TAFSIRAN ATAS RITUAL “SOLSOLAN” DALAM UPACARA TUGABULANAN

9 Masyarakat yang sudah mengenal maknanya itu dapat saja tidak menghadirkan hewan tersebut, dan menggenatinya dengan nasihat-nasihat secara oral saat melaksanakan upacara. Perubahan sosial di Bali ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran kritis seperti ini. Pemikiran modern akan mampu menerima pengalaman baru dan keterbukaan terhadap inovasi Sztompka, 2007 : 89 Dengan demikian pencarian makna ini mempunyai manfaat besar, bukan saja memberikan informasi pengetahuan kepada masyarakat tetapi juga memungkinkan untuk meringkas kompleksitas upacara dan menyederhanakan ritual serta menekan biaya.

4. TAFSIRAN ATAS RITUAL “SOLSOLAN” DALAM UPACARA TUGABULANAN

Upacara tiga bulanan telubulanan merupakan acara yang pasti dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali terhadap balita yang baru lahir. Upacara seperti ini dilakukan baik oleh masyarakat Hindu yang ada di Pulau Bali bagian utara, tengah , selatan maupun timur. Dalam prosesinya tersebut, pihak yang menjalankan bisa pendeta atau pemangku yang dipercaya dapat melaksanakan upacara tersebut. Salah satu rangkaian acara menarik dalam ritual itu adalah solsolan. Masyarakat di Kabupaten Tabanan, terutama di wilayah Kecamatan Kerambitan, menamakan prosesi tersebut dengan solsolan. Arti kata ini adalah menempel secara ketat, atau mencari-cari tempat yang tepat. Dalam ritual tersebut, dipakai tiga hewan yang sudah akrab dengan masyarakat dan menjadi binatang peliharaan yang diternakkan, yaitu ayam, bebek dan babi. Ketiga hewan ini didekatkan kepada bayi yang telah diupacarai, sehingga seolah-olah menempel. Inilah yang disebut dengan solsolan. Akan tetapi, ritual seperti ini hanya berupa ritual belaka dan dipandang dipakai sebagai atraksi belaka, tanpa mengetahui makna yang sesungguhnya sehingga pesan tersebut hilang. Geertz sempat mengatakan bahwa antara rakyat dan raja mempunyai perbedaan sikap terhadap ritual. Bagi raja seolah asyik dengan ekspresi ritual, sedangkan pelaksanaan itu dilaksanakan oleh rakyat Nordholt, 2009: 9. Atau kalaupun ada kelompok masyarakat yang mencoba mengungkapkannya, dikatakan dalam konteks yang salah. Misalnya dengan mengatakan agar sang bayi kelak dapat makmur dalam kehidupannya dengan memiliki peternakan itik, ayam atau babi seperti halnya ternak yang dimiliki oleh masyarakat Bali tradisionil di masa lalu. Meskipun hal tersebut tidak terlalu keliru, akan tetapi terjadi keputusan makna dari perilaku yang diperlihatkan hewan-hewan tersebut yang diupayakan dapat menular kepada perilaku balita bersangkutan setelah dewasa. Bahkan, sebagian masyarakat yang kritis, mulai menyuarakan 10 sikap bahaya dengan upacara solsolan tersebut, terutama yang berkaitan dengan penyakit flu burung. Unggas yang disertakan pada ritual tersebut, yaitu ayam dan itik, merupakan hewan pembawa penyakit membahayakan tersebut, yang kalu tidak hati-hati mememegang dan mendekatkannya kepada anak, akan dapat menularkan penyakit flu burung yang membahayakan ini. 4.1 Tafsiran atas perilaku ayam Pada masyarakat Bali masa lalu, ayam merupakan peliharaan yang sudah pasti ada dalam kehidupan sosial. Hewan ini tidak saja menjadi penopang perekonomian rumah tangga tetapi juga menjadi sumber protein bagi masyarakat, dan tentu saja sebagai bahan ritual. Tidak saja di pegunungan, di pedesaan di Bali, bahkan sebagian juga di wilayah perkotaan, masyarakat Bali masih memelihara ayam secara tradisionil. Artinya mereka memelihara ayam tersebut secara bebas berkeliaran. Perubahan pola pemeliharaan itu terlihat pada masyarakat yang melibatkan peternakan ini sebagai sebuah insutri rumah tangga. Akan tetapi, ayam yang digunakan bukan merupakan ayam kampong, dalam pengertian ayam bali