Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Eritrosit

ABSTRACT
WIDIA SISKA. The Health Status Establishment Of Domestic Cat (Felis
domestica) Through Erythrocyte Examination. Under supervision of ANITA
ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.
The objective of this experiment was to study the health status of domestic
cats (Felis domestica) through the erythrocyte examinations i.e erythrocyte count,
hemoglobin concentration, and hematocrit value. Twelve domestic cats (7 females
and 5 males) were used in this experiment. The blood was taken from femoralis
vein with dysposable syringe and EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid)
vacutainer to determine erythrocyte count, hemoglobin concentration, and
hematocrit values. Results of this study showed that erythrocytes count,
hemoglobin concentration, and hematocrit values were (7,00±1,30) 106/µl, (9,66±
I,56) g/dL,and (31,16±4,68) %, respectively. In conclusion, erythrocyte count,
hemoglobin concentration, and hematocrit values of domestic cats were in normal
range.
Keywords: domestic cat, erythrocyte, hemoglobin, hematocrit.

ABSTRAK
WIDIA SISKA. Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis Domestica)
Melalui Pemeriksaan Eritrosit . Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SUS
DERTHI WIDHYARI.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari status kesehatan kucing
kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, dan nilai hematokrit. Sebanyak 12 ekor kucing kampung (7 ekor
betina dan 5 ekor jantan) yang tidak dipelihara digunakan dalam penelitian ini.
Sampel darah diambil melalui vena femoralis menggunakan dysposable syringe
dan tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) untuk dianalisis terhadap
jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai
hematokrit, berturut-turut adalah 7,00
x 106 /µl, 9,66 ± I,56 g/dl, 31,16 ±
4,68%. Sebagai kesimpulan, kucing kampung (Felis domestica) memiliki jumlah
eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dalam nilai interval
normal.
Kata kunci: kucing kampung, eritrosit, hemoglobin, hematokrit.

PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG
(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN ERITROSIT

WIDIA SISKA


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penetapan Status
Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Eritrosit
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Widia Siska
B04080109

ABSTRACT

WIDIA SISKA. The Health Status Establishment Of Domestic Cat (Felis
domestica) Through Erythrocyte Examination. Under supervision of ANITA
ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.
The objective of this experiment was to study the health status of domestic
cats (Felis domestica) through the erythrocyte examinations i.e erythrocyte count,
hemoglobin concentration, and hematocrit value. Twelve domestic cats (7 females
and 5 males) were used in this experiment. The blood was taken from femoralis
vein with dysposable syringe and EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid)
vacutainer to determine erythrocyte count, hemoglobin concentration, and
hematocrit values. Results of this study showed that erythrocytes count,
hemoglobin concentration, and hematocrit values were (7,00±1,30) 106/µl, (9,66±
I,56) g/dL,and (31,16±4,68) %, respectively. In conclusion, erythrocyte count,
hemoglobin concentration, and hematocrit values of domestic cats were in normal
range.
Keywords: domestic cat, erythrocyte, hemoglobin, hematocrit.

ABSTRAK
WIDIA SISKA. Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis Domestica)
Melalui Pemeriksaan Eritrosit . Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SUS
DERTHI WIDHYARI.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari status kesehatan kucing
kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, dan nilai hematokrit. Sebanyak 12 ekor kucing kampung (7 ekor
betina dan 5 ekor jantan) yang tidak dipelihara digunakan dalam penelitian ini.
Sampel darah diambil melalui vena femoralis menggunakan dysposable syringe
dan tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) untuk dianalisis terhadap
jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai
hematokrit, berturut-turut adalah 7,00
x 106 /µl, 9,66 ± I,56 g/dl, 31,16 ±
4,68%. Sebagai kesimpulan, kucing kampung (Felis domestica) memiliki jumlah
eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dalam nilai interval
normal.
Kata kunci: kucing kampung, eritrosit, hemoglobin, hematokrit.

PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG
(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN ERITROSIT

WIDIA SISKA


SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul
Nama
NRP

: Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica)
Melalui Pemeriksaan Eritrosit
: Widia Siska
: B04080109

Disetujui


Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si
Pembimbing I

Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, M.Si
Pembimbing II

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui
Pemeriksaan Eritrosit”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana

Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis
selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi dan Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi
selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingannya, pengarahan dan
masukan yang telah diberikan kepada penulis.
2. Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D, PAVet selaku Ketua
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi.
3. Dr. drh. H. Idwan Sudirman selaku pembimbing akademik.
4. Ibu, Ayah, Yuk Meta, Dek Riki dan Dek Bara, serta seluruh keluarga yang
telah memberikan doa, nasihat dan motivasi kepada penulis.
5. Pak Djajat, Pak Suryono, Pak Kamidi, Pak Bambang, dan Bu Leli atas
bantuannya.
6. Cupu Nara atas suka duka dan bantuannya selama penelitian.
7. “Paguyuban” tersayang, Juju Intan, Farah, Riris, Susi, Mutia, Jami, Aji,
Hafiz Pea, Fatma, Ridwan, Dian, Awan, Rizal, dan lainnya atas waktu dan
informasi terkininya.
8. Candra, Azmi, Purnomo, Mursyid dan teman-teman FKH 45 lainnya atas
bantuan selama penelitian dan pengalaman hidup selama ini.
9. Nae, Lista, Devi, Steffi, Dewi, Nanda, dan Muti atas kebersamaan dan

semangat yang kalian berikan.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2012

Widia Siska

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan pada.tanggal 8 Juni
1991. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan ayah
bernama Warsil A. Wahab dan ibu bernama Nurhawa Ali.
Penulis menempuh pendidikan formal di SMA Plus Negeri 2 Banyuasin
III pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2008, penulis diterima
sebagai Mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Selama perkuliahan, penulis aktif berorganisasi dalam Himpunan Profesi

Ruminansia tahun 2009-2011 dan aktif sebagai anggota Ikatan Keluarga
Mahasiswa Bumi Sriwijaya tahun 2008-2009. Penulis juga termasuk sebagai salah
satu mahasiswi dalam program Beasiswa Utusan Daerah melalui pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………...

x

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..

xi

PENDAHULUAN…………………………………………………………..
Latar Belakang………………………………………………………...
Tujuan…………………………………………………………………
Manfaat………………………………………………………………..


