Buku Kumpulan Resensi RIUH.pdf
Untuk: ARENA, tempat main yang ada-ada saja Nuun Junior, sepeda yang banyak menanggung sejarah jalan
Mengantar…
Buku saku sederhana ini berisi kumpulan resensi yang berjumlah sepuluh. Resensi tidak hanya mengupas tentang buku atau film saja, tetapi juga pameran lukisan, album musik, pentas musik, dan yang belum kesampaian adalah teater. Semua resensi telah diterbitkan di website lpmarena.com sebagai bentuk apresiasi, kritik, dan celoteh saya pada karya-karya yang saya temui, yang rasanya begitu kompleks. Akan pesan, rasa, pikiran, dan semiotika yang terkandung. Semoga bermanfaat.
Daftar Isi: 1
Papua: Yang Berdaya dalam Ratapan 2. RIUH. Pesta Pora Khaos.
Renovasi Tragis di ―Balada Joni dan Susi‖ Melancholic Bitch 5. Tergantung Bunyi, Tergantung Harik 6. Proyek Abadi Lapar 7. Sastra dan Kemanusiaan ala Pramis 8. Pemberontakan Kaum Budak di Negeri Budak 9. Reklame Tanah Surga 10.
Girl Rising: Narasi Ketertindasan Perempuan di Sembilan Negara
Tentang Penulis:
Isma Swastiningrum lahir di Blora, 21 Maret 1993. Bisa dihubungi via e-mail: atau blog pilea-eureka.blogspot.com.
Papua: Yang Berdaya dalam Ratapan
Dosa kolektif, ini impresi yang ada di benak saya ketika berbicara tentang cacat-cacat kemanusiaan. Di suatu tempat, orang-orang dibunuh, orang-orang dibantai, orang-orang ditembak, orang-orang disiksa tanpa dia tahu dosanya apa. Kekuasaan, ideologi, kekayaan bin keserakahan, selalu menjadi biang keladi atau justru kambing hitam. Semisal, di masa Orde Baru, militer melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang mengancam kuasa Soeharto. Dalam kasus ‘65 ribuan orang dibantai untuk berdirinya satu idelogi tertentu. Lalu hingga sekarang, kekayaan alam Papua mengakibatkan malapetaka untuk rakyat Papua sendiri. Rapot merah HAM tersebut adalah dosa kemanusiaan. Jika kita mengaku sama-sama manusia, itu adalah dosa kita. Dus masalah universal kita bersama.
Tak khayal, di sudut luka kemanusiaan, ia melahirkan suatu ratapan. Dalam Bahasa Sentani, Papua, ratapan diungkapkan sebagai remahili (dari asal riemahili). Tradisi remahili biasa dilakukan orang Sentani ketika ada handai taulan atau keluarga yang meninggal. Orang yang ditinggal pergi meratap dengan cara yang khas. Ada yang bersenandung, menyanyi , bahkan sambil menari hanya untuk menggambarkan kesedihan saat ditinggal seseorang yang dicintai. Sebagai ungkapan komplikasi: kenapa kamu pergi?
Nilai-nilai kemanusiaan dalam ratapan inilah yang coba digali oleh dua perupa Papua, Ignasius Dicky Takndare dan Albertho Wanma dalam pameran seni rupa bertajuk
REMAHILI. Dicky dan Bertho merupakan mahasiswa jurusan Seni Rupa Murni ISI
Yogyakarta angkatan 2006 dan 2012. Pemeran yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta/BBY dari tanggal 15-23 Oktober 2016, menghadirkan sekitar 17 karya yang terdiri dari lukisan dan karya-karya instalasi. Hanya saja, pameran ini tidak secara spesifik berbicara tentang ratapan. Namun, Dicky dan Bertho memberi makna baru bukan ratapan secara individu, melainkan mengenai ratapan keadaan sosial yang ada di Papua.
Dicky, ketika saya wawancara pada Senin (17/10) di BBY, mengaku isu-isu yang ia sampaikan bukanlah isu-isu politik seperti yang tengah berkembang di Papua saat ini, tetapi isu yang ingin ia dan Bertho sampaikan adalah isu tentang budaya dan manusia. ―Tentang masalah HAM PAPUA telah banyak data. Kamu harus tahu masalah Papua sebelum menulis. Cari masalah antara Papua dengan pribumi dan Papua kami rakyat,‖ begitu pesan Dicky mengingatkan saya.
HAM menjadi masalah serius di Papua. Kompleksitas masalah itu Dicky dan Bertho rangkum dalam lukisan berjudul DOM #4, DOM #2, Tanpa Nama, The Silent Voice,
Meangge Phuyakha Tears, Silent Target 2, Besokhate, Romamun, dan Na Ko Mar. Lukisan-
lukisan ini menggambarkan orang-orang Papua yang dikawat wajahnya, dijahit bibirnya, dipenjara otaknya, dijadikan target sasaran perluru, hingga ditinggal mati di jalan. Bahwa ketika ada orang yang dibunuh, tidak peduli dia tentara atau orang biasa ia adalah manusia yang memiliki hak asasi untuk hidup.
HAM di atas tak lepas dari betapa kayanya Papua. Bertho coba menggambarkan itu dalam karya berjudul Romamun. Secara keseluruhan Romamun membentuk peluru. Karya ini dibuat dari tiga elemen, yakni batu, kayu, dan tembaga yang menggambarkan betapa kayanya Papua. Romamun sendiri berarti segala sesuatu yang menancam. Misal, Papua memiliki kekayaan berupa emas, tembaga, sumber daya alam yang melambangkan kekayaan alam. Buat orang Papua, hasil ini justru ancaman (romamun) buat Papua.
Lalu, pengorbanan demi pengorbanan tercipta demi membela tanah kelahiran. Dicky seolah memberi jawaban dalam karya instalasi berjudul ―Papua Yaswar Au‖ yang berarti ―Papua aku mencintaimu‖. Karya ini menggambarkan seorang anak Papua yang disalib.
