6 Terkait dengan penelitian tahap 3 yaitu pengembangan model kebijakan, pada pertemuan ini
sekaligus dipergunakan untuk mendiskusikan model kebijakan yang dikembangkan oleh Tim Kebijakan HIV dan AIDS PKMK FK UGM. Model kebijakan yang dikembangkan pada penelitian
tahap 3 ini secara khusus berfokus pada model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual PMTS ke dalam sistem kesehatan. Model ini dikembangkan
sebagai model untuk mengembangkan program layanan terintegrasi yang bisa digunakan untuk menjamin keberlangsungan program pencegahan melalui transmisi seksual PMTS di
pelayanan kesehatan dasar. Dalam uji coba model ini, melibatkan kembali para informan yang sebelumnya telah terlibat dalam penelitian tahap 1 dan 2. Diskusi mengenai model ini
dimaksudkan untuk mendapatkan input dan konsensus terhadap model kebijakan PMTS sebagai bentuk upaya untuk melihat kelayakan atau kemungkinan perlaksanaannya dan
kemungkinan adopsinya dalam pelaksanaan penanggulangan AIDS di tingkat daerah.
B. Tujuan
1. Memaparkan temuan-temuan pokok dan rekomendasi penelitian.
2. Diskusi tentang kelayakan dan penerimaan model integrasi kebijakan dan program
pencegahan melalui transmisi seksual PMTS ke dalam sistem kesehatan.
C. Peserta
Dari 27 undangan yang disebarkan, rata-rata tingkat kehadiran peserta dalam pertemuan ini sebesar 85 . Pada hari pertama dan kedua dihadiri sebanyak 23 peserta dari berbagai latar
belakang. Peserta tersebut berasal dari perwakilan Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, Pokja AIDS RSUD Kabupaten Merauke, Pusat Kesehatan Reproduksi PKR, Perwakilan
Puskesmas Kabupaten Merauke, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan BKKBN, Bappeda, BPJS, KPA, Perwakilan LSM dan Komunitas KDS.
D. Waktu
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada : Hari Tanggal : Senin
– Selasa, 11-12 April 2016 Waktu
: 09.00 – 15.00 WIB
7 Tempat : Ruang Pertemuan, Hotel Megaria, Jalan Raya Mandala, Merauke
E. Pelaksanaan Kegiatan
Ada dua agenda utama dalam pertemuan ini, yaitu diseminasi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti Universitas Cenderawasih untuk penelitian 1 dan Penelitian 2 serta
untuk melakukan uji coba model kebijakan yang sedang dikembangkan oleh PKMK FK UGM terkait dengan model integrasi kebijakan program PMTS. Secara detail pelaksanaan kegiatan
ini diuraikan sebagai berikut :
1. Diseminasi Hasil Penelitian
Dalam sesi ini ada dua hasil penelitian yang disampaikan. Penelitian yang pertama dilakukan
oleh peneliti 1 FKM Universitas Cenderawasih, dengan judul Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem Kesehatan di Kota Jayapura dan Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua. Sedangkan hasil penelitian yang kedua dilakukan oleh peneliti 2 FKM Universitas Cenderawasih dengan judul Studi Kasus : Integrasi Program
Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan dan Efektivitas Program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seks PMTS-WPS di Kabupaten Merauke.
8 Beberapa poin diskusi yang muncul pada sesi tanya jawab untuk menanggapi hasil penelitian
yang disampaikan oleh peneliti dari Universitas Cenderawasih, antara lain : a
Ada harapan rekomendasi-rekomendasi dari penelitian ini dapat disampaikan ke pimpinan daerah supaya menjadi bahan untuk melakukan perbaikan upaya
penanggulangan HIV dan AIDSIMS di Merauke. Sebagian pemangku kepentingan menyatakan selama ini sudah banyak penelitian HIV dan AIDS baik dari tingkat
nasional maupun di daerah akan tetapi hasil-hasil penelitiannya tidak pernah disampaikan kembali ke pemerintah daerah. Oleh karena itu, tim peneliti kebijakan
AIDS diharapkan menindaklanjuti dari pertemuan diseminasi ini dengan menyampaikan hasil-hasil pokok penelitian kepada pimpinan daerah. Klarifikasi dari
tim peneliti untuk tindak lanjut penyampaian rekomendasi di tingkat daerah menjadi tanggungjawab tim peneliti daerah sedang di tingkat nasional dilakukan oleh Tim
Peneliti PKMK FK UGM. Hasil penelitian yang sudah dihasilkan dalam bentuk Policy Brief dan buku penelitian dapat diakses melalui website kebijakanaidsindonesia.net.
