Kajian Bulanan LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Mengadu Strategi, Merebut Peluang
Diantara partai-partai besar yang bersaing ketat dalam perebutan perolehan kursi di Pilkada adalah Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Persaingan ini dilakukan dalam rangka mengejar perolehan target dari masing-masing partai di level kabupaten maupun propinsi.
Pada awal pelaksanaan Pilkada, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP, Pramono Anung menyatakan bahwa PDIP dalam Pilkada mentargetkan kemenangan seperti yang diperoleh saat Pemilu Legislatif—yakni 158 daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Atau 30 persen keme- nangan dalam Pilkada provinsi dan 50 persen dalam Pilka-
da kabupatenkota. 2 DPP PDIP sempat menggelar rapat
pimpinan, di Yogyakarta, 17-20 April 2005, untuk membahas upaya pencapaian target memenangkan Pilkada di seluruh Indonesia (Republika, 20 April 2005). Untuk mencapai target tersebut, calon dari PDIP harus mengikuti semacam “konvensi” di rapat kerja khusus. Dari konvensi itu dapat diukur seberapa populer calon yang bersangkutan di daerah tersebut.
Partai Golkar tak mau ketinggalan dengan langkah strategi pemenangan yang dilakukan PDIP. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Agung Laksono menyatakan bahwa Partai Golkar menargetkan kemenangan mayoritas di tujuh provinsi dan 148 kabupatenkota (Suara Pembaruan, 20 April 2005). Sementara Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla menya- takan bahwa Partai Golkar berani menargetkan 60 persen dari calon yang maju dari Partai Golkar dapat memenangi Pilkada.
Sebagian besar partai politik besar menunjukkan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi dapat memenangkan Pilkada. Hanya partai-partai kecil yang tidak secara terang- terangan mencanangkan target pemenangan Pilkada. Bahkan partai besar seringkali mematok anggka tertentu yang diyakini mampu dicapainya dalam proses Pilkada. Hal ini barangkali berangkat dari asumsi kemenangan partai
politik di daerah selama Pemilu Legislatif 2004. Target Partai Golkar dan PDIP misalnya, tidak dapat dilepaskan dari perhitungan kemenangan yang diperoleh kedua partai itu ketika menguasai kursi legislatif (DPRD) di daerah.
Bagaimana upaya yang dilakukan oleh partai politik untuk mencapai terget menang dalam Pilkada? Salah satu tahap yang diperhatikan oleh partai politik adalah tahapan penja- ringan dan seleksi nama untuk diajukan sebagai calon kepala daerah. Yang menarik, partai politik umumnya meya- kini bahwa Pilkada berbeda dengan Pemilu Legislatif. Berbeda dengan Pemilu Legislatif yang lebih memilih partai, dalam Pilkada pemilih lebih memilih orang. Ketokohan seorang calon kepala daerah lebih menjamin kemenangan dalam Pilkada. Karena itu, partai politik ingin memastikan agar calon yang diusung adalah calon yang punya potensi besar dalam memenangkan Pilkada.
Masing-masing Partai politik, mulai dari level Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), hingga Dewan Pimpinan Cabang (DPC) merumuskan strategi pada berbagai tahapan Pilkada. Adapun tahapan proses yang dilakukan oleh masing-masing partai politik dalam menjaring dan menseleksi calon meliputi empat hal. Pertama, proses penjaringan nama-nama kandidat yang akan diusung dalam Pilkada. Kedua, melakukan verifikasi terhadap nama-nama kandidat yang dinominasikan akan maju dalam proses Pilkada. Ketiga, melakukan penyaringan terhadap nama-nama kandidat yang telah dinominasikan. Keempat, penentuan nama-nama kandidat yang akan diajukan pada masing-masing KPUD.
Partai Golkar membuat aturan mengenai penjaringan dan seleksi calon kepala daerah ini dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005 (Februari 2005) tentang Tata Cara Pemilihan Kepada Daerah. Juklak itu antara lain mengatur soal teknis dan mekanisme pelaksanaan Pilkada sebagai pedoman bagi kader Golkar di daerah. Secara umum, Juklak juga mengatur soal pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat sesuai ketentuan. Juklak DPP Partai Golkar tentang tahapan rekruitmen pasangan calon kepala daerah menye- butkan, bila Golkar pada pemilu legislatif 2004 menguasai suara di atas 50 di suatu daerah, partai itu akan meng- ajukan kadernya sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Untuk daerah yang menempatkan Partai
1 Berdasarkan ketentuan UU No.23 tahun 2004, pasangan calon sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah, harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 jumlah kursi DPRD atau 15 dari
akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. 2 Pada kongres ke-2 awal April 2005, secara khusus PDIP membuat beberapa target pencapaian. Diantaranya memenangi pemilihan kepala
desa dan pemilihan kepala daerah. Sasaran pertama yang akan dicapai adalah memenangi pemilihan kepala desa minimal sebesar 75 persen di wilayah kabupaten yang merupakan basis partai PDIP, 50 persen di wilayah kabupaten dengan kekuatan berimbang, dan 25 persen di wilayah yang bukan basis PDIP. Sasaran kedua adalah memenangi Pilkada langsung minimal sebesar 50 persen di tingkat kabupatenkota dan 30 persen di tingkat provinsi.
KAJIAN BULANAN 19
Golkar sebagai pemenang pertama dengan suara 15-
50, Golkar hanya mengajukan calon sebagai kepala daerah. Sementara itu, untuk daerah dengan suara di bawah
15 dan bukan pemenang pertama, Golkar hanya mengajukan calon wakil kepala daerah.
Pada tahap penjaringan, Partai Golkar memberi kesempatan yang luas kepada kader partai Golkar dan perorangan ( tokoh di luar Partai Golkar) untuk mencalonkan diri lewat partai Golkar. DPD Golkar di daerah dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005 ini mempunyai posisi yang sentral. Karena DPD (provinsi dan kabupaten) yang berperan dalam menjaring nama-nama untuk diajukan sebagai calon kepala
daerah. 3 Nama-nama yang masuk akan diseleksi oleh Tim Pengarah dan dipilih sebanyak tiga nama calon kepala daerah. Pemilihan dan penetapan satu nama calon yang akan didukung dalam Pilkada ditetapkan dalam suatu Rapat Pimpinan yang dihadiri oleh delegasi dari DPP, DPD Provinsi, DPD Kabupaten kota dan ormas.