Sepintas orang mengartikan, karya ini ingin berbicara tentang ketuhanan, ternyata salah. Dicky ingin menjelaskan seharusnya anak Papua harus berani berbicara, berani mati, berani berkorban untuk Papua, seperti yang digambarkan oleh orang yang disalib tersebut. Dalam semiotika orang Romawi orang yang dihukum kemudian disalib, di atas salib akan diberi tulisan alasan kenapa dia disalib. Dalam instalasi ini, orang tersebut disalib karena ia sangat mencintai Papua! Salib sebagai simbol keberanian perlawanan sekaligus simbol cinta tentang betapa besarnya cinta seseorang untuk sesuatu yang ia perjuangkan, hingga dirinya bersedia disalib. Siapakah yang menyalib? Pemerintah mungkin bisa memberi jawaban.
Dua perupa ini mengkritik pula Papua yang memiliki banyak suku, saat ini mulai kehilangan ke-PAPUA-annya. Banyak orang yang secara tampilan Papua, tapi apakah benar dia itu orang Papua? Semisal dalam karya berjudul Ana ye Ana, Rum Mamun, dan Koboro-
Koboro Yae. Dalam lukisan Ana ye Ana yang singkatnya berarti ibu oh ibu digambarkan
seorang ibu dari Suku Dani, salah satu suku yang berasal dari daerah pegununggan Papua.Ibu tersebut dikepalanya tersampir tas plastik putih produksi salah satu mart terkenal sebagai ganti dari noken (tas tradisional Papua). Secara garis besar, Ana ye Ana berbicara mengenai tragedi, cinta, dan harapan.
Ana ye Ana menggambarkan seorang ibu dengan wajah berharap dan tangan seperti
orang berdoa. Jika diperhatikan dengan saksama, jari-jari kiri dari tangan ibu tersebut telah putus. Suku Dani memiliki tradisi remahili yang unik, ketika ada orang yang sangat dicintai meninggal, maka orang yang ditinggal mati akan memutus jari tangannya sebagai simbol cinta. Fenomena sekarang, kadang ketika masalah (semisal) kematian datang, orang tak hanya cukup melawan dengan kesedihan, bahkan juga dengan kekerasan.
Di Ana ye Ana, Dicky juga menyampaikan tentang bagaimana kantong plastik bisa menggantikan noken. Masyarakat yang dulunya merajut noken kini dengan mudahnya tergantikan dengan budaya cepat saji. Kondisi ini semakin tidak terkontrol tak hanya soal plastik saja, untuk kasus yang lebih luas, tradisi telah tergantikan oleh modernisasi. Kasus di Jawa semisal, Tari Gambyong mulai tergusur dengan Tari Korea Pop.
Orang butuh sesuatu yang sakral untuk menenangkan dirinya, tapi sekarang terganti dengan hal-hal profan. Yang paling menggejala ialah menjadi budak selfie! Seolah, dimanapun selfie menjadi ibadah wajib yang kemudian dibukukan dalam stellar, instagram, fesbuk, dan twitter. Dicky mengkritik keras ibadah selfie ini dalam karya instalasi berjudul
Look Inside You. Ada sebuah peti mati yang berisi bunga-bunga dan di tengahnya ada patung
Papua yang sedang selfie dengan ponselnya menggunakan tongsis. ―Banyak orang selfie, tapi tidak berefleksi terhadap dirinya sendiri,‖ tutur Dicky. Kebiasaan sering selfie Dicky kaitkan dengan segelintir orang Papua yang tidak begitu sadar dengan daerahnya. Selfie hanya semacam simbol.
Refleksi mendalam turut disumbangkan pula dalam instalasi berjudul Sebelum
Terlambat. Digambarkan ada banyak botol-botol miras yang terjajar, di dalamnya ada
patung-patung orang Papua. Menurut Dicky, instalasi ini sebenarnya belum selesai.Seharusnya ada infus yang dipasang di atas botol-botol miras tersebut, tetes-tetes infus itu turun tetes per tetes dan menenggelamkan patung. Miras mennggambarkan, sesuatu yang merusak, ia akan membunuh kita pelan-pelan.
―Di atasnya ada infus yang itu jatuh pelan-pelan, air mulai penuh dan penuh. Jadi sebenarnya pesan singkat. Totem itu penggambaran diri sendiri, saya, kamu atau keluaraga. Ketika dia jatuh pelan- pelan, dia akan mati. Seperti orang minum,‖ ujar Dicky.
Lalu, pendidikan menjadi salah satu jalur memperbaiki kondisi yang ada. Lewat karya ―Sampai Lidah Dasi‖ yang disimbolkan dengan tiga pancuran air, yang dari tiga itu, dua menyimpan buku-buku atau pengetahuan-pengetahuan, Remahili seperti mengajak kita pada sebuah jalan aliran pengetahuan bagi rakyat Papua.
Poskrip
Kegelisahan akan Papua seharusnya menjadi kegelisahan orang Indonesia dimanapun dia tinggal. Kondisi Papua yang saat ini sangat tertutup dari media memunculkan banyak berita dan opini yang tidak bertanggung jawab dan menganalisanya dengan sudut pandang yang serampangan. Remahili menjadi satu alternatif yang elegan. Orang bisa memberi makna simbol dalam pameran tidak sekedar pada tataran fungsinya saja, tapi juga sebagai penyampai pesan yang esensisial, Papua adalah kita.
Judul Pameran REMAHILI
│ Perupa Ignasius Dicky Takndare dan Albertho Wanma │Tempat Penayangan Bentara Budaya Yogyakarta │ Penayangan 15-23 Oktober 2016 │
13.00-21.00 WIB
Jam Buka
Isma Swastiningrum, penulis saat SMP jatuh cinta dengan Papua setelah menonton film
berjudul ―Denias, Sendandung Di Atas Awan‖. Film itu amat sangat memukul dirinya,
hingga menciptakan mimpi yang mengganggu alam bawah sadar dia: ingin menjadi guru di
pedalaman.(Diterbitkan
RIUH. Pesta Pora Khaos.