1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….
Taksonomi Kucing……………………………………………............
Karakteristik Kucing………………………………………………….
Darah………………………………………………………………….
Hematopoiesis………………………………………………………...
Eritrosit………………………………………………………………..
Eritropoiesis…………………………………………………………...
Hemoglobin (Hb)……………………………………………………..
Hematokrit/Packed Cell Volume (PCV)………………………………
Indeks Eritrosit………………………………………………………..
Mean Corpuscular Volume (MCV)…………………………………..
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)……………………………...
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)……............

3

3
3
4
5
6
8
10
11
12
12
13
13

METODOLOGI……………………………………………………………..
Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………...
Bahan dan Alat………………………………………………………..
Metode Penelitian……………………………………………………..
Jumlah Eritrosit……………………………………………………….
Konsentrasi Hemoglobin……………………………………………...
Nilai Hematokrit………………………………………………………
Analisis Data………………………………………………………….

14
14
14
14
14
15
15
15

HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………...
Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah)…………………………………..
Konsentrasi Hemoglobin (Hb)………………………………………..
Nilai Hematokrit………………………………………………………

16
16
19
21

SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………
Simpulan………………………………………………………………
Saran…………………………………………………………………..

24
24
24

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….

25

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5

Gambaran normal darah kucing……………………...........................
Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai
hematokrit pada kucing kampung (Felis domestica)……...................
Rataan jumlah eritrosit (106 /µl) pada kucing kampung (Felis
domestica) jantan dan betina………………………………………...
Rataan konsentrasi hemoglobin (g/dl) pada kucing kampung (Felis
domestica) jantan dan betina……………...........................................
Rataan Nilai Hematokrit ( %) pada kucing kampung (Felis
domestica) jantan dan betina……………………………..................

5
16
17
20
22

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diferensiasi sel darah di sumsum tulang………………............................
2 Pembentukan eritrosit………………………………….............................
3 Eritrosit kucing……………………………………...................................

6
7
10

1

PENDAHULUAN
Latar belakang
Kucing kampung (Felis domestica), disebut juga kucing rumahan,
merupakan salah satu hewan kesayangan yang dipelihara oleh sebagian besar
masyarakat. Kucing kampung hidup secara “liar” (tidak dipelihara) disekitar
lingkungan manusia dan sebagian lainnya hidup dipelihara. Kucing jenis ini
mempunyai kemampuan beradaptasi dan mampu mempertahankan diri dalam
lingkungan yang kurang bersahabat. Sebagian besar kucing kampung yang tidak
dipelihara umumnya sangat penakut dan cenderung menghindari kehadiran
manusia, hidup menyendiri, dan memiliki wilayah kekuasaan (Sunquist dan
Sunquist 2002).
Masalah gizi sering menjadi kendala sehingga dapat berpengaruh
terhadap status kesehatan hewan tersebut. Pengawasan terhadap kesehatan hewan
kesayangan oleh pemilik hewan kadang terabaikan. Hal tersebut terjadi, terutama
pada kucing kampung yang hidup secara “liar”, dimana status kesehatan
cenderung lebih buruk dibandingkan dengan kucing kampung yang hidup
dipelihara (Triastuti 2006).
Kucing kampung yang hidup secara “liar” membutuhkan pakan untuk
mempertahankan hidupnya. Faktor wilayah kekuasaan sangat berpengaruh pada
kebutuhan nutrisi. Kucing dapat saling mengawasi dan berkuasa pada wilayah
tertentu (kucing kampung jantan yang aktif secara seksual), sehingga kucing lain
tidak memungkinkan untuk masuk wilayah kucing tersebut untuk mendapatkan
pakan. Hal ini menyebabkan kurangnya asupan nutrisi pada kucing kampung yang
hidup secara “liar”. Gizi yang kurang terpenuhi dan lingkungan yang kurang layak
membuat hewan liar rentan terkena penyakit (Moleon dan Gil-Sanchez 2002).
Oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui status kesehatannya.
Pemeriksaan status

kesehatan

hewan,

selain dilakukan melalui

pemeriksaan klinis, dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium, salah
satunya melalui pemeriksaan darah. Darah termasuk jaringan primer yang dapat
teridentifikasi apabila terjadi gangguan pada kesehatan (Schaer 2008).
Pemeriksaan darah yang umum dilakukan adalah hematologi rutin. Pemeriksaan

2

hematologi rutin meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai
hematokrit, jumlah leukosit total, hitung jenis leukosit, jumlah trombosit, dan laju
endap darah (Pusparini 2005).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status kesehatan kucing
kampung (Felis domestia) melalui pemeriksaan parameter eritrosit (sel darah
merah), yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai
hematokrit.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status
kesehatan kucing kampung (Felis domestica) yang hidup secara “liar” (tidak
dipelihara) di daerah lingkar kampus IPB Dramaga, Bogor.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Kucing
Kucing kampung (Felis domestica) termasuk dalam ordo karnivora
(pemakan daging). Fowler (1993) mengklasifikasikan kucing kampung (Felis
domestica) sebagai berikut:
kingdom

: Animalia

filum

: Chordata

subfilum

: Vertebrata

kelas

: Mamalia

ordo

: Carnivora

subordo

: Conoidea

famili

: Felidae

subfamili

: Felinae

genus

: Felis

spesies

: Felis domestica

Karakteristik Kucing
Kucing lokal atau kucing kampung (Felis domestica) adalah hasil
persilangan antara Felis silvestris dengan Lybica yang berasal dari keturunan
spesies Fellis silves (Kucing Abissian) (Mason 1984). Terdapat sekitar 40 spesies
kucing liar di dunia, dimana 9 (sembilan) spesies diantaranya dapat ditemukan di
Indonesia. Kucing telah hidup bersama manusia sejak 3500 tahun yang lalu dan
orang mesir kuno memanfaatkannya sebagai pengusir hama tikus dan hama yang
dapat mengancam hasil panen pertaniannya (Mason 1984).
Spesies kucing liar merupakan jenis kucing yang hidup di alam bebas.
Kucing termasuk dalam famili Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing
besar seperti harimau, singa, macan tutul dan jaguar. Kucing kampung (Felis
domestica) merupakan salah satu predator terhebat di dunia dan dapat membunuh
atau memakan beberapa ribu spesies hewan kecil (Moleon dan Gil-Sanchez
2002). Kucing dianggap sebagai karnivora sempurna dengan gigi taring yang
besar dan saluran pencernaan khusus (RED 2003). Gigi premolar dan molar

