Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin Dengan Ketamin Pada Kucing Lokal (Felis Domestica) Indonesia

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI MEDETOMIDIN
DENGAN KETAMIN PADA KUCING LOKAL
(Felis domestica) INDONESIA

DEDI NUR ARIPIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas
Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan Ketamin pada Kucing Lokal (Felis
domestica) Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Dedi Nur Aripin
NIM B04110121

ABSTRAK
DEDI NUR ARIPIN. Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan
Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia. Dibimbing oleh
WASMEN MANALU dan ANDRIYANTO
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas anestetikum
kombinasi medetomidin dengan ketamin pada kucing lokal (Felis domestica).
Sebanyak dua puluh ekor kucing yang telah dewasa kelamin dengan bobot badan
3-5 kg dibagi menjadi empat perlakuan dan masing-masing perlakuan
menggunakan lima ekor kucing sebagai ulangan. Kelompok tersebut ialah kucing
percobaan yang tidak mendapatkan anestesi (Kontrol), kucing percobaan yang
disuntik ketamin dengan dosis 20 mg/kg BB (perlakuan 1), kucing percobaan
yang disuntik medetomidin dengan dosis 0.15 mg/kg BB (perlakuan 2), dan
kucing percobaan yang disuntik dengan medetomidin dosis 0.1 mg/kg BB dan
sesaat setelahnya disuntik dengan ketamin dosis 10 mg/kg BB (perlakuan 3).
Sediaan anestetikum diberikan pada kucing secara intramuskuler (IM). Parameter

yang diamati terdiri atas onset, durasi, frekuensi napas, frekuensi jantung, dan
suhu rektal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi anestesi
medetomidin-ketamin memiliki efektivitas yang lebih baik jika dibandingkan
dengan anestesi ketamin maupun medetomidin. Anestesi kombinasi medetomidinketamin memiliki onset yang lebih cepat sekitar 3 menit dibandingkan
medetomidin dan sekitar 8 menit dibandingkan ketamin. Kucing yang disuntik
kombinasi medetomidin-ketamin memiliki durasi yang lebih lama sekitar 78
menit dibandingkan medetomidin dan sekitar 172 menit dibandingkan ketamin.
Anestesi kombinasi medetomidin-ketamin menghasilkan tekanan yang minimal
terhadap kondisi fisiologis tubuh yang meliputi fungsi pernapasan, fungsi jantung,
dan suhu tubuh. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah kombinasi
medetomidin-ketamin efektif digunakan sebagai alternatif sediaan anestesi pada
kucing lokal.
Kata kunci: anestesi, ketamin, kombinasi, kucing, medetomidin

ABSTRACT
DEDI NUR ARIPIN. Effectivity of Anesthetic Combination of Medetomidine with
Ketamine in Indonesian Local Cats (Felis domestica). Supervised by WASMEN
MANALU and ANDRIYANTO.
This study aimed to determine the effectivity of anesthetics combination of
medetomidine with ketamine in local cat (Felis domestica). Twenty adult cats with

body weights ranged 3-5 kg were divided into five groups consisted of five cats
each and each group was given different treatments. The first group was control
group that did not receive anesthesia. The second group consisted of cats injected
with ketamine at a dose of 20 mg/kg BW (treatment 1). The third group consisted
of cats injected with medetomidine at a dose of 0.15 mg/kg BW (treatment 2). The
fourth group consisted of cats injected with medetomidine at a dose of 0.1 mg/kg
BW and shortly thereafter injected with ketamine at a dose of 10 mg/kg (treatment
3). The anestheticum was administered by intramuscular (IM) injection. The
observed parameters were onset, duration, respiratory rate, heart rate, and rectal
temperature. Results of this study showed that the anesthetic combination of
medetomidine-ketamine had a better effectivity when compared to ketamine and
medetomidine. Anesthetic combination of medetomidine-ketamine has a faster
onset as compared to medetomidine (about 3 minutes) and ketamine (about 8
minutes). Cats injected with anesthetic combination of medetomidine-ketamine
had a longer duration as compared to medetomidine (about 78 minutes) and
ketamine (about 172 minutes). Anesthetic combination of medetomidine-ketamine
produced a minimal depression of the physiological conditions such as the
functions of breathing, heart function, and body temperature. Conclusion in this
study is the combination of medetomidine-ketamin can be effectively used as an
alternative anesthesia in local cats.

