HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis poli(butilen itakonat) dilakukan dengan pencampuran asam itakonat dan 1,4 butanadiol dengan variasi waktu polimerisasi ( 1 jam; 1,5 jam; 2 jam; 2,5 jam dan 3 jam) secara polikondensasi. Poliester yang dihasilkan merupakan poliester alifatik. Poliester alifatik tersebut selanjutnya digunakan sebagai standar dalam sintesis poli(butilen itakonat) dengan DVB. Sintesis poli(butilen itakonat) dengan DVB dilakukan dengan pencampuran poliester alifatik dan DVB dengan variasi konsentrasi (10, 15, 20, 25 % b/b) secara reaktif. Poliester yang dihasilkan merupakan poliester sambung silang (crosslinking). Poliester alifatik dan sambung silang dikarakterisasi gugus fungsinya dengan FTIR, stabilitas panas dengan TG- DTA, poliester alifatik yang dihasilkan terlebih dahulu ditentukan juga bilangan asam dengan metode titrimetri serta viskositas dengan viskometer Ostwald .

A. Sintesis Poli (Butilen Itakonat)

Sintesis poli(butilen itakonat) dilakukan melalui polikondensasi suhu sedang (170-180 0 C) pada atmosfer gas nitrogen. Suhu memegang peranan penting pada pembentukan poliester. Pada suhu tinggi ( >220 0 C) reaksi berjalan lebih cepat

yang membuat semua proses lebih pendek dan menghasilkan berat molekul tinggi tetapi terdapat kelemahan, pada suhu ini terjadi degradasi dan stabilitas

hidrolitiknya rendah. Pada suhu rendah (120-140 0 C) reaksi berjalan sangat

lambat dan jumlah asam diabaikan karena tingkat polimerisasi menurun yang disebabkan konsentrasi gugus asam menurun (Chajecka, 2011).

Sintesis poliester ini dilakukan dengan berbagai variasi waktu polimerisasi, tujuannya untuk mengetahui pengaruh waktu polimerisasi terhadap pembentukan poliester. Waktu polimerisasi yang tepat selanjutnya digunakan sebagai standar untuk proses selanjutnya, yaitu sintesis poli(butilen itakonat) dengan DVB.

(a) (b) (c)

(d) (e) Gambar 9. Poli(butilen itakonat) (a) 1 jam; (b) 1,5 jam; (c) 2 jam; (d) 2,5 jam dan

(e) 3 jam.

Gambar 9 menunjukkan poli(butilen itakonat) dengan berbagai variasi waktu polimerisasi. Poliester yang dihasilkan terjadi perubahan, terlihat dari bentuk fisiknya yaitu dalam segi kekentalan polimer. Poli(butilen itakonat) 1 jam berbentuk seperti madu. Semakin lama waktu polimerisasinya, poli(butilen itakonat) akan lebih berbentuk gel tetapi masih bisa mengalir jika digoyang- goyang. Reaksi pembentukan poliester ini melalui polikondensasi, yaitu reaksi

yang melepaskan molekul kecil yaitu H 2 O. Semakin banyak H 2 O yang

dikeluarkan, maka produk akhir poliester yang dihasilkan akan lebih baik. Gambar 10 menunjukkan reaksi pembentukan poli(butilen itakonat).

HO

CH 2 CH 2 CH 2 CH 2 OH

CH 2

CH 2 C

CH C 2

CH 2

HO

OH

18 18

18

OH

OH

OH

-H +

CH 2

CH 2 C

18

OH

OH

OH

C OH

18

C OH

18

CH 2

CH 2 C

18

OH

OH

OH

C OH

18

-H 2 O

HC C

CH 2

CH 2 C

18

O OH

C OH

18

CH 2

CH 2 C

18

OH

OH

C OH

18

-H +

CH 2

CH 2 C

18

H C 2 H C 2 H C 2 H C 2 OH

HO 18

Gambar 10. Reaksi pembentukan poli(butilen itakonat)

Perubahan bentuk fisik yang terjadi pada poliester di atas bisa disebabkan oleh inhibitor. Inhibitor adalah suatu senyawa yang ditambahkan ke reaksi. Inhibitor yang dipakai pada penelitian ini yaitu p-metoksi fenol yang berfungsi mencegah gelasi pada saat reaksi. Inhibitor kemungkinan tidak berfungsi sempurna pada kondisi dan waktu tertentu sebelum reaksi pembentukan poliester selesai sehingga sedikit membentuk gel. Ikatan rangkap dua (C=C) pada poli(butilen itakonat) 3 jam, selanjutnya akan disambungsilangkan dengan DVB (divinil benzena).