tradisional. Perilaku ayam tradisionil, seperti yang terlihat sesungguhnya merupakan perilaku arif, pekerja keras, memberikan perlindungan dan bimbingan kepada anak-anaknya serta tanggung jawab keterikatan kepada asal muasal. Ayam juga mudah sekali menyesuaikan diri dengan lingkungan dimanapun berada. Ada banyak hal yang dapat ditafsirkan dari perilaku ayam ini. Dalam konteks pemeliharaan anak, ayam akan berjalan paling belakang dan membiarkan anak- anaknya di depan untuk mencari makan. Ketika sang induk mendapat makanan, maka induk ayam tidak akan memakan makanan yang didapatkan, tetapi memanggil anak-anaknya yang masih kecil untuk datang. Sering juga terlihat kalau sang induk tidak akan memberikan monopoli terhadap makanan yang didapatkan, dan akan memarahi anak yang mencoba menghegemoni makanan tersebut. Fenomena ini menandakan bahwa ayam benar-benar memberikan perlindungan kepada anak-anaknya, memberikan rasa keadilan dan mendahulukan kebutuhan sang anak dari pada induknya. Jelas sang induklah yang mencarikan arah untuk mendapatkan makanan tersebut. Dalam konteks kemandirian, dalam hitungan satu bulan, atau setelah mulai membesar, anak ayam ini akan disampih oleh induknya secara keras dengan cara mengusir dari dekat bentingin, dalam bahasa Bali. Tidak akan diberikan kesempatan untuk meminta makanan lagi 11 dari induknya dan diusir menjauh dari induk. Ini menandakan bahwa ayam telah mendorong dan memaksa kemadirian kepada anak-anaknya yang sudah dipandang besar. Ketika induk ayam ini telah mempunyai anak lagi, tidak akan diberikan kesempatan sedikitpun untuk mendekati induk dan mengganggu adik-adiknya lagi. Ini adalah bentuk kemandirian yang tercermin dari kehidupan ayam. Pada saat mencari makanan, ayam kampung yang hidupnya bebas itu akan bergerak bebas. Terutama pada lingkungan yang masih bebas dan luas, terutama terlihat di pedesaan di pedalaman dan pegunungan, jangkauan pencarian makanan dari ayam ini cukup luas dan jauh. Pola pencarian makanan ini konnstan, dan berangkat pagi pulang sore, baik secara mandiri maupun dengan anak-anaknya. Meskipun mencari makanan dalam jarak yang jauh, akan tetapi ayam selalu kembali ke kandangnya di rumah pemiliknya dan mencari kandang atau sarangnya secar tepat di sore hari. Dan begitu akan berulang lagi pada keesokan harinya. Perilaku ini merefleksikan kesetiaan, konsistensi dan kerja keras. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ayam akan mencari makanan di siang hari, di saat matanya masih mampu melihat dan badannya dapat digerakkan. Kerja keras itu diwujdukan dengan berjalan jauh dari sarang dan rumah pemiliknya, meskipun harus mengajak anak-anaknya. Demi mempertahankan kehidupan tersebut, ayam harus mencari makan secara mandiri, juga demi tugas tanggung jawab dalam menghidupi anak-anak. Bahkan ayam yang jantan pun kelihatan juga akan mengiringi ayam betina untuk mencari makanan ini. Demikian terus dilakukan, sepanjang hidup dan sepanjang badannya masih sehat, ayam akan terus-terusan secara mandiri mencari makan untuk menghidupi dirinya. Meski ayam melakukan pencarian makanan tersebut jauh dari kandang dan sarang dari rumah induknya, ayam pasti akan kembali pada sore harinya tepat ke kandang yang menjadi haknya sendiri. Artinya mereka akan mencari tempat tidur semula, seperti sedia kala tanpa berusaha merebut milik ayam yang lain. Ayam memperlihatkan bentuk kesetiaan kepada tempat tinggal, ingat dengan asal muasalnya, dan tidak merebut hak milik pihak lain. Tentu ayam juga tidak akan memilih-milih tempat untuk mencari makananan demi mempertahankan hidupnya. Ia akan datang ke tempat yang dipandang besrih maupun kotor, akan tetapi sebagai bahan manakan, ayam akan selalu mencari makanan yangbermanfaat dan dapat digunakan oleh tubuhnya. Ini artinya ia mempunyai kemampuan untuk menyaring makanan-makanan yang baik dan bemanfaat bagi tubuhnya. Tentu saja ini dimaksudkan untuk makanan yang sifatnya tradisional, bukan modern yang bisa mengandung racun. 