Pretreatment Basa Makroalga Gelidium Latifolium untuk Produksi Bioetanol

PRETREATMENT BASA MAKROALGA Gelidium latifolium
UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

ELISABETH YAN VIVI ARYANTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pretreatment Basa
Makroalga Gelidium Latifolium untuk Produksi Bioetanol adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Nopember 2013
Elisabeth Yan Vivi Aryanti
NIM F34090141

ABSTRAK
ELISABETH YAN VIVI ARYANTI. Pretreatment Basa Makroalga Gelidium
Latifolium untuk Produksi Bioetanol. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH.
2013
Produksi rumput laut per tahun adalah sekitar 14 juta ton dan diperkirakan
akan meningkat lebih dari 22 juta ton pada tahun 2020. Makroalga, salah satunya
Gelidium latifolium yang tersebar di sepanjang perairan Indonesia, dianggap
menjadi bahan baku yang menjanjikan untuk bioetanol dalam hal keberlanjutan
dan konservasi lingkungan. Proses konversi bahan baku menjadi bioetanol melalui
tahap pretreatment, hidrolisis asam, fermentasi, dan destilasi. Pretreatment
dilakukan untuk menaikkan kadar gula pereduksi dalam bahan sehingga
meningkatkan kadar etanolnya. Hasil uji proksimat dari masing-masing bahan
yang direndam dengan air, direndam dengan NaOH 0.05 N, dan direndam dengan
NaOH 0.1 N berturut-turut adalah kadar air 8.90%, 9.90%, dan 11.78%, kadar abu
8.74%, 9.07 %, dan 11.54%, kadar lemak 0.53%, 0.10%, dan 0.70%, kadar

protein 9%, 8.73%, dan 6.45%, kadar karbohidrat 21.95%, 19.60%, dan 19.65%,
kadar serat 26.49%, 28.29%, dan 27.29%, selulosa 23.03%, 24.87%, dan 37.2%,
lignin 7.29%, 6.435, dan 25.29%, hemiselulosa 51.78%, 54.41%, dan 14.37%. Uji
kadar etanol produk dari masing-masing bahan yang direndam dengan air,
direndam dengan NaOH 0.05 N, dan direndam dengan NaOH 0.1 N berturut-turut
sebesar 0.53%, 0.63%, dan 0.43%. Karakteristik bahan dan produksi etanol
pretreatment basa tidak memberikan perbedaan untuk masing-masing bahan.
Kata kunci: bioetanol, Gelidium latifolium, makroalga, pretreatment, proksimat

ABSTRACT
ELISABETH YAN VIVI ARYANTI. Alkali Pretreatment in Bioethanol
Production from Gelidium Latifolium. Supervised by DWI SETYANINGSIH.
2013
Seaweeds production per year is about 14 million tons and is expected to
increase by more than 22 million tons in 2020. Macroalgae, Gelidium latifolium
scattered along the coast of Indonesia, is considered to be a promising feedstock
for bioethanol in terms of sustainability and environmental conservation. The
process stage of converting materials into bioethanol include pretreatment, acid
hydrolysis, fermentation, and distillation. Pretreatment done for being able to
raise the level of sugar in the raw materials. Proximate test results of each

material sequentially for submerged in water, submerged in 0.05 N NaOH, and
submerged in 0.1 N NaOH are respectively 8.90%, 9.90%, and 11.78% water
content, 8.74%, 9.07% , and 11.54% ash content, 0.53%, 0.10%, and 0.70% fat
content, 9%, 8.73%, and 6.45% protein content, 21.95%, 19.60%, and 19.65%
carbohydrate content, 26.49%, 28.29%, and 27.29% fiber content, 23.03%,
24.87%, and 37.2% cellulose, 7.29%, 6435, and 25.29% lignin, 51.78%, 54.41%,
and 14.37% hemicellulose . Test for the product of each material respectively for
0.53%, 0.63%, and 0.43% ethanol content. Material characteristic and ethanol
production are not different for each material.
Keywords: bioethanol, Gelidium latifolium, makroalgae, pretreatment, proximate

PRETREATMENT BASA MAKROALGA Gelidium latifolium
UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

ELISABETH YAN VIVI ARYANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pretreatment Basa Makroalga Gelidium Latifolium untuk Produksi
Bioetanol
Nama
: Elisabeth Yan Vivi Aryanti
NIM
: F34090141

Disetujui oleh

Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi
Pembimbing I


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkah dan karunia-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan bulan Maret-Juli 2013 adalah proses produksi
bioetanol dengan judul Pretreatment Basa Makroalga Gelidium Latifolium untuk
Produksi Bioetanol.
1. Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa membimbing penulis selama proses penelitian ini.
2. Neli Muna, STP, Indah Khayati, SSi, Dahlia Wulan Sari, SPi yang
telah membimbing dan membantu dalam proses penelitian.
3. Antonius Sukarmin dan Lucia Hudi Antarti, selaku orang tua yang
selalu mendoakan, adik-adik dan teman-teman yang terus memberi saya
semangat dan motivasi penuh untuk dapat menyelesaikan pembuatan karya

ilmiah ini.

Bogor, Nopember 2013

Elisabeth Yan Vivi Aryanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Ruang Lingkup
METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Peralatan Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Prosedur Percobaan
Analisis Data

HASIL PEMBAHASAN
Karakterisasi Bahan Baku
Hidrolisis
Fermentasi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
1
1
2
2

2
2
3
3
3
3
8
11
15
15
15
15
18
26

DAFTAR TABEL
1 Hasil uji komponen kimia Gelidium latifolium
2 Perbandingan kadar polisakarida dan karbohidrat
3 Komposisi serat dengan uji Van Soest


4
5
6

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Skema proses delignifikasi
7
Struktur L-galaktosa-6-sulfat dan 3.6-anhidro-l-galaktosa
9
Gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium setelah hidrolisis
9

Gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium dari bahan yang tidak dibilas
setelah pretreatment
10
Total gula hidrolisat Gelidium latifolium setelah hidrolisis
11
Gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium sebelum fermentasi dan gula
pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium setelah fermentasi
12
Tingkat efisiensi substrat hidrolisat Gelidium latifolium dan tingkat efisiensi
fermentasi substrat Gelidium latifolium
13
Kadar etanol hidrolisat Gelidium latifolium fermentasi empat hari
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

6
7
8

Prosedur uji kadar air
Prosedur uji kadar abu
Prosedur uji kadar karbohidrat
Prosedur uji kadar serat
Prosedur uji kadar lemak
Prosedur uji kadar protein
Prosedur uji total gula (Metode Fenol)
Prosedur uji gula pereduksi (Metode DNS)