4

pertama membentuk sepasang taring di setiap sisi mulut yang bekerja efektif
seperti gunting untuk merobek daging. Meskipun ciri ini terdapat pula pada famili
Canidae (anjing), namun demikian ciri ini berkembang lebih baik pada kucing
(Yasuma dan Alikodra 1992).
Kucing memiliki tubuh yang seimbang dan proporsional ditunjang oleh
tulang yang kuat membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari
kencang (Suwed dan Budiana 2006). Kucing juga mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan posisi tubuh ketika jatuh dari ketinggian, karena kucing memiliki
terminal velocity atau kecepatan jatuh maksimum, yakni 60 mil perjam. Kucing
juga termasuk hewan yang suka merawat diri. Air liur atau saliva kucing yang
dijilatkan ke tubuh dapat membersihkan bagian tubuhnya (RED 2003).

Darah
Darah merupakan jaringan konektif. Jaringan ini berupa cairan yang
mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah pada sistem kardiovaskular
(Colville dan Bassert 2002). Darah membawa berbagai kebutuhan hidup bagi
semua sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk
diekskresikan melalui organ ekskresi (Jain 1993).
Darah terbagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian
cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air, dan bagian
padatan yang berkisar antara 30-45% dari total kandungan (Lawhead dan Baker
2005). Bagian padatan terbagi dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit) (Meyer dan Harvey 2004). Total
volume darah pada kucing berkisar antara 6-8% dari bobot badan (Meyer dan
Harvey 2004).
Menurut Colville dan Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi utama,
yaitu sebagai sistem transportasi, sistem regulasi dan sistem pertahanan tubuh.
Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, zat nutrisi,
hasil sisa metabolisme, dan hormon. Perannya sebagai sistem regulasi adalah
menjaga homeostasis dan suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh
berperan dalam melawan benda asing.

5

Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel
darah ini tidak abadi, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan kematian,
sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Hal inilah yang
menjadikan hematopoiesis sebagai suatu proses yang berkelanjutan (Colville dan
bassert 2002). Tabel 1 memperlihatkan nilai darah kucing kampung normal.
Tabel 1 Gambaran normal darah kucing (Jain 1993).
Parameter
Eritrosit (x 106/µl)
Hemoglobin (g/dl)
Hematokrit (%)
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (g/dl)
Leukosit (x103/µl)
Neutrofil (x103/µl)
Limfosit (x103/µl)
Monosit (/µl)
Eosinofil (/µl)
Basofil (/µl)
Trombosit (x 105/µl)

Kisaran
5.0-10.0
8.0-15.0
24.0-45.0
39.0-55.0
13.5-17.5
30.0-36.0
5.50-19.50
2.50-12.50
1.50-7.00
0-850
0-1,500
Rare
3-8

Rata-rata
7.5
12.0
37.0
45.0
15.5
33.2
12.5
7.50
4.00
350
650
0
4.5

Hematopoiesis
Hematopoiesis atau haemopoiesis merupakan proses pembentukan dan
perkembangan

sel-sel

darah

(Dorland

1998).

Secara

umum

aktivitas

hematopoiesis dapat dideteksi pada minggu ketiga kehidupan prenatal. Saat
postnatal, proses hematopoiesis pada mamalia berlangsung di sumsum tulang.
Sumsum tulang memiliki fungsi sebagai tempat memproduksi eritrosit, granulosit,
monosit, platelet dan limfosit B serta menyimpan stem cell (Jain 1993). Proses
hematopoiesis melibatkan beberapa organ yang memiliki fungsi dalam sirkulasi
darah (Schalm 2010).
Gambar 1 menjelaskan tentang pembentukan sel-sel darah dari sel bakal
pluripotensial (stem cell) menjadi sel-sel yang berdiferensiasi. Sumsum tulang
merah bervaskularisasi di jaringan penghubung antara tuberkula dari spons
jaringan tulang. Sebesar 0,05-0,1% dari sumsum tulang merah merupakan derivat
sel masenkim yang disebut sel bakal pluripoten. Saat kelahiran, sumsum tulang
merah aktif memproduksi sel darah. Ketika mulai tumbuh dewasa, terjadi

6

peningkatan produksi sel darah, sumsum tulang merah menjadi inaktif dan
digantikan sumsum tulang kuning yang sebagian besar merupakan sel lemak.

Eritroblas

Retikulosit

Eritrosit
Eosinofil

Mieloblas

Granulosit

Basofil Sel-mast
Neutrofil

Sel Bakal

Monoblas

Monosit

Makrofag

Pluripotensial
Megakarioblas

Megakaryosit

Trombosit

Prolimpoblas

Sel Bakal

Limfosit B

Limfoid

Limfosit T

Gambar 1 Diferensiasi sel darah di sumsum tulang (Tortora dan Bryan 2006).

Eritropoiesis
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit (Dorland 1998). Saat
eritrosit diproduksi, eritrosit yang belum dewasa (retikulosit) masih mengandung
nukleus (Meyer dan Harvey 2004). Eritropoietin (EPO), suatu hormon
glikoprotein, merupakan faktor utama yang merangsang produksi eritrosit
(Guyton dan Hall 1997). Hormon ini akan dilepaskan ketika sel ginjal mendeteksi
adanya hipoksia pada jaringan dan merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi lebih banyak eritrosit (Colville dan Bassert 2002; Dorland 1998).
Eritropoietin diproduksi oleh ginjal dan beberapa diantaranya disintesis
oleh hati (Jain 1993). Menurut Ganong (2001), eritropoietin akan meningkatkan
jumlah stem cell (sel bakal) di sumsum tulang. Stem cell akan menjadi prekursor
eritrosit dan akhirnya menjadi eritrosit. Proses eritropoiesis dikendalikan oleh
kadar oksigen di dalam jaringan (Jain 1993). Pembentukan eritrosit dihambat oleh
meningkatnya jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah yang berada pada kisaran
normal dan dirangsang oleh keadaan anemia dan hipoksia (Bast et al. 2000).
Kadar oksigen yang bekurang dalam jaringan akan menyebabkan eritropoietin