Yang menarik dari Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005 ini adalah posisi suara DPD yang besar. Rapat pimpinan untuk memilih satu calon yang didukung Golkar ini dilakukan lewat mekanisme pemilihan terbuka, dimana masing- masing delegasi mempunyai suara (voting block) yang berbeda. Rapat pimpinan ini memang dihadiri oleh perwakilan dari DPP dan DPD Provinsi, tetapi suara ( voting block) dari DPD kabupaten lah yang paling besar dan menentukan. Dalam Rapat Pimpinan untuk menentukan calon kepala daerah dalam Pilkada provinsi misalnya, DPD Kabupaten Kota mempunyai suara sebanyak 65. Dengan kata lain, dari nama yang telah terjaring dapat dipastikan nama yang didukung oleh DPD Kabupaten Kota yang akan menang dan menjadi calon resmi dari Partai Golkar. Demi- kian juga untuk Pilkada kabupaten. Posisi suara PK (Peng- urus Kecamatan) dalam menggolkan calon sangat besar. Dalam Rapat Pimpinan untuk memutuskan calon yang akan diusung oleh partai Golkar ini, PK total mempunyai suara (voting block) sebanyak 65.
Dengan kata lain, Juklak No.12005 ini bukan hanya menem- patkan DPD Partai Golkar di daerah dalam posisi sentral ketika menjaring calon kepala daerah, tetapi juga saat penetapan dan penentuan calon. Jika seseorang ingin menggunakan Golkar sebagai kendaraan politik, mau tidak
mau harus mendapatkan dukungan dari DPD dan PK (Pengurus Kecamatan) yang ada di daerah. Juklak No.1 2005 menekankan prinsip desentralisasi, dimana calon yang akan didukung oleh Golkar telah melewati proses pemilihan di daerah. DPP Pusat hanya mengesahkan saja calon yang sudah terpilih lewat proses di daerah.
Secara umum, substansi Juklak No.12005 ini sangat ideal dan demokratis. Juklak ini mulai dipakai Partai Golkar sela- ma pelaksanaan Pilkada Bulan Juni 2005. Pilkada dilang- sungkan secara serentak di 160 wilayah di seluruh Indo- nesia. Hasil Pilkada ini ternyata mengecewakan Partai Golkar. Alih-alih mencapai target kemenangan di atas 60, calon-calon yang diajukan Partai Golkar justru banyak yang kalah.
Pada Juni 2005 dilangsungkan 160 Pilkada yang meliputi 7 pemilihan gubernur, 129 pemilihan bupati dan 24 pemilihan walikota (Lihat Desk Pilkada Depdagri, Rekapitulasi Proses Keppres dan keputusan menteri Dalam Negeri, 13 Oktober 2005). Dari 160 pemilihan di bulan Juni tersebut, Partai Golkar mendominasi saat Pemilu Legislatif 2004. Sebanyak 115 wilayah diantaranya dimenangkan oleh Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2004. Yang menarik dari 115 wilayah dimana Partai Golkar saat Pemilu Legislatif menang, hanya
38.3 saja yang menang dalam Pilkada. Mayoritas (61.7) justru partai Golkar kalah di wilayah dimana saat Pemilu Legislatif 2004 menang. Hal yang sama juga dialami oleh PDIP. Dari wilayah dimana PDIP menang saat Pemilu Legislatif 2004 (31 wilayah), hanya 12 wilayah PDIP menang kembali dalam Pilkada.
Dengan kenyataan ini, target pencapaian Golkar dan PDIP dalam Pilkada tidak tercapai. Di kalangan internal Partai Golkar mulai muncul suara yang mempertanyakan rendahnya kemenangan calon dari Partai Golkar. Salah satu yang dipandang sebagai penyebab kekalahan Golkar adalah calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar tidak bisa
bersaing dengan calon lain. 4 Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
No.12005 yang dipandang terlalu longgar adalah sasaran pertama untuk diperbaiki oleh Golkar.
Pada September 2005, Partai Golkat melakukan revisi atas Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005 dengan Juklak yang baru, yakni Juklak- DPPGolkarIX2005. Secara umum
3 Jika dicermati, proses penjaringan nama-nama versi Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005 ini mengadopsi ide “konvensi”seperti yang pernah dilakukan oleh Partai Golkar ketika mengusung calon presiden Tahun 2004 lalu. Ketika itu Partai Golkar memberi kesempatan
kepada semua pihak (kader dan perorangan di luar Partai Golkar) untuk mencalonkan diri. Hasilnya, Wiranto yang bukan pengurus Partai Golkar keluar sebagai pemenang dalam konvensi dan menjadi calon presiden yang didukung oleh Partai Golkar. 4 Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla ketika diwawancarai media, menilai mekanisme konvensi yang dijalankan pada Pilkada 2005 terlalu banyak menguras energi sehingga kerja partai kurang maksimal untuk menggolkan calon dari internal partai. Kalla mengingatkan indikasi lain, banyak kader Golkar berhasil menduduki jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah meski tidak diusung oleh Partai Golkar dalam pencalonannya.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
mekanisme pencalonan dari partai Golkar dilakukan sebagai berikut. Tahap awal dari rekruitmen kandidat dimulai dari proses penjaringan yang dilakukan 6 bulan sebelum pelaksanaan Pilkada. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) kabupaten kotamadya yang akan melangsungkan Pilkada melakukan penjaringan dengan mendata calon-calon di daerah yang potensial. Nama-nama ini lalu diinformasikan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar di Jakarta. Lima bulan menjelang Pilkada, Golkar akan melakukan survei ( dengan menunjuk lembaga survei yang independen) untuk mengukur popularitas dan dukungan dari masing- masing calon yang potensial tersebut. Hasil dari survei ini oleh DPP Partai Golkar akan dibuat rangking kandidat yang potensial (dari urutan 1 hingga 5). Nama-nama yang punya potensi menang dalam Pilkada ini diberikan kepada DPD Partai Golkar di daerah agar dilakukan pendekatan.
Dari sini sudah terlihat adanya perbedaan yang tajam antara Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005 dengan Juklak
yang baru, Juklak DPPGolkarIX2005. Pada Juklak yang lama, proses penjaringan nama diserahkan sepenuhnya kepada DPD Golkar di daerah. DPD Golkar ini yang akan mengumumkan dan membuka pendaftaran calon yang ber- minat mencalonkan diri dengan menggunakan kendaraan Golkar. Tetapi dalam Juklak DPPGolkarIX2005, kewe- nangan DPD ini dipangkas. Fungsi DPD Golkar di daerah terbatas hanya pada mendata dan mengidentifikasi nama- nama yang dipandang potensial—bisa kader Golkar, bisa juga kader di luar Partai Golkar. DPP Partai Golkar yang akan menetapkan mana nama-nama yang potensial untuk didukung oleh partai Golkar—dengan mempertimbangkan profil dari masing-masing calon dan hasil survei lembaga profesional yang ditunjuk oleh Partai Golkar.
Penetapan calon yang akan didukung Golkar dilakukan lewat sebuah Rapat Pilkada yang dihadiri oleh perwakilan dari DPP, DPD dan organisasi onderbow Golkar. Untuk Pilkada tingkat kabupaten kotamadya, rapat dihadiri oleh wakil dari
Tabel 1: Perbandingan Kemenangan Pemilu Legislatif dan Pilkada Sejumlah Partai Periode Bulan Juni 2005
Partai Pemenang Pemilu Legislatif 2004
Sumber : Diolah dari database Pilkada Lingkaran Survei Indonesia dan Desk Pilkada Depdagri, Rekapitulasi Proses Keppres dan keputusan menteri Dala Negeri, 13 Oktober 2005.
