Pembaharuan Hukum Pidana.

C. Pembaharuan Hukum Pidana.

  Pada pembahasan sub bab sebelumnya penulis telah membahas tentang Sistem peradilan pidana, maka pada sub bab ini, penulis akan membahas tentang pembaharuan hukum pidana di Indonesia sebagai sebuah impian bagi masyarakat dalam menemukan keadilan. Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai nilai-nilai sosio- kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

  Dalam RUU KUHP sendiri telah ada pergeseran makna dari asas legalitas, jika pada KUHP Pasal 1 ayat (1) mengatakan, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuang perundang-undangan pidana yang berlaku. Akan tetapi dalam RUU KUHP Pasal 1.

  ayat (1) tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peratutan-perundang-undanagn yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan. ayat (2) dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Pasal 2 ayat (1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup ayat (1) tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peratutan-perundang-undanagn yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan. ayat (2) dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Pasal 2 ayat (1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup

  Adapaun juga Pembaharuan hukum pidana (RUU KUHP), pasal 12 ayat (1) hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan. ayat (2) jika dalam mempertimbangkan teganya hukum dan keadilan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdapat peretntangan yang tidak dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan. Terlihat jelas bahwa hakim harus mengutamakan keadilan lebih dari pada hukum.

  Terhadap beberapa pasal RUU KUHP diatas, maka Prof Edi Hiariej mempunyai beberapa catatan.

  1. Dimasa depan asas legalitas di Indonesia tidak bersifat absolute, karena adanya ketentuan pasal 2 ayat (1) yang secara implisit mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat.

  2. Pembatasan terhadap asas legalitas tidak berakaitan dengan perubahan perundang-undangan semata sebagaimana tertuang dalam pasal 3 RUU KUHP, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat.

  3. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) diatas, maka hukum yang tidak tertulis tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia serta local semata, akan tetapi dapat bersumber dari prinsip- prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradap didunia, artinya asas legalitas dapat disesuaikan dengan prkatik hukum kebiasaan yang telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat internasional.

  4. Pembatasa terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal 1 dan dua menunjukan bahwa secara implisit hukum pidana Indonesia telah mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Artinya meskipun perbuatan melawan hukum belum diatur dalam Perundang-undangan, hakim dapat menjatuhkan pidana apa bila berbuat tersebut dianggap tercela,bertentangan dengan keadilan dan norma-norma

  sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. 70

  Hakim dapat lebih leluasa dalam menjatuhkan putusan, dimana hakim tidak hanya melihat pada konsep undang-undang saja, lebih dari itu hakim bisa memutuskan berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada masa lampau hakim hanya sebagi corong undang-undang, karena kewajibannya menerapkan undan-undang sesuai bunyinya. Akan tetapi

  70 Eddy Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, 2009,

  hal 38-40 hal 38-40

  keadilan yang hidup dalam masyarakat. 71 Menurut Satjipto Raharjo. Sekarang mestinya hukum diproyeksikan terhadap gagasan dan pemahaman yang baru

  yaitu;

  1. Para penegak hukum dimanapun posisi mereka, mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum Vigilantes, orang-orang yang berjihat dalam hukum. Mereka tidak hanya membaca undang-undang tetapi diresapi dengan semangat untuk meluapkan keluar makn undang-undang yang ingin mensejahterakan rakyat. Dengan demikian diperlukan prediposisi progresif dari peara penegak hukum.

  2. Kesadara dan keyakikan bahwa hukum menginginkan yang baik terjadi pada rakyat dan masyarakat. 72

  Dalam hal hakim harus memutuskan perkara yang tidak ada hukumnya, Hakim disini harus menemukan hukumnya, oleh karena itu hakim haru melakukan penemuan hukum, supaya putusan benar-benar dapat meberikan rasa keadilan bagi masyarakat, tidak hanya keadilan formal, tetapi juga keadilan subtantif. Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai

  (values) yang berlaku dalam masyarakat. 73 Bahkan menurut teori cermin (the mirror theory) Brian Tamanaha “ dapat diakatakan bahwa hukum itu

  merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. 74 Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank menentang pendapat bahwa hukum

  yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi hakim untuk

  71 Siti Malikhatun Badriyah, Sistem Penemuan Hukum Dalam Masayarakat Prismatik. Sinar garafika. Jakarta, 2016, hal 3

  72 Satjipto Raharjo, membedah hukum progresif, Kompas, jakarta, 2008, hal 55 73 Siti Malikhatun Badriyah Op cit, hal 5 74 Bryan Tamanaha, A General Jurisprudence Of Law And Society, Oxford University Pres,

  New York, 2006 hal 1-2 New York, 2006 hal 1-2

  abstrak. 75

  Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak, tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa konkret, peristiwa hukum harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya, keudian undang-

  undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan. 76 Setiap undang-undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga

  menimbulkan ruang-ruang kosong yang perlu diisi, tugas mengisi kekosongan itu dibebankan pada hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi dan metode argumentasi, dengan syarat dalam menjalankan tuigas tersebut, hakim tidak boleh memaksa maksud dan jiwa undang-undang atau tidak

  boleh bersikap sewenang-wenang. 77

1. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Aparat Penegak Hukum.