7

menstimulasi untuk terjadinya eritropoiesis. Mekanisme eritropoiesis terus
berlanjut selama keadaan hipoksia di dalam sel belum berkurang. Jika penyebab
hipoksia dihilangkan, kelebihan eritrosit akan membuat sumsum tulang berespons
untuk mengurangi laju eritropoiesis (Frandson 1996). Jumlah seluruh eritrosit
dalam sirkulasi darah tergantung pada kecepatan produksi eritrosit dalam sumsum
tulang (Guyton dan Hall 1997).
Apabila terjadi pendarahan, sintesis hemoglobin meningkat, dan
pembentukan serta pelepasan eritrosit dari sumsum tulang akan meningkat (Bast
et al. 2000) Menurut Ganong (1997), kadar eritropoietin dalam darah sangat
meningkat pada keadaan anemia. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit yang
rendah akan merangsang ginjal untuk mensekresikan eritropoietin sampai
keadaan anemia dapat diatasi.

Proeritroblas

Basofil eritroblas

Polikromatofil eritroblas

Eritrosit

Retikulosit

Ortokromatil eritroblas

Gambar 2 Pembentukan eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Tahapan diferensiasi eritrosit ditunjukkan pada Gambar 2. Sel pertama
yang dibentuk dalam rangkaian pembentukan eritrosit adalah proeritroblas yang
akan membelah menjadi basofil eritroblas. Selanjutnya sel sudah dipenuhi oleh
hemoglobin dengan konsentrasi 34%, menyebabkan nukleus memadat menjadi
kecil, dan pada saat bersamaan retikulum endoplasma direabsorpsi. Sel pada tahap
ini disebut retikulosit dan masih mengandung sedikit bahan basofilik yang secara
normal akan menghilang, dan sel kemudian akan menjadi eritrosit matang
(Guyton dan Hall 1997). Selama proses pematangan eritrosit, setelah
pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti sel masih diperlukan waktu selama
beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Saat proses pematangan

8

akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai
fragmen mitokondria dan organel lainnya (Hoffbrand et al. 2005).

Eritrosit (Sel Darah Merah)
Eritrosit merupakan salah satu unsur yang dibentuk dalam sumsum
tulang (Dorland 1998). Eritrosit memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat
transportasi oksigen (O2) menuju jaringan, transportasi karbon dioksida (CO2)
menuju paru-paru dan sistem buffer ion hidrogen (H+) (Meyer dan Harvey 2004).
Eritrosit memiliki masa hidup yang terbatas dan secara tetap akan digantikan
secara terus-menerus (Lawhead dan baker 2005). Sel ini secara normal
bersirkulasi dalam darah selama beberapa bulan (Meyer dan Harvey 2004). Umur
eritrosit pada hewan domestik berkisar antara 2-5 bulan, tergantung pada spesies
(Meyer dan Harvey 2004). Eritrosit kucing berada dalam sirkulasi selama 70-80
hari (Craigmyle 1994).
Eritrosit pada mamalia berbentuk bikonkaf (cekung), tidak memiliki
nukleus dan organel sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mensintesis
protein (Weiss dan Wardrob 2010). Kucing memiliki eritrosit yang berbentuk
cakram bikonkaf tanpa inti (Craigmyle 1994) (Gambar 3). Eritrosit kucing sedikit
berbeda dibandingkan dengan eritrosit anjing (Cowell et al. 2008), dimana
eritrosit anjing memiliki bentuk bikonkaf yang terlihat lebih jelas dibandingkan
dengan eritrosit kucing (Swenson dan Reece 1993).
Eritrosit dibentuk melalui proses pematangan yang terdiri dari beberapa
tahap yaitu pembelahan dan perubahan morfologi sel berinti, mulai dari rubriblas,
prorubrisit, rubrisit, dan metarubrisit (Bast et al. 2000). Rubriblas disebut juga
pronormoblas atau proeritroblas. Sel ini mempunyai inti yang bulat dengan
beberapa anak inti serta khromatin yang halus. Ukuran sel rubriblas berkisar
antara 18-25 µm. Jumlah rubriblas dalam sumsum tulang pada keadaan normal
kurang dari 1% dari seluruh sel berinti (Bast et al. 2000).
Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik.
Prorubrisit mempunyai khromatin inti yang terlihat kasar dan anak inti yang tidak
terlalu jelas. Sitoplasmanya mulai mengandung hemoglobin sehingga warna
sitoplasma menjadi sedikit kemerahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan

9

dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit pada keadaan normal berkisar antara 1-4%
dari seluruh sel di dalam sumsum tulang. Prorubrisit dapat diwarnai dengan warna
basa dan sel inti akan mengumpulkan sedikit hemoglobin (Bast et al. 2000).
Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik yang memiliki inti sel yang
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur (Bast et al.
2000). Tidak ditemukan anak inti, dan sitoplasma lebih banyak mengandung
warna merah (kandungan hemoglobin) dan warna biru (kandungan asam
ribonukleat). Warna merah terlihat lebih dominan pada sel rubrisit karena banyak
mengandung hemoglobin (Bast et al. 2000).
Metarubrisit disebut juga normoblas ortokromatik atau eritroblas
ortokromatik (Bast et al. 2000). Sel ini memiliki inti sel yang kecil dan
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya lebih merah, walaupun
masih tersisa warna biru. Jumlah metarubrisit pada keadaan normal berkisar
antara 5-10% pada sumsum tulang.
Menurut Frandson (1996), beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi
jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah meliputi jenis hewan, jenis kelamin, dan
umur. Jumlah eritrosit pada kucing berkisar antara 5.00-10.00 x106 /µl (Jain
1993). Hewan dengan ukuran eritrosit yang kecil memiliki jumlah eritrosit lebih
tinggi, dan sebaliknya hewan yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar memiliki
jumlah eritrosit yang lebih rendah (Jain 1993).