KAJIAN BULANAN 21
DPP, DPD Provinsi, DPD Kabupaten Kota dan ormas (onderbauw) Golkar. Pemilihan dilakukan secara langsung (voting), dengan komposisi suara: delegasi DPP mempunyai hak suara sebesar 20; delegasi DPD Provinsi mempunyai hak suara sebesar 30; delegasi DPD KabupatenKota mempunyai hak suara secara keseluruhan sebesar 20, delegasi pengurus kecamatan 20 dan delegasi organisasi sayap mempunyai hak suara secara keseluruhan sebesar
10. Sementara untuk Pilkada Provinsi, DPP mempunyai hak suara sebesar 40, DPD Provinsi 20, DPD Kabupaten kota 30 dan ormas sebanyak 10.
Ini juga perbedaan mendasar lain antara Juklak No.12005 dengan Juklak DPPGolkarIX2005. Proses penetapan dan penentuan calon yang didukung oleh Golkar memang tetap diputuskan lewat sebuah rapat pimpinan. Tetapi komposisi suara dari DPD Kabupatenkota dan PK (Pengurus Keca- matan) sangat berbeda tajam. Untuk Pilkada provinsi misalnya. Dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No.12005, suara DPD Kabupaten kota sebanyak 65. Sementara dalam Juklak DPPGolkarIX2005 suara yang dimiliki (voting block) hanya sebanyak 30. Lebih jauh tentang perbedaan ini lihat Tabel 2.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga mempunyai mekanisme sendiri dalam menjaring dan menetapkan calon yang akan didukung dalam Pilkada. Mekanisme itu diatur dalam Surat Keputusan (SK) Nomor
024KPTSDPPVII2005. 5 PDIP membagi proses penentuan
calon kepala daerah ke dalam tiga tahap—tahap penja- ringan, penyaringan dan penetapan calon. Proses penja- ringan dilakukan oleh DPC (Dewan Pimpinan Cabang) dengan menampung aspirasi dan membuka pendaftaran bagi kandidat. Nama-nama yang masuk (dan telah dive- rifikasi) disaring dalam Rakercabsus (Rapat Kerja Cabang Khusus). Peserta Rakercabsus ini adalah ketua dan sekretaris ranting, seluruh pengurus PAC partai dan seluruh pengurus DPC Partai. Pemilihan nama-nama dilakukan lewat pemungutan suara (voting). Rakercabsus ini memilih sekurang-kurangnya 4 bakal calon kepala daerah.
DPC Partai melaporkan kepada DPD Partai seluruh hasil Rakercabsus dengan melampirkan hasil perolehan suara untuk semua calon yang masuk dalam Rakercabsus. DPD Partai memberi rekomendasi nama-nama yang masuk tersebut untuk diteruskan ke DPP PDIP Pusat di Jakarta. Di sini, fungsi DPD hanya meneruskan saja hasil Rakercabsus
ke DPP PDIP di Jakarta. Proses terakhir dari penentuan calon adalah penetapan yang dilakukan oleh rapat yang dilakukan oleh DPP PDIP. Dalam menetapkan calon ini, DPP PDIP bisa menetapkan calon berdasar nama-nama calon hasil Rakercabsus, tetapi bisa juga menetapkan calon di luar hasil Rakercabsus. Yang juga perlu dicatat, nama yang mendapat dukungan tertinggi dalam Rakercabsus, tidak secara otomatis ditetapkan oleh DPP PDIP sebagai calon kepala daerah. DPP PDIP punya kewenangan untuk memilih siapa dari calon-calon itu yang akan didukung. Calon yang ditetapkan DPP dikirim kembali ke DPD dan DPC untuk selanjutnya didaftarkan ke KPUD setempat.
Apa perbedaan mekanisme pencalonan versi Golkar dan PDIP? Dalam Juklak Partai Golkar, proses penjaringan calon dilakukan bersama-sama antara DPP dengan DPD— dimana DPD akan mendata dan mengidentifikasi nama- nama calon dan DPP yang menetapkan nama-nama yang potensial lewat survei. Dalam Juklak Golkar, antara DPP dan DPD saling berbagi peran. Sementara di PDIP, proses penjaringan nama-nama diserahkan sepenuhnya kepada
DPC (Dewan Pimpinan Cabang). 6 DPC akan menggelar
Rakercabsus (Rapat Kerja Cabang Khusus) yang dihadiri oleh semua PAC (Pengurus Anak Cabang). Dalam Rakercabsus inilah nantinya akan ditelurkan sejumlah nama yang akan direkomendasikan kepada DPP PDIP untuk dipilih sebagai calon kepala daerah.
Sampai tahap ini seakan terlihat mekanisme yang dibuat oleh PDIP lebih mengakomodasi suara partai di daerah dibandingkan dengan Golkar. Karena di PDIP, penjaringan nama-nama dilakukan sepenuhnya oleh DPC tanpa campur tangan dari DPP. Tetapi pada proses selanjutnya, mulai terlihat mekanisme yang dibuat oleh PDIP juga sentralistik. Hal ini karena Rakercabsus hanya merekomendasikan beberapa nama dan tidak berwenang dalam memilih satu nama untuk diajukan sebagai calon. Penentuan satu nama sebagai calon PDIP dilakukukan oleh DPP Pusat PDIP. Pada tahap ini, mekanisme Golkar lebih mengakomodasi suara daerah dibandingkan dengan PDIP. Karena penentuan calon dari Golkar ditentukan lewat suatu rapat yang dihadiri oleh semua delegasi dari DPP, DPD Provinsi, DPP Kabupaten hingga PK (Pengurus Kecamatan)—meski masing-masing delegasi atau perwakilan itu mempunyai blok suara (voting block) yang berbeda. Sementara di PDIP, penentuan satu calon kepala daerah untuk didukung oleh PDIP ditentukan lewat rapat oleh DPP Pusat dan tidak menyertakan DPD dan DPC.