Keywords: anesthesia, cats, combination, ketamine, medetomidine

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI MEDETOMIDIN
DENGAN KETAMIN PADA KUCING LOKAL
(Felis domestica) INDONESIA

DEDI NUR ARIPIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi


: Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan
Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia
: Dedi Nur Aripin
: B04110121

Nama
NIM

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Wasmen Manalu
Pembimbing I

Drh Andriyanto, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Efektivitas Anestetikum Kombinasi
Medetomidin dengan Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia”.
Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh anestetikum kombinasi medetomidin
dengan ketamin pada onset dan durasi anestesi, serta pengaruhnya pada frekuensi
napas, frekuensi jantung, dan suhu tubuh pada kucing lokal.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik
karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis ayahanda Mustakim dan ibunda Gege Nurhayati yang telah
membesarkan dan merawat penulis dengan penuh kasih sayang serta menjadi
sumber motivasi paling besar untuk penyelesaian skripsi ini.
2. Kakak penulis Noor Janah dan adik penulis Septiadi Yusuf S, M. Rizky
Ramadhan yang selalu memberikan dukungan dan semangat untuk

penyelesaian skripsi ini.
3. Prof Dr Ir Wasmen Manalu dan Drh Andriyanto, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi
masukan serta saran yang berarti selama proses penyelesaian penulisan
skripsi ini.
4. Drh Aulia Andi Mustika, MSi dan Drh Ridi Arif yang telah memberikan
saran yang berarti selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini.
5. Drh Adi Winarto, PhD selaku dosen pembimbing akademik selama berkuliah
di Fakultas Kedokteran Hewan IPB
6. Beasiswa Bidikmisi yang diberikan oleh DIKTI yang sangat meringankan
penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
7. Bapak Dikdik dan Bapak Angga yang selalu membantu dalam proses
penelitian.
8. Teman-teman Ganglion (FKH 48). Terima kasih untuk kebersamaannya
selama ini.
9. Gusti Habiby SN dan Pramesti Nugraheni, sahabat seperjuangan penulis
selama melaksanakan kegiatan penelitian dan penulisan tugas akhir.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan pembaca.
Bogor, September 2015

Dedi Nur Aripin

viii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kucing Lokal
Anestesia
Medetomidin
Ketamin
Onset dan Durasi
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan

Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
1
1
2
2
2
2
3
3
4
5
6

6
6
6
8
13
14
14
17

ix

DAFTAR TABEL
1
2

Rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan
onset sempurna) pada berbagai waktu pengamatan
8
Rataan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan
durasi total) pada berbagai waktu pengamatan

9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Struktur kimia medetomidin (C13H16N2)
Struktur kimia ketamin HCl (C13H16ClNO.HCl)
Hubungan antara frekuensi napas dan waktu
Hubungan antara frekuensi jantung dan waktu
Hubungan antara suhu dan waktu

