Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur

PERENCANAAN JALUR HIJAU UNTUK MENGURANGI
POLUSI PARTIKEL AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI
PADA SIMPANG SUSUN CAWANG, JAKARTA TIMUR

ALHAMADI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Jalur
Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada
Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Alhamadi
NIM A44080064

ABSTRAK
ALHAMADI. Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat
Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur. Dibimbing
oleh NIZAR NASRULLAH.
Aktivitas transportasi yang berlangsung di lingkungan jalan semakin
meningkat dan menimbulkan dampak negatif berupa polusi. Untuk mengatasi
kondisi ini, salah satu solusi yang dapat digunakan adalah pendekatan ruang
terbuka hijau, yaitu jalur hijau jalan. Jalur hijau jalan dapat mengurangi polusi
yang dihasilkan di lingkungan jalan dan area di sekitanya. Lokasi penelitian ini
adalah simpang susun Cawang, Jakarta Timur. Penelitian ini bertujuan untuk: 1)
mengukur jumlah debu yang dijerap oleh jalur hijau pada simpang susun Cawang
dan 2) menyusun rencana penanaman vegetasi jalur hijau simpang susun Cawang.
Proses penelitian ini mencakup beberapa tahap, yaitu pendahuluan, riset, analisis,

dan sintesis. Selain itu, metode gravimetri juga digunakan untuk mengukur
kapasitas jalur hijau dalam menjerap partikel debu. Penelitian ini menunjukkan
bahwa spesies beringin (Ficus benjamina) memiliki kapasitas jerapan debu
tertinggi dibandingkan dengan tanjung (Mimusoph elengi), glodogan bulat
(Polyalthia fragrans), dan bintaro (Cerbera manghas). Oleh karena itu, dalam
penyusunan rencana penanaman vegetasi untuk mengurangi polusi partikel,
pertimbangan mengenai jenis spesies, jumlah, dan penempatan vegetasi di dalam
tapak penting dilakukan. Hasil akhir penelitian ini berupa rencana penanaman
jalur hijau simpang susun Cawang.
Kata kunci: simpang susun Cawang, jalur hijau, rencana penanaman, polusi

ABSTRACT
ALHAMADI. Planning of Streetside Greenery to Reduce Particles Emitted by
Transportation Activities in Cawang Interchange, East Jakarta. Supervised by
NIZAR NASRULLAH.
Transportation activities on the street is on the increase and causing
negative impact namely pollution. To overcome this under ideal condition, an
approach that can be used as one of the solutions is green spaces such as greenery.
Greenery of streetside can decrease pollution on its surrounding areas. The
location of this research was Cawang interchange, East Jakarta. There were two

objectives which were provided by the research: 1) to measure dust that was
adsorbed by the greenery of Cawang interchange and 2) to arrange a planting plan
of Cawang interchange greenery. The process of this research consist of several
phases e.g. commission, research, analysis, and synthesis. Otherwise, gravimetry
method was used to found the full measure of greenery capacity in adsorbing
particles (dust). This research showed that Ficus benjamina was the species which
has the highest capacity in adsorbing dust beside other three sample species
(Mimusoph elengi, Cerbera manghas, and Polyalthia fragrans). Therefore, it was
important to consider sort of species, number, and location pattern of the greenery
in arranging the planting plan to reduce particles. The output of this research was
planting plan of Cawang interchange greenery.
Keywords: Cawang interchange, greenery, planting plan, pollution

PERENCANAAN JALUR HIJAU UNTUK MENGURANGI
POLUSI PARTIKEL AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI
PADA SIMPANG SUSUN CAWANG, JAKARTA TIMUR

ALHAMADI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat
Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur
: Alhamadi
Nama
: A44080064
NIM

Disetujui oleh


Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr
Pembimbing

/
uris ' ah MSLA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

,

.1 AUG 20.1.1

Judul Skripsi : Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat
Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur
Nama
: Alhamadi
NIM
: A44080064


Disetujui oleh

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan nikmat serta karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan
Oktober 2012 ini adalah jalur hijau, dengan judul Perencanaan Jalur Hijau untuk
Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun
Cawang, Jakarta Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr

selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan
koreksi yang sangat berguna. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak
Kiman, Bapak Dede A, Bapak Subiarto, dan Ibu Dedeh dari PT. Jasa Marga
(Persero), Bapak Heri Prabowo, Bapak Mahdiar, dan Bapak Ali Abasyah dari PT.
Citra Marga Nushapala Persada (Persero) Tbk yang telah membantu selama
pengumpulan data. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ismiyanti
yang bertanggung jawab selama penggunaan laboratorium Spektrophotometry
Departemen Agronomi dan Hortikultura. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada ayah (Djuhasan), ibu (Mainah), kakak (Nurliah, Neni,
dan Deniati), dan seluruh keluarga atas do’a dan dukungan moril yang diberikan.
Selanjutnya, terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi
atas motivasinya serta teman-teman program studi Arsitektur Lanskap angkatan
45 yang telah bekerja sama membantu, memberikan semangat, dan atas
kebersamaannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi pembaca yang
menekuni bidang arsitektur lanskap.

Bogor, Juli 2013
Alhamadi


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
Kerangka Pikir
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Jalan
Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol
Simpang Susun (Interchange)
Pencemaran (Polusi)
Jalur Hijau Jalan
Jalur Hijau Jalan sebagai Pereduksi Polusi
Perencanaan Jalur Hijau Jalan
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan

Alat
Proses Penelitian
Metode Gravimetri
INVENTARISASI
Aspek Fisik
Aspek Biofisik
ANALISIS
Aspek Fisik
Aspek Biofisik
SINTESIS
Studi Skematik
Perencanaan Jalur Hijau Simpang Susun Cawang
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x

x
xi
1
1
1
2
2
3
3
4
5
6
8
9
10
11
11
11
12
12

15
18
18
25
31
31
37
40
40
42
56
56
56
57
59
63

DAFTAR TABEL
1 Parameter dan baku mutu udara ambien nasional
2 Baku mutu kebisingan sesuai peruntukan kawasan
3 Jenis, tipe, sumber, dan sifat analisis data
4 Kategori, bentuk tajuk, dan fungsi vegetasi sampel
5 Data iklim wilayah Cawang tahun 2011
6 Volume kendaraan di simpang susun Cawang tahun 2011
7 Kualitas udara rata-rata tahun 2011 pada KM 00+400 tol Cawang
8 Intensitas kebisingan rata-rata tahun 2011 pada KM 00+400 tol
Cawang
9 Jenis vegetasi dan persebarannya di kawasan simpang susun cawang
10 Rata-rata berat debu dan luas daun per pengamatan
11 Kapasitas jerapan debu per pengamatan
12 Kapasitas jerapan debu per hari
13 Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari
14 Rata-rata emisi berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan
15 Lintas harian rata-rata kendaraan pada simpang susun Cawang
16 Jumlah emisi partikel debu per hari simpang susun Cawang
17 Nilai APTI beberapa spesies vegetasi evergreen
18 Jumlah vegetasi yang dibutuhkan berdasarakan persentase jerapan
debu dan kapasitas jerapan debu per hari
19 Emisi debu terjerap dan persentasenya terhadap total emisi per hari
20 Rencana vegetasi pada simpang susun Cawang

