Laju Pertumbuhan Biomassa dan Uji Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium pada Kultivasi Menggunakan Sistem Injeksi Co2.

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya makroalga yang beragam dan wilayah pesisir yang luas. Luasnya lahan menjadi pendukung untuk dilakukannya

eksplorasi dan pemanfaatan makroalga sebagai bahan baku bioetanol. Salah satu makroalga yang potensial adalah Kelas Gelidian. Spesies Gelidium sp. memiliki kandungan agar 26,5%. Presentasi ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata kadar agarofit yang pernah dilaporkan sebelumnya yaitu 15-40% (Rasyid et al., 1999). Namun makroalga jenis ini belum banyak dibudidayakan dan kebanyakan diambil secara langsung dari alam.

Makroalga mengonversi energi dari cahaya matahari melaui proses fotosintesis. Proses fotosintesis memerlukan molekul karbondioksida ( ) dari atmosfer dan hidrogen dipisahkan dari air untuk membangun karbohidrat. Makroalga dapat mereduksi yang menyebabkan peningkatan suhu bumi sehingga baik untuk dibudidayakan. Karbohidrat yang terkandung pada

makroalga memiliki kandungan lebih tinggi daripada lemaknya. Menurut Jeong dan Park (2009), kandungan gula lebih mudah untuk dikonversi ke dalam bentuk biofuel dan kimia. Hal ini memungkinkan peluang untuk menjadikan makroalga sebagai bahan dari energi alternatif biofuel.

Kegiatan eksplorasi ini bisa memanfaatkan gas buangan untuk kultivasi makroalga yang potensial penghasil bioetanol. Sehingga didapat dua keuntungan yaitu mereduksi kandungan yang di atmosfer dan menghasilkan bahan baku yang bisa diproduksi menjadi bioetanol. Jeong dan Park (2009) menyatakan bahwa absorbsi oleh biomassa laut adalah sebesar 36,8 ton/ha


(2)

yang besarnya lima kali lebih banyak dari biomassa tumbuhan di darat. Menurut Aresta et al. (2005) biomassa yang dihasilkan dari fotosintesis tanaman akuatik lebih efisien dan tinggi dibandingkan dengan tanaman terestrial yaitu rata-rata sebesar 1,8-2,2%. Biomassa yang dihasilkan dari fotosintesis tanaman akuatik rata-rata sebesar 8%.

Penelitian ini melihat laju pertumbuhan biomassa dari Gelidiumlatifolium pada sistem yang diinjeksikan dengan kadar yang berbeda-beda. Selain melihat laju pertumbuhan Gelidium latifolium, dilakukan perhitungan jumlah yang digunakan dalam proses kultivasi sehingga bisa diketahui jumlah gas

tersebut dalam proses kultivasi serta kandungan karbohidrat sebelum dan sesudah kultivasi.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menguji kadar karbohidrat Gelidiumlatifolium sebelum dan sesudah kultivasi; 2. Menganalisis laju pertumbuhan biomassa Gelidiumlatifolium selama kultivasi

menggunakan sistem injeksi ;

3. Menganalisis penggunaan konsentrasi gas yang digunakan selama proses kultivasi pada perlakuan yang berbeda.


(3)

3

2.1 Makroalga

Makroalga merupakan ganggang yang tidak mempunyai batang, daun, dan akar sejati. Tubuhnya menyerupai batang yang disebut dengan thallus dan

hidupnya menempel pada substrat, seperti karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Anggadiredja et al., 2006). Bentuk thallus pada makroalga bermacam-macam antara lain ada yang berbentuk pipih, tabung, bulat, dan sebagainya. Pigmen yang terdapat pada thallus juga bermacam-macam sehingga dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas makroalga, yaitu

Chloropyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan Cyanophceae. Pigmen yang menentukan warna ini adalah klorofil, karoten, phycoerythin, dan phycocyanin merupakan pigmen utama di samping pigmen lainnya (Aslan, 1998).

Alga merah atau Rhodophyceae merupakan alga yang memiliki pigmen fikobilin yang terdiri dari phycoerythin (berwarna merah) serta phycocyanin (berwarna biru). Alga merah ini bersifat adaptasi kromatik yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus. Jenis ekonomis dari divisi ini adalah Gracilaria spp., Gelidium spp., Euchema spp., Hypnea spp., Gigartina spp., dan Rhodymena spp. Alga cokelat dengan nama lain Phaeopyceae

merupakan alga yang memiliki pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin dan fikosantin. Jenis ekonomis pada divisi ini adalah Sargassum spp.,

Hormophysa spp., dan Turbinaria spp. Alga hijau atau Chlorophyceae merupakan alga yang memiliki pigmen berupa klorofil a dan b, beta, gamma, karoten,dan santhofil. Alga ini pada umumnya berwarna hijau dan jenis yang


(4)

benilai ekonomis pada divisi ini adalah Ulva spp. dan Enteromorpha spp. (Aslan, 1998).

