Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Kecukupannya di Kota Depok

(1)

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN

KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK

WURI SETYANI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Kecukupannya di Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Wuri Setyani


(3)

ABSTRAK

WURI SETYANI. Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Kecukupannya di Kota Depok. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan ruang terbuka yang bervegetasi berada di kawasan perkotaan namun keberadaannya seringkali dikorbankan dalam proses pembangunan sebuah kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luas perubahan ruang terbuka hijau di Kota Depok, menganalisis kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah, mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah, menganalisis keterkaitan perubahan ruang terbuka hijau dengan perkembangan wilayah serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan RTH. Hasil penelitian menunjukkan pada tahun 2006 luas RTH di Kota Depok sebesar 2.359,20 ha dan pada tahun 2011 sebesar 1.729,53 ha atau pada periode 2006-2011 terjadi penurunan luas sebesar 629,67 ha. Kebutuhan RTH Kota Depok berdasarkan jumlah penduduk Tahun 2011 sebesar 3.627,23 ha. Hasil analisis skalogram tahun 2006 dan 2011 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hirarki pada Kota Depok yang ditandai dengan bertambahnya kelurahan berhirarki II dan I serta berkurangnya kelurahan berhirarki 3. Perubahan RTH paling besar terjadi pada wilayah berhirarki III. Hal ini dikarenakan semakin terbatas lahan yang tersedia untuk pembangunan fasilitas sehingga lahan RTH seringkali dikorbankan. Faktor penentu perubahan RTH yang berperan nyata positif adalah luas lahan kosong sedangkan variabel yang berperan nyata negatif adalah alokasi lahan terbangun pada RTRW dan lahan RTH tahun 2006.

Kata Kunci: Ruang Terbuka Hijau (RTH), Kecukupan RTH, dan Perkembangan Wilayah


(4)

ABSTRACT

WURI SETYANI. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City. Under supervision of SANTUN R.P. SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.

Greenery open space (GOS) is a vegetated open space in urban areas, which its existence is often sacrificed in city development process. This study aims to determine acreage of GOS changes in Depok, to analyze the adequacy of GOS based on population, to identify level of development of the city, to analyze relationship between GOS changes and level of city development, and to identify factors affecting GOS changes. The results showed that in 2006 the GOS in Depok city was 2359.20 ha and 1729.53 ha in 2011 or it was a decline at about 629,67 ha during the period. Based on population number, Depok required 3.627,23 ha of GOS. Scalogram analysis indicated an increase in hierarchy of some subdistricts to level II and level I, and reducing of level III. The greatest changes of GOS occurred in the lower level of hierarchy (Level-III). This is due to limited land available for construction of facilities that are often sacrificed GOS. Determinants factors of GOS changes consisted of positive determinant, including acreage of vacant land, and negative factors, i.e. area allocated for built up in the regional spatial plan and initial acreage of GOS (2006).


(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN

KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK

WURI SETYANI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

Judul Skripsi : Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Kecukupannya di Kota Depok Nama : Wuri Setyani

NIM : A14080031

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Santun R.P, Sitorus Pembimbing I

Dyah Retno Panuju, SP. MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc Ketua Departemen


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan

Skripsi yang berjudul “ Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Kecukupannya di Kota

Depok”. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian penulis dan terwujud

berkat bantuan dari beberapa pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus dan Dyah Panuju SP. MSi sebagai Dosen Pembimbing yang telah mencurahkan waktu serta pemikiran serta memberikan arahan dari persiapan penelitian hingga selesai.

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DDA sebagai penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penulisan skripsi ini.

3. Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.

4. Kepala Badan Perencanaan Pembangunanan Daerah Kota Depok yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

5. Bidang Perencanaan Fisik Prasarana Bappeda, Badan Lingkungan Hidup serta Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Depok yang telah memberikan informasi serta data yang dibutuhkan.

6. Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang telah memberikan data potensi desa.

7. Orang tua, adik yang senantiasa memberikan doa restu, kasih sayang, kepercayaan serta dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

8. Tutuk Lufitayanti, Nur Etika, Mutiara Asri, Muhammad Jalal, Ghera, Robi, Grahan, Aida teman-teman Lab Bangwil atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

9. Mei, Novia, Dian, Adel, Mega dan teman-teman MSL 45 atas kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan.

10.Galuh, Radini Ayu, Muhammad Rifkiiansyah, Halim, Dewi Irma, Diah Rahmi, Muti Religi, Fatulloh atas kebersamaannya serta dukungan yang telah diberikan.

11.Keluarga Besar BEM KM Kabinet IPB Berkarya atas kebersamaannya serta dukungannya.

12.Keluarga Besar BEM Fakultas Pertanian IPB Kabinet Generasi Pembaharu atas kebersamaan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan skripsi.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2013


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau ... 3

Pengelompokkan dan Bentuk-Bentuk Ruang Terbuka Hijau ... 3

Peran, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau ... 4

Perubahan Penggunaan Lahan dan Keterkaitan dengan RTH Perkotaan ... 5

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan ... 6

Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk Analisis Perubahan Penggunaan Lahan ... 7

Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 8

BAHAN DAN METODE ... 10

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 10

Jenis, Data dan Alat Penelitian... 10

Metode Penelitian... 11

Mengetahui Luas Perubahan Ruang Terbuka Hijau ... 12

Menganalisis Kecukupan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah ... 12

Mengidentifikasi Tingkat Perkembangan Wilayah ... 12

Keterkaitan Perubahan Ruang Terbuka Hijau dengan Perkembangan Wilayah ... 13

Mengidentifikasi Faktor-faktor Penentu Perubahan Ruang Terbuka Hijau ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 15

Identifikasi Ruang Terbuka Hijau ... 17

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau... 20


(9)

Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk ... 22

Tingkat Perkembangan Wilayah Kota Depok ... 23

Keterkaitan Perubahan RTH dengan Perkembangan Wilayah ... 26

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kota Depok ... 29

SIMPULAN DAN SARAN... 31

Simpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

LAMPIRAN ... 34


(10)

DAFTAR TABEL

1 Pengelompokan Bentuk Ruang Terbuka Hijau ... 4 2 Tujuan Penelitian, Data, Teknik Analisis dan Output yang diharapkan ... 11 3 Jenis Fasilitas ... 13 4 Luas Ruang Terbuka Hijau pada setiap kecamatan di Kota Depok tahun 2006 dan

2011 ... 17 5 Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No.5/PRT/M/2008 pada Dua Titik Tahun ... 20 6 Kecukupan RTH Berdasarkan Kondisi Eksisting Tahun 2011 ... 21 7 Jumlah Kelurahan Hirarki Kota Depok menurut Level di setiap Kecamatan Tahun

2006 dan 2011 ... 23 8 Luas RTH setiap Hirarki per kecamatan tahun 2006 dan 2011 ... 26 9 Hasil Analisis Regresi untuk Identifikasi Faktor Perubahan RTH di Kota Depok ... 29


(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi Penelitian ... 10

2 Bagan Alir Tahap Analisis ... 14

3 Bentuk-Bentuk RTH ... 18

4 Peta Sebaran RTH Tahun 2006 ... 19

5 Peta Sebaran RTH Tahun 2011 ... 20

6 Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Depok Periode Tahun 2000-2011 ... 23

7 Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Depok Tahun 2006 ... 24

8 Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Depok Tahun 2011 ... 25

9 Boxplot Perubahan RTH terhadap Hirarki... 27

10 Laju Pertambahan Fasilitas Periode 2006-2011 ... 27


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Analisis Skalogram Tahun 2006 ... 34

2 Hasil Analisis Skalogram Tahun 2011 ... 36

3 Hasil Pengecekan Lapang ... 38


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan ruang terbuka bervegetasi yang berada di kawasan perkotaan yang berfungsi antara lain sebagai area rekreasi, sosial budaya, estetika, fisik kota, ekologis dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi manusia maupun bagi pengembangan kota (Dewiyanti, 2009). RTH dapat berbentuk hutan kota, taman kota, taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau, jalan raya, bantaran rel kereta api, dan bantaran sungai. Namun keberadaannya sebagai sebuah ruang dengan fungsi ekologis seringkali dikorbankan dalam proses pembangunan sebuah kota (Putri, 2010). Ruang terbuka hijau memiliki peran yang cukup penting dalam memberikan keleluasaan gerak penggunanya, karena aktivitas dan perkembangan kota yang semakin lama semakin berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan manusia yang hidup di dalamnya (Krisnawati, 2009).

Kota Depok dengan luas wilayah 20.029 ha merupakan salah satu kota yang mengalami perkembangan cukup pesat. Dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2005) penduduk Kota Depok mengalami peningkatan sebesar 447.993 jiwa. Pada tahun 1999 jumlah penduduk masih dibawah 1 juta jiwa dan pada tahun 2005 telah mencapai 1.374.522 jiwa, sehingga perkembangan rata-rata sebesar 4,23 % per tahun (Pemkot Depok, 2012). Meningkatnya jumlah penduduk Kota Depok disebabkan tingginya migrasi penduduk ke Kota Depok sebagai akibat pesatnya pengembangan kota yang dapat dilihat dari meningkatnya pengembangan kawasan perumahan. Dalam penelitiannya di Kota Bandung, Putri (2010) menunjukkan bahwa perkembangan Kota Bandung menempatkan luas lahan terbangun dalam dominasi tutupan lahan, sementara luasan RTH semakin menurun pada periode 1991-2001. Jenis RTH yang mengalami konversi terbesar adalah RTH non-pertanian dengan proporsi konversi menjadi lahan terbangun sebesar 52,09%.

Perencanaan RTH merupakan salah satu bentuk pengelolaan pemanfaatan ruang yang diperuntukkan bagi penghijauan. Perencanaan RTH ini dibutuhkan untuk menghindari dan meminimalkan penurunan kualitas lingkungan, perlu dilakukan pengelolaan lingkungan fisik perkotaan yang sesuai dengan daya dukung dan kebutuhan kota. Hijaunya suatu kota tidak hanya menjadikan kota indah dan sejuk, namun dapat menciptakan kenyamanan, kesegaran, dan kesehatan warga kota, serta terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan.