8
8
14
16
21
24
25
25
27
29
29
29
30
30
30
31
38
39
40
48

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kerangka pikir perencanaan
Tipe-tipe simpang Susun
Peta lokasi penelitian
Proses perencanaan tapak
Sampel daun empat spesies pohon: (a) beringin (Ficus benjamina),
(b) tanjung (Mimusoph elengi), (c) glodogan bulat (Polyalthia
fragrans), dan (d) bintaro (Cerbera manghas)
Gelas beker kosong yang ditimbang
Gelas beker yang diisi air (destilata)
Sampel daun dicuci menggunakan kuas
(a) Hasil cucian daun dan (b) pengovenan hasil cucian daun
Hasil cucian daun setelah dioven
Kertas ukuran 10 cm x 10 cm yang ditimbang
(a) Model daun dan (b) model daun yang ditimbang
Lokasi simpang susun Cawang
Peta topografi

2
6
12
13

15
16
16
16
17
17
17
17
19
20

15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
28
29

Kondisi sistem drainase simpang susun Cawang
Peta tutupan lahan
Kondisi lalu lintas pada siang hari
Peta vegetasi eksisting
Vegetasi eksisting simpang susun Cawang
Peta analisis kemiringan lahan
Rencana blok (Block plan)
Rencana penanaman (Planting plan)
Detail plan 1
Detail plan 2
Detail plan 3
Detail plan 4
Ilustrasi penanaman vegetasi penyangga
Ilustrasi penanaman vegetasi identitas
Ilustrasi penanaman vegetasi pengarah
Ilustrasi penanaman cushion planting dan clear zone planting
Ilustrasi penanaman vegetasi estetika

22
22
24
27
28
33
41
43
44
45
46
47
50
51
53
54
55

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Berat debu dan luas daun spesies tanaman pada empat pengamatan
Perhitungan kebutuhan lahan apabila vegetasi yang direncanakan
adalah empat spesies sampel
Perhitungan emisi debu terjerap dan persentasenya terhadap total
emisi dari rencana vegetasi simpang susun Cawang

59
60
61

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini, berbagai isu mengenai lingkungan telah mencuat sebagai isu-isu
global. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dua isu lingkungan
yang mulai mendapatkan perhatian lebih di kalangan masyarakat dunia.
Pemanasan global dan perubahan iklim disebabkan oleh berbagai faktor yang
saling terkait, antara lain pertumbuhan populasi manusia yang pada akhirnya
menyebabkan meningkatnya ruang terbangun dan berkurangnya jumlah ruang
terbuka hijau (RTH), kebakaran hutan, bertambahnya industri, dan permasalahan
transportasi. Dalam hal transportasi, pemanasan global dan perubahan iklim lebih
disebabkan oleh adanya aktivitas transportasi yang terus meningkat, khususnya
yang berkaitan dengan jalur transportasi darat. Jenis jalur transportasi darat yang
dimaksud misalnya jalan sebagai salah satu jenis yang paling umum ditemui.
Keberadaan jalan sebagai sarana transportasi kendaraan bermotor
berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Jumlah kendaraan dan
penggunaan bahan bakar semakin tinggi. Hal ini berdampak pada dihasilkannya
emisi akibat adanya proses pembakaran tidak sempurna pada kendaraan yang
digunakan. Hasil pembakaran tidak sempurna ini kemudian dilepaskan ke udara
dalam bentuk senyawa pencemar. Akibatnya, polusi udara meningkat yang
menyebabkan penurunan kualitas udara. Penurunan kualitas udara merupakan
indikator menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak cukup signifikan
terhadap penurunan derajat kesehatan pengguna jalan, petugas jalan, dan
masyarakat yang bermukim di sekitar jalan (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011).
Simpang susun Cawang sebagai bagian dari lanskap jalan di kota Jakarta
juga tidak terlepas dari adanya dampak negatif berupa polusi, sehingga diperlukan
komponen ruang terbuka hijau (RTH) berupa jalur hijau jalan. Berdasarkan
Menteri PU (2012), fungsi jalur hijau jalan selain sebagai pereduksi polusi yaitu
sebagai pengarah, penghalau silau, pembatas pandang, estetika, penahan benturan,
pencegah erosi, penyedia habitat satwa, pemecah angin, dan pengalih parkir ilegal.
Pada simpang susun, jalur hijau berfungsi untuk menyangga, mengarahkan,
memberi identitas lokasi, dan meningkatkan keamanan dan keselamatan
pengendara (tata hijau clear zone dan cushion planting). Oleh karena itu,
perencanaan jalur hijau simpang susun Cawang untuk mengurangi partikel tetap
harus mempertimbangkan fungsi penting lainnya yang harus dihadirkan pada
simpang susun. Penataan jalur hijau simpang susun Cawang dalam upaya
mengurangi polusi partikel, membutuhkan kriteria vegetasi berupa jenis, jumlah,
dan pola penempatan tertentu di dalam tapak, sehingga akan dihasilkan sebuah
penataan yang baik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas jalur hijau dalam
menjerap polutan berupa partikel debu pada simpang susun Cawang. Selain itu,
penelitian ini bertujuan khusus untuk menyusun rencana penanaman jalur hijau
dalam upaya mengurangi polusi partikel dan mengakomodasi fungsi lain seperti

2
meningkatkan keselamatan, menonjolkan identitas, dan memberikan keindahan
pada simpang susun Cawang, Jakarta Timur.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis. Hasil
penelitian berupa rencana penanaman jalur hijau dapat dijadikan sebagai usulan
bagi pengelola dalam rangka mengurangi polusi pada simpang susun Cawang
khususnya polusi partikel. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai referensi dan
bahan pengetahuan dalam perencanaan penataan/penanaman jalur hijau simpang
susun secara umum bagi instansi terkait, perencana, dan akademisi.
Kerangka Pikir
Proses berfikir dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pikir Perencanaan