5 Lihat DPP PDIP, Surat Keputusan Nomor 024KPTSDPPVII2005, Penyempurnaan Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Atau Wakil Walikota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 2005. SK ini adalah penyempurnaan dari
SK sebelumnya (SK No. 429DPPKPTSXII2004). 6 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) adalah struktur organisasi PDIP di tingkat kabupaten kota. Untuk Golkar, struktur yang sama ini bernama
DPD ( Dewan Pimpinan Daerah) kabupaten kota. PK (Pengurus Kecamatan) adalah struktur organisasi Golkar di tingkat kecamatan. Ini setara dengan PAC (Pengurus Anak Kecamatan) di PDIP.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Tabel 2: Perbandingan Mekanisme Partai Golkar Dalam Juklak Pilkada Edisi Pebruari 2005 dan Edisi September 2005
No
Aspek
Juklak 01 DPPGolkarII2005
Juklak DPPGolkarIX2005
(Pebruari 2005)
(September 2005)
1 Posisi Pencalonan
a) Wilayah (Provinsi, Kabupaten, Kota) dimana
Sama dengan Juklak sebelumnya, tidak
pada Pemilu Legislatif Golkar memperoleh suara
ada perbedaan.
di atas 50, posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari kader Golkar.
b) Apabila perolehan suara Golkar pada Pemilu Legislatif di wilayah (Provinsi, Kabupaten, Kota) antara 15-50 atau Golkar menjadi pemenang pertama, posisi kepala daerah diusulkan berasal dari kader Golkar. Sementara wakil kepala daerah diusulkan dari kader partai politik lain atau perseorangan.
c) Apabila perolehan suara Golkar pada Pemilu Legislatif di wilayah (Provinsi, Kabupaten, Kota) kurang dari 15 atau Golkar bukan menjadi pemenang pertama, posisi wakil kepala daerah diusulkan berasal dari kader Golkar. Sementara posisi kepala daerah dimungkinkan berasal dari partai lain yang diperkirakan mempunyai tingkat elektabilitas tinggi.
2 Tahap Penjaringan
a) Penjaringan pasangan bakal calon kepala
a) Selambat-lambatnya H-6 bulan sebelum
Calon
daerah pada masing-masing tingkatan dilakukan
pemungutan suara pemilihan kepala
secara demokratis, terbuka dengan memberi
daerah, dilakukan penjaringan terhadap
kesempatan seluas-luasnya kepada kader,
nama-nama bakal calon kepala daerah
anggota, partisipan Partai Golkar maupun
yang dinilai potensial di daerah.
perseorangan.
b) DPD Partai Golkar Provinsi dan DPD
b) Penyaringan pasangan bakal calon Kepala
Partai Golkar KabupatenKota melakukan
Daerah pada masing-masing tingkatan dilakukan inventarisasi nama-nama bakal calon. untuk menyeleksi nama-nama pasangan bakal
c) Selambat-lambatnya H-5 bulan sebelum
calon hasil verifikasi dan dikerucutkan menjadi 3 pemungutan suara dilakukan survei dan (tiga) pasangan bakal calon, oleh Tim Pengarah
pengkajian terhadap nama-nama bakal
Pilkada Provinsi atau Tim Pengarah Pilkada
calon kepala daerah. DPP Partai Golkar
KabupatenKota yang bersangkutan.
menunjuk lembaga survei independen
c) Rapat Tim Pengarah Pilkada menetapkan 3
untuk mengkaji tingkat elektibilitas nama-
(tiga) pasangan bakal calon tersebut dan
nama bakal calon yang terjaring tersebut.
bersifat final.
d) DPP Partai Golkar menyampaikan Rekomendasi terhadap posisi yang ditargetkan, maupun nama-nama bakal calon kepala daerahwakil kepala daerah.
3 Mekanisme
Ditetapkan lewat Rapat Pimpinan DPD Provinsi.
Ditetapkan lewat Rapat Tim Pilkada Pusat.
Pemilihan
Rapat dihadiri oleh delegasi dari DPP, DPD
Rapat Tim Pilkada Pusat diselenggarakan
Penetapan Calon
Provinsi, DPD Kabupaten kota dan ormas.
oleh DPP Partai Golkar, dilaksanakan di
Kepala Daerah Wakil
domisili DPD Partai Golkar Provinsi terkait.
Kepala Daerah
Rapat Tim Pilkada Pusat dihadiri oleh
Provinsi
delegasi dari DPP, DPD Provinsi, DPD Kabupaten kota dan ormas.
KAJIAN BULANAN 23
Derajat kewenangan dalam mekanisme
Pemilihan Calon Kepala DaerahWakil Kepala Daerah Provinsi
Derajat kewenangan dalam mekanisme Pemilihan Calon
Kepala DaerahWakil Kepala Daerah Provinsi
Mekanisme Pemilihan Penetapan Calon Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah Provinsi
Derajat kewenangan dalam mekanisme Pemilihan Calon Kepala DaerahWakil Kepala Daerah KabupatenKota.
(Dengan jumlah DPD Partai Golkar KabupatenKota kurang dari 20)
a. Delegasi DPD Provinsi memiliki hak suara secara voting block bernilai 25.
b. Delegasi DPD KabupatenKota di wilayah Provinsi yang bersangkutan memiliki hak suara secara voting block jumlah keseluruhan bernilai
65. c. Delegasi Ormas dan Organisasi Sayap tingkat Provinsi yang bersangkutan memiliki hak
suara secara voting block jumlah keseluruhan bernilai 10).
(Dengan jumlah DPD Partai Golkar KabupatenKota lebih dari 20 )
a. Delegasi DPD Provinsi memiliki hak suara secara voting block bernilai 20.
b. Delegasi DPD KabupatenKota di wilayah Provinsi yang bersangkutan memiliki hak suara secara voting block jumlah keseluruhan bernilai 70.
c. Delegasi Ormas dan Organisasi Sayap tingkat Provinsi yang bersangkutan memiliki hak
suara secara voting block jumlah keseluruhan bernilai 10.
Ditetapkan lewat Rapat Pimpinan DPD Kabupaten Kota. Rapat dihadiri oleh delegasi dari DPP, DPD Provinsi, DPD Kabupaten kota Pengurus Kecamatan (PK) dan ormas.
(Dengan jumlah Pengurus Kecamatan Partai Golkar kurang dari 20)
a.Delegasi DPD KabupatenKota memiliki hak suara secara voting block bernilai 25. b.Delegasi Pengurus Kecamatan Partai Golkar di wilayah KabupatenKota yang bersangkut-an memiliki hak suara secara voting block jumlah keseluruhan bernilai 65. c.Delegasi Ormas dan Organisasi Sayap tingkat KabupatenKota yang bersangkutan memiliki hak suara secara voting block jumlah keseluruhan bernilai 10.
Pemilihan calon kepala daerahwakil kepala daerah provinsi dilakukan
dengan cara pemungutan suara secara bebas dan rahasia untuk memilih 1 (satu) dari antara 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) nominasi bakal calon kepala daerah yang akan dipilih, dengan pengaturan hak suara bagi setiap delegasi sebagai berikut:
a. Delegasi DPP Partai Golkar , mempunyai hak suara sebesar 40.
b. Delegasi DPD Partai Golkar Provinsi, mempunyai hak suara sebesar 20.
c. Delegasi DPD Partai Golkar KabupatenKota, mempunyai hak suara secara keseluruhan sebesar 30 atau
masing-masing DPD Partai Golkar KabupatenKota memiliki hak suara sebesar 30 dibagi jumlah keseluruhan
DPD Partai Golkar KabupatenKota di Provinsi yang bersangkutan.
d. Delegasi Ormas dan Organisasi sayap tingkat provinsi, mempunyai hak suara
secara keseluruhan sebesar 10, atau nilai suara setiap Ormas atau Organisasi sayap 10 dibagi jumlah Ormas organisasi sayap yang ada di tingkat provinsi yang bersangkutan.