Jumlah eritrosit pada kucing

jantan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kucing betina, karena pada kucing
jantan dipengaruhi oleh hormon androgen (Schalm 2010). Berdasarkan umur,
jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali lipat dibandingkan dengan
kucing dewasa (Schalm 1986).
Faktor-faktor patologis yang dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yaitu
defisiensi besi, penyakit hati, penyakit ginjal, dan nutrisi. Sintesis hemoglobin
pada kasus defisiensi besi terganggu sehingga pembentukan eritrosit terhambat.
Defisiensi besi, Cu, vitamin, dan asam amino sangat berpengaruh pada jumlah
eritrosit seperti yang dilaporkan oleh Triastuti (2006).
Penyakit hati dan ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah eritrosit. Ginjal merupakan tempat utama diproduksinya eritropoietin,
dimana target utamanya adalah sumsum tulang (Schalm 1986). Eritropoietin

10

dibentuk di hati pada masa fetus, dan di ginjal pada saat dewasa (Meyer et al.
1992). Bila masa ginjal berkurang akibat penyakit ginjal, maka hati tidak dapat
mengkompensasi dan terjadilah anemia (Ganong 1997).

Gambar 3 Eritrosit Kucing (Schalm 2010).
Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan pigmen pembawa oksigen, terdiri atas empat
rantai polipeptida globin yang berbeda dan masing-masing terdapat beberapa ratus
asam amino (Dorland 1998). Hemoglobin terdiri atas dua komponen yaitu heme
dan globin (Colville dan Bassert 2002). Menurut Ganong (2001), kemampuan
eritrosit mengikat oksigen disebabkan oleh adanya Hb.
Hemoglobin diproduksi oleh eritrosit selama proses pematangan. Sintesis
heme berlangsung di mitokondria, sedangkan globin merupakan bagian protein
yang diproduksi di ribosom (Colville dan Bassert 2002). Setiap kelompok heme
mengandung atom besi (Fe++) yang akan mengikat, mengangkut, dan memberikan
oksigen ke jaringan (Weiss dan Wardrob 2010). Empat heme dalam setiap
kelompok melekat dengan molekul globin sehingga setiap molekul Hb akan
membawa empat molekul oksigen (Colville dan Bassert 2002).
Menurut McCurnin dan Bassert (2006), hemoglobin bertanggung jawab
dalam membawa oksigen dari paru paru menuju jaringan. Afinitas Hb terhadap
oksigen dapat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3DPG) dalam eritrosit (Colville dan Bassert 2002). Keadaan pH yang asam, akan
membuat oksigen di dalam jaringan berkurang sehingga kemampuan Hb
membawa oksigen menurun. Hemoglobin mempunyai tiga fungsi diantaranya,
mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan tubuh,

11

mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh,
dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke
paru-paru untuk dibuang (McCurnin dan Bassert 2006).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb diantaranya
beberapa keadaan seperti gangguan sintesis Hb, defisiensi besi, dan infeksi kronis
(Cunningham 1997). Gangguan pada sintesis Hb misalnya thalassemia
(kongenital) (Sodikoff 1995) dan anemia defisiensi zat besi. Thalassemia
merupakan kelompok anemia hemolitik herediter yang ditandai dengan penurunan
kecepatan sintesis satu rantai atau lebih polipeptida Hb, sehingga pada kasus
tersebut akan mempengaruhi konsentrasi Hb (Dorland 1998).

Hematokrit / Packed Cell Volume (PCV)
Hematokrit

merupakan persentase eritrosit dari total volume darah

(Dorland 1998). Nilai ini didapatkan dengan melihat tiga bagian hasil dari
sentrifugasi eritrosit yang mengendap yaitu eritrosit di lapisan dasar, leukosit dan
trombosit pada lapisan tengah (buffy coat), dan plasma darah di lapisan atas. Nilai
normal hematokrit bervariasi diantara spesies, dan tergantung pada umur dan jenis
kelamin dari setiap individu (Schalm 1986; Jain 1993).
Faktor fisiologis lainnya yang dapat mempengaruhi nilai hematokrit yaitu
jenis kelamin dan dehidrasi (Stockham dan Scott 2008). Saat dehidrasi, tubuh
mengambil cairan vaskular untuk melakukan homeostasis, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi hematokrit dalam darah (Stockham dan Scott 2008).
Luka terbuka dan infeksi parasit merupakan faktor yang bersifat patologis yang
dapat mempengaruhi nilai hematokrit dalam darah. Jumlah eritrosit pada kasus
tersebut berkurang secara cepat, sehingga konsentrasi hematokrit dalam darah
berkurang, dan hewan akan mengalami anemia. Anemia juga dapat terjadi apabila
eritrosit

mengalami

hemolisis

yang

lebih

cepat

dibandingkan

dengan

pembentukannya atau apabila sel eritrosit tidak berhasil matang secara normal
(Frandson 1996).
Hemokonsentrasi atau disebut juga polisitemia merupakan kebalikan dari
anemia yang berarti bahwa rasio sel darah merah terhadap cairan berada diatas
normal. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang tinggi baik

12

disebabkan oleh jumlah eritrosit yang bertambah maupun jumlah cairan vaskular
yang menurun (Stockham dan Scott 2008).

Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit terdiri atas MCV (mean corpuscular volume), MCH
(mean corpuscular hemoglobin), dan MCHC (mean corpuscular hemoglobin
concentration). Indeks eritrosit digunakan untuk mengklasifikasi jenis anemia
secara morfologi (Riswanto 2009). Jenis anemia berdasarkan indeks eritrosit dapat
digolongkan menjadi enam, yaitu anemia normocytic normochromic, macrocytic
hypochromic, macrocytic normochromic, microcytic hypochromic, microcytic
normochromic, dan normocytic hypocromic (Sodikoff 1995).