Poli(butilen itakonat) yang terbentuk merupakan jenis poliester alifatik tidak jenuh karena memiliki ikatan rangkap dua pada kerangka polimer. Poli(butilen itakonat) bersifat termoplastis yaitu jika dipanaskan akan mengalami perubahan bentuk fisik. Poliester dan vinil ester diketahui memiliki ketahanan yang baik terhadap kimia terutama kebanyakan dari mereka lebih baik pada kondisi asam daripada kondisi basa kuat. Larutan basa dapat menyerang ikatan ester, pembentukan kembali poliol dan garam dari asam karboksilat (Slama, 1996). Poliester ini untuk aplikasi komersial seperti pelapis, serat, plastik dan resin (perlu ditambahkan senyawa lain yang bisa memperbaiki sifat dari poliester ini) (Tsai, 2008).

B. Sintesis Poli( Butilen Itakonat) 3 jam dengan DVB

Sintesis poli(butilen itakonat) dengan DVB dilakukan pencampuran poli(butilen itakonat) 3 jam dan DVB dengan variasi konsentrasi (10, 15, 20 dan

25 % massa) secara reaktif. Pembentukan poliester dengan DVB menggunakan metode ruah (bulk) tanpa menggunakan pelarut. Keuntungan dari metode ini yaitu lebih ramah lingkungan dan homogen sehingga didapatkan polimer dengan kemurnian tinggi.

Gambar 11 menunjukkan terjadinya perubahan bentuk fisik, semakin banyak konsentrasi DVB yang ditambahkan maka poli(butilen itakonat) dengan DVB yang dihasilkan semakin kaku dan padat. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi sambung silang antara poli(butilen itakonat) dengan DVB. Proses sambung silang ini terjadi melalui reaksi radikal. Reaksi radikal memerlukan inisiator untuk menginisiasi reaksi. Inisiator yang dipakai dalam penelitian ini yaitu BPO

(benzoil peroksida). Penggunaan senyawa BPO dalam penelitian ini didasarkan atas sifat radikal benzoiloksi yang cukup stabil sehingga cenderung dapat bereaksi dengan molekul-molekul monomer yang lebih reaktif sebelum mengeliminasi karbon dioksida sehingga dapat mengurangi pemborosan inisiator (Sopyan, 2001). Benzoil peroksida terurai secara homolitik menghasilkan radikal bebas benzoil. Kemudian radikal bebas benzoil diuraikan untuk membentuk karbon dioksida

(CO 2 ) dan radikal bebas fenil seperti ditunjukkan dalam mekanisme reaksi (Gambar 7) .

(a) (b)

(c) (d) Gambar 11. Poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB (a) 10 %; (b) 15% ; (c) 20

% dan (d) 25 %

Radikal bebas fenil itu kemudian ditambahkan pada monomer vinil, sehingga menghasilkan sebuah radikal bebas yang baru dapat merambat (propagasi) dengan monomer-monomer vinil lainnya (Sopyan, 2001). Benzoil Radikal bebas fenil itu kemudian ditambahkan pada monomer vinil, sehingga menghasilkan sebuah radikal bebas yang baru dapat merambat (propagasi) dengan monomer-monomer vinil lainnya (Sopyan, 2001). Benzoil

