Hakekat Keadilan
2. Hakekat Keadilan
Dengan mengamati putusan-putusan yang penulis sebutkan pada bab
I, lalu timbul pertanyaan-pertanyaan besar.”dimana dunia keadilan itu? Bagaimana ciri atau sifat keadilan itu? Dan apa itu adil? Ciri atau sifat adil dapat diiktisarkan maknanya sebagai berikut, adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (law ful), tidak memihak (impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral (righteous). Dari pengertian diatas ternyata adil mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu sama dengan yang lain kecil sekali. Nuansa ini
47 Ibid., hal 62-63 47 Ibid., hal 62-63
Keadilan merupakan tujuan hukum yang peling penting, didalam keadilan sudah pasti terwujud kepastian dan juga kemanfaatan. Bismar Saregar “mengatakan bila untuk menegakan maka keadilan saya korbankan kepastian hukum, hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah
keadilan”. 49 Mengapa tujuan dikorbakan karena sarana? Demikian pentingnya keadilan ini. Lalu keadilan itu apa? Pertanyaan ini dijawab oleh
Ulpianus(200M), yang kemudian diambil ahli oleh kitab hukum Justianus, dengan mengatakan bahwa “keadilan ialah kehendak yang terpola dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (justitia est costans et
prepetua volontas ius suum cuique tribuendi). 50 Maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga tidak lagi berharga di hadapan masyarakat. Hukum
bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan bersifat subjektif. Dengan dua sifat yang berbeda maka untuk menggabungkan antara hukum dan keadilan itu bukan pekerjaan yang gampang. Namun itulah konsekuensinya, sesulit apa pun menggabungkan keadilan dan hukum harus dilakukan. Ini demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar
hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan. 51
48 Muhamad Erwin.Op.Cit. hal 290 49 Ibid., 50 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat
hukum di Indonesia, PT Gramendia Pustaka, Jakarta, 1995, hal 138
51 H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group; 2012), hal 91
Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa memperhatikan keadilan. Karena adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum dan peradilan. Karena itu dalam pembentukan tata hukum dan peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip- prinsip umum tersebut yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara. Kepentingan bangsa dan negara itu merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil. Karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi setiap orang yang mungkin, justru berpikir secara hukum berakit erat dengan
ide bagaimana keadilan dan ketertiban itu terwujud. 52
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi. Manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dibekali dengan rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena
yang dapat menentukan hal ini adalah rasa. 53
Plato (427-347SM) yang menggambarkan keadilan pada jiwa manusia dengan membandingkannya dengan kehidupan negara, mengemukakan bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu, pikiran, perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani, rasa baik dan jahat. jiwa akan teratur
52 Ibdi., 53 M.Rasjidi dan H.Cwindu, Islam untuk disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal
sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya. 54
Lain halnya dengan Plato, Aristoteles (384-322SM) memberikan cukup besar pemikiran tentang hukum dan keadilan, dengan menggolongkan
keadilan menjadi dua bagian keadilan disrtibutif dan keadilan korektif. 55
1. Keadilan disrtibutif. Keadilan distributif menyangkut soal pembagian barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat,
