Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS

11 promosi kesehatan bisa dipahami dan dijalankan, khususnya dampak perkembangan industri terhadap kesehatan masyarakat lokal.

2. Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS

Sesi ini terkait dengan pelaksanaan penelitian tahap 3 dari beberapa tahapan penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia. Tujuan utama dari sesi ini adalah untuk mendapatkan konsensus dari para peserta sebagai perwakilan dari praktisi terkait dengan model integrasi kebijakan dan program PMTS. Konsensus atas permodelan yang telah dikembangkan, dilakukan dengan metode delphi dalam dua putaran. Putaran pertama untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan persepsi dari para informan terhadap program PMTS selama ini dan putaran kedua dilakukan setelah model dipaparkan oleh peneliti. Hasil dari dua putaran delphi tersebut, dianalisis untuk melihat sejauh mana dan kemungkinannya model yang dikembangkan tersebut dapat diimplementasikan pada tingkat layanan primer. Diskusi atas model ini kemudian dilakukan pada hari kedua, namun hasil diskusi ini tidak memengaruhi konsensus yang telah tercapai pada hari pertama. Dalam kesempatan ini diawali dahulu dengan penyajian hasil pengisian kuesioner yang telah dilakukan pada hari sebelumnya. Hasil analisis ini yang menjadi materi pemantik diskusi bersama dengan para peserta yang telah hadir kembali pada hari kedua. Beberapa poin diskusi yang muncul pada sesi ini, antara lain : a Keyakinan informan tentang PMTS sebagai kunci keberhasilan dalam penanggulanggan HIV dan AIDS di Indonesia menunjukkan keyakinan yang tinggi dengan persentase mencapai 94 . Hanya 6 yang tidak merasa yakin. Keyakinan yang tinggi tersebut semakin diperkuat dengan tingkat keyakinan informan atas pernyataan bahwa layanan PMTS dapat diperluas menjangkau kelompok WPSTL, LSL, waria dan pria berisiko tinggi yang mencapai 100 . Hal ini tidak terlepas dari konsep PMTS selama ini yang berbasis pada lokalisasi dan fokus menyasar pada kelompok WPS. Di Merauke, program untuk penanggulangan penularan HIV melalui transmisi seksual fokus dilakukan pada beberapa lokasi, seperti lokalisasi Yobar dan lokalisasi Belrusak. Karena epidemi AIDS di Papua sudah meluas ke masyarakat umum ke 12 petani, Ibu rumah tangga, siswa, dan populasi kunci lain perluasan konsep program PMTS ini diyakini semua informan. b Keyakinan informan atas pernyataan bahwa PMTS masih sangat tergantung dengan donor luar menunjukkan perubahan keyakinan dari delphi 1 dan 2, dari 50 menjadi 82 setelah mendengarkan paparan dari peneliti terkait mengenai logika permodelannya. Peningkatan keyakinan ini dipengaruhi oleh fakta bahwa kenyataannya GF sudah mundur dari Kabupaten Merauke sejak akhir 2013, meski masih ada dukungan pendanaan dari Unicef akan tetapi nilainya sangat kecil. Pembiayaan untuk penanggulangan AIDS sebagian besar berasal dari APBD melalui SKPD terkait, KPA, dan bahkan LSM juga mendapatkan alokasi dana yang cukup signifikan dari pemerintah Kabupaten Merauke yang bersumber dari APBD Otsus. Peningkatan keyakinan bisa jadi karena meski pembiayaan sudah dipenuhi dari APBD akan tetapi jumlahnya belum cukup bermakna jika dilihat dalam konteks Papua. c Kebijakan pembubaran lokalisasi yang dicanangkan oleh Kemensos dapat memengaruhi pencegahan HIV dan AIDS di Merauke, informan cukup yakin dengan hal ini dan hasil delphi mencapai 78. Sebagian yang merasa yakin karena dalam sejarahnya PMTS di Merauke ini sudah sejak lama dikembangkan, karena adanya komitmen dan faktor kepemimpinan Dinas Kesehatan pada awal tahun 2000an, sehingga program pencegahan IMS mendapatkan prioritas dengan dibentuknya PKR yang menangani secara khusus sebagai pelaksana teknis di bawah Dinas Kesehatan. Komitmen pemerintah ini berdampak pada penurunan yang signifikan atas penurunan prevalensi IMS menjadi kurang dari 3 di Merauke. Untuk kebijakan lokalisasi di Merauke tidak ada penutupan