18
19
20
21
22
23
24
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hasil ekspedisi Siboga tahun 1899-1900 menunjukkan bahwa sumber daya
makroalga (rumput laut) di Indonesia sangat besar dengan jumlah spesies
mencapai 555 jenis. Jenis yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah
Gracilaria, Gelidium, Euchema, Hypnea, Sargasum, dan Turbinaria. Potensi
lahan untuk budidaya makroalga di Indonesia sebesar 1.100.900 ha dan sampai
tahun 2003 hanya dimanfaatkan sebesar 20% atau seluas 222.180 ha. (Runtuboy
2001). Peluang besar masih sangat terbuka bagi pengembangan usaha budidaya
makroalga di hampir seluruh perairan Indonesia, terutama karena makroalga dapat
menghasilkan bahan baku industri yang dapat diturunkan menjadi produk-produk
industri pangan maupun bioindustri. Selain itu, siklus budidaya singkat dan
mempunyai pasar yang luas dengan volume kebutuhan yang besar.
Fermentasi alkohol membutuhkan substrat yang cocok dan dapat digunakan
secara terus-menerus yang dapat menghasilkan gula tinggi dan konsentrasi
inhibitor rendah. Makroalga dianggap sebagai sumber biomassa potensial untuk
memproduksi bioetanol (Kim et al. 2010 dan Yoon et al. 2010). Selain itu,
makroalga dapat dibudidayakan di perairan luas dengan sinar matahari dan tidak
memerlukan pupuk atau zat penambah berbasis nitrogen (Buck dan Buchholz
2004)..
Penggunaan makroalga sebagai bahan baku produksi bioetanol memiliki
nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan jika makroalga dijadikan sebagai
produk agar atau karagenan. Agar atau karagenan hanya dapat dimanfaatkan
untuk industri makanan ataupun minuman, sedangkan bioetanol memiliki
pemanfaatan yang beragam sesuai dengan kegunaannya. Kegunaan bioetanol
antara lain sebagai pelarut, bahan baku industri kosmetik dan farmasi, dan
campuran bahan bakar.
Penelitian Freile-Pelegr dan Murano (2005) menunjukkan bahwa
perendaman dengan alkali (NaOH) pada Gracilaria crassisima menurunkan kadar
sulfat dan menaikkan kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa pada bahan. Gracilaria
merupakan salah satu jenis makroalga merah, sama seperti Gelidium. Perbedaan
pada keduanya yaitu komposisi polisakarida agarosa dan agaropektin. Sulfat pada
polisakarida terdapat pada komponen agaropektin. Penelitian Tsuchiya dan Hong
(1965) menunjukkan kadar agarosa 50% dan agaropektin 39.5% pada Gelidium,
sedangkan pada Gracilaria kadar agarosa sebesar 75% dan agaropektin sebesar
21%. Perendaman dengan basa pada Gracilaria meningkatnya kadar galaktosa
dari 39% menjadi 56.4%. Dengan adanya peningkatan kadar galaktosa, jumlah
gula yang dapat dimanfaatkan pada saat fermentasi meningkat. Perendaman juga
dilakukan untuk menurunkan kadar abu dan kadar garam dalam bahan. Hal ini
menyebabkan perlunya penelitian mengenai pengaruh perendaman basa pada
makroalga Gelidium latifolium.

2

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment
(perendaman) basa dalam menghasilkan gula pereduksi pada makroalga Gelidium
latifolium untuk produksi bioetanol.
Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Surfactan and Bioenergy Research
Center, Kampus IPB Baranangsiang. Jenis makroalga yang digunakan adalah
Gelidium latifolium dan perlakuan yang digunakan dalam produksi bioetanol
adalah (perendaman) dengan 3 macam perlakuan perendaman bahan, yaitu
perendaman dengan air, perendaman dengan NaOH 0.05 N, dan NaOH 0.1 N

METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis
Gelidium latifolium yang didapat dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, akuades,
HCl, NaOH, pupuk NPK, urea, Saccharomyces cereviseae AL IX, PDA (Potato
Dextrose Agar), DNS, indikator PP, pereaksi Luff Schoorl, KI, H2SO4, larutan
kanji, Na2S2O7, etanol, heksana, campuran selen, bromocresol green, metil merah,
H3BO3.
Peralatan Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini diantaranya wadah
perendaman, timbangan digital, pH meter, gelas ukur, kertas saring Whatman,
spatula, pipet volumetrik, pipet tetes, labu Erlenmeyer, termometer, otoklaf,
inkubator, lap, jarum ose, spektrofotometer, desikator, cawan alumunium, oven,
cawan porselen, tanur, pendingin tegak, labu ukur, corong, penangas, stopwatch,
buret, corong Buchner, pompa vakum, labu lemak, Soxlet, kapas, labu Kjeldahl,
densito meter (Anton Paar).

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy
Research Center (SBRC) yang berlokasi di Kampus Pasca IPB Baranangsiang,
Bogor dari bulan Maret-Juli 2013.

3
Prosedur Percobaan
Penelitian ini mencakup pretreatment pada bahan, analisis proksimat pada
bahan, pembuatan bioetanol, dan uji produk. Bahan awal Gelidium latifolium
merupakan bahan yang sudah dicuci bersih dan dikeringkan dengan kadar air awal
9.66% dan kadar abu 11.91%. Pretreatment pada bahan meliputi perlakuan
perendaman bahan dengan tiga jenis perlakuan yaitu perendaman dengan air,
perendaman dengan NaOH 0.05 N, dan NaOH 0.1 N. Penentuan konsentrasi basa
mengacu pada penelitian Sari (2013) yang dilakukan pada makroalga Gracilaria
verrucosa. Perendaman dilakukan selama tiga hari kemudian dicuci bersih,
dipotong sehingga ukurannya menjadi ±1 cm, dan dikeringkan di bawah sinar
matahari selama dua hari. Penelitian pendahuluan meliputi uji proksimat pada
bahan, diantaranya uji kadar air, uji kadar abu, uji kadar karbohidrat, uji kadar
serat kasar, uji kadar lemak, uji kadar protein, dan uji komposisi serat kasar.
Proses pembuatan bioetanol dengan bahan yang telah dilakukan perlakuan
pretreatment dimulai dengan hidrolisis asam. Sebanyak 15 g bahan dimasukkan
ke dalam jar dan ditambahkan H2SO4 1% sebanyak 100 ml. Jar yang sudah diisi
sampel dimasukkan ke otoklaf selama 45 menit pada tekanan 1 atm dan suhu
121OC. Setelah selesai sampel diatur pH-nya sampai menjadi 5-6 dengan cara
menambahkan NaOH, kemudian disaring menggunakan pompa vakum dan
corong Buchner untuk mendapatkan cairan hidrolisat. Hidrolisat tersebut diambil
dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer untuk dipasteurisasi. Pasteurisasi
dilakukan dengan cara memanaskan sampel pada suhu 70-80OC selama 15 menit
di atas penangas air. Setelah selesai dipasteurisasi, ditambahkan urea, NPK, dan
starter Saccharomyces cereviseae AL IX sebanyak 10 ml dalam keadaan steril.
Proses fermentasi berlangsung selama 4 hari pada suhu ruang. Sampel yang telah
difermentasi kemudian didestilasi untuk mendapatkan etanolnya dan diuji kadar
etanolnya dengan menggunakan densitometer.