3
Perencanaan jalur hijau simpang susun Cawang, Jakarta Timur dilakukan
karena simpang susun Cawang merupakan jalur transportasi dengan aktivitas
transportasi tinggi yang letaknya berdekatan dengan kawasan lain seperti
kompleks kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), perumahan, pemukiman,
dan perkantoran. Hal ini menyebabkan dihasilkannya dampak negatif yaitu polusi
udara (emisi gas buang dan partikel debu) dan polusi suara berupa kebisingan
yang membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan ruang terbuka hijau
berupa jalur hijau jalan yang dapat mereduksi polusi di lingkungan simpang susun.
Untuk mengetahui jumlah polusi yang dihasilkan di kawasan simpang susun
Cawang, dilakukan kegiatan pengumpulan data dari pihak pengelola tapak.
Khusus emisi partikel debu, juga dilakukan pengukuran melalui analisis kapasitas
jerapan debu. Saat ini, simpang susun Cawang memiliki jalur hijau yang cukup
luas sehingga perlu dilakukan studi skematik tentang fungsi, jenis, dan
penempatannya pada tapak terkait keefektifannya dalam mereduksi polusi. Hasil
studi skematik dirumuskan menjadi rencana blok vegetasi yang kemudian
dikembangkan menjadi rencana penanaman jalur hijau pada simpang susun
Cawang.

TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Jalan
Lanskap jalan adalah wajah karakter lahan atau tapak yang terbentuk pada
lingkungan jalan, baik dari elemen lanskap alamiah maupun yang terbentuk dari
elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya.
Lanskap jalan ini mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan
persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi kenyamanan
pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah,
nyaman, dan memenuhi fungsi keamanan (DPU 1996). Selanjutnya, DPU (2009)
mendefinisikan jalan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, serta di atas permukaan air,
kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Beberapa istilah terkait dengan
jalan:
1. badan jalan, yaitu bagian jalan yang meliputi jalur lalu lintas, dengan atau
tanpa jalur pemisah, dan bahu jalan;
2. bahu jalan, yaitu bagian ruang manfaat jalan yang berdampingan dengan jalur
lalu lintas untuk menampung kendaraan yang berhenti, keperluan darurat, dan
pendukung samping lapis pondasi bawah, lapis pondasi, dan lapis permukaan;
3. jalur, merupakan bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan;
4. lajur, yaitu bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang
memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan;
5. median, yaitu bagian jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan, berbentuk
memanjang sejajar jalan, terletak di sumbu/tengah jalan, dimaksudkan untuk

4
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan, dapat berupa median yang
ditinggikan, median yang diturunkan, atau median datar;
6. persimpangan, yaitu pertemuan atau percabangan jalan, baik sebidang maupun
yang tidak sebidang;
7. ramp, yaitu segmen jalan yang berperan sebagai penghubung antar ruas jalan,
dibagi menjadi segmen jalan masuk ke jalur utama (on ramp) dan segmen jalan
keluar dari jalur utama (off ramp);
8. sumbu jalan, yaitu garis memanjang yang berada tepat di tengah badan jalan;
9. terowongan, merupakan jalan yang sekelilingnya tertutup, umumnya elevasi
jalan tersebut berada di bawah permukaan tanah; dan
10. drainase jalan, yaitu prasarana yang bersifat alami ataupun buatan untuk
memutuskan dan menyalurkan air permukaan dan air bawah tanah, biasanya
menggunakan bantuan gaya gravitasi.
Keberadaan jalan merupakan bagian yang penting dalam suatu lanskap
karena jalan merupakan jalur sirkulasi yang menghubungkan antar bagian dan
ruang-ruang serta aktivitas di dalam lanskap. Simonds (1983) menjelaskan bahwa
jalan haruslah merupakan suatu kesatuan yang lengkap, aman, efisien, menarik,
dan dapat berfungsi secara baik sebagai rute sirkulasi dan penghubung dengan
jalan lainnya. Selain itu, jalan juga harus dapat memberikan pengalaman yang
menyenangkan selama pergerakan dari satu titik menuju titik lainnya di dalam
lanskap. Jalan beserta strukturnya tidak hanya merupakan ciri yang paling
dominan dari sebuah lanskap, tetapi juga merupakan faktor utama pada
perencanaan sebuah lahan atau komunitas. Setelah dibangun, jalan akan menjadi
ciri yang paling kuat dan akan segera mengubah karakter lahan di dalam lanskap.
Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol
DPU (2009) mendefinisikan Jalan bebas hambatan sebagai jalan umum
untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan
tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik
jalan. Jalan tol diartikan sebagai jalan umum yang merupakan bagian sistem
jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol. Bagian-bagian jalan tol antara lain:
1. ruang manfaat jalan tol, yaitu ruang sepanjang jalan tol yang dibatasi oleh
lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu, yang meliputi badan jalan, saluran tepi
jalan, talud timbunan, dan galian, serta ambang pengaman;
2. ruang milik jalan tol, yaitu ruang sepanjang jalan tol yang meliputi ruang
manfaat jalan tol dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan tol yang
diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur
lalu lintas di masa akan datang, serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan
jalan dan fasilitas jalan tol; dan
3. ruang pengawasan jalan tol, yaitu ruang sepanjang jalan tol yang meliputi
sejalur tanah tertentu di luar ruang milik jalan tol yang penggunaannya berada
di bawah pengawasan Menteri, diperuntukkan bagi pandangan bebas
pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan.
Berdasarkan Pemerintah Republik Indonesia (2005), jalan tol mempunyai
tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dari jalan umum
yang ada dan dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi.

