Utilization of kolong for aquaculture: use of compost to minimize concentration of lead (Pb) in fish culture media

(1)

PEMANFAATAN KOLONG UNTUK AKUAKULTUR :

PENGGUNAAN KOMPOS UNTUK MEMINIMALISASI

KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMAH HITAM (Pb) PADA

MEDIA BUDIDAYA IKAN

Diajukan sebagai salahsatu syarat uk meraih gelar Master Sains di Fakultas Perikanan dan Ilmu K Institut Pertanian Bogor

EVA PRASETIYONO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis : Pemanfaatan Kolong Untuk Akuakultur : Penggunaan Kompos Untuk Meminimalisasi Kandungan Logam Berat Timah Hitam (Pb) Pada Media Budidaya Ikan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Eva Prasetiyono NRP. C151100191


(3)

to Minimize Concentration of Lead (Pb) in Fish Culture Media. Under supervision of KUKUH NIRMALA and ENANG HARRIS.

Kolong (lakes formed of ex-tin mining) has good potency to use for aquaculture activity but so many kolong in Bangka Belitung archipelago weren’t used for this purpose because of its low pH, and high heavy metal level, especially lead (Pb). Fish culture in lead containing- water is very risk. Accumulation of lead in the body of fish above safe level of consumption is one of the problems in the field that need to be solved. Compost could be able to minimize lead in aqueous media and increase the pH of water. The purpose of this research was to determine the best material of compost and its level to minimize lead in fish culture media. Minimization of lead metal by compost occurs through cation exchange, electrostatic binding, complex binding and chelating. The treatment with compost of gamal leaf, avicennia leaf, and banana stem with the level of each composts were 5 gr/l, 9 gr/l, and 13 gr/l by aeration for 24 hours. The measurement of lead metal level reduction in the water were repeated in every 1st, 8th, 16th and 24th hour. The treated water (after 24th hour treatment) then been used to culture 14 days aged-seed of catfish for 30 days. The results showed that the compost was able to minimize lead in the media more than 80% with gamal leaf at 9 gr/l and banana stem at 9 gr/l as the best material and level of compost in the media. The compost increasing the pH of media so that the survival rate and the growth rate of the fish were increased.


(4)

Kompos untuk Meminimalisasi Kandungan Logam Berat Timah Hitam (Pb) pada Media Budidaya Ikan. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan ENANG HARRIS.

Danau bekas galian timah atau kolong yang berusia muda banyak terdapat di Kepulauan Bangka Belitung. Kolong-kolong ini memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi kegiatan akuakultur. Namun permasalahan utama yang dihadapi yaitu pH air yang rendah dan tingginya kandungan logam berat di air. Timah hitam (Pb) merupakan salahsatu logam berat berbahaya yang terdapat di air kolong. Logam ini merupakan mineral non esensial yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh tubuh. Air yang mengandung logam berat Pb tentunya tidak layak digunakan untuk budidaya ikan. Oleh karena itu perlu dilakukan treatment terhadap air agar air layak digunakan untuk budidaya ikan.

Kompos merupakan salahsatu bahan yang dapat digunakan untuk meminimalisasi logam berat Pb di air. Kandungan substansi humus, seperti : asam humat, asam fulvat dan humin yang jumlahnya dominan merupakan substansi yang berperan dalam proses minimalisasi. Selain itu kandungan mineral yang terdapat pada kompos walaupun jumlahnya tidak dominan dapat mengalami pertukaran dengan ion Pb. Proses minimalisasi logam Pb di air terjadi melalui pertukaran kation, ikatan elektrostatik, pementukan senyawa kompleks dan chelate.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas jenis dan dosis kompos dalam meminimalisasi logam berat timah hitam (Pb) pada media budidaya ikan. Penelitian ini menggunakan tiga jenis kompos dengan karakteristik C/N rasio bahan baku yang berbeda yaitu daun gamal, daun api-api (avicennia) dan batang pisang. Penelitian dibagi kedalam tiga percobaan yaitu percobaan kompos daun gamal, percobaan kompos daun avicennia, percobaan kompos batang pisang. Rancangan pada masing-masing percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap dengan pengamatan berulang yang terdiri atas satu faktor yaitu dosis kompos ( 5 gr/l, 9 gr/l, 13 gr/l) dan tiga ulangan. Waktu pengamatan pada masing-masing percobaan yaitu 1 jam, 8 jam, 16 jam dan 24 jam. Percobaan dilakukan dengan cara kompos dimasukan kedalam akuarium yang berisi media air


(5)

diperbandingkan dengan menggunakan uji t dua sampel independen antar jenis kompos. Selanjutnya air hasil perlakuan (treatment) digunakan untuk percobaan pemeliharaan (budidaya) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

Pada percobaan kompos daun gamal didapatkan bahwa dosis kompos 9 gr/l adalah dosis kompos terbaik dalam meminimalisasi logam berat Pb di air. Percobaan kompos daun avicennia didapatkan dosis 5 gr/l adalah dosis terbaik sedangkan dosis 9 gr/l pada percobaan kompos batang pisang adalah dosis terbaik. Selanjutnya dilakukan uji t dua sampel independen untuk memperbandingkan dosis terbaik pada tiap jenis kompos. Berdasarkan uji yang dilakukan didapatkan bahwa kompos daun gamal dan batang pisang dengan dosis masing-masing 9 gr/l adalah dosis kompos terbaik dalam meminimalisasi logam Pb di air. Sisa logam berat di air pada masing-masing kompos ini yaitu 0,2 mg/l. Kompos daun gamal dan batang pisang merupakan dosis yang terbaik dikarenakan kedua kompos ini memiliki kandungan asam humat dan asam fulvat yang lebih tinggi dibandingkan kompos daun avicennia. Selain itu kandungan mineral pada kedua kompos ini juga cukup tinggi untuk bertukar posisi dengan logam Pb di air. Selain mampu meminimalisasi logam Pb, penggunaan kompos juga mampu menaikan pH air. Hal ini terlihat dengan naiknya nilai pH pada setiap percobaan.

Pada percobaan selanjutnya pemeliharaan ikan lele dumbo dilakukan pada air yang telah di-treatment oleh kompos. Percobaan ini menunjukan bahwa ikan lele dumbo dapat dipelihara pada media air ini. Kecuali pada kompos daun gamal dosis 5 gr/l dan kompos batang pisang dosis 5 gr/l, tingkat kelangsungan hidup benih yang dipelihara adalah diatas 80% dan laju pertumbuhan harian diatas 10% sedangkan pada media air tanpa perlakuan kompos, semua ikan yang dipelihara mengalami kematian. Pada kompos daun gamal dosis 5 gr/l dan kompos batang pisang dengan dosis 5 gr/l menghasilkan tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan yang rendah dikarenakan rendahnya kualitas air khususnya pH.


(6)

© HAK CIPTA milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMAH HITAM (Pb) PADA

MEDIA BUDIDAYA IKAN

Diajukan sebagai salahsatu syarat uk meraih gelar Master Sains di Fakultas Perikanan dan Ilmu K Institut Pertanian Bogor

EVA PRASETIYONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

,

-"

Gセ@

セ@

i

iii

セ@ Judul Tesis

セ@

I

I

Nama

I

NRP

Pemanfaatan Kolong Untuk Akuakultur: Penggunaan Kompos Untuk Meminimalisasi Logam Berat Timah Hitam Pada Media Budidaya Ikan

Eva Prasetiyono C151100191

Disetujui Komisi Pembimbing

セO@

, ' ,

Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

-j.

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS

LoiZidエmセォッャ。ィ@ Pascasatjana

セjA@

.

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS

Anggota


(9)

(10)

Segala puji dan rasa syukur penulis haturkan kepada Alloh SWT, pemberi nikmat dan anugrah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini dilakukan sebagai sebuah aplikasi ilmiah terhadap perkuliahan pasca sarjana yang telah ditempuh. Penelitian ini mengambil tema umum tentang kualitas air pada media budidaya ikan dengan judul Pemanfaatan Kolong untuk Akuakultur : Penggunaan Kompos untuk Meminimalisasi Kandungan Logam Berat Timah Hitam (Pb) pada Media Budidaya Ikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS selaku komisi pembimbing atas segala arahan, saran dan bimbingan serta pengajaran tentang ketajaman cara berpikir ilmiah sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas masukan, saran dan sumbangan keilmuannya untuk kebaikan tesis ini. Tidak lupa yang paling utama penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua (Bapak Sarjiyo dan Almarhumah Ibunda Rusminah) Serta mertua (Bapak H. Iskandar AK, SE) atas segala perhatian yang diberikan kepada penulis. Penulis juga secara khusus mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta dr. Alia Rahmah dan anakku tersayang Hamizan Sidqi Azzahir atas segala kesabaran, dukungan, kerinduan dan doa yang diberikan. Terima kasih kepada semua pihak yang membantu penelitian ini (M. Iqbal Zamzani SP owner Bangka Hijau Nursery, dosen-dosen S1 Perikanan, kru Laboratorium MIPA Universitas Bangka Belitung) dan juga rekan-rekan dosen S1 Budidaya Perairan UBB (ex-prodi D3 Perikanan) serta teman-teman akuakultur 2010 atas kebersamaannya.

Karya ilmiah ini semoga memberikan manfaat.

Bogor, Oktober 2012


(11)

Penulis dilahirkan di Desa Jurung, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 18 Februari 1984 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari ayah Sarjiyo dan ibu almarhumah Rusminah. Pada tanggal 1 Juli 2011 menikah dengan dr. Alia Rahmah dan hingga saat ini dikaruniai seorang putra bernama Hamizan Sidqi Azzahir.