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancang Acak Lengkap
dengan satu faktor. Selang kepercayaan dihitung menggunakan ANOVA α=5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Gelidium sp. dan Gracilaria sp. merupakan jenis rumput laut merah
penghasil polisakarida agar. Kadar polisakarida agar yang terkandung dalam
Gelidium sp. sebesar 26.5% dan pada Gracilaria sp. sebesar 30.7% (Rasyid et al.
1999). Pada metode penelitian Freile-Pelegr dan Murano (2005), pretreatment
pada Gracilaria dilakukan dengan cara merendam bahan pada NaOH 3%, 5%,
dan 7% selama 12 jam, kemudian dipanaskan pada suhu 90 OC selama 3 jam.
Pretreatment tersebut menghasilkan penurunan kadar sulfat sebanyak 60% pada
masing-masing perendaman dan meningkatkan gula pereduksi sampai 25%.

4
Penelitian Dahlia (2013) menggunakan rumput laut jenis Sargassum sp.
Sargassum sp. merupakan rumput laut coklat dengan jenis polisakarida alginat.
Metode perendaman dengan menggunakan NaOH 0.05 N dan 0.1 N pada
Sargassum sp. menghasilkan peningkatan gula pereduksi sebanyak 46% pada
perendaman 0.05 N.
Penelitian pendahuluan merupakan uji proksimat yang dilakukan pada
bahan baku, baik yang telah mengalami perlakuan maupun yang tidak mengalami
perlakuan. Perlakuan yang dimaksud adalah pretreatment atau perendaman.
Perendaman dilakukan pada bahan sebelum digunakan untuk proses produksi
bioetanol. Perendaman dengan menggunakan basa dilakukan dengan tujuan untuk
menguraikan gugus sulfat yang ada pada polisakarida rumput laut. Dengan
treatment basa ini diharapkan terjadi peningkatan gula yang diperoleh.
Perendaman dengan basa juga dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pengotor-pengotor dan juga untuk proses delignifikasi (penghilangan lignin).
Pretreatment menyebabkan kerusakan struktur dan pemecahan biomassa melalui
pelarutan lignin. Treatment basa juga menyebabkan swelling/pengembangan yang
dapat meningkatkan luas permukaan dan penyerapan asam sehingga
meningkatkan tingkat hidrolisis. Proses pretreatment yang dilakukan pada
penelitian ini menggunakan tiga jenis perlakuan, yaitu perendaman dengan
menggunakan air, perendaman dengan NaOH 0.05 N, dan perendaman dengan
NaOH 0.1 N.
Tabel 1 Hasil uji komponen kimia makroalga Gelidium latifolium

a

a

Air

NaOH 0.05
N

NaOH 0.1
N

Air (%)

8.90±0.12

9.90±0.16

11.77±0.26

9.66±0.02

Abu (%bk)

8.74±0.99

9.07±0.10

11.54±1.95

11.91±1.07

Lemak (%bk)

0.53±0.02

0.09±0.001

0.69±0.007

0.13±0.02

Protein (%bk)

9.00±0.06

8.73±0.37

6.45±0.39

9.32±0.25

Polisakarida (%bk)

21.95±0.64

19.59±0.76

19.65±0.39

23.81±1.08

Serat kasar (%bk)

26.49±1.27

28.29±1.16

27.29±1.46

16.34±0.10

Kadar

Bahan
baku

Sumber: Sari 2013

Dapat dilihat dari Tabel 1, nilai hasil uji kadar air bahan yang telah
dilakukan pretreatment dan nilai bahan baku (Sari 2013). Kadar air tertinggi
dimiliki oleh bahan yang direndam dengan menggunakan NaOH 0.1 N, diikuti
dengan bahan yang direndam dengan menggunakan NaOH 0.05 N, dan kadar air
terendah dimiliki bahan yang direndam dengan air. Hal ini dapat disebabkan
karena polisakarida jika ditambahkan basa akan mengakibatkan swelling yang
dapat memperangkap air dalam bahan sehingga air tersebut sulit atau tidak dapat
menguap. Akibatnya pada saat pengujian kadar air, air yang terperangkap
terhitung sehingga menyebabkan kadar air lebih tinggi. Untuk bahan yang tidak
dilakukan pretreatment, kadar airnya hampir sama dengan bahan yang direndam
dengan air karena proses penguapan air tidak terganggu dan tidak terjadi hidrolisis
oleh basa. Hasil Anova (α=5%) menyatakan bahwa tidak ada beda nyata terhadap
masing-masing sampel menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan nilai

5
pada kadar air namun perendaman baik dengan air maupun basa tidak
mempengaruhi perbedaan nilai tersebut.
Nilai kadar abu tertinggi dimiliki oleh bahan yang tidak mengalami
pretreatment, kemudian nilai tertinggi kedua dimiliki bahan yang direndam
dengan NaOH 0.1 N dan disusul oleh bahan yang direndam oleh NaOH 0.05 N.
Kadar abu terendah dimiliki oleh bahan yang direndam dengan air. Bahan yang
tidak mengalami pretreatment memiliki nilai tertinggi dapat diakibatkan karena
bahan tidak mengalami proses perendaman yang mampu menghilangkan mineralmineral dari air laut yang masih menempel pada bahan. Bahan yang direndam
dengan basa memiliki kadar abu yang tinggi karena ion Na + yang menempel pada
bahan dianggap sebagai mineral dan terhitung sebagai kadar abu. Hasil Anova
(α=5%) menyatakan bahwa tidak ada beda nyata terhadap masing-masing sampel
menunjukkan bahwa perendaman dengan air maupun basa tidak memberi
pengaruh terhadap bahan meskipun nilainya berbeda-beda.
Makroalga memiliki tingkat kadar lemak yang rendah. Dari hasil
pengujian, didapat kadar rata-rata kadar lemak dari masing-masing bahan tidak
mencapai 1%, dengan kadar lemak tertinggi dimiliki oleh bahan yang direndam
dengan menggunakan NaOH 0.1 N dan yang terendah dimiliki oleh bahan yang
direndam dengan menggunakan NaOH 0.05 N. Hasil Anova (α=5%) menyatakan
bahwa tidak ada beda nyata terhadap masing-masing sampel.
Pengujian kadar protein menunjukkan adanya perendaman menyebabkan
terjadinya penurunan kadar protein, dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa kadar
protein tertinggi dimiliki oleh bahan yang tidak direndam dan yang terendah
dimiliki oleh bahan yang direndam dengan menggunakan basa. Hasil Anova
(α=5%) menyatakan bahwa tidak ada beda nyata terhadap masing-masing sampel.
Dalam analisis proksimat rumput laut, karbohidrat terdiri dari polisakarida
(agar), serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Serat kasar mengandung
selulosa, hemiselulosa, polisakarida lain, dan lignin. Lignin bukan merupakan
komponen karbohidrat, namun berhubungan erat dan mengikat serat kasar pada
bahan. Salah satu fungsi perendaman dengan basa adalah mendegradasi lignin
sehingga mampu melepas bebas serat kasar sehingga memungkinkan peningkatan
kadar gula. Uji polisakarida dilakukan dengan cara menghidrolisis bahan dengan
HCl 3% selama 3 jam untuk menghitung jumlah gula (glukosa) yang terdapat
dalam bahan.
Dapat dilihat di Tabel 1, kadar polisakarida mulai yang tertinggi berturutturut dimiliki oleh bahan yang tidak mengalami pretreatment, bahan yang
direndam dengan air, dan bahan yang direndam dengan NaOH. Hasil Anova
(α=5%) menyatakan bahwa tidak ada beda nyata terhadap masing-masing sampel.
Hal ini menunjukkan bahwa perendaman tidak memberi pengaruh terhadap bahan.
Tabel 2 Perbandingan kadar polisakarida dan karbohidrat
Kadar

a

Air

NaOH 0.05 N

NaOH 0.1 N

Bahan baku

Polisakarida (%bk)

