Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi

(1)

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN

KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK

DI KOTA BEKASI

FEBRIANA WIDIASTUTI

A14070024

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

i

RINGKASAN

FEBRIANA WIDIASTUTI. Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. RTH perlu ada di antara struktur bangunan sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan. Pemerintah di Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH menjadi semakin diperkecil. Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek yang memiliki perkembangan pesat. Sebagai kota yang berkembang pesat, maka penggunaan lahan cenderung digunakan untuk lahan-lahan terbangun seperti perumahan, perkantoran, dan perindustrian. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di kota Bekasi, 2) mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di kota Bekasi, 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH, 4) mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk, dan 5) menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi.

Pada periode tahun 2003 hingga 2010 terjadi penurunan RTH di Kota Bekasi. Hal ini ditandai dengan laju perubahan RTH per tahun yang bernilai negatif, yaitu -0.024. Jumlah penduduk Kota Bekasi terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,8% per tahun dan rata-rata-rata-rata laju kepadatan penduduk sebesar 4% per tahun. Hasil analisis skalogram sederhana tahun 2003 dan 2006 menunjukkan terjadi peningkatan hirarki pada Kota Bekasi yang ditandai dengan bertambahnya kelurahan berhirarki 2 dan berkurangnya kelurahan berhirarki 3. Secara umum laju konversi RTH besar terjadi pada hirarki wilayah 1 dan perubahan luas RTH terbesar terjadi pada wilayah berhirarki 3. Pada tahun 2010, Kota Bekasi tidak mampu mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk. RTH eksisting pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha, sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk sebesar 4.672,98 ha. Upaya penambahan RTH dengan mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk RTH dipilih penggunaan berupa lahan kosong (541,686 Ha) tetap tidak dapat mencukupi kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH adalah jarak ke pusat kota yang membawahi, luas RTH tahun 2003, jarak ke fasilitas sosial, perubahan lahan terbangun, luas lahan kosong tahun 2003, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam usaha penambahan RTH adalah 1) mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan koordinasi tugas yang jelas, 2) Peningkatan hubungan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga, 3) Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi bagian Selatan yang masih berpotensi tinggi untuk RTH dan optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota Bekasi dengan pembangunan vertikal, 4) Pengambilan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah mengenai okupasi pemukiman liar, 5) Optimalisasi kerjasama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH, 6) Pengembangan RTH selain di atas tanah, 7) Memberdayakan masyarakat sekitar


(3)

dalam pemeliharaan RTH yang ada di lingkungan sekitar masyarakat, 8) Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal jalur di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan, 12) Penyusunan anggaran khusus RTH.


(4)

iii

SUMMARY

FEBRIANA WIDIASTUTI. An Analysis of Greenery Open Space (GOS) and Its Adequacy Based on Population in the Bekasi City. Supervised by SANTUN R.P SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.

Greenery Open Space (RTH) is a major element of urban spatial structure. It should exist among buildings as a buffer of the environment. Government in Indonesia generally have difficulties to increase the greenery open space and they just try to maintaining the area, even the acreage target in some cities is reduced. Bekasi City is part of the Jabodetabek area which develop rapidly. As a fast developing city, built up area such as housing, offices, and industrial accupied the land. The purpose of this study are 1) to determine the change rate of greenery open space and its adequacy based on population of Bekasi City, 2) to examine the rate of population growth and development of urban areas in Bekasi City, 3) to understand factors affecting the changes of greenery open space in Bekasi City, 4) to identify potential area for greenery open space area expansion and to analyze its adequacy based on population, and 5) to formulate efforts increasing the green open space area in Bekasi City.

In the period 2003 to 2010, greenery open space decreased slightly in Bekasi City. It was characterized by negative rate at -2% per annum. The population of Bekasi City increased continually with average growth at 3.8% and average density growth at 4% annually. Hierarchy of Bekasi City in 2003 and 2006 was shifting in structure. It was characterized by increasing of hierarchy 2 and decreasing of hierarchy 3. Greenery open space was converted significantly in hierarchy 1 and the largest change was taken place in hierarchy 3. In 2010, Bekasi City can not fulfill minimum acreage of greenery open space based on population. The existing of green open space in 2010 is 2547.59 ha, but the greenery open space required is 4672.98 ha. Potential area to expand greenery open space area are vacant land (541.686 ha). Nonetheless, it is not sufficient. Factors that affecting the change of greenery open space were distance to the district, initial greenery open space area (in 2003), distance to social facilities, growth of built up land, vacant land area in 2003, distance to educational facilities, and increasing economic facilities. The efforts to enlarge greenery open space area can be, 1) optimizing the performance of greenery open space management with explisit coordination, 2) increasing cooperation between government and third-parties, 3) optimizing the Southern of Bekasi City which is potential for greenery open space enlargement and optimizing the Northern area with vertical development, 4) taking strick policy about occupation of illegal settlements, 5) optimizing the cooperation with third parties to increase the funds to develop RTH, 6) developing vertical greenery to increase greenery open space, 7) empowering local communities to maintain greenery open space, 8) optimizing incentive and disincentives program, 9) optimizing the area around city utilities system for greenery open space, 10) optimizing RTRW functions as a reference control for RTH, 11) optimizing control of development activities, 12) formulating special budget for RTH.


(5)

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN

KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK

DI KOTA BEKASI

Febriana Widiastuti

A14070024

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

POGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(6)

v

Judul Skripsi : Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi

Nama Mahasiswa : Febriana Widiastuti

NRP : A14070024

Menyetujui,

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 1962113 198703 1003

Tanggal lulus:

Pembimbing 2

Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si NIP. 19710412 199702 2 005 Pembimbing 1

Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus NIP. 19490721 197302 1 001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Febriana Widiastuti, dilahirkan di Trenggalek, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 20 Februari 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supriyadi dan Ibu Gunarti.

Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharma Wanita I pada tahun 1994-1995. Kemudian, pada tahun 1995 penulis meneruskan pendidikan di SD Negeri III Karangan dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri I Karangan dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Trenggalek dan menyelesaikan pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program USMI di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif menjadi pengurus di beberapa Organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (2008-2009) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (2009-2010). Penulis pernah menjadi anggota paduan suara mahasiswa Agriaswara IPB selama satu tahun dari tahun 2007 hingga 2008. Penulis juga aktif dalam kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan juga kegiatan kampus lainnya. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah pada tahun ajaran 2010-2011. Selama studi di IPB, penulis juga memperoleh beasiswa PPA.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan, kesabaran dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Suwarli dan Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang telah membantu dalam proses pengumpulan data, serta Dr. Ir. Widiatmaka sebagai dosen penguji dalam ujian akhir penelitian ini.

3. Ibunda tercinta Gunarti, Ayahanda Supriyadi, dan adik-adikku Kresna dan Bintang, yang telah memberikan semangat, dukungan, kasih sayang, baik dalam bentuk moril maupun materil serta doa kepada penulis.

4. Dosen dan staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Farid, Angga, dan Rahmat yang telah membantu dalam survei lapang.