Polimer sambung silang dapat dibentuk melalui polimerisasi dari monomer dengan rata-rata gugus fungsi lebih dari satu ataupun dari sebuah oligomer dan polimer yang akan diperbaiki sifatnya. Sambung silang dapat mempengaruhi sifat fisik dari polimer yang disambungsilangkan. Umumnya, sambung silang meningkatkan sifat fisik dari polimer tersebut. Gambar 6 menunjukkan proses reaksi radikal pada DVB, reaksi radikal tersebut disebabkan oleh radikal bebas dari benzoil peroksida yang mengalami propagasi. Sambung silang dari poliester terjadi melalui pembukaan ikatan rangkap dua (C=C) dari poli(butilen itakonat) dan DVB akibat inisiasi dari benzoil peroksida dan merambat (propagasi) mempengaruhi ikatan rangkap dan ikatan-ikatan reaktif lainnya (Gambar 8). Proses terminasi dari reaksi ini yaitu hanya didiamkan pada suhu ruang sampai menunjukkan berat produk akhir yang tetap. Inisiator pada reaksi ini diasumsikan habis bereaksi semua.

C. Karakterisasi Poli( Butilen Itakonat) dan Poli( Butilen Itakonat)

dengan DVB

1. Karakterisasi Menggunakan FTIR

Karakterisasi gugus fungsi dari poli(butilen itakonat) dan poli(butilen itakonat) dengan DVB dilakukan dengan uji FTIR. Uji FTIR dilakukan pada sampel poli(butilen itakonat); poli(butilen itakonat) dengan DVB; asam itakonat; 1,4 butanadiol dan DVB.

Spektra asam itakonat ditunjukkan oleh Gambar 15(a), di mana terdapat gugus-gugus spesifik pada 3070 cm -1 (uluran O-H) yang mengarah pada gugus COOH dengan serapan melebar diakibatkan ikatan hidrogen secara intermolekuler, Shang. (2009) menyatakan serapan tersebut juga overlap dengan Spektra asam itakonat ditunjukkan oleh Gambar 15(a), di mana terdapat gugus-gugus spesifik pada 3070 cm -1 (uluran O-H) yang mengarah pada gugus COOH dengan serapan melebar diakibatkan ikatan hidrogen secara intermolekuler, Shang. (2009) menyatakan serapan tersebut juga overlap dengan

1703 (uluran C=O) mengindikasikan adanya rantai tak jenuh, adanya gugus tak jenuh juga dikuatkan oleh serapan medium di 1628 cm -1 yang mengarah pada (

uluran C=C), serapan medium pada 1437 cm -1 (CH 2 tekuk), serapan lemah pada 1408 cm -1 (CH 2 in plane), serapan tajam pada 1307 cm -1 (uluran C-O) mengarah pada gugus karboksilat dan serapan medium pada 725 cm -1 (rocking -CH 2 -).

Gambar 15(b) menunjukkan spekra FTIR 1,4- butanadiol dimana terdapat serapan kuat yang melebar pada 34 dan 3331 cm -1 (uluran O-H) ikatan hidrogen secara intermolekuler, serapan tajam pada 2939 dan 2872 cm -1 (uluran C-H) yang

mengarah (uluran -CH 2 ), serapan medium pada 1444 dan 1435 cm -1 (CH 2 tekuk)

dan serapan tajam pada 1053 cm -1 (uluran C-O) mengindikasikan alkohol primer.

Gambar 15(c) menunjukkan spektra FTIR poli(butilen itakonat) 1 jam

dimana terdapat serapan medium dan melebar di sekitar 3449 dan 3433 cm -1 (uluran O-H). Ester tidak berikatan hidrogen satu sama lain tetapi bisa berikatan hidrogen dengan molekul air (Wiley, 2006), sehingga serapan di atas muncul bisa diasumsikan karena adanya ikatan hidrogen ester dengan air yang masih tersisa pada produk akhir. Serapan medium pada 2959 dan 2903 cm -1 (uluran C-H) dari

senyawa alifatik yang mengarah (uluran CH 2 sym dan asym), serapan tajam pada

1730 cm -1 (uluran C=O) yang menunjukkan terbentuknya gugus ester. Terbentuknya ester akan menggeser bilangan gelombang karbonil asam ke bilangan gelombang yang lebih besar dan sebaliknya terbentuknya ester akan memperkecil bilangan gelombang dari gugus (C-O) (Silverstein,1991). Serapan medium dan tajam pada 1637 cm -1 (uluran C=C) menunjukkan adanya gugus tidak jenuh, serapan ini juga terlihat adanya pergeseran bilangan gelombang ke