3
5
11
12
13

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing merupakan hewan peliharaan yang populer di Indonesia, selain
hewan lainnya, seperti anjing, burung, dan hewan eksotik (Purwantoro 2010).
Kucing banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan untuk pemenuhan kesenangan
ataupun hobi pemiliknya. Hal ini dikarenakan kucing memiliki sifat yang manja,
bentuk tubuh yang menggemaskan, perilaku yang lucu ketika bercanda, dan
memiliki rambut yang halus (Suwed dan Rodame 2011). Pada pemeliharaannya,
banyak ditemukan kasus penyakit pada kucing. Penanganan yang dilakukan
terhadap penyakit pada kucing dapat berupa tindakan nonbedah maupun tindakan
bedah. Tindakan bedah, seperti kastrasi maupun ovariohisterektomi, umum
dilakukan pada kucing dalam usaha untuk mengurangi populasi, selain itu juga
sebagai terapi penyakit yang ada di dalam organ reproduksi (Noviana et al. 2006).
Tindakan bedah dalam upaya terapi tidak bisa dilepaskan dari pemberian
anestetikum kepada pasien yang akan dibedah. Pemberian anestetikum merupakan
tahapan penting sebelum melakukan tindakan bedah karena tindakan bedah belum
dapat dilakukan bila anestetikum belum diberikan. Pemberian anestetikum
dimaksudkan untuk menghilangkan kesadaran dan rasa sakit, relaksasi otot serta
mengurangi timbulnya konvulsi otot (Sardjana 2003). Pemilihan anestetikum
yang ideal mutlak diperlukan dan menunjang tindakan bedah sehinga tindakan
bedah dapat dilakukan dengan aman tanpa menimbulkan gangguan sistem vital
tubuh pasien.
Ada beberapa kriteria untuk menentukan suatu anestetikum ideal.
Anestetikum ideal harus memenuhi kriteria anestesi, yaitu sedasi, analgesi,
relaksasi, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah
diaplikasikan baik di lapangan maupun di ruang operasi (Swarayana 2015).
Menurut Thurman et al. (1996), anestetikum ideal tidak bergantung pada
metabolisme untuk aksi dan eliminasinya, memiliki onset induksi cepat,
pergantian kedalaman anestesi singkat, pemulihan cepat, tidak menekan fungsi
kardiopulmoner, tidak mengiritasi jaringan, tidak mahal, stabil, serta tidak
memerlukan peralatan khusus untuk administrasi obat tersebut. Suatu anestetikum
tidak dapat memiliki semua kriteria tersebut sehingga pemilihan suatu
anestetikum harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi.
Untuk memperoleh suatu anestetikum yang ideal dapat dilakukan dengan
cara mengkombinasikan sediaan obat anestesi. Pada praktik penanganan
kesehatan hewan kesayangan dengan tindakan pembedahan umumnya
menggunakan kombinasi ketamin dengan xylazin sebagai sediaan obat anestesi.
Hanya saja penggunaan kombinasi ini masih dirasa kurang efektif mengingat
kombinasi xylazin dengan ketamin menekan fungsi pernapasan, fungsi jantung,
dan suhu tubuh (Kilic 2004; Yudaniayanti et al. 2010; Sudisma et al. 2012)
sehingga perlu dilakukan kembali penelitian tentang kombinasi anestetikum.
Salah satu yang dapat dilakukan adalah penelitian mengkombinasikan
medetomidin dengan ketamin.

2

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas anestetikum
kombinasi medetomidin dan ketamin dengan menggunakan kucing lokal (Felis
domestica) Indonesia sebagai hewan percobaan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai
pengaruh anestetikum kombinasi medetomidin dengan ketamin pada onset dan
durasi anestesi, serta pengaruhnya pada frekuensi napas, frekuensi jantung, dan
suhu tubuh pada kucing lokal. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
informasi yang berguna bagi dokter hewan dan pendidikan kedokteran hewan
tentang pilihan kombinasi anestesi medetomidin dengan ketamin sebagai anestesi
yang ideal untuk menunjang tindakan bedah.

TINJAUAN PUSTAKA
Kucing Lokal
Kucing merupakan hewan predator yang berukuran kecil dan termasuk
dalam Ordo Carnivora (pemakan daging), termasuk mamalia crepuscular yang
telah berasosiasi dengan manusia. Kucing peliharaan hidup dalam simbiosis
mutualisme dengan manusia. Dalam hubungannya dengan manusia, kucing
menggunakan variasi vokalisasi dan tipe bahasa tubuh untuk komunikasi, meliputi
meowing, purring, hissing, growling, squeaking, chirping, clicking, dan grunting
(Rahman 2008).
Kucing lokal (Felis domestica) merupakan salah satu dari beberapa hewan
kesayangan yang sering dijadikan peliharaan. Hal tersebut dikarenakan kucing
memiliki daya adaptasi yang baik, perilaku yang lucu ketika bercanda, sifat
manja, rambut yang halus, dan karakter yang unik bila dibandingkan dengan
hewan kesayangan lain. Klasifikasi kucing lokal menurut Fowler (1993) adalah
sebagai berikut:
Kingdom
Filum
Subfilum
Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Animalia
Chordata
Vertebrata
Mamalia
Carnivora
Conoidea
Felidae
Felinae
Felis
Felis domestica