5. Teman-teman seperjuangan (Citra, Nindi, Chitae, Achi, Lili, Ufi, dan Sisharyanto) yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan penelitian kami. Rahmat Hadi Wibowo yang selalu memberikan semangat. Keluarga Gareulis (Woro, Rianda, Viya, Evie, Imas, Dewi, Shinta), dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Maret 2012 Febriana Widiastuti


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan ... 5

2.2. Ruang Terbuka Hijau ... 7

2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau ... 8

2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau ... 10

2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan ... 13

2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan lahan ... 15

BAB III BAHAN DAN METODE ... 17

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat penelitian ... 18

3.3. Metode Penelitian... 19

3.3.1. Persiapan ... 19

3.3.2. Pengumpulan Data... 20

3.3.3. Survei Lapang ... 20

3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data ... 20

3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH Terhadap Jumlah Penduduk Di Kota Bekasi ... 20

3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi ... 23

3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH... 25


(10)

ix

3.3.4.5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi ... 27

3.3.5. Penyusunan skripsi ... 28

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 29

4.1. Sejarah Kota Bekasi ... 29

4.2. Wilayah Administrasi ... 29

4.3. Kondisi Geografis ... 30

4.4. Topografi ... 31

4.5. Iklim ... 31

4.6. Morfologi ... 31

4.7. Hidrologi ... 31

4.8. Jenis Tanah dan Geologi... 32

4.9. Kondisi Sosial Ekonomi ... 32

4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010) ... 34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ... 36

5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 41

5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk... 42

5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi ... 46

5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH ... 52

5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH ... 56

5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1. Kesimpulan ... 65

6.2. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ...14

2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber data, dan Teknis Analisis...18

3. Variabel-variabel Dalam Analisis Skalogram Sederhana ...24

4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda ...26

5. Matriks SWOT...28

6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ...36

7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya ...41

8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 2000-2004... ...44

9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 2005-2010... ...45

10.Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006... ...46

11.Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006 ...47

12.Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006...50

13.Hasil Analisis Regresi ...53

14.Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan ...58

15.Matrix Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi ...62


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Lokasi Penelitian ...17

2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum dan Setelah Pemekaran ...30

3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003 ...38

4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010 ...39

5. Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi ...40

6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun 1997-2010 ...43

7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun 1997-2010 ...44

8. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ...48

9. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ...49

10.Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki ...51

11.Grafik Luasan areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan di Kota Bekasi...56


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ...70

2. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ...72

3. Titik Pengamatan Lapang ...74


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) RTH perlu ada di antara struktur bangunan (hutan bangunan) sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan. RTH berfungsi sebagai “paru-paru” kota. Pada prinsipnya, RTH dimaksudkan agar dapat menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun di perkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air, kelembaban udara, dan polusi. Semakin sedikit RTH secara akumulatif bisa berakibat fatal, yaitu dicirikan dengan naiknya suhu bumi dan perubahan cuaca karena kenaikan suhu bumi. Saat ini banyak pohon-pohon di daerah perkotaan yang di potong atau di tebang oleh pemerintah dengan alasan mengganggu lalu lintas dan instalasi listrik atau untuk keperluan menambah lebar jalur lalu lintas kendaraan bermotor. Penebangan pohon-pohon tersebut seringkali tidak diikuti dengan upaya penanaman kembali dengan pohon yang baru.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, di Afrika Selatan 10 tahun kemudian, telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Begitu pula dalam UU No 26 tahun 2007, dinyatakan bahwa wilayah kabupaten atau perkotaan harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH sebesar minimal 30% dari luas wilayah. RTH yang dimaksud berupa RTH publik dan RTH privat dengan proporsi masing-masing 20% dan 10%. Penetapan besaran luasan RTH ini disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Upaya penataan wilayah perkotaan sesuai dengan pengembangan kota akan menciptakan keseimbangan dan keserasian antara lingkungan alam dan lingkungan binaan.

Permasalahan degradasi lingkungan hidup perkotaan digambarkan dengan semakin mewabahnya penyakit-penyakit akibat kondisi lingkungan yang memburuk. Hal ini akibat tidak adanya ruang bagi penampung buangan kegiatan


(15)

manusia berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin menumpuk dan tak terkendali sehingga menjadi media pertumbuhan penyakit. Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dilakukan dengan menyisihkan sebagian ruang kota. Ruang kota tersebut dimaksudkan bukan untuk diproyeksikan untuk permukiman, seperti sempadan sungai, danau, atau laut.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) juga menyatakan bahwa kota-kota Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH kota-kota sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH kota menjadi semakin menyempit. Target luasan RTH yang semakin menyempit itu pun konon sulit untuk direalisasikan akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi RTH dan bahkan sering dikorbankan. Padahal sebenarnya RTH mempunyai nilai ekologis dan ekonomis tinggi bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat secara fisik maupun psikologis.

Eksistensi RTH di perkotaan sering diabaikan karena dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung dan akibatnya luas areal RTH semakin berkurang. Berkurangnya RTH ini terjadi akibat meningkatnya kebutuhan lahan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan pada pemanfaatan lahan sehingga perlu mendapat perhatian khusus terutama berkaitan dengan penyediaan ruang untuk permukiman, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang publik di perkotaan.

Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek. Letak Kota Bekasi yang berada di antara DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadikan kota ini memiliki letak yang sangat strategis. Kemudahan akses antara Kota Jakarta dan Bekasi menjadikan Kota Bekasi sebagai salah satu daerah penyeimbang Kota Jakarta. Bekasi juga merupakan kota dengan perkembangan yang pesat, termasuk dalam hal industri.


(16)

3

Perkembangan kota merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kebijakan pemerintah kota mengenai arahan perkembangan kota perlu diiringi dengan penegakan peraturan. Pembangunan kota perlu disertai dengan pelestarian RTH kota non-pertanian (Putri 2010). Berdasarkan data BAPPEDA Kota Bekasi (2007), ketersediaan RTH di Kota Bekasi hanya sebesar 3,58% dari luas total Kota Bekasi. Bahkan, di Kota Bekasi masih belum terdapat taman kota yang berfungsi sebagai taman bermain serta tempat sosialisasi dan interaksi antar penduduk kotanya. Oleh karena itu, Bekasi saat ini masih kekurangan luas RTH. Ironisnya lagi, meski luas RTH sudah minim sebagian lahan RTH tersebut masih beralih fungsi menjadi kompleks perumahan dan lain sebagainya.

Sempitnya RTH terutama di permukiman padat penduduk di perkotaan berdampak pada makin menurunnya kualitas lingkungan dan kenyamanan kota. Hal ini juga membuat warga berebut menggunakan setiap jengkal lahan yang kosong untuk beraktivitas. Bahkan bisa terjadi perebutan ruang terbuka antar warga sehinga menimbulkan perselisihan yang berpotensi pada perkelahian.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya „ruang rekreasi‟ gratis, maka sebuah kota dimana pun dan bagaimana pun ukuran dan kondisinya pasti memerlukan RTH. RTH tersebut seharusnya memenuhi persyaratan terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakkan hukumnya.

Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai pengaruh konversi RTH di Bekasi terhadap kenyamanan dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk. Kurangnya persentase RTH di Kota Bekasi dapat berujung pada hal-hal yang negatif terhadap kenyamanan dan psikologis masyarakat. Kebutuhan RTH di Kota Bekasi dapat diperkirakan berdasarkan luas kota, jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya, dan isu penting yang timbul seperti masalah kekurangan air, kebutuhan oksigen, maupun banjir.


(17)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. RTH kota Bekasi semakin berkurang dari tahun ke tahun sehingga diduga RTH di Kota Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan warga untuk kegiatan sehari-hari seperti rekreasi, olah raga, bersosialisasi.

2. Kota Bekasi memiliki perkembangan pesat dengan jumlah penduduk yang terus meningkat yang diduga mempengaruhi ketersediaan RTH.

3. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi. 4. Ketersediaan lahan di Kota Bekasi semakin kecil khususnya untuk RTH.

5. Keberhasilan upaya penambahan luas RTH sesuai arahan UU No 26 tahun 200 masih kecil.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi.

2. Mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di Kota Bekasi.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH.

4. Mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk.

5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi. 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai luasan eksisting RTH yang ada di Kota Bekasi, kecukupan luas RTH saat ini terhadap jumlah penduduk Kota Bekasi, dan laju konversi RTH yang terjadi dari tahun 2003-2010. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk keperluan menyusun arahan kebijakan pembangunan kota yang berwawasan lingkungan serta dapat menghasilkan rekomendasi-rekomendasi praktis yang relevan.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan

Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan penduduk, aktivitas, dan penggunaan lahan. Perencanaan kota yang selama ini menitikberatkan pada aspek fisik semata dirasakan kurang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Sinulingga, 2005).

Lebih lanjut Sinulingga (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota yang cepat menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang perkotaan yang mempertimbangkan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya. Ruang adalah wadah semua interaksi sistem sosial (kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif.