―Jika kau jatuh dan seorang merangkulmu, mengatakan: ‗ambil hikmahnya‘, ludahi saja
dia.‖ Bodhi.Keriuhan selalu punya banyak tepi: kesepian, kesendirian, kemuakan, hingga nihilisme. Riuh semacam kondisi porak poranda makna yang tak henti-hentinya digali atau dibinasakan. Konsep inilah yang setidaknya tersirat dalam Pameran Tunggal Izyudin Abdussalam bertajuk ―RIUH‖ di Asmara Art and Coffee Shop (ASCOS) Yogyakarta.
Izyudin yang kerap dipanggil Bodhi memamerkan sebanyak 37 karya, yang terdiri dari 20 karya baru dan 17 karya lama. Dibuatnya antara tahun 2015-2016 ini mencoba mematerialkan segenap keriuhan yang bersarang di kepala Bodhi. Otaknya yang begitu berisik yang kata dirinya sendiri nyaris mendekati gila.
Ke-37 karya lukis tersebut sebagain besar dibuat Bodhi dengan teknik pelukisan yang boleh dibilang binal: sketsa, warna, dan hancurkan. Kehancuran diperlihatkan Bodhi dengan mengasak-asak hasil lukisannya yang telah jadi dengan garis atau kuas yang coret-coret. Penghancuran ini dibuat Bodhi dengan tujuan penghilangan makna setelah kemenjadian. Usai penghancuran, proses akhir di setiap lukisan Bodhi, ia melahirkan teks-teks (puisi) yang lahir dari garba binalitasnya. Lukisan dan teks puisi menjadi paket komplit seorang perupa dan penyair.
Keriuhan yang ditawarkan Bodhi membawa pengunjung pada ―kuasa atas diri‖, diri yang menurut Lacan merupakan subjek yang terbelah. Diri dengan pengaruh id yang meluap- luap. Misalkan dalam karya lukisannya berjudul Tumpang Tindih. Di mana ia menulis: di
dalam tubuhmu telah bersemayam / segala jenis makhluk / segala / segala … Tubuh dan
pikiran manusia terdiri dari hal apa pun, dari ―kadal-polisi-kyai-belatung-pohon-napoleon- gendruwo-setanalas-anjing!-dan lain- lain‖, sebutlah semampu kita, dia tak habis, bertambah dan semakin bertambah.
Di seri lainnya dalam lukisan berjudul Gembala-Gembala, Menjinakkan, Kumpulan
Mereka, Sabda, dan Manifesto kita diajak untuk lepas dari rantai yang membelenggu kita
akan suatu tatanan sistem yang hirarkis yang dikutuki para Marxis: hamba
- – paduka, jamaah
- – imam, buruh – tuan, yang ditindas – penindas, hingga yang kecil – yang besar. Cermati saja penjelasannya yang begitu paradoks dalam Kumpulan Mereka, yang kritik ini hadir untuk menyindir hal-hal yang besar, yang biasa diperlombakan MURI:
Ah, kita lebih cenderung mengejar yang besar-besar. Adakah festival lopis terkecil?
atau batik dengan ukuran mikroskopis? Berlombalah kita untuk segala yang besar, dan yang
kecil tak pernah menarik. Mungkin hanyalah masalah ukuran. Mungkin juga tidak. Dalam
realitas, yang besarnya kalah banding tak lagi jadi idaman. Mulai dari ukuran kelamin,
hingga benda —benda semacam lopis, yang besar selalu di puncak hirarki. Sejak kapan mitostentang ukuran ini ramai? Junjungan manusia atas segala hal yang besar membuat setiap
hal yang renik tak jadi menarik. Lopis kecil ditinggalkan, kelamin mini dicemooh, dan orang
kecil-wong cilik, selamanya jadi figuran.Belum banyak orang yang menyadari sebenarnya dirinya adalah gembala. Gembala yang berpura-pura besar, berpura-pura bebas, berpura-pura mencintai, berpura-pura sakit, gembala-gembala yang berobsesi. Di sebuah tatanan yang tak nampak, gembala-gembala itu digiring, dikondisikan, dininabobokan. Gembala, harus sadar bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Dan iman yang serendah-rendahnya adalah upaya-upaya kamuflase atau upaya mengambil jarak dari predator. Bodhi dalam iman itu mencoba berteriak, ―Bebaskan diri kalian dari gembala- gembala!‖.
Sikapnya adalah mengambil posisi dengan jalan Menyeberang, Kejar Mengejar,
People Suck!, Jatuh Saja, atau Sudah Mampus. Di lukisan itulah Bodhi mencoba memberi rambu-rambu yang waspada akan sepi dan gelap yang tiba-tiba, akan kecemasan perihal ketaatan, hingga manunggalnya ‗aku‘ dengan kemalasan.
(Foto: ―Menyeberang‖) (Foto: ―Kejar Mengejar‖)
Kekacauan semakin parah ketika orang-orang tumbuh menjadi generasi internet. Kita yang sekarang tumbuh di jaman generasi keemasan teknologi nan multitasking, di mana orang bangun tidur saja sudah membuka HP. Semua hal nyaris telah tersedia di gadget. Yang semrawut dengan keajaiban yang ditawarkan oleh teknologi. Yang membuat jarak menjadi terlipat. Masyarakat terjebak dalam simulasi-simulasi dan mitos-mitos hingga tercipta fenomena yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas. Di mana antara yang nyata dan maya sudah sulit dibedakan. Ini menjadi gambaran besar tema kekacauan Bodhi yang ia rangkum dalam lukisannya berjudul Menunggu Notifikasi, Menunggu Kabar, Meladeni
Resah, Dimensi Ketujuh, Simbol, Terjamin, Jarak, Kekasih dan Sembunyi.
Efek dari teknologi yang menggila ini pun tak main-main. Bodhi menjelaskan dalam gamblang di lukisan Kerumunan Curiga, Pelamun, Biarkan, Merajuk, Tenggelam, Rindu,
Forget, Pasrah dan Luka. Sebagai jawaban atas sikap yang selalu menjadi pengikut, sikap
sibuk memperkarakan yang tidak perlu, sikap mengotak-atik semesta yang acuh, sikap mengeluh pada luka yang tak kunjung sembuh, lalu kita berharap kedatangan seorang Juru Selamat yang turun di bangjo.