tetapi rekolasi PS ke tempat yang jauh dari penduduk sehingga kontrol terhadap penyakit melalui transmisi seksual lewat program PMTS dapat berjalan. d Keyakinan informan terhadap pernyataan bahwa pemberi layanan kesehatan primer puskemas telah berperan optimal dalam pokja PMTS di lokalisasi, ternyata cukup rendah yakni 44. Alasannya, kegiatan PMTS di Merauke ditangani khusus oleh PKR, sedangkan puskesmas memberikan pengobatan berdasarkan sindrom, sedang dari segi etiologi dilakukan di PKR. Puskesmas dalam kasus tertentu memberikan rujukan ke PKR. Sebenarnya tergantung dengan kebijakan pemerintahnya. Seperti di Jayapura, bisa jalan di Puskesmas Samadi. Di Merauke, kewenangannya untuk penangangan IMS 13 diberikan pada PKR. Meskipun secara administratif belum UPT penuh tetapi secara de facto sudah berjalan demikian. Terkait keberlanjutannya, di Merauke setuju jika layanan kesehatan primer dilakukan oleh puskesmas, karena secara geografis lebih terjangkau. Sehingga SDM puskesmas perlu diperkuat sedangkan PKR dijadikan sebagai rujukan. Untuk itu, puskesmas seharusnya menggunakan pendekatan etiologi bukan hanya sindrom. Ke depan PKR bisa menjadi UPT yang memberikan layanan PMTS, untuk daerah yang jauh harus jadi rujukan, dan layanan diberikan selanjutnya dilakukan oleh Puskesmas. e Pernyataan terhadap pengadaan dan distribusi kondom oleh KPA tidak akan berkelanjutan menunjukkan keyakinannya sangat kecil, hanya 28. Artinya tinggal 72 yang merasa yakin bahwa pendistribusian kondom akan berkelanjutan melalui KPA. Alasannya, sistem yang berjalan dirasakan sudah baik. Terkait pengadaan distribusi kondom semua dikoordinasikan melalui KPA dengan menggunakan mekanisme satu pintu. Kerjasama dalam pendistribusian kondom di Merauke dilakukan oleh 4 pihak, yakni PKR, puskesmas, Pokja Lokasi dan LSM. Keempat pihak ini dikoordinasikan oleh KPA, semua harus memberikan laporan ke KPA. Mekanisme satu pintu ini memudahkan apabila terjadi stock out kehabisan kondom. Akan tetapi untuk mengantisipasi sumber pendanaan KPA yang sudah akan berakhir, sejak 2014 disepakati kondom dari KPA dijual dengan harga Rp 500 rupiah. Selama kurang lebih 2 tahun, sudah mendapatkan 40 juta yang digunakan sebagai modal untuk pembelian kondom mandiri. Jadi di Merauke, tidak masalah jika Global Fund berhenti. Karena sudah terbiasa mandiri. Meskipun, GF berhenti sarannya pengadaan dan distribusinya tetap di KPA. Untuk BKKBN, sudah cukup persediaannnya, hanya kondom dari BKKBN ada anggapan kurang berkualitas. Ada pandangan juga kondom BKKBN disebut kondom miskin. Sehingga kondom yang disediakan oleh BKKBN perlu pendidikan bahwa cukup berkualitas juga sehingga bisa brandingnya lebih baik dan bisa jadi alternatif untuk keberlanjutan penyediaan kondom. f Keyakinan terhadap pendistribusian kondom melalui BKKBN cukup besar dari informan di Merauke, mencapai 62 karena memang selama ini ada kerjasama antara BKKBN dengan puskesmas. Pendistribusian kondom untuk kepentingan kontrasepsi dan pencegahan dilakukan oleh puskesmas. Pada tingkat kampung terdapat kendala karena adanya keterbatasan Pendamping Lapangan Keluarga Berencana PLKB. 14 Termasuk adanya keterbatasan tenaga perawat dan dokter yang bekerja di tingkat kampung di pedalaman. g Informan yang kurang yakin terhadap pernyataan bahwa distribusi kondom dapat dilakukan di puskesmas, mencapai 50. Di Kabupaten Merauke terutama pada daerah yang jauh di pedalaman justru distribusi dapat optimal dan dipusatkan di puskesmas, baik sebagai alat kontrasepsi maupun sebagai alat pencegahan penyakit. Di kota memang berbeda karena pilihannya lebih bervariasi bisa di puskesmas, LSM atau membeli secara mandiri. Terkait dengan pernyataan bahwa harga kondom yang dijual di pasar mahal memang tergantung dengan jenis kondom yang dipilih, kalau merek tertentu seperti durex memang mahal, tetapi kondom merah yang dibeli untuk koperasi kondom mandiri harganya terjangkau dan murah. h Keyakinan terhadap