Berdasarkan pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruangdan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

Penataan ruang adalah usaha untuk merencanakan jumlah penggunaan lahan guna keperluan tertentu dan pada tempat yang tepat. Rencana tata ruang pada hakikatnya mengatur pemanfaatan dan letak elemen-elemen ruang kota, yaitu pusat pelayanan, industri, pemukiman dan ruang terbuka hijau (RTH) serta jaringan jalan untuk mencapai tujuan perencanaan kota. Tujuan dari perencanaan


(19)

tata ruang kota anatara lain penyediaan ruang yang cukup untuk setiap jenis penggunaan secara efisien untuk kenyamanan bagi lingkungan kegiatan manusia kota (Sinulingga, 2005).

Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana. Kawasan-kawasan-kawasan inilah yang seharusnya dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau. Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif baik secara ekologis maupun planologis. Pengembangan RTH tersebut sebaiknya dilakukan secara berhirarki dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006).

Brown dan Jacobson dalam Leitmann (1999) menyatakan bahwa perlindungan sistem lingkungan di perkotaan dapat dilakukan dengan mengalokasikan kawasan lindung. Kota dapat meningkatkan kualitas manusia dan lingkungan alam melalui konservasi sumberdaya maupun tingginya standar kualitas lingkungan.

Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang alami merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota berkaitan dengan penanggulangan masalah lingkungan. RTH dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota yaitu: sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru kota, sumber air tanah, mencegah erosi, keindahan, dan kehidupan satwa, menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan.

Correa (1988) dalam Utami (2011), dalam penelitiannya menyatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial dapat dikelompokkan unsur utama yaitu: ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi, daerah untuk bergaul/sosialisasi dengan tetangga, daerah tempat pertemuan warga, dan daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat.

Keberadaan RTH sebagai ruang dengan fungsi ekologis menjadikan RTH sebagai salah satu fungsi lahan yang sering kali dikorbankan dalam membangun dan mengembangkan sebuah kota. RTH yang semakin berkurang akan


(20)

7

berimplikasi pada suhu kota yang semakin meningkat. Menurut Saputro (2010), suhu udara rata-rata lebih tinggi pada area terbuka dari pada area rumput dan naungan. Hal ini karena pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya. Peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah karena kemampuan tajuk pohon yang efektif dalam penyerapan panas dan mengurangi pemantulan.

Saputro (2010), dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa area parkir pada bangunan-bangunan perkantoran dan perbelanjaan dengan area hijau yang minim kurang efektif dalam menurunkan suhu udara di sekitarnya. Selain itu, semakin besar persentase perkerasan terhadap luasan total menyebabkan suhu udara semakin meningkat, begitu sebaliknya.

Pola pemanfaatan ruang terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang berfungsi konservasi serta kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung bagi ekologi kota, termasuk di dalamnya adalah lahan pertanian, taman kota, sempadan sungai, jalur hijau jalan, taman pulau jalan, jalur hijau rel kereta api, jalur hijau bawah tegangan tinggi, dan RTH kota non-pertanian lainnya. Sedangkan kawasan budidaya mencakup kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi, serta pertahanan dan keamanan (Putri, 2010).

Menurut Putri (2010), tingginya proporsi lahan terbangun dalam kawasan dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan berkurangnya debit air yang diresap oleh tanah. Perkembangan kawasan budidaya kota dapat mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Hal ini menyebabkan frekuensi dan peluang kejadian banjir yang tinggi pada musim hujan.

2.2. Ruang Terbuka Hijau

Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR No 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas


(21)

Pertanian IPB (2005) dalam makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 menyatakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), dalam konteks pemanfaatan, pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup lebih luas dari sekedar pengisian hijau tumbuh-tumbuhan. Konsep RTH mencakup pula pengertian dalam bentuk pemanfaatan ruang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Lebih lanjut, sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dinyatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dengan pengisian hijau tanaman.

2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau

Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), ruang terbuka hijau kota dapat diklasifikasikan baik dalam tata letak maupun fungsinya. Berdasarkan letaknya, ruang terbuka hijau kota bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai (coastal open spaces), dataran banjir sungai (river flood plain), ruang terbuka pengamanan jalan bebas hambatan (greenways), dan ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan bandar udara.

Hasni (2009) mengatakan, klasifikasi Ruang Terbuka Hijau dapat dibagi menjadi: (a) kawasan hijau pertamanan kota, (b) kawasan hijau hutan kota, (c) kawasan hijau rekreasi kota, (d) kawasan hijau kegiatan olahraga, (e) kawasan hijau pemakaman, (f) kawasan hijau pertanian, (g) kawasan hijau jalur hijau, (h) kawasan hijau pekarangan.


(22)

9

a. Jalur hijau: pohon peneduh jalan raya, jalur hijau dibawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai. Jalur ini dapat dikembangkan di dalam kota atau di luar kota sebagai RTH guna memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan.

b. Taman kota: taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa untuk mendapatkan komposisi yang indah

c. Kebun dan halaman: jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya jenis yang menghasilkan buah serta yang tidak diharapkan buahnya.

d. Kebun raya, hutan raya, dan kebun binatang: kebun raya. Hutan raya, dan kebun bunatang, dapat dimasukkan dalam salah satu bentuk RTH. Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, daerah lain, maupun luar negeri.

e. Hutan lindung: daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan abrasi air laut, sebaiknya dijadikan hutan lindung. f. Kuburan dan taman makam pahlawan: tempat pemakaman biasanya

banyak ditanam pepohonan.

Dalam makalah lokakarya pengembangan sistem RTH di perkotaan dalam rangkaian acara hari bakti Pekerjaan Umum ke 60, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB (2005) menyatakan bahwa berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertanaman kota, lapangan olah raga, pemakaman). Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear). Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasikan menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan pendidikan, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olahraga, alamiah.


(23)

2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau

Pada dasarnya RTH dimaksudkan untuk menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun diperkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban udara, polusi dan lain sebagainya. Vegetasi memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan. Peranan penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Dari berbagai peranan vegetasi dan manfaat vegetasi, maka manfaat dan fungsi penghijauan atau ruang terbuka hijau (RTH), adalah (Amir dalam Hendrawan, 2003):

a. Paru-paru kota: tanaman sebagai elemen hijau pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk

hidup untuk pernapasan.

b. Pengatur lingkungan (mikro): vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat menjadi sejuk, nyaman, dan segar.

c. Pencipta lingkungan hidup: penghijauan dapat menciptakan ruang bagi makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadinya interaksi secara alamiah.

d. Penyeimbang alam (edapis): merupakan pembentukan tempat hidup alami bagi satwa yang hidup disekitarnya.

e. Oro-hidrologi: pengendalian untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi.

f. Perlindungan bagi kondisi fisik alami sekitarnya: seperti angin kencang, terik matahari, gas, atau debu.

g. Mengurangi polusi udara: vegetasi dapat menyerap polutan tertentu. h. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan kerimbunan

dedaunannya.

i. Mengurangi polusi air: vegetasi dapat membantu membersihkan air. j. Mengurangi polusi suara (kebisingan): vegetasi dapat menyerap suara. k. Keindahan (estetika): unsur-unsur penghijauan yang direncanakan

dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota.

l. Kesehatan: warna dan karakter tumbuhan dapat digunakan untuk terapi mata dan jiwa.


(24)

11

m.Nilai pendidikan: komunitas vegetasi yang ditanam dengan keanekaragaman jenis dan karakter akan memberikan nilai ilmiah sehingga sangat bermanfaat untuk pendidikan, seperti hutan kota adalah laboratoriium alam.

n. Rekreasi dan pendidikan: jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah.

o. Sosial, politik, dan ekonomi: tumbuhan mempunyai nilai sosial yang tinggi.

p. Penghijauan perkotaan: menjadi indikator atau petunjuk bagi lingkungan, kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi atas pertumbuhan dan perkembangan kota.