21.95

19.59

19.65

23.81

Karbohidrat (%bk)

46.34

43.92

42.26

52.64

Dari Tabel 2 dapat dilihat jumlah polisakarida yang terdapat pada
kandungan karbohidrat bahan. Kadar polisakarida dihitung dengan metode Luff

6
Schrool dan kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference. Hampir
seluruh karbohidrat bahan mengandung polisakarida yang tinggi yang dapat
dimanfaatkan sebagai substrat fermentasi.
Hasil sebaliknya dari kadar polisakarida adalah serat kasar untuk bahan
yang mengalami pretreatment. Kadar serat kasar pada bahan yang direndam baik
dengan air maupun basa naik dapat dikarenakan adanya penurunan persentase
komponen terlarut pada saat perendaman. Ketika bahan yang tidak diberi
perendaman masih mengandung komponen terlarut, maka kadar serat kasarnya
akan lebih rendah karena komponen terlarut masih tinggi sehingga mengurangi
komponen tidak terlarut yang terhitung sebagai serat kasar. Bahan yang direndam
akan kehilangan komponen yang mudah terlarut sehingga akan menaikkan
persentase kadar komponen tidak terlarut yang terhitung pada uji serat kasar.
Hasil uji Anova (α=5%) menyatakan bahwa tidak ada beda nyata terhadap
masing-masing sampel menunjukkan perendaman dengan air maupun basa tidak
memberi pengaruh pada bahan.
Tabel 3 Komposisi serat dengan uji Van Soest
Uji

b

Air

NaOH 0.05 N

NaOH 0.1 N

Rendemen (%bk)

85.8

82.2

83.2

100

NDF (%bk)

82.42

86.10

73.64

-

ADF (%bk)

30.64

31.69

59.27

-

Selulosa (%bk)

23,03

24.87

37.2

20.10

Lignin (%bk)

7,29

6.43

25.29

4.41

Hemiselulosa
(%bk)

51,78

54.41

14.37

43.96

Bahan baku

b

Sumber: Sari, 2013

Menurut Banerjee (1978) bahan kering suatu tanaman yang didasarkan pada
metode Van Soest dapat dibagi menjadi isi sel dan dinding sel. Isi sel berisi protein,
lemak, karbohidrat, mineral, vitamin terlarut. Dinding sel atau Neutral Detergent
Fiber (NDF) terdiri atas hemiselulosa, selulosa, silika,lignin dan kutin yang masingmasing tersusun secara tunggal atau beberapa kombinasi seperti lignoselulosa dan
nitrogen hemiselulosa (Arora 1983). Pada Uji ADF zat yang digunakan untuk
pengujian adalah setil, trimetil amonium bromida dalam asam sulfat yang
berfungsi untuk menentukan kandungan total selulosa dan lignin, sedangkan NDF
digunakan untuk menentukan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Prinsip dari NDF
dan ADF didasarkan pada kelarutan lignin, selulosa, dan hemiselulosa terhadap
pereaksi NDF dan ADF.
Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai
material struktur dinding sel semua tanaman (Tillman et al. 1989). Kandungan
selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering
tanaman. Dari hasil pengujian, didapat kadar selulosa terendah dimiliki oleh
bahan yang tidak dilakukan pretreatment, kemudian berturut-turut menuju yang
paling tinggi yaitu bahan yang direndam dengan air, direndam dengan NaOH
0.05%, dan bahan yang direndam dengan NaOH 0.1%.
Gelidium sp. adalah biomassa laut yang memiliki kadar lignin rendah,
sehingga langkah pretreatment bisa relatif lebih mudah dibandingkan untuk

7
biomassa selulosa (Kim et al. 2013). Struktur dari lignin adalah kompleks, tidak
teratur, dan acak. Akibat dari bentuk struktur tersebut maka lignin merupakan
komponen yang sulit dipecah, dikarenakan struktur kristal pada lignin lebih tinggi
dibanding selulosa dan hemiselulosa. Perendaman dengan basa diharapkan
mampu memecah struktur kristal tersebut sehingga enzim dapat mencapai
hemiselulosa dan selulosa agar pada proses hidrolisis asam mampu menghidrolisis
lebih banyak gula yang dapat dimanfaatkan saat proses fermentasi.

Gambar 1 Skema proses delignifikasi
Salah satu hambatan proses hidrolisis selulosa dan hemiselulosa baik
dengan asam maupun enzim adalah adanya lignin yang melindungin komponen
tersebut. Gambar 1 merupakan skema proses delignifikasi. Delignifikasi
dilakukan dengan NaOH karena larutan ini dapat menyerang dan merusak struktur
lignin sehingga dapat memisahkan lignin, selulosa, dan hemiselulosa, serta
menyebabkan penggembungan struktur selulosa (Gunam dan Antara 1999). Hal
ini dilakukan agar komponen selulosa dan hemiselulosa menjadi lebih mudah
untuk dihidrolisis.
Dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa kadar lignin terendah untuk bahan yang
tidak diberi perlakuan perendaman dan yang paling tinggi adalah bahan yang
direndam dengan NaOH 0.1 N. Nilai kadar lignin tertinggi pada bahan yang
direndam dengan NaOH 0.1 N dapat dikarenakan adanya non-lignin karbohidrat
lain dan kutin yang terhitung sebagai kadar lignin pada bahan. Hal ini
menyebabkan asumsi awal bahwa perendaman dengan basa dapat mendegradasi
komponen lignin pada bahan tidak terbukti, karena nilai lignin pada bahan yang
diberi perlakuan tidak menurun. Delignifikasi tidak terjadi dapat dikarenakan
konsentrasi basa yang kurang sesuai sehingga tidak mampu memecah lignin
(Harimurti 2010).
. Hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, Dxylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam kombinasi dan ikatan
glikosidik yang bermacam-macam. Hemiselulosa merupakan zat sejenis selulosa
yang oleh asam-asam encer dapat dihidrolisa menjadi gula dalam bentuk manosa