Berdasarkan hasil penelitian (Muis, 2005) Kota Depok menghadapi permasalahan terkait ketersediaan RTH yang tidak mencukupi akibat alih fungsi lahan. Luasan RTH di Kota Depok cenderung menurun dari waktu ke waktu. Identifikasi penyebaran RTH yang masih tersedia perlu dilakukan sebagai salah satu upaya membangun database untuk memantau upaya mempertahankan keberadaan RTH yang ada saat ini. Disamping itu, identifikasi lahan potensial untuk peningkatan luasan RTH juga perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Selanjutnya kajian faktor penentu perubahan RTH diperlukan untuk


(14)

2

menyusun rekomendasi yang tepat dalam upaya pengendalian dan pemantauan pemanfataan ruang untuk RTH di wilayah ini.

Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian adalah :

1. Mengetahui luas perubahan ruang terbuka hijau di Kota Depok

2. Menganalisis kecukupan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah

3. Mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah pada periode 2006-2011 4. Menganalisis keterkaitan perubahan ruang terbuka hijau dengan

perkembangan wilayah


(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah Perkotaan, yang dimaksud dengan ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka. Dalam pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah maupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan dan sebagainya. Dilihat dari sifatnya ruang terbuka bisa dibedakan menjadi ruang terbuka privat, ruang terbuka semi privat (ruang publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan, Ancol) dan ruang terbuka umum (kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh masyarakat tanpa batas waktu tertentu, contoh alun-alun, trotoar). Selain itu, ruang terbuka pun bisa diartikan sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman rekreasi, dll).

Definisi lain yang dinyatakan oleh Purnomohadi (1995) RTH adalah suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu). Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun yang didalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang disengaja ditanam.

Pengelompokkan dan Bentuk-bentuk Ruang Terbuka Hijau

RTH dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik adalah ruang terbuka hijau yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ruang terbuka hijau privat penyediaannya menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (Hakim, 2000).

Purnomohadi (1995) menyatakan bahwa penamaan bentuk-bentuk RTH disesuaikan dengan peruntukan dalam zona pemanfaatan lahan yang tertera dalam Rencana Induk Kota/Rencana Tata Ruang Kota yang telah disepakati antar pihak terkait dan kemudian disahkan sebagai peraturan daerah. Beberapa nama RTH adalah taman lingkungan perumahan, taman kota, taman rekreasi serta RTH pendukung sarana/prasarana kota.


(16)

4

Menurut Perda DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 kawasan hijau adalah RTH yang terdiri dari kawasan hijau lindung dan kawasan hutan binaan dengan karakteristik masing-masing seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokan Bentuk Ruang Terbuka Hijau

Bentuk RTH Sub Kelas Karakteristik

Kawasan hijau lindung Cagar alam Keadaan alamnya mempunyai kekhasan

tumbuhan dan/atau satwa, termasuk ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi

Hutan lindung Kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna pengatur tata air, pencegah banjir, erosi, abrasi, dan intrusi serta perlindungan bagi kesuburan tanah

Hutan wisata Kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai pusat rekreasi kegiatan wisata alam

Kawasan hutan binaan RTH fasilitas umum Hamparan lahan penghijauan yang berupa tanaman dan atau pepohonan, berperan untuk memenuhi kepentingan umum, dapat berupa hasil pembangunan hutan kota, taman kota, taman lingkungan/tempat bermain, lapangan olahraga, dan pemakaman.

Jalur hijau kota Ruang terbuka hijau yang berdiri sendiri atau terletak diantara badan jalan atau bangunan/prasarana kota lain, dengan bentuk teratur/tidak teratur yang didalamnya ditanami atau dibiarkan tumbuh berbagai jenis vegetasi.

Taman hutan RTH yang berdiri sendiri atau terletak

diantara batas-batas bangunan/prasarana kota lain dengan bentuk teratur/tidak teratur yang ditata secara estetis dengan menggunakan unsur-unsur buatan dan alami

Tepian air RTH yang ditentukan sebagai daerah

pengaman dan terdapat disepanjang batas badan air ke arah darat seperti pantai, sungai, waduk, kanal dan danau

Peran, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) ruang terbuka hijau merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. Ruang terbuka hijau sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi :

a. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia


(17)

5 habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin.

b. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan dan penelitian. c. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan dan lain-lain.

d. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro.

Manfaat RTH baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis. Penyeimbang antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan yaitu sebagai penjaga fungsi kelestarian lingkungan pada media air, tanah dan udara serta konservasi sumberdaya hayati flora dan fauna.

Manfaat ruang terbuka hijau menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum dalam Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60, dibagi menjadi manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, bunga, daun), kenyamanan fisik (teduh, segar), keinginan dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, manfaat yang dapat diperoleh dari Ruang Terbuka Hijàu antara lain: (a) Memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan; (b) Memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota; (c) Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah.

Perubahan Penggunaan Lahandan Keterkaitannya dengan RTH Perkotaan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

Penggunaan lahan merupakan sebagai bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 2006). Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, ladang, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaan, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya.


(18)

6

Menurut Permendagri No. 4 tahun 1996, perubahan penggunaan lahan dapat mengacu pada dua hal yang berbeda, yaitu pada penggunaan lahan sebelumnya atau pada rencana tata ruang yang ada (Departemen Dalam Negeri, 1996). Perubahan yang mengacu pada penggunaan lahan sebelumnya adalah suatu penggunaan baru atas lahan yang berbeda dengan penggunaan lahan yang sebelumnya. Perubahan yang mengacu pada rencana tata ruang adalah penggunaan baru atas tanah (lahan) yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang disahkan.

Pembangunan kota yang semakin berkembang berdampak juga pada perubahan pengggunaan lahan ruang terbuka hijau. Pengaruh pembangunan kota terhadap lingkungan mengubah keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia. Salah satu pendorong meningkatnya pembangunan terutama dalam pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi dari penduduk kota yang selalu bertambah. Peningkatan kegiatan pembangungan fisik perkotaan, selain berdampak positif terutama yang terkait dengan kegiatan perekonomian, juga berdampak negatif yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, salah satu dampak negatifnya adalah perubahan penggunaan lahan RTH menjadi lahan terbangun (Patria, 2010).

Menurut Fandeli (2004) dalam Setyawati (2010) peningkatan jumlah penduduk daerah perkotaan menimbulkan tekanan yang besar terhadap sumberdaya dan lingkungan perkotaan. Salah satu dampak yang timbul akibat perkembangan jumlah penduduk adalah terjadinya konversi lahan yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman atau vegetasi berubah menjadi ruang pemukiman dan sarana pendukung kegiatan yang ada di perkotaan. Sejalan dengan proses konversi ruang terbuka hijau menjadi fasilitas bangunan.

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan dapat menggunakan pendekatan luas wilayah, jumlah penduduk dan kebutuhan fungsi tertentu (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 menjelaskan bahwa penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut: (1) ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat; (2) proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; (3) apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Perhitungan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku yaitu 2,53 m3/orang (Menteri Pekerjaan Umum RI, 2008).

Fungsi RTH pada kategori ini dijelaskan dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan yaitu fungsi perlindungan atau pengamanan sarana dan prasarana, misalnya melindungi kelestarian sumberdaya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu. RTH


(19)

7 kategori ini meliputi RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengaman sumber air baku/mata air.

Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, tujuan pembentukan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah: (1) Meningkatkan mutu lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengamanan lingkungan perkotaan, dan (2) Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat (Departemen Dalam Negeri, 1988).

Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Cara memperolehnya dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya, sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1993)

Sistem informasi geografis (SIG) adalah sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografis. Dengan kata lain, SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang bisnis dan perencanaan pelayanan seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru, sedangkan untuk pergerakan subyek/ obyek (makanan dan minuman) dikaitkan dengan infrastruktur dan rutenya merupakan aplikasi di bidang logistik dan transportasi. Pada bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan diaplikasikan oleh berbagai kalangan dan kepentingan, maka aplikasi SIG telah digunakan baik oleh kalangan swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Aplikasi SIG untuk tugas dan wewenang pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain: kewenangan di bidang pertanahan, pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan, kesehatan, perpajakan, infrastruktur (jaringan jalan, perumahan, transportasi), informasi kependudukan, pengelolaan darurat, dan pemantauan lingkungan.

Deteksi perubahan penggunaan lahan dengan penginderaan jauh semakin penting perannya terutama karena banyaknya kemudahan yang diperoleh dan terjadi efisiensi kerja baik dari aspek anggaran maupun tenaga kerja yang digunakan. Dalam pelaksanaannya deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan citra hasil perekaman pada beberapa waktu


(20)

8

berbeda atau membandingkan citra penginderaan jauh waktu tertentu dengan peta penggunaan lahan yang telah dibuat pada waktu sebelumnya (Angga, 2001).

Penggunaan citra satelit untuk deteksi perubahan penggunaan lahan cukup banyak digunakan terutama karena keunggulannya pada resolusi temporal yang baik dan cakupan wilayahnya cukup luas. Kegiatan perekaman yang dilakukan secara terus menerus pada setiap interval waktu tertentu, memungkinkan citra satelit dapat digunakan untuk pemantauan perubahan dari waktu ke waktu tidak terbatas hanya untuk dua waktu perekaman berbeda. Oleh kerana itu penggunaan citra satelit cukup besar manfaatnya dalam melakukan prediksi perubahan (Angga, 2001).

Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Andriyani (2007) menunjukkan perubahan lahan yang terjadi telah menggeser penggunaan lahan, dimana penggunaan pertanian (hutan, kebun campuran, semak, sawah) mengalami perubahan menjadi pemukiman atau ruang terbangun. Penggunaan pemukiman dan tegalan/ladang berdasarkan analisis

shift-share mengalami laju penambahan luasan lebih besar dari laju agregat di Kabupaten Serang, sehingga disimpulkan sebagai jenis penggunaan yang kompetitif. Faktor-faktor fisik lahan, sosial ekonomi dan kebijakan yang dianalisis mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan penggunaan lahan.