Menurut Hasni (2009), RTH memiliki berbagai fungsi seperti edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, higienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis. Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan, dengan pengertian sebagai berikut:

a. Fungsi edaphis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman pohon yang sesuai.

b. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah dan air.

c. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis dan respirasi tanaman.

d. Fungsi protektif: melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak. e. Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik

di udara maupun di air.

f. Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmiahnya, manfaat serta khasiatnya.

g. Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyumbangkan keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik melalui keindahan warna, bentuk, kombinasi tekstur, bau-bauan ataupun bunyi dari satwa liar yang menghuninya.


(25)

h. Fungsi sosial ekonomis adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias atau pedagang musiman seperti di lapangan Gasibu di Bandung pada hari Minggu pagi.

Dalam penelitian Sancho (2005), disebutkan bahwa konsep alun-alun sebagai ruang terbuka hijau yaitu ruang terbuka berupa taman kota yang selain memiliki fungsi ekologi dan estetika juga berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan sosialisasi, tempat dimana orang dapat merasakan suasana aman dan damai melalui suasana indah yang ditimbulkan.

Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006):

1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberikan jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan, dan penahan angin.

2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal. RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian.

3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah, dan berdaun indah, serta menjadi bagian dari usaha pertanian dan kehutanan.

4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro.

Peningkatan penutupan vegetasi akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap penurunan suhu udara dalam taman dan sekitarnya apabila pada taman tersebut terisi vegetasi yang rapat dan padat. Pada taman dengan penutupan vegetasi yang minim tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan suhu udara. Oleh karena itu, efektifitas taman menurunkan suhu udara bergantung kepada dominasi elemen vegetasi yang ada pada taman dan sekitarnya. Semakin


(26)

13

jauh jarak dari taman, suhu udara cenderung semakin tinggi, dan sebaliknya (Harti, 2005).

2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota.

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertimbangan umum penentuan luas RTH antara lain bahwa RTH antara kota dalam suatu hamparan kompak setidaknya mempunyai luas 0,25 hektar, sedangkan proporsi minimal adalah 10% dari wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 05/PRT/M/2008 Penyediaan RTH di wilayah perkotaan meliputi:

1. Penyediaan RTH berdasarkan Luas Wilayah

a) Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

 ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;

 proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

 apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat


(27)

meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

2. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu.

RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

3. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

No Unit

Lingkungan Tipe RTH

Luas minimal/unit

(m2)

Luas minimal/ kapita (m2)

Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah lingkungan RT

2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat kegiatan RW

3 30.000 jiwa Taman

kelurahan 9.000 0,3

Dikelompokan dengan sekolah/pusat kelurahan

4 120.000 jiwa

Taman

kecamatan 24.000 0,2

Dikelompokan dengan sekolah/pusat kecamatan

Pemakaman disesuaikan 1,2 Tersebar 5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 Di pusat

wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/kawasan

pinggiran Untuk

fungsi-fungsi tertentu disesuaikan 12,5

Disesuaikan kebutuhan


(28)

15

Dahlan dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa penetapan luasan RTH (termasuk didalamnya Taman Hutan) kota yang harus dibangun, ditetapkan sebagai berikut:

a. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menurut perkiraan kasar (begitu saja mengikuti apa yang telah ada) diharapkan mencapai luasan 10%, 20%, 25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang menetapkan 60%, seperti kota Canberra, ibu kota Australia.

b. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di beberapa negara ditentukan sebagai berikut : di Malaysia 1,9 m2 per penduduk dan Jepang 5 m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan 11,5 m2, Amerika 60 m2, Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2/penduduk.

c. Berdasarkan isu-isu penting, Luas RTH yang harus disediakan sebuah kota yang kekurangan air bersih, ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air.

d. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH kota yang harus disediakan mengacu pada jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor serta jumlah industri.

2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan Lahan

Fenomena peningkatan jumlah penduduk terus terjadi di sebagian besar negara di dunia. Pada kondisi normal (tidak terjadi bencana alam) pertumbuhan penduduk mengikuti pola eksponensial (kurva S). Pada awalnya pertumbuhan penduduk akan terjadi secara lamban dan semakin meningkat dengan sangat cepat secara eksponensial, yang pada akhirnya akan tercapai kondisi stabil (seimbang). Keseimbangan terjadi jika laju kelahiran sama dengan laju kematian (Enger dan Badly dalam Munibah et al., 2009). Peningkatan jumlah penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa. Menurut Hartini et al. (2008), perkembangan suatu wilayah akan selalu diikuti dengan adanya pertambahan penduduk di wilayah tersebut.


(29)

Menurut Munibah et al. (2009) jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap luas lahan permukiman dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat tinggal (termasuk jasa) dan berpengaruh terhadap luas lahan pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Pertumbuhan penduduk akan mempengaruhi pertambahan luas lahan permukiman. Verbist et al. (2004) dalam penelitiannya mengenai alih guna lahan pada lanskap agroforestri berbasis kopi di Sumatra menyebutkan bahwa faktor pendorong terjadinya alih guna lahan yang termasuk faktor eksternal adalah pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan, dan harga pasar internasional.


(30)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011-Januari 2012. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian ini.


(31)

3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari citra QUICKBIRD Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010 dalam bentuk digital yang diakses secara bebas melalui website earth.google.com dan data survei lapang. Data sekunder meliputi data PODES (Potensi Desa) Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006 dan beberapa peta penunjang lainnya (Peta Administrasi Kota Bekasi, Peta RTRW, Peta RTH Kota Bekasi) diperoleh dari BAPPEDA dan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi. Data jumlah penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi.

Citra QUICKBIRD yang digunakan adalah citra tahun 2003 dan 2010 karena diharapkan citra tersebut dapat mempresentasikan keadaan RTH tahun 2003 dan saat ini. Namun, data PODES yang digunakan adalah tahun 2003 dan 2006 karena data tahun ini adalah yang paling relevan dan dapat diperbandingkan. Data PODES tahun 2006 diharapkan dapat mewakili keadaan pada PODES tahun 2008. Keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan teknik analisis data tertera dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber Data, dan Teknik Analisis

No Tujuan Jenis data yang digunakan Sumber pengumpulan

data Teknik analisis data 1 Menganalisis laju

perubahan luas RTH dan kecukupan rasionya terhadap jumlah penduduk di kota Bekasi.

 Cita QUICKBIRD tahun 2003 dan 2010.

 Peta administrasi kota Bekasi.

 Data jumlah penduduk kota Bekasi dari tahun 1997-2010 (BPS Kota Bekasi).

 Website

earth.google.com  BAPPEDA Kota

Bekasi

 BPS Kota Bekasi

 Analisis spasial (koreksi geometri, digitasi citra)  Deskripsi tabel dan

grafik

 Analisis kecukupan RTH terhadap jumlah penduduk berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 2 Mengetahui laju

pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di kota Bekasi.

 Data jumlah penduduk kota bekasi tahun 1997-2009.

 Data luas wilayah Kota Bekasi.

 Data fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial Kota Bekasi (PODES).

 BPS kota Bekasi  BAPPEDA Kota

Bekasi

 Analisis skalogram  Deskripsi tabel dan


(32)

19

Tabel 2. (Lanjutan)

3 Menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi perubahan luas RTH.

 Data hasil analisis tujuan 1.

 Laju kepadatan penduduk.

 Laju jumlah penduduk.  Data fasilitas

pendidikan, fasilitas ekonomi, fasilitas kesehatan, fasilitas sosial Kota Bekasi, dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan (PODES).

 BAPPEDA Kota Bekasi

 BPS Kota Bekasi

 Analisis regresi berganda

4 Mengidentifikasi areal yang

berpotensi untuk di jadikan RTH.

 Citra QUICKBIRD 2010.

 Peta penggunaan lahan (2010).

 Peta RTRW kota Bekasi.

 BAPPEDA Kota Bekasi

 Analisis spasial (Digitasi citra QUICKBIRD 2010)

5 Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi.

 RPJMD 2008-2013, RTRW, Laporan penyusunan rencana induk penataan, pengelolaan, dan pengendalian RTH Kota Bekasi.