3

Anestesia
Anestesi dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kondisi sedasi,
analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk
dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan
gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam
(Adams 2001; Miller 2010). Pada hewan, anestesi umumnya digunakan untuk
alasan menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang
merugikan (rasa sakit), melakukan pengendalian hewan (restraint), membantu
melakukan diagnosis atau proses pembedahan, keperluan penelitian biomedis,
mencegah kekejangan otot, dan untuk melakukan euthanasia (Adams 2001).
Stadium anestesi dibagi menjadi empat, yaitu stadium induksi, stadium
eksitasi, stadium pembedahan, dan stadium paralisis medular. Stadium induksi
dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran,
indra penciuman dan rasa nyeri hilang, ada kemungkinan mengalami mimpi serta
halusinasi pendengaran dan penglihatan. Pada stadium eksitasi atau delirium
terjadi kehilangan kesadaran akibat penekanan korteks serebri, eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, pernapasan tidak teratur, inkontinensia
urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium pembedahan
merupakan stadium yang menandakan dimulainya prosedur operasi. Stadium
paralisis medular merupakan tahap toksik dari anestesi yang ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat, dan pupil dilatasi (Boulton dan Colin 1994;
Munaf 2008).
Medetomidin
Medetomidin merupakan agonis alpha 2-adrenoseptor dengan rumus ((4[2,3]dimethylphenylethyl)-1H-imidazole). Molekul medetomidin memiliki dua
stereoisomer, yaitu D-stereoisomer dan L-stereoisomer. D-stereoisomer adalah
komponen aktif yang dapat mempengaruhi sistem saraf dan kardiovaskuler,
sedangkan L-stereoisomer tidak aktif (Schmeling et al. 1991). Medetomidin
digunakan sebagai obat penenang dengan efek yang ditimbulkan berupa
analgesik, relaksasi otot, dan efek anxiolytic (Rioja 2013). Pemberian
medetomidin pada hewan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada sistem
kardiovaskuler, sistem pulmonari, gastrointestinal, dan sistem endokrin.
Pemberian medetomidin pada hewan dapat mengakibatkan terjadinya muntah dan
hewan mengalami hipotermia (Cullen 1996).

Gambar 1. Struktur kimia medetomidin (C13H16N2) (www.lookchem.com 2015)