Selanjutnya penelitian lain yang dilakukan oleh Aurelia (2011) menunjukkan bahwa luas ruang terbuka hijau di Jakarta Selatan dalam periode 5 tahun (tahun 2002-2007) berkurang sebesar 362,21 ha. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas ruang terbuka hijau adalah alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk dan fasilitas pendidikan. Laju pertumbuhan fasilitas pendidikan tahun 2003-2006 sebesar 4,8% per tahun, fasilitas kesehatan sebesar 7,1% per tahun dan fasilitas perekonomian sebesar 20% per tahun.

Penelitian lain terkait dengan RTH dilakukan oleh Putri (2010) yang melakukan analisis spasial dan temporal dengan menggunakan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh di Kota Bandung. Putri (2010) memperlihatkan bahwa lahan terbangun mendominasi tutupan lahan di Kota Bandung. Pada tahun 1991 kelas lahan terbangun mencapai 46% dari total luasan lahan dan pada tahun 2001 meningkat menjadi 62%. Sementara dari luas RTH yang mencakup keseluruhan tutupan vegetasi mengalami penurunan dari 54% pada tahun 1991 menjadi sekitar 38% pada tahun 2001. Jenis RTH yang mengalami konversi terbesar sebagai akibat dari gejala urbanisasi adalah RTH non-pertanian yang mengalami konversi sebesar 52,09% menjadi lahan terbangun.

Pembangunan dan pengembangan wilayah Jabodetabek telah mempengaruhi penyebaran bentuk penutupan lahan dalam kurun waktu 33 tahun. Sebagian besar ruang terbuka hijau yang terdiri dari hutan, kebun campuran, sawah, semak, dan rumput telah berubah secara signifikan menjadi ruang terbangun yang mendukung perkembangan kecamatan-kecamatan di kawasan Jabodetabek. Proporsi RTH Jabodetabek turun 11% dan proporsi ruang terbangun meningkat 27% selama periode 1972-2005. Dampak dari perubahan luas RTH telah sangat terasa terhadap seluruh aspek lingkungan hidup, dimulai dari efek


(21)

9 pemanasan global, berkurangnya ketersediaan air tanah, meningkatnya lahan kritis dan degradasi lahan (Agrissantika, 2007).

Ruang terbuka hijau merupakan ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya. Hasil penelitian Yuliasari (2008) menunjukkan bahwa perhitungan RTH dari hasil penelitiannya berbeda dengan data yang berasal dari instansi pemerintah provinsi. Luas RTH dalam penelitiannya diperoleh dari delineasi untuk wilayah DKI Jakarta, yaitu sebesar 3,88 %, sedangkan luas RTH menurut laporan instansi pemerintah tahun 2006 adalah 10,93 %. Perbedaan tersebut disebabkan oleh cakupan area RTH yang dikelola oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak sampai pada RTH yang dikelola oleh suku-suku dinas, demikian juga pada RTH privat yaitu yang dikelola oleh pihak masyarakat maupun swasta. Selain itu, Dinas Kebersihan tidak melakukan delineasi citra. Fungsi utama dinas yang terkait dengan RTH, yaitu Dinas Kebersihan, adalah penunjang bagi dinas-dinas lainnya (sebagai penyedia sarana dan prasarana kebersihan bagi dinas-dinas lainnya).

Menurut penelitian Setyawati dan Sedyawati (2010) kondisi iklim mikro dipengaruhi oleh adanya vegetasi, apabila kurangnya tegakan vegetasi yang ditanam dapat menyebabkan keadaan iklim mikro yang cukup panas dan kering. Untuk mempertahankan kondisi iklim mikro yang nyaman terutama pada siang hari maka keberadaan RTH perlu ditingkatkan.


(22)

10

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok yang terdiri dari 11 kecamatan yaitu Kecamatan Beji, Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cilodong, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Cipayung, Kecamatan Limo, Kecamatan Cinere, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Tapos, Kecamatan Bojongsari serta Kecamatan Sawangan (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada bulan April sampai - Desember 2012. Pengolahan data dilakukan di Studio Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1. Lokasi Penelitian Jenis, Data dan Alat Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa: Peta Ruang Terbuka Hijau dua kurun waktu yaitu tahun 2006 dan tahun 2011, Peta Administrasi Kota Depok, Peta Jalan, Peta RTRW Kota Depok 2000-2010, jumlah penduduk, data potensi desa (PODES) Kota Depok tahun 2006 dan kecamatan dalam angka tahun 2011.

Alat-alat penunjang yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat komputer dengan software arcview 3.3 dan ArcGis 9.3 untuk koreksi geometrik, digitasi dan pengolahan peta. Microsoft Excel dan MINITAB untuk pengolahan data serta GPS (Global Positioning System) untuk pengecekan lapang. Data, teknik analisis data dan output yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian tertera pada Tabel 2.


(23)

11 Tabel 2. Tujuan Penelitian, Data, Teknik Analisis, dan Output yang Diharapkan

No Tujuan Penelitian Data Teknik Analisis

Data

Output yang Diharapkan

1 Mengetahui luas

perubahan ruang terbuka hijau di Kota Depok

 Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Depok tahun 2006 dan 2011 Peta administrasi Kota

Depok (skala 1:75.000)

Klasifikasi Overlay

Perubahan ruang terbuka hijau di Kota Depok

2 Menganalisis

kecukupan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah

Jumlah penduduk Kota Depok tahun 2011 per kecamatan di Kota Depok dan luas wilayah per kecamatan

Teknik menghitung luas ruang terbuka hijau berdasakan jumlah penduduk dan luas wilayah

Luasan kebutuhan RTH Kota Depok berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah

3 Mengidentifikasi

tingkat perkembangan wilayah pada periode 2006-2011

Jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi

Analisis skalogram Mengetahui perkembangan wilayah Kota Depok

4 Menganalisis

keterkaitan perubahan ruang terbuka hijau dengan perkembangan wilayah

Luas RTH, Jumlah fasilitas dan hirarki wilayah

Deskripsi tabel dan grafik Mengetahui perubahan ruang terbuka hijau dengan perkembangan wilayah

5 Mengidentifikasi

faktor-faktor penentu perubahan ruang terbuka hijau

 Perubahan RTH Jumlah penduduk,

alokasi lahan RTH di RTRW, lahan kosong, lahan RTH dan jumlah fasilitas

- Teknik regresi berganda metode

stepwise

Teridentifikasi- nya faktor-faktor penentu perubahan luas ruang terbuka hijau

Metode Penelitian

Penelitian ini secara umum terdiri dari 6 kegiatan yaitu tahap persiapan, pengumpulan data, analisis, interpretasi hasil, pengecekan lapang dan penyusunan skripsi. Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan topik penelitian, studi pustaka, pembuatan proposal dan pencarian data yang diperlukan serta metode yang digunakan untuk analisis data. Selanjutnya dalam tahap pengumpulan data dilakukan pengumpulan data dari beberapa instansi yaitu Bappeda Kota Depok, Dinas Tata Ruang Kota Depok serta Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W). Data yang dikumpulkan terdiri dari data spasial, data numerik dan data pendukung hasil pengecekan lapang. Data spasial berupa peta ruang terbuka hijau, peta administrasi, peta jalan, dan peta RTRW Kota Depok tahun 2000-2010. Data numerik berupa data-data statistik meliputi data jumlah penduduk, data potensi desa (PODES) dan kecamatan dalam angka tahun 2011. Tahap berikutnya adalah analisis data. Pada tahap ini dilakukan proses analisis sesuai dengan tujuan penelitian. Metode analisis yang digunakan analisis spasial, analisis kecukupan RTH, analisis skalogram, analisis deskripsi, analisis regresi berganda metode stepwise. Bagan alir tahapan analisis tertera pada Gambar 2. Secara detail metode analisis yang dilakukan untuk menjawab setiap tujuan akan dijabarkan lebih lanjut. Berikutnya adalah tahap interpretasi hasil.


(24)

12

Tahap ini dilakukan dengan mempelajari hasil pengolahan data yang pada dasarnya merupakan bahan penyusunan skripsi. Selanjutnya dilakukan pengecekan lapang. Pengecekan lapang bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk RTH serta untuk mengetahui apakah ada perubahan RTH ke penggunaan lainnya. Pemilihan titik contoh ini didasarkan atas RTH yang relatif luas di Kota Depok dan perubahan penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lain serta memiliki aksesibilitas yang mudah dijangkau. Jumlah titik pengecekan lapang yang diambil berjumlah 59 titik. Hasil keseluruhan proses tersebut adalah bahan untuk menyusun skripsi yang menjadi tahap terakhir kegiatan. Selanjutnya berikut ini diuraikan rincian metode analisis menjawab tujuan penelitian.

Mengetahui Luas Perubahan Ruang Terbuka Hijau

Dalam mengetahui luas perubahan ruang terbuka hijau dengan tahapan-tahapan kerja yakni mengklasifikasikan ruang terbuka hijau menggunakan analisis spasial. Pada analisis spasial meliputi proses-proses koreksi geometrik yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis terhadap peta-peta yang telah dipersiapkan. Proses pengklasifikasian dilanjutkan setelah proses koreksi dan digitasi selesai untuk mendapatkan peta ruang terbuka hijau. Kemudian dilanjutkan dengan analisis luas perubahan ruang terbuka hijau.

Menganalisis Kecukupan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah

Kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk dihitung dengan cara mengalikan jumlah penduduk dengan standar luas RTH per kapita yang diatur dalam Permen PU No. 5 Tahun 2008 sebesar 20 m2/kapita. Luas RTH yang dibutuhkan berdasarkan luas wilayah dihitung dengan cara mengalikan 20% (RTH Publik) dari luas wilayah sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007. Alasan menggunakan standar luas RTH publik sebesar 20% dalam perhitungan kebutuhan RTH karena untuk memudahkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan RTH dan menjangkau untuk melakukan pemantauan dalam penyediaan dan mempertahankan keberadaan RTH.