Mean Corpuscular Volume (MCV)
Mean Corpuscular Volume menggambarkan rataan volume eritrosit.
Nilai ini mengindikasikan eritrosit tersebut termasuk mikrositik, normositik, atau
makrositik. Nilai MCV bervariasi pada setiap spesies. Hewan mamalia memiliki
ukuran eritrosit yang lebih kecil dibandingkan dengan burung, reptil, amfibi.
Ukuran eritrosit yang kecil pada mamalia ini menyebabkan hewan mamalia
memiliki jumlah eritrosit yang lebih banyak (Meyer dan Harvey 2004).
Menurut Schalm (2010), nilai MCV yang normal menggambarkan
ukuran eritrosit yang normal. Nilai MCV yang rendah memiliki ukuran eritrosit
yang lebih kecil dari ukuran normal. Nilai MCV yang rendah dapat ditemukan
pada anemia mikrositik. Penyebab anemia mikrositik yaitu defisiensi besi dan
penyakit kronis (Nordenson 2006). Eritrosit yang berukuran besar merupakan
eritrosit muda dan yang berukuran kecil merupakan eritrosit yang sudah dewasa.
Apabila di dalam sirkulasi darah banyak terdapat eritrosit yang berukuran kecil,
dimungkinkan terjadi kegagalan dalam proses eritropoiesis. Nilai MCV diperoleh
dari penghitungan rumus sebagai berikut :


(Schalm 1986).

13

Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Mean Corpuscular Hemoglobin merupakan penghitungan massa
hemoglobin dalam eritrosit. Mean Corpuscular Hemoglobin menggambarkan
rataan bobot hemoglobin dalam eritrosit. Nilai ini selalu berkorelasi dengan MCV
dan MCHC. Nilai MCH diperoleh dari penghitungan rumus sebagai berikut :


(Schalm 1986).

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration menggambarkan rataan
konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit. Nilai MCHC mengindikasikan eritrosit
dalam keadaan normokromik atau hipokromik. Normokromik mengacu pada nilai
MCHC yang normal, sedangkan apabila lebih rendah dari nilai normal disebut
hipokromik (Meyer et al 1992). Nilai MCHC diekspresikan dalam g/dl eritrosit
(Meyer & Harvey 2004). Rendahnya nilai MCHC dapat disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin, sintesis eritrosit, atau keadaan darah yang encer
akibat peningkatan cairan plasma atau kehilangan sejumlah eritrosit (Cunningham
1997). Nilai MCHC dapat diperoleh dari penghitungan rumus sebagai berikut :
(Schalm 1986).

14

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit
Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di lingkungan lingkar kampus IPB Dramaga.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011- Januari 2012.

Bahan dan Alat
Hewan coba yang digunakan adalah 12 ekor kucing kampung (Felis
domestica) yang hidup secara “liar” (tidak dipelihara) di daerah lingkar kampus
IPB Dramaga, Bogor Bahan yang digunakan adalah kapas, tisu, aquadestilata,
alkohol 70%, larutan Hayem, HCl 0.1 N.
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan darah meliputi tabung EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), disposable syringe 3 ml, mikroskop,
sentrifus, hemositometer, tabung mikrohematokrit, hemometer, hand counter,
cover glass.

Metode Penelitian
Darah diambil dari vena femoralis sebanyak 1 ml, menggunakan
disposable syringe berukuran 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam
vacutainer berantikoagulan EDTA. Sampel darah yang diambil kemudian
diperiksa terhadap jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit.

Jumlah Eritrosit
Jumlah eritrosit dihitung menggunakan metode hemositometer (Schalm
1986). Darah dihisap menggunakan menggunakan pipet pengencer eritrosit dan
aspiratornya sampai batas garis 0.5, kemudian dilanjutkan dengan menghisap
larutan hayem sampai batas 101. Campuran di dalam pipet eritrosit dihomogenkan
dengan gerakan memutar membentuk angka delapan. Sebelum dimasukkan ke
kamar hitung, campuran yang tidak ikut terkocok yang berada di ujung pipet
dibuang terlebih dahulu sebanyak 2-3 tetes . Secara hati-hati, campuran diteteskan

15

ke kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet pada pertemuan antara kamar
hitung dengan cover glass. Penghitungan eritrosit dilakukan pada ruang hitung
untuk eritrosit, yaitu pada kelima kotak yang terletak diagonal pada lima bujur
sangkar besar yang berada tepat ditengah kamar hitung, menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 10 x 40. Hasil yang diperoleh = a x 104/µl.

Konsentrasi Hemoglobin
Pengukuran konsentrasi hemoglobin dilakukan menggunakan metode
Sahli (Schalm 1986). Sampel darah dihisap menggunakan pipet Sahli sampai
batas angka 20 (0.02ml). Sebelumnya tabung Sahli telah diisi dengan HCl 0.1N
sampai angka 10 (garis terbawah dari tabung). Kemudian darah dari pipet
dipindahkan ke dalam tabung Sahli. Tabung yang telah berisi campuran tersebut
diletakkan diantara kedua bagian standar warna dalam alat hemometer. Dibiarkan
sebentar selama tiga menit sampai terbentuk asam hematin berwarna coklat.
Kemudian ditambahkan aquades dengan menggunakan pipet tetes sambil diaduk
sampai warna campuran sama dengan warna standar yang terdapat pada tabung
Sahli. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam gram %.

Nilai Hematokrit
Nilai

hematokrit

ditentukan

dengan

menggunakan

metode

mikrohematokrit (Schalm 1986). Sampel darah diambil menggunakan tabung
mikrohematokrit. Darah dibiarkan masuk sampai mengisi 4/5 bagian dari tabung
mikrohematokrit. Ujung tabung kemudian disumbat dengan creatoseal. Setelah
itu disentrifus dengan kecepatan 12000 rpm selama lima menit. Persentase
volume eritrosit diukur dengan menggunakan alat baca microhematocrit reader.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam %.

Analisis Data
Data jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
dihitung rataan dan standar deviasinya, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah)
Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan
pada Tabel 2. Jumlah eritrosit semua kucing kampung percobaan bervariasi
diantara individu, yaitu berkisar antara 5.10-9.22 x106/µl, dengan rataan sebesar
7.00

1.30 x106/µl.