Meskipun demikian sebagai jaringan tim peneliti kebijakan AIDS ini akan mendukung upaya diseminasi dan pertanggungjawaban publik ke pemangku kepentingan terkait.
b Masalah sistem informasi yang kurang terintegrasi diklarifikasi bahwa selama ini PKR
yang mengambilalih dalam melakukan input data dari tingkat puskesmas karena keterbatasan SDM di puskesmas. Ada 2 tenaga di PKR yang melakukan tugas yang
semestinya dikerjakan oleh puskesmas. Tentu perkerjaan ini memberatkan PKR dan sampai kapan ini akan dilakukan oleh PKR menjadi satu pertanyaan yang sudah
disampaikan ke dinas kesehatan Provinsi. PKR mendorong agar SIHA dapat dilakukan oleh puskesmas yang sekarang ini di Kabupaten Merauke terdapat 25 puskesmas.
c Pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS semestinya KPA harus mengetahui
besaran anggarannya. Dengan adanya koordinasi, maka dapat menghindari pembiayaan yang overlapping antar sektor dan dapat dihindari pemborosan. PKR
selama ini melakukan perencanaan pembiayaan terkait dengan fungsinya sebagai lembaga setingkat sub Pelaksana Teknis dari Dinas Kesehatan sehingga perencanaan
dan pembiayaan yang dilakukan oleh PKR disampaikan untuk pembiayaan melalui Dinas Kesehatan.
9 d
Mengenai kebijakan yang memengaruhi WPS untuk periksa karena takut sanksi sebenarnya menurut pandangan PKR semua sudah memahami konsekuensi dari
perda. Karena kalau WPS tidak memeriksakan diri justru akan mendapatkan sanksi. Upaya pencegahan penularan HIV dan AIDS di Merauke cukup beruntung karena ada
komitmen tokoh yang memiliki perhatian secara khusus mengembangkan terobosan struktural dengan mengembangkan PKR sehingga keberlanjutan program
penanggulangan IMS dapat berkelanjutan dengan segala keterbatasannya. Perubahan kebijakan baru, Perda No. 3 Tahun 2013 yang menggantikan Perda No. 5 Tahun 2003
tentang penanggulangan dan pencegahan IMS dan HIV dan AIDS di Kabupaten Merauke perlu segera dilaksanakan, sehingga bisa semakin mengerem laju penularan
HIV dan AIDS. e
Permasalahan SDM menurut Dinas Kesehatan Merauke memang mengalami krisis dalam kualitas. Tidak hanya SDM untuk HIV dan AIDS akan tetapi mencakup
keseluruhan kualitas tenaga kesehatan umum lainnya. Kondisi ini sudah terjadi dalam lima tahun terakhir. Meskipun demikian, adanya kerjasama yang cukup baik antar unit
kesehatan di Merauke seperti untuk peningkatan kapasitas tenaga HIV dan AIDS di tingkat puskesmas ada kesepakatan dengan PKR, meskipun tidak dianggarkan untuk
membantu peningkatan kapasitas SDM tenaga kesehatan untuk layanan HIV dan ADIS oleh PKR. Pelatihan kapasitas tenaga layanan AIDS dari puskesmas diberikan gratis
oleh PKR. Persoalan SDM memang kompleks tidak bisa hanya menuntut lembaga terkait, semestinya ada kalkulasi yang lebih jelas terkait proporsi jumlah konselor, MK
manajer kasus yang dibutuhkan dibandingkan dengan jumlah penduduk berisiko, bukan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sehingga kebutuhannya akan
lebih rasional. f
Berkaitan dengan pembiayaan perlu adanya perubahan mindset dari para petugas kesehatan untuk tidak mengukur semuanya dengan uang. Sehingga rekomendasi