 Website: bekasikota.go.id  BAPPEDA Kota

Bekasi

 Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Bekasi

 Analisis SWOT

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa perangkat lunak yaitu Arc GIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Microsoft Office 2007, Statistica 8.0 serta kamera digital, dan GPS.

3.3. Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam lima tahapan, yaitu 1) Persiapan, 2) Pengumpulan Data, 3) Survei Lapang, 4) Analisis dan Interpretasi Data, 5) Penyusunan skripsi

3.3.1. Persiapan

Pada tahapan ini dilakukan studi pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian dan penyelesaian perizinan untuk pengambilan data. Data penunjang yang digunakan adalah: buku teks, berbagai jurnal atau artikel ilmiah, dan prosiding seminar yang terkait dengan tujuan penelitian.


(33)

3.3.2. Pengumpulan Data

Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data di lapangan dan instansi terkait yang dibutuhkan untuk penelitian. Data yang dikumpulkan terdiri dari data spasial, data numerik, dan data pendukung hasil survai lapang. Data spasial berupa peta RTRW, citra QUICKBIRD, Peta Administrasi Kota Bekasi, dan Peta penggunaan lahan. Data numerik berupa data-data statistik meliputi data demografi/jumlah penduduk, dan data jumlah fasilitas (PODES).

3.3.3. Survei Lapang

Survei lapang meliputi pengamatan penggunaan lahan berupa RTH di Kota Bekasi dan wawancara dengan penduduk (responden) menggunakan kuesioner tentang riwayat penggunaan lahan di beberapa titik contoh terpilih. Pemilihan titik-titik contoh didasarkan pada perubahan penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lahan lain atau sebaliknya dengan luasan relatif besar.

3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial, deskripsi grafik dan tabel, teknik pendugaan perubahan, analisis skalogram, analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise regression, dan analisis kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 5 tahun 2008, dan analisis SWOT.

3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH Terhadap Jumlah Penduduk di Kota Bekasi

Laju perubahan RTH dapat diperoleh dengan melakukan analisis spasial pada citra QUICKBIRD tahun 2003 dan 2010 yang meliputi proses koreksi geometrik, proses digitasi visual secara on screen, dan overlay untuk mendapatkan matrix transisi. Kecukupan RTH terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi diperoleh dari analisis ketercukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008.


(34)

21

Analisis Spasial

Proses analisis spasial meliputi proses koreksi geometrik dan proses digitasi pada citra QUICKBIRD Kota Bekasi dan peta-peta yang dibutuhkan dengan menggunakan Arc GIS 9.3. Koreksi geometrik bertujuan untuk merujuk citra QUICKBIRD tersebut pada peta dasar yang telah terkoreksi secara geometrik sehingga diperoleh citra yang sama atau mirip dengan geometri di bumi yang sebenarnya. Proses koreksi geometrik tersebut meliputi penentuan titik-titik kontrol tanah; penentuan sistem referensi koordinat, datum, dan jenis transformasi; serta proses rektifikasi (Wikantika dan Agus, 2006).

Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010 yang telah dikoreksi kemudian diinterpretasi secara visual berdasarkan kenampakan penutupan lahan khususnya kenampakan RTH. Proses interpretasi ini disebut dengan interpretasi secara manual. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan pada sembilan unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi, dan konvergensi bukti (Lillesand dan Kiefer, 1990). Digitasi dilakukan secara on screen menggunakan Arc GIS 9.3 sehingga menghasilkan peta RTH tahun 2003 dan 2010. Digitasi on screen merupakan proses pengubahan data grafis digital dalam struktur data vektor yang disimpan dalam bentuk point, line, atau, area. Interpretasi kenampakan RTH pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. RTH jalur hijau jalan.

Karakteristik visual: berwarna hijau, memanjang membentuk jalur atau berbentuk pulau dengan pola teratur, berasosiasi dengan jalan kota dan jalan tol.

b. RTH sempadan sungai

Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya seperti jalur memanjang mengikuti pola sungai yang berkelok-kelok, berasosiasi dengan sungai, dan tekstur agak kasar

c. RTH olahraga

Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dan berasosiasi dengan lapangan olahraga.


(35)

d. RTH tempat pemakaman umum

Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, berasosiasi dengan vegetasi berwarna hijau hijau, terdapat titik-titik berwarna putih (nisan), pola tidak teratur, dan tekstur agak kasar.

e. RTH Taman

Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dengan luasan tertentu, dan teratur, terletak di tengah kota.

f. RTH privat.

Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya tidak beraturan, berasosiasi dengan bangunan/permukiman, dan polanya tidak teratur. Hasil digitasi dari kedua citra tersebut akan menghasilkan data mengenai luas RTH tahun 2003, luas RTH tahun 2010, dan perubahan luas RTH selama periode 2003-2010. Untuk memperoleh matrix transisi, dilakukan proses tumpang tindih (overlay) dengaan peta-peta yang dibutuhkan. Dari hasil matriks ini akan diperoleh hasil yang kemudian digunakan sebagai data analisis selanjutnya.

Analisis Kecukupan RTH terhadap Jumlah Penduduk Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008

Luas RTH yang dibutuhkan ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, yaitu dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH per penduduk. Kebutuhan RTH kota berdasarkan jumlah penduduk ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu dengan total 20 m2/penduduk sebagaimana tertera pada Tabel 1 pada Bab Tinjauan Pustaka. Persamaan untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut:

��� = � � ... m2/orang Keterangan:

k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU no 05/PRT/M/2008.


(36)

23

3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi

Laju pertumbuhan penduduk diperoleh dengan melakukan analisis pendugaan perubahan dan analisis deskripsi dan tabel sedangkan perkembangan wilayah Kota Bekasi di perolah dengan melakukan analisis skalogram sederhana.

Analisis Skalogram

Metode ini digunakan untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana/prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah. Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut didasarkan pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana dan prasana pembangunan dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini memberikan hirarki yang lebih tinggi pada wilayah yang mempunyai perkembangan lebih maju, yaitu yang memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana/prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitatif yang menyangkut derajat fungsi sarana/prasarana pembangunan, distribusi penduduk, dan jangkauan pelayanan sarana prasarana pembangunan. Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu:

 Hirarki I, jika perkembangan wilayah ke-j ≥ (rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j).

 Hirarki II, jika rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke-j<=perkembangan wilayah ke-j<( rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j).

 Hirarki III, jika perkembangan wilayah ke-j < rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke-j.

Data yang digunakan dalam analisis skalogram sederhana ini adalah data fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial sebagaimana tertera dalam Tabel 3.


(37)

Tabel 3. Variabel-variabel Analisis Skalogram Sederhana

No Jenis fasilitas Variabel Jumlah

1 Fasilitas pendidikan

Jumlah TK

6 Jumlah SD

Jumlah SLTP Jumlah SMU Jumlah SMK Jumlah PT

2 Fasilitas ekonomi

Jumlah Wartel

9 Jumlah Warnet

Jumlah Toko Jumlah Supermarket Jumlah tempat makan Jumlah Penginapan Jumlah Industri Kerajinan Jumlah Bank Umum Jumlah Koperasi

3 Fasilitas kesehatan

Jumlah Rumah Sakit

9 Jumlah RSB

Jumlah Poliklinik Jumlah Puskesmas

Jumlah Puskesmas Pembantu Jumlah Posyandu

Jumlah Apotik

Jumlah Tempat Praktek Dokter Jumlah Tempat Praktek Bidan

4 Fasilitas sosial Jumlah Tempat Peribadatan 1 Jumlah Variabel 25

Teknik Pendugaan Perubahan

Perubahan secara sistematis dapat diduga dari fungsi pertumbuhan dan peluruhan. Teknik ini dapat digunakan untuk menduga pertumbuhan ataupun peluruhan seiring dengan waktu, ukuran atau jarak dari posisi referensi. Rumus matematis dari teknik pendugaan perubahan adalah:

��� = ��ı − ���

�� Xto = nilai variabel tahun awal


(38)

25

Deskripsi Grafik dan Tabel

Analisis ini merupakan penjabaran data secara deskriptif melaui tabel atau pun grafik. Melalui metode ini dapat diketahui keadaan wilayah, pola perubahan ruang terbuka hijau, laju hubungan peluruhan/pertumbuhan ruang terbuka hijau, laju pertumbuhan penduduk, dan kecukupan RTH kota dengan jumlah penduduk. 3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH yang terjadi di Kota Bekasi dilakukan melalui analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise regression. Analisis ini dipilih karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH. Metode forward stepwise regression dipilih karena jumlah yang digunakan banyak dan berpeluang asumsi tidak saling berkorelasinya antar vaiabel bebas tidak akan dapat dipenuhi.