Tak pelak keniscayaan akan ―nihilisme‖ yang dielu-elukan Nietzsche mania pun ikut disuarakan Bodhi. Di mana telah terjadi keruntuhan akan nilai dan makna di setiap segi kehidupan
─filsafat Nietzsche ini dulunya tak mendapat tempat. Serupa Nietzsche, sepertinya Bodhi ingin membuat aliran baru dalam melukis. Dengan teknik ‗hancurkan‘ disertai aforisma yang puitis, Bodhi mempertanyakan ulang segala hal yang mapan itu dengan gaya yang nakal, sarkas, sinis, atau bisa jadi romantis? Apa yang dilakukannya merupakan bagian dari nihilisme aktif yang mencoba membunuh tuhan-tuhan kecil dengan pembalikkan nilai- nilai kanon yang memfosil.
Nihilisme pun erat kaitannya dengan tuhan. Pun dalam RIUH Bodhi masih tetap membawa nuansa relegiusitasnya. Tengok saja dalam lukisan berjudul Gusti Mboten Sare,
Berkehendak, dan Rengkuh Doa. Bodhi yang mengasihani tuhan sebab tuhan itu abadi dan
karena keabadian itu dia bosan, setiap detik kerjaannya hanya mendengar kutuk dan harap.Ya Tuhan… Jika kisah manusia abadi serupa tuhan ini ada, mungkin nasibnya juga
membosankan, kelelahan, tak beda jauh dengan tokoh Jesse di novel Tuck Everlasting bualan Natalie Babbitt.
Limbo
(Foto: ―Limbo Merah‖) Sejak lulus SMA, oleh kawan- kawannya Bodhi pernah dianggap ―gila‖. Kegilaan yang berkonotasi dengan kenakalan remaja. Kegilaan itu berlanjut hingga dirinya kuliah di Jogjakarta. Salah satu kegilaan terparah yang tidak ingin ia ulangi lagi adalah menggunakan obat-obatan terlarang hingga ia overdosis (OD). Bodhi jedot-jedotin kepala dan ia ditolong oleh temannya bernama Ferdhi, sosok kakak yang memarahi dan mengingatkannya saat mau mati.
―Sebelum kayak gitupun aku ada rapat, kawan-kawan ada rapat dan aku gak ikut. Aku paling nakal, paling kecil di perkumpulan teman-teman itu. Ngapain sih rapat-rapat kayak
gini? Banyak pertanyaan-
pertanyaan,‖ kisahnya ketika penulis melakukan wawancara di Suave Café, Kompleks Pringwulung pada Kamis (4/8) malam.
Pengalaman overdosis hingga ia hampir mati itulah yang membuat Bodhi bisa memvisualisasikan sebuah dunia yang gelap, sebuah proyeksi kematian versinya sendiri. ―Waktu tepat subuh tiba-tiba aku kayak gaya meditasi. Trus kata temanku wajahku bercahaya, dan lain-lain. Nah, memang di posisi itu aku tenang banget. Subuh itu sampai matahari muncul, aku udah gak ada efek- efek lain lagi. Aku gambar itu, aku coba visualkan,‖ kenangnya.
Proyeksi kematian tersebut dituangkan Bodhi dalam seri lukisan Lombi, yakni Lombi
Merah, Lombi Biru, dan Lombi Putih. Di fase merah Bodhi melukiskan tentang kematian,
fase biru menggambarkan tentang transformasi kehidupan yang sebenarnya tidak bermakna, dan di fase putih memperlihatkan tentang manusia memiliki warnanya sendiri, dan terserah mau diperjuangkan untuk apa.
Bodhi
Bodhi merupakan mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain (STSRD) Visi Yogyakarta angkatan 2011. Berasal dari Pekalongan 23 tahun yang lalu, karir melukis Bodhi ia mulai sejak SD. Dari kecil Bodhi sering mendengar banyak suara-suara atau melihat banyak visual-visual yang dirinya tidak mengetahui apakah sebenarnya orang lain melihatnya juga.
―Aku nglukis itu nyebut diri indigo. Gila, aku mikir aku indigo dan sebagainya. Karena aku selalu mikir setiap orang spesial. Aku sendiri anggap itu sebagai kelebihanku untuk menenangkan diri sendiri. Kalau gak, aku gila,‖ tuturnya.
Di Pekalongan pun, di daerahnya sana, ia sempat mendirikan Rumah Hujan kepada anak-anak pesisir Pekalongan. Bodhi dan kawan-kawannya mengajarkan gambar, puisi, dan musik pada anak kecil. Lalu komunitas tersebut anggotanya mengalami seleksi alam. Yang menjadi masalah anak di pesisir ternyata usia sepuluh tahun mereka harus pergi ke laut dan muridnya habis. ―Waktu semester I masih melaju dari Jogja ke Pekalongan. Aku datang kok muridnya gak ada, ternyata melaut,‖ ujarnya. Selain Rumah Hujan, ia dan kawan-kawannya juga mendirikan Rumah Srengege di
Kota Gede. Yang mengajari anak-anak menggambar dan mengerjakan PR. Namun komunitas ini hanya berdiri beberapa tahun saja, karena ada pihak tertentu yang merasa terganggu dengan keberisikan Rumah Srengenge. Lalu ia dan kawan-kawannya juga membuat komunitas Ruang Gulma Collective di Bantul sampai sekarang, juga rumah desainnya Flyingpants.Lab. Selain itu Bodhi juga sempat aktif di Needle and Bitch dan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Objek gambarnya banyak hal, dari kegelisahannya hingga fenomena sosial, misal penggusuran yang terjadi di Rembang atau Kulon Progo.
―Ya posisiku di teman-teman yang berjuang di Kulon Progo sebenarnya cuma bantu gambar. Karena aku sendiri kalau disuruh diskusi gak tahan. Aku tahan paling 10-15 menit, setelah itu aku keluar. Karena aku gak bisa diam orangnya, aku pikir diskusi itu hal yang membosankan dan kita diam. Aku pikir ini ngapain? Kurang ajar, gali-gali apa kek
,‖ katanya. Medium yang digunakan Bodhi dalam pameran pun tak kalah hiruknya. Bukan bermaksud memanfaatkan apa yang ada, tapi ia mencoba menciptakan apa saja dengan barang yang ada di depannya. Dari akrilik, pulpen, pensil, crayon, canvas, koran, sampai kertas nasi semuanya ia coba. Eksperimen medium ini pun bisa kita temui di pameran RIUH.