8
dan galaktosa. Perbedaan yang sangat tampak pada senyawa selulosa dengan
senyawa hemiselulosa adalah bahwa hemiselulosa mudah sekali larut dalam asam,
sedang selulosa sebaliknya. Dari hasil pengujian, seperti yang telah disebutkan
bahwa hemiselulosa mudah larut dalam suasana basa, maka kadar hemiselulosa
yang paling rendah adalah bahan yang direndam pada basa dengan konsentrasi
paling tinggi yaitu NaOH 0.1 N dan yang paling tinggi adalah yang direndam
dengan NaOH konsentrasi rendah.
Dari hasil uji van Soest menunjukkan bahwa perendaman dengan air dan
dengan NaOH 0.5 N tidak terlalu berbeda dilihat dari nilai NDF dan ADF jika
dibandingkan dengan bahan yang direndam dengan NaOH 0.1 N. Perendaman
dengan konsentrasi basa yang lebih tinggi menyebabkan hemiselulosa larut
sehingga nilai NDF lebih rendah. Karena nilai hemiselulosa yang rendah,
persentase lignin dan selulosa naik karena kedua komponen tersebut lebih tahan
terhadap basa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa lignin dan selulosa kadarnya
naik pada perendaman dengan konsentrasi basa yang lebih tinggi. Pada
perendaman dengan air dan NaOH 0.05 N, kadar hemiselulosa, lignin, dan
selulosa lebih tinggi dibandingkan dengan bahan baku, dapat disebabkan karena
bahan baku tidak dilakukan perendaman sehingga masih mengandung komponen
lain atau pengotor yang dapat mengurangi persentase NDF dan ADF pada bahan
baku.
Hidrolisis
Gelidium terutama terdiri dari kompleks polisakarida fibrin (selulosa) dan
agar (galaktan) yang monomer awalnya adalah glukosa dan galaktosa. Struktur
agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin dalam
jumlah yang bervariasi (Glicksman 1983). Agarosa merupakan komponen
pembentuk gel yang netral dan tidak mengandung sulfat (Furia 1975). Agarosa
bersifat netral yang terdiri dari susunan unit dasar berulang dari agarobiosa
disakarida yang disusun oleh rantai 1,4 dan 3,6 –amhidro-L-galaktosa dan 1,3-Dgalaktosa. Agarosa juga mengandung metil-D-galaktosa dalam bentuk 6-o-metilD-galaktosa yang jumlahnya berkisar antara 1-20% atau 4-o-metil-galaktosa,
tergantung pada spesies alga merah. Agaropektin merupakan suatu polisakarida
sulfat yang tersusun dari agarosa dengan variasi ester asam sulfat yaitu asam Dglukoronat dan sejumlah kecil asam piruvat. Kandungan sulfat bervariasi pada
setiap jenis rumput laut dan biasanya sekitar 5-10% (Peterson dan Johnson 1978).
Jones dan Peat (1942) menyatakan bahwa 3,6-anhidro-l-galaktosa dapat
terbentuk dari L-galaktosa-6-sulfat, yang terjadi karena perubahan kimia saat
memproses polisakarida. 3,6-anhidro-l-galaktosa biasa bergabung dalam
polisakarida melalui posisi 4 dan rantai α, dan prekursor unit l-galaktosa-6-sulfat
memiliki rantai yang mirip. Konversi dapat terjadi ketika terjadi karena ikatan
silang antar rantai yang terputus karena adanya penambahan basa. Gugus sulfat
pada unit l-galaktosa-6-sulfat digantikan oleh OH pada basa sehingga membentuk
3.6-AHG. Dengan adanya konversi L-galaktosa-6-sulfat menjadi 3.6-anhidro-lgalaktosa maka akan terjadi kenaikan gula pereduksi pada bahan.

9

Gambar 2 Struktur L-galaktosa-6-sulfat dan 3.6-anhidro-l-galaktosa
Menurut Kim et al. (2010) hidrolisis asam gelidium untuk menghasilkan
gula yang dilakukan di dalam otoklaf secara batch produk utamanya adalah Dgalaktosa, 3,6-anhydro-L-Galaktosa (3,6-AHG), dan D-glukosa. Diantara hasil
tersebut, galaktosa dan glukosa diklasifikasikan sebagai gula monomer yang dapat
difermentasi dan 3,6-AHG sebagai gula yang tidak dapat difermentasi (Kim et al.
2010).

Gambar 3 Gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium setelah hidrolisis
Gambar 3 menunjukkan kadar gula pereduksi hidrolisat yang tertinggi
adalah dari bahan yang direndam dengan NaOH 0.1 N dan yang paling rendah
dimiliki oleh bahan yang tidak dilakukan perendaman. Kadar hemiselulosa bahan
yang direndam dengan NaOH 0.1 N paling rendah dibandingkan dengan bahan
yang lain namun memiliki persentase gula pereduksi yang paling tinggi. Hal ini
dapat dikarenakan perendaman basa dengan konsentrasi tinggi mampu
menguraikan gugus sulfat yang ada pada polisakarida bahan sehingga
menyebabkan nilai kadar hemiselulosanya rendah. Desulfatasi tersebut
menyebabkan polisakarida dalam bahan lebih mudah terhidrolisis sehingga kadar
gula pereduksi bahan lebih tinggi dibandingkan dengan bahan yang lain. Bahan
baku dan bahan yang direndam dengan air yang memiliki kadar hemiselulosa
tinggi namun gula pereduksi yang rendah dikarenakan masih ada gugus sulfat

10
yang dapat menjadi penghambat dalam proses hidrolisis sehingga kadar gula
pereduksinya rendah. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa perendaman, terutama
dengan basa dapat meningkatkan kadar gula pereduksi hidrolisat.
Dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 perbedaan gula pereduksi
hidrolisat yang dilakukan pembilasan setelah pretreatment dengan gula pereduksi
hidrolisat yang tidak dilakukan pembilasan setelah pretreatment. Kadar gula
pereduksi hidrolisat yang terbuat dari bahan yang dibilas setelah pretreatment
lebih tinggi, dikarenakan pembilasan dengan air mampu melarutkan sisa-sisa basa
ataupun material lain yang masih menempel pada bahan, sehingga pada saat
hidrolisis asam, asam yang digunakan tidak ternetralisir oleh basa yang menempel
pada bahan tersebut yang mengakibatkan proses hidrolisis asam lebih efektif dan
meningkatkan kadar gula pereduksi hidrolisat.

Gambar 4 Gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium dari bahan yang tidak
dibilas setelah pretreatment
Kadar gula total adalah kandungan gula keseluruhan dalam suatu bahan,
baik monosakarida maupun oligosakarida. Total gula yang dimiliki oleh suatu
bahan tidak menggambarkan kadar etanol yang akan didapat dari bahan tersebut
karena kandungan gula yang dihitung tidak hanya gula pereduksinya saja, namun
juga termasuk gula non pereduksi.