2.2 Klasifikasi dan Karakteristik Gelidiumlatifolium

Makroalga yang digunakan dalam penelitian adalah jenis Gelidium latifolium, tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Makroalga Gelidium latifolium Sumber: Dokumentasi pribadi

Dirujuk dari Hatta et al. (2001), taksonomi Gelidium latifolium adalah sebagai berikut:

Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gelidiales

Family : Gelidiaceae Genus : Gelidium


(5)

Menurut Aslan (1998) ciri-ciri Gelidium sp. adalah memiliki ukuran kecil, panjang ± 20 cm, dan lebar 1,5 mm. Batang utama tegak dengan percabangan biasanya menyirip. Thallus berwarna kemerahan, coklat, dan hijau kecoklatan. Organ reproduksinya berukuran mikroskopis.

Lebih dari seratus jenis makroalga telah dimasukkan dalam Genus Gelidium yang tersebar di seluruh dunia dan 11 jenis diantaranya terdistribusi di perairan Indonesia. Nama Gelidium berbeda-beda di setiap daerah misalnya kades dan intip kembang karang (Jawa Barat), bulung merak dan bulung ayam (Bali), serta sayur laut (Ambon). Gelidium sp. memiliki kandungan agar berkualitas baik dan potensial dijadikan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, dan makanan. Selain itu, diolah menjadi bioetanol dan bahan baku pulp atau kertas karena kualitas seratnya yang sangat baik. Kandungan agar-agarnya berkisar antara 12-48% tergantung jenisnya (Aslan, 1988).

2.3 Laju Pertumbuhan Makroalga

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme dapatberupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan makroalga sangatdipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktorinternal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thallus, dan umur. Faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dankimiawi perairan. Selain itu, faktor lainyang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan makroalga yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia (Syahputra, 2005).

Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus


(6)

laju pertumbuhan dan bibit thallus yang berasal dari bagian ujung akan

memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan makroalga yang dianggap cukup menguntungkan adalah di atas 3% pertambahan berat per hari. Makroalga merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat

lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga hasil yang diperoleh (Syahputra, 2005).

Soegiarto et al. (1978) menyatakan bahwa laju pertumbuhan makroalga berkisar antara 2-3% per hari. Percobaan yang dilakukannya menggunakan rak terapung pada tiga lapisan kedalaman berbeda menunjukkan bahwa posisi yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik daripada lapisan kedalaman di bawahnya karena cahaya matahari merupakan faktor penting untuk pertumbuhan makroalga. Pada kedalaman tidak terjangkau cahaya matahari, maka makroalga tidak dapat tumbuh. Demikian pula iklim, letak geografis dan faktor oseanografi menentukan pertumbuhannya. Pertumbuhan makroalga dikategorikan sebagai pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan

pertambahan berat dan panjang thallus, sedangkan pertumbuhan fisiologis dilihat berdasarkan aspek reproduksi dan kandungan koloidnya.


(7)

2.4 Metode Budidaya

Menurut Aslan (1998), secara umum di Indonesia budidaya makroalga dilakukan dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga metode tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Metode dasar (bottom method)

Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar merupakan metode pembudidayaan

makroalga dengan menggunakan bibit dengan berat tertentu. b. Metode lepas dasar (off-bottom method)

Metode ini dapat dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk menancapkan pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran 2,5x5 m² dengan lebar mata jaring 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut diikatkan pada simpul-simpulnya.

c. Metode apung (floating method/longline)

Metode ini cocok untuk perairan dengan dasar yang berkarang dan pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakit-rakit dari bambu dengan ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari


(8)

ketersediaan material, umumnya 2,5x5 m² untuk memudahkan pemeliharaan.

Aslan (1998) menyatakan pemanenan makroalga dilakukan bila telah mencapai bobot empat kali dari bobot awalnya yaitu dalam lama pemeliharaan sekitar 1,5-4 bulan. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan makroalga bisa dipanen dalam waktu tanam 6-8 minggu. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) pemanenan makroalga dapat dilakukan setelah 1-3 bulan.