Pendidikan dasar hingga menengah atas penulis jalani di Kabupaten Bangka. Penulis memulai pendidikan dasar di SD N 41 Jurung dan menyelesaikannya tahun 1995. Pendidikan SMP diselesaikan tahun 1998 pada SMP N 1 Merawang. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU N 1 Sungailiat. Pada tahun yang sama penulis diterima di program sarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis menyelesaikan program S1 tahun 2006 dan meraih gelar sarjana perikanan. Tahun 2007 penulis diterima sebagai dosen di Universitas Bangka Belitung. Selanjutnya penulis melanjutkan studi di program S2 Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2010. Program studi yang penulis ambil yaitu Ilmu Akuakultur dengan biaya pendidikan berasal dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


(12)

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xxiiiv

DAFTAR GAMBAR ... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Pendekatan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 7

Logam Berat Timah Hitam (Pb) ... 7

Kompos ... 9

Karakteristik Bahan Baku Pengomposan ... 12

Humus ... 13

Interaksi Ion Logam Dengan Humus ... 17

Akuakultur dan Kualitas Air ... 20

METODOLOGI ... 23

Waktu dan Tempat ... 23

Alat dan Bahan Penelitian ... 23

Ikan Uji ... 23

Metode Penelitian ... 23

Prosedur Penelitian ... 25

Tahap 1. Pembuatan Kompos... 25

Tahap 2. Pembuatan Larutan Logam Berat Pb ... 25

Tahap 3. Perlakuan Minimalisasi Logam Berat Pb dengan Menggunakan Kompos ... 25

Tahap 4. Pemeliharaan Ikan ... 26

Parameter Pengamatan ... 26

Kematangan dan Kandungan C/N rasio Kompos ... 26

Kadar Asam Humat dan Asam Fulvat... 27

Kandungan Logam Berat Pb di Air dan Ikan ... 27

Kualitas Fisika dan Kimia Air ... 28


(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Hasil ... 29

Komposisi Bahan Baku Sebelum dan Setelah Dikomposkan ... 29

Minimalisasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Oleh Kompos ... 31

Minimalisasi Logam Berat Pb Oleh Kompos Daun Gamal ... 31

Minimalisasi Logam Berat Pb Oleh Kompos Daun Avicennia ... 33

Minimalisasi Logam Berat Pb Oleh Kompos Batang Pisang ... 35

Perbandingan Antar Jenis Kompos Dalam Minimalisasi Logam Pb di Air ... 37

Kualitas Air Selama Perlakuan Kompos ... 37

Pemeliharaan Ikan ... 39

Kualitas Air Selama Proses Pemeliharaan Ikan ... 41

Pembahasan ... 42

SIMPULAN DAN SARAN ... 51

SIMPULAN ... 51

SARAN ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(14)

1 Grup Fungsional Pada Substansi Humus... 2 Komposisi Bahan Baku Daun Gamal, Daun Avicennia dan Batang Pisang

Sebelum Dikomposkan... 3 Komposisi Daun Gamal, Daun Avicennia dan Batang Pisang Setelah

Dikomposkan... 4 Data Rata-Rata Konsentrasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Yang Tersisa

Di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Daun Gamal Pada Berbagai

Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan... 5 Data Rata-Rata Konsentrasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Yang Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Daun Avicennia Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan... 6 Data Rata-Rata Konsentrasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Yang Tersisa di

Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Batang Pisang Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan... 7 Kualitas Air Pada Saat Awal Sebelum Diberikan Perlakuan Kompos... 8 Kualitas Air Pada Saat Akhir Setelah Diberikan Perlakuan Kompos... 9 Kondisi Ikan Selama Proses Pemeliharaan 30 hari... 10 Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Ikan...

16

29

29

31

33

35 38 38 39 41


(15)

1 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian... 2 Skema Proses Pengomposan Secara Aerobik... 3 Struktur Kimia Asam humat... 4 Struktur Kimia Asam Fulvat... 5 Komponen Kimia Substansi Humus... 6 Ikatan Monodentate Ion Logam Cu dengan Gugus Fungsi Organik... 7 Ikatan Bidentate Ion Logam Cu dengan Gugus Fungsi Organik... 8 Penampakan Bahan Baku Setelah Dikomposkan... 9 Grafik Jumlah Pb Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos

Daun Gamal Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan... 10 Grafik Jumlah Pb Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos

Daun Avicennia Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan... 11 Grafik Jumlah Pb Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos

Batang Pisang Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan...

xv 6 10 14 14 15 19 19 30 32

34


(16)

1 Prosedur Pembuatan Kompos...58 2 Prosedur Uji Kandungan C dan N pada Kompos...59 3 Prosedur Uji Kandungan Logam Berat Pb dengan Menggunakan AAS

Thermostat Type Ice 3000 series (berdasarkan panduan manual

AAS thermostat type Ice 3000 series)...60 4 Analisis Kandungan Pb pada Daging Ikan Lele Dumbo(Berdasarkan SNI

2354:5:2011)...62 5 Analisis SPSS Rancangan Percobaan Dengan Pengamatan Berulang

(RAL dalam waktu) pada Kompos Daun Gamal...63 6 Analisis SPSS Rancangan Percobaan Dengan Pengamatan Berulang

(RAL dalam waktu) pada Kompos Daun Avicennia...66 7 Analisis SPSS Rancangan Percobaan Dengan Pengamatan Berulang

(RAL dalam waktu) pada Kompos Batang Pisang...69 8 Analisis SPSS Uji T Dua Sampel Independen Antara Kompos

Daun Gamal 9 gr/l Dengan Kompos Daun Avicennia 5 gr/l...72 9 Analisis SPSS Uji T Dua Sampel Independen Antara Kompos

Daun Gamal 9 gr/l Dengan Kompos Batang Pisang 9 gr/l...74 10 Analisis SPSS Uji T Dua Sampel Independen Antara Kompos

Daun Avicennia 5 gr/l Dengan Kompos Batang Pisang 9 gr/l...76 11 Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemeliharaan...78 12 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb Tersisa dengan pH Menggunakan

Software SPSS 18...79 13 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb Tersisa dengan DO menggunakan

Software SPSS 18...81 14 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb tersisa dengan TOM Menggunakan

Software SPSS 18...83 15 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb tersisa dengan Ammonia

Menggunakan software SPSS 18...86


(17)

17 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb tersisa dengan Asam Fulvat

Menggunakan Software SPSS 18...89 18 Analisis Korelasi Pearson Antara pH dengan Rata-rata

Kelangsungan Hidup Menggunakan Software SPSS 18...91 19 Analisis Korelasi Pearson Antara pH dengan Rata-Rata

Pertumbuhan Harian Menggunakan Software SPSS 18...92 20 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb Tersisa di Air dengan Rata-Rata

Kelangsungan Hidup Menggunakan Software SPSS 18...94 21 Analisis Korelasi Pearson Antara Pb Tersisa di Air dengan Rata-Rata

Laju Pertumbuhan Menggunakan Software SPSS 18...96


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan akuakultur dewasa ini semakin berkembang dan marak dilakukan oleh para pembudidaya ikan di Indonesia. Pencanangan peningkatan produksi perikanan budidaya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan salahsatu penyebabnya. Muhammad (2011) menyatakan bahwa target peningkatan produksi budidaya ikan yaitu sebesar 353 % sampai tahun 2015. Konsekuensi yang muncul akibat maraknya kegiatan budidaya ini diantaranya yaitu meningkatnya kebutuhan akan air sebagai media budidaya ikan. Beberapa sumberdaya air yang banyak dimanfaatkan diantaranya yaitu : waduk, sungai dan danau.

Pemanfaatan air sebagai media budidaya ikan secara prinsip harus memenuhi persyaratan kualitas fisika, biologi dan kimia air bagi kehidupan organisme budidaya. Logam berat merupakan salahsatu parameter kimia yang penting diperhatikan untuk menilai kelayakan air. Air yang tercemar logam berat sangat berbahaya bagi ikan budidaya dan memiliki potensi berbahaya bagi manusia. Logam berat yang terdapat pada media pemeliharaan ikan dapat menyebabkan gangguan dan kematian pada ikan. Pada konsentrasi logam yang masih dapat ditoleransi, logam berat akan terakumulasi dalam tubuh ikan (bioakumulasi) dan memiliki potensi berbahaya bila dikonsumsi oleh manusia. Pemanfaatan sumber air dan ikan yang tercemar logam berat tidak dibenarkan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya standar biosecurity dan biosafety akuakultur yang merupakan prasyarat mutlak bagi produk akuakultur.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah pertambangan timah yang banyak terdapat lubang besar akibat dari kegiatan penambangan tersebut. Lubang besar kemudian digenangi oleh air dan menjadi danau. Danau bekas galian tambang timah oleh masyarakat disebut dengan istilah ”kolong”. Kolong didefinisikan sebagai kolong tua dan muda. Kolong tua merupakan kolong yang usianya diatas 20 tahun dan banyak dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan budidaya (akuakultur) karena kisaran pH airnya yang relatif lebih tinggi (pH>5). Selain itu kandungan bahan pencemar logam berat di kolom air juga rendah walaupun disedimen dasar perairannya sangat tinggi. Kolong muda


(19)

merupakan kolong yang usianya dibawah 20 tahun dan sangat jarang yang memanfaatkan untuk budidaya ikan karena nilai pH air yang sangat rendah berkisar 2 – 4,5 dan kandungan logam berat di kolom airnya tinggi (Henny dan Susanti 2009). Padahal kolong muda berpotensi dimanfaatkan untuk kegiatan pembenihan dan pendederan ikan di hatchery.

Penelitian yang dilakukan oleh Henny dan Susanti (2009) menemukan bahwa salahsatu logam berat utama berbahaya yang terdapat pada kolong bekas galian tambang timah adalah timah hitam (Pb). Pb merupakan mineral non esensial yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh mahluk hidup termasuk ikan. Logam Pb yang bersifat toksik biasanya dalam bentuk Pb2+. Pb dapat mematikan ikan dan terakumulasi dalam tubuh ikan melalui proses osmoregulasi, penyerapan melalui permukaan kulit dan biomagnifikasi. Ikan yang terakumulasi logam berat Pb apabila dikonsumsi manusia maka akan menghambat proses enzimatik (Widowati et al. 2008), merusak sistem saraf pusat, ginjal, liver, dan sistem reproduksi (Fu dan Wang 2011). Oleh karena itu, air yang akan digunakan dalam perikanan budidaya dan mengandung logam berat Pb harus diberikan perlakuan (treatment) untuk meminimalisasi logam beratnya.

Minimalisasi logam berat dapat dilakukan dengan cara : filtrasi membran, elektrodialisis, chemical precipitation, pertukaran ion, dan adsorpsi (Osman et.al 2010; Hanafiah et al. 2007; Anwar et al. 2010; Olayinka et al. 2009; Kucasoy dan Guvener 2009), coagulation, fluctuation, flotation, perlakuan elektrokimia, chelating ion (Fu dan Wang 2011). Kompos merupakan salahsatu bahan yang dapat digunakan untuk meminimalisasi logam berat dengan cara pertukaran ion, adsorpsi dan chelate. Kompos dapat dipertimbangkan karena efektifitas yang cukup tinggi, murah biaya, ketersediaan bahan yang berlimpah, kemudahan teknologi dan penerapan, serta tidak membahayakan organisme budidaya.

Kompos merupakan bahan organik matang yang telah mengalami proses perombakan oleh bakteri dan mikroorganisme sehingga mengandung humus. Kucasoy dan Guvener (2009) menemukan bahwa kompos dapat digunakan untuk meminimalisasi logam berat konsentrasi tinggi. Pola penghilangan logam berat oleh humus yaitu dengan mengadsorpsi ion logam dan juga membentuk senyawa kompleks serta chelate sehingga logam tersebut sulit untuk bebas (Anonim 1991).


(20)

Hermana dan Nurhayati (2010) menyatakan bahwa kompos yang mengandung substansi humus (asam fulvat, asam humat dan humin) mampu mengadsorpsi kompleks logam berat melalui pertukaran kation, pembentukan chelate dan ikatan elektrostatik. Selain itu, kompos dengan kandungan mineral didalamnya dapat bertukar posisi dengan ion logam bila terjadi kontak. Valls dan Hatton (2003) menyatakan bahwa substansi humus berupa derivat lignin yang berasal dari kompos juga dapat dipertimbangkan untuk menggantikan chelating agent komersial dalam meminimalisasi ion logam berat dari perairan.