Analisis Regresi Berganda

Regresi berganda adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel tujuan (dependent variable) dengan bebrapa variabel penduga (independent variable). Sasaran dari metode regresi berganda adalah penggunaan variabel penduga untuk memprediksi variabel tujuan. Dengan kata lain analisis regrasi berganda digunakan untuk menduga nilai suatu parameter regresi berdasarkan data yang diamati. Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi:

a. E (ei) = 0 untuk setiap i; dimana i = 1,2,...,n; artinya rata-rata galat adalah

nol

b. Kov (ei,ej) = 0, i ≠ j, artinya kovarian pengamatan ke-i dan ke-j = 0,

dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat pengamatan yang satu dengan yang lain.

c. Var (ei2) = σ2; untuk setiap i dimana i = 1,2,...,n; artinya setiap galat


(39)

d. Kov (ei,x1i) = Kov (ei,x2i) = 0; artinya kovarian setiap galat pengamatan

dengan setiap variabel bebas yang tercakup dalam persamaan linier berganda sama dengan nol.

e. Tidak ada multikolinearitas; artinya tidak ada hubungan linier yang eksak antara variabel-variabel penjelas, atau variabel penjelas harus saling bebas. f. Ei ≈ N (0;σ), galat pengamatan menyebar normal dengan rata-rata nol dan

ragam σ2

.

Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah:

Y = A0+A1X1+...+AnXn Dimana:

Y = Luas perubahan RTH 2003-2010 (ha)

X = Variabel bebas sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. A = Koefisien variabel

Tabel 4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda

No Variabel bebas No Variabel bebas

1 Perubahan jumlah penduduk 2003-2009 (jiwa)

11 Jarak ke fasilitas kesehatan (km) 2 Perubahan jumlah fasilitas pendidikan

(unit)

12 Jarak ke fasilitas sosial (km) 3 Perubahan jumlah fasilitas ekonomi

(unit)

13 Alokasi rth dalam RTRW (ha) 4 Perubahan jumlah fasilitas kesehatan

(unit)

14 Luas RTH tahun 2003 (ha) 5 Perubahan jumlah fasilitas sosial (unit) 15 *Dummy1 (hirarki) 6 Jarak ke kecamatan yang membawahi

(km)

16 *Dummy2 (hirarki)

7 Jarak ke pusat kota (km) 17 Perubahan luas lahan terbangun 2003-2010 (ha)

8 Jarak terdekat ke kota lain (km) 18 Perubahan luas lahan kosong 2003-2010 (ha)

9 Jarak ke fasilitas pendidikan (km) 19 Luas Lahan terbangun tahun 2003 (ha) 10 Jarak ke fasilitas ekonomi (km) 20 Luas lahan kosong tahun 2003 (ha)

Keterangan: *= hirarki wilayah: hirarki 1 (dummy 1=0, dummy 2=1); hirarki 2 (dummy 1=1, dummy 2=0); hirarki 3 (dummy 1=1, dummy 2=1).

Dalam analisis regresi berganda ini diasumsikan bahwa Kota Bekasi tidak mengalami pemekaran sehingga unit analisis ini memakai 10 kecamatan sebagaimana kondisi administratif Kota Bekasi sebelum adanya pemekaran.


(40)

27

3.3.4.4. Mengidentifikasi Areal Yang Berpotensi Untuk RTH

Mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi RTH dilakukan dengan analisis spasial, yaitu melalui proses digitasi visual secara on screen pada citra QUICKBIRD 2010 berdasarkan kondisi eksisting penggunaaan lahan Kota Bekasi berupa lahan kosong yang mempunyai luasan cukup besar. Proses digitasi tersebut juga didasarkan pada peta penggunaan lahan 2010 untuk menghindari kemungkinan kesalahan interpretasi. Hasil dari digitasi tersebut berupa peta arahan areal pertambahan RTH. Peta arahan areal pertambahan RTH tersebut kemudian di overlay dengan peta administrasi wilayah Kota Bekasi sehingga dihasilkan luasan areal arahan pertambahan RTH per kecamatan.

Luas areal arahan pertambahan RTH per kecamatan yang diperoleh dari hasil digitasi kemudian dijumlahkan dengan RTH eksisting tahun 2010 untuk dihubungkan dengan luas kebutuhan RTH tahun berdasarkan jumlah penduduk tahun 2010. Dari hubungan tersebut dapat diketahui apakah luas areal pertambahan RTH tersebut dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk atau tidak. Perhitungan ini dilakukan dengan analisis deskripsi grafik dan tabel.

3.3.4.5. Menyusun Upaya Penambahan RTH di Kota Bekasi

Untuk menyusun upaya-upaya penambahan RTH yang tepat, maka dalam penelitian ini menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT ini dilakukan identifikasi faktor internal dan dan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengadaan dan pengelolaan RTH di Kota Bekasi.

Analisis SWOT

Penyusunan upaya-upaya penambahan RTH di kota Bekasi dilakukan berdasarkan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi yang tepat. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan Peluang (Opportunities), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,


(41)

kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi saat ini yang disebut dengan analisis situasi (Iskandarini, 2004). Berdasarkan analisis situasi akan terbentuk matrix yang menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Matriks SWOT

Internal Eksternal

Strengths (S) Weakness (W) Tentukan faktor-faktor

kekuatan internal

Tentukan faktor-faktor kelemahan internal

Opportunities (O) Strategi SO Strategi WO

Tentukan faktor-faktor peluang eksternal

Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk

memanfaatkan peluang

Threats (T) Strategi ST Strategi WT

Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal

Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

 Strategi SO

Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

 Strategi ST

Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman

 Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

 Strategi WT

Strategi ini didasarkan ppada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

3.3.5. Penyusunan skripsi

Penyusunan skripsi dilakukan dengan menggunakan hasil analisis data dan interpretasinya serta data-data dan informasi-informasi pendukung lainnya


(42)

BAB IV

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Sejarah Kota Bekasi

Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa. Kecamatan Bekasi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi mempunyai perkembangan yang pesat. Pesatnya perkembangan Kabupaten Bekasi menuntut adanya pemekaran Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Pembentukan Kota Administratif ini di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahin 1981. Pada awal pembentukan ini Kota Administratif Bekasi hanya terdiri dari 4 kecamatan, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi Selatan yang meliputi 18 kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982 dengan walikota pertama adalah H. Soedjono.

Pada perkembangannya, Kota Administratif Bekasi mengalami Perkembangan yang cukup pesat. Oleh karena itu, status Kota Administratif Bekasi diubah menjadi Kotamadya (Kota) Bekasi. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996 (http://bekasikota.go.id).

4.2. Wilayah Administrasi

Sesuai dengan Perda Kota Bekasi Nomor 4 tahun 2004 tentang pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bekasi terbagi atas 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan. Sebelum mengalami pemekaran pada tahun 2005, Kota Bekasi memiliki 10 kecamatan yang terdiri dari 52 kelurahan. Kota Bekasi mempunyai luas wilayah sekitar 210,49 km2, dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Wilayah administrasi Kota Bekasi sebelum dan setelah mengalami pemekaran tertera pada Gambar 2 (a) dan Gambar 2 (b).