arah yang lebih besar. Serapan medium pada 1437 cm -1 (CH 2 tekuk). Pada gugus (

uluran C=O) terlihat lebih tajam dan kuat jika dibandingkan dengan gugus karboksilat pada itakonat murni, serapan kuat pada 18 dan 1152 cm -1 (uluran C- O) terlihat menggeser kearah bilangan gelombang yang lebih kecil. Serapan lemah

pada 738 cm -1 (rocking -CH 2 -) juga mengalami pergeseran bilangan gelombang.

Pergeseran bilangan gelombang menunjukkan terjadi reaksi kimia antara kedua monomer dan membentuk poli(butilen itakonat).

Gambar 12. Spektra FTIR (a) asam itakonat (b) 1,4 butanadiol, poli(butilen

itakonat) (c) 1 jam; (d) 1,5 jam; (e) 2 jam; (f) 2,5 jam dan (g) 3 jam Gambar 12(d) menunjukkan spektra FTIR poli(butilen itakonat) 1,5 jam

dimana terdapat serapan medium dan melebar di sekitar 3437 cm -1 (uluran O-H), serapan medium pada 2959 cm -1 (uluran C-H) dari senyawa alifatik yang

mengarah (uluran CH 2 sym dan asym), serapan tajam pada 1728 cm -1 ( uluran

C=O) yang menunjukkan terbentuknya gugus ester yang diperkuat dengan adanya serapan pada 18 dan 1151 cm -1 (uluran C-O), serapan medium pada 1639 cm -1 (uluran C=C) menunjukkan adanya gugus tidak jenuh dan serapan medium pada

1437 cm -1 (CH 2 tekuk). Terjadi pergeseran bilangan gelombang ( uluran C=O) ke

arah yang lebih kecil dimungkinkan karena adanya efek sterik gugus tak jenuh yang bergeser ke arah bilangan gelombang yang lebih besar. Serapan lemah pada

738 cm -1 (rocking -CH 2 -).

Gambar 12(e) menunjukkan spektra FTIR poli(butilen itakonat) 2 jam dimana terdapat serapan medium tetapi melebar di sekitar 3530 dan 3454 cm -1 (uluran O-H) terlihat adanya pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih besar tetapi intensitas dari gugus tersebut berkurang jika dibandingkan dengan poli(butilen itakonat) 1 dan 1,5 jam hal itu menunjukkan berkurangnya ikatan hidrogen dengan air yang merupakan hasil samping dari reaksi. Serapan medium pada 2959 dan 2901 cm -1 (uluran C-H) dari senyawa alifatik yang mengarah

(uluran CH 2 sym dan asym) bilangan gelombang tidak mengalami pergeseran

tetapi intensitas dari gugus meningkat. Serapan tajam pada 1732 cm -1 ( uluran C=O) yang menunjukkan terbentuknya gugus ester yang diperkuat dengan adanya serapan medium pada 18 dan 1151 cm -1 (uluran C-O), serapan medium pada 1639 cm -1 (uluran C=C) menunjukkan adanya gugus tidak jenuh, tidak terjadi pergeseran bilangan gelombang tetapi intensitas dari gugus meningkat dan

serapan medium pada 1465,1450 dan 1421 cm -1 (CH 2 tekuk). Serapan lemah pada 741 cm -1 (rocking -CH 2 -) terlihat adanya peningkatan intensitas ketajaman jika dibandingkan dengan poliester sebelumnya. Gambar 12(f) menunjukkan spektra FT-IR poli(butilen itakonat) 2,5 jam dimana terdapat serapan lemah dan melebar pada daerah sekitar 3530, 3508 dan 3452 cm -1 (uluran O-H) terlihat adanya penurunan intensitas gugus dibandingkan dengan poliester sebelumnya menunjukkan air semakin berkurang dalam produk. Serapan medium pada 2959 dan 2901 cm -1 (uluran C-H) dari senyawa alifatik

yang mengarah (uluran CH 2 sym dan asym) bilangan gelombang tidak mengalami

pergeseran tetapi intensitas dari gugus meningkat. Serapan tajam pada 1728 dan 1717 cm -1 ( uluran C=O) yang menunjukkan terbentuknya gugus ester, serapan pergeseran tetapi intensitas dari gugus meningkat. Serapan tajam pada 1728 dan 1717 cm -1 ( uluran C=O) yang menunjukkan terbentuknya gugus ester, serapan