Penggunaan kompos untuk meminimalisasi logam berat bagi kegiatan akuakultur masih jarang dilakukan. Kompos dengan keberlimpahan bahan bakunya berupa berbagai jenis tanaman dan bahan organik bisa menjadi solusi untuk meminimalisasi logam berat di air. Semua tanaman dan bahan organik pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos. Namun yang harus dijadikan pertimbangan utama dalam memanfaatkan tanaman tersebut adalah ketersediaan dan keberlimpahan bahan tersebut pada suatu daerah dan kandungan C/N rasionya. daun gamal (Gliricidia sepium), daun api-api (Avicennia sp.) dan batang pisang (Musa sp.) merupakan jenis bahan yang ketersediaannya berlimpah di daerah Bangka Belitung dengan karakteristik yang berbeda. Pengomposan dengan bahan-bahan tersebut diharapkan mampu menjadi solusi dalam kegiatan budidaya (akuakultur) yang sumber airnya tercemar logam berat.

Penggunaan kompos untuk meminimalisasi logam berat timah hitam perlu diuji efektivitasnya. Selain itu, perlu juga dilihat sejauh mana air yang telah diberikan perlakuan kompos mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada ikan-ikan budidaya. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salahsatu jenis ikan air tawar yang dapat diuji pada media air hasil perlakuan kompos. Ikan lele dumbo digunakan karena ikan ini merupakan ikan air tawar yang sangat populer dibudidayakan dikalangan masyarakat terutama masyarakat Bangka Belitung.


(21)

Perumusan Masalah

Masalah utama pada kegiatan pembenihan ikan dengan memanfaatkan sumber air yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi adalah terjadinya kematian ikan dan terakumulasinya logam berat kedalam tubuh ikan. Logam berat utama yang mencemari perairan sebagai akibat kegiatan pertambangan timah salahsatunya yaitu timah hitam (Pb). Perairan yang mengandung logam berat Pb akan menyebabkan resiko dan ketidaklayakan dalam kegiatan budidaya ikan. Ketidaklayakan tersebut berupa media air yang tidak layak digunakan sebagai media budidaya ikan. Selain itu pada skala pembenihan, benih ikan yang dihasilkan dari media air tercemar logam berat Pb tidak memenuhi standar kelayakan untuk dibudidayakan. Dampak bagi kegiatan akuakultur adalah menurunnya proses produksi. Kompos merupakan salahsatu solusi yang dipilih untuk mengatasi masalah logam berat timah hitam (Pb).

Pendekatan Masalah

Kompos dapat digunakan sebagai bahan perlakuan (treatment) untuk menghilangkan logam berat di air dengan humus sebagai peran utamanya. Substansi humus memiliki kemampuan untuk melakukan proses adsorpsi, kapasitas tukar kation dan membentuk senyawa kompleks/chelate dengan logam berat. Kemampuan chelate ini akan mengikat kuat logam berat sehingga tidak mudah lepas ke kolom air. Selain peran humus, kandungan mineral didalam kompos juga dapat bertukar posisi dengan kation logam berat. Beberapa komponen yang perlu dilihat dalam proses adsorpsi logam berat oleh kompos antara lain : jenis kompos dan dosis kompos. Jenis kompos perlu diteliti kemampuannya dalam mengadsorpsi logam berat karena masing-masing jenis kompos memiliki komposisi kimiawi yang berbeda sehingga ketika dikomposkan kandungan humus dan komposisi asam-asam humus akan saling berbeda. Humus inilah yang merupakan substansi utama dalam mengadsorpsi logam berat. Selain itu pengujian dosis kompos perlu dilakukan karena adsorpsi dan ikatan yang terbentuk antara kompos dan logam berat sangat tergantung dari dosis kompos yang digunakan. Dosis yang optimal perlu didapatkan agar efektivitas adsorpsi dan ikatan dengan logam berat diketahui. Dosis optimal didapatkan dengan cara


(22)

memberikan perlakuan dosis yang berbeda pada setiap jenis kompos yang digunakan. Selanjutnya selama berlangsungnya minimalisasi logam Pb di air oleh kompos dilakukan proses aerasi. Aerasi dilakukan untuk mempercepat waktu kontak antara Pb dengan kompos. Pada selang waktu tertentu selama proses minimalisasi berlangsung dilakukan pengamatan jumlah logam berat tersisa di air. Waktu pengamatan bertujuan untuk melihat tingkat pengurangan logam Pb oleh adsorpsi kompos. Setelah proses perlakuan minimaliasi Pb selesai dilakukan, air hasil perlakuan digunakan untuk memelihara jenis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Pertimbangan digunakan ikan lele dumbo karena ikan ini cukup populer dibudidayakan. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis kompos dan dosis kompos yang berbeda kemudian dilakukan aerasi yang selanjutnya pada selang waktu tertentu diamati jumlah Pb tersisa di air (skema alur pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 1).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas jenis dan dosis kompos dalam meminimalisasi logam berat timah hitam (Pb) pada media budidaya ikan.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu jika media air budidaya yang mengandung logam berat Pb diminimalisasi menggunakan kompos dengan jenis dan dosis yang berbeda maka akan didapatkan jenis dan dosis kompos terbaik sehingga air layak digunakan untuk budidaya ikan.

Manfaat Penelitian

Menjadi solusi yang efektif pada kegiatan pembenihan ikan yang memanfaatkan media air tercemar logam berat dengan pH rendah sehingga dapat menjamin keamanan produk akuakultur (memenuhi standar HACCP).


(23)

Gambar 1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian

Daun Gamal Daun Avicennia Batang Pisang

Kompos Kompos

Kompos

Minimalisasi media air mengandung Pb dengan menggunakan kompos yang berlangsung dalam kondisi media air diaerasi

Tahap 3 Perlakuan

Tahap 4 Pemeliharaan Ikan

Penggunaan air hasil perlakuan untuk pemeliharaan ikan lele dumbo

Tahap 2 Pembuatan Media Air Mengandung Pb

Larutan Pb standar

6

Mix dengan air Tahap 1 Pembuatan Kompos


(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Indonesia. Ikan ini banyak dibudidayakan oleh para pembudidaya ikan baik dalam skala pembenihan maupun pembesaran. Tingginya permintaan konsumen dan kisaran toleransinya yang tinggi terhadap kualitas air yang ekstrim merupakan alasan lele dumbo terus dibudidayakan. Selain itu rasa dagingnya yang khas menyebabkan ikan lele terus disukai masyarakat untuk dikonsumsi sehingga budidaya ikan lele terus berlangsung (Shafrudin et al. 2006). Ikan Lele dumbo termasuk dalam famili clariidae dan nama inggrisnya disebut dengan Catfish. Ikan lele dumbo merupakan ikan carnivora yang memiliki bentuk badan memanjang, bagian kepala gepeng atau pipih, batok kepala umumnya keras dan meruncing ke belakang. Lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir dan tidak bersisik. Tanda spesifik lele dumbo lainnya adalah adanya kumis atau sungut di sekitar mulut sebanyak delapan buah atau empat pasang, terdiri dari sungut nasal dua buah, sungut mandibular luar dua buah, dan sungut maxilar dua buah. Lele dumbo juga mempunyai lima buah sirip yang terdiri dari sirip pasangan (ganda) yaitu sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral) serta sirip tunggal yaitu sirip punggung (dorsal), sirip ekor (caudal) dan sirip dubur (anal).

Logam Berat Timah Hitam (Pb)

Logam berat merupakan elemen yang memiliki berat atom antara 63,5 sampai 200,6 serta berat jenis yang lebih besar dari 5 (Srivastava dan Majumder 2008). Logam berat merupakan senyawa yang tidak dapat terdegradasi dan cenderung terakumulasi dalam mahluk hidup serta memiliki sifat toksik dan karsinogenik (Fu dan Wang 2011). Menurut Khan et al. (2011), keberadaan logam berat pada lingkungan berasal dari beberapa sumber yaitu unsur-unsur alami dari kerak bumi dan aktivitas manusia.

Logam memiliki karakter bereaksi sebagai akseptor pasangan elektron (asam lewis) dan donor pasangan elektron (basa lewis) untuk membentuk beragam gugus kimia seperti suatu pasangan ion, kompleks logam, senyawa


(25)

koordinasi dan kompleks donor-akseptor (Connel dan Miller 2006). Berdasarkan karakteristik inilah logam berat dapat diikat oleh bahan lain yang bisa menjadi pasangan atau senyawa koordinasi yang sering disebut dengan ligan.

Logam berat timah hitam atau timbal (Pb) merupakan salahsatu logam berat yang berbahaya bagi mahluk hidup. Logam berat ini merupakan elemen non esensial yang ditemukan pada konsentrasi yang tinggi di alam akibat kegiatan manusia, seperti : kegiatan pertambangan (Leston et al. 2010). Sifat berbahaya Pb pada mahluk hidup antara lain dapat menimbulkan penghambatan sintesis hemoglobin, disfungsi pada ginjal, sendi dan sistem reproduksi, sistem kardiovaskular, dan kerusakan akut dan kronis dari sistem saraf pusat (SSP) serta sistem saraf perifer (PNS). Efek lainnya termasuk kerusakan pada saluran pencernaan (GIT) dan saluran kemih, gangguan neurologis, serta kerusakan otak parah dan permanen (Khan et al. 2011).

Timah hitam (Pb) merupakan toksik yang paling signifikan dari logam berat (Ferner 2001 dalam Khan et al. 2011). Logam Pb yang bersifat toksik biasanya dalam bentuk Pb2+. Logam berat Pb juga menyebabkan berbagai permasalahan termasuk dalam kegiatan perikanan budidaya. Pada berbagai organisme akuatik air tawar, timbal telah terbukti memiliki efek toksik dengan sensitivitas terendah 4 µg/l. Ion Pb masuk kedalam tubuh ikan melalui insang setelah terikat pada lapisan lendir (Ahmed dan Bibi 2010). Tetapi akumulasi dalam jaringan hewan air tergantung pada konsentrasi paparan dan periode serta beberapa faktor lain seperti salinitas, suhu, interaksi agen dan aktivitas metabolik pada jaringan. Selain itu, akumulasi logam berat Pb dalam jaringan ikan tergantung pada tingkat penyerapan, penyimpanan dan depurasi. Menurut Chen dan Chen (2001), Serapan dan bioakumulasi logam berat tersimpan dengan baik di kulit, insang, lambung, otot, usus, hati, otak, ginjal dan organ reproduksi, tetapi organ target utamanya adalah hati, ginjal dan otot tergantung pada konsentrasi dan waktu pemaparan. Menurut Seymore (1995) dalam Ahmed dan Bibi (2010), Pb dimetabolisme melalui jalur metabolik Ca2+. Oleh karena itu Pb terakumulasi dalam jaringan kerangka. Namun, Pb juga dikenal terakumulasi secara biologis dalam jaringan ikan lainnya, termasuk kulit dan sisik, insang, mata, hati, ginjal


(26)

dan otot . Disamping itu ion Pb juga dapat masuk kedalam tubuh ikan bersama dengan makanan dan air yang akhirnya diserap di usus dan jaringan lainnya.