(43)

Batas-batas wilayah administrasi wilayah kota bekasi adalah: Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi

Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor Sebelah Barat : Kota Jakarta Timur Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi

(a) (b)

Gambar 2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum (a) dan Setelah Pemekaran (b) 4.3. Kondisi Geografis

Secara geografi Kota Bekasi berada pada posisi 106055‟ Bujur Timur dan 607‟-6015‟ Lintang Selatan, dengan ketinggian 19 m di atas permukaan laut. Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi kota Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadi salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010).


(44)

31

4.4. Topografi

Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian rata-rata kurang 25 m di atas permukaan air laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede, sedangkan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan air laut berada di Kecamatan Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.5. Iklim

Sepanjang tahun 2009 keadaan di Kota Bekasi cenderung panas, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu masing-masing tercatat 311 mm dan 302 mm dengan hari hujan masing-masing 10 hari. Jumlah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 0 mm, dengan kata lain tidak ada hari hujan sama sekali. Jumlah curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2009 adalah 1.518 mm (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010).

4.6. Morfologi

Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar dengan kemiringan lahan bervariasi antara 0-2%. Wilayah Kota Bekasi tidak terdapat bukit dan secara keseluruhan kondisi morfologi lahannya adalah datar yang menyebar pada seluruh wilayah kecamatan di Kota Bekasi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.7. Hidrologi

Wilayah Kota Bekasi dialiri 3 (tiga) sungai utama yaitu Sungai Cakung, Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dari permukaan air laut.

Air permukaan yang terdapat di wilayah Kota Bekasi meliputi sungai/kali Bekasi dan beberapa sungai/kali kecil serta saluran irigasi Tarum Barat yang selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air baku bagi kebutuhan air minum wilayah Bekasi (kota dan kabupaten) dan wilayah DKI Jakarta. Kondisi air permukaan kali Bekasi saat ini tercemar oleh limbah industri


(45)

yang terdapat di bagian selatan wilayah Kota Bekasi (industri di wilayah Kabupaten Bogor).

Kondisi air tanah di wilayah Kota Bekasi sebagian cukup potensial untuk digunakan sebagai sumber air bersih terutama di wilayah selatan Kota Bekasi, tetapi untuk daerah yang berada di sekitar TPA Bantargebang kondisi air tanahnya kemungkinan besar sudah tercemar. Kondisi air tanah yang terdapat di Bekasi Timur sebagian mengandung zat besi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.8. Jenis Tanah dan Geologi

Struktur geologi wilayah Kota Bekasi didominasi oleh pleistocene volcanik facies. Struktur aluvium menempati sebagian kecil wilayah Kota Bekasi bagian utara sedangkan struktur miocene sedimentary facies terdapat di bagian timur wilayah Kota Bekasi sepanjang perbatasan dengan DKI Jakarta.

Kedalaman efektif tanah sebagian besar di atas 91 cm. Jenis tanah latosol dan aluvial, serta tekstur tanah didominasi tekstur sedang dan halus. Komposisi perbandingan berdasarkan luasnya adalah: tekstur halus seluas 17.260 ha (82%), tekstur sedang seluas 3.368 ha (16%) dan tekstur kasar seluas 421 ha (2%) (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.9. Kondisi Sosial Ekonomi

Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk kota Bekasi angka sementara adalah 2.336.498 orang, yang terdiri1.182.496 laki-laki dan 1.153.993 perempuan. Penyebaran penduduk kota Bekasi masih di dominasi di empat kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 orang (13,28%), Bekasi Barat sebanyak 270.569 orang (11,58%), Bekasi Timur sebanyak 248.046 orang (10,62%), dan Kecamatan Pondok Gede sebanyak 246.413 orang (10,55%). Perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan di Kota Bekasi adalah sebesar 102, yang artinya jumlah penduduk laki-laki 2% lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 210,49 km2 yang didiami oleh 2.336.489 orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bekasi adalah sebesar 11.100 jiwa per km2. Wilayah yang paling padat penduduknya adalah


(1)

Lampiran 3. Titik Pengamatan Lapang

Kecamatan Kelurahan Perubahan x y

Bekasi Utara Harapan Baru badan air-->badan air 723579,29 9312679,85 Bantar Gebang Bantar Gebang industri-->industri 718943,61 9300740,31 Medan Satria Medan Satria industri-->rth pr 717977,05 9315089,55 Medan Satria Medan Satria jalan-->rth-p jalur hijau jalan 722259,31 9309166,89 Bekasi Selatan Kayuringin Jaya lahan kosong-->industri 720238,76 9309373,54 Bekasi Selatan Marga Jaya lahan kosong-->perkantoran dan jasa 720570,43 9309924,04 Bekasi Timur Bekasi Jaya lahan kosong-->permukiman 721912,51 9310479,53 Medan Satria Medan Satria lahan kosong-->rth pr 718638,90 93151491,97 Mustika Jaya Padurenan lahan kosong-->rth pr 721530,49 9302202,32 Bekasi Selatan Jaka Mulya lahan kosong-->rth-p jalur hijau jalan 716716,29 9305741,50 Pondok Gede Jati Bening lahan kosong-->rth-p jalur hijau jalan 713654,65 9307972,46 Jati Asih Jati sari lahan kosong-->rth-p sempadan sungai 716000,18 9297812,72 Rawalumbu Bojong Menteng lahan kosong-->rth-p sempadan sungai 720686,70 9303121,53 Bekasi Selatan Marga Jaya lahan kosong-->rth-p taman 721268,98 9309629,68 Rawalumbu Pengasinan perkantoran dan jasa-->perkantoran dan jasa 722338,64 9307801,72 Jati Asih Jati Mekar permukiman-->lahan kosong 715074,36 9302929,84 Jati Sampurna Jati Ranggon permukiman-->rth pr 713561,44 9298592,48 Bekasi Selatan Jaka Mulya permukiman-->rth-p jalur hijau jalan 716681,16 9317885,49 Bantar Gebang Sumur Batu rth pr-->badan air 721441,39 9297483,17 Medan Satria Medan Satria rth pr-->industri 718651,89 9312965,79 Jati Asih Jati Luhur rth pr-->industri 715812,12 9301527,69 Bekasi Selatan Kayuringin Jaya rth pr-->industri 720119,94 9310325,32

Jati Asih Jati Asih rth pr-->jalan 716775,95 9303839,18

Bekasi Selatan Jaka Mulya rth pr-->jalan tol 716720,14 9306345,15 Jati Asih Jati Asih rth pr-->jalan tol 716211,97 9303530,87 Pondok Gede Jati Bening rth pr-->lahan kosong 713204,01 9307768,60 Bantar Gebang Ciketing Udik rth pr-->lahan kosong 719016,60 9297747,65 Medan Satria Harapan Mulya rth pr-->perkantoran dan jasa 720495,12 9310633,01 Bekasi Timur Margahayu rth pr-->perkantoran dan jasa 722141,46 9308400,00 Jati Asih Jati sari rth pr-->permukiman 714136,17 9297887,28 Pondok Gede Jati Bening rth pr-->permukiman 714670,37 9307238,19 Mustika Jaya Mustika Sari rth pr-->permukiman 722309,78 9304340,73 Bekasi Timur Aren Jaya rth pr-->permukiman 724615,22 9309739,02

Mustika Jaya Cimuning rth pr-->rth pr 724782,47 9301893,66

Jati Asih Jati Luhur rth pr-->rth pr 716076,55 9301326,18

Bantar Gebang Ciketing Udik rth pr-->rth pr 718371,38 9297756,20 Rawalumbu Bojong Menteng rth pr-->rth pr 720584,76 9302633,50 Bekasi Timur Margahayu rth pr-->rth-p jalur hijau jalan 723674,60 9308215,37 Bekasi Utara Teluk Pucung rth pr-->rth-p jalur hijau jalan 723992,99 9312963,38 Bantar Gebang Sumur Batu rth pr-->sawah 721759,26 9299403,58 Bekasi Barat Kota Baru rth pr-->sungai 718042,66 9312306,24


(2)