terkait pemberian subsidi pada petugas AIDS perlu dipertimbangkan lagi karena sebenarnya kebutuhan tersebut sudah bisa dipenuhi dari sumber-sumber lain. Dalam
JKN juga sudah ada pos untuk operasional yang besarannya mencapai 60. Disamping itu, terdapat insentif daerah, dan dana fungsional. Oleh karena itu menurut Dinas
Kesehatan rekomendasi terkait insentif ini tidak perlu disampaikan ke pemerintah daerah. Lebih jauh terkait isu pembiayaan di Merauke, GF memang sudah mundur
10 sejak akhir 2013, akan tetap perlu dicermati lebih dalam besaran pembiayaan baru
mencapai 33 . Perlu dikaji lebih jauh sejauhmana kerangka pembiayaan AIDS di Merauke, dimana kesenjangannya. Khususnya untuk PMTS
– yang dalam penelitian ini baru fokus pada WPS, belum penjangkauan pada pelanggan laki-laki, dan tenaga kerja
di perusahaan-perusahaan besar yang banyak beroperasi di Merauke. g
Klarifikasi terkait rekomendasi yang mendorong sanksi perda yang menyasar masyarakat umum. Diskusi terkait rekomendasi ini perlu hati-hati karena hal ini juga
menjadi perdebatan panjang dalam proses penyusunan perda lama dan perda baru tentang penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS di Kabupaten Merauke.
Telaah mendalam dari aspek sosiologis, antropologis perlu dikaji lebih jauh tidak hanya dari aspek hukum.
h Terkait kebijakan yang menghambat akses layanan kesehatan seperti penutupan
lokalisasi yang terjadi di luar Papua ini memberikan dampak yang luas di Papua. Penghapusan lokalisasi Kramat Tunggak dahulu berdampak pada peningkatan IMS
pada penduduk di Papua, bahkan di pedalaman. Faktor perkembangan ekonomi yang booming karena gaharu, mengakibatkan para pekerja seks berpindah ke Papua
sehingga dikenal dengan seks yang dibayar dengan gaharu. Kebijakan penutupan lokalisasi baru di Kalijodo atau Tanjung Elmo di Sentani juga akan berdampak ke Papua
di pedalaman, seperti ke Boven Digul. Meski ditutup tempat lokalisasinya, maka akan muncul seks dengan alas kaki dan rumput hijau. Sehingga perda penting untuk
mengatur hal tersebut. Kebijakan penutupan lokalisasi yang dicanangkan oleh Kemensos perlu dikaji lebih mendalam baik dari alasan, dan dampak yang lebih luas
dari berbagai aspek secara ekonomi, sosial dan kesehatan. i
Diskusi terkait kebijakan berkembang dari peserta yang mencermati bahwa perda- perda yang sudah ada perlu diperluas tidak hanya penanggulangan AIDS tetapi juga
perda tentang kasus pemerkosaan dan perda yang mengatur tentang perkawinan sedarah incest yang masih terjadi di Papua, sehingga mengakibatkan terjadinya
beberapa kerentanan. Secara kultural ini perlu diperhatikan untuk konteks daerah seperti di Kabupaten Merauke, Papua.
j Faktor perkembangan ekonomi di Papua perlu mendapatkan perhatian khususnya
pendidikan untuk tenaga kerja dan tanggung jawab perusahaan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerjanya melalui pendidikan, sehingga ketika ada program kegiatan
11 promosi kesehatan bisa dipahami dan dijalankan, khususnya dampak perkembangan
industri terhadap kesehatan masyarakat lokal.
2. Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS
Sesi ini terkait dengan pelaksanaan penelitian tahap 3 dari beberapa tahapan penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia. Tujuan utama dari
sesi ini adalah untuk mendapatkan konsensus dari para peserta sebagai perwakilan dari praktisi terkait dengan model integrasi kebijakan dan program PMTS. Konsensus atas
permodelan yang telah dikembangkan, dilakukan dengan metode delphi dalam dua putaran. Putaran pertama untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan persepsi dari para
informan terhadap program PMTS selama ini dan putaran kedua dilakukan setelah model dipaparkan oleh peneliti. Hasil dari dua putaran delphi tersebut, dianalisis untuk melihat
sejauh mana dan kemungkinannya model yang dikembangkan tersebut dapat diimplementasikan pada tingkat layanan primer.
Diskusi atas model ini kemudian dilakukan pada hari kedua, namun hasil diskusi ini tidak memengaruhi konsensus yang telah tercapai pada hari pertama. Dalam kesempatan ini
diawali dahulu dengan penyajian hasil pengisian kuesioner yang telah dilakukan pada hari sebelumnya. Hasil analisis ini yang menjadi materi pemantik diskusi bersama dengan para
peserta yang telah hadir kembali pada hari kedua. Beberapa poin diskusi yang muncul pada sesi ini, antara lain :
a Keyakinan informan tentang PMTS sebagai kunci keberhasilan dalam
penanggulanggan HIV dan AIDS di Indonesia menunjukkan keyakinan yang tinggi dengan persentase mencapai 94 . Hanya 6 yang tidak merasa yakin. Keyakinan
yang tinggi tersebut semakin diperkuat dengan tingkat keyakinan informan atas pernyataan bahwa layanan PMTS dapat diperluas menjangkau kelompok WPSTL, LSL,
waria dan pria berisiko tinggi yang mencapai 100 . Hal ini tidak terlepas dari konsep PMTS selama ini yang berbasis pada lokalisasi dan fokus menyasar pada kelompok
WPS. Di Merauke, program untuk penanggulangan penularan HIV melalui transmisi seksual fokus dilakukan pada beberapa lokasi, seperti lokalisasi Yobar dan lokalisasi
Belrusak. Karena epidemi AIDS di Papua sudah meluas ke masyarakat umum ke
12 petani, Ibu rumah tangga, siswa, dan populasi kunci lain perluasan konsep program
PMTS ini diyakini semua informan. b
Keyakinan informan atas pernyataan bahwa PMTS masih sangat tergantung dengan donor luar menunjukkan perubahan keyakinan dari delphi 1 dan 2, dari 50 menjadi
82 setelah mendengarkan paparan dari peneliti terkait mengenai logika permodelannya. Peningkatan keyakinan ini dipengaruhi oleh fakta bahwa
kenyataannya GF sudah mundur dari Kabupaten Merauke sejak akhir 2013, meski masih ada dukungan pendanaan dari Unicef akan tetapi nilainya sangat kecil.
Pembiayaan untuk penanggulangan AIDS sebagian besar berasal dari APBD melalui SKPD terkait, KPA, dan bahkan LSM juga mendapatkan alokasi dana yang cukup
signifikan dari pemerintah Kabupaten Merauke yang bersumber dari APBD Otsus. Peningkatan keyakinan bisa jadi karena meski pembiayaan sudah dipenuhi dari APBD
akan tetapi jumlahnya belum cukup bermakna jika dilihat dalam konteks Papua. c
Kebijakan pembubaran lokalisasi yang dicanangkan oleh Kemensos dapat memengaruhi pencegahan HIV dan AIDS di Merauke, informan cukup yakin dengan
hal ini dan hasil delphi mencapai 78. Sebagian yang merasa yakin karena dalam sejarahnya PMTS di Merauke ini sudah sejak lama dikembangkan, karena adanya
komitmen dan faktor kepemimpinan Dinas Kesehatan pada awal tahun 2000an, sehingga program pencegahan IMS mendapatkan prioritas dengan dibentuknya PKR
yang menangani secara khusus sebagai pelaksana teknis di bawah Dinas Kesehatan. Komitmen pemerintah ini berdampak pada penurunan yang signifikan atas penurunan
prevalensi IMS menjadi kurang dari 3 di Merauke. Untuk kebijakan lokalisasi di Merauke tidak ada penutupan tetapi rekolasi PS ke tempat yang jauh dari penduduk
sehingga kontrol terhadap penyakit melalui transmisi seksual lewat program PMTS dapat berjalan.