11

Gambar 5 Total gula hidrolisat Gelidium latifolium setelah hidrolisis
Dari gambar 5 dapat dilihat terjadinya peningkatan gula total dari bahanbahan yang dilakukan perendaman. Kontrol yang merupakan bahan baku
memiliki total gula awal yang paling rendah dan bahan yang direndam dengan air
memiliki total gula paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan masih banyaknya
komponen lain atau pengotor dalam bahan baku sehingga total gulanya rendah.
Untuk bahan yang direndam dengan basa memiliki total gula yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang direndam air dapat dikarenakan ada komponen gula
yang larut dan terurai dalam basa, terutama hemiselulosa. Selain itu komponen
gula lain yang bukan termasuk gula pereduksi juga tidak terlarut dalam basa
sehingga menyebabkan total gula bahan yang direndam dengan basa lebih rendah
dibandingkan dengan yang direndam oleh air. Gula total merupakan campuran
gula reduksi dan non reduksi yang merupakan hasil hidrolisis. Semakin tinggi
kadar gula pereduksi, maka semakin tinggi juga jumlah gula monosakarida yang
dapat digunakan dalam proses fermentasi.
Fermentasi
Galaktosa merupakan nutrisi nonkonvensional bagi khamir. Metabolisme
galaktosa pada khamir dilakukan dengan bantuan enzim khusus pada jalur Leloir
(Frey 1996) yakni galaktosa mutarotase, galaktokinase, galaktosa 1-fosfat
uridiltransferase, UDP 4-epimerase dan fosfoglukomutase. Sebagian besar
organisme termasuk Saccharomyces cerevisiae memiliki enzim khusus tersebut
(Timson 2007). Pada saat galaktosa yang tersedia dalam media, enzim-enzim
tersebut akan mengubah D-galaktosa menjadi D-glukosa 6-fosfat.
Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
jenis cerevisiae adaptasi lambat ke IX. Adaptasi lambat dilakukan dengan
menumbuhkan ragi ke dalam media hidrolisat selama 2 hari atau sampai mencapai
jumlah sel maksimum dan kemudian dipindahkan ke media PDA dan diisolasi
koloni yang memiliki pertumbuhan terbaik untuk disegarkan dalam media
berikutnya, dilakukan tanpa terputus sampai 9 kali siklus. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar kultur mampu meningkatkan efisiensi substrat sehingga
meningkatkan produksi etanol. Dari penelitian sebelumnya menggunakan

12
cerevisiae AL IX, kadar etanol yang menggunakan Gelidium latifolium tanpa
pretreatment adalah 0.3% (Sari 2013).

Gambar 6 Gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium sebelum fermentasi ( )
dan gula pereduksi hidrolisat Gelidium latifolium setelah fermentasi (
)
Kadar gula pereduksi setelah fermentasi lebih rendah dibandingkan dengan
kadar gula sebelum fermentasi karena pada saat fermentasi, gula pereduksi
dikonsumsi oleh Saccharomyces cerevisiae AL IX yang akhirnya akan
menghasilkan produk etanol. Jumlah gula pereduksi yang dikonsumsi tergantung
pada faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi. Menurut Sutiari dalam
Sugiharto (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi adalah kultur
inokulum yang digunakan, lama fermentasi, suhu, pH medium, jumlah makro dan
mikro nutrien yang ada dalam media fermentasi, dan konsentrasi media
fermentasi. Dilihat pada Gambar 6 konsumsi gula pereduksi paling tinggi adalah
pada bahan yang direndam dengan NaOH 0.1 N dan yang paling rendah adalah
bahan baku. Jumlah konsumsi gula pereduksi ini merupakan efisiensi substrat
yang akan ditampilkan pada Gambar 7.
Produksi etanol yang dihasilkan oleh suatu proses ditentukan oleh faktor
bahan baku yang tersedia, banyaknya gula hasil konversi bahan baku yang siap di
fermentasi, dan efisiensi dari proses fermentasi gula untuk menghasilkan alkohol.
Sebagai substrat fermentasi untuk produksi etanol, gula sederhana dari bahan baku
diperoleh melalui proses hidrolisis.
Semakin tinggi tingkat efisiensi produksi bioetanol, baik dari efisiensi
fermentasi maupun efisiensi substrat, maka semakin tinggi produktivitas yang
akan didapatkan dengan efektivitas yang baik. Semakin tinggi efisiensi substrat
menggambarkan bahwa faktor-faktor yang mendukung berjalannya fermentasi
berfungsi secara maksimal sehingga menghasilkan kadar etanol yang optimal.

13

Gambar 7 Tingkat efisiensi fermentasi hidrolisat Gelidium latifolium (
tingkat efisiensi substrat hidrolisat Gelidium latifolium ( )

) dan

Produksi etanol yang tinggi berkorelasi dengan efisiensi substrat dan
efisiensi fermentasinya. Substrat yang digunakan tidak seluruhnya dikonversi
menjadi etanol. Berdasarkan persamaan reaksi fermentasi alkohol yakni : Glukosa
 2 C2H5OH + 2 CO2+ 2 ATP + 5 Kkal. Dari reaksi tersebut, 70% energi bebas
yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas. Secara teoritis 51,5% karbohidrat
diubah menjadi etanol dan 48.9% menjadi CO2 (Prescott dan Dunn 1981).
Efisensi substrat merupakan persentase substrat awal yang dikonsumsi untuk
produksi terhadap substrat awal yang digunakan dalam produksi. Dapat dilihat
pada Gambar 7 tingkat efisiensi substrat yang tertinggi dimiliki oleh sampel hasil
perendaman dengan menggunakan NaOH 0.1 N. Hal ini dapat dibuktikan pada
Gambar 6 dengan selisih gula pereduksi yang dikonsumsi pada saat fermentasi
tinggi. Sedangkan efisiensi fermentasi merupakan persentase konsentrasi etanol
hasil produksi dibandingkan dengan persentase etanol teoritis yaitu 51.5%.
Efisiensi fermentasi tertinggi dimiliki oleh bahan yang direndam dengan air dan
yang terendah oleh bahan yang direndam dengan basa. Adanya perbedaan dapat
dikarenakan produksi etanol dalam hidrolisat rumput laut dipengaruhi oleh
adanya senyawa inhibitor pada hidrolisat. Senyawa inhibitor seperti
hidroksimetil furfural dan furfural hasil hidrolisis asam bahan lignoselulosa
akan menghambat pertumbuhan mikroba dalam proses fermentasi untuk
menghasilkan etanol (Palmqvist dan Hagerdal 2000). Senyawa ini
merupakan hasil sampingan yang selalu ada pada saat fermentasi ketika
substrat yang digunakan merupakan hasil hidrolisis asam.
Dari gambar 7, perendaman dengan menggunakan basa dapat menaikkan
efisiensi substrat. Meskipun konsumsi gula oleh Saccharomices cerevisea tinggi,
namun tidak berkolerasi dengan efisiensi fermentasi yang menunjukkan bahwa
perendaman dengan menggunakan basa menurunkan persentase efisiensi
fermentasi. Hal ini terjadi karena adanya gula pereduksi yang tidak terkonversi
ketika aktivitas khamir terhambat, sehingga menggangu metabolisme dan
menghambat pembelahan sel yang mempengaruhi produksi etanol. Dapat terjadi

14
kemungkinan sisa perendaman basa yang menggangu aktivitas khamir tersebut.
Dari hasil Anova (α=5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata pada
masing-masing efisiensi, baik efisiensi fermentasi maupun efisiensi substrat.
Perendaman dengan menggunakan NaOH 0.05 N mampu meningkatkan
gula pereduksi, meningkatkan produksi etanol, meningkatkan efisiensi substrat,
dan meningkatkan efisiensi fermentasi dibandingkan dengan yang direndam air
maupun bahan baku. Perendaman dengan menggunakan NaOH 0.1 N mampu
meningkatkan gula pereduksi dan meningkatkan efisiensi substrat dibandingkan
dengan ketiga bahan lainnya, namun produksi etanol lebih rendah dibandingkan
dengan bahan yang direndam dengan air dan NaOH 0.05, dan memiliki efisiensi
fermentasi paling rendah dibandingkan dengan bahan yang lainnya.