5
Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antarkota didesain berdasarkan
kecepatan rencana paling rendah 80 kilometer per jam, sedangkan jalan tol di
wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 kilometer
per jam. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran dan dilengkapi dengan
fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan.
Selanjutnya, Pemerintah Republik Indonesia (2005) menjelaskan tentang
spesifikasi jalan tol, yaitu: a) tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan
lain, atau dengan prasarana transportasi lainnya; b) jumlah jalan masuk dan jalan
keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara efisien dan semua jalan masuk dan
jalan keluar harus terkendali secara penuh; c) jarak antar simpang susun, paling
rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua)
kilometer untuk jalan tol dalam perkotaan; d) jumlah lajur sekurang-kurangnya
dua lajur per arah; e) menggunakan pemisah tengah atau median; dan f) lebar
bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalu-lintas
sementara dalam keadaan darurat.
Simpang Susun (Interchange)
Menurut Kurniawan et al (2010), salah satu bagian yang terdapat pada
lanskap jalan adalah persimpangan jalan (intersection). Persimpangan adalah
suatu daerah umum dimana dua atau lebih ruas jalan saling bertemu atau
berpotongan yang mencakup fasilitas jalur jalan (roadway) dan tepi jalan
(roadside), yang di dalamnya terdapat pergerakan lalu lintas. Persimpangan
merupakan bagian terpenting dari sebuah jalan karena sebagian besar efisiensi,
kapasitas lalu lintas, kecepatan, biaya operasai, waktu perjalanan, keamanan, dan
kenyamanan dari sebuah jalan tergantung dari perencanaan persimpangan.
Ada dua jenis persimpangan di dalam perencanaan pertemuan dua atau
lebih ruas jalan, yaitu persimpangan sebidang dan persimpangan tak sebidang.
Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana ruas jalan saling bertemu
dalam satu bidang. Sementara itu, pada persimpangan tak sebidang atau simpang
susun (interchange), ruas jalan tidak saling bertemu dalam satu bidang, melainkan
salah satu ruas jalan berada di atas atau di bawah ruas jalan yang lain (Kurniawan
et al 2010).
DPU (2009) mendefinisikan simpang susun sebagai sistem jalan
penghubung dari jalan yang berpotongan secara tidak sebidang yang
memungkinkan arus lalu lintas mengalir secara bebas hambatan. Berdasarkan
fungsinya sebagai penghubung antar jalan, interchange dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu service interchange (simpang susun pelayanan) dan system
interchange (simpang susun sistem). Service interchange berfungsi untuk
menghubungkan jalan tol dengan jalan bukan tol, sedangkan system interchange
berfungsi untuk menghubungkan jalan tol satu dengan jalan tol lainnya. Desain
geometrik simpang susun meliputi pemilihan bentuk terbaik yang sesuai dengan
situasi tertentu. Standar tipe dan bentuk simpang susun diantaranya adalah T
(trumpet), Y, diamond, cloverleaf (partial cloverleaf dan full cloverleaf), dan
directional, serta kombinasi atau penggabungan dari bentuk-bentuk sebelumnya
(DPU 2009).

6

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

Keterangan:
(a) trumpet
(d) diamond
(g) full cloverleaf

(b) three leg directional
(c) one quadrant
(e) single point urban interchange (f) partial cloverleaf
(h) all directional four leg

Gambar 2 Tipe-tipe Simpang Susun
Sumber: DPU (2009)
Pencemaran (Polusi)
Pencemaran (polusi) udara ditandai oleh munculnya material tak
diinginkan akibat aktivitas manusia yang dalam jumlah cukup besar dapat
menyebabkan dampak berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup atau lingkungan
global dan juga menyebabkan gangguan estetika (de Nevers 2000). Polusi udara
digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu pergesekan permukaan, penguapan, dan
pembakaran. Pergeseran permukaan merupakan penyebab utama pencemaran
partikel padat di udara dengan ukuran yang bervariasi. Polusi udara yang berasal
dari zat-zat yang mudah menguap biasanya dihasilkan dari industri yang
berhubungan dengan cat, logam, bahan kimia, atau karet. Sementara itu dari
kegiatan pembakaran, bahan pencemar akan dihasilkan dari pembakaran tidak

7
sempurna pada bahan bakar kendaraan bermotor, yang merupakan penyebab lebih
dari separuh polusi udara (Sastrawijaya 2000).
Wardhana (2001) menjelaskan, pencemaran udara merupakan dampak dari
pesatnya perkembangan pembangunan, khususnya di bidang industri dan
teknologi serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor pengguna bahan bakar
fosil atau minyak. Pencemaran udara ditandai dengan adanya bahan atau zat asing
yang dikenal dengan istilah polutan, yang dalam jumlah tertentu dan waktu cukup
lama dapat mengganggu kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Hal ini
sejalan dengan penjelasan Grey dan Deneke (1978), yang menyebutkan bahwa
polutan udara berupa gas-gas kimia dan partikel dapat menyebabkan kerusakan
pada pepohonan. Aktivitas transportasi, generator listrik, dan industri disebut
sebagai sumber utama polutan udara yang bersifat fitotoksik.
Polutan biasanya memiliki ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya, tetapi beberapa polutan yang mencemari udara merupakan polutan
sekunder yang dibentuk di atmosfer dari bentuk awalnya berupa polutan primer
(de Nevers 2000). Pada lingkungan jalan bebas hambatan seperti jalan tol yang
merupakan sarana lalu lintas kendaraan bermotor, polutan berupa debu akan
banyak dihasilkan dari jejak lintasan kendaraan tersebut. Selain itu, kendaraan
bermotor juga akan mengeluarkan polutan berupa emisi (gas buang) yang berasal
dari hasil samping pembakaran bahan bakar kendaraan. Gas buang tersebut
diantaranya adalah CO, SO2, NOx, dan HC. Sementara itu, timbal (Pb) yang juga
akan diemisikan kendaraan akan berikatan dengan debu jalan ketika berada di
udara (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011).
Tingginya tingkat polusi menandakan kualitas udara yang buruk. Kualitas
udara yang buruk dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik bagi petugas jalan
maupun masyarakat sekitar yang ada di lingkungan jalan. Gangguan kesehatan
terjadi apabila polutan masuk ke dalam tubuh manusia dan terakumulasi pada
kadar tertentu melalui jalur inhalasi (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011). Baik
atau buruknya kualitas udara di suatu kawasan dapat dipantau melalui baku mutu
udara ambien yang ditetapkan secara nasional dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Selain polusi udara berupa polutan gas dan partikel debu, hal lain yang
dapat memengaruhi kesehatan dan kenyamanan adalah kebisingan. Secara umum,
sumber kebisingan utama berasal dari suara alat transportasi seperti bus, kereta api,
pesawat terbang, dan alat lainnya. Kebisingan juga disebabkan oleh industri yang
biasanya memiliki banyak peralatan/sumber bising. Kebisingan di atas 50 dB
dianggap sebagai kebisingan yang mengganggu kenyamanan pendengaran.
Kebisingan di atas 65-80 dB dapat menyebabkan kerusakan alat pendengaran bila
terjadi dalam kontak waktu yang lama. Sementara kebisingan di atas 80 dB hanya
diizinkan dalam kontak waktu yang relatif singkat karena akan merusak saraf
pendengaran (Wardhana 2001). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 51 Tahun 1989, untuk wilayah lingkungan kerja seperti gerbang tol, baku
mutu kebisingan yang ditetapkan adalah sebesar 85 dB untuk pemajanan selama 8
jam per hari (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011). Sementara itu dalam Surat
Keputusan Gubernur DKI Nomor 551 Tahun 2001, penentuan kebijakan baku
mutu kebisingan disesuaikan dengan peruntukan kawasan (Tabel 2).