(CH 2 tekuk) dan serapan lemah pada 741 cm -1 (rocking -CH 2 -).

Gambar 12(g) menunjukkan spektra FT-IR poli(butilen itakonat) 3 jam dimana terdapat serapan lemah dan melebar pada daerah sekitar 3539, 3522 dan 3458 cm -1 . Serapan medium pada 2959, 2901 dan 2858 cm -1 (uluran C-H) dari

senyawa alifatik yang mengarah (uluran CH 2 sym dan asym) bilangan gelombang

tidak mengalami pergeseran tetapi intensitas dari gugus meningkat. Serapan tajam pada 1728 dan 1717 cm -1 ( uluran C=O) yang menunjukkan terbentuknya gugus ester, serapan medium pada 1639 cm -1 (uluran C=C) menunjukkan adanya gugus

tidak jenuh, serapan medium pada 1467,1450 dan 1421 cm -1 (CH 2 tekuk), serapan

medium pada 18 dan 1151 cm -1 (uluran C-O) terlihat adanya peningkatan intensitas ketajaman gugus dibandingkan dengan poliester sebelumnya dan

serapan lemah pada 742 cm -1 (rocking -CH 2 -).

Gambar 13(a) menunjukkan spektra FTIR poli(butilen itakonat) 3 jam yang sudah dibahas sebelumnya. Gambar 13(b) menunjukkan spektra FTIR DVB dimana terdapat serapan tajam di sekitar 3087 cm -1 (C-H aromatik), serapan lemah dan tajam pada 3008 cm -1 (C-H vinil), serapan tajam pada 1627 cm -1 ( uluran C=C), serapan tajam di sekitar 995-619 cm -1 menunjukkan adanya gugus aromatik dan serapan tajam pada 1597 cm -1 (C=C aromatik terkonjugasi). Gambar 13(c) menunjukkan spektra FTIR poli(butilen itakonat) dengan DVB 10% dimana terdapat serapan medium dan melebar pada 3445 cm -1 (Uluran O-H) terlihat adanya pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan poli(butilen itakonat) 3 jam. Adapun serapan gugus OH pada kopolimer dihasilkan oleh gugus OH pada ujung rantai, dimana pada setiap rantai kopolimer terdapat dua gugus OH (Hasan, 2005), serapan lemah pada 3109 cm -1 (C-H aromatik), serapan medium pada 2961 cm -1 (uluran C-H) yang mengarah

(uluran CH 2 sym dan asym) dari senyawa alifatik terjadi kenaikan bilangan

gelombang, serapan tajam pada 1734 cm -1 (uluran C=O) terlihat mengalami gelombang, serapan tajam pada 1734 cm -1 (uluran C=O) terlihat mengalami

Gambar 13. Spektra FTIR (a) poli(butilen itakonat) 3 jam; (b) DVB; poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB (c) 10%; (d) 15%; (e) 20% ; (f) 25%.

Gambar 13(d), 13(e) dan 13(f) terdapat serapan medium dan melebar yang menunjukkan (uluran O-H) terlihat adanya pergeseran bilangan gelombang dan penurunan intensitas, spektra terlihat semakin melebar yang menunjukkan ikatan hidrogennya berkurang. Perubahan spektra diatas tidak terlihat jelas yang menunjukkan terjadinya proses blending secara fisika.