Mengidentifikasi Tingkat Perkembangan Wilayah

Tingkat perkembangan wilayah dalam penelitian ini ditentukan dengan analisis skalogram. Metode ini digunakan untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana-prasarana pertumbuhan pembangunan yang ada di suatu wilayah. Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut didasarkan atas jumlah jenis dan jumlah unit sarana-prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitas sarana/prasarana tersebut. Jenis fasilitas yang dianalisis dikelompokkan atas 4 kategori yaitu: (1) fasilitas ekonomi (2) fasilitas pendidikan (3) fasilitas kesehatan dan (4) fasilitas sosial. Jenis fasilitas yang diidentifikasi untuk penentuan hirarki wilayah tertera pada Tabel 3.

Hasil yang diharapkan dari analisis ini adalah hirarki pelayanan kecamatan didasarkan atas nilai indeks fasilitas pelayanan dari setiap kecamatan. Dengan asumsi data menyebar secara normal, penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga yaitu:


(25)

13

 Hirarki II, jika rata-rata < indeks perkembangan < (rata-rata + simpangan baku)

 Hirarki III, jika indeks perkembangan < rata-rata

Hirarki I merupakan daerah yang paling berkembang atau memiliki jumlah fasilitas yang paling banyak dan lengkap serta adanya kemudahan mencapai suatu fasilitas (aksesibilitas) yang dicirikan dengan perkembangan jaringan jalan, sedangkan hirarki III menyatakan daerah yang kurang berkembang atau memiliki jumlah fasilitas yang paling sedikit dan tidak lengkap, aksesibilitasnya relatif terbatas.

Tabel 3. Jenis Fasilitas

No Jenis Fasilitas Variabel Jumlah Variabel

1. Fasilitas Pendidikan Sekolah SD, Sekolah SLTP, Sekolah SMU, Akademi/Perguruan tinggi, Madrasah diniyah, Pondok pesantren

6 variabel

2. Fasilitas Kesehatan Rumah Sakit, Puskesmas, Rumah sakit bersalin, Poliklinik/balai pengobatan, Posyandu, Polindes, Apotik, Toko khusus Obat/jamu

8 variabel

3. Fasilitas Sosial Masjid, Surau/langgar, Gereja kristen, Gereja katolik, Pura, Vihara

6 variabel

4. Fasilitas Ekonomi Perusahaan industri, Pasar, Hotel, Bank, Koperasi, Supermarket, Restoran

7 variabel

Jumlah 27 variabel

Keterkaitan Perubahan Ruang Terbuka Hijau dengan Perkembangan Wilayah

Menganalisis keterkaitan perubahan ruang terbuka hijau dengan perkembangan wilayah dengan menggunakan analisis dekripsi dan grafik boxplot. Data yang digunakan adalah data dari analisis skalogram yaitu hirarki wilayah Kota Depok dengan luas ruang terbuka hijau. Grafik boxplot menjelaskan sebaran data dari perubahan RTH terhadap hirarki tanpa memperhatikan konsistensi antar waktu dan dengan memperhatikan konsistensi hirarki antar waktu. Boxplot adalah salah satu teknik untuk mempelajari karakteristik dan distribusi data tersebut. Beberapa manfaat dari penggunaan analisis boxplot adalah: (1) Melihat derajat penyebaran data yang dapat dilihat dari tinggi atau lebar box. Jika data menyebar, maka box semakin tinggi atau lebar; (2) Menilai kesimetrisan data. Jika data simetris, garis median akan berada di tengah box dan whisker pada bagian atas dan bagian bawah akan memiliki panjang yang sama. Jika data tidak simetris (condong), median tidak akan berada di tengah box dan salah satu dari whisker

lebih panjang dari yang lainnya.

Mengidentifikasi Faktor-Faktor Penentu Perubahan Ruang Terbuka Hijau Fakor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH dianalisis dengan regresi berganda dengan metode stepwise. Analisis ini dipilih karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH. Metode stepwise dipilih karena jumlah yang digunakan banyak dan berpeluang asumsi tidak saling berkorelasinya antar variabel bebas tidak akan dapat dipenuhi.


(26)

14

Identifikasi faktor penentu perubahan ruang terbuka hijau dengan menggunakan data dari 63 kelurahan. Persamaan umum regresi berganda untuk mengidentifikasi variabel penting penentu perubahan RTH adalah:

Y = A0 + A1X1 + A2X2 + A3X3 + ... + AnXn, dimana:

Y = Variabel tak bebas (perubahan RTH); A = Koefisien regresi; X = Variabel bebas. Variabel bebas terdiri dari: X1 = Jumlah fasilitas pendidikan, X2 = Jumlah

fasilitas sosial, X3 = Jumlah fasilitas ekonomi, X4 = Jarak ke fasilitas, X5 = Jarak

ke pusat kota, X6 = RTH 2006, X7 = Lahan kosong, X8 = Alokasi lahan terbangun

pada RTRW tahun 2000-2010, dan X9 = Jumlah penduduk..

Pemilihan variabel bebas dalam analisis regresi berganda metode stepwise

didasarkan atas variabel-variabel yang mempengaruhi perubahan RTH pada penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiastuti (2012) menunjukkan bahwa variabel penduga yang berpengaruh sangat nyata (p-level <0,05) adalah luasan RTH, perubahan lahan terbangun dan luasan lahan kosong. Variabel yang berpengaruh dengan tingkat kepercayaan lebih rendah (p-level>0,05) adalah jarak ke kabupaten, jarak ke fasilitas sosial, jarak ke fasilitas pendidikan dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Patria (2010) menyimpulkan variabel yang berpengaruh sangat nyata dengan tingkat kepercayaan 95% terhadap perubahan RTH adalah perubahan lahan kosong, alokasi lahan RTH dalam RTRW, sedangkan variabel yang potensial berpengaruh nyata adalah pertambahan jumlah fasilitas kesehatan.


(27)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis dan Administrasi

Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6°19’00”- 6°28’00”

Lintang Selatan dan 106°43’00”- 106°55’30” Bujur Timur. Bentang alam Kota

Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah sampai perbukitan bergelombang lemah, dengan elavasi antara 50-140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lereng kurang dari 15 persen. Kota Depok sebagai salah satu wilayah di Jawa Barat, dibentuk dengan Undang-Undang No.15 pada 27 April 1999, mempunyai luas wilayah sekitar 20,09 ha.

Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi. Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tanggerang dan Wilayah DKI Jakarta.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor.

Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang terhubung secara regional dengan kota-kota lainnya.

Pemerintahan

Pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru di Provinsi Jawa Barat ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1999. Berdasarkan undang-undang tersebut, dalam rangka pengembangan fungsi kotanya sesuai dengan potensinya dan guna memenuhi kebutuhan pada masa-masa mendatang, terutama untuk sarana dan prasarana fisik kota, serta untuk kesatuan perencanaan, pembinaan wilayah, dan penduduk yang berbatasan dengan wilayah Kota Administratif Depok, maka wilayah Kota Depok tidak hanya terdiri dari wilayah Kota Administratif Depok, tetapi juga meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bogor lainnya, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan sebagian wilayah Kecamatan Bojonggede yang terdiri dari Desa Pondokterong, Desa Ratujaya, Desa Pondokjaya, Desa Cipayung dan Desa Cipayung Jaya.

Semakin meningkatnya jumlah penduduk, tuntutan masyarakat akan pelayanan prima dari pemerintah dan volume kegiatan penyelenggaraan pemerintahan pada akhir tahun 2009 Kota Depok, pemekaran wilayah kecamatan yang semula 6 kecamatan mencakup Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas, Sukmajaya, Cimanggis, Beji, serta Limo menjadi 11 kecamatan. Adapun pemekaran ini dituangkan dalam Perda Kota Depok No. 8 Tahun 2007 dengan implementasi mulai dilaksanakan tahun 2009. Wilayah yang mengalami


(28)

16

pemekaran ada 5 kecamatan terdiri atas Kecamatan Tapos merupakan pemekaran dari Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Bojongsari pemekaran dari Kecamatan Sawangan, Kecamatan Cilodong pemekaran dari Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cipayung pemekaran dari Kecamatan Pancoranmas dan Kecamatan Cinere pemekaran dari Kecamatan Limo. Kota Depok memiliki 11 kecamatan, 63 kelurahan, 880 Rukun warga (RW) dan 4920 Rukun Tetangga (RT).

Topografi dan Geomorfologi

Secara umum wilayah Kota Depok di bagian utara merupakan daerah dataran tinggi, sedangkan di bagian selatan merupakan daerah perbukitan bergelombang lemah. Berdasarkan atas elevasi atau ketinggian garis kontur, maka bentang alam Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter di atas permukaan laut.