Lampiran 3. (Lanjutan)

Kecamatan Kelurahan Perubahan x y

Bekasi Selatan Kayuringin Jaya rth-p hijau olahraga-->fasilitas olahraga 720273,103 9309905,013 Bekasi Selatan Kayuringin Jaya rth-p hijau olahraga-->rth-p hijau olahraga 720415,928 9310406,497 Pondok Gede Jati Makmur rth-p jalur hijau jalan-->jalan 713152,397 9306090,715 Bekasi Selatan Pekayon Jaya rth-p jalur hijau jalan-->jalan 718456,479 9308163,158 Bekasi Barat Jakasampurna rth-p jalur hijau jalan-->jalan tol 716532,113 9308135,409 Pondok Melati Jati Rahayu rth-p jalur hijau jalan-->lahan kosong 712004,022 9304073,815 Jati Asih Jati Luhur rth-p jalur hijau jalan-->permukiman 714678,015 9301551,927 Bekasi Barat Bintara Jaya rth-p jalur hijau jalan-->permukiman 715806,819 9310582,363 Bekasi Selatan Pekayon Jaya rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan 719643,394 9308574,394 Rawalumbu Pengasinan rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan 723034,915 9307323,765 Bekasi Barat Jakasampurna rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan 718101,222 9309100,491 Pondok Gede jati Bening Baru rth-p jalur hijau jalan-->rth-p jalur hijau jalan 716222,820 9308071,618 Bekasi Timur Duren jaya rth-p sempadan sungai-->lahan kosong 723566,861 9310920,135 Pondok Gede Jati Cempaka rth-p sempadan sungai-->permukiman 710764,904 9307530,186 Rawalumbu Bojong Rawalumbu rth-p sempadan sungai-->rth-p sempadan sungai 719382,929 9305819,190 Medan Satria Kali Baru rth-p sempadan sungai-->sungai 719385,871 9312040,519 Rawalumbu Pengasinan rth-p taman-->rth-p taman 722297,551 9307782,586 Bekasi Timur Duren jaya rth-p TPU-->rth-p TPU 723789,802 9310382,020 Jati Asih Jati Asih sawah-->rth-p jalur hijau jalan 716240,590 9303676,779

Jati Asih Jati Rasa sawah-->sawah 716931,571 9301767,820


(3)

Lampiran 4. Layout Kuesioner Hari/ Tanggal

Koordinat x Koordinat y Kecamatan Kelurahan

Penggunaan lahan 2003

Penggunaan lahan 2010

Penggunaan lahan eksisting

Intensitas penggunaan lahan

Elevasi Kepemilikan Tahun Berubah Informasi lain terkait


(4)

RINGKASAN

FEBRIANA WIDIASTUTI. Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. RTH perlu ada di antara struktur bangunan sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan. Pemerintah di Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH menjadi semakin diperkecil. Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek yang memiliki perkembangan pesat. Sebagai kota yang berkembang pesat, maka penggunaan lahan cenderung digunakan untuk lahan-lahan terbangun seperti perumahan, perkantoran, dan perindustrian. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di kota Bekasi, 2) mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di kota Bekasi, 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH, 4) mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk, dan 5) menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi.

Pada periode tahun 2003 hingga 2010 terjadi penurunan RTH di Kota Bekasi. Hal ini ditandai dengan laju perubahan RTH per tahun yang bernilai negatif, yaitu -0.024. Jumlah penduduk Kota Bekasi terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,8% per tahun dan rata-rata-rata-rata laju kepadatan penduduk sebesar 4% per tahun. Hasil analisis skalogram sederhana tahun 2003 dan 2006 menunjukkan terjadi peningkatan hirarki pada Kota Bekasi yang ditandai dengan bertambahnya kelurahan berhirarki 2 dan berkurangnya kelurahan berhirarki 3. Secara umum laju konversi RTH besar terjadi pada hirarki wilayah 1 dan perubahan luas RTH terbesar terjadi pada wilayah berhirarki 3. Pada tahun 2010, Kota Bekasi tidak mampu mencukupi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk. RTH eksisting pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha, sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk sebesar 4.672,98 ha. Upaya penambahan RTH dengan mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk RTH dipilih penggunaan berupa lahan kosong (541,686 Ha) tetap tidak dapat mencukupi kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH adalah jarak ke pusat kota yang membawahi, luas RTH tahun 2003, jarak ke fasilitas sosial, perubahan lahan terbangun, luas lahan kosong tahun 2003, jarak ke fasilitas pendidikan, dan perubahan jumlah fasilitas ekonomi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam usaha penambahan RTH adalah 1) mengoptimalkan kinerja badan-badan pengelola RTH dengan koordinasi tugas yang jelas, 2) Peningkatan hubungan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga, 3) Memanfaatkan wilayah Kota Bekasi bagian Selatan yang masih berpotensi tinggi untuk RTH dan optimalisasi lahan di wilayah Utara Kota Bekasi dengan pembangunan vertikal, 4) Pengambilan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah mengenai okupasi pemukiman liar, 5) Optimalisasi kerjasama dengan pihak ketiga untuk penggalangan dana pengelolaan RTH, 6) Pengembangan RTH selain di atas tanah, 7) Memberdayakan masyarakat sekitar


(5)

dalam pemeliharaan RTH yang ada di lingkungan sekitar masyarakat, 8) Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal jalur di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan, 12) Penyusunan anggaran khusus RTH.


(6)

SUMMARY

FEBRIANA WIDIASTUTI. An Analysis of Greenery Open Space (GOS) and Its Adequacy Based on Population in the Bekasi City. Supervised by SANTUN R.P SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.

Greenery Open Space (RTH) is a major element of urban spatial structure. It should exist among buildings as a buffer of the environment. Government in Indonesia generally have difficulties to increase the greenery open space and they just try to maintaining the area, even the acreage target in some cities is reduced. Bekasi City is part of the Jabodetabek area which develop rapidly. As a fast developing city, built up area such as housing, offices, and industrial accupied the land. The purpose of this study are 1) to determine the change rate of greenery open space and its adequacy based on population of Bekasi City, 2) to examine the rate of population growth and development of urban areas in Bekasi City, 3) to understand factors affecting the changes of greenery open space in Bekasi City, 4) to identify potential area for greenery open space area expansion and to analyze its adequacy based on population, and 5) to formulate efforts increasing the green open space area in Bekasi City.

In the period 2003 to 2010, greenery open space decreased slightly in Bekasi City. It was characterized by negative rate at -2% per annum. The population of Bekasi City increased continually with average growth at 3.8% and average density growth at 4% annually. Hierarchy of Bekasi City in 2003 and 2006 was shifting in structure. It was characterized by increasing of hierarchy 2 and decreasing of hierarchy 3. Greenery open space was converted significantly in hierarchy 1 and the largest change was taken place in hierarchy 3. In 2010, Bekasi City can not fulfill minimum acreage of greenery open space based on population. The existing of green open space in 2010 is 2547.59 ha, but the greenery open space required is 4672.98 ha. Potential area to expand greenery open space area are vacant land (541.686 ha). Nonetheless, it is not sufficient. Factors that affecting the change of greenery open space were distance to the district, initial greenery open space area (in 2003), distance to social facilities, growth of built up land, vacant land area in 2003, distance to educational facilities, and increasing economic facilities. The efforts to enlarge greenery open space area can be, 1) optimizing the performance of greenery open space management with explisit coordination, 2) increasing cooperation between government and third-parties, 3) optimizing the Southern of Bekasi City which is potential for greenery open space enlargement and optimizing the Northern area with vertical development, 4) taking strick policy about occupation of illegal settlements, 5) optimizing the cooperation with third parties to increase the funds to develop RTH, 6) developing vertical greenery to increase greenery open space, 7) empowering local communities to maintain greenery open space, 8) optimizing incentive and disincentives program, 9) optimizing the area around city utilities system for greenery open space, 10) optimizing RTRW functions as a reference control for RTH, 11) optimizing control of development activities, 12) formulating special budget for RTH.