Toksisitas kronis Pb umumnya sama antara ikan dan mamalia terutama yang melibatkan disfungsi neurologis dan hematologi (Mager dan Grossel 2011). Pada ikan, efek sublethal Pb dapat menyebabkan efek orde tinggi, seperti berkurangnya kemampuan renang. Secara neurologis efek sublethal Pb berpotensi melibatkan gangguan respon koordinasi sensorik-motorik yang diperlukan untuk menangkap mangsa dan menghindari predator. Penelitian Olaifa et al. (2003) menemukan bahwa efek sublethal Pb pada ikan yaitu kehilangan keseimbangan, pemutihan kulit dan pelemahan ikan.

Kompos

Kompos merupakan bahan organik matang (stabil) yang terbentuk dari proses dekomposisi secara biokimiawi melalui peran mikroorganisme (Cooperband 2000). Menurut Insam dan Bertoldi (2007), pengomposan merupakan proses biodegradasi dari campuran substrat yang dilakukan oleh komunitas mikroba terdiri dari berbagai populasi dalam kondisi aerobik dan padat (solid). Proses pengomposan membutuhkan mikroorganisme untuk mengurai (break down) bahan organik. Pengomposan akan berjalan dengan baik jika mikroorganisme mendapatkan suplai yang kontinyu berupa bahan organik (makanan), air dan oksigen. Menurut Rudnik (2008), proses degradasi bahan organik menjadi kompos melalui tiga fase yaitu : fase mesofilik, termofilik, pendinginan (cooling) dan pematangan (maturity). Fase mesofilik adalah fase dimana kondisi suhu yang terjadi berada pada kisaran antara 20 – 45 oC. Pada fase termofilik suhu yang berlangsung yaitu 45 – 75oC. Bakteri yang hidup pada fase ini adalah bakteri termofilik. Setelah fase termofilik ini, bahan organik akan mengalami penurunan suhu dan kematangan.

Kompos dapat dibuat dari semua bahan organik termasuk dari jenis tanaman. Selama pengomposan bahan organik akan terurai dan memproduksi karbondioksida, air, panas dan kompos. Hal ini tunjukan pada reaksi berikut ini (Rudnik 2008) :


(27)

Kompos diproses oleh mikroorganisme. Oleh karena itu, perlu disediakan kondisi lingkungan yang sesuai bagi mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan baku organik karena hal tersebut merupakan faktor krusial bagi keberhasilan pengomposan. Skema untuk menggambarkan proses pengomposan tersaji pada gambar berikut.

Gambar 2 Skema Proses Pengomposan Secara Aerobik (Copperband 2000)

Hasil akhir kompos berupa karbon, energi kimia, protein dan air lebih sedikit daripada bahan baku organik (raw materials). Produk akhirnya memiliki lebih banyak kandungan humus (humic). Chien et al. (2003) menyatakan humus mendominasi produk akhir dari kompos. Volume produk akhir kompos sekitar 50% dari bahan baku organiknya (raw materials).

Proses pengomposan selain dilakukan secara aerobik dapat pula dilakukan secara anaeorobik dengan melibatkan mikroorganisme anaerob sebagai pendegradasi bahan organik. Pada proses anaerob, keberadaan oksigen tidak ada. Persamaan biokimia yang terbentuk adalah sebagai berikut (Stoffella dan Kahn 2001) :

Bahan organik+bakteri anaerobik  CO2 +H2O + kompos +energy +H2S +CH4 Perbedaan mendasar hasil sistem pengomposan anaerob dengan aerob adalah munculnya sulfur (H2S) dan metana (CH4) pada pengomposan anaerob sedangkan pada pengomposan aeraob tidak terdapat kedua gas tersebut.

Kompos yang sudah matang merupakan tujuan akhir dari proses pengomposan. Menurut Copperband (2002), Kompos sudah dianggap matang


(28)

ketika bahan baku mentah tidak lagi aktif membusuk serta secara biologis dan kimiawi stabil. Kematangan kompos biasanya didefinisikan sebagai tingkat humification (konversi senyawa organik untuk bahan humic, yang paling tahan terhadap kerusakan mikroba). Selama proses pengomposan karena kombinasi transformasi biologis dan kimia, jumlah senyawa organik terfermentasi semakin menurun sedangkan kandungan relatif dari humic meningkat (Scaglia et al. 2000 dalam Diaz et al. 2007).

Proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Aminah et al. (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan yaitu C/N rasio dalam bahan baku organik (raw organic material), ukuran bahan yang dikompos, aerasi, kelembaban, dan suhu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berkaitan dengan daya dukung bagi kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik. Semakin sesuai faktor yang mempengaruhi maka semakin cepat proses dalam pengomposan sehingga mencapai tahap kematangan kompos (maturity).

Kualitas kompos salahsatunya terlihat dari stabilitas dan kematangan kompos. Menurut Rudnik (2008), Stabilitas dan kematangan adalah istilah yang sering digunakan untuk mengkarakterisasi kompos. Namun definisi tentang arti istilah-istilah ini sangat bervariasi. Stabilitas kompos mengacu pada resistensi bahan organik kompos untuk lebih lanjut didegradasi cepat dan dapat langsung diukur dengan tingkat respirometric. Kematangan kompos terkait dengan kesesuaian untuk pertumbuhan tanaman dan kaitannya dengan proses humifikasi.

Ada beberapa parameter yang digunakan dalam menilai kematangan kompos. Menurut SNI 19-7030-2004, ciri kematangan suatu kompos yaitu : C/N rasio memiliki nilai 10–20, suhu sesuai dengan suhu air tanah, berwarna kehitaman dengan tekstur seperti tanah dan berbau tanah. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa berdasarkan analisis laboratorium, ciri kompos yang sudah matang yaitu pH kompos stabil dan berkisar 6,5 – 7,5, C/N rasio sebesar 10 – 20, Kapasitas tukar ion (KTK) tinggi mencapai 110 me/100 gram dan daya absorpsi air tinggi.


(29)

Lignin terbentuk oleh polimerisasi dari phenylpropane derivatif alkohol cumaryl, alkohol coniferyl, dan alkohol sinapyl, menghasilkan struktur yang sangat padat

Karakteristik Bahan Baku Pengomposan

Beberapa bahan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku (raw material) untuk pengomposan yaitu Daun Gamal (Gliricidia sepium), Daun api-api (Avicennia sp.) dan batang pisang (Musa sp.). Bahan-bahan ini merupakan bahan yang berasal dari tumbuhan hijau yang keberadaannya cukup berlimpah. Proses pengomposan pada bahan-bahan ini relatif singkat karena kandungan C/N rasionya yang rendah.

Daun gamal dan daun api-api sebagaimana daun tanaman tingkat tinggi lainnya memiliki dinding sel yang dibuat dari karbohidrat dan protein. Kandungan karbohidrat pada daun lebih banyak daripada protein. Tiap-tiap tumbuhan memiliki perbandingan komposisi jumlah karbohidrat dan protein yang berbeda-beda. Karbohidrat dan protein inilah yang menentukan tinggi rendahnya C/N rasio daun. Unsur utama karbohidrat dalam tumbuhan menurut Heldt dan Piechulla (2011) adalah selulosa. Unsur penting lainnya yaitu hemiselulosa dan pektin. Protein yang terdapat pada dinding sel daun biasanya dalam bentuk glicoprotein.

Batang pisang (Musa sp.) merupakan salahsatu hasil perkebunan yang tidak dimanfaatkan. Komponen utama yang terdapat dalam batang pisang ialah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Li et al. (2010), kandungan utama yang terdapat pada batang pisang yaitu selulosa 39,12%, holoselulosa (campuran semua selulosa dan hemiselulosa) 72,71%, pektin 0,27%, lignin (klason lignin 8,8 % dan acid soluble lignin 1,90 %).

Selulosa merupakan polimer tidak bercabang yang terdiri dari molekul D-glukosa yang terhubung satu sama lain dengan β -1,4 glycosidic linkages. Selulosa berbeda dengan hemiselulosa yang mengandung berbagai jenis polisakarida selain glukosa, seperti: heksosa manosa, galaktosa, fukosa, dan pentosa D-xylosa and L-arabinosa. Sedangkan pektin adalah campuran polimer dari asam gula seperti asam D-galakturonik yang dihubungkan oleh jaringan α -1,4 glikosidik. Disamping itu pada daun terdapat protein berupa Glikoprotein yang merupakan protein struktural dari dinding sel dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Struktur kimia lainnya yang sangat sedikit terdapat di daun dan banyak terdapat pada batang adalah lignin. Lignin merupakan komponen penyusun tumbuhan yang banyak terdapat pada batang pohon atau tangkai pohon termasuk tandan.


(30)

Humus

Humus merupakan fraksi bahan organik yang resisten dan relatif tahan terhadap proses biodegradasi dan memiliki warna coklat gelap sampai hitam (Tate 1987). Humus muncul dari degradasi kimia dan biologi bahan organik dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Salahsatu sumber utama dari bahan organik tanah adalah tumbuhan sehingga proses pengomposan yang berasal dari tumbuhan dapat menghasilkan humus. Komponen humus dibentuk oleh sebuah proses yang disebut humifikasi. Humus terdiri atas substansi non humus dan substansi humus (Tipping 2004). Substansi non humus seperti lipid, asam amino, karbohidrat dan Substansi humus diantaranya yaitu asam humat, asam fulvat dan humin.

Substansi humus muncul dari degradasi biokimia yang membentuk bahan yang cenderung terasosiasi kedalam kedalam struktur kimia yang kompleks dan lebih stabil dibandingkan dengan bahan baku (raw material) (Schnitzer dan Khan 1978). Karakteristik pentingnya yaitu kemampuan untuk membentuk kompleks yang larut dalam air dan tidak larut dengan ion logam. Substansi humus mempunyai kontribusi dalam pertukaran anion dan kation, kompleks atau chelate beberapa ion logam, dan berperan sebagai pH buffer.

Aiken et al. (1985) menyatakan bahwa fraksi utama dari substansi humus yaitu asam humat, asam fulvat dan humin memiliki kelarutan yang berbeda. Fraksi substansi ini dibedakan berdasarkan kelarutannya dalam suasana asam (acid) atau basa (base). Menurut Schnitzer dan Khan (1978), Struktur tiga fraksi substansi humus terlihat mirip tetapi berbeda dalam berat molekul, analisis pokok, dan kandungan gugus fungsi. Asam humat terdiri dari campuran aliphatic lemah (rantai karbon) dan aromatic (cincin karbon) yang tidak larut di air pada kondisi pH asam tetapi larut pada kondisi pH basa. Substansi ini akan mengendap pada cairan ketika pH dibawah dua. Asam humat merupakan bahan makromolekul yang memiliki gugus fungsional seperti –COOH karboksilat, -OH fenolat maupun –OH alkoholat. Hal ini menyebabkan asam humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonisasi pada pH yang relatif tinggi.


(31)

Gambar 3 Struktur Kimia Asam humat (Stevenson 1994)

Asam fulvat merupakan campuran dari aliphatic lemah dan bahan organik aromatik yang larut pada semua kondisi pH (asam, netral dan alkali). Substansi humus inimemiliki kandungan oksigen dua kali lipat dari asam humat tetapi rendah karbon dan nitrogen. Asam fulvat memiliki muatan yang banyak mengandung gugus fungsi oksigen yaitu karboksil COOH) dan hidroksil (-COH) sehingga jauh lebih reaktif secara kimia. Kapasitas pertukaran asam fulvat lebih dari dua kali lipat dari asam humat. Kapasitas tukar tinggi karena jumlah karboksil (-COOH) lebih tinggi.