Penyebaran wilayah berdasarkan kemiringan lereng adalah sebagai berikut:

 Wilayah dengan kemiringan lereng 2-8% tersebar di bagian Utara melintang dari Barat ke Timur

 Wilayah dengan kemiringan lereng antara 8-15% tersebar di bagian tengah membentang dari Barat ke Timur

 Wilayah dengan kemiringan lereng >15% terdapat di sepanjang Sungai Cikeas, Ciliwung dan bagian Selatan Sungai Angke

Iklim dan Curah Hujan

Wilayah Depok termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim munson, musim kemarau Bulan April – September dan musim penghujan antara Bulan Oktober – Maret. Kondisi iklim di Daerah Depok relatif sama yang ditandai oleh perbedaan curah hujan yang cukup kecil. Iklim Depok yang tropis mendukung untuk pemanfaatan lahan pertanian ditambah lagi dengan kadar curah hujan yang kontinu di sepanjang tahun. Permasalahan mendasar walaupun di satu sisi di dukung oleh iklim tropis yang baik yaitu alokasi tata guna lahan yang harus mempertimbangkan sektor lain terutama lahan hijau dan permukiman. Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan

Secara umum jenis tanah yang terdapat di Kota Depok menurut RTRW Kota Depok terdiri dari:

a. Tanah Alluvial, tanah endapan yang masih muda, terbentuk dari endapan lempung, debu dan pasir, umumnya tersingkap di jalur-jalur sungai, tingkat kesuburan sedang – tinggi.

b. Tanah Latosol coklat kemerahan, tanah yang belum begitu lanjut perkembangannya, terbentuk dari Tufa vulkan andesitis – basaltis, tingkat kesuburannya rendah – cukup, mudah meresapkan air, tahan terhadap erosi, tekstur halus.

c. Asosiasi Latosol merah dan Laterit air tanah, tanah Latosol yang perkembangannya dipengaruhi air tanah, tingkat kesuburan sedang, kandungan air tanah cukup banyak, sifat fisik tanah sedang – kurang baik. Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan lahan adalah konversi lahan pertanian (lahan basah) menjadi kegiatan non pertanian. Persoalannya


(29)

17 adalah perkembangan nilai tanah (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktifitas pertanian sawah, dan diperkirakan akan semakin mempercepat perubahan menjadi lahan perkotaan. Jika dilihat dari sebarannya dapat dikenali kawasan perumahan terkonsentrasi di bagian Utara yang berdekatan dengan Jakarta yaitu Kecamatan Limo, Beji dan Sukmajaya. Kemudian di bagian tengah diapit oleh Jalan Margonda Raya, Sungai Ciliwung dan Jalan Tole Iskandar. Penggunaan pertanian tersebar di Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas bagian Selatan dan sebagian Kecamatan Cimanggis. Selain itu terdapat beberapa penggunaan lahan yang cenderung intensif seperti industri yang tersebar di Jalan Raya Bogor (Kecamatan Cimanggis), perdagangan dan jasa, pendidikan dan perkantoran yang tersebar di sepanjang Jalan Margonda Raya dan Jalan Akses UI.

Identifikasi Ruang Terbuka Hijau

Identifikasi luas serta persebaran ruang terbuka hijau Kota Depok dilakukan berdasarkan Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Depok. Tabel 4 menunjukkan proporsi RTH setiap Kecamatan di Kota Depok pada periode tahun 2006 sampai tahun 2011.

Tabel 4. Luas Ruang Terbuka Hijau pada setiap kecamatan di Kota Depok tahun 2006 dan 2011

Kecamatan Tahun 2006 (ha) % Tahun 2011 (ha) %

Sawangan 281,36 1,40 106,76 0,53

Bojongsari *) *) 95,32 0,48

Pancoran Mas 260,07 1,0 63,42 0,32

Cipayung *) *) 109,00 0,54

Cimanggis 726,42 3,63 207,11 1,03

Tapos *) *) 334,97 1,67

Sukmajaya 592,36 2,96 241,57 1,21

Cilodong *) *) 148,62 0,74

Beji 360,79 1,80 300,73 1,50

Limo 138,20 0,69 43,18 0,22

Cinere *) *) 78,85 0,39

Jumlah 2.359,20 11,78 1.729,53 8,64

Ket: *) belum terjadi pemekaran wilayah pada tahun 2006

Sumber: Analisis Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Depok (Tahun 2006 dan 2011)

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa luasan RTH tahun 2006 sebesar 2.359,20 ha sedangkan luas RTH tahun 2011 sebesar 1.729,53 ha. Ruang terbuka hijau dari tahun 2006 sampai 2011 luasnya semakin berkurang. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk sehingga ruang terbuka hijau digunakan untuk pembangunan perumahan atau lahan terbangun untuk kawasan industri maupun perdagangan. Bentuk-bentuk RTH dapat dilihat pada Gambar 3.


(30)

18

Hutan Kota RTH Jalan

RTH Sempadan Sungai

Taman Kota Lapangan Golf

Gambar 3. Bentuk-Bentuk RTH

Bentuk-bentuk ruang terbuka hijau di Kota Depok antara lain taman, ruang terbuka hijau fasilitas sarana prasarana, hutan kota, sempadan sungai, ruang terbuka hijau jalan kota, dan lapangan golf. Hutan kota terdapat pada Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Sukmajaya dan Kecamatan Beji. Pada Kecamatan Sukmajaya hutan kota dijadikan tempat rekreasi untuk


(31)

19 masyarakat, berbeda dengan hutan kota yang berada di Kecamatan Pancoran Mas sebagai kawasan pelestarian alam (cagar alam). RTH fasilitas sarana prasarana tersebar di semua kecamatan akan tetapi paling dominan berada di Kecamatan Sukmajaya dan Kecamatan Cimanggis. Sedangkan untuk ruang terbuka hijau untuk lapangan golf berada pada Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Limo.

Pada tahun 2006 kecamatan yang memiliki RTH terbesar adalah Kecamatan Cimanggis dengan luas RTH sebesar 726,42 ha kemudian diikuti oleh Kecamatan Sukmajaya dengan luas sebesar 592,36 ha. Luasan RTH terkecil dimiliki oleh Kecamatan Limo dengan luasan sebesar 138,20 ha. Kecamatan Cimanggis memiliki luasan RTH paling besar diduga wilayah tersebut memiliki perkembangan wilayah yang kurang pesat sehingga laju pertumbuhan fasilitasnya tidak terlalu pesat yang menyebabkan masih banyak ditemukan ruang terbuka hijau di kecamatan tersebut. Pada tabel tersebut dapat ketahui pula persen luas RTH pada setiap kecamatan Kota Depok. Informasi tersebut dapat didijadikan acuan untuk pemerintah Kota Depok untuk memantau distribusi keberadaan RTH pada setiap kecamatan.

Pada tahun 2011 beberapa kecamatan di Kota Depok mengalami pemekaran wilayah sehingga menjadi 11 kecamatan dari semula sebanyak 6 kecamatan. Kecamatan Tapos memiliki jumlah RTH terbesar yaitu seluas 334,97 ha. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Cimanggis sedangkan Kecamatan Limo memiliki luasan RTH terkecil yaitu seluas 43,18 ha. Pada sebaran RTH tahun 2006 dan 2011 ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5.


(32)

20

Gambar 5. Peta Sebaran RTH Tahun 2011 Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Depok

Pembangunan kota dicerminkan oleh perkembangan fisik kota sarana dan prasarana. Pada umumnya, lahan bervegetasi yang dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan pemukiman, kawasan transportasi (jalan, jembatan, terminal), kawasan industri serta sarana dan prasarana kota lainnya. Pembangunan kota pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan RTH dan menghilangkan wajah alam. Tabel 5 menunjukkan kebutuhan RTH berdasarkan penduduk dari tahun 2006 sampai tahun 2011.

Tabel 5. Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada Dua Titik Tahun

Kecamatan Jumlah penduduk

(jiwa)

Kebutuhan RTH (ha)

Tahun 2006

Tahun 2011 Tahun

2006

Tahun 2011

Sawangan 166.276 128.905 332,55 257,81

Bojongsari *) 104.040 *) 208,08

Pancoran Mas 254.797 219.601 509,59 439,20

Cipayung *) 133.439 *) 266,88

Sukmajaya 314.147 242.424 628,29 484,85

Cilodong *) 130.410 *) 260,82

Cimanggis 392.512 252.424 785,02 504,85

Tapos *) 225.547 *) 451,09

Beji 143.592 173.064 287,18 346,13

Limo 149.156 91.749 298,31 183,50

Cinere *) 112.099 *) 224,20

Kota Depok 1.374.522 1.813.613 2.749,04 3.627,40


(33)

21 Analisis standar kebutuhan RTH bertujuan untuk mengetahui berapa luas RTH yang harus dibangun di Kota Depok berdasarkan kebijakan pemerintah yaitu melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008. Berdasarkan ketentuan dalam peraturan tersebut, standar kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk adalah 20 m2/kapita. Data Badan Pusat Statistik tahun 2011 menunjukkan jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2011 adalah 1.813.613 jiwa sehingga pada tahun 2011 Kota Depok membutuhkan RTH seluas 3.627,23 ha.

Kecukupan RTH Kota Depok

Luas RTH yang disyaratkan dalam UU No.26/2007 untuk Kota Depok adalah 4.005,8 ha. Sesuai dengan tujuannya, luas RTH minimum yang harus dimiliki Kota Depok tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, keseimbangan mikroklimat maupun sistem ekologis lain. Apabila standar kebutuhan ini dibandingkan dengan kondisi eksisting RTH maka Kota Depok tidak memiliki jumlah RTH yang mencukupi. Kecukupan RTH di suatu wilayah diketahui dari membandingkan kondisi eksisting dan kebutuhannya. Tabel 6 menyajikan hasil analisis kecukupan RTH untuk setiap kecamatan.

Tabel 6. Kecukupan RTH Berdasarkan Kondisi Eksisting Tahun 2011 Kebutuhan RTH (ha)

Berdasarkan

Selisih jumlah RTH (ha) Berdasarkan

Kecamatan Luas RTH saat

ini (ha) Luas Wilayah (20%) Jumlah Penduduk Luas Wilayah Jumlah Penduduk

Sawangan 106,76 517,80 257,81 -411,04

-151,05

Bojong Sari 95,32 395,80 208,08 -300,48

-112,76

Pancoran Mas 63,42 364,20 439,20 -300,78

-375,78

Cipayung 109,00 232,60 266,88 -123,60

-157,88

Sukmajaya 241,57 360,80 484,85 -119,23

-243,28

Cilodong 148,62 321,80 260,82 -173,18

-112,20

Cimanggis 207,11 424,40 504,85 -217,29

-297,74

Tapos 334,97 646,60 451,09 -311,63

-116,12

Beji 300,73 286,00 346,13 14,73 -45,40

Limo 43,18 246,40 183,50 -203,22

-140,32

Cinere 78,85 209,40 224,20 -130,55

-145,35

1.729,53 4.005,80 3.627,40 -2.276,27 -1.897,87


(34)

22

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa RTH yang ada di Kota Depok tahun 2011 sebesar 1.729,53 ha sedangkan RTH yang dibutuhkan berdasarkan luas wilayah sebesar 4.005,80 ha serta RTH yang dibutuhkan Kota Depok berdasarkan jumlah penduduk sebesar 3.627,40 ha. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa Kota Depok belum bisa mencukupi kebutuhan RTH baik jumlah penduduk maupun berdasarkan luas wilayah. Tidak tercukupinya kebutuhan RTH pada wilayah ini terkait dengan tingginya luas lahan terbangun. Kemungkinan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan RTH berdasarkan penduduk maupun luas wilayah sulit dalam jangka pendek dilakukan karena jumlah penduduk terus meningkat yang akan meningkatkan luas lahan terbangun.

Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk

Sejak awal berdirinya di tahun 1999, jumlah penduduk Kota Depok dari tahun 2000 sampai 2011 terus meningkat. Pada tahun 2011 jumlah penduduk mencapai 1.813.612 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 918.835 jiwa dan penduduk perempuan 894.777 jiwa. Kecamatan Cimanggis merupakan kecamatan yang paling banyak penduduknya dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Depok yaitu 252.424 jiwa, sedangkan dengan penduduk terkecil adalah Kecamatan Limo yaitu 91.749 jiwa.

Jumlah penduduk secara keseluruhan pada tahun 1999 sebanyak 900.000 jiwa sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 1.813.612 jiwa. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2011 laju pertumbuhan penduduk Kota Depok fluktuatif dengan rata-rata 6,2% per tahun. Laju pertumbuhan tertinggi pada tahun 2000-2001 yaitu sebesar 26,9% sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2004-2005 sebesar 0,4%.

Kepadatan penduduk Kota Depok dari tahun 1999-2011 semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh tingginya angka migrasi setiap tahunnya. Pada tahun tahun 1999 kepadatan penduduk sebesar 4.493,48 jiwa/km2 sedangkan tahun 2011 kepadatan penduduk meningkat menjadi 9.054,94 jiwa/km2. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Depok dari tahun 1999 hingga tahun 2011 bernilai positif meskipun bersifat fluktuatif. Nilai positif dari nilai laju pertumbuhan kepadatan penduduk adalah kepadatan penduduk Kota Depok selalu meningkat tiap tahunnya dengan laju yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan kepadatan penduduk rata-rata Kota Depok tahun 1999-2011 yaitu sebesar 6,2 %. Jumlah dan kepadatan penduduk Kota Depok periode 2000-2011 tertera pada Gambar 6.

Pada tahun 2005-2009 Kecamatan Cimanggis memiliki penduduk yang sangat banyak dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Depok. Kecamatan ini mempunyai akses yang baik sehingga penduduk tertarik untuk tinggal disini. Wilayahnya yang kepadatan penduduknya rendah berada pada Kecamatan Sawangan. Rendahnya kepadatan penduduk di kecamatan ini disebabkan oleh rendahnya laju migrasi sehingga untuk pembangunan pada wilayah ini kurang begitu pesat. Ada kecenderungan semakin padat suatu wilayah maka lahan yang dibutuhkan untuk pemukiman, sarana dan prasarana serta fasilitas umum semakin banyak. Lebih lanjut semakin tinggi laju kepadatan penduduk maka akan dibutuhkan lebih banyak lahan. Pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa


(35)

23 semakin tinggi laju kepadatan penduduk maka akan semakin tinggi laju konversi lahan ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun.

(a) (b)

Gambar 6. Grafik (a) Jumlah dan (b) Kepadatan Penduduk Kota Depok Periode Tahun 2000-2011

Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Depok

Penetapan hirarki wilayah dengan menggunakan metode skalogram didasarkan pada jumlah fasilitas dan jumlah unit sarana-prasarana pembangunan dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini menghasilkan hirarki atau peringkat yang lebih tinggi pada pusat pertumbuhan yang memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana-prasarana yang lebih banyak. Distribusi penduduk dan luas jangkauan pelayanan sarana-prasarana pembangunan tidak dipertimbangkan secara spesifik. Hasil analisis hirarki wilayah kecamatan di Kota Depok tahun 2006 dan 2011 tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Kelurahan Hirarki Kota Depok menurut level di setiap kecamatan

Tahun 2006 Tahun 2011

Kecamatan Hirarki I Hirarki

II

Hirarki III

Hirarki I Hirarki II Hirarki III

Sawangan 0 0 1

4

0 4 3

Bojongsari - - - 0 2 5

Pancoran Mas 2 5 4 3 0 3

Cipayung - - - 1 2 2

Sukmajaya 4 1 6 2 1 3

Cilodong - - - 0 4 1

Cimanggis 2 6 5 1 2 3

Tapos - - - 2 1 4

Beji 1 2 3 1 1 4

Limo 1 2 5 1 1 2

Cinere - - - 2 0 2


(36)

24

Berdasarkan hasil analisis skalogram pada tahun 2006, jumlah kelurahan yang berhirarki I adalah 10, yang berhirarki II berjumlah 16 dan yang berhirarki III berjumlah 37. Pada tahun 2011 hasil analisis skalogram kelurahan yang berhirarki I berjumlah 13, kelurahan yang berhirarki II berjumlah 18, dan kelurahan yang berhirarki III berjumlah 32. Penyebaran hirarki di Kota Depok tidak merata, yang ditunjukkan oleh kondisi tidak semua kecamatan memiliki hirarki I dan menjadi pusat-pusat kegiatan (Gambar 7 dan 8).

Gambar 7. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Depok Tahun 2006

Pada tahun 2006, Kecamatan Sukmajaya merupakan kecamatan yang memiliki kelurahan berhirarki I paling banyak yaitu Kelurahan Sukamaju, Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Abadijaya dan Kelurahan Baktijaya. Sedangkan pada tahun 2011 terjadi perubahan hirarki, Kelurahan Sukamaju dan Kelurahan Baktijaya mengalami penurunan hirarki menjadi hirarki II dan III. Kecamatan Sukmajaya memiliki perkembangan wilayah yang lebih maju dibandingkan dengan kecamatan lain diduga karena pada wilayah tersebut memiliki akses jalan yang baik untuk pembangunan sarana dan prasarana bagi masyarakat. Kecamatan Sawangan tidak memiliki hirarki I atau pada wilayah ini hampir seluruh kelurahan berhirarki III. Kondisi tersebut diduga pada Kecamatan Sawangan memiliki kepadatan penduduk yang rendah juga wilayah ini masih didominasi oleh kegiatan pertanian sehingga wilayahnya belum berkembang untuk pembangunan sarana prasarana. Pada tahun 2011, Kecamatan Pancoran Mas memiliki kelurahan berhirarki I paling banyak yaitu Kelurahan Rangkapanjaya, Kelurahan Depok Jaya dan Kelurahan Depok. Kecamatan Pancoran Mas memiliki jumlah kelurahan yang berhirarki I paling banyak karena kecamatan tersebut merupakan kecamatan


(37)

25 yang strategis, memiliki aksesibilitas yang baik sehingga dengan cepat terjadi perubahan perkembangan wilayah.

Secara spasial sebaran hirarki di wilayah Kota Depok tahun 2006 hampir semua kecamatan memiliki hirarki I kecuali Kecamatan Sawangan. Kelurahan yang memiliki hirarki 1 diduga karena wilayah yang strategis. Beji berbatasan dengan DKI Jakarta, Limo berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang dan DKI Jakarta. Pancoran Mas, Sukmajaya dan Cimanggis merupakan wilayah yang mempunyai akses jalan yang baik. Apabila dibandingkan dengan hirarki di wilayah Kota Depok tahun 2006, pada tahun 2011 penyebaran hirarki I, II dan III lebih merata. Walaupun terjadi penurunan jumlah kecamatan yang memiliki hirarki I pada tahun 2011 yaitu Kecamatan Sawangan, Kecamatan Bojongsari dan Kecamatan Cilodong.

Gambar 8. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Depok Tahun 2011

Perubahan jumlah hirarki terjadi pada beberapa kecamatan. Terdapat beberapa kelurahan yang mengalami peningkatan hirarki dan beberapa kelurahan lain mengalami penurunan hirarki. Peningkatan hirarki diduga dapat terjadi karena adanya penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Penurunan hirarki yang terjadi adalah dari hirarki I menjadi hirarki II dan dari hirarki II menjadi hirarki III. Hal ini diduga karena fasilitas-fasilitas yang tersedia tidak mampu melayani penduduk yang terus meningkat, dapat juga disebabkan tidak terjadinya penambahan jumlah maupun jenis fasilitas di wilayah tersebut atau walaupun terjadi penambahan akan tetapi penambahan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penambahan jumlah maupun jenis fasilitas di kelurahan lain. Selain itu bisa juga karena adanya pemekaran wilayah di Kota Depok.


(38)

26

Keterkaitan Perubahan RTH dengan Perkembangan Wilayah

Pada bagian berikut disajikan luas RTH untuk setiap kelas hirarki wilayah per kecamatan (Tabel 8) dan sebaran perubahan RTH dikaitkan dengan hirarki wilayah di Kota Depok (Gambar 9). Pada tahun 2006 luas RTH yang paling besar dimiliki di kelompok wilayah hirarki III sebesar 1.521,56 ha sedangkan yang terkecil wilayah berhirarki I 132,12 ha. Pada tahun 2011 wilayah berhirarki II memiliki luas RTH terluas sebesar 789,07 ha sedangkan wilayah berhirarki I memiliki luas RTH terkecil seluas 230,82 ha.