Ditetapkan lewat Rapat Tim Pilkada Provinsi. Rapat Tim Pilkada Provinsi dihadiri oleh delegasi dari DPP, DPD Provinsi, DPD Kabupaten kota, PK (Pengurus Kecamatan) dan ormas.
Pemilihan calon kepala daerahwakil kepala daerah KabupatenKota dilakukan dengan cara pemungutan suara secara bebas dan rahasia untuk memilih 1 (satu) dari antara 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) orang nominasi bakal calon kepala daerah yang akan dipilih, dengan pengaturan hak suara bagi setiap delegasi sebagai berikut:
a. Delegasi DPP Partai Golkar , mempunyai hak suara sebesar 20.
b. Delegasi DPD Partai Golkar Provinsi, mempunyai hak suara sebesar 30.
c. Delegasi DPD Partai Golkar KabupatenKota, mempunyai hak suara sebesar 20.
24
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Di dalam merumuskan kebijakannya, setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar kecenderungan masing-masing Partai politik dalam Pilkada. Pertama, derajat kewenangan dari masing-masing level struktur organisasi partai, mulai dari DPP, DPD dan DPC. Kedua, mekanisme atau proses yang ditentukan oleh masing-masing partai politik pada level DPP, DPD dan DPC. Dalam hal ini, apakah melalui mekanis- me rapat, konvensi ataukan memberikan hak prerogratif kepada Ketua Umum atau Tim Sukses Pemenangan Pilkada DPP. Ketiga, terkait dengan asal dan prioritas dalam penentuan kandidat. Prioritas yang dilakukan kemudian apakah mengajukan dari kader partai ataukan non-kader. Tabel 3 merinci secara lebih detil perbedaan antara mekanis- me penjaringan dan seleksi calon kepala daerah di Golkar dan PDIP. Dari tabel ini terlihat, meski mempunyai mekanis- me yang berbeda, penjaringan dan seleksi calon di PDIP dan Golkar masih sentralistik.
Dari Desentralisasi Menuju Sentralisasi
Uraian di atas menegaskan bagaimana dinamika yang terjadi dalam partai politik (dalam hal ini Golkar dan PDIP) membuat partai politik mengubah pola rekruitmen calon, dari yang semula desentralisasi (menyerahkan kepada pengurus partai di daerah) menuju pola sentralisasi (penja- ringan dan penentuan calon ditentukan oleh pengurus pusat). Derajat sentralisasi di Partai Golkar dan PDIP memang ber- beda, tetapi yang pasti kedua partai politik ini menempatkan pengurus pusat (DPP Partai) pada posisi yang menentukan siapa calon yang akan didukung oleh partai. Partai Golkar pada mulanya lebih demokratis di dalam merespon per- kembangan Pilkada. Hal ini terutama nampak dalam Juklak awal yang telah dikeluarkan oleh DPP. Namun dalam perjalanannya, Juklak tersebut telah direvisi yang kemudian menempatkan posisi DPP dengan kekuasaan besar.
Sementara itu, PDIP sejak dari semula, nampak cenderung mengembangkan kebijakan yang lebih sentralistis. Kendatipun langkah DPP nampak berupaya keras memenangkan Pilkada, namun kemenangan ataupun kekalahan kompetisi menjadi kenyataan politik yang harus diterima.
Baik mekanisme penentuan calon kepala daerah Partai Golkar—setelah Juklak revisi—ataupun PDIP, sama-sama memberi kewenangan yang besar bagi Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Di Golkar, kewenangan pengurus pusat ini sudah ada sejak proses penjaringan calon kepala daerah. Meskipun penetapan calon tunggal yang akan diusung oleh Golkar dilakukan dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh gabungan pengurus pusat dan daerah. Mekanisme ini berbeda dengan PDIP. Mekanisme penentuan calon di PDIP memang memberi kesempatan yang luas kepada pengurus partai di kabupaten untuk menjaring calon. Tetapi kewe- nangan untuk memilih sekaligus menetapkan calon tunggal yang akan didukung oleh PDIP dilakukan oleh pengurus pusat. Bahkan dalam rapat penetapan calon kepala daerah ini, DPP Pusat tidak mengikutsertakan pengurus cabang daerah.
Kemungkinan ada sejumlah alasan mengapa Partai Golkar dan PDIP lebih memilih kebijakan sentralisasi dalam memilih calon kepala daerah. Pertama, mendorong target penguasaan untuk legislatif. Kemampuan memenangkan dan menempatkan pemimpin daerah pada akhirnya meru- pakan tiket untuk pemenangan pertarungan legislatif pada periode berikutnya. Karena mereka memiliki jaringan dan menguasai birokrasi. Kedua, Pilkada hanya memilih satu orang, pada akhirnya persaingan berlangsung sengit. Dalam proses pemenangan Pilkada, DPP lebih memiliki kontrol dan kekuasaan yang besar. DPP dapat secara langsung
Derajat kewenangan dalam mekanisme
Pemilihan Calon Kepala DaerahWakil Kepala Daerah KabupatenKota.
(Dengan jumlah Pengurus Kecamatan Partai Golkar kurang dari 20)
a. Delegasi DPD KabupatenKota memiliki hak suara secara voting block bernilai 20.
b. Delegasi Pengurus Kecamatan Partai Golkar di wilayah KabupatenKota yang bersangkut-an memiliki hak suara secara voting block jumlah
keseluruhan bernilai 70. (Atau nilai suara voting block setiap PK adalah 70 dibagi jumlah seluruh PK)
c. Delegasi Ormas dan Organisasi Sayap tingkat KabupatenKota yang bersangkutan memiliki hak suara secara voting block jumlah
keseluruhan bernilai 10.
d. Delegasi PK Partai Golkar terkait mempunyai hak suara secara
keseluruhan sebesar 20, atau masing- masing PK Partai Golkar memiliki hak suara sebesar 20 dibagi jumlah keseluruhan PK Partai Golkar di wilayah kabupatenkota yang bersangkutan.
e. Delegasi Ormas dan Organisasi sayap tingkat kabupatenkota, mempunyai hak suara secara keseluruhan sebesar 10,
atau nilai suara setiap Ormas atau Organisasi sayap adalah 10 dibagi jumlah Ormasorganisasi sayap yang ada
di tingkat kabupatenkota yang bersangkutan.