Yang unik pula, Bodhi lebih suka pameran di jalan, yang ada mobil, motor, dan pejalan lewat. Ketika penulis mengkritik tempat pameran di ASCOS yang belum begitu representatif, karena banyak meja dan kursi yang mengganggu penglihatan pengunjung, Bodhi menanggapinya dengan santai. Baginya tak masalah. Ia lebih suka ruang yang kecil, intim, tidak dingin, dan hidup. ―Aku bayangkan misalnya di TBY, ya kayak gitu kan kayak gedung kosong. Kalau ada pameran aku akan bikin kalau bisa di Burjo malah,‖ ujarnya.
Kelebihan Bodhi tak hanya tampak di gambar, desain, sastra, atau sebagai Pemred Majalah Weldgood Magazine saja, tetapi juga di musik. Bersama kawan-kawannya ia aktif bermusik di Talamariam, Sembilu, atau proyek pribadinya di Rupagangga. Saat ini ia juga menjadi vokalis di grup musik Buktu, semacam grup musik noise yang memproduksi suara bising
─dalam pembukaan pameran RIUH hari Senin (1/8), Buktu juga tampil.
―Produk akalku sendiri yang aku gak tahu mau digimanain. Akhirnya kalau aku capek di tulisan, aku akan lari ke gambar, kalau aku capek ke gambar aku ke musik. Nah, tiga itulah yang aku pikir karakternya sebenarnya sama, selalu penuh banyak hal,‖ terangnya.
Pemuda yang menyukai karya-karya Ali Antoni dan Anto Arda ini mengaku bahwa dirinya tidak bisa diam. Paradoksnya juga, jika kebanyakan seniman hidupnya bohemian tidak teratur, Bodhi masih sempat-sempatnya membuat list kegiatan sendiri per harinya. Misalnya untuk menulis, bermain musik, menggambar, mengurus majalah, atau hal-hal yang berhubungan dengan artistik.
―Gilalah pokoknya, kadang ingkar. Tapi pasti ada yang tertulis aku harus begini. Itu untuk hidup, karena kadang aku itu jarang nolak sesuatu. Nah, itu bodohnya aku. Jadi cuma tak iyain, ternyata jadwalnya tabrakan,‖ ucap sembari tertawa.
Setiap saat Bodhi mengaku bisa berkaya, tapi paling sering berkarya pada jam 12 malam lebih. Sebab ia menganggap, berkarya apapun baik di gambar, musik, atau menulis, ketika dikerjakan di jam- jam biasa tidak maksimal. ―Jam 12 ke atas kita bisa dengar suara detak jam. Suara jantung. Banyak hal yang kita lewati setiap hari ketika orang lain tidur,‖ jelasnya.
Re-Riuh
Secara keseluruhan pesan yang ingin disampaikan Bodhi dalam RIUH adalah jangan mendamba hidup yang harmonis. Jika manusia sudah meganggap semua baik-baik saja, tenang, adem, Bodhi ingin mengembalikan dasar hidup manusia, yakni khaos. Manusia memang berantakan dan manusia lupa bahwa sifat tuhan itu segalanya.
―Cuma lihat tuhan itu mulia, aku pikir tidak fair. Dia juga ada di tinjamu, di arakmu, di obat-obat narkobamu. Dia juga ada di diriku, dirimu, di semua orang. Karena itu kesemrawutan inilah yang ingin aku sampaikan,‖ cetusnya.
Bodhi menolak keharmonisan absolut. Segala sesuatunya memang khaos dan manusia bebas dengan keterikatan makna absolut yang menghadangnya. Dalam kondisi (membajak konsep Meillassoux) sebagai hyper-chaos/gila-kacau dalam menilai waktu yang ber-faktisitas dan ber-kontingensi. Waktu itu tidak tetap, waktu itu terus menjadi. Tugas kita menghancurkan kemenjadian.
Sketsa, warna, garis yang dipilih Bodhi melambangkan permusuhannya akan finalitas. Ia membuat garis demarkasi sendiri. Meski begitu, Bodhi tak bisa memungkiri seseorang yang menikmati karyanya dalam pameran secara tidak langsung turut mendukung terjadinya reinterpretasi akan makna. Yang dari penghancuran makna ikut berpartisipasi membentuk makna baru akan lukisannya yang ia namai beraliran post-realis daripada surealis tersebut.
Metode ini sangat mudah, misal dengan meminjam konsep dialektika Peter L. Berger: melihat sesuatu yang sama dalam waktu yang bebeda, akan menghasilkan maksud yang berbeda.
Sadar atau tidak, bagi saya Bodhi tengah merintis jalan pedih seorang seniman. Pikiran Bodhi rusuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab yang secara organik serupa lalat yang menempel di kepala. Karya Bodhi saya katakan seperti kalimat acak yang saya temukan di lukisan berjudul Forget,
―Maaf setiap brengsek tetaplah demikian adanya.‖ Dan bagi saya, Bodhi memang perupa, penyair, dan pemusik yang brengsek!
Judul Pameran RIUH
│ Perupa Izyudin ‗Bodhi‘ Abdussalam │ Tempat Pameran Asmara Art and Coffee Shop, Jl. Tirtodipuran No. 22 Yogyakarta
│ Penayangan 1-20 Agustus 2016
Isma Swastiningrum , penikmat canvas, random bermain dari pameran ke pameran.
Manusia setengah riuh. Suka membuat gaduh dengan dirinya sendiri.
(Diterbitkan
Simulacra di Tengah Kedangkalan
Hyperkonsumerisme
―Sangat mudah untuk mengambil foto, tapi lebih sulit untuk membuat sebuah adikarya dalam
fotografi dibandingkan dengan media seni lainnya‖ ─ Ansel AdamsDi ruang yang kurang lebih berukuran 4×4 meter, fotografer muda Alva Christo YW (20 tahun) memamerkan 23 karya fotonya. Pameran ini bertajuk ―Simulacra‖, yang diambil dari konsep nabi postmodern Prancis, Jean Baudrillard. Simulacra ditujukan Alva untuk membawa pengunjung pada persinggungan antara dunia nyata dan dunia simulasi. Pameran tersebut sekaligus menjadi kritik dan peringatan akan konsumerisme yang menjangkiti manusia saat ini, tak hanya di pola keseharian, tapi juga telah masuk sampai ke sel-sel tubuh.