pernyataan kondom dapat diadakan dari BOK mungkin tetapi kemungkinannya rendah 33, karena penggunaan dana BOK ada ploting khusus yang tidak bisa diubah, sudah ada aturan untuk penggunaannya. Sementara pengadaan dari penganggaran Puskesmas BLUD tidak relevan karena di Kabupaten Merauke belum ada Puskemas BLUD 33. Sementara kemungkinan pengadaan kondom dan lubrikan dari JKN, meski keyakinannnya rendah sebenarnya memungkinkan, tetapi belum pernah dilakukan. i Terkait dengan pernyataan pengobatan presumptif berkala dapat menurunkan penggunaan kondom pada pekerja seks dan populasi kunci, keyakinan informan sangat rendah 33. Penyataan ini di konteks Merauke tidak relevan karena Dinas Kesehatan Merauke menolak diberikan obat presumptive dari Kemenkes pada 2010. Alasannya kalau diberi antibiotik terus-menerus tanpa ada indikasi yang jelas, bisa resisten obat, di Merauke pemeriksaan sudah melakukan etiologi, dan untuk lokalisasi sudah 100 persen ditangani. Sedangkan untuk pekerja seks jalanan memang sulit dijangkau oleh PKR, karena sulit dikontrol dan tidak terbuka statusnya. Ada perbedaan pendapat untuk WPSTL ke PKR dan LSM soal ini. Bagi LSM, remaja jalanan kategori usia 12-14 tahun, kalau sudah menjual diri atau seks dengan pacar sudah dikategorikan sebagai WPS dilihat dari faktor perilakunya. Sementara, kelompok ini dilayani oleh LSM, termasuk kelompok nelayan melalui ketua-ketua kelompok untuk distribusi kondom. LSM menjangkau kelompok yang terpencil dan tidak terjangkau 15 menjadi penting. Ke depan, remaja dalam kategori tersebut akan dapat dilayani kesehatannya di puskesmas. j Terkait pernyataan mengenai layanan LSL belum maksimal diberikan oleh pukesmas, 83 informan yakin karena di Merauke belum ada keterbukaan untuk kelompok LSL ini. Akan tetapi memang kenyataannya ditemukan kasus LSL ini di lapas. Hal ini ditemukan oleh PKR yang memberikan kondom sebagai pencegahan penyakit di lapas. Di Merauke, kelompoknya masih sulit dideteksi karena faktor belum ada keterbukaan untuk membuka statusnya. k Pernyataan mengenai Dinas Kesehatan mengumpulkan secara rutin laporan IMS dari klinikdokter swasta, informan cukup yakin. Sebenarnya pelaporan itu memungkinkan dan dinas bisa memberikan sanksi penutupan jika tidak mematuhi, akan tetapi kenyataannya belum terlaksana. Alasan tidak melaporkan karena terkait dengan kekawatiran akan kehilangan klien. Laporan dari klinik swasta, terkait dengan data HIV dan malaria untuk ibu hamil. Yang sudah berjalan adalah untuk bidan-bidan yang melaporkan kasus HIV dan malaria di Merauke. l Pemberian ARV segera setelah diagnosa HIV adalah bagian dari kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di Kabupaten Merauke tidak serta merta melakukan seperti yang dianjurkan melalui pendekatan SUFA. Merauke belum menjalankan SUFA, masih menganut CD4 350, juga berdasarkan prosedur persiapan melakukan pengobatan, karena terkait dengan kepatuhan untuk proses lanjut setelah mendapatkan ARV. Di Merauke, petugas lapangan sudah ada, untuk memonitoring kepatuhan ODHA untuk ARV dan OAT. Sehingga jika CD4nya 350 belum diberikan ARV, perlu melalui proses persiapan sebelum akses ARV. Di Merauke juga, FDC sudah mulai untuk ibu hamil dan yang bermasalah. Proses tersebut ditempuh oleh karena tingkat Loss of follow up tinggi, sehingga kemudian ada kehati-hatian untuk langsung memberikan ARV. Kecuali pada ibu hamil dan pasien TB karena masih sesuai protokol dan harus diberikan. Tidak hanya dari jumlah CD4 akan tetapi juga dilihat dari perilakunya, sehingga konselingnya menjadi penting. Di pokja RSUD setiap bulan ada meeting ARV untuk kandidat- kandidat ARV sebagai bentuk persiapannya. m Pernyataan untuk adanya koordinasi dengan lintas sektor antara puskesmas dengan LSM belum secara resmi tetapi sudah dilakukan. Akan tetapi untuk PKR secara rutin 16 sudah mengoordinasikan kegiatannya dengan LSM dan komunitas secara rutin minimal 2 kali dalam satu tahun.

F. Tindak Lanjut Diskusi