Perubahan RTH terbesar terjadi pada wilayah yang berhirarki III sebesar 811,92 ha, kemudian diikuti oleh hirarki wilayah I yaitu sebesar 132,12 ha. Hirarki III merupakan wilayah yang perkembangannya tidak begitu pesat sehingga ruang terbuka hijau masih cukup banyak ditemukan. Penggunaan lahan tersebut sangat mudah untuk dikonversi sebagai peggunaan lahan lain untuk pembangunan sebuah kota. Wilayah berhirarki I sedikit sekali mengalami perubahan RTH karena luas RTH awal di wilayah ini sedikit. Pada wilayah yang berhirarki II terjadi penambahan luas RTH sebesar 314,36 ha. Hal ini diduga pada wilayah tersebut tetap mempertahankan luas RTH yang masih ada dan menambah luas RTH seperti untuk jalur hijau kota dan RTH privat. Pada hirarki II terjadi pertambahan RTH, beberapa wilayah hirarki II yang meningkat luas RTH-nya antara lain Kecamatan Beji, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Sukmajaya.

Tabel 8. Luas RTH setiap Hirarki per kecamatan tahun 2006 dan 2011

Kecamatan Luas RTH Tahun 2006 (ha) Luas RTH Tahun 2011 (ha)

Hirarki I Hirarki II Hirarki III Hirarki I Hirarki II Hirarki III

Sawangan 0,00 0,00 281,39 0,00 73,30 33,46

Bojong Sari *) *) *) 0,00 55,29 40,03

Pancoran Mas 76,47 43,69 139,96 44,48 0,00 18,94

Cipayung *) *) *) 4,90 51,52 52,58

Sukmajaya 104,83 54,70 432,94 30,70 149,16 61,70

Cilodong *) *) *) 0,00 144,48 4,14

Cimanggis 116,27 303,15 307,06 32,10 148,11 26,90

Tapos *) *) *) 60,32 51,76 222,89

Beji 44,45 16,80 299,62 0,71 112,68 187,34

Limo 20,92 56,38 60,60 2,39 2,77 38,02

Cinere *) *) *) 55,20 0,00 23,64

362,94 474,71 1521,56 230,82 789,07 709,64

Ket: *) belum terjadi pemekaran wilayah pada tahun 2006

Gambar 9 menjelaskan grafik boxplot untuk perubahan RTH terhadap hirarki tanpa memperhatikan konsistensi hirarki antar waktu dan memperhatikan konsistensi antar waktu. Persamaan pada kedua grafik adalah data perubahan luas RTH untuk hirarki III memiliki data yang menyebar dibanding dengan hirarki I dan II karena mempuyai daerah selang antar kuartil (IQR) paling luas. Pada hirarki III untuk kedua grafik juga memiliki perubahan luas RTH yang besar dengan penambahan luas RTH yang lebih sedikit, hal ini dapat dilihat dari


(39)

27 panjang box yang lebih panjang kearah nilai negatif. Perbedaan pada kedua grafik, untuk hirarki II tanpa memperhatikan konsistensi antar waktu terjadi penambahan luas RTH yang lebih besar dibandingkan pengurangan luas RTH, hal ini dapat dilihat pada panjang box yang lebih condong ke nilai positif. Berbeda untuk hirarki II dengan memperhatikan konsistensi antar waktu yang tidak menunjukkan adanya penambahan luas RTH. Pada grafik ini terdapat nilai pencilan yaitu pada hirarki II. L u a s P e r u b a h a n R T H ( h a ) Hirarki III Hirarki II Hirarki I 300 200 100 0 -100 -200 -300 -400 -500

Boxplot Perubahan RTH dengan Hirarki

L u a s P e r u b a h a n R T H ( h a ) Hirarki III Hirarki II Hirarki I 40 20 0 -20 -40 -60

Boxplot Perubahan RTH dengan Hirarki

(a) (b)

Gambar 9. Boxplot Perubahan RTH terhadap Hirarki (a) tanpa memperhatikan konsistensi hirarki antar waktu, (b) dengan memperhatikan konsistensi hirarki antar waktu

Perkembangan wilayah ditandai dengan adanya peningkatan perekonomian, penambahan jumlah fasilitas dan semakin lengkapnya jenis fasilitas yang tersedia. Pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut tentu membutuhkan lahan. Hal ini dapat berakibat kepada perubahan luas RTH karena mengingat keberadaan lahan ini memiliki land rent yang rendah. Selain itu, lahan kosong dan strategis untuk pembangunan fasilitas semakin terbatas sehingga memungkinkan untuk mengorbankan keberadaan ruang terbuka hijau juga semakin besar. Laju pertambahan fasilitas pada periode tahun 2006 dan 2011 tertera pada Gambar 10.


(40)

28

Dari Gambar 10 diketahui bahwa laju pertambahan fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial meningkat masing-masing sebesar 9%, 11% dan 6% per tahun. Fasilitas pendidikan yang semakin meningkat salah satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah bangunan untuk TK, SD, SMP yang sangat penting untuk peningkatan kualitas SDM Kota Depok. Fasilitas ekonomi di Kota Depok meningkat salah satunya dengan meningkatnya jumlah restoran dan pusat pembelanjaan seperti supermarket dan toko. Meningkatnya laju pertambahan fasilitas sosial juga ditandai dengan makin banyaknya praktek tempat bidan, posyandu, dan tempat ibadah.

Keterkaitan luas RTH terhadap total jumlah fasilitas, jumlah fasilitas ekonomi, jumlah fasilitas pendidikan dan jumlah fasilitas sosial dapat dilihat pada Gambar 11. Jumlah fasilitas paling banyak terdapat pada Kecamatan Pancoran Mas sedangkan jumlah fasilitas paling berada di Kecamatan Limo. Pertambahan jumlah fasilitas dapat menjadi salah satu faktor untuk menurunnya luasan RTH di Kota Depok. Pada ke empat gambar grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah fasilitas sosial berkorelasi dengan luasan RTH, sedangkan kelompok jumlah fasilitas yang lain tidak memiliki korelasi dengan luasan RTH.

a b

c d

Gambar 11. Keterkaitan luas RTH terhadap (a) total jumlah fasilitas, (b) jumlah fasilitas ekonomi (c) jumlah fasilitas pendidikan dan (d) jumlah fasilitas sosial

Keterkaitan jumlah fasilitas ekonomi terhadap luas RTH tertera pada Gambar 11 (b). Fasilitas perekonomian terdiri dari wartel, warnet, supermarket, toko, hotel, industri kecil dan industri menengah. Gambar tersebut menunjukkan


(41)

29 tidak adanya kesamaan pola antara fasilitas perekonomian dengan luas RTH. Pembangunan fasilitas ekonomi diduga tidak memperhatikan adanya keberadaan RTH sekitarnya maupun pembangunan tersebut tidak mengalokasikan untuk penambahan luas RTH. Hal tersebut berlaku juga pada fasilitas pendidikan yang tertera pada Gambar 11 (c).

Fasilitas sosial terdiri dari rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik/balai pengobatan, puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktek dokter, tempat praktek bidan, posyandu, apotik maupun tempat ibadah. Keterkaitan jumlah fasilitas ekonomi terhadap luas RTH tertera pada Gambar 11 (d). Pada gambar tersebut menunjukkan adanya korelasi antara fasilitas perekonomian dengan luas RTH. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan fasilitas sosial umumnya disertai dengan pengembangan RTH di sekitarnya, dan sebaliknya hal tersebut tidak berlaku untuk pembangunan fasilitas ekonomi dan pendidikan. Berbeda dengan Kecamatan Beji yang tidak memiliki korelasi antara jumlah fasilitas sosial terhadap luas RTH. Kecamatan Beji memiliki luas RTH yang cukup luas yang berada di fasilitas pendidikan yaitu Kampus UI sehingga untuk pembangunan fasilitas sosial pada kecamatan ini tidak mempunyai hubungan dengan penambahan luas RTH.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan RTH

Identifikasi faktor penentu perubahan RTH dengan regresi bertatar menghasilkan keluaran sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Variabel yang digunakan dalam analisis regresi berjumlah 10 variabel, yaitu satu variabel tujuan (Y) dan 9 variabel penduga (X). Dalam proses analisis regresi berganda metode

stepwise variabel bebas yang mempunyai multikolinearitas atau yang memiliki korelasi antar variabel bebas akan tereleminasi sehingga dalam analisis ini menghasilkan 4 variabel yang mempengaruhi perubahan RTH.

Tabel 9. Hasil Analisis Regresi untuk Identifikasi Faktor Perubahan RTH di Kota Depok

Variabel Koefisien T P-level

Alokasi Lahan Terbangun 2000-2010

-0,03 -3,67 0,000

Luas Lahan Kosong 0,23 2,5 0,012

Luas RTH 2006 -0,19 -6,72 0,000

Jarak ke pusat kota 0,23 1,48 0,14

R-square (R2) 0,58

SE 8,5

Tabel 9 menjelaskan bahwa persamaan regresi yang dihasilkan memiliki nilai R-square (R2) sebesar 0,58. Hal ini berarti bahwa terdapat 42% ragam diluar variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis ini mempengaruhi perubahan ruang terbuka hijau. Variabel yang berpengaruh sangat nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (p-level < 0,05) adalah luas lahan kosong, Luas RTH 2006 dan alokasi lahan terbangun pada RTRW tahun 2000-2010, sedangkan variabel yang berpengaruh nyata adalah jarak dari desa ke pusat kota.

Dari hasil regresi alokasi lahan terbangun dalam RTRW tahun 2000-2010 bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan alokasi lahan terbangun


(42)

30

berpotensi untuk menurunkan luas RTH. Kondisi ini menggambarkan bahwa Kota Depok dalam melakukan pembangunannya tidak mempertimbangkan adanya RTH pada tahun 2000-2010.

Hasil regresi menunjukkan luas RTH di awal pengamatan (2006) berperan negatif terhadap perubahan luas RTH. Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak lahan RTH yang dialihfungsikan untuk pembangunan lainnya. Selanjutnya luas lahan kosong berperan positif terhadap perubahan luas RTH. Tersedianya lahan kosong berpotensi meningkatkan ketersediaan RTH atau lahan-lahan kosong dapat dialihfungsikan untuk meningkatkan areal ruang terbuka hijau.