2. Keadilan korektif. Keadilan korektif memberilan ukuran untuk menjalankan hukum sehari-hari.
Perlu dicatat bahwa sebelum Plato banyak teori keadilan yang lazim. Penyelidikan tentang keadilan pergi dari yang paling kasar ke interpretasi yang paling halus itu. Oleh karena itu tetap untuk menanyakan apa alasan yang ia menolak pandangan tersebut. Jadi sebelum membahas konsep Plato sendiri tentang keadilan, perlu untuk menganalisis teori-teori tradisional keadilan ditolak olehnya. Plato membuktikan bahwa keadilan tidak tergantung pada kesempatan, konvensi atau pada kekuatan eksternal. Ini adalah kondisi yang tepat dari jiwa manusia oleh sifat manusia jika dilihat dalam kepenuhan
54 Muhamad Erwin.Op.Cit., hal 292-293 55 Satjipto Raharjo, Ilmu hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 163 54 Muhamad Erwin.Op.Cit., hal 292-293 55 Satjipto Raharjo, Ilmu hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 163
Dengan demikian, setelah mengkritik ide-ide konvensional keadilan disajikan secara berbeda oleh Cephalus, Polymarchus, Thrasymachus dan Glaucon, Plato sekarang memberikan kita teori sendiri keadilan. Plato menyerang analogi antara organisme manusia di satu sisi dan organisme sosial di sisi lain. organisme manusia menurut Plato mengandung tiga unsur-Alasan, Roh dan Nafsu. Seorang individu hanya ketika setiap bagian dari jiwanya melakukan fungsinya tanpa mengganggu orang-orang dari unsur-unsur lainnya. Misalnya, alasan harus memerintah atas nama seluruh jiwa dengan kebijaksanaan dan pemikiran. Unsur semangat akan sub-ordinat diri pada rule of reason. Dua elemen yang dibawa ke dalam harmoni dengan kombinasi pelatihan mental dan fisik. Mereka ditetapkan dalam perintah atas selera yang membentuk sebagian besar dari jiwa manusia. Oleh karena itu, alasan dan semangat harus mengontrol selera ini yang cenderung tumbuh pada kesenangan tubuh. selera ini seharusnya tidak diperbolehkan, untuk memperbudak unsur-unsur lain dan merebut kekuasaan mana mereka tidak Dengan demikian, setelah mengkritik ide-ide konvensional keadilan disajikan secara berbeda oleh Cephalus, Polymarchus, Thrasymachus dan Glaucon, Plato sekarang memberikan kita teori sendiri keadilan. Plato menyerang analogi antara organisme manusia di satu sisi dan organisme sosial di sisi lain. organisme manusia menurut Plato mengandung tiga unsur-Alasan, Roh dan Nafsu. Seorang individu hanya ketika setiap bagian dari jiwanya melakukan fungsinya tanpa mengganggu orang-orang dari unsur-unsur lainnya. Misalnya, alasan harus memerintah atas nama seluruh jiwa dengan kebijaksanaan dan pemikiran. Unsur semangat akan sub-ordinat diri pada rule of reason. Dua elemen yang dibawa ke dalam harmoni dengan kombinasi pelatihan mental dan fisik. Mereka ditetapkan dalam perintah atas selera yang membentuk sebagian besar dari jiwa manusia. Oleh karena itu, alasan dan semangat harus mengontrol selera ini yang cenderung tumbuh pada kesenangan tubuh. selera ini seharusnya tidak diperbolehkan, untuk memperbudak unsur-unsur lain dan merebut kekuasaan mana mereka tidak
Aristoteles juga mengatakan, keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Orang yang tidak adil adalah orang yang mengabil lebih dari yang menjadi haknya, orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan
kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. 56
Pada abad pertengahan muncul filsuf aliran hukum kodrat, yakni Thomas Aquinas. Pada masa skolastik ini Aquinas melanjutkan pemikiran hukum alam. Ia membedakan atas dua jenis keadilan, yakni keadilan umum (justisia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum kerap diartikan dengan keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus dibedakan lagi menjadi keadilan distributif (justitia distributiva), keadilan komutatif (justitia commutativa), dan kadilan vindikatif (justitia vindicativa).
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing- masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antar masyarakat dengan perorangan. Dalam hal ini, keadilan bukan berarti dalam persamaan,
56 Ibid., 56 Ibid.,
Sementara keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang diaggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Para penganut aliran hukum alam meyakini bahwa alam semesta ini diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam primer yang terdapat stoisisme menyatakan bahwa ”berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribure), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero mengatakan bahwa hukum
dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam. 57
Pada aliran positivisme hukum, norma hukum alam itu dibuat dalam bentuk yang lebih konkrit, yang mana pengejawantahan hukum dan keadilan itu ditetapkan ke dalam norma hukum positif yang dipercayakan kepada penguasah. Hukum positif kadang-kadang menghambat perkembangan
57 Darji Darmodiharjo dan Shidarta Op cit., hal 140 57 Darji Darmodiharjo dan Shidarta Op cit., hal 140
besar dampaknya bagi kesejahteraan manuisa (human welfare). Kesejateraan individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebi besar (general
wefare). 59
Sementara menurut penganut aliran Realisme Hukum yang salah satu tokohnya adalah Jhon Rawls, berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaima ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Rawls menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebijakan utama yang harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi dasar di berbagai lembaga sosial dasar suatu masyrakat. Memperlakukan keadilan sebagai kebijakan utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Harga diri dan martabat manusia tidak bisa diukur dengan kekayaan ekonomis, sehingga dipahami bahwa keadilan luas melampaui status ekonomi seseorang.
Lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil
58 Ibdid., hal 140 59 Ibid., hal 142 58 Ibdid., hal 140 59 Ibid., hal 142
masyarakat yang tertib dan teratur. 60