Tabel 2 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
pada kucing kampung (Felis domestica).
Kode
Jenis
Hewan Kelamin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Rata-rata
Kisaran
Referensi*)
*)













SD

Jumlah Eritrosit
(106/µl)

Hemoglobin (g/dl)

Hematokrit (%)

6.80
6.51
5.10
6.10
6.20
8.50
9.22
6.42
5.60
8.15
8.52
6.84
7.00 1.30
5.10-9.22
5.00 – 10.00

8.60
8.30
8.80
8.50
8.40
11.80
11.00
8.20
8.40
11.50
12.20
10.30
9.66 1.56
8.20-12.20
8.00 – 15.00

24.00
32.00
25.00
32.00
28.00
39.00
33.00
30.00
27.00
31.00
37.00
36.00
31.16 4.68
24.00-39.00
24.00 – 45.00

Jain (1993)

Jumlah eritrosit pada kucing normal menurut Jain (1993) berkisar antara
5.00–10.00 ×106/µl. Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah eritrosit tertinggi yaitu
9.22 x106/µl, dan terendah adalah 5.10 x106/µl. Secara umum jumlah eritrosit
pada kucing kampung yang diamati masih berada pada interval normal menurut
Jain (1993).

17

Tabel 3 Rataan jumlah eritrosit (106 /µl) pada kucing kampung (Felis domestica)
jantan dan betina.
Kode
Hewan
1
2
3
4
5
6
7
Rata-rata SD

Jumlah Eritrosit (106/µl)
Betina
Jantan
6.80
6.42
6.51
5.60
5.10
8.15
6.10
8.52
6.20
6.84
8.50
9.22
1.04
7.57 1.52

Tabel 3 memperlihatkan perbandingan jumlah eritrosit pada kucing
kampung (Felis domestica) jantan dan betina. Jika diamati berdasarkan jenis
kelamin, rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan kucing kampung betina. Rataan jumlah eritrosit pada kucing
kampung jantan adalah 7.57 1.52 x106/µl (kisaran 5.60-8.52 x106/µl), sedangkan
pada kucing kampung betina 6.58 1.04 x106/µl (kisaran 5.10-9.22 x 106/µl).
Rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan normal menurut Triastuti
(2006), yang melakukan penelitian terhadap kucing kampung yang dipelihara,
adalah 6.32 1.91x106/µl, dan pada kucing kampung betina yaitu 6.02 2.20
x106/µl. Jumlah eritrosit pada percobaan ini menunjukkan hasil yang hampir sama
bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triastuti (2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit di dalam sirkulasi
darah meliputi faktor fisiologis dan patologis. Beberapa faktor fisiologis
diantaranya jenis kelamin, umur, kondisi kebuntingan, laktasi, dan tempat
ketinggian (Riswan 2003; Jain 1993). Faktor yang bersifat patologis yang juga
mempengaruhi jumlah eritrosit diantaranya hemoragi, hemolisis, gangguan
sumsum tulang, penyakit akibat virus (mis Feline Leukemia virus), gangguan
hormonal, gagal ginjal kronis, infeksi parasit kronis, dan defisiensi nutrisi
pembentuk hemoglobin (Dorland 1998; Stockham dan Scott 2008). Biasanya
ditandai dengan menurunnya salah satu parameter eritrosit di dalam sirkulasi
darah (Meyer dan Harvey 2004).

18

Rendahnya atau menurunnya salah satu dari parameter eritrosit, yang
meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi Hb, dan nilai hematokrit, dalam sirkulasi
darah dibawah nilai interval normal disebut anemia. Anemia merupakan kondisi
patologis akibat menurunnya kapasitas angkut O2. Anemia bukan merupakan
penyakit melainkan gejala klinis. Biasanya muncul sebagai respons sekunder
akibat adanya penyakit atau gangguan fungsi organ. Keadaan anemia merupakan
salah satu gangguan respon eritrosit yang paling sering dijumpai pada hewan
anjing dan kucing (Jain 1993).
Anemia dapat ditemukan pada kondisi kebuntingan dan menyusui,
karena pada kondisi tersebut zat besi banyak dialihkan ke fetus maupun ke anak
pada saat proses menyusui (Riswan 2003). Suplai zat besi pada saat bunting
dialihkan pada fetus untuk pembentukan sel darah merah (Tumbelaka et al. 2005).
Anemia juga dapat terjadi pada kasus hemolisis dan hemoragi (Dorland 1998).
Menurut Dorland (1998), pada kasus hemoragi, apabila terjadi kehilangan darah
dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan jumlah eritrosit berkurang secara
drastis.
Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 3), rataan jumlah eritrosit baik pada
kucing kampung jantan maupun betina, masih berada dalam nilai interval normal
menurut Jain (1993). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada
kucing kampung jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina.
Jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
jenis kelamin (Jain 1993). Jumlah eritrosit pada kucing jantan sedikit lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan kucing betina (Schalm 2010). Hormon kelamin
jantan diketahui dapat meningkatkan produksi eritropoietin (Spence dan Mason
1987), sedangkan estrogen yang merupakan hormon kelamin betina diketahui
dapat menekan produksi eritropoietin (Spence dan Mason 1987). Eritropoietin
merupakan hormon yang merangsang proses pembentukan eritrosit (eritropoiesis)
(Dorland 1998).
Jumlah eritrosit dapat pula dipengaruhi oleh nutrisi dalam pakan seperti
zat besi, Cu, vitamin dan asam amino (Frandson 1992). Defisiensi vitamin B12 dan
asam folat dapat menyebabkan kegagalan proses eritropoiesis, sehingga produksi
eritrosit menurun, dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah menjadi rendah

19

(Guyton dan Hall 1997). Menurut jain (1993), jumlah eritrosit mengalami
peningkatan seiring dengan pertambahan umur, dan pada umur satu tahun
mencapai nilai yang stabil. Jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali
lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah eritrosit pada hewan dewasa
(Schalm 1986). Guyton dan Hall (1997) berpendapat bahwa kadar oksigen di
daerah dataran tinggi sangat rendah. Adanya hipoksia jaringan akan merangsang
diproduksinya eritropoietin sehingga produksi eritrosit meningkat.
Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah
eritrosit pada kucing kampung masih berada dalam nilai interval normal.
Pengamatan secara individu juga menunjukkan bahwa ke-12 ekor kucing
kampung memiliki jumlah eritrosit yang masih berada dalam nilai interval normal
menurut Jain (1993).