2. Viskositas Intrinsik

Viskositas intrinsik dari poli(butilen itakonat) dicari dengan cara spesifik/[ poli(butilen itakonat)] sebagai sumbu y dan konsentrasi

sebagai sumbu x. Viskositas intrinsik paling bermanfaat dan mudah dipakai karena bisa dihubungkan ke berat molekul. Viskositas intrinsik diperoleh dari nilai intercept yang ditunjukkan Gambar 14. Viskositas intrinsik poli(butilen itakonat) 1 jam; 1,5 jam; 2 jam; 2,5 jam dan 3 jam masing-masing sebesar 0,102 dL/g; 0,118 dL/g; 0,081 dL/g; 0,057 dL/g dan 0,147 dL/g. Gambar 14 menunjukkan bahwa semakin lama waktu polimerisasi maka semakin tinggi nilai viskositas intrinsik tetapi ada penyimpangan pada data 2 jam dan 2,5 jam yang mengalami penurunan. Penurunan viskositas intrinsik ini disebabkan salah satunya oleh faktor percabangan. Suatu polimer yang lebih bercabang, volume hidrodinamiknya akan menjadi lebih rendah dan tingkat pembelitannya lebih rendah pada suatu berat molekul tertentu. Oleh karena itu, bisa dibuat observasi umum bahwa viskositas lebih tinggi pada polimer-polimer linier daripada polimer-polimer bercabang pada suatu laju geser dan berat molekul tertentu. Faktor yang mempengarui aliran selain percabangan yaitu solvasi molekul- molekul polimer dan hadirnya rangkaian alternasi atau blok dalam rangka polimer (Sopyan, 2001). Proses pengadukan yang kurang sempurna selama polimerisasi juga dapat mempengaruhi penurunan laju dan bobot molekul hal itu disebabkan adanya pengurangan mobilitas ujung-ujung rantai yang reaktif akibatnya pengeluaran produk samping menjadi sulit (Lukmana, 2007). Data waktu alir dan perhitungan ada pada Lampiran 3.

Gambar 14. Grafik viskositas intrinsik poli(butilen itakonat)

3. Bilangan Asam

Bilangan asam merupakan sebuah ukuran jumlah asam yang ada pada polimer yang ditentukan melalui metode titrimetri yang dapat diketahui dari milligram KOH/NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan 1 g sampel menggunakan indikator fenoftalein (Mohammadnia, 2012). Bilangan asam adalah konsentrasi total kelompok karboksilat. Penurunan bilangan asam berhubungan dengan hilangnya kelompok karboksilat dari sisa asam itakonat. Kemungkinan interaksi intramolekuler ketika monomer tergabung dalam pertumbuhan rantai polimer (Larez, 2002). Tujuan umum dari resin poliester tak jenuh adalah dikondensasi untuk mendapatkan bilangan asam sekitar 50 mg/ g resin ( Fink, 2005). Data bilangan asam dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 15. Grafik t sintesis vs Bilangan Asam

Gambar 15 menunjukkan bilangan asam yang semakin lama waktu sintesisnya semakin terjadi penurunan. Hal ini menandakan bahwa semakin lama waktu sintesis reaksinya menjadi semakin sempurna. Bilangan asam berpengaruh terhadap produk akhir dari poliester, polimer yang mengandung bilangan asam tinggi akan berpengaruh terhadap sifat fisiknya yaitu akan menjadikan polimer tersebut rapuh. Pengukuran bilangan asam hanya dilakukan pada poliester awal yaitu poliester asam itakonat dengan 1,4 butanadiol. Hal ini disebabkan karena penentuan bilangan asam menurut Marengo et al. (2004) sampel dilarutkan pada campuran n-butanol/toluen dengan perbandingan 1:1, tetapi dalam penelitian ini memakai etanol/toluen 1:1. Sampel poliester dengan DVB sudah tidak bisa larut pada pelarut tersebut yang disebabkan sudah terbentuk ikatan silang dengan DVB, sehingga tidak dilakukan uji penentuan bilangan asam.