  Berbicara aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatikan sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau mafia peradilan kita sudah sebegitu buruknya dan para aparat penegak hukum itulah

  75 Ahmad Ali, menguak tabir hukum, suatu kajian sosilogis filosofis, jakarta, citra pratama, 1993, hal 154

  76 Sudikno Martokusumo dan A. Pitlo, bab-bab tentang penemuan hukum, Bandung , Citra aditya bakti, 1993, hal 12

  77 Andi Zainal Abidin, asas-asa hukum pidana bagian pertama, alumni, Bandung, 1984, hal 33 77 Andi Zainal Abidin, asas-asa hukum pidana bagian pertama, alumni, Bandung, 1984, hal 33

  Produk hukum yang dihasilkan menjadi represif karena:

  1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya,

  memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan kalim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.

  2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang sebagai

  “tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klarifikasi resmi (misalnya kriteria yang memisahkan kelompok “kaya” dari kelompok miskin). Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan pola baru subordinasi.

  3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai kejahatan di dalam hukum pergelandangan.

  Dengan optic Nonet dan Selzenick yang menggagas hukum secara komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum yang lebih responsive, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum sebagai abdi kekuasaan, hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu mengolah represif dan melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsive adalah hukum sebagai fasilitator dari sejumlah respons terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang

  berakar-pinak di masyarakat. 78

  Ditegaskan Nonet dan Selzenick bahwa seorang penguasa (otoritas penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan empirik tidak bisa dipaksa untuk sesuai dengan si pembuat hukumnya. Dia akan menambah kredibilitas dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta menarik kemauan secara sukarela, apabila senyatanya aturan tersebut adil, merasa terikat oleh aturan tersebut, dan yang sangat penting penyelenggaraan peradilan tidak berpihak termasuk kepada aparat penegak hukum dengan berbagai kepentingannya, kecuali menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.

  Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia, menurut abstraksi teori-teori Nonet dan Selzenick ini sebagaimana disampaikan dimuka

  78 A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks

  Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan (1990), hal. 164 Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan (1990), hal. 164

  Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga

  ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia. 79

  Persenyawaan ini semakin menggelindan, ketika negara sangat tergantung kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas yang diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak berdaya. Secara sederhana bisa kita polakan ke dalam tiga bagian yang mewarnai sistem kekerasan yang terjadi atas nama penegakan hukum, yaitu; pertama, kekerasan yang dilakukan aparat semurninya untuk menjaga keteraturan atau ketertiban dan menegakkan kedaulatan negara, kedua, kekerasan yang dilakukan aparat atas kepentingan aparat pemaksa yang sesungguhnya adalah individu-individu yang sarat kepentingan pribadi tetapi mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu dilakukannya karena kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi mereka sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi masyarakat, ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat penegak hukum sebagai

  79 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 47- 48 79 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 47- 48

  Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang diabtraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsive oleh Nonet dan Selzenick tersebut patut disonsong dengan upaya pembenahan aparatur penegak hukum di Indonesia yang lebih konprehensif berlandaskan komitmen dan moralitas yang tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk keseimbangan antara prodik hukum dan pelaksanaan hukum dengan menghargai budaya hukum sesuai cita diri bangsa Indonesia.

2. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Budaya Masyarakat.

  Sebagaimana beberapa pokok pikiran Nonet dan selzenick antara lain disebutkan bahwa sumber hukum represif yang abadi adalah tuntutan konformitas budaya. Dalam hal mana masyarakat modren, seperti juga halnya pada masyarakat kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral sangat mendukung kebersamaan sosial dan merupakan sumber dan kekuatan dalam memelihara ketertiban. Kemudian Nonet dan Selzenick lebih lanjut menyatakan bahwa:

  Mungkin lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah moralitas komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan “komunitas patuh” (community of observance). Moralisme hukum paling baik dipahami Mungkin lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah moralitas komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan “komunitas patuh” (community of observance). Moralisme hukum paling baik dipahami

  Sementara itu Esmi Warassih (2005), mengatakan bahwa peranan kultur hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan acap kali berhubungan dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana dijelaskannya berikut:

  Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange). Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga masyarakatnya. Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang

  selanjutnya disebut dengan kultur hukum. 81

  Berangkat dari pemikiran diatas, kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya hukum masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan dimuka, sangat lah majemuk (plural society). Dari sosial budaya yang bermacam-macam termasuk perbedaan antara kota dan desa (ada masyarakat organic dan ada masyarakat mekanik), maka tesis Nonet dan Selznick tersebut secara relatif sangat berjalan dengan fakta empirik budaya hukum bangsa Indonesia, namun untuk secara totalitas mengondisikan kepada model penegakan hukum yang otonom kemudian kepada responsive tampaknya perlu proses yang lebih baik lagi.

  80 Ibid, hal. 51

  81 Esmi Warrasih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hal. 78

  Dalam penerapan undang-undang terhadap kasus-kasus yang terjadi, hakim harus lebih berperan aktif dalam hal melihat perbuatan-perbuatan tersebut, bila mana jika hakim hanya melihat pada undang-undang saja, maka sudah pasti akan terjadi ketidakadilan yang dirasakan oleh pencari keadilan, yang diharapkan pada hakim adalah hakim yang mau melihat suatu perbuatan pidana sampai pada akar- akarnya, bukan hanya berdasarkan pembuktian di pengadilan saja. Dalam penyelesaian perkara-perkara pidana tersebut, maka bukti dari penganut legisme tidak akan mampu memberikan keadilan melalui putusannya.