Gambar 4 Struktur Kimia Asam Fulvat (Schinitzer dan Khan 1978)


(32)

Humin fraksi dari susbtansi humus yang tidak larut pada air di beberapa pH. Humin merupakan substansi yang paling tahan terhadap dekomposisi (lambat dirombak) dibandingkan substansi humus yang lainnya. Humin juga memiliki warna yang paling gelap. Humin mirip dengan asam humat. Substansi ini memiliki lebih sedikit aromatic daripada asam humat tetapi mengandung muatan polysakarida yang lebih tinggi.

Menurut Stevenson (1982), asam humat, asam fulvat dan humin dapat dibedakan berdasarkan perbedaan berat molekul, pigmentasi polimer dan keberadaan grup fungsional seperti : karboksil dan fenolik dengan tingkat polimerasi (gambar 5).

Gambar 5 Komponen Kimia Substansi Humus (Stevenson 1982)

Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa berat molekul asam fulvat lebih rendah dibandingkan dengan asam humat dan humin. Perubahan intensitas warna menjadi lebih gelap dengan semakin tingginya berat molekul. Kandungan karbon dan oksigen, asiditas dan derajat polimerisasi semuanya berubah secara sistematik dengan peningkatan berat molekul. Asam fulvat memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi dan kandungan karbon yang rendah jika dibandingkan dengan asam humat.

Kandungan utama substansi humus adalah gugus fungsional carboxyl dan phenolic (Sparks 2003; Liu dan Gonzalez, 2000). Kandungan-kandungan lainnya yaitu enolic, quinone, hydroxyquinone, lactone, ketone, ether, alcoholic, amine dan amide (Chien et al. 2006; Plaza et al. 2006; Steinberg et al. 2008). Struktur


(33)

gugus fungsional dari substansi humus terlihat dalam Tabel 1 berikut ini (Stevenson 1994) :

Tabel 1 Grup Fungsional Pada Substansi Humus

Grup Fungsional Struktur

Carboxyl Enol

Phenolic OH Quinone

Hydroxyquinone

Alcoholic OH Ether Ketone Aldehyde Ester Amine Amide Acidic groups R–C=O (–OH) R–CH=CH–OH Ar–OH

Ar=O Ar=OH Neutral groups R–CH2–OH R–CH2–O–CH2–R R–C=O(–R) R–C=O(–H) R–C=O(–OR) Basic groups R–CH2–NH2 R–C=O(–NH–R)

Substansi humus yang merupakan fraksi bahan organik dapat terlarut didalam air bersamaan dengan bahan organik yang larut dalam air (Dissolved Organic Matter) (Guo dan Chorover 2003). Selain bagian dari Dissolved Organic Matter (DOM), substansi humus juga terdapat dalam Dissolved Organic Carbon (DOC) (Garces et al 2008). DOC merupakan fraksi dari bahan organik terlarut didalam air yang ikut berperan dalam proses pengikatan dan pembentukan senyawa kompleks dengan logam berat (Wright et al 2005). DOM dan DOC merupakan kesatuan bahan yang memiliki peran besar pengikatan logam berat di air. Peran DOM dan DOC dikarenakan pada fraksi bahan ini terkandung substansi humus (asam humat dan asam fulvat) yang mengandung gugus-gugus fungsi seperti : gugus karboksilat dan oksalat didalamnya.


(34)

Ikatan kompleks ion logam oleh substansi humus sangat penting dalam mempengaruhi penyimpanan dan mobilitas dari kontaminan pada air dan tanah. Jika dua atau lebih grup fungsional (misalkan karboksil) berkoordinat dengan ion logam, maka akan membentuk struktur cincin internal chelation yang merupakan bentuk kompleks (Sparks 2003). Sparks (2003) juga menjelaskan bahwa kapasitas total pengikatan dari asam humat terhadap ion logam sekitar 200-600 µmol/g. Sekitar 33% dari total ini meretensi bagian kompleks kation. Bagian kompleks yang paling utama adalah karboksil dan fenolik.

Interaksi Ion Logam Dengan Humus

Menurut Evangelou (1998) interaksi antara ion logam dengan bahan organik padatan (substansi humus) terjadi atas dasar penjerapan permukaan (adsorpsi), pertukaran ion, dan reaksi chelate. Proses adsorpsi antara ion logam dengan bahan organik humus diawali dengan adsorpsi fisik yaitu ion logam mendekat ke permukaan padatan organik humus melalui gaya van der Waals atau ikatan hidrogen. Selanjutnya terjadi proses adsorpsi kimia setelah adsorpsi fisik berupa ion logam melekat ke permukaan padatan dengan membentuk ikatan kimia kovalen dan cenderung mencari tempat yang memaksimumkan bilangan koordinasi dengan padatan (Atkins 1999).

Potensi substansi humus untuk membentuk kompleks dan chelate dengan logam berat dikarenakan substansi ini mengandung gugus fungsional seperti karboksil (COOH), hidroksil (OH), dan karbonil (C=O). Tingkat retensi logam berat dengan campuran koloid organik bervariasi tergantung dari kekuatan ion, pH, jenis mineral bahan organik, jenis kelompok fungsional, dan kompetisi kation (Schinitzer dan Khan 1978).

Pada umumnya proses yang terjadi antara ion logam dan kompleks organik dalam berinteraksi terdiri atas tiga kejadian yaitu : Proton H+ berkompetisi dengan kation untuk mengikat dinding organik, ion hidroksil (OH-) berkompetisi dengan substansi humus untuk mengikat kation ion logam, logam lemah berkompetisi dengan logam keras terhadap grup fungsional organik.

Menurut Tan (1998) gaya yang terbentuk dalam proses adsorpsi ion yaitu : gaya fisik (gaya van der waals), ikatan hidrogen (jembatan dua atom yang


(35)

elektronegatif), ikatan elektrostatik, dan ikatan koordinasi (ligan menyumbang pasangan elektron pada ion logam). Metode adsorpsi untuk logam berat umumnya berdasarkan pada interaksi ion logam dengan gugus fungsional yang ada pada senyawa organik melalui interaksi pembentukan kompleks.

Ion logam dengan bahan organik humus ketika berinteraksi akan membentuk persenyawaaan kompleks dan chelate. Senyawa kompleks merupakan suatu senyawa kation yang memiliki orbital kosong (atom pusat) dengan anion yang memiliki pasangan elektron bebas (ligan) saling berikatan dengan memakai bersama pasangan elektron bebas dari ligan tersebut. Senyawa kompleks akan terikat secara chelate bila senyawa koordinasi yang ion logam pusatnya terikat oleh ligan dengan dua atau lebih ikatan (Hadiat et al. 2004). Tan (1998) mendefenisikan chelate sebagai bentuk formasi komplek (complex formation) yang muncul akibat reaksi dari ion logam dan ligan sebagai pasangan elektron. Ion logam adalah pasangan elektron penerima (acceptor) dan ligan adalah pasangan elektron donor. Ion logam berfungsi sebagai ion pusat dan ion organik berkoordinasi disekitarnya dalam lingkup koordinasi pertama. Jumlah ligan terikat pada atom pusat dalam geometri tertentu disebut bilangan koordinasi.

Beberapa ligan organik dapat mengikat ion logam dengan lebih dari satu kelompok donor fungsional. Ion logam yang terikat lebih dari satu kelompok donor fungsional dari gugus fungsi ligan organik mengalami proses pembentukan cincin chelate disebut dengan chelation. Pada proses ion logam yang hanya terikat dengan satu kelompok donor fungsional dari gugus fungsi pada ligan disebut persenyawaan kompleks. Satu molekul ligan yang terlibat dalam pembentukan suatu ikatan tersebut disebut monodentate (Gambar 6). Jika dua molekul ligan membentuk ikatan dengan logam disebut bidentate (Gambar 7). Berdasarkan jumlah ligan yang berpartisipasi dalam formasi chelate, maka senyawa kompleks dapat berbentuk tridentate, tetradentate, dan pentadentate. Formasi persenyawaan kompleks dengan lebih dari satu ligan (chelation) memberikan stabilitas yang tinggi pada persenyawaan.


(36)

Gambar 6 Ikatan Monodentate Ion Logam Cu dengan Gugus Fungsi Organik (Tan 1998)

Gambar 7 Ikatan Bidentate Ion Logam Cu dengan Gugus Fungsi Organik (Tan 1998)

Secara umum ion logam (kation) dapat berinteraksi dengan semua anion. Namun afinitas interaksinya tergantung dari sifat keras lemahnya dari logam dan bahan pengompleks (adsorban). Proses interaksi antara kation logam dengan kompleks peng-chelate pada media air tawar dapat dilihat berdasarkan konsentrasi ligan dan logam. Menurut Buffle (1994) dalam Sparks (2003), pengompleks atau ligan bahan organik dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama ligan inorganik sederhana seperti : Cl-, CO32-, SO42-, S-OH, F- dan PO43-. Kedua hard ligan (LH) yang gugus utamanya adalah karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH). Ketiga soft ligan (LS) yang mengandung bagian utama N (nitrogen) dan S (sulfur). Sparks (2003) menyatakan bahwa grup logam I memilih berikatan dengan Hard ligand (LH) tetapi membentuk kompleks yang lemah dengan ligan tersebut. Ikatan kompleks akan terjadi ketika konsentrasi logam dan ligan tinggi serta bahan pengompleks utamanya berupa ligan inorganik sederhana. Grup logam I (logam keras) menurut Pearson (1963) diantaranya yaitu: H+, Li+, Na+, Cr3+, Sn2+, Ca2+, Mg2+, Be2+.

Grup logam II (logam transisi) khususnya logam transisi divalen memiliki afinitas terhadap bagian hard ligand (LH) dan soft ligand (LS). Logam ini akan berkompetisi dengan grup logam I terhadap bagian hard ligan. Disamping itu juga logam ini akan berkompetisi dengan Grup logam III untuk berikatan dengan soft ligan. Grup logam II (logam transisi) menurut Peterson (1963) antara lain: Pb2+, Zn2+, Fe2+,Cu2+, Ni2+, Co2+.

Grup logam III merupakan grup logam lemah. Grup logam III memiliki afinitas yang lebih besar pada bagian soft ligan daripada hard ligan atau ligan


(37)

inorganik sederhana. Grup logam III (grup lemah) diantaranya adalah: Cu+, Ag+, Pd2+, Cd2+, Hg2+.

Tan (1998) menyatakan bahwa substansi humus memiliki kemampuan membentuk kompleks yang larut dan tidak larut dengan ion logam. Kompleks logam dari asam fulvat pada umumnya lebih larut daripada asam humat. Hal ini mungkin dikarenakan berat molekul asam humat yang lebih rendah dan kelarutan asam fulvat yang lebih tinggi dalam air. Jika dua atau lebih kelompok fungsional organik (misalnya, karboksilat) mengkoordinasikan ion logam maka akan membentuk struktur cincin internal, chelation, suatu bentuk kompleksasi (Sparks 2003). Komponen pengompleks utama dari substansi humus adalah gugus karboksil dan fenolik.