8
Tabel 1 Parameter dan baku mutu udara ambien nasional
Parameter
SO2
CO
NO2
O3
HC
Debu
Pb

Baku mutu
900 μg/Nm3/1 jam
30.000 μg/Nm3/1 jam
400 μg/Nm3/1 jam
235 μg/Nm3/1 jam
160 μg/Nm3/1 jam
230 μg/Nm3/24 jam
2 μg/Nm3/24 jam

Metode analisis
Pararosanilin
NDIR
Saltzman
Chemiluminescent
Flame Ionization
Gravimetric
Gravimetric,
Ekstraktif, Pengabuan

Peralatan
Spektrophotometry
NDIR Analyzer
Spektrophotometry
Spektrophotometry
Gas Chromatografi
Hi-Vol
Hi-Vol dan AAS

Sumber: Pemerintah Republik Indonesia (1999)
Tabel 2 Baku mutu kebisingan sesuai peruntukan kawasan
No.
Peruntukan kawasan
Baku mutu (dB)
1. Perumahan dan pemukiman
55
2. Perdagangan dan jasa
70
3. Kawasan niaga terpadu
65
4. Perkantoran
65
5. Ruang terbuka hijau
50
6. Industri
70
7. Pemerintahan dan fasilitas umum
60
8. Rekreasi
70
Sumber: Gubernur DKI Jakarta (2001)
Jalur Hijau Jalan
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, ruang terbuka hijau (RTH) kota disyaratkan minimal 30 persen dari
wilayah kota dan berperan dalam membentuk struktur kota serta harus tercermin
dalam pola ruang kota. Fungsi, manfaat, klasifikasi, dan distribusi RTH di
wilayah perkotaan menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH yang
tidak dapat digantikan dengan unsur-unsur ruang kota lainnya. RTH dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis dan bentuk, seperti RTH pekarangan, pertanian,
kehutanan, pertamanan, olahraga, pemakaman, dan jenis RTH lainnya.
Berdasarkan bentuknya, RTH dapat berbentuk area hijau dan jalur hijau. RTH
yang berbentuk koridor jalur hijau (green corridor) contohnya pada tepi jalan,
sempadan sungai, dan tepian pantai yang berdasarkan kepemilikannya termasuk
RTH publik yang dikelola oleh berbagai instansi terkait (Joga dan Ismaun 2011).
Menurut DPU (1991), jalur hijau merupakan ruang terbuka hijau kota
yang berbentuk linear atau memanjang. Arifin N (1993) menyatakan bahwa jalur
hijau berperan sebagai unsur pengisi sistem ekologi dan elemen yang dapat
memperindah tampilan suatu lanskap serta memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani manusia. Secara khusus, jalur hijau dapat memperlembut keadaan fisik
kota yang serba keras dan dapat berperan dalam pengendalian iklim mikro suatu
ruang kota. Selain itu, sebagai salah satu elemen lanskap perkotaan, jalur hijau
memiliki fungsi fisik (pengarah jalan, pembatas ruang, peneduh, penahan angin,
penahan sinar matahari, penahan erosi, pereduksi polusi, dan pereduksi

9
kebisingan), fungsi ekonomi (produksi bunga dan buah), dan fungsi sosial (media
bersosialisasi), serta fungsi pelestarian plasma nutfah.
Joga dan Ismaun (2011) megartikan jalur hijau sebagai bagian dari RTH
pertamanan, yang kemudian diklasifikasikan menjadi jalur hijau tepian air, jalur
hijau pengaman, dan jalur hijau jalan. Jalur hijau jalan kemudian dibedakan
menjadi jalur hijau jalan tol, jalur hijau jalan arteri (primer, sekunder), jalur hijau
jalan kolektor (primer, sekunder), jalur hijau jalan lingkungan/lokal, dan jalur
hijau jalan lainnya seperti pada jalan-jalan kecil berupa gang. Sama halnya dengan
penjelasan Arifin N (1993), bahwa jalur hijau jalan dapat menjadi transportation
corridors yang umumnya sama seperti jalur hijau lainnya, seperti di sepanjang
jalan bebas hambatan, sepanjang rel kereta api, dan sepanjang aliran sungai.
Menurut DPU (1996), jalur hijau jalan adalah jalur penempatan tanaman
serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam daerah milik jalan maupun
daerah pengawasan jalan. Jalur hijau jalan tersebut didominasi oleh elemen
lanskap berupa tanaman yang umumnya berwarna hijau. Sementara itu, Arifin N
(1993) menerangkan bahwa jalur hijau jalan berupa taman pada lanskap jalan
adalah salah satu bentuk green belt yang merupakan RTH yang memanjang baik
di sisi-sisi jalan maupun sebagai pemisah (median) jalan.
Apabila ditanam pada tepi-tepi jalan, Simonds (1983) menggambarkan
bahwa tanaman dapat berfungsi untuk memperjelas jalur, memberikan naungan
dan menjadi daya tarik, menutupi pandangan yang kurang bagus, mengurangi
silau, dan mengurangi polusi. Selain itu, penggunaan tanaman pada tepi jalan juga
dapat menciptakan ruang. Sementara menurut DPU (1996), penanaman di tepi
jalan bertujuan untuk memisahkan pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan
keselamatan dan kenyamanan, memberikan ruang bagi utilitas dan perlengkapan
jalan, baik yang terletak di atas maupun di bawah permukaan tanah, dan untuk
kepentingan penanaman pohon tepi jalan.
Jalur Hijau Jalan sebagai Pereduksi Polusi
Penggunaan tanaman pada lanskap jalan mempunyai beberapa fungsi yaitu
sebagai kontrol visual, pengarah angin, modifikasi sinar matahari dan suhu,
kontrol kelembaban dan hujan, penyaring polutan, kontrol kebisingan, kontrol
erosi, habitat alami, dan estetika. Persyaratan utama yang perlu diperhatikan
dalam memilih jenis tanaman lanskap jalan yaitu perakaran tidak merusak
konstruksi jalan, mudah dalam perawatan, batang/percabangan tidak mudah patah,
dan daun tidak mudah rontok/gugur (DPU 1996).
Bagi kota-kota di daerah tropis, tanaman yang membentuk taman dan jalur
hijau berfungsi paling tidak untuk mengurangi pencemaran dan pemanasan udara
kota. Tanaman menyerap sebagian panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi
melalui proses fotosintesis sehingga mampu menurunkan suhu udara di sekitarnya.
Di sisi lain, dalam proses fotosintesis tersebut diserap pula sejumlah gas CO2 yang
yang merupakan polutan udara kota. Selain itu, tanaman juga berfungsi menyerap
polutan udara dalam bentuk NOx. Berkurangnya tanaman akan mengurangi
penyerapan emisi asap kendaraan dalam bentuk gas CO2 di udara. Lebih lanjut,
taman atau jalur hijau penting untuk membantu kesehatan warga kota, karena
selain menyerap gas polutan dan debu, tanaman juga menghasilkan gas oksigen
yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk kota (Karyono 2005).