12 4. 2. Tafsiran atas Perilaku Bebek Pada umumnya, bebek merupakan hewan yang dipandang mampu berenang diatas air yang kondisinya beraneka ragam. Artinya hewan ini dapat berenang di air yang kotor muupun bersih. Akan tetapi, meskipun berenang di atas air dalam kondisi demikian, bebek tetap dapat mencari makan, meaning makanannya yang beeguna untuk tubuh kehidupan. Bebekpun, akan menenggelamkan paruhnya sampai jauh ke dalam air yang bersih maupun kotor dan juga memasukkan paruhnya ke dalam tanah yang kotor untuk mencari makanan, dan mempunyai kemampuan menyaring makanan yang menguntungkan dan berguna bagi tubuhnya. Dalam keadaan bagaimanapun, paruh bebek akann mencoba mencari makanan tersebut dengan menenggelamkannya ke dalam tanah. Dalam hal lain, walaupun bebek mencari makanan di tanah berair, kotor dan sbagainya itu, ia mampu memelihara tubuhnya secara bersih, tidak dipengaruhi oleh sifat kondisi tanah dimana ia mencari makanan. Bebek adalah hewan yang dipelihara secara berkelompok. Pada masyarakat Bali tradisional, bebekk menjadi salah satu peternakan yang menguntungkan. Yang membuat bebek menjadi pilihan sebagai hewan yang dipelihara adalah karena mudahnya mengatur kehidupannya. Hewan ini mudah diarahkan, mengikuti jalur yang telah ditentukan oleh pengasuhnya dan tidak mudah lepas dari rombongan. Inilah yang membuat pemelihara bebek mudah mengatur ratusan ekor, kendatipun berjalan di tempat yang ramai. Mereka akan menurut ketika dibimbing dengan menggunakan kayu atau bambu yang tidak terlalu panjang, juga di jalan-jalan yang lokasinya sulit. Bagaimanapun lokasi jalan yang dilalui, bebek akan dapat menempuhnya sesuai dengan bimbingan dan arahan yang dilakukan oleh peternak. Bebek betina yang sudah dewasa, setiap hari akan menghasilkan telor sehinga tidak saja dapat membantu meningkatkan gizi masyarakat tetapi menjadi penghasilan bagi pemeliharanya. Bahkan mampu menjad penghasilan tetap bagi para pemeliharanya. 4.3 Tafsiran atas Perilaku dan Kehidupan Babi Babi merupakan salah satu binatang ternak yang menjadi peliharaan masyarakat Bali tradisional Bali Kuno, disamping bebek, sapi, dan ayam. Dalam gambar-gambar lama yang ada di berbagai buku yang menggambarkan sejarah Bali, baik di jual di pasar dengan dipangsku oleh 13 penjualnya. Ini menandakan bahwa babi mempunyai kedekatan fungsional khusus dengan masyarakat Bali. Ia menjadi salah satu topangan kehidupan sosial di Bali, yang tidak saja dapat dimanfaatkan dagingnya untuk menambah gizi masyarakat tetapi menjadi cadangan tabungan bagi masyarakat. Babi dapat dijual sewaktu-waktu, baik ketika ia masih dalam keadaan bayi maupun dan apalagi setelah besar. Masyarakat Bali di masa lalu, memelihara babi dengan tiga cara. Memelihara dengan mengikatnya dan ditaruh di bagian belakang rumah, mengandangkannya, dengan berbagai ukuran kandang. Serta membiarkannya terlepas. Babi yang dipelihara secara terlepas ini sering berkeliaran, dan mengganggu lingkungan rumah tangga lain. Akan tetapi babi yang dipelihara secara terlepas ini, kemudian mirip dengan pola kehidupan babi liar di hutan, yaitu pergi jauh mencari makanan bersama romobongan anaknya, dan kemudian kembali menuju sarang dimana ia biasa tidur malam. Hampir sama dengan cara hidup ayam, babi akan mencari makanan dengan mulutnya, membenamkan mulut ke tanah-tanah lembek ngelumbih: bahasa Bali, dan kemudian berhasil menemukan makanan. Ia juga mengajakk anak-anaknya ikut mencari makanan dan memberikan prioritas bagi anak-anaknya untuk makan terlebih dahulu.

5. PEMAKNAAN DAN PESAN KE DALAM KEHIDUPAN SOSIAL