d Keyakinan informan terhadap pernyataan bahwa pemberi layanan kesehatan primer
puskemas telah berperan optimal dalam pokja PMTS di lokalisasi, ternyata cukup rendah yakni 44. Alasannya, kegiatan PMTS di Merauke ditangani khusus oleh PKR,
sedangkan puskesmas memberikan pengobatan berdasarkan sindrom, sedang dari segi etiologi dilakukan di PKR. Puskesmas dalam kasus tertentu memberikan rujukan
ke PKR. Sebenarnya tergantung dengan kebijakan pemerintahnya. Seperti di Jayapura, bisa jalan di Puskesmas Samadi. Di Merauke, kewenangannya untuk penangangan IMS
13 diberikan pada PKR. Meskipun secara administratif belum UPT penuh tetapi secara
de facto sudah berjalan demikian. Terkait keberlanjutannya, di Merauke setuju jika layanan kesehatan primer dilakukan oleh puskesmas, karena secara geografis lebih
terjangkau. Sehingga SDM puskesmas perlu diperkuat sedangkan PKR dijadikan sebagai rujukan. Untuk itu, puskesmas seharusnya menggunakan pendekatan etiologi
bukan hanya sindrom. Ke depan PKR bisa menjadi UPT yang memberikan layanan PMTS, untuk daerah yang jauh harus jadi rujukan, dan layanan diberikan selanjutnya
dilakukan oleh Puskesmas. e
Pernyataan terhadap pengadaan dan distribusi kondom oleh KPA tidak akan berkelanjutan menunjukkan keyakinannya sangat kecil, hanya 28. Artinya tinggal
72 yang merasa yakin bahwa pendistribusian kondom akan berkelanjutan melalui KPA. Alasannya, sistem yang berjalan dirasakan sudah baik. Terkait pengadaan
distribusi kondom semua dikoordinasikan melalui KPA dengan menggunakan mekanisme satu pintu. Kerjasama dalam pendistribusian kondom di Merauke
dilakukan oleh 4 pihak, yakni PKR, puskesmas, Pokja Lokasi dan LSM. Keempat pihak ini dikoordinasikan oleh KPA, semua harus memberikan laporan ke KPA. Mekanisme
satu pintu ini memudahkan apabila terjadi stock out kehabisan kondom. Akan tetapi untuk mengantisipasi sumber pendanaan KPA yang sudah akan berakhir, sejak 2014
disepakati kondom dari KPA dijual dengan harga Rp 500 rupiah. Selama kurang lebih 2 tahun, sudah mendapatkan 40 juta yang digunakan sebagai modal untuk pembelian
kondom mandiri. Jadi di Merauke, tidak masalah jika Global Fund berhenti. Karena sudah terbiasa mandiri. Meskipun, GF berhenti sarannya pengadaan dan distribusinya
tetap di KPA. Untuk BKKBN, sudah cukup persediaannnya, hanya kondom dari BKKBN ada anggapan kurang berkualitas. Ada pandangan juga kondom BKKBN disebut
kondom miskin. Sehingga kondom yang disediakan oleh BKKBN perlu pendidikan bahwa cukup berkualitas juga sehingga bisa brandingnya lebih baik dan bisa jadi
alternatif untuk keberlanjutan penyediaan kondom. f
Keyakinan terhadap pendistribusian kondom melalui BKKBN cukup besar dari informan di Merauke, mencapai 62 karena memang selama ini ada kerjasama antara
BKKBN dengan puskesmas. Pendistribusian kondom untuk kepentingan kontrasepsi dan pencegahan dilakukan oleh puskesmas. Pada tingkat kampung terdapat kendala
karena adanya keterbatasan Pendamping Lapangan Keluarga Berencana PLKB.