4

Efek sedatif medetomidin ini dimediasi oleh adanya pusat alpha 2adrenoseptor yang banyak terdapat di lokus coeruleus otak (Correa-Sales et al.
1992). Diketahui dari berbagai studi tentang autoradiografik menunjukkan bahwa
pada lokus coeruleus ditemukan neurons noradrenergik dalam jumlah besar.
Lokus coeruleus banyak dilewati oleh jalur saraf yang mentransmisikan impuls ke
otak depan dan sistem limbik. Stimulasi terhadap alpha 2-adrenoseptor di lokus
coeruleus menyebabkan hiperpolarisasi neuron sehingga terjadi hambatan
transmisi impuls dan menghasilkan efek sedasi (Cullen 1996).
Agonis alpha 2-adrenoseptor (medetomidin) menghasilkan efek analgesia
dengan cara menstimulasi reseptor di berbagai lokasi jalur rasa sakit pada spinal
dan tingkat supraspinal (Pertovaara et al. 1991; Akbar et al. 2014). Berbagai studi
tentang radioligand menunjukkan adanya pengikatan alpha 2 dengan konsentrasi
tinggi pada tanduk dorsal dari spinal cord (terdapat sinapsis serabut nosiseptif)
dan batang otak, di mana modulasi dari sinyal nosiseptif akan dimulai (Cullen
1996).
Agonis alpha 2-adrenoseptor dapat mempengaruhi fungsi kardiovaskuler
dengan cara menstimulasi reseptor pusat dan perifer. Stimulasi terhadap reseptor
ditemukan pada bagian yang berbeda di otak, termasuk nukleus dari traktus
solitarius yang menjadi pusat utama dalam kontrol otonom (Hayashi dan Maze
1993), peningkatan aktivitas nervus vagus dan penurunan aktivitas saraf simpatik
yang menghasilkan efek bradikardia dan hipotensi (Cullen 1996). Hipotermia
dapat terjadi akibat tertekannya reseptor noradrenergik di hipotalamus oleh
agonis alpha 2-adrenoseptor. Diketahui dari hasil penelitian, pembiusan anjing
dengan medetomidin mengakibatkan terjadinya sedikit penurunan suhu rektal
(Cullen dan Reynoldson 1993; Pettifer dan Dyson 1993).
Ketamin
Ketamin HCl merupakan golongan phencyclidine dengan rumus 2-(0chlorophenil)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride (Adams 2001).
Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan
mempunyai tingkat keamanan yang lebar. Ketamin termasuk ke dalam golongan
nonbarbiturat dan merupakan disosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai
preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum. Ketamin
merupakan anestetikum yang mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik
dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009; Azizpour dan Hassani 2012).
Ketamin mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta reaksi
anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Kul et al. 2001). Ketamin menghasilkan
pengaruh anestesi melalui mekanisme aksi secara antagonis terhadap reseptor N
methyl D aspartate (NMDA). Afinitas ketamin sangat tinggi pada reseptor
NMDA sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat (Stawicki
2007; Kurdi et al. 2014). Sebagai antagonis NMDA, ketamin menghambat refleks
nosiseptik spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah
korteks.
Ketamin merangsang sistem kardiovaskuler yang mengakibatkan
peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan meningkatkan curah jantung,
yang dimediasi terutama melalui sistem saraf simpatik (Kolawole 2001). Ketamin
memiliki efek minimal terhadap pusat pernapasan dan menghasilkan relaksasi

5

pernapasan dengan cara mempengaruhi berbagai reseptor dan otot bronkhial.
Pembiusan dengan menggunakan ketamin mengakibatkan terjadinya peningkatan
salivasi dan tonus otot (Kurdi et al. 2014).

Gambar 2. Struktur kimia ketamin HCl (C13H16ClNO.HCl) (daily
med.nlm.nih.gov 2015)
Onset dan Durasi
Waktu induksi (onset) adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan
sampai awal terjadinya anestesia. Dikenal dua waktu induksi, waktu induksi 1
adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat
berdiri. Waktu induksi 2 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai
keadaan hewan tidak ada refleks pedal atau hewan sudah tidak merasakan sakit
(stadium operasi) (Swarayana 2015). Waktu induksi dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk kelarutan anestetikum dalam lemak. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah seperti kemudahan untuk berdifusi melalui jaringan ikat.
Pemberian anestetikum secara IM atau subkutan (SC) langsung masuk
interstitium jaringan otot atau kulit ke pembuluh darah kapiler kemudian
memasuki peredaran darah sistemik. Anestetikum larut lemak masuk ke dalam
darah kapiler dengan melintasi membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya
anestetikum yang larut air masuk darah melalui celah antarsel endotel bersama air,
dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya (Gunawan
et al. 2009).
Durasi anestesi adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian anestesi
sampai hewan mulai sadar (ada gerakan), ada respons rasa sakit, dan ada suara
dari hewan, dan ada refleks. Durasi anestesi harus cukup lama sehingga cukup
waktu untuk melakukan tindakan operasi (Swarayana 2015). Secara umum, durasi
kerja berkaitan dengan kelarutan anestetikum dalam lemak. Anestesi lokal dengan
kelarutan lemak tinggi mempunyai durasi yang lebih panjang karena lebih lama
diekskresikan dari dalam darah. Waktu pemulihan adalah waktu antara ketika
hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila saraf di sekitar jari kaki ditekan
atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki kemampuan untuk duduk
sternal, berdiri atau jalan. Waktu pemulihan ini bergantung pada panjang anestesi,
kondisi hewan, jenis hewan, jenis anestetikum yang diberikan dan rute
pemberiannya, dan temperatur tubuh hewan (McKelvey dan Hollingshead 2003).