4. Analisis Termal Menggunakan TG-DTA Uji termal dengan menggunakan TG-DTA dilakukan pada sampel poli(butilen itakonat) 1 jam, 2 jam, 3 jam dan poli(butilen itakonat) dengan DVB

(10, 15, 20 dan 25% b/b). Sampel dipanaskan dari suhu 30 0 C sampai suhu 600 o C pada atmosfer nitrogen dengan aliran gas 50 ml/menit.

a. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 1 jam Berdasarkan termogram TG-DTA (Gambar 16), secara umum diperoleh 3 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi, yaitu: suhu antara 30-205 ºC (kurva miring I), suhu antara 205-420 ºC (kurva miring II) dan suhu antara 420-600 ºC (kurva miring III).

Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 3 % secara endotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi pelelehan. Pada kurva miring II menunjukkan gugus ester dari poli(butilen itakonat) mengalami degradasi melalui dekomposisi rantai polimer secara endotermis. Pada tahap ini poliester mengalami transisi pelelehan. Gambar 17. Menggambarkan terjadinya pemutusan rantai ester melalui transfer (+H) ke atom oksigen, yang merupakan hasil dari esterifikasi dengan 1,4 butanadiol dan menghasilkan asam karboksilat serta alkena (Brioude, 2007). Pada kurva III menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 9 % melalui degradasi rantai secara menyeluruh .

Gambar16. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 1 jam

Gambar 17. Mekanisme dekomposisi poli(butilen itakonat)

b. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 2 jam Berdasarkan termogram TG-DTA (Gambar 18), secara umum diperoleh 3 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi, yaitu: suhu antara 30-197 ºC (kurva miring I), suhu antara 197-394 ºC (kurva miring II) dan suhu antara 394-600 ºC (kurva miring III).

Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 4 % secara endotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi pelelehan. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi rantai poli(butilen itakonat) melalui dekomposisi secara eksotermis. Kurva miring III menunjukkan penurunan berat sebesar 13 % melalui degradasi rantai poli(butilen itakonat) secara menyeluruh.

Gambar 18. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 2 jam

c. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam Berdasarkan termogram TG-DTA (Gambar 19), secara umum diperoleh 3 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi,

yaitu: suhu antara 30-238 0 C (kurva miring I), suhu antara 238-423 ºC (kurva miring II) dan suhu antara 423-600 ºC (kurva miring III).

Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 3 % secara endotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi pelelehan. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi gugus ester pada rantai poli(butilen itakonat) melalui dekomposisi secara eksotermis. Kurva miring III menunjukkan penurunan berat sebesar 9 % melalui degradasi rantai poli(butilen itakonat) secara menyeluruh.

Gambar 19. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam

Sifat termal poli(butilen itakonat) ditunjukkan pada tabel 2 dan kurva gabungan TG pada Gambar 20. Pada kurva dan tabel terlihat adanya perbedaan stabilitas panas, waktu polimerisasi 3 jam menunjukkan stabilitas panas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang lain. Namun pada waktu polimerisasi

2 jam menunjukkan stabilitas panas yang sedikit rendah hal ini menunjukkan adanya efek panjang rantai dan pola polimer. Semakin panjang dan rigid rantai polimer maka stabilitas panasnya semakin tinggi (Worzakowska, 2012; Worzakowska, 2009).

Degradasi poli(butilen itakonat) 1, 2 dan 3 jam paling tinggi masing-masing terjadi pada suhu 208-415 0 C; 206-394 0 C; 227-417 0 C, pada tahap ini terjadi

penurunan berat masing-masing sebesar 76 %; 70 % dan 75 %. Penurunan berat ini menunjukkan bahwa perbedaan waktu polimerisasi berpengaruh sedikit terhadap stabilitas panas poli(butilen itakonat).

Tabel 2. Sifat termal poli(butilen itakonat) t polimerisasi/

T maks 1 /

T maks 2 /

Gambar 20. Kurva TG poli(butilen itakonat) (a) 1 jam; (b) 2 jam; (c) 3 jam.

d. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 10% Berdasarkan termogram TGA dan DTA (Gambar 21), secara umum diperoleh 4 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi, yaitu: suhu 30-213 ºC (kurva miring I), suhu antara 213-331 ºC (kurva miring II), suhu antara 331-431 ºC (kurva miring III) dan suhu antara 431 ºC-600 o