Simulasi secara awam diartikan sebagai suatu model. Penciptaan model ini diambil dari kenyataan yang berkelindan dengan ―mitos‖ ala Roland Barthes, yang mitos tersebut
susah dibuktikan kebenarannya. Simulasi mewakili apapun akan idealitas seseorang, mulai dari konsep tentang pendidikan, seni, cinta, rumah, dan serupanya. Simulasi-simulasi tersebut sangat ideal, tapi ketika simulasi telah bercampur dengan kenyataan yang keduanya tak bisa dibedakan akan muncul fenomena: hiperrealitas. Di mana antara yang nyata dan tidak nyata menjadi remang-remang, sulit dibedakan.
Foto: ―Evaporate‖ (sumber Misal simulasi akan pengetahuan ditunjukkan dalam foto berjudul ―Evaporate‖ dengan caption: Knowledge tends to be temporary nowadays, with shallow understandings
and lightweight memory capacity. Because we received a lot of information everyday,
sometimes we just skim through the information. Di foto ini Alva ingin bilang informasi itu
ringan, per detik bisa jadi sudah ganti topik. Ini ditampilkan lewat sign model yang seolah bilang jika buku adalah jendela dunia. Terlihat soerang wanita muda melankolis dengan tatapan kosong melemparkan buku. Evaporate satu dimensi dengan foto berjudul Learn- loads.
―Semua itu ringan, kayak minum kopi yang tidak kita endapkan langsung kita minum,‖ kata Alva saat berbincang-bincang mengenai Simulacra di rumah Kelas Pagi Yogyakarta, Rabu (20/7) malam.
Hiperrealitas membuat masyarakat sangat berlebihan mengkonsumsi hal-hal yang tidak jelas esensinya. Orang menkonsumsi, memakai, meggunakan sesuatu bukan atas keperluan (nilai guna) suatu barang, melainkan karena model-model yang telah diciptakan simulasi. Membeli dan memilih bukan karena butuh, tapi karena pengen. Lalu, masyarakat begitu lebai dalam menjaga pola-pola hidup dan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi dalam simulacrum (tempat terjadinya simulasi) masing-masing. Di sinilah petaka konsumerisme yang menggedutkan para kapital. Ini dihadirkan misal dalam foto berjudul: Health Life, Expectations, dan Impress.
Foto: ―DIY‖ (sumber Konsumerisme yang bisa dikata telah hyper berefek pada kehidupan yang cenderung cepat dengan perilaku yang asosial, terlihat dalam foto berjudul DIY (Do It Yourself) dengan
caption: Do it yourself. As everything is easier and efficient, we can do everything by our
own. The industry is watching us while we are fulfilling our ego. We can make our own
market, our own consumers. Foto yang mencoba berkata bahwa apa-apa bisa dilakukan
sendiri. Alva melambangkan itu dengan musik dan wanita yang membawa piano mainan, yang diberi humor sentuhan mesin cuci di sampingnya sebagai simbol kecepatan.
Kebanyakan simulasi dirancang oleh industrialisasi. Mereka menciptakan produk dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang kemudian disebarluaskan melalui media massa. Iklan, televisi, budaya cyber/internet menjadi aktor besar dalam simulasi yang menghadirkan realitas-realitas semu (hyperreality) tadi. Menariknya di sini Alva memperluas konsep
Simulacra tidak sebatas pada dunia media massa, tapi digali dari diri individu meski beberapa
ada yang dipaksakan.
Foto: ―Dissapointment‖ (sumber
Hiperrealitas tak pelak juga menimbulkan frustasi, semisal dalam kumpulan foto berjudul D.I.A.P (Dissapointment, Identity, Anxiety, Phobia). Dalam foto Disapointment tergambar penyesalan seorang wanita muda yang ditunjukkan dengan gesture-nya yang menunduk. Ditambah jika diperhatikan tirai di sebelah model wanita, di mana tirai yang lain lurus, di sampingnya ada tirai yang melenceng dan berbelok. Empat foto ini dihasilkan sepertinya dengan pajanan yang lama dengan aperture kecil sehingga mendapatkan kesan yang fokus, detail, dan tajam. Menampilkan kesan lembut dan persuasif manusia yang kecewa.
Apa yang dihasilkan oleh Alva dalam Simulacra merupakan simbol-simbol spontan nan literer yang kita tak perlu capek-capek mengartikannya. Terlebih dengan caption motivasi yang super sekali, yang bisa membuat orang merasa hiperbolis daripada kritis.
Caption
yang sangat lugas, ini sesuai dengan maksud Alva, ―biar gak banyak mikir saya buat literal, foto juga literal. Digali dengan warna, komposisi, dan bentuk.‖ Mengingat Yogyakarta sendiri kota budaya yang menyajikan karya bersemiotik tinggi, pengakuan Alva ini lebih bernada pragmatis, bagi saya belum menantang olah pikir.
Sebelum menekan tombol rana, Alva sepertinya telah mengonsep foto-fotonya ini dengan short exposure, menghasilkan cetakan-cetakan yang cenderung close up. Beberapa foto juga dibuat dengan konsep hitam putih. Meski tak semua foto dilandasi oleh fotografi murninya Grup f/64 yang dipioneri fotografer Ansel Adams, Imogen Cunningham, Edward Weston, dan Willard Van Dyke yang membuat saya tertarik dengan manifestonya: ―Fotografi
murni adalah fotografi yang tidak memijam teknik, komposisi atau ide, tidak memiliki
kualitas te knik, komposisi atau ide yang merupakan turunan dari bentuk seni lainnya.‖Teknik produksi, pajanan, percetakan, hingga tata letak yang maksimal menghasilkan magnum opus.