Konstanta stabilitas antara logam dengan kompleks substansi humus antara lain dipengaruhi oleh sumber substansi humus dan prosedur kerja ekstraksi atau isolasi, konsentrasi substansi humus, kekuatan ionik dari padatan, suhu, dan pH. Schnitzer dan Hansen (1970) dalam Sparks (2003) menghitung kondisi konstanta stabilitas (Kicond) pada logam–kompleks asam fulvat, berdasarkan variasi kontinyu dan metode pertukaran ion ekuilibrium. Urutan stabilitas logam yang terikat dengan asam fulvat adalah Fe3+> Al3+> Cu2+> Ni2+> Co2+> Pb2+> Ca2+> Zn2+> Mn2+> Mg2+. Konstanta stabilitas sedikit lebih tinggi pada pH 5,0 dari pada pH 3,5. Hal ini disebabkan pemisahan yang lebih tinggi pada gugus fungsional terutama gugus karboksil pada pH 5.0. Disamping itu H+ dan ion logam bersaing untuk mengikat dinding ligan dan logam kurang terikat pada pH rendah.

Akuakultur dan Kualitas Air

Akuakultur merupakan kegiatan memelihara/membudidayakan ikan dalam wadah yang terkontrol untuk mendapatkan keuntungan (profit). Berdasarkan definisi tersebut, dasar (basis) kegiatan akuakultur terdiri atas beberapa komponen, antara lain : ikan (organisme budidaya), air (media budidaya/habitat hidup) dan wadah (tempat budidaya untuk mengontrol kehidupan ikan) serta keuntungan (tujuan akhir dari akuakultur). Proses produksi kegiatan akuakultur yang bertujuan menghasilkan ikan untuk dikonsumsi atau dipasarkan, terdiri atas


(38)

kegiatan pembenihan, pendederan dan pembesaran. Keseluruhan kegiatan ini dapat dilakukan melalui teknologi atau sistem produksi baik secara ekstensif, intensif maupun semi intensif.

Pada setiap proses produksi dan sistem produksi yang digunakan, kualitas air merupakan salahsatu prasyarat utama untuk keberhasilan kegiatan akuakultur. Ikan membutuhkan lingkungan hidup yang nyaman agar dapat tumbuh secara optimal. Gangguan-gangguan lingkungan yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti limbah kegiatan manusia, akan menyebabkan ikan mengalami stress, mudah terserang penyakit hingga akhirnya mengalami kematian (Kordi dan Tancung 2007).

Penilaian kualitas air pada kegiatan akuakultur membutuhkan beberapa parameter. Parameter-parameter yang dijadikan untuk menilai kualitas air pada kegiatan akuakultur yaitu parameter fisika, biologi dan kimia. Menurut Wedemeyer (1996), parameter fisika yang digunakan untuk menilai kualitas air antara lain : suhu, kekeruhan (TSS), dan total bahan terlarut (TDS). Parameter biologinya yaitu bakteri, virus, jamur, parasit, predator, kompetitor dan plankton. Parameter kimia merupakan parameter yang cukup banyak dibandingkan dengan parameter lainnya. Parameter ini diantaranya yaitu : Oksigen terlarut, pH, Total Organic Matter (TOM), ammonia, nitrit, nitrat, BOD, COD, kesadahan, alkalinitas dan logam berat.

Kualitas air yang sesuai dengan persyaratan hidup ikan merupakan faktor yang menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan budidaya. Menurut Royce (1973), turunnya jumlah suatu populasi organisme disebabkan oleh kematian yang terjadi. Kelangsungan hidup merupakan persentase banyaknya organisme yang hidup dibandingkan dengan jumlah yang mati selama masa pemeliharaan. Kelangsungan hidup pada ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air yang mengandung unsur-unsur yang tidak dibutuhkan oleh ikan menyebabkan kelangsungan hidup ikan menjadi terganggu. Disamping kelangsungan hidup, pertumbuhan merupakan salahsatu hal yang dijadikan ukuran baiknya kualitas air pada proses budidaya. Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran volume dan berat suatu organisme yang dapat dilihat dari perubahan ukuran panjang dan berat dalam satuan waktu (Effendie 1997).


(39)

Menurut Huet (1971), terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti : umur, sifat genetik ikan, kemampuan memanfaatkan pakan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternalnya terkait dengan lingkungan tempat ikan hidup (air) yang meliputi sifat fisika dan kimia air.


(40)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Mei 2012 di Laboratorium Perikanan Universitas Bangka Belitung. Pembuatan kompos dilakukan di Bangka Hijau Nursery. Analisis kandungan logam berat timah hitam dilakukan di Laboratorium MIPA Universitas Bangka Belitung. Analisis Kandungan C/N rasio dan humus dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan IPB dan Laboratorium Perikanan Universitas Bangka Belitung.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : Akuarium, aerator, AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer merk Thermostat tipe Ice 3000 series), pH meter, DO meter dan peralatan titrasi. Bahan-bahan yang digunakan yaitu air tawar, larutan Pb standar, kompos, dan ikan.

Ikan Uji

Ikan uji yang digunakan adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) berumur 2 minggu (panjang : ± 2 cm, berat : ± 0,053 gram) yang diperoleh dari pembudidaya ikan di daerah Kabupaten Bangka Tengah. Padat penebaran ikan uji adalah 15 ekor pada setiap akuarium. Pakan yang diberikan untuk ikan adalah pakan ikan komersil berbentuk pelet terapung yang biasa digunakan oleh para pembudidaya ikan dan cacing sutera beku (frozen blood worm). Pemberian dilakukan sebanyak 3 kali sehari secara at satiation.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu : percobaan kompos daun gamal, kompos daun avicennia dan kompos batang pisang. Rancangan percobaan pada masing-masing percobaan yaitu rancangan percobaan dengan pengamatan berulang (repeated measurement). Rancangan ini mengacu pada Matjik dan


(41)

Sumertajaya (2002). Rancangan perlakuan pada percobaan ini yaitu satu faktor. Rancangan lingkungannya yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dalam waktu (completly randomized design in time). Faktor perlakuan yaitu : dosis kompos. Waktu pengamatannya yaitu selang waktu 1 jam, 8 jam, 16 jam dan 24 jam. Waktu pengamatan dilakukan untuk melihat tingkat pengurangan Pb selama selang waktu tersebut. Masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan. Formulasi rancangan percobaan yaitu :

1. Rancangan percobaan kompos daun gamal Perlakuan A : Dosis kompos 5 g/L Perlakuan B : Dosis kompos 9 g/L Perlakuan C : Dosis kompos 13 g/L

2. Rancangan percobaan kompos daun api-api (Avicennia sp.) Perlakuan A : Dosis kompos 5 g/L

Perlakuan B : Dosis kompos 9 g/L Perlakuan C : Dosis kompos 13 g/L 3. Rancangan percobaan kompos batang pisang

Perlakuan A : Dosis kompos 5 g/L Perlakuan B : Dosis kompos 9 g/L Perlakuan C : Dosis kompos 13 g/L

Konsentrasi awal logam berat Pb yang digunakan pada tiap perlakuan semua rancangan percobaan yaitu sebesar 6,65 mg/l. Rentang dosis kompos mengacu pada penelitian Hermana dan Nurhayati (2006) sedangkan konsentrasi awal logam berat Pb mengacu pada hasil penelitian Henny dan Susanti (2009) yang meneliti tentang kandungan logam berat di kolong. Waktu pengamatan ditetapkan berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan. Kecepatan udara yang dihasilkan oleh aerator untuk masing-masing akuarium berukuran 15x15x40 cm3 sebesar 1,67 liter/menit.

Pada setiap rancangan percobaan diambil satu perlakuan dosis kompos terbaik. Dosis terbaik tiap rancangan percobaan saling diperbandingkan satu dengan yang lain. Uji perbandingan ini dilakukan untuk melihat apakah terjadi perbedaan antar dosis kompos terbaik dari varian (jenis) yang berbeda. Uji perbandingan yang digunakan adalah uji t sampel independen. Selanjutnya untuk


(42)

melihat hubungan (korelasi) antara logam berat tersisa di air dengan parameter kualitas air dan kandungan Pb digunakan analisis korelasi pearson. Selain itu untuk melihat hubungan antara kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan terhadap pengaruh sisa Pb di air ataupun kualitas air juga dilakukan analisis korelasi Pearson. Semua analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS 18.

Prosedur Penelitian Tahap 1 Pembuatan Kompos

Pembuatan kompos dilakukan dengan mengumpulkan bahan baku yang diperlukan. Selanjutnya dengan menggunakan bantuan bioaktifator, bahan baku tersebut dibuat menjadi kompos. Penggunaan bioaktifator bertujuan untuk mempercepat proses pematangan kompos. Bioaktifator yang digunakan yaitu EM4 (effective microorganism 4). Proses pengomposan dilakukan secara aerobik. Setelah bahan baku menjadi kompos, maka kompos tersebut dikeringkan dengan cara dijemur dibawah cahaya matahari. Prosedur pengomposan terdapat pada Lampiran 1.

Tahap 2 Pembuatan Larutan Logam Berat Pb

Logam berat Pb dibuat secara artificial. Pembuatan secara artificial bertujuan agar didapatkan konsentrasi logam berat pada air sesuai dengan yang diharapkan. Pembuatan air yang mengandung logam berat dilakukan dengan menggunakan bahan larutan Pb standar 1000 ppm dalam bentuk cairan. Larutan Pb standar yang digunakan merupakan larutan Pb(NO3)2 dalam HNO3 0,5 mol/l. Larutan ini didapatkan dari toko kimia. Larutan Pb standar 1000 ppm dilarutkan kedalam air sehingga didapatkan konsentrasi Pb sebesar 6,65 mg/l.

Tahap 3 Perlakuan Minimalisasi Logam Berat Pb dengan Menggunakan Kompos

Media air sebanyak 4 liter yang mengandung logam berat Pb dimasukan kedalam akuarium. Selanjutnya kompos dimasukan juga ke dalam akuarium tersebut dan dilakukan proses aerasi. Aerasi merupakan salahsatu treatment umum pada kegiatan budidaya ikan yang biasanya dilakukan pada media penampungan air (tandon) sebelum air tersebut dialirkan ke wadah pemeliharaan ikan. Proses


(43)

aerasi dilakukan selama 24 jam. Kandungan Pb yang terserap oleh kompos diamati pada 1 jam, 8 jam, 16 jam dan 24 jam. Pertimbangan analisis kandungan logam berat Pb dilakukan dalam rentang waktu 24 jam karena pada jam tersebut logam berat diperkirakan sudah terserap oleh kompos. Hal ini berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan.