10
Hakim (2006) menjelaskan tanaman dapat berfungsi sebagai filter atau
penyaring debu dan bau serta memberikan udara segar. Tanaman juga dapat
menyerap suara kebisingan bagi daerah yang membutuhkan ketenangan dengan
cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ranting. Pemilihan
jenis tanaman untuk fungsi peredam kebisingan bergantung tinggi pohon, lebar
tajuk, dan komposisi tanaman. Jenis tanaman yang paling efektif untuk meredam
suara ialah yang memiliki tajuk tebal dengan daun rindang. Sementara menurut
Grey dan Deneke (1978), efektif atau tidaknya tanaman dalam mengontrol
kebisingan ditentukan oleh faktor kebisingan itu sendiri (tipe, sumber, level, dan
intensitas), tanaman yang digunakan (jenis, penataan antara sumber dengan
penerima, ketinggian, dan kerapatan tanaman), dan kondisi iklim (kecepatan dan
arah angin, suhu, dan kelembaban udara).
Menurut Nurfaida et al. (2011), mekanisme jalur hijau dalam mereduksi
polusi udara terdiri dari: 1) adsorbsi, yaitu menjerap polusi hanya sampai di
permukaan daun (menempel), khususnya polutan padat, partikel debu, dan logamlogam seperti Pb, Zn, dan Fe, 2) absorbsi, yaitu menyerap polusi dengan cara
mengasimilasi melalui jaringan tanaman di dalam daun, khusunya polusi berupa
gas NOx, SOx, CO2, CO, HC, PAN (Peroxy Acetic Nitrat), 3) difusi, yaitu
mengencerkan konsentrasi polutan, dan 4) deposisi, yaitu menjatuhkan polutan ke
tanah. Mekanisme ini memungkinkan dikuranginya jumlah debu yang melayang
di udara. Partikel yang melayang-layang sebagian akan terjerap (menempel) pada
permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan mempunyai permukaan kasar,
sedangkan sebagian lainnya terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Selain
itu, bebrapa partikel ada yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.
Perencanaan Jalur Hijau Jalan
Perencanaan pada hakikatnya merupakan suatu usaha menghasilkan tujuan,
yang dalam usaha tersebut diperlukan tahap-tahap untuk mencapainya. Tarigan
(2006) mengemukakan bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan
memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Perencanaan lanskap didefinisikan sebagai kegiatan merencanakan bentang alam
atau suatu kawasan melalui pendekatan tertentu. Salah satu contoh perencanaan
lanskap adalah perencanaan lanskap jalan. Lebih lanjut lagi, dalam perencanaan
lanskap jalan terdapat perencanaan jalur hijau yang ditujukan untuk
mengakomodasi fungsi-fungsi tertentu. Berdasarkan Menteri PU (2012), kegiatan
penanaman pohon sebagai jalur hijau jalan membutuhkan suatu perencanaan yang
jelas terkait kebijakan, latar belakang, tujuan, lokasi penanaman, jenis tanaman,
cara penanaman, cara pemeliharaan, peralatan, rencana biaya, dan jadwal/waktu.
Lokasi penanaman harus berada di dalam area jalur penanaman. Pohon
pada sistem jaringan jalan di luar kota harus ditanam di luar ruang manfaat jalan.
Pohon pada sistem jaringan jalan di dalam kota dapat ditanam di batas ruang
manfaat jalan, median, atau di jalur pemisah. Sementara itu, tanaman jalan harus
diletakkan pada tempat atau daerah yang sesuai dengan rencana dan tetap
memperhatikan aspek fungsi, keselarasan, keharmonisan, keindahan dan
keselamatan. Hal-hal utama yang perlu diperhatikan dalam peletakan tanaman
pada jalur hijau jalan adalah jarak tanaman dengan perkerasan dan jarak antara
tanaman di jalur tanam. Selanjutnya, penentuan jenis tanaman yang akan ditanam

11
dalam perencanaan penanaman jalur hijau jalan perlu mempertimbangkan aspek
ekologis (iklim, tanah, cahaya matahari, drainase, kondisi lokasi), bentuk
tanaman, manfaat, dan pertimbangan lain (Menteri PU 2012). Tanaman yang
dijadikan jalur hijau jalan sebaiknya tidak hanya mempunyai satu fungsi, tetapi
juga fungsi lain yaitu dari aspek ekologis, aspek estetika, aspek keselamatan, dan
aspek kenyamanan, serta sebagai pemberi identitas suatu daerah. Di sisi lain,
Arifin HS (1993) menyatakan bahwa ketepatan pemilihan jenis yang sesuai
kebutuhan dengan memperhatikan kualitas pohon yang sesuai fungsinya akan
lebih bermanfaat daripada sekedar mengandalkan jumlah. Bagian tanaman yang
dipertimbangkan fungsinya adalah organ batang, daun, buah, bunga, dan
perakarannya, serta sifat perkembangannya yang dapat menimbulkan kesan
keindahan, mengeluarkan aroma segar, dan warna yang menarik.
Pemilihan jenis tanaman dan peletakan tanaman dalam perencanaan jalur
hijau jalan pada bagian jalan harus memperhatikan bentuk persimpangannya, baik
sebidang maupun tak sebidang (simpang susun) karena terdapat daerah bebas
pandang yang harus terbuka agar tidak mengurangi jarak pandang pengendara.
Oleh karena itu, dalam perencanaan jalur hijau simpang susun, pemilihan tanaman
yang akan digunakan haruslah tepat agar dapat mengakomodasi fungsi keamanan
dan kenyamanan. Ada beberapa fungsi tanaman yang lebih diutamakan dalam
penataan jalur hijau simpang susun, yaitu tanaman untuk fungsi penyangga, fungsi
keselamatan, fungsi identitas. dan fungsi estetika. Tanaman pada area memasuki
simpang susun dipilih jenis tanaman yang tidak menghalangi pandangan
pengguna jalan (DPU 1996). Tanaman yang ada juga harus mampu mereduksi
pencemaran karena area simpang susun merupakan area dengan intensitas sumber
pencemar (aktivitas mesin kendaraan) yang tinggi.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di simpang susun Cawang, Jakarta Timur
(Gambar 3). Waktu pelaksanaan pengumpulan data awal dilakukan mulai bulan
September 2012, dilanjutkan dengan pengambilan data sampel dan pengujian di
laboratorium selama satu bulan, yaitu bulan Oktober sampai November 2012.
Selanjutnya, pengolahan data hasil pengujian, pembuatan peta, dan penyusunan
laporan akhir penelitian dilakukan sampai bulan Mei 2013.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah foto udara tapak untuk
membuat peta dasar dan data digital elevation model (DEM) DKI Jakarta untuk
membuat peta kontur dan kemiringan lahan. Selain itu digunakan bahan berupa air,
kertas HVS, dan sampel daun pohon beringin (Ficus benjamina), bintaro (Cerbera
manghas), glodogan bulat (Polyalthia fragrans), dan tanjung (Mimusoph elengi)
untuk mengukur kapasitas jerapan debu.

