi adalah makna dan fungsi atau peran. Kedua adalah nilai atau norma, yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya keyakinan terhadap nilai atau norma itu. Ketiga adalah kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif.

Contoh objek kajian tradisi lisan dalam bentuk bertani padi, (di rujuk dari Sibarani, 2012:248).

Dari makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi keseluruhan tradisi lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai dan norma sebuah tradisi lisan atau tradisi budaya melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan konteksnya.

Bertani Padi

Bentuk Isi

Struktur Bertani Padi a) Menanam b) Mengolah c) memanen

a) Makna dan fungsi b) Nilai dan norma c) Kearifan lokal


(51)

Nilai dan norma budaya yang dapat diterapkan atau yang masih dimanfaatkan oleh komunitas untuk menata kehidupan sosial secara arif dan perlu digali serta dilestarikan.

2.2.2 Antropolinguistik

Istilah Antropolinguistik sering dibedakan dengan Linguistik Antropologi. Yang pertama lebih menekankan pemahaman antropologi dibanding linguistik, sementara yang kedua lebih menitikberatkan linguistik daripada antropologi.

Hubungan bahasa dengan kebudayaan erat sekali. Bahasa adalah bagian kebudayaan. Hal ini saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Oleh karena itu yang mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa.

Antropolinguistik adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, dipihak lain kebudayaan yang “menciptakan” manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan.

Dalam kebudayaan bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan, pengembangan dan penyebarluasan kebudayaan.

Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas karena bahasa mencakup hampir semua aktifitas manusia. Hingga akhirnya linguistik memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisiplin, salah satunya adalah antropologi linguistik. Antropologi linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya.

Sebagai bidang interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropolinguistik, yakni studi mengenai bahasa, studi mengenai budaya, dan studi mengenai aspek lain dari kehidupan manusia, yang ketiga bidang tersebut dipelajari dari kerangka kerja linguistik dan


(1)

KATA PENGANTAR

Penulis terlebih dahulu mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, serta pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi yaitu “Kearifan Lokal Tradisi Bertani Padi Pada

Masyarakat Baak Toba Di Baktiraja Kajian : Antropolinguistik.”

Penulis berharap skripsi ini menjadi bahan informasi yang berguna bagi pembaca. Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini, penulis membaginya menjadi lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, dan gambaran umum lokasi penelitian. Bab kedua merupakan tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan landasan teori. Bab ketiga merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, instrument penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisi data. Bab keempat merupakan pembahasan tentang permasalahan yang ada pada rumusan masalah. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga apa yang diuraikan dalam skripsi ini berguna bagi kita semua.

Penulis

Berliana Beata Nababan NIM 110703017


(2)

HATA PATUJOLO

Parjolo sahali au mandok mauliate do tu Tuhan Debata dilehon do hahipason, hagogoon, dohot pangurupion tu au, alani sude boi ni pasae skripsi on di Fakultas Ilmu

Budaya Universotas Sumatera Utara. Molo judul skripsi on ima : “Kearifan Lokal Tradisi Bertani Padi Pada Masyarakat Batak Toba Di Baktiraja Kajian : Antropolinguistik.”

Tung mansai harap do rohangku skripsi on gabe sada parbinotoan tu sude angka na manjaha. Asa hatop pangantusion tu skripsi on, dibagi ma gabe lima bagian. Bab na parjolo, dibagas bab on hupatorang ma parjolo latar belakang masalah, rumusan msalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, dohot gambaran umum lokasi penelitian. Di bab paduahon dipatorang ma tinjauan pustaka ima, kepustakaan yang relevan dohot landasan teori. Udut ni muse di bab patoluhon dipatorang disi metode penelitian ima, metode dasar, lokasi penelitian, instrument penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, dohot metode analisis data. Bab paopathon dipatorang ma dison sude masalah na adong di judul skripsi on. Bab lima ima kesimpulan dohot saran.

Au sandiri godang dope hahurangan di bagasan panuratan ni skripsi on, alai sian serep ni roha au mangido pandapot manang hatorangan sian hamu angka na manjaha, asa lam tu denggan na ma muse skripsi on. Manang na aha pe dipatorang di skripsi on gabe sada pangantusion ma di hita saluhut na.

Panurat

Berliana Beata Nababan NIM : 110703017


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis tidak hentinya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya skripsi ini. Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi,dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepada orang tua penulis, Ayahanda A. Nababan dan T. Tambunan yang telah memberikan dukungan dan bantuan baik berupa moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta Dosen wali yang telah membrikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama perkuliahan.

4. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani. M.S selaku dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukan, arahan dan, saran yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Drs. Flansius Tampubolon. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukan, arahan dan, saran yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumtera Utara, yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

8. Seluruh pegawai dan staff Administrasi Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam penyelesaian kelengkapan administrasi penulis.

9. Teman-teman angkatan 2011 di Sastra Daerah, terimakasih telah memberikan dukungan, kerja sama, inspirasi dan kebersamaan slama ini.


(4)

ABSTRAK

Berliana Beata Nababan, 2015. Judul skripsi: Kearifan Lokal Tradisi Bertani Padi Pada Masyarakat Batak Toba Di Baktiraja Kajian : Antropolinguistik. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang KEARIFAN LOKAL TRADISI BERTANI PADI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI BAKTIRAJA KAJIAN: ANTROPOLINGUISTIK. Masalah dalam penelitian ini adalah tahapan menanam padi, ritual-ritual bertani padi pada masyarakat Batak Toba di Baktiraja dan kearifan lokal bertani padi.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan-tahapan menanam padi, upacara-upacara adat dalam menanam padi, serta kearifan lokal yang terdapat dalam menanam padi.

Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitin ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori tradisi lisan dan antropolinguistik. Adapun tahapan menanam padi yaitu meliputi: menanam, mengolah, memanen. Dan nilai kerifan lokal dalan tradisi bertani padi ini meliputi: kearifan lokal bergotong royong, saling membantu, saling tolong menolong, nilai dari kebersamaan, saling menghargai, nilai bertanggung jawab dan saling bekerja sama.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... 1

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 4

2.1.1 Pengertian Kearifan Lokal ... 5

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal Bertani Padi ... 7

2.2 Teori yang Digunakan ... 10

2.2.1 Tradisi Lisan...10

2.2.2 Antropolinguistik...13

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Metode Dasar ... 16

3.2 Lokasi dan Sumber Data ... 17

3.3 Instrumen Penelitian ... 18


(6)

3.5 Metode Analisis Data ... 21

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Gambaran Umum ... 22

4.1.1 Marga-marga di Baktiraja ... 26

4.1.2 Sistem Irigasi Pengairan di Baktiraja ... 30

4.2. Tahapan Menanam Padi di Baktiraja ... 36

4.3. Ritual-ritual yang Terdapat Pada Bertani Padi di Baktiraja ... 40

4.3.1 Ritual Raja Jolo di Toguan ... 40

4.3.2 Ritual Kelompok Sihali Aek ... 40

4.3.3 Ritual Mangan Indahan Siporhis ... 41

4.3.4 Ritual Mangamoti ... 42

4.4. Kearifan Lokal yang Terdapat Pada Bertani Padi di Baktiraja .. 43

BAB V KESIMPULAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 49

Lampiran 1. Lampiran Nama Anggota Raja Napitu Desa Tipang ... 49

Lampiran 2. Daftar Pertanyaan ... 49

Lampiran 3. Data Informan ... 49

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian ... 49