Gambar 8 Kadar etanol hidrolisat Gelidium latifolium fermentasi empat hari
Kadar etanol (%v/v) merupakan volume etanol yang terdapat pada cairan
fermentasi hasil hidrolisat bahan. Besarnya kadar etanol yang akan didapatkan
dari proses fermentasi tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan konsentrasi gula
pereduksi awal karena proses fermentasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada
Gambar 8 dapat dilihat bahwa kadar etanol tertinggi adalah etanol yang berasal
dari bahan yang direndam dengan NaOH 0.05 N. Kontrol yang memiliki selisih
gula pereduksi paling rendah juga memiliki kadar etanol yang paling rendah.
Bahan yang direndam dengan NaOH 0.1 N yang memiliki efisiensi substrat paling
tinggi memiliki kadar etanaol yang rendah. Salah satu komponen polisakarida
dalam alga merah merupakan 3,6-anhidro-L-galaktosa. Meskipun gula ini
memiliki struktur yang hampir sama dengan D-galaktosa, gula ini tidak dapat
dimetabolisme oleh Saccharomices sereviseae dikarenakan enzim pada khamir
yang tidak dapat mengkatalis gugus tersebut. 3,6-anhidro-L-galaktosa hanya bisa
dikonsumsi sebagai media pertumbuhan, namun tidak dapat dikonversi sebagai
produk etanol (Sellick dan Reece 2006). Hal ini dapat menyebabkan rendahnya
kadar etanol yang dihasilkan meskipun kadar gula yang dikonsumsi tinggi. Hasil
Anova (α=5%) menyatakan bahwa tidak terdapat beda nyata pada masing-masing

15
bahan yang dilakukan perlakuan perendaman maupun yang tidak dilakukan
perlakuan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perendaman dengan NaOH 0.1 N menurunkan kadar hemiselulosa pada
bahan karena gugus sulfat yang terlarut dalam basa sehingga menaikkan kadar
gula pereduksi setelah proses hidrolisis. Perendaman dengan NaOH 0.05 N
memiliki kadar hemiselulosa hampir sama dengan yang direndam air dan bahan
baku namun dengan kadar gula pereduksi lebih tinggi.
Hasil uji kadar etanol menyatakan bahwa kadar etanol tertinggi dimiliki oleh
sampel yang berasal dari bahan yang direndam dengan menggunakan NaOH 0.05
N. Efisiensi substrat tertinggi pada bahan yang direndam dengan NaOH 0.1 N
namun memiliki efisiensi fermentasi terendah, sebaliknya efisiensi substrat bahan
yang direndam NaOH 0.05 N lebih rendah dibandingkan dengan bahan yang
direndam NaOH 0.1 N namun memiliki efisiensi fermentasi tinggi sehingga kadar
etanolnya paling tinggi.
Saran
Perendaman dengan basa pada Gelidium latifolium tidak diperlukan karena
tidak memberi pengaruh nyata. Pada penelitian selanjutnya dapat dikembangkan
variasi faktor maupun perlakuan yang mampu meningkatkan tingkat efiensi
substrat, efisiensi fermentasi, dan menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono A, Dedi F, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis
Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Arora SP. 1983. Microbial Digestion in Ruminants. CI Sutrisno, R Murwani,
penerjemah. New Delhi: Indian Council of Agricultural Research. Banerjee
GF. 1978. Animal Nutrition. New Delhi: Oxford dan IBH Publishing
Company.
Buck BH, Buchholz CM. 2004. The Offshore-Ring: A new system design for the
open ocean aquaculture of macroalgae. Journal of Applied Phycology 16:
355-368.
Coombs J. 1987. EEC resources and strategies. In Technologies in 1990s:
utilixation of lignocellulosic wastes p 103-117. London: The Royal Society
London.

16
Freile-Pelegr Y, Murano E. 2005. Agars from three species of Gracilaria
(Rhodophyta) from Yucatan Peninsula. Bioresource Technology 96 (2005)
295-302.
Frey PA. 1996. The Leloir Pathway: Mechanism Imperative For Three Enzymes
To Change The Stereochemical Configuration Of A Single Carbon In
Galactose. Federation of American Societies For Experimental Biology 10:
46-470.
Furia. 1975. Handbook of Flavor Ingredients Vol 2. US.
Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids Vol 1. Florida: Boca Raton Press.
Gunam IBW, Antara NS. 1999. Study on Sodium Hydroxide Treatment of Corn
Stalk to Increase Its Cellulose Saccharification Enzymaticallyby Using
Filtrate of Tricoderma resei. Agric. Technol. J. 5 (1): 34-38
Harimurti N. 2010. Potensi Limbah Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Baku
Bioetanol Generasi II. Bogor: Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian
Higuchi T. (1980). Lignin structure and morphological distribution in plant cells.
In Kirk, T.K. et al. (eds.) Lignin biodegradation; microbiology, chemistry
and potential applications p.1-19. Bocca Raton Florida: CRC Press Inc.
Jones WGM, Peast S. 1942. J. chem. Soc. P.225
Kim YS, Chae SW, Park DH, Sunwoo C. 2010. Pretreatment of Gelidium amansii
for the Production of Bioethanol. Korea: Bull.
Kim YA, Kim DH, Kim TY, Shin MK, Kim YJ, Yoon JJ, Chang IS. 2013. Use of
red algae, Ceylon moss (Gelidium amansii) hydrolyzate for clostridial
fermentation. Elsevier
Oura E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed).
Biotechnology Volume III. New York: Academic Press.
Palmqvist E, Hahn-Hagerdal B. 2000. Fermentation of Lignocellulosic
Hydrolysates. II: Inhibitors and Mechanism of Inhibition. Bioresource
Technology 74: 25-33.
Peterson MS, AH Johnson. 1978. Encyclopedia of Food Science. Westport: The
AVI Publishing company
Prescott SC, Dunn CG. 1981. Industrial Microbiology. New York : McGraw-Hill
Book Co.Ltd.
Rasyid A, Rachmat R, Murniasih T. 1999. Karakterisasi Polisakarida Agar Dari
Gracilaria sp. dan Gelidium sp. Pra Kipnas VII Forum Komunikasi I Ikatan
Fikologi Indonesia. 57-62.
Runtuboy N dan Sahrun. 2001. Rekayasa Teknologi Budidaya Rumput Laut
(Kappaphycus alvarezii).Di dalam Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut
Tahun Anggaran 2000. Balai Budidaya Laut.
Tillman RW, Scotter DR, Wallis MG, Clothier BE. 1989. Water-repellency and
its measurement by using intrinsic sorptivity. Australian Journal of Soil
Research, 27: 637–644.
Sari DW. 2013. Optimasi Hidrolisis dan Fermentasi Makroalga Gelidium
latifolium dan Gracilaria verrucosa Sebagai Penghasil Bioetanol. Bogor:
Institut Pertanian Bogor
Sellick CA, Reece RJ. 2006. Contribution of amino acid side chains to sugar
binding specificity in galactokinase, gallp, and transcriptional inducer,
gal3p. The journal of Biological Chemistry 281, 17150-1715