8
Sumber : Diolah dari Juklak 01 DPPGolkarII2005 (Pebruari 2005) dan Juklak DPPGolkarIX2005 (September 2005)
KAJIAN BULANAN 25
Penjaringan Calon
Tahap Verifikasi
Tahap Pemilihan dan Penetapan Calon
Derajat kewenangan DPP Pusat
Derajat kewenangan DPD Provinsi
Derajat kewenangan DPD Kabupaten DPC
Golkar Juklak DPPGolkarIX2005
Proses penjaringan berupa kegiatan inventarisasi nama-nama seluruh bakal calon kepala daerah yang dinilai potensial di daerah tersebut dan surveipengkaijan nama-nama potensial. Inventarisasi nama-nama dilakukan oleh DPD Partai KabupatenKota dan DPD Provinsi. Survei dan pengkajian terhadap nama- nama bakal calon kepala daerahwakil kepala daerah dilakukan oleh DPP dengan menunjuk lembaga survei profesional.
Verifikasi dilakukan dengan penelitian berkas administrasi persyaratan seluruh bakal calon kepala daerahwakil kepala daerah yang telah mendaftarkan diri, untuk kemudian diseleksi menjadi 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) orang bakal calon, dilakukan oleh Tim Pilkada Daerah masing-masing.
Penetapan calon dilakukan dengan memilih dan menetapkan 1 (satu) orang calon kepala daerahwakil kepala daerah dari 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) orang bakal calon yang lulus verifikasi. Penetapan calon dilakukan dalam Rapat Tim Pilkada Pusat (Untuk Pilkada Provinsi) dan Rapat Tim Pilkada Provinsi (untuk Pilkada KabupatenKota).
DPP mempunyai otoritas dalam menjaring nama- nama calon. Dalam tahap penetapan calon yang akan diusung, suara DPP cukup dominan. Untuk Pilkada Provinsi, DPP memiliki suara 40 dan untuk Pilkada KabupatenKota, DPP memiliki suara 20 .
Mempunyai suara dalam rapat Pilkada untuk menetapkan calon kepala daerahwakil kepala daerah yang akan diusung. Dalam Pilkada Provinsi, DPD Provinsi, mempunyai hak suara sebesar 20. Dalam Pilkada KabupatenKota, DPD Golkar Propinsi memiliki hak suara 30 .
Mempunyai suara dalam rapat Pilkada untuk menetapkan calon kepala daerahwakil kepala daerah yang akan diusung. Untuk Pilkada Provinsi, DPD KabupatenKota, mempunyai hak suara secara keseluruhan sebesar 30. Untuk Pilkada KabupatenKota, DPD mempunyai hak suara sebesar 20.
PDIP Surat Keputusan (SK) Nomor 024 KPTSDPPVII2005.
Proses penjaringan dilakukan oleh DPC (Dewan Pimpinan Cabang) dengan menampung aspirasi dan membuka pendaftaran bagi kandidat. Nama-nama yang masuk (dan telah diverifikasi) disaring dalam Rakercabsus (Rapat Kerja Cabang Khusus). Peserta Rakercabsus ini adalah ketua dan sekretaris ranting, seluruh pengurus PAC partai dan seluruh pengurus DPC Partai. Pemilihan nama- nama dilakukan lewat pemungutan suara (voting). Rakercabsus memilih sekurang- kurangnya 4 bakal calon kepala daerah.
Proses verifikasi oleh DPD
Wewenang murni DPP PDI Pusat. Dalam menetapkan calon ini, DPP PDIP bisa menetapkan calon berdasar nama-nama calon hasil Rakercabsus, tetapi bisa juga menetapkan calon di luar hasil Rakercabsus. Dipilih secara prerogratif dan sifatnya final oleh DPP.
PDIP yang sentralistik dalam proses penentuan nama-nama kandidat yang bertarung dalam Pilkada. Proses terakhir dari penentuan calon adalah penetapan yang dilakukan oleh rapat yang dilakukan oleh DPP PDIP.
DPD Partai memberi rekomendasi nama- nama yang masuk tersebut untuk diteruskan ke DPP PDIP Pusat di Jakarta. Di sini, fungsi DPD hanya meneruskan saja hasil Rakercabsus ke DPP PDIP di Jakarta.
Melakukan Rakercabsus DPC Partai melaporkan kepada DPD Partai hasilnya dengan melampirkan hasil perolehan suara untuk semua calon yang masuk dalam Rakercabsus. Nama yang mendapat dukungan tertinggi dalam Rakercabsus, tidak secara otomatis ditetapkan oleh DPP PDIP sebagai calon kepala daerah. DPP PDIP punya kewenangan untuk memilih siapa dari calon-calon itu yang akan didukung. Calon yang ditetapkan DPP dikirim kembali ke DPD dan DPC untuk selanjutnya didaftarkan ke KPUD setempat.
Tabel 3: Perbandingan Mekanisme Penjaringan dan Seleksi Calon Kepala Daerah di Partai Golkar dan PDIP Berdasarkan Juklak Masing-Masing Partai
Sumber : Diolah dari Juklak Juklak DPPGolkarIX2005 (September 2005) dan Surat Keputusan (SK) Nomor 024KPTSDPPVII2005.
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
melakukan pengelolaan kesuksesan Pilkada melalui pemi-
usai, kita bisa mengidentifikasi sejumlah konflik yang muncul
lihan kandidat yang dinilainya lebih populer dan memiliki
berkaitan denga pebcalonan kandidat oleh partai. Pertama,
peluang kemenangan lebih besar. Hal ini memungkinkan
ketegangan karena belum adanya titik temu antara pilihan
pihak DPP untuk melakukan monitoring dan pengarahan
kandidat versi DPP dengan DPD atau DPC. Ada banyak
secara langsung pada Tim Sukses Pilkada DPD dan DPC
contoh bagaimana kandidat yang didukung oleh DPD atau
untuk melakukan berbagai strategi kebijakan pemenangan
DPC suatu partai berbeda dengan kandidat pilihan DPP.
Pilkada.