12

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian
Alat
Alat yang digunakan selama proses pengumpulan data eksisting dan
pengambilan sampel di tapak antara lain kamera digital, meteran, dan gunting
galah (pruner) dan amplop untuk memotong dan menyimpan daun sampel, serta
gunting untuk membuat model daun. Alat yang digunakan untuk pengukuran
kapasitas jerapan debu di laboratorium yaitu gelas beker, kuas kecil, timbangan,
oven, dan kertas label. Sementara itu, alat untuk membuat peta dasar, peta
analisis, hingga hasil akhir adalah beberapa software seperti Globbal Mapper,
ArcGIS, AutoCad, dan Adobe Photoshop.
Proses Penelitian
Proses pelaksanaan penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan tahap
planning-design menurut Simonds (1983) yaitu commission, research, analysis,
synthesis, construction, dan operation. Namun, penelitian yang dilakukan dibatasi
sampai pada tahap synthesis dari keseluruhan tahap tersebut (Gambar 4).
Perencanaan yang dilakukan mengarah pada pembuatan rencana penanaman jalur
hijau simpang susun Cawang atau planting plan. Penjabaran tahap commission
hingga tahap synthesis adalah sebagai berikut:
1. Commission (penugasan)
Kegiatan-kegiatan dalam tahap ini berupa pendefinisian masalah,
penetapan tujuan, pengurusan perizinan kepada pihak-pihak terkait, dan
pengumpulan informasi yang relevan dengan program pengembangan jalur hijau
jalan dari berbagai sumber atau instansi terkait yang mengelola tapak.
2. Research (penelitian)
Tahapan ini merupakan tahap inventarisasi untuk mengumpulkan data.
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder yang berupa data
yang menyangkut aspek fisik dan aspek biofisik pada tapak (Tabel 3). Data fisik
meliputi data wilayah administrasi (luas dan batas) tapak, tanah, topografi, iklim,
sistem drainase, tutupan lahan, volume kendaraan, dan polusi. Sementara itu, data
biofisik meliputi data vegetasi simpang susun dan data kapasitas vegetasi dalam
menjerap partikel debu.

13

Gambar 4. Proses Perencanaan Tapak (Simonds 1983 dengan penyesuaian)
Pengumpulan data fisik dilakukan melalui interpretasi foto udara dan
kegiatan studi pustaka untuk mendapatkan data dari berbagai sumber khususnya
dari instansi pengelola tapak. Sementara itu, pengumpulan data biofisik dilakukan
melalui studi pustaka dan survey secara langsung pada tapak serta kegiatan
fotografi, sedangkan data kapasitas jerapan debu diperoleh melalui sampling daun
dan pengukuran dengan metode gravimetri. Kegiatan studi pustaka dilakukan
dengan mencari referensi baik berupa buku maupun hasil penelitian sebelumnya
dan pustaka yang berhubungan dengan tapak dan rencana pengembangan tapak.

14
Tabel 3 Jenis, tipe, sumber, dan sifat analisis data
Jenis data
Fisik
a. Lokasi

b. Tanah
c. Topografi
d. Iklim
- Suhu udara
- Curah hujan
- Kelembaban udara
- Kecepatan angin
- Penyinaran
matahari
- Arah angin
e. Sistem drainase

Tipe data
Primer,
sekunder

Sekunder
Primer,
Sekunder
Sekunder

Primer,
sekunder

f. Tutupan lahan

Primer

g. Volume kendaraan

Sekunder

h. Polusi
- Polusi udara
- Kebisingan
Biofisik
i. Vegetasi
- Jenis
- Jumlah
- Sebaran
j. Kapasitas jerapan
debu

Sekunder

Primer,
sekunder

Primer

Sumber data

Sifat
analisis data

Survey,
studi pustaka,
PT. Jasa Marga
Cabang CTC
Studi pustaka
Survey,
studi pustaka
Studi pustaka,
PT. Jasa Marga
Cabang CTC, Bandara
Halim Perdana
Kusuma

Kualitatif

Survey,
PT. Jasa Marga
Cabang CTC
Survey,
citra satelit
PT. Jasa Marga
Cabang CTC,
PT. Citra Marga
Nusaphala Persada
Survey,
PT. Jasa Marga
Cabang CTC

Kualitatif

Survey,
studi pustaka,
PT. Jasa Marga
Cabang CTC,
Survey,
analisis di laboratorium

Kuantitatif,
Kualitatif

Kualitatif
Kualitatif
Kuantitatif

Kuantitatif,
Kualitatif
Kuantitatif

Kuantitatif

Kuantitatif

3. Analysis (analisis)
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi analisis terhadap aspek
fisik dan aspek biofisik tapak. Analisis aspek fisik dan biofisik dimaksudkan
untuk memberikan gambaran potensi dan kendala tapak yang ada pada tiap aspek.
Selain itu, juga dianalisis jumlah pohon yang dibutuhkan agar dapat menjerap
seluruh partikel debu pada simpang susun Cawang sesuai hasil perhitungan
kapasitas jerapan debu.
4. Synthesis (sintesis)
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini diawali dengan studi skematik
untuk menentukan penempatan jalur hijau terkait penyediaan fungsi yang

15
diinginkan pada simpang susun Cawang. Hasil studi skematik dirumuskan
menjadi rencana blok (block plan) penataan vegetasi simpang susun berupa
pembagian zonasi vegetasi berdasarkan fungsinya di dalam tapak. Selanjutnya
dilakukan penyusunan rencana penanaman jalur hijau simpang susun Cawang
berdasarkan pendekatan perencanaan fungsi yang akan dihadirkan, seperti fungsi
penyangga, keselamatan, identitas, keamanan, dan fungsi estetika. Perencanaan
fungsi tersebut dimaksudkan untuk menentukan jenis vegetasi yang sesuai dan
memenuhi kriteria sebagai pereduksi polusi partikel. Hasil akhir dari tahap ini
adalah rencana penanaman (planting plan) jalur hijau simpang susun Cawang.
Metode Gravimetri
Metode gravimetri digunakan untuk menghitung kapasitas daun dalam
menjerap debu, sehingga akan diperoleh jumlah jerapan debu per pohon (Irianti
2010). Vegetasi yang digunakan adalah dari kelompok pohon yang jenisnya
ditentukan berdasarkan dominansi persebarannya di dalam tapak. Jumlah pohon
yang digunakan adalah 12 pohon yang terdiri dari empat spesies. Dari masingmasing pohon diambil sampel berupa daun dewasa seberat ± 10 gram dengan
kriteria ketinggian ± 3 meter dari permukaan tanah dan menghadap ke jalan. Jenis
pohon yang digunakan yaitu bintaro (Cerbera manghas), tanjung (Mimusoph
elengi), glodogan bulat (Polyalthia fragrans), dan beringin (Ficus benjamina)
yang dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 4 menunjukkan kategori, bentuk tajuk,
dan fungsi pohon yang daunnya dijadikan sampel.