Foto tentunya tidak asal memotret, ada wacana/tanda di balik itu. Juga tentang bagaimana agar foto dapat terasa oleh orang yang melihatnya. Lebih dalam, ini bisa dicapai dengan telaah kritis. Unsur sosial yang memihak kaum marjinal atau yang sosial bagi saya dalam pameran ini kurang. Padahal sebuah foto memiliki kewajiban sosial untuk menarasikan kebiadaban melalui seni, misalkan yang pernah dilakukan oleh fotografer Dorothea Lange dan Walker Evans yang memotret depresi ekonomi di Amerika Serikat kala itu. Di sini kebanyakan foto yang ditampilan nyaris semuanya adalah karya yang individual yang bisa dilihat dari pakaian dan ekspresinya sebagai kaum menengah ke atas.
Alva belum menunjukkan potret-potret dari kisah-kisah tragis sosial atau penderitaan orang-orang miskin yang terlupakan, padahal mereka korban nyata konsumerisme. Mungkin bisa dimaklumi mengingat latar belakang Alva adalah seorang mahasiswa Fotografi yang kuliah di Florida, USA. Ia dikelilingi oleh budaya barat yang cenderung individualis dengan andalannya Do It Yourself tadi, yang berani memamerkan karya dengan blak-blakan tanpa takut digaruk oleh FPI, HTI, dan seorganisasinya seperti di Indonesia. Bahkan menurut cerita Alva, di Florida karya jelek pun masih diberi tepuk tangan. Tak heran pula, AS juga terkenal dengan gudangnya fotografer-fotografer handal, Alva sepertinya dipengaruhi oleh fotografer- fotografer AS seperti Alfred Stieglitz, Paul Strand, Minor White, dan sekomplotannya.
Terkait komunikasi massa, karya foto di Simulacra belum cukup komunikatif mempermainkan tanda. Alva belum membuat (setidaknya saya) larut dalam simulasi yang ia tawarkan. Saya belum mencapai, meminjam diksi Henri Cartier-Bresson akan Decisive
Moment (momen kulminasi) guna menciptakan eyegasm. Meski ini proyek pameran tunggal
pertama Alva yang diperuntukkan untuk publik, untuk ke depan komunikasi yang tak hanya mengurus soal individu bisa diseriusi lagi.
Sebab segala hal yang untuk publik bukanlah hal yang iseng-iseng!
Simulacra
Judul Pameran
│ Fotografer Alva Christo │ Durasi Penayangan 18-24 Juli 2016 (17.00-22.00) │ Tempat Kelas Pagi Yogyakarta, Jl. Brigjend Katamso GM II/1226
Prawirodirjan Yogyakarta , fotografer amatir lahir dan batin, tertarik dengan jurnalisme fotografi.
Isma Swastiningrum
Suka klayapan dengan sepeda ke sudut-sudut gang untuk memfoto apa saja yang menarik,
apa saja yang tidak direncanakan, apa saja yang mengandung pasal-pasal kemanusiaan.(Diterbitkan
Renovasi Tragis di “Balada Joni dan Susi”
Melancholic Bitch
IntroPernahkah Anda mendengar musik yang membawa Anda seperti membaca sebuah novel tebal yang kompleks antara sepasang kekasih dari kelas sosial marjinal? Jika belum, Melbi melakukannya untuk Anda. Sejak akhir 90-an, band indie asal Jogja bernama Melacholic Bitch (Melbi) hadir menjadi antitesa musik icik-icik kala itu. Melbi dimotori oleh Ugoran Prasad, yang sialnya juga seorang sastrawan dan pegiat teater.
Melancholic Bitch memang bukan grup populer yang tiap tahunnya entah genap konser sebanyak sepuluh kali atau tidak. Sepertinya juga Melbi tak pernah ingin menjadi terkenal. Bisa dilihat dari fans club-nya di twitter hingga saya menulis ini (20 Juni 2016) belum mencapai 3.700 pengikut atau fanpage fesbuk yang tidak genap 7.900 penyuka, padahal Melbi sudah bereksistensi saat Parkinsound di Jogja masih rutin digelar tahunan. Sungguh fanbase yang megap-megap. Bagi Ugo sendiri yang menganggap konsep fans club sebagai hal yang menjijikkan ini lebih ingin melakukan kesadaran publik lewat lagu, daripada sekedar pamer teknik vokal.
Tak seperti band cult atau grunge, grup yang lebih suka disebut Musik Kolektif daripada dipanggil band ini dalam penggarapan salah satu albumnya berjudul Balada Joni dan Susi (untuk selanjutnya disingkat BJS) dibuat dengan narasi serius yang hadir dari keadaan sosial. Tema yang diangkat, seperti pelarian, kelaparan, pencurian, atau media massa. Ini berbeda dengan kebanyakan para produsen lirik (dari departemen cinta) yang kebanyakan mebuat lirik cinta dengan sebegitu lebainya, dengan dramatisasi yang dibuat-buat seolah langit mau runtuh, haruskah kumati tanpa cintamu, dan dunia hanya milik kita berdua. Prek!
Chorus
Diawali dengan lirik yang pekat dalam lagu pembuka berjudul
Intro: ―/Ketika Joni
dua satu dan Susi sembilan belas, hidup sedang bergegas di reruntuhan ruang kelas. Kota-
kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas, dingin, dan cemas. Namaku Joni,
namamu Susi. Namamu Joni, namaku Susi./‖ Preambule ini secara intrinsik mengatakan
bahwa aku dan kamu sebenarnya adalah Joni dan Susi. Balada ini merupakan kisah universal yang mungkin dialami siapa saja dalam skena kehidupan.
Usai berkenalan, lagu disusul dengan acara Bulan Madu, prosesi yang paling ditunggu-tunggu pengantin baru sejagat. Dan adakah bulan madu yang lebih konyol daripada bulan madu Joni dan Susi? Usai pelariannya, sejoli ini melakukan bulan madu imajiner. Mereka seperti kebanyakan pasangan-pasangan hedonis manapun di muka bumi melakukan perjalanan-perjalan romantis ke Venesia, juga ingin ke Oslo dan Budapest. Di kanal-kanal Venesia, Melbi mencoba membangun bayangan imajinasi Joni dan Susi seperti kisah kanonik di adegan Titanic antara Kate Winslet dan Leonardo DiCaprio ketika membentangkan tangan, berpelukan, di atas kapal sambil memejamkan mata. Namun imajinasi mereka harus disudahi seusai perlawatannya dari Nepal, karena kapal dikendarai tidak terlalu kencang, dan mereka belum sempat menikmati indahnya Rio De Janeiro, Lima, dan Capetown.