6

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret
tahun 2015 di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan hewan coba kucing lokal Indonesia. Kucing
yang digunakan berjenis kelamin jantan dengan kondisi normal secara fisiologis.
Anestetikum yang digunakan ialah medetomidin (Medetin®, Dong Bang) dan
ketamin (Ketamine 10% inj, Kepro, Holland). Pakan yang digunakan bentuk
pakan kering (Whiskas®, Mars Inc., US), pemberian air minum (Aqua®, Danone,
FR) secara ad libitum, obat cacing (Combantrin®, Pfizer, CA) untuk eliminasi
cacing, dan disinfektan kandang.
Alat yang digunakan ialah timbangan, syringe (1 mL), kapas beralkohol,
termometer, stetoskop, senter kecil, pinset syrurgis, kandang kucing, tempat
pakan kucing, litter box, kantong plastik, sarung tangan, dan masker.

Prosedur Penelitian
Persiapan Kucing
Kucing yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing yang telah
dewasa kelamin dengan bobot badan 3-5 kg. Kucing yang telah disiapkan
diperiksa kondisi kesehatannya, pemeriksaan yang utama adalah pemeriksaan
fisiologis kucing. Kucing yang telah diperiksa kesehatannya diaklimatisasi
terlebih dahulu selama dua minggu sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan kandang penelitian. Selama aklimatisasi, kucing diberikan obat cacing
supaya terjaga kesehatannya dan fit digunakan untuk penelitian.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Sebanyak dua puluh ekor
kucing yang telah dewasa kelamin digunakan dalam penelitian ini, dibagi menjadi
empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan tersebut ialah kucing yang tidak
diberikan sediaan anestetikum, kucing yang diberikan sediaan anestetikum
ketamin, kucing yang diberikan sediaan anestetikum medetomidin, dan kucing
yang diberikan sediaan anestetikum kombinasi medetomidin-ketamin.
Pemberian Sediaan Anestetikum
Sediaan anestetikum diberikan pada kucing secara intramuskuler (IM).
Kelompok kontrol ialah kucing percobaan yang tidak mendapatkan anestesi.
Kelompok perlakuan pertama ialah kucing percobaan yang disuntik ketamin