C (IV). Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 4 % secara

eksotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi

Gambar 21. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 10%

e. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 15% Berdasarkan termogram TGA dan DTA (Gambar 22), secara umum diperoleh 4 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi, yaitu: suhu 30-201 ºC (kurva miring I), suhu antara 201-327 ºC (kurva miring II), suhu antara 327-413 ºC (kurva miring III) dan suhu di atas 413- 600 o

C (IV). Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 3 % secara

eksotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi rantai poli(butilen itakonat) melalui dekomposisi karboksil secara eksotermis. Kurva miring III menunjukkan degradasi gugus ester pada rantai H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi rantai poli(butilen itakonat) melalui dekomposisi karboksil secara eksotermis. Kurva miring III menunjukkan degradasi gugus ester pada rantai

Gambar 22. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 15%

f. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 20% Berdasarkan termogram TGA dan DTA (Gambar 23), secara umum diperoleh 4 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi, yaitu: suhu 30-212 ºC (kurva miring I), suhu antara 212-380 ºC (kurva miring II), suhu antara 380-447 ºC (kurva miring III) dan suhu di atas 447- 600 o

C (IV). Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 4 % secara

eksotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi karboksil pada rantai poli(butilen itakonat) melalui dekomposisi secara eksotermis. Kurva miring III menunjukkan degradasi gugus ester pada rantai H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi karboksil pada rantai poli(butilen itakonat) melalui dekomposisi secara eksotermis. Kurva miring III menunjukkan degradasi gugus ester pada rantai

Gambar 23. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 20%

g. Uji TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 25% Berdasarkan termogram TGA dan DTA (Gambar 24), secara umum diperoleh 3 perubahan kurva yang menunjukkan adanya perubahan massa dan panas reaksi, yaitu: suhu 30-232 ºC (kurva miring I), suhu antara 233-424 ºC (kurva miring II) dan suhu antara 424-600 ºC (kurva miring III).

Kurva miring I menunjukkan terjadi penurunan berat sebesar 3 % secara eksotermis. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika dan kimia berupa pelepasan

H 2 O serta mengalami transisi kristal. Kurva miring II menunjukkan terjadi degradasi melalui dekomposisi rantai poli(butilen itakonat). Kurva miring III menunjukkan degradasi gugus ester pada rantai poli(butilen itakonat) dengan DVB secara eksotermis.

Gambar 24. Kurva TG-DTA poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB 25%

Sifat termal poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB ditunjukkan pada tabel 3 dan kurva gabungan TG pada Gambar 25. Pada kurva dan tabel terlihat adanya sedikit perbedaan stabilitas panas, DVB 25 % menunjukkan stabilitas panas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang lain. Meningkatnya % DVB mengakibatkan meningkatnya nilai T maks 1 dan T maks 2 (Worzakowska, 2012; Worzakowska, 2009). Penambahan DVB juga mengakibatkan perbedaan nilai T 5 % , T

10 % dan T

50 % yang lebih meningkat jika dibandingkan dengan poli(butilen

itakonat) 3 jam. Stabilitas panas lebih tinggi bisa disebabkan oleh struktur rantai polimer yang lebih rigid, derajat sambung silang yang tinggi dan rantai semakin panjang (Worzakowska, 2012; Worzakowska, 2009).

Tabel 3. Sifat termal poli(butilen itakonat) 3 jam dengan DVB

T maks 1 /

T maks 2 /

Gambar 25. Kurva TG (a) poli(butilen itakonat) 3 jam; poli(butilen itakonat) 3

jam dengan DVB (b) 10 % ; (c) 15 % ; (d) 20; (e) 25 %

Kemiripan kurva TG-DTA diatas bisa disebabkan oleh proses ikat silang menggunakan metode ruah (bulk) yang memiliki kekurangan dalam hal distribusi senyawa yang kurang merata dan proses yang terlalu eksotermis serta proses yang secara radikal sehingga distribusi DVB akan acak dan sulit terkontrol, tetapi proses ini memberikan keuntungan yaitu proses yang lebih ramah lingkungan karena tanpa menggunakan pelarut dan didapat produk yang relatif murni.