Perbedaan calon pilihan ini memang bisa diselesaikan lewat mekanisme partai. Tetapi tidak jarang perbedaan ini
Idealnya, proses demokrasi dalam Pilkada mestinya
berujung pada konflik berkepanjangan antara pengurus
dilakukan dengan mekanisme yang demokratis. Konse-
partai di pusat dengan pengurus partai di daerah 7
kuensinya kebijakan DPP masing-masing partai politik menjalankan langkah desentalistis terhadap keseluruhan
Kedua, konflik internal di partai (pusat kepengurusanDPP)
proses dan mekanisme dalam pengajuan kandidat dalam
secara langsung dan tak langsung, merembes ke daerah,
Pilkada. Namun kenyataanya, langkah ini tidak otomatis
sehingga membuat DPDDPWDPC dilanda perselisihan
menyebabkan kemenangan partai dalam Pilkada. Karena
dalam menentukan pasangan calon yang akan mewakili
itu partai politik lebih memilih jalan yang lebih pragmatis
sebuah partai dalam pilkada di daerah tertentu. 8 Ketiga,
dengan mendukung calon yang diproyeksikan mempunyai
ketegangan yang terjadi dalam penentuan kandidat yang
potensi besar dalam memenangkan Pilkada.
dilakukan oleh koalisi antar partai politik. Konflik ini terjadi ketika pengurus partai di pusat dan daerah mempunyai
Pilihan inilah yang lebih tampak menonjol dalam pelak-
perbedaan dalam hal partai mana yang akan diajak koalisi. 9
sanaan Pilkada selama ini. Pola sentralisasi bagi sebagian besar partai politik dinilai lebih menjamin kemenangan calon
b) Penekanan Pada Hasil, Bukan Kader Partai
yang didukung oleh partai politik. Tetapi perlu disadari
Upaya partai politik untuk memenuhi target kemenangan
kebijakan sentralisasi ini meski memberikan kepastian
dalam Pilkada, membuat partai politik berburu kandidat yang
kemenangan bagi partai politik, menyimpan sejumlah ekses
dipandang potensial dalam memenangkan Pilkada. Hal ini
sebagai berikut.
menyebabkan, bukan orang yang memilih partai politik, namun partai politik yang pada akhirnya berburu orang-orang
a) Potensi Konflik dan Ketegangan
yang populer dan berpeluang memenangkan Pilkada. Dari
Penentuan calon kepala daerah oleh partai yang cenderung
Pilkada yang telah lewat, kita menyaksikan beragam anomali
sentralistik ini punya potensi konflik. Dari Pilkada yang telah
terkait dengan dinamika internal masing-masing partai politik dan praktek penyelenggaraan Pilkada.
7 Hal ini antara lain dapat kita lihat dari aksi yang dilakukan oleh puluhan orang yang menamakan Barisan Penyelamat Partai Persatuan Pembangunan merusak sekaligus menyegel Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP Kabupaten Sukabumi. Mereka kecewa hasil
Pilkada karena calon yang didukung PPP kalah telak. Dalam pemilihan umum legislatif 2004, PPP di daerah ini menduduki urutan kedua dengan perolehan sekitar 18 persen suara. Mereka menduga hasil itu tak lepas dari intervensi dari Dewan Pimpinan Pusat PPP yang mengalihkan dukungan kepada calon lain. Dalam aksi ini, pengunjuk rasa membakar kalender yang terdapat foto Lukman Hakim, anggota DPR dari PPP yang dianggap bertanggung jawab atas kekalahan pasangan Asep-Yusuf (Liputan6.com, 472005). Kasus lainnya juga dapat disimak dari aksi massa Partai Demokrat mendatangi Komisi Pemilihan Umum Salatiga. Mereka menuntut KPU memperhatikan ketentuan perundang-undangan, serta anggaran dasaranggaran rumah tangga PD dalam menyikapi “konflik” internal partai tersebut. Dalam surat yang ditandatangani Ketua DPD PD Jateng Sukawi Sutarip dan Sekretaris DPD PD Jateng Dani Sriyanto tersebut, diberitahukan bahwa DPP dan DPD PD merekomendasikan Totok Mintarto dan John M Manoppo sebagai calon. Realitasnya, DPC PD Salatiga mengusung nama Warsa Susilo-M Haris dalam pendaftaran calon. Pasalnya, pencalonan pasangan tersebut sudah melalui mekanisme penjaringan bakal calon, sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis DPD PD Jawa Tengah (Suara Merdeka, 1132006) 8 Ini terjadi pada PKB, di mana DPW PKB Jawa Timur terancam dibubarkan oleh DPP PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar. DPW PKB Jawa Timur kemudian balik melawan. Mereka tidak mengakui DPP hasil Muktamar Semarang. Choirul Anam, dkk kemudian menganggap DPP Alwi Shihab-Saifullah Yusuf yang sah. Kasus yang menarik dapat kita lihat aksi ribuan pendukung Samsul Hadi mendatangi Gedung DPRD Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Massa dari berbagai elemen masyarakat ini menuntut agar Pilkada yang akan digelar 20 Juni 2005 ditunda. Mereka meminta anggota Dewan dan anggota Komisi Pemilihan Umum Banyuwangi mencabut Surat Keputusan KPUD Nomor 07 yang mengesahkan Wahyudi menjadi calon bupati dari Partai Kebangkitan Bangsa. Keputusan ini dinilai cacat karena sudah dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya (Liputan6.com, 962005).Imbas pecahnya kongsi kepemimpinan PKB ini juga dapat dirasakan dalam proses pencalonan kandidat PKB di Kabupaten Banyuwangi. Bahkan Kantor Komisi Pemilihan Umum Banyuwangi, Jawa Timur, diduduki massa pengurus cabang Partai Kebangkitan Bangsa kubu Muhaimin Iskandar. Alasannya KPU Banyuwangi dinilai tak mematuhi keputusan PTUN Surabaya yang mencabut keabsahan pasangan calon bupati dan wakil bupati PKB kubu Alwi Shihab. Massa mengancam akan terus melaksanakan aksinya hingga tuntutan mereka dipenuhi (Liputan6.com, 3 62005). Kasus yang hampir serupa juga berlangsung di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Konflik internal PKB mengakibatkan partai itu mendaftarkan dua paket balon ke KPUD Kota Kupang, yakni Drs. Daniel Adoe-Drs. Daniel Hurek dan Drs. Guido Fulbertus-Drs. YanMboeik. Paket Adoe-Hurek diusung oleh PKB Kota Kupang yang berkoalisi dengan delapan partai politik sedangkan paket Guido-Mboeik didaftarkan ke KPUD Kota Kupang, juga oleh PKB yang berkoalisi dengan PKPI dan PAN (Indomedia, 27 Maret 2007).
KAJIAN BULANAN 27
Pertama, fenomena adanya partai politik yang memenangkan Pemilu Legislatif (menguasai kursi di DPRD) tetapi bersedia hanya menempati posisi sebagai wakil kepala daerah. Misalnya di Provinsi Jambi. Pada Pemilu Legislatif 2004 lalu, Partai Golkar menang dengan perolehan suara sebanyak 24.71. Kursi di DPRD Provinsi Jambi juga dikuasi oleh Partai Golkar. Dari total 45 kursi di DPRD Jambi, seba- nyak 11 kursi (24) direbut oleh Golkar. Tetapi kemenangan dalam Pemilu Legislatif ini tidak membuat Golkar percaya diri dengan mencalonkan kadernya sebagai kepala daerah. Dalam Pilkada Provinsi Jambi, kader Golkar (Anthoni Zeidra Abidin) menempati posisi sebagai wakil kepala daerah, mendampingi calon dari Partai Amanat Nasional (Zulkifli Nurdin). Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Banten. Di provinsi ini, Partai Golkar juga memenangkan Pemilu Legislatif 2004 lalu dengan perolehan suara 21. Di Legis- latif (DPRD) Banten, kursi Partai Golkar juga mayoritas. Dari
75 kursi yang ada di DPRD Banten, sebanyak 16 kursi (21.33) dikuasai oleh Partai Golkar. Tetapi dalam Pilkada Provinsi Banten, Partai Golkar berposisi sebagai wakil kepala daerah ( Muhammad Masduki), mendampingi calon dari Partai PDIP (Ratut Atut Chosiyah).