Konsentrasi Hemoglobin (Hb)
Rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung dapat dilihat pada Tabel 2.
Rataan konsentrasi Hb yang diperoleh adalah 9.66

g/dl (kisaran 8.20-12.20

g/dl). Menurut Jain (1993), rataan konsentrasi Hb pada kucing normal adalah
11.00 g/dl (dengan kisaran antara 8.00–15.00 g/dl), sedangkan menurut Muir et al.
(1995) berkisar antara 8.50–16.00 g/dl. Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi
Hb tertinggi sebesar 12.20 g/dl dan terendah 8.20 g/dl. Dengan demikian, secara
umum konsentrasi Hb pada ke-12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara
masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993) dan Muir et al.
(1995).
Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, konsentrasi Hb pada kucing
kampung jantan memiliki rataan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing
kampung betina (Tabel 4). Rataan konsentrasi Hb kucing kampung betina yaitu
9.30 1.46 g/dl (kisaran 8.30–11.80 g/dl), sedangkan rataan konsentrasi Hb pada
kucing kampung jantan 10.18 1.52 g/dl (kisaran 8.20-12.20 g/dl). Menurut
Triastuti (2006), konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan sebesar 9.74 4.28
g/dl, dan pada kucing kampung betina 9.67 4.24 g/dl. Konsentrasi Hb pada
percobaan ini menunjukkan hasil yang hampir sama bila dibandingkan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Triastuti (2006).

20

Tabel 4 Rataan konsentrasi hemoglobin (g/dl) pada kucing kampung (Felis
domestica) jantan dan betina.
Kode
Hewan
1
2
3
4
5
6
7
Rata-rata SD

Konsentrasi Hemoglobin (g/dl)
Betina
Jantan
8.60
8.20
8.30
8.40
8.80
11.50
8.50
12.20
8.40
10.30
11.80
11.00
9.30 1.46
10.18 1.52

Rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan hasil pengamatan
memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung
betina. Menurut Guyton dan Hall (1997), konsentrasi Hb dipengaruhi oleh banyak
faktor diantaranya jenis kelamin, nutrisi, ras, umur, musim, waktu pengambilan
sampel, metode penelitian dan antikoagulan yang dipakai dalam penelitian
(Guyton dan Hall 1997; Mbassa dan Poulsen 1993). Menurut Spence dan Mason
(1987), hormon kelamin jantan diketahui dapat merangsang produksi eritropoietin
(Swenson 1997).
Konsentrasi Hb yang rendah dapat ditemukan pada beberapa kasus
seperti defisiensi zat besi, infeksi kronis, inflamasi, malnutrisi, thalassemia minor
(Andrews 1999). Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb
diantaranya kecukupan zat besi dalam tubuh (Gunadi 2008). Zat besi dibutuhkan
dalam produksi hemoglobin, sehingga anemia akibat defisiensi besi akan
menyebabkan terbentuknya ukuran eritrosit yang lebih kecil dengan kandungan
Hb yang rendah (Gunadi 2008). Zat besi juga berperan dalam sintesis Hb dalam
eritrosit dan mioglobin dalam sel otot (Riswan 2003).
Zat besi dibutuhkan dalam sintesis heme sehingga dapat mempengaruhi
konsentrasi Hb (Meyer dan Harvey 2004). Menurut Cunningham (2002),
meningkatnya konsentrasi Hb (dari konsentrasi yang rendah) dapat menyebabkan
kemampuan membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan eksresi
karbondioksida lebih efisien sehinggga keadaan dan fungsi sel membaik (Guyton
dan Hall 1997).

21

Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan konsentrasi
Hb pada kucing kampung masih berada dalam nilai interval normal. Pengamatan
secara individu juga menunjukkan hasil yang sama, dimana ke-12 ekor kucing
kampung memiliki konsentrasi hemoglobin yang masih berada dalam nilai
interval normal menurut Jain (1993).

Nilai Hematokrit
Nilai hematokrit menggambarkan persentase eritrosit dalam volume
darah (Dorland 1998). Berkurangnya plasma darah membuat persentase sel darah
terhadap cairannya meningkat, berbanding lurus dengan nilai hematokrit yang
dihasilkan (Tumbelaka et al. 2005). Rataan nilai hematokrit pada semua kucing
yang diperoleh pada penelitian ini adalah 31.16±4.68 % (kisaran 24-39%).
Menurut Jain (1993), rataan nilai hematokrit pada kucing normal adalah 34.50 %
dengan kisaran 24.00–45.00%. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai hematokrit hasil
pengamatan terhadap 12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara masih berada
dalam nilai interval normal menurut Jain (1993).
Rataan nilai hematokrit yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada Tabel 5. Rataan nilai hematokrit kucing kampung jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan kucing kampung betina. Rataan nilai hematokrit pada
kucing kampung jantan sebesar 32.00 4.48 % dengan kisaran 27.00–37.00 %,
sedangkan pada kucing kampung betina adalah 30.58 5.14 % dengan kisaran
24.00–39.00 %. Menurut Triastuti (2006), nilai hematokrit pada kucing kampung
jantan sebesar 26.50 10.55 % dan pada kucing kampung betina 25.84 10.83 %.
Rataan nilai hematokrit kucing kampung jantan dan betina hasil pengamatan
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Triastuti (2006).

22

Tabel 5 Rataan nilai hematokrit (%) pada kucing kampung (Felis domestica)
jantan dan betina.
Kode
Hewan
1
2
3
4
5
6
7
Rata-rata SD

Nilai Hematokrit (%)
Betina
Jantan
24.00
30.00
32.00
27.00
25.00
31.00
32.00
37.00
28.00
36.00
39.00
33.00
30.58 5.14
32.00 4.48

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit. Menurut Foster
(2009), nilai hematokrit yang tinggi dapat dijumpai pada hewan yang mengalami
dehidrasi, berada pada dataran tinggi, dan pada lingkungan yang rendah oksigen.
Beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi nilai hematokrit yaitu jenis
kelamin, status nutrisi, keadaan hipoksia dan ukuran eritrosit (Swenson 1997).
Aktivitas yang tinggi dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan
melalui penguapan (keringat), urinasi dan pernapasan. Kondisi kekurangan cairan
tersebut menyebabkan tubuh akan merespon dengan mengambil cai