14 Termasuk adanya keterbatasan tenaga perawat dan dokter yang bekerja di tingkat
kampung di pedalaman. g
Informan yang kurang yakin terhadap pernyataan bahwa distribusi kondom dapat dilakukan di puskesmas, mencapai 50. Di Kabupaten Merauke terutama pada daerah
yang jauh di pedalaman justru distribusi dapat optimal dan dipusatkan di puskesmas, baik sebagai alat kontrasepsi maupun sebagai alat pencegahan penyakit. Di kota
memang berbeda karena pilihannya lebih bervariasi bisa di puskesmas, LSM atau membeli secara mandiri. Terkait dengan pernyataan bahwa harga kondom yang dijual
di pasar mahal memang tergantung dengan jenis kondom yang dipilih, kalau merek tertentu seperti durex memang mahal, tetapi kondom merah yang dibeli untuk
koperasi kondom mandiri harganya terjangkau dan murah. h
Keyakinan terhadap pernyataan kondom dapat diadakan dari BOK mungkin tetapi kemungkinannya rendah 33, karena penggunaan dana BOK ada ploting khusus
yang tidak bisa diubah, sudah ada aturan untuk penggunaannya. Sementara pengadaan dari penganggaran Puskesmas BLUD tidak relevan karena di Kabupaten
Merauke belum ada Puskemas BLUD 33. Sementara kemungkinan pengadaan kondom dan lubrikan dari JKN, meski keyakinannnya rendah sebenarnya
memungkinkan, tetapi belum pernah dilakukan. i
Terkait dengan pernyataan pengobatan presumptif berkala dapat menurunkan penggunaan kondom pada pekerja seks dan populasi kunci, keyakinan informan
sangat rendah 33. Penyataan ini di konteks Merauke tidak relevan karena Dinas Kesehatan Merauke menolak diberikan obat presumptive dari Kemenkes pada 2010.
Alasannya kalau diberi antibiotik terus-menerus tanpa ada indikasi yang jelas, bisa resisten obat, di Merauke pemeriksaan sudah melakukan etiologi, dan untuk lokalisasi
sudah 100 persen ditangani. Sedangkan untuk pekerja seks jalanan memang sulit dijangkau oleh PKR, karena sulit dikontrol dan tidak terbuka statusnya. Ada perbedaan
pendapat untuk WPSTL ke PKR dan LSM soal ini. Bagi LSM, remaja jalanan kategori usia 12-14 tahun, kalau sudah menjual diri atau seks dengan pacar sudah
dikategorikan sebagai WPS dilihat dari faktor perilakunya. Sementara, kelompok ini dilayani oleh LSM, termasuk kelompok nelayan melalui ketua-ketua kelompok untuk
distribusi kondom. LSM menjangkau kelompok yang terpencil dan tidak terjangkau
15 menjadi penting. Ke depan, remaja dalam kategori tersebut akan dapat dilayani
kesehatannya di puskesmas. j
Terkait pernyataan mengenai layanan LSL belum maksimal diberikan oleh pukesmas, 83 informan yakin karena di Merauke belum ada keterbukaan untuk kelompok LSL
ini. Akan tetapi memang kenyataannya ditemukan kasus LSL ini di lapas. Hal ini ditemukan oleh PKR yang memberikan kondom sebagai pencegahan penyakit di lapas.