Tahap 4 Pemeliharaan Ikan

Pada akhir perlakuan (treatment) logam berat dengan menggunakan kompos, air hasil perlakuan digunakan sebagai media pemeliharaan benih ikan lele dumbo. Air sebelum digunakan terlebih dahulu disaring untuk mengambil kompos. Sebelum ikan lele dumbo digunakan sebagai hewan uji, benih ikan lele dumbo diseleksi terlebih dahulu agar didapatkan ukuran dan bobot yang relatif seragam. Wadah pemeliharaan ikan yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran 30 x 30 x 40 cm. Sistem pemeliharaan dilengkapi dengan aerasi. Penggantian air dilakukan dengan menyaring kotoran yang terdapat di air (sifon) dan air yang telah disaring tersebut digunakan kembali untuk pemeliharaan ikan. Prose penggantian air dilakukan setiap seminggu sekali. Ikan lele dumbo dipelihara selama 30 hari yang selanjutnya diamati tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan kandungan logam berat pada daging ikan dan kualitas air selama pemeliharaan.

Parameter Pengamatan

Kematangan dan Kandungan C/N rasio Kompos

Analisa kematangan kompos dilakukan secara fisik dan kimiawi. Secara fisik kematangan kompos ditandai dengan perubahan warna menjadi kehitaman dengan tekstur seperti tanah dan berbau tanah. Disamping itu suhu yang terbentuk adalah suhu yang sesuai dengan suhu air tanah dengan pH yang stabil berkisar 6,5 – 7,5. Kandungan C/N rasio yang terdapat pada kompos memiliki nilai kurang dari 20 yang berarti aktivitas bakteri heterotrof sebagai pengurai bahan organik (kompos) menjadi berkurang. Bila C/N rasionya kurang dari 20 berarti kompos yang telah dibuat sudah matang. Analisa kandungan C/N rasio dilakukan di laboratorium. Prosedur analisa terdapat pada Lampiran 2.


(44)

Kadar Asam Humat dan Asam Fulvat

Uji kadar asam humat dan asam fulvat bertujuan untuk mengetahui kadar atau jumlah asam humatdan asam fulvat pada masing-masing kompos. Perbedaan kondisi bahan baku (raw material) pada masing-masing kompos akan menyebabkan kandungan asam humat dan asam fulvat juga berbeda. Menurut Eviati dan Sulaiman (2006), prinsip dalam penentuan kadar asam humat, asam fulvat dan huminyaitu kompos diekstrak dengan campuran larutan basa kuat dan natrium pirofosfat. Asam humat dan asam fulvat larut dalam ekstrak sedangkan humin tidak larut. Larutan asam humat dipisahkan dari asam fulvat dengan pengendapan pada pH 2.

Kandungan Logam Berat Pb di Air dan Ikan

Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (Atomic Absorption Spectrophotometer). AAS merupakan prosedur spectroanalytical untuk penentuan kualitatif dan kuantitatif dari unsur-unsur kimia menggunakan penyerapan radiasi optik (cahaya) oleh atom bebas dalam bentuk gas. Prinsip analisanya berdasarkan Hukum Lambert-Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Nilai absorbansi larutan contoh dimasukan ke persamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui (Hutagalung et al. 1997). Tujuan penggunaan AAS untuk analisis logam berat yaitu menentukan kadar suatu unsur logam dari campurannya berdasarkan serapan atomnya. Cara kerjanya yaitu berdasarkan atas penguapan larutan sampel yang kemudian logam terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengapsorbsi radiasi dari sumber cahaya dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang mengandung unsur target. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya. Uji kandungan logam berat Pb terdapat pada Lampiran 3 dan 4.


(45)

Kualitas Fisika dan Kimia Air

Analisa kualitas fisika dan kimia air meliputi pH, ammoniak, DO, TOM, alkalinitas dan kesadahan diukur pada pagi hari (pukul 08.00 – 09.00 WIB) saat awal dan akhir penelitian. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air sebelum dan sesudah diberikan perlakuan kompos serta mengetahui kualitas air selama proses budidaya ikan lele dumbo.

Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup dihitung dengan mengamati jumlah ikan lele dumbo yang dipelihara pada awal pengamatan dan jumlah ikan lele dumbo yang dipelihara pada akhir pengamatan. Penghitungan kelangsungan hidup pada ikan menggunakan rumus Effendie (1979) :

Keterangan : SR = Survival Rate (%)

Nt = Jumlah ikan pada akhir pengamatan (ekor) N0 = Jumlah ikan pada awal pengamatan (ekor)

Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan menggunakan data yang diperoleh dengan mengambil ikan lele dumbo pada awal dan akhir percobaan dan ditimbang bobotnya. Laju pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus Zooneveld et al. (1991) :

Keterangan : Wt = Bobot rata-rata ikan pada hari ke-t (gram) Wo = Bobot rata-rata ikan pada hari ke-0 (gram)

t = Waktu (hari)

α = Laju pertumbuhan spesifik (% berat badan/hari) % 100 1            t Wo Wt

%

100

No

Nt

SR


(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi Bahan Baku Sebelum dan Setelah Dikomposkan

Bahan baku yang dikomposkan memiliki kandungan C/N rasio yang berbeda (Tabel 2). Pengomposan terhadap bahan baku (raw material) selama 20 hari menghasilkan kondisi C/N rasio, asam humat, dan asam fulvat yang saling berbeda pula (Tabel 3).

Tabel 2 Komposisi Bahan Baku Daun Gamal, Daun Avicennia dan Batang Pisang Sebelum Dikomposkan

Komposisi Jenis Bahan Baku

Daun Gamal Daun Avicennia Batang Pisang

C (%) 54,06 50,99 52,79

N (%) 3,51 2,01 0,61

C/N rasio 15,40 25,37 86,54

Tabel 3 Komposisi Daun Gamal, Daun Avicennia dan Batang Pisang Setelah Dikomposkan

Komposisi Jenis Kompos

Daun Gamal Daun Avicennia Batang Pisang

C (%) 45,67 34,19 48,78

N (%) 3,05 2,08 2,69

C/N rasio kompos 14,97 18,13 16,44

Asam humat (%) 3,84 1,55 2,84

Asam fulvat (%) 6,45 2,82 6,53

Tabel 2 menunjukan bahwa C/N rasio pada ketiga bahan baku yang digunakan saling berbeda. C/N rasio bahan baku ini mempengaruhi lamanya waktu untuk pendegradasian bahan baku dan komposisi kompos yang dihasilkan. Pengomposan yang dilakukan selama 60 hari ternyata mampu menurunkan C/N rasio sehingga berada pada nilai dibawah 20. Pada bahan baku batang pisang, C/N rasionya sangat tinggi dan kurang ideal untuk dibuat kompos karena membutuhkan waktu yang lama untuk mendekomposisi. Namun waktu


(47)

pengomposan selama 60 hari ternyata cukup mampu merombak bahan baku batang pisang menjadi kompos dengan C/N rasio kompos dibawah 20.

Perbedaan C/N rasio setiap kompos sebagai hasil aktivitas bakteri perombak (heterotrof) saling berbeda karena C/N rasio bahan baku yang saling berbeda pula. Bakteri heterotrof merupakan bakteri yang memanfaatkan kandungan karbon pada bahan baku sebagai sumber energi dan nitrogen untuk sintesis protein. C/N rasio kompos merupakan hasil akhir perombakan karbon dan nitrogen bahan baku oleh bakteri.

(Kompos Daun Gamal) (Kompos Daun Avicennia) (Kompos Batang Pisang) Gambar 8. Penampakan Bahan Baku Setelah Dikomposkan

Asam humat dan asam fulvat merupakan substansi humus yang terdapat pada kompos disamping humin. Berdasarkan Tabel 3, Nilai asam humat pada kompos daun gamal lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya sedangkan asam fulvat kompos daun gamal dan batang pisang tidak terlalu berbeda jauh. Asam humat dan fulvat pada daun avicennia merupakan yang paling rendah. Kandungan asam humat dan asam fulvat memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat oleh kompos karena gugus fungsi pada kedua substansi tersebut. Hermana dan Nurhayati (2010) menyatakan bahwa substansi humus berupa asam humat dan asam fulvat memiliki kapasitas untuk membentuk kompleks dengan logam melalui pembentukan senyawa kompleks dan chelate. Selain asam humat dan asam fulvat kandungan substansi humus lainnya yaitu humin. Humin merupakan subtansi yang ikut berperan dalam pengikatan logam berat karena pada humin juga terkandung gugus fungsi pengikat logam berat.


(48)

Minimalisasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Oleh Kompos

Konsentrasi awal logam berat di air pada awal perlakuan yang terukur dengan menggunakan Atomic Absorben Spectrofotometer (AAS) yaitu sebesar 6,7964 mg/l. Konsentrasi awal Pb pada semua percobaan sama. Hasil yang diharapkan dari percobaan setiap jenis kompos dalam meminimalisasi logam Pb adalah dosis terbaik dalam meminimalisasi logam Pb di air.

Minimalisasi Logam Berat Pb Oleh Kompos Daun Gamal

Jumlah logam Pb tersisa di air oleh proses minimalisasi kompos daun gamal menunjukan jumlah yang semakin sedikit dengan semakin banyaknya dosis dan semakin lamanya waktu pengamatan (Tabel 4).

Tabel 4 Data Rata-Rata Konsentrasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Yang Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Daun Gamal Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan

Dosis Kompos

(gr/l)

Konsentrasi Rata-rata Logam Berat Pb Yang Tersisa di Air Pada Setiap Waktu Pengamatan (mg/l)

1 Jam 8 Jam 16 Jam 24 Jam

0a 6,7948±0 6,8545±0,1232 6,8326±0,1431 6,8855±0,1089 5b 2,4733±0,3006 0,8531±0,0439 0,6911±0,0379 0,5416±0,0352 9c 0,7254±0,1628 0,2668±0,0647 0,2460±0,0899 0,2082±0,0430 13c 0,4716±0,0728 0,2486±0,0413 0,2608±0,0169 0,2193±0,0453

Keterangan : Huruf superscript yang sama dibelakang jumlah dosis menunjukan tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 4 dapat dibuat grafik konsentrasi rata-rata logam berat Pb yang tersisa di air oleh proses minimalisasi kompos daun gamal pada setiap dosis dan waktu pengamatan. Grafik ini disajikan pada Gambar 9.


(49)

Percobaan minimalisasi logam berat Pb dengan menggunakan kompos daun gamal menunjukan bahwa kompos daun gamal mampu mengadsorpsi logam berat Pb yang terlihat dari rendahnya logam Pb tersisa di air. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak dosis kompos dengan waktu pengamatan yang lebih lama menyebabkan jumlah logam berat Pb yang tersisa semakin sedikit. Berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa terdapat perbedaan antar dosis kompos, ada pengaruh waktu pengamatan dan ada interaksi dosis kompos dengan waktu pengamatan dalam proses minimalisasi logam Pb di air. Uji lanjut dengan menggunakan uji duncan menunjukan bahwa dosis kompos 0 gr/l berbeda nyata dengan dosis 5 gr/l, 9 gr/l dan 13 gr/l. Dosis kompos 5 gr/l juga berbeda nyata dengan dosis 9 gr/l dan 13 gr/l. Tetapi dosis kompos 9 gr/l tidak berbeda nyata dengan 13 gr/l. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa dosis kompos daun gamal sebesar 9 gr/l adalah dosis terbaik dalam meminimalisasi logam berat Pb di air. Uji statistik percobaan kompos daun gamal terdapat pada Lampiran 5.