7

dengan dosis 20 mg/kg BB. Kelompok perlakuan kedua ialah kucing percobaan
yang disuntik medetomidin dengan dosis 0.15 mg/kg BB. Perlakuan ketiga ialah
kucing percobaan yang disuntik dengan medetomidin dosis 0.1 mg/kg BB dan
sesaat setelahnya disuntik dengan ketamin dosis 10 mg/kg BB. Sebelum diberikan
perlakuan, kucing percobaan dipuasakan selama 12 jam.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini ialah onset (rasa nyeri, tonus
otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil) dan durasi (rasa nyeri, tonus otot,
kesadaran, refleks pedal, dan pupil) dari sediaan anestetikum. Penelitian ini juga
mengamati pengaruh pemberian sediaan anestetikum pada kondisi fisiologis
kucing, seperti frekuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu rektal.
Pengamatan dan Pengambilan Data
Pengambilan data onset dan durasi sediaan anestetikum dilakukan dengan
mengamati rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil. Rasa nyeri
diamati dengan mencubit telinga kucing dengan pinset syrurgis dan tonus otot
diamati dengan melihat kemampuan kucing melakukan kontraksi otot untuk
berdiri maupun bergerak. Kesadaran diamati dengan melihat perilaku kucing dan
kemampuannya dalam menanggapi rangsangan. Refleks pedal diamati dengan
mencubit ujung jari kucing dengan pinset syrurgis kemudian diamati reaksinya
dan pupil diamati dengan melihat adanya reaksi terhadap rangsangan cahaya.
Pengamatan terhadap rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil
dilakukan setiap tiga menit sekali yang dimulai pada saat sebelum pemberian
perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).
Kondisi fisiologis kucing yang diamati adalah ferkuensi napas, frekuensi
jantung, dan suhu rektal. Frekuensi napas dilakukan secara visual dengan
memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi di bagian abdominal selama satu
menit. Frekuensi jantung diukur dengan auskultasi mempergunakan stetoskop
yang diletakkan pada apeks jantung di rongga dada sebelah kiri atau merasakan
pulsus arteri pada arteri femoralis selama satu menit. Suhu rektal diamati dengan
menempatkan termometer pada bagian rektal kucing. Pengamatan kondisi
fisiologis kucing dilakukan setiap sepuluh menit yang dimulai pada saat sebelum
pemberian perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan one way
ANOVA metode Duncan untuk melihat perbedaan pada setiap perlakuan. Analisis
data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan IBM SPSS
Statistics 20.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tindakan bedah dalam upaya terapi sangat bergantung pada pemberian
anestetikum kepada pasien. Hal tersebut dikarenakan tindakan bedah belum dapat
dilakukan bila anestetikum belum diberikan. Pemberian anestetikum bertujuan
untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang
optimal untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan
(Adams 2001; Miller 2010). Tindakan bedah dapat ditunjang dengan pemberian
anestetikum yang ideal sehingga dapat berlangsung dengan aman tanpa
mengganggu fungsi vital tubuh. Suatu anestetikum dikatakan ideal apabila
memenuhi kriteria, yaitu memiliki waktu induksi (onset) cepat, pergantian
kedalaman anestesi singkat, pemulihan cepat, tidak menekan fungsi
kardiopulmoner, tidak mengiritasi jaringan, tidak mahal, stabil, serta tidak
memerlukan peralatan khusus untuk administrasi obat tersebut (Thurman et al
1996; Swarayana 2015).
Data hasil pengamatan rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran,
refleks pedal, pupil, dan onset sempurna) disajikan pada Tabel 1. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian sediaan anestesi ketamin, medetomidin, dan
kombinasi medetomidin-ketamin tidak berpengaruh pada refleks pupil dan
memiliki pengaruh yang berbeda secara nyata pada waktu mulai hilangnya rasa
nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan onset sempurna. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa pemberian sediaan anestesi ketamin tidak berpengaruh pada
refleks pedal kucing dan pemberian sediaan anestesi medetomidin tidak
berpengaruh pada rasa nyeri kucing. Selain itu, kelompok kucing yang diberikan
sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin memiliki onset sempurna yang
lebih cepat sekitar 3 menit dibandingkan medetomidin dan sekitar 8 menit
dibandingkan ketamin.

Tabel 1. Rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan
onset sempurna) pada berbagai waktu pengamatan (menit ke-)

1
Rasa nyeri
2
Tonus
3 Refleks Pedal
4
Kesadaran
5
Pupil
Onset Sempurna

Kontrol

Ketamin

Medetomidin

90.00±0.00c
90.00±0.00b
90.00±0.00b
90.00±0.00c
90.00±0.00a
90.00±0.00c

11.40±5.37b
9.60±4.93a
90.00±0.00b
10.80±5.45b
90.00±0.00a
12.00±5.61b

90.00±0.00c
6.00±4.24a
7.20±3.42a
6.00±4.24ab
90.00±0.00a
7.20±3.42ab

MedetomidinKetamin
4.80±4.02a
4.80±4.02a
4.80±4.02a
4.80±4.02a
90.00±0.00a
4.80±4.02a

P