Di Merauke, kelompoknya masih sulit dideteksi karena faktor belum ada keterbukaan untuk membuka statusnya.
k Pernyataan mengenai Dinas Kesehatan mengumpulkan secara rutin laporan IMS dari
klinikdokter swasta, informan cukup yakin. Sebenarnya pelaporan itu memungkinkan dan dinas bisa memberikan sanksi penutupan jika tidak mematuhi, akan tetapi
kenyataannya belum terlaksana. Alasan tidak melaporkan karena terkait dengan kekawatiran akan kehilangan klien. Laporan dari klinik swasta, terkait dengan data HIV
dan malaria untuk ibu hamil. Yang sudah berjalan adalah untuk bidan-bidan yang melaporkan kasus HIV dan malaria di Merauke.
l Pemberian ARV segera setelah diagnosa HIV adalah bagian dari kegiatan pencegahan
melalui transmisi seksual di Kabupaten Merauke tidak serta merta melakukan seperti yang dianjurkan melalui pendekatan SUFA. Merauke belum menjalankan SUFA, masih
menganut CD4 350, juga berdasarkan prosedur persiapan melakukan pengobatan, karena terkait dengan kepatuhan untuk proses lanjut setelah mendapatkan ARV. Di
Merauke, petugas lapangan sudah ada, untuk memonitoring kepatuhan ODHA untuk ARV dan OAT. Sehingga jika CD4nya 350 belum diberikan ARV, perlu melalui proses
persiapan sebelum akses ARV. Di Merauke juga, FDC sudah mulai untuk ibu hamil dan yang bermasalah. Proses tersebut ditempuh oleh karena tingkat Loss of follow up
tinggi, sehingga kemudian ada kehati-hatian untuk langsung memberikan ARV. Kecuali pada ibu hamil dan pasien TB karena masih sesuai protokol dan harus diberikan. Tidak
hanya dari jumlah CD4 akan tetapi juga dilihat dari perilakunya, sehingga konselingnya menjadi penting. Di pokja RSUD setiap bulan ada meeting ARV untuk kandidat-
kandidat ARV sebagai bentuk persiapannya. m
Pernyataan untuk adanya koordinasi dengan lintas sektor antara puskesmas dengan LSM belum secara resmi tetapi sudah dilakukan. Akan tetapi untuk PKR secara rutin
16 sudah mengoordinasikan kegiatannya dengan LSM dan komunitas secara rutin
minimal 2 kali dalam satu tahun.
F. Tindak Lanjut Diskusi
Berdasarkan diskusi yang telah dilakukan dalam kegiatan selama dua hari tersebut, beberapa rekomendasi penelitian yang ditujukan kepada masing-masing pemangku kepentingan perlu
untuk ditindaklanjuti di tingkat instansi. Secara detail hal-hal yang perlu ditindaklanjuti tersebut, antara lain :
1. Menyampaikan rekomendasi dari penelitian ke Pimpinan daerah
a. Dalam waktu dekat, sekretaris KPA merencanakan untuk melakukan advokasi ke
pemerintah daerah dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti. Oleh karena itu, KPA membutuhkan hasil-hasil policy brief
kebijakan AIDS yang sudah dihasilkan, untuk disampaikan ke pemerintah Kabupaten Merauke. PKMK memberikan hasil-hasil policy brief yang disusun
berbasis penelitian sebagai dukungan kepada KPAK Merauke untuk disampaikan ke pemerintah daerah.
b. PKMK FK UGM akan menyampaikan hasil-hasil dari pokok pikiran selama
diseminasi dan hasil konsensus delphi ke sekretaris KPA sebagai bentuk pertanggungjawaban proses yang sudah dilakukan di Kabupaten Merauke.
2. Model Kebijakan Program PMTS
Dari hasil delphi yang telah diperoleh akan dianalisis kembali bersama dengan hasil delphi dari provinsi yang lain untuk mengembangkan model yang lebih komprehensif
dan dapat diimplementasikan sebagai rekomendasi pelaksanaan program PMTS di tingkat puskesmas di daerah. Pengembangan model ini selanjutnya akan dilakukan
oleh Tim PKMK berdasarkan hasil delphi dengan para praktisi dan para pakar.
G. Penutup