17
Sugiharto PE. 1991. Analisis Kuantitatif Kadar Etanol dari Bonggol Pisang oleh
Saccharomyces cerevisiae. Malang: Universitas Brawijaya.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan
dan Minuman. BSN.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1994. SNI 06-3565-1994 Syarat Mutu Etanol.
BSN.
Timson DJ. 2007. Galactose metabolism in Saccharomyces cerevisiae: A review.
Dynamic Biochemistry 3: 63-73.
Tsuchiya Y, Hong KC. 1965. Agarose and Agaropectin in Gelidium and
Gracilaria Agar.
Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of Ruminant, Ruminant Metabolism
Nutritional Strategies, the Cellulolytyc Fermentation and Chemestry of
Forage and Fibers. USA: Cornellis O.R.
Wi SG, Kim HJ, Mahadevan SA, Yang DJ, Bae HJ. 2009. The Potential Value of
the Seaeweed Ceylon moss (Gelidium amansii) as an Alternative Bioenergy
Resource. Bioresource Technology
Yoon JJ, Kim YJ, Kim SH, Ryu HJ, Choi JY, Kim GS, Shin MK. 2010.
Production of Polysaccharides and Corresponding Sugars from Seaweed.
Adv. Mater

18
Lampiran 1 Prosedur uji kadar air (SNI, 1992)
Cara kerja:
 Ditimbang dengan seksama 1-2 gr cuplikan pada sebuah botol
timbang tertutup yang telah diketahui bobotnya. Untuk contoh berupa
cairan, botol timbang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kwarsa/kertas
saring berlipat.
 Dikeringkan pada oven suhu 105OC selama 3 jam.
 Didinginkan dalam eksikator
 Ditimbang, ulangi pekerjaan ini hingga diperoleh bobot tetap.
Perhitungan:
W = Bobot cuplikan sebelum dikeringkan, dalam gram
W1 = Kehilangan bobot setelah dikeringkan, dalam gram

19
Lampiran 2 Prosedur uji kadar abu (SNI, 1992)
Cara kerja:
 Ditimbang dengan seksama 2-3 gr contoh ke dalam sebuah cawan
porselen (platina) yang telah diketahui bobotnya, untuk contoh cairan
uapkan diatas penangas air sampai kering
 Diarangkan diatas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur
listrik pada suhu maksimum 550OC sampai pengabuan sempurna (sekalikali pintu tanur dibuka sedikit, agar oksigen bias masuk)
 Didinginkan dalam eksikator, lalu timbang sampai bobot tetap
Perhitungan:
W = Bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram
W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan, dalam gram
W2 = Bobot cawan kosong, dalam gram

20
Lampiran 3 Prosedur uji kadar karbohidrat (SNI, 1992)
Cara kerja:
 Ditimbang seksama lebih kurang 5 g cuplikan ke dalam
Erlenmeyer 500 ml
 Ditambahkan 200 ml larutan HCL 3%, didihkan selam 3 jam
dengan pendingin tegak
 Didinginkan dan netralkan dengan larutan NaOH 30% (dengan
lakmus atau fenolftalin) dan ditambahkan sedikit CH2COOH 3% agar
suasana larutan agak sedikit asam
 Dipindahkan isinya ke dalam labu ukur 500 ml dan diimpitkan
hingga tanda garis kemudian saring
 Dipipet 10 ml saringan ke dalam Erlenmeyer 500 ml, ditambahkan
25 ml larutan luff (dengan pipet) dan beberapa butir batu didih serta 25 ml
air suling
 Dipanaskan campran tersebut dengan nyala yang tetap. Diusahakan
agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit (gunakan stopwatch),
didihkan terus selama tepat 10 menit (dihitung dari mulai saat mendidih
dan gunakan stopwatch) kemudian dengan cepat dinginkan dalam bak
berisi es
 Setelah dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml
H2SO4 25% perlahan-lahan
 Dititar secepatnya dengan larutan tio 0.1 N (gunakan penunjuk
larutan kanji 0.5%)
 Dikerjakan juga blanko
Perhitungan:
(Blanko-penitar) x N tio x 1.0 N setara dengan terusi yang tereduksi.
Kemudian dilihat dalam daftar Luff Schoorl berapa mg gula yang terkandung
untuk ml tio yang dipergunakan.
Kadar karbohidrat = 0.90 x kadar glukosa
W1 = bobot cuplikan, dalam mg
W = glukosa yang terkandung untuk ml tio yang dipergunakan, dalam mg,
dalam daftar
fp = faktor pengenceran

21
Lampiran 4 Prosedur uji kadar serat (SNI, 1992)
Cara kerja:
 Ditimbang seksama 2-4 gr cuplikan. Dibebaskan lemaknya dengan
cara ekstraksi dengan cara Soxlet atau dengan cara mengaduk, diengenap
tuangkan contoh dalam pelarut organik sebanyak 3x. Contoh dikeringkan
dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml
 Ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1.25%, kemudian didihkan
selam 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak
 Ditambahkan 50 ml NaOH 3.25% dan didihkan lagi selama 30
menit
 Dalam keadaan panas, disaring dengan corong Buchner yang berisi
kertas saring tak berabu Whatman 54.41 atau 541 yang telah dikeringkan
dan diketahui bobotnya
 Dicuci endapan yang terdapat pada kertas saring berturut-turut
dengan HSO 1.25% panas, air panas, dan etanol 96%
 Diangkat kertas saring beserta isinya, dimasukkan ke dalam kotak
timbang yang telah diketahui bobotnya, dikeringkan pada suhu 105OC
didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap
 Bila ternyata kadar serat kasar lebih besar dari 1% diabukan kertas
saring beserta isinya, ditimbang sampai bobot tetap
Perhitungan:
W = Bobot cuplikan, dalam gram
W1 = Bobot abu, dalam gram
W2 = Bobot endapan pada kertas saring, dalam gram

22
Lampiran 5 Prosedur uji kadar lemak (SNI, 1992)
Cara kerja:
 Ditimbang seksama 1-2 gr contoh, dimasukkan ke dalam
selongsong kertas yang dialasi dengan kapas
 Disumbat selongsing kertas berisi contoh tersebut dengan kapas,
dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80OC selama lebih
kurang 1 jam, kemudian dimasukkan ke dalam alat soxlet yang telah
dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan
dan telah diketahui bobotnya
 Diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih
kurang 6 jam
 Disulingkan heksana dan dikeringkan ekstrak lemak dalam oven
pengering pada suhu 105OC
 Didinginkan dan ditimbang
 Diulangi pengeringan ini hingga tercapai bobot tetap
Perhitungan:
W = Bobot contoh, dalam gram
W1 = Bobot labu lemak sebelum ekstraksi, dalam gram
W2 = Bobot labu lemak sesudah ekstraksi, dalam gram

23
Lampiran 6 Prosedur uji kadar protein (SNI, 1992)
Cara kerja:
 Ditimbang seksama 0.51 gr cuplikan, masukkan ke dalam labu
Kjeldahl 100