Variabel terakhir yang berperan adalah variabel jarak dari desa ke pusat kota. Hasil regresi menunjukkan variabel tersebut berperan positif yang dapat diinterpretasikan semakin jauh jarak dari pusat kota maka luas RTH semakin meningkat. Hal tersebut terjadi pada Kota Depok diduga karena semakin jauh dari pusat kota intensitas pembangunan wilayah cenderung kurang intensif. Pembangunan fasilitas maupun prasarana sangat cepat terjadi pada pusat kota sehingga banyak lahan yang berpotensi untuk RTH diubah menjadi lahan terbangun dan sebaliknya di wilayah pinggiran.


(1)

36

Lampiran 2. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2011

HIRARKI DESA TAHUN 2011

Nama Kecamatan

Nama Desa Jumlah Fasilitas

Jumlah Jenis Fasilitas

Hirarki

Sawangan Pengasinan 408 32 HIRARKI 2

Sawangan Bedahan 434 30 HIRARKI 3

Sawangan Pasir Putih 579 25 HIRARKI 3

Sawangan Sawangan Baru 457 25 HIRARKI 3

Sawangan Sawangan Lama 384 32 HIRARKI 2

Sawangan Kedaung 318 31 HIRARKI 2

Sawangan Cinangka 365 31 HIRARKI 2

Bojongsari Duren Seribu 503 32 HIRARKI 2

Bojongsari Duren Mekar 620 30 HIRARKI 3

Bojongsari Bojongsari Lama 660 30 HIRARKI 3

Bojongsari Bojongsari Baru 704 28 HIRARKI 3

Bojongsari Curug 680 27 HIRARKI 3

Bojongsari Pondok Petir 596 31 HIRARKI 2

Bojongsari Serua 516 26 HIRARKI 3

Pancoran Mas Rangkapan Jaya Baru 634 27 HIRARKI 3

Pancoran Mas Rangkapan Jaya 622 35 HIRARKI 1

Pancoran Mas Mampang 769 28 HIRARKI 3

Pancoran Mas Pancoran Mas 665 29 HIRARKI 3

Pancoran Mas Depok Jaya 995 38 HIRARKI 1

Pancoran Mas Depok 709 38 HIRARKI 1

Cipayung Cipayung Jaya 449 33 HIRARKI 2

Cipayung Bojong Pondok

Terong 365 34 HIRARKI 1

Cipayung Pondok Jaya 626 28 HIRARKI 3

Cipayung Ratujaya 523 31 HIRARKI 2

Cipayung Cipayung 651 28 HIRARKI 3

Sukma Jaya Sukmajaya 482 30 HIRARKI 3

Sukma Jaya Tirtajaya 391 25 HIRARKI 3

Sukma Jaya Mekar Jaya 486 34 HIRARKI 1

Sukma Jaya Abadijaya 517 34 HIRARKI 1

Sukma Jaya Bakti Jaya 582 28 HIRARKI 3

Sukma Jaya Cisalak 433 33 HIRARKI 2

Cilodong Kalimulya 420 33 HIRARKI 2

Cilodong Jatimulya 322 30 HIRARKI 3

Cilodong Kalibaru 754 33 HIRARKI 2


(2)

37 Lampiran 2 (Lanjutan)

Cilodong Sukamaju 514 33 HIRARKI 2

Cimanggis Curug 760 28 HIRARKI 3

Cimanggis Harjamukti 357 31 HIRARKI 2

Cimanggis Cisalak Pasar 422 27 HIRARKI 3

Cimanggis Mekarsari 421 29 HIRARKI 3

Cimanggis Tugu 617 33 HIRARKI 2

Cimanggis Pasir Gunung Selatan 421 34 HIRARKI 1

Tapos Cilangkap 698 31 HIRARKI 2

Tapos Cimpaeun 310 26 HIRARKI 3

Tapos Tapos 360 30 HIRARKI 3

Tapos Leuwinaggung 972 27 HIRARKI 3

Tapos Jatijajar 700 34 HIRARKI 1

Tapos Sukamaju Baru 745 28 HIRARKI 3

Tapos Sukatani 674 37 HIRARKI 1

Beji Beji 488 34 HIRARKI 1

Beji Beji Timur 363 26 HIRARKI 3

Beji Kemirimuka 607 30 HIRARKI 3

Beji Pondok Cina 884 28 HIRARKI 3

Beji Kukusan 557 31 HIRARKI 2

Beji Tanah Baru 454 30 HIRARKI 3

Limo Meruyung 232 28 HIRARKI 3

Limo Grogol 175 25 HIRARKI 3

Limo Krukut 184 31 HIRARKI 2

Limo Limo 274 36 HIRARKI 1

Cinere Cinere 412 34 HIRARKI 1

Cinere Gandul 357 27 HIRARKI 3

Cinere Pangkalanjati Baru 286 25 HIRARKI 3


(3)

38

Lampiran 3. Hasil Pengecekan Lapang

CEK LAPANG

RTH S E Elevasi (m)

RTH Lapangan 06°23’56” 106°48’36” 119

Lap.golf 06°23’41” 106°45’06” 111

Rumput 06°24’02” 106°45’01” 114

Lapangan 06°23’39” 106°45’39” 106

RTH Fasilitas 06°23’07” 106°45’27” 108

Makam 06°26’09” 106°51’42” 123

RTH Fasilitas 06°26’47” 106°51’31” 128 Lahan terbangun 06°26’55” 106°51’16” 132 RTH Fasilitas 06°27’16” 106°51’43” 139

Semak 06°27’10” 106°51’46” 140

Lap golf 06°26’51” 106°52’40” 136

Lap.golf 06°25’03” 106°53’47” 123

Semak 06°24’52” 106°53’54” 131

RTH Fasilitas 06°24’11” 106°51’40” 137 RTH Fasilitas 06°23’37” 106°51’54” 106

RTH Fasilitas 06°22’41” 106°54’07” 91

RTH jalan 06°22’25” 106°53’45” 99

Taman 06°22’14” 106°53’29” 96

Lahan terbangun 06°22’28” 106°53’50” 84

RTH Fasilitas 06°22’09” 106°51’39” 83

Lahan terbangun 06°21’26” 106°51’36” 82 RTH Fasilitas 06°26’08” 106°50’56” 126

Makam 06°26’11” 106°50’45” 121

Lahan Terbangun 06°26’50” 106°49’49” 134 RTH Fasilitas 06°26’04” 106°50’33” 132

Hutan Kota 06°25’07” 106°50’38” 117

Semak 06°24’58” 106°50’26” 127

RTH Fasilitas 06°23’31” 106°50’37” 119

RTH Fasilitas 06°22’28” 106°51’44” 97

Makam 06°22’23” 106°51’09” 90

RTH Fasilitas 06°23’28” 106°51’52” 106

Makam 06°24’21” 106°50’41” 99

Sempadan sungai 06°24’03” 106°49’52” 87

RTH Jalan 06°23’41” 106°49’22” 103

RTH Fasilitas 06°23’38” 106°49’19” 106

Hutan 06°24’25” 106°48’45” 124


(4)

39 Lampiran 3 (Lanjutan)

Lahan terbangun 06°23’06” 106°49’42” 88

Makam 06°24’13” 106°49’09” 115

RTH Fasilitas 06°22’24” 106°49’51” 93

RTH Jalan 06°21’24” 106°49’57” 87

Hutan 06°25’30” 106°51’24” 124

RTH Fasilitas 06°22’43” 106°48’35” 89

RTH Fasilitas 06°20’44” 106°47’50” 88

Lap.golf 06°19’11” 106°47’18” 62

RTH Lapangan 06°21’13” 106°46’31” 102

RTH Fasilitas 06°23’06” 106°46’17” 93

Makam 06°22’59” 106°46’39” 101

Lahan terbangun 06°23’14” 106°44’50” 92

RTH Lapangan 06°24’09” 106°43’51” 111

Makam 06°23’29” 106°44’35” 103

RTH Lapangan 06°22’54” 106°44’20” 102

RTH Fasilitas 06°21’48” 106°44’46” 97

Semak 06°26’00” 106°44’47” 132

Lahan Terbangun 06°24’00” 106°46’19” 107

RTH Fasilitas 06°24’15” 106°44’48” 136

RTH Fasilitas 06°25’08” 106°51’23” 120

Hutan 06°21’25” 106°49’42” 98


(5)

40

Lampiran 4. Hasil Analisis Regresi Berganda

ANALISIS REGRESI BERGANDA

R= ,76169663 R²= ,58018176 Adjusted R²= ,55122878 F(4,58)=20,039 p<,00000 Std.Error of estimate: 8,5724

Beta Std.Err. -

of Beta B

Std.Err. -

of B t(58) p-level

Intercept 3,730111 3,707834 1,00601 0,318590

RTH 2006 -0,660303 0,098234 -0,193713 0,028819 -6,72175 0,000000 Alokasi

lahan terbangun

-0,340460 0,092570 -0,038470 0,010460 -3,67787 0,000516 Lahan

kosong 0,264661 0,102654 0,135155 0,052423 2,57818 0,012494 Jarak ke


(6)

41

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1989 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara dari Bapak Sumedi dan Ibu Mulyani. Penulis mulai memasuki pendidikan formal tahun 1996. Penulis pernah bersekolah di SD Negeri Cilangkap V selesai tahun 2002, SMP Negeri 12 Depok selesai tahun 2005 dan SMA Negeri 1 Citeureup Bogor selesai tahun 2008. Kemudian, penulis menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pengembangan wilayah pada tahun ajaran 2011/2012 dan asisten praktikum sistem informasi geografi tahun ajaran 2011/2012. Penulis pernah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Gentra Kaheman periode 2008/2009 sebagai staf, organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian periode 2009/2010 sebagai Staf Departemen Sport and Art, BEM Fakultas Pertanian periode 2010/2011 sebagai Sekretaris Umum, BEM KM IPB periode 2011/2012 sebagai Sekretaris Umum. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) seperti Seminar Nasional.