Gejala ini tidak hanya terjadi di partai besar (seperti Partai Golkar dan PDIP), tetapi juga partai lain. Di Batam misalnya. Dalam Pemilu Legislatif 2004, PKS berhasil menjadi peraih suara terbesar dengan 13.42 suara. Tetapi dalam Pilkada Kota Batam, PKS hanya mengantarkan calonnya sebagai wakil walikota (Ria Saptarika). Sementara calon walikota berasal dari Partai Golkar ( Ahmad Dahlan).
Kedua, menguatnya kecenderungan pilihan kandidat yang akan diajukan adalah non kader partai politik. Partai politik mengajukan calon kepala daerah yang bukan kader partai politik—misalnya mantan pejabat, pengusaha, birokrat, intelektual dan sebagainya. Ini nampaknya mempunyai dua maksud sekaligus. (a) Partai politik merasa tidak ada kader partai yang menonjol, sehingga harus mencari tokoh lain. (b) Merekrut calon di luar kader partai sekaligus dimaksud- kan untuk memperluas basis dukungan dan menambah kader partai politik di masa mendatang. Hal ini misalnya terjadi dalam Pilkada Provinsi Sulawesi Utara. PDIP meng- gandeng seorang birokrat, yakni Sinyo Sarundayang sebagai calon kepala daerah. Sarundayang adalah seorang birokrat.
9 Hal ini antara lain dapat dilihat pada kasus Pilkada Buleleng. Dua kelompok massa yang masing-masing merupakan pendukung Koalisi Udayana dan Koalisi Bukit Sinunggal. Ketegangan tak dapat dihindari ketika kedua kelompok massa tersebut datang sekaligus mendaftarkan
paket kandidat kepala daerah Buleleng dengan mengklaim dukungan dari sejumlah partai yang sama. Gabungan partai politik yang mengatasnamakan diri Koalisi Bukit Sinunggal dengan mengusung paket Jero Nyoman Ray Yusha dan Luh Putu Febriantari mendaftar ke KPUD Buleleng dengan menyertakan delapan partai politik yakni PPDI, PNBK, PNIM, PDK, PKS, PDS, PPP, dan PAN agar memenuhi kuota 15 sesuai persyaratan KPUD Buleleng. Jika dihitung sesuai dengan persentase perolehan suara maka jumlah totalnya adalah 15,09. Namun tiga partai politik, yakni PPDI, PNBK, dan PNIM sebelumnya juga sudah mendaftarkan paket Gede Dharma Wijaya-IB Djodhi melalui Koalisi Udayana. Bahkan, PAN yang diklaim ikut mendukung Koalisi Bukit Sinunggal, sejumlah pengurusnya mengaku tidak pernah mendukung paket Ray Yusha-Febriantari tersebut (Bali Post, 27 Maret, 2007).
Ia pernah menjadi Walikota Bitung, Pelaksana Harian dan Pejabat Sementara Gubernur Maluku Utara, hingga Inspektur Jenderal Depdagri. Sementara kader PDIP sendiri (Freddy Harry Sualang) hanya berposisi sebagai wakil kepala daerah.
Ada kecenderungan partai memilih kandidat bukan dari kader, tetapi punya potensi menang dalam Pilkada. Memang, di era pemilihan langsung, posisi kandidat lebih dipandang penting dibandingkan partai politik. Namun tidak berarti bahwa proses pengkaderan diabaikan oleh masing-masing partai politik. Partai politik cenderung mendorong para kandidat yang populer dimana mayoritas bukan dari kalangan kader selama proses Pilkada. Target kemenangan partai dalam hal ini nampak jauh lebih dikedepankan dibandingkan kepentingan proses pengkaderan jangka panjang di masing-masing partai politik. (Ahmad Nyarwi)
Daftar Pustaka
Faucheux, Ronald A, Introduction : Winning Elections, dalam Ronald
A. Faucheux (Eds), Winning Elections : Political Campaign Management, Strategy Tactics, New York, M. Evans and Company, Inc, 2003.
Herrnson, Paul S., Hired Guns and House Race : Campaign Professional in House Elections, dalam James A.Thurber and Candice J.Nelson (Eds), Campaign Warriors : Political Consultants in Elections, . Washington, Brooings Institution Press, 2000.
Schweuger, Gunter dan Michaela Adami, The Non Verbal Image of Politicians and Political Parties, dalam Handbook of Political Marketing, New Delhi, Sage Publications, 2003.
Thurber, James A., Introduction to the Study of Campaign Consul- tants, dalam James A.Thurber and Candice J.Nelson (Eds), Campaign Warriors : Political Consultants in Elections, Washington, Brooings Institution Press, 2000.
Juklak Partai Golkar No.01DPD Golkar II2005, Februari 2005 Juklak Partai Golkar - DPPGolkarIX2005, September 2005 Surat Keputusan Nomor 024KPTSDPPVII2005, Penyempurnaan
Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Atau Wakil Walikota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 2005.
Surat Keputusan Nomor No. 429DPPKPTSXII2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Atau Wakil Walikota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 2004.
28
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
PEMIMPIN UMUM
Denny JA
REDAKSI
Eriyanto (Ketua) Widdi Aswindi Eka Kusmayadi Ridwan Susanto Arman Salam Redaktur Tamu: Bagus Sartono Ahmad Nyarwi
LINGKARAN SURVEI INDONESIA (LSI)
Jl. Raya Venesia EB 1, Kompleks Bukit Gading Mediterania Kelapa Gading, Jakarta Utara Telp (021) 4514701, 4514704, Fax (021) 45858035, 4587336 www.lsi.co.id
Kajian ini diterbitkan tiap awal bulan. Kajian bulanan berisi tentang analisis fenomena sosial politik di Indonesia berdasarkan database dan survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia. Diperbolehkan memperbanyak atau mengutip bagian dari kajian bulanan ini, dengan menyebut sumber tulisan. Untuk permintaan berlangganan (gratis) kajian bulanan ini, bisa menghubungi Ika Pratiwi (email: pratiwiikayahoo.com). Lingkaran Survei Indonesia (LSI) adalah perusahaan profesional yang mengkhususkan diri pada kegiatan riset opini publik—baik survei politik (nasional, lokal) maupun survei untuk kalangan bisnis. Selain riset, LSI juga konsultan politik bagi kepala daerah, partai politik ataupun politisi.