(a)

(b)

(d)
(c)
Gambar 5 Sampel daun empat spesies pohon: (a) beringin (Ficus benjamina), (b)
tanjung (Mimusoph elengi), (c) glodogan bulat (Polyalthia fragrans),
dan (d) bintaro (Cerbera manghas)

16
Tabel 4. Kategori, bentuk tajuk, dan fungsi vegetasi sampel
Spesies
Beringin
(Ficus benjamina)
Tanjung
(Mimusoph elengi)
Glodogan bulat
(Polyalthia fragrans)
Bintaro
(Cerbera manghas)

Kategori
Pohon tinggi
Pohon
sedang
Pohon tinggi
Pohon
sedang

Tajuk
Rapat,
menyebar,
Rapat,
Oval
Cukup rapat,
bulat,
Kurang
rapat, bulat

Fungsi
Peneduh,
point of interest
Peneduh, pengarah jalan,
peredam bising, screen
Pembatas, pengarah jalan,
screen
Pengarah jalan

Tahapan pengerjaan metode gravimetri
Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengerjaan metode gravimetri adalah:
1. menimbang gelas beker kosong dan mencatat hasilnya (Gambar 6);

Gambar 6 Gelas beker kosong yang ditimbang
2. mengisi gelas beker kosong dengan air (destilata) sebanyak 50 ml
(Gambar 7);

Gambar 7 Gelas beker yang diisi air (destilata)
3. mencuci sampel daun pada gelas beker dengan menggunakan kuas
(Gambar 8);

Gambar 8 Sampel daun dicuci menggunakan kuas
4. mengoven hasil cucian daun selama dua hari pada suhu 80o C (Gambar 9);

17

(a)
(b)
Gambar 9 (a) Hasil cucian daun dan (b) pengovenan hasil cucian daun
5. menimbang kembali gelas beker kering yang berisi debu hasil cucian daun
(Gambar 10).

Gambar 10 Hasil cucian daun setelah dioven
Cara mengukur luas daun
Untuk mengukur luas daun sampel, dilakukan langkah-langkah berikut:
1. menimbang kertas ukuran 10 cm x 10 cm (Gambar 11);

Gambar 11 Kertas ukuran 10 cm x 10 cm yang ditimbang
2. membuat model daun dengan kertas dan menimbangnya (Gambar 12);

(a)
(b)
Gambar 12 (a) Model daun dan (b) model daun yang ditimbang
3. menghitung luas daun dengan cara:
(Berat model daun) x (luas kertas ukuran 10 cm x 10 cm)
(Berat kertas ukuran 10 cm x 10 cm)

18
Perhitungan-perhitungan yang digunakan dalam analisis kapasitas daun
menjerap debu
1. Cara memperoleh berat debu hasil jerapan daun:
Berat gelas beker berisi debu setelah dioven - berat beker gelas kosong
2. Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per pengamatan:
Berat debu hasil jerapan daun (gram)
Luas daun (cm2)
3. Cara memperoleh rata-rata kapasitas jerapan debu:
(P(n) – P(n-1))+(P(n-1) – P(n-2))+......+ (P(2) – P(1))
n-1
Keterangan: P = Pengamatan ke.... ; n = banyak pengamatan
4. Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per hari:
Rata-rata kapasitas jerapan debu
Selang pengambilan sampel (hari)
5. Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per tanaman per hari:
Luas tajuk x kapasitas jerapan debu per hari
Luas tajuk dihitung dengan rumus: 4/3.π.r2
6. Cara menghitung emisi per hari di kawasan simpang susun jalan:
Jumlah kendaraan per hari x emisi partikel (g/km) x panjang jalan (km)
7. Cara memperoleh jumlah pohon yang akan ditanam di simpang susun:
Jumlah emisi per hari
Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari

INVENTARISASI
Aspek Fisik
Lokasi
Secara administratif, simpang susun Cawang berada dalam wilayah
Kelurahan Cawang, Kecamatan Keramat Jati, Jakarta Timur dan masuk ke dalam
wilayah pengelolaan dua perusahaan yaitu PT. Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng (CTC) dan PT. Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
Bagian barat tapak berbatasan dengan kawasan perkantoran (PT. Hutama Karya,
PT. Indira Karya, PT. Virama Karya, PT. Supervisor, PT. Global Santa) dan
kawasan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Bagian timur berbatasan dengan
kawasan perumahan Kompleks Trikora. Bagian utara berbatasan dengan kawasan
perkantoran (PT. Yodya Karya, Wijaya Karya 2, dan Park Hotel Jakarta) dan
perumahan Cawang Kavling Biru Laut. Selanjutnya, bagian sebelah selatan tapak
berbatasan dengan kawasan pemukiman Kebon Pala (Gambar 13).
Kawasan simpang susun Cawang memiliki luas 40 ha. Simpang susun
Cawang dapat ditempuh melalui empat ruas jalan tol, yaitu ruas tol Jagorawi, ruas
tol Dalam Kota (arah Cengkareng), ruas tol Insinyur Wiyoto Wiyono (arah
Tanjung Priok), dan ruas tol Cikampek. Selain itu, simpang susun Cawang juga
dilalui oleh beberapa jalan arteri seperti Jalan Letnan Jenderal MT. Haryono, DI.
Panjaitan, dan Jalan Mayor Jenderal Sutoyo. Batas lokasi penelitian adalah KM
00+800 ruas jalan tol Jagorawi, tol Dalam kota, dan tol Cikampek, serta KM
00+500 ruas jalan tol Insinyur Wiyoto Wiyono.

19

Gambar 13 Lokasi Simpang Susun Cawang
Sumber: www.google.com
Tanah
Tanah pada tapak merupakan tanah galian (cut) yang berasal dari tempat
lain yang dibawa dan kemudian diurug (fill) pada saat pembangunan simpang
susun dilakukan. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1982) dalam Udayana (2004),
daerah Cawang didominasi oleh jenis tanah latosol merah dari bahan induk tuf
volkan intermedier dengan tingkat keasaman (pH) tanah melalui uji H2O dan KCl
masing-masing sebesar 5,1 dan 4,1.
T