Hari Senin sampai dengan Minggu, Joni dan Susi menciptakan dunia mereka dalam lagu Tujuh Hari Menuju Semesta. Diawali dari hari Senin yang mana Joni merayu Susi dengan sangat sarkas, ―lukai aku, belah dadaku, makan jantungku, renggut hatiku…‖ Di hari Selasa lebih ganas lagi, ―jika waktu berpihak padaku, ijinkanlah kumelukaimu. Ijinkalah kupetakan tubuhmu…‖ Di hari Rabu muncul paradoks-paradoks renyah:
―Segalanya adalah seluruhnya. Jika aku Israel, kau Palestina. Jika aku Amerika, kau seluruh dunia. Jika aku miskin, kau negara. Jika aku mati, kau kematian lainnya.‖
Paradoks seperti ini pernah saya dengar di lagu Kita Mungkin karya Sisir Tanah dengan paradoks yang juga sangat padat nan teduh-menyentuh. Coba bandingkan:
―Jika kau mengalir sebagi dusta, aku adalah kata. Jika kau dendam, aku sebagai damai. Jika kau berhembus sebagai maut, aku adalah waktu. Jika kau dosa, aku sebagai doa.‖
Lagu Melbi dan Sisir Tanah ini bagi saya benar-benar menggambarkan penindasan sesungguhnya yang coba diredam dengan semacam hubungan tesa-antitesa. Kembali ke BJS, lagu Tujuh Hari Menuju Semesta ini disusul lagu yang juga paradoks dari utopia, yakni
Distopia. Di single ini Ugo berduet dengan pesinden Silir Pujiwati. Lagu ini menjadi
semacam janji yang begitu khusyuk yang didoakan para pecinta, janji setia dan bersama selamanya. Tapi bagi saya lagu ini menjadi lagu paling dangkal di antara lagu yang lain. Alih-alih mengajak realistis, Joni dan Susi justru terjebak dalam semesta yang sempit akan kebutaan asmara. Mungkin sama lullaby-nya dengan lagu berjudul amat kitabis, Nasihat yang
Baik. Menggambarkan gambar-gambar kelelahan, usai Susi berheroik ria di kehidupan yang serba cadas. Maka jalan satu-satunya untuk berhenti sementara ialah tidur. Ya, tidurlah. Sudahi cemasmu.
Disusul lagu ―Propaganda Dinding‖, lagu ini menjadi lagu paling anthemic dari semua lagu yang saya dengar di album BJS. Racikan gitar, drum, dan keyboradnya yang meski tak liar berhasil membuat saya mabuk menikmati single yang sepertinya dibuat saat penciptanya kelaparan. Ekstasinya seperti mendapat nilai 100 di ujian Fisika Statistik usai belajar semalam suntuk. Meski asyik, saya seperti gelas yang jatuh dari meja di atas lantai marmer ketika meresapi liriknya: pecah, dingin, mengkhawatirkan, membuat merinding, dan cerdas. Susi mau mati! Sebentar lagi dia koit jika tak segera diberi nasi.
Dan ini bukan kisah Robin Hood, lebih genting dari itu. Awal lagu di single ini sebenarnya memberikan energi hidup di lirik: /Minggu pertama pelarian kita, tataplah
mataku dan temukan telaga. Susi demam dan terbaring gemetar. Joni gusar dan tangannya
terkepal. Miskin takkan membuatnya putus asa. Lapar memaksanya merasa berdaya/‖.
Namun lapar tetaplah lapar, tak mungkin bisa melakukan konsensus idealisme pada orang lapar, karena tidak ada hal lain yang diinginkan selain makan. Meski betapa romantisnya Joni berikrar pada Susi, ―takkan kubiarkan kau mati.‖ Joni nyaris gila, dia tak kerja, hidupnya di jalanan. Solusi satu-satunya si provokator brengsek, yakni dinding-dinding yang berbisik pelan: CURILAH ROTI.
Di sisi lain, viral kapitalisme hadir lewat supermarket-supermarket yang tak pernah sepi. Di mana supermarket dan busung lapar adu lari hingga waktu kadaluarsa dibungkus roti. Viral kapitalisme ini dilanjutkan di Apel Adam. Di mana dikatakan bahwa pecurian telah merusak keseimbangan harga dunia! Sejak kapitalisme diselamatkan si gaek Keynes, sehingga sampai sekarang melalui peran bank dan negara kapitalisme tak juga mampus- mampus, pertarungan antar dua kelas, proletar dan borjuis masih menjadi masalah abadi hingga sekarang. Wajar kalau Marx yang malas cukur brewok itu sampai sekarang sepertinya arwahnya tidak tenang-tenang. Makin gentayangan di supermarket, mall, rumah sakit, terminal, bahkan sampai sekolah dan universitas.
Pun wacana klasik semacam Musa lawan Firaun menjadi wacana yang disukai publik terkait hubungan tengik antara rakyat melawan pemerintah. Masih di lagu Apel Adam, negara melalui kekuatan militernya yakni polisi, yang harusnya memiliki sikap Rastra Sewakottama
(abdi utama rakyat), malah takluk oleh kepentingan kelas berkuasa. Dalam lagu digambarkan: jangan libatkan polisi di lagu ini.
Meski begitu album ini sebenarnya juga sarat dengan hal-hal politis. Terkait dengan pemerintah yang melalui komisi penyiarannya membuat masyarakat buta. Hingga Joni meminta Susi untuk mengajarkan pemerintah bagaimana mengeja, bahwa banyak jejak luka di penyiaran kita. Ini bisa dilihat di lagu Mars Penyembah Berhala dan Akhirnya Masup TV. Karena televisi, masyarakat jadi miskin imajinasi. Imajinasi telah dipepatkan dalam kotak ukuran 14 inchi.
Outro