Grafik pada Gambar 9 menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah logam berat Pb yang tersisa di air oleh pengaruh dosis dan lamanya waktu pengamatan. Dosis yang berbeda menyebabkan jumlah logam Pb yang tersisa di air juga berbeda. Dosis kompos 0 gr/l (tanpa kompos) merupakan dosis yang menyisakan logam Pb paling tinggi. Dosis 5 gr/l terlihat sedikit lebih tinggi dalam menyisakan logam Pb bila dibandingkan dengan dosis 9 gr/l dan 13 gr/l sedangkan antara Gambar 9 Grafik Jumlah Pb Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos


(50)

dosis 9 gr/l dan 13 gr/l terlihat tidak terlalu berbeda. Perbedaan yang terjadi antar dosis ini menunjukan bahwa jumlah dosis kompos sebagai bahan adsorpsi memberikan berpengaruh terhadap logam Pb tersisa di air. Dosis kompos berpengaruh karena pada dosis yang lebih rendah kandungan substansi humus (asam humat, asam fulvat dan humin) terlalu sedikit untuk dapat mengikat logam Pb di air. Pada dosis 9 gr/l dengan 13 gr/l tidak terlalu berbeda dikarenakan kapasitas maksimum adsorpsi logam Pb sudah terjadi pada dosis 9 gr/l. Berdasarkan grafik 9 terlihat pula bahwa pada setiap dosis kompos, sisa logam Pb di air pada waktu pengamatan 1 jam lebih tinggi dibandingkan waktu pengamatan selanjutnya. Terjadinya hal ini dikarenakan stabilitas adsorpsi Pb oleh gugus fungsi kompos pada waktu pengamatan 1 jam belum terjadi. Seiring dengan waktu pengamatan yang semakin lama, stabilitas adsorpsi semakin tinggi.

Minimalisasi Logam Berat Pb Oleh Kompos Daun Avicennia

Hasil percobaan dengan menggunakan kompos daun avicennia menunjukan bahwa terjadi penurunan konsentrasi logam berat pada setiap dosis dan waktu pengamatan yang berbeda ( Tabel 5).

Tabel 5 Data Rata-Rata Konsentrasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Yang Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Daun Avicennia Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan

Dosis Kompos

(gr/l)

Konsentrasi Rata-rata Logam Berat Pb Yang Tersisa di Air Pada Setiap Waktu Pengamatan(mg/l)

1 Jam 8 Jam 16 Jam 24 Jam

0a 6,7948±0 6,8545±0,1232 6,8326±0,1431 6,8855±0,1089 5b 2,8185±1,8229 1,4135±0,4089 1,0087±0,1867 0,8913±0,1874 9b 2,4630±0,7159 0,9854±0,0627 0,8941±0,0559 0,8911±0,0428 13b 3,3674±1,6558 1,3660±0,5467 1,0544±0,3361 0,8660±0,2050

Keterangan : Huruf superscript yang sama dibelakang jumlah dosis menunjukan tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 5 dapat dibuat grafik konsentrasi rata-rata logam berat Pb yang tersisa di air oleh proses minimalisasi kompos daun avicennia pada berbagai dosis dan waktu pengamatan. Grafik ini disajikan pada Gambar 10.


(51)

Gambar 10 Grafik Jumlah Pb Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Daun Avicennia Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan

Minimalisasi logam berat Pb pada percobaan dengan menggunakan kompos daun avicennia berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa logam berat Pb mampu diminimalisasi oleh kompos daun avicennia. Uji statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan antar dosis kompos. Selain itu waktu pengamatan juga berpengaruh namun tidak ada interaksi dosis kompos dengan waktu pengamatan. Uji lanjut dengan menggunakan uji duncan didapatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara dosis kompos 0 gr/l (kontrol) dengan dosis kompos 5 gr/l, 9 gr/l dan 13 gr/l dalam meminimalisasi jumlah logam berat Pb yang tersisa di air. Tetapi dosis kompos 5 gr/l, 9 gr/l dan 13 gr/l tidak berbeda nyata. Bedasarkan uji statistik ini maka dosis kompos daun avicennia yang terbaik dalam meminimalisasi logam berat Pb adalah 5 gr/l. Uji statistik percobaan kompos daun gamal terdapat pada Lampiran 6.

Grafik pada Gambar 10 menunjukan bahwa terjadi perbedaan signifikan antara tidak digunakan kompos (dosis 0 gr/l) dengan digunakannya kompos dosis 5 gr/l, 9 gr/l dan 13 gr/l. Pada dosis kompos 5 gr/l, 9 gr/l dan 13 gr/l terlihat tidak terlalu berbeda jumlah Pb tersisa di air terutama pada waktu pengamatan 24 jam. Tidak terjadinya perbedaan ini karena kandungan substansi humus sebagai substansi pengikat logam Pb pada setiap dosis tidak jauh berbeda. Berdasarkan grafik 10 terlihat pula bahwa pada setiap dosis kompos, waktu pengamatan 1 jam


(52)

lebih tinggi dibandingkan waktu pengamatan 8 jam, 16 jam dan 24 jam. Terjadinya hal ini karena terkait dengan stabilitas adsorpsi. Pada waktu pengamatan 1 jam, kontak antara logam Pb dengan kompos belum optimal sehingga banyak logam Pb yang tersisa di air dan belum terikat di kompos. Semakin lama berlangsungnya kontak antara kompos dengan logam Pb di air (waktu pengamatan) maka proses adsorpsi logam Pb oleh kompos semakin optimal dan stabil.

Minimalisasi Logam Berat Pb Oleh Kompos Batang Pisang

Percobaan dengan menggunakan kompos batang pisang ternyata mampu meminimalisasi logam Pb pada media air. Perbedaan dosis dan waktu pengamatan memiliki pengaruh terhadap proses adsorpsi logam berat Pb ( Tabel 6).

Tabel 6 Data Rata-Rata Konsentrasi Logam Berat Timah Hitam (Pb) Yang Tersisa di Air Oleh Proses Minimalisasi Kompos Batang Pisang Pada Berbagai Dosis Kompos dan Waktu Pengamatan

Dosis Kompos

(gr/l)

Konsentrasi Rata-rata Logam Berat Pb Yang Tersisa di Air Pada Setiap Waktu Pengamatan (mg/l)

1 Jam 8 Jam 16 Jam 24 Jam

0a 6,7948±0 6,8545±0,1232 6,8326±0,1431 6,8855±0,1089 5b 3,1909±1,1852 1,4500±1,3839 1,5385±0,8195 1,2321±0,5338 9c 0,8672±0,3332 0,3162±0,0396 0,2573±0,0729 0,2462±0,0477 13c 0,5351±0,1671 0,2797±0,0125 0,2457±0,0370 0,2189±0,0171

Keterangan : Huruf superscript yang sama dibelakang jumlah dosis menunjukan tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 6 dapat dibuat grafik konsentrasi rata-rata logam berat Pb yang tersisa di air oleh proses minimalisasi kompos daun avicennia pada berbagai dosis dan waktu pengamatan. Grafik ini disajikan pada Gambar 11.


(1)

92

Lampiran 19. Analisis Korelasi Pearson Antara pH dengan Rata-Rata Pertumbuhan Harian Menggunakan Software SPSS 18. a. Rata-rata pHdi air dan Pertumbuhan Harian

pH Rata-rata

Pertumbuhan Harian

3 0

4,25 7,58

5,6 11,07

5,55 11,36

3 0

5,9 11,28

6,1 11,63

7,2 11,17

3 0

4,45 5,46

6,2 10,69

6,55 11,47

b. Uji normalitas

Berdasarkan uji Normalitas yang digunakan didapatkan bahwa data tidak menyebar normal karena nilai Signifikan < 0,05. Hal ini tidak memenuhi persyaratan untuk analisis korelasi. Oleh karena itu data harus ditransformasi.

c. Transformasi data

Transformasi data dilakukan untuk memenuhi persyaratan normalitas data. Formula transformasi yang digunakan yaitu : Sin X


(2)

d. Uji Normalitas pada data transformasi

Uji Normalitas menunjukan bahwa semua data menyebar normal karena nilai Signifikan > 0,05. Hal ini telah memenuhi persyaratan untuk analisis korelasi.

e. Analisis Korelasi

Nilai signifikasi (sig. 2-tailed) > 0,05. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah Pb tersisa di air dengan nilai Ammonia.


(3)

94

Lampiran 20. Analisis Korelasi Pearson Antara Pb Tersisa di Air dengan Rata-Rata Kelangsungan Hidup Menggunakan Software SPSS 18.

a. Rata-rata Pb tersisa di air dan Kelangsungan Hidup Pb tersisa di Air Rata-rata

Kelangsungan Hidup

6,7964 0

0,5416 26,67

0,2028 93,3

0,2193 93,3

6,8172 0

0,8913 93,3

0,8911 80

0,8660 100

6,7675 0

1,2321 26,67

0,2462 100

0,2128 100

b. Uji normalitas

Berdasarkan uji Normalitas yang digunakan didapatkan bahwa data tidak menyebar normal karena nilai Signifikan < 0,05. Hal ini tidak memenuhi persyaratan untuk analisis korelasi. Oleh karena itu data harus ditransformasi.

c. Transformasi data

Transformasi data dilakukan untuk memenuhi persyaratan normalitas data. Formula transformasi yang digunakan yaitu : Sin X


(4)

d. Uji Normalitas pada data transformasi

Uji Normalitas menunjukan bahwa semua data menyebar normal karena nilai Signifikan > 0,05. Hal ini telah memenuhi persyaratan untuk analisis korelasi.

e. Analisis Korelasi

Nilai signifikasi (sig. 2-tailed) > 0,05. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah Pb tersisa di air dengan nilai Kelangsungan Hidup.


(5)

96

Lampiran 21. Analisis Korelasi Pearson Antara Pb Tersisa di Air dengan Rata-Rata Laju Pertumbuhan Menggunakan Software SPSS 18.

a. Rata-rata Pb tersisa di air dan Laju Pertumbuhan

Pb tersisa di Air Rata-rata Laju Pertumbuhan

6,7964 0

0,5416 7,58

0,2028 11,07

0,2193 11,36

6,8172 0

0,8913 11,28

0,8911 11,63

0,8660 11,17

6,7675 0

1,2321 5,46

0,2462 10,69

0,2128 11,47

b. Uji normalitas

Berdasarkan uji Normalitas yang digunakan didapatkan bahwa data tidak menyebar normal karena nilai Signifikan < 0,05. Hal ini tidak memenuhi persyaratan untuk analisis korelasi. Oleh karena itu data harus ditransformasi.

c. Transformasi data

Transformasi data dilakukan untuk memenuhi persyaratan normalitas data. Formula transformasi yang digunakan yaitu : Sin X


(6)

d. Uji Normalitas pada data transformasi

Uji Normalitas menunjukan bahwa semua data menyebar normal karena nilai Signifikan > 0,05. Hal ini telah memenuhi persyaratan untuk analisis korelasi.

e. Analisis Korelasi

Nilai signifikasi (sig. 2-tailed) > 0,05. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah Pb tersisa di air dengan nilai Kelangsungan Hidup.