2.5 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Makroalga

Beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dari makroalga diantaranya sebagai berikut:

2.4.1 Temperatur

Temperatur merupakan faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena temperatur memengaruhi aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 2008). Toleransi temperatur dianggap sebagai faktor penting dalam menjelaskan biogeografi makroalga. Kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan makroalga tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, temperatur perairan yang baik untuk budidaya makroalga adalah 20-28 °C dengan fluktuasi harian maksimum 4 °C (Puslitbangkan, 1991). Temperatur merupakan faktor sekunder bagi kehidupan makroalga dan fluktuasi yang tinggi akan menghindarkan proses water mixing pertumbuhan dan reproduksi.


(9)

Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai temperatur kisaran spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Di daerah tropis makroalga masih dapat tumbuh pada kisaran temperatur 20-30 ⁰C dan hidup optimal pada 28 ⁰C.

2.4.2 Salinitas

Makroalga tumbuh dengan baik pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan makroalga menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya makroalga adalah salinitas pada kisaran 28-34 ppt (Zatnika dan Angkasa, 1994). Menurut Dawes (1981) kisaran salinitas yang baik untuk budidaya makroalga berkisar 30-35 ppt. Soegiarto et al. (1978) pun menuturkan bahwa salinitas yang cocok untuk budidaya makroalga adalah 32-35 ppt.

2.4.3 Nutrien

Unsur hara atau nutrien berperan untuk pertumbuhan, terdiri dari mikro nutrien dan makro nutrien. Mikro nutrien merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit sedangkan makro nutrien merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang banyak. Unsur Nitrogen dan Fosfor merupakan makro nutrien yang menjadi pembatas pertumbuhan dan perkembangan

makroalga. Nitrogen diserap dalam bentuk Nitrat dan unsut Fosfor diserap dalam bentuk Fosfat (Nybakken, 1988).

Menurut Indriani dan Sumiarsih (1999) penyerapan unsur hara oleh makroalga dilakukan oleh seluruh bagian thallus. Akan tetepi harus waspada terhadap unsur-unsur berbahaya seperti Pb dan Hg karena dapat diserap oleh makroalga yang dapat membahayakan bila dikonsumsi oleh manusia.


(10)

2.4.4 Derajat keasaman (pH)

Makroalga cenderung membutuhkan pH yang basa untuk

pertumbuhannya. Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam maupun basa maka akan menghambat pertumbuhan makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga adalah 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2.

2.4.5 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan karena proses difusi dan fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Oksigen terlarut penting dalam mempengaruhi kesetimbangan kimia air laut dan

mempengaruhi kehidupan organisme laut. Baku mutu DO untuk makroalga adalah lebih dari 5 mg/L (Soegiarto et al., 1978).

2.4.6 Kecerahan dan Cahaya

Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang tinggi bagi makroalga untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Hutabarat dan Evans, 2008).

Cahaya yang mencapai permukaan bumi dan perairan terdiri atas cahaya langsung yang berasal dari matahari dan cahaya yang disebarkan oleh awan. Pigmen klorofil menyerap cahaya biru dan merah, karoten menyerap cahaya biru


(11)

dan hijau, fikoeretin menyerap cahaya hijau, dan fikosianin menyerap cahaya kuning (Cole, 1988).

2.4.7 Hama dan Penyakit

Penyakit yang menyerang makroalga dapat menyebabkan penurunan kualitas baik secara anatomi maupun struktur bagian dalam thallus makroalga, gejala ini dapat dilihat dengan adanya perubahan warna dan bentuk sehingga laju pertumbuhan makroalga menurun. Ciri-ciri makroalga yang terkena penyakit ais-ais ditandai dengan timbulnya bintik-bintik pada bagian thallus yang dapat

mengakibatkanthallus menjadi patah apabila dibiarkan dalam waktu relatif lama. Penyebabtimbulnya penyakit ini adalah karena adanya mikroba yang menyerang makroalga yang lemah. Penyakit ais-ais biasanya menyerang 11 makroalga jenis Eucheuma spp. Gejala yang dapat dilihat adalah perubahanwarna menjadi pucat dan pada beberapa thallus menjadi putih danakhirnya membusuk (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004).

Penyakit white spot merupakan penyakit yang menyerang makroalga jenis Laminaria japonica di Cina. Penyakit ini menimbulkan gejalaterjadinya

perubahan warna thallus dari coklat kekuningan menjadi putihkemudian menyebar keseluruh thallus dan bagian makroalga membusuk danrontok (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004).

2.5 Siklus Karbondioksida

Pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi) oleh

kendaraan bermotor dan kegiatan industri meningkatkan kadar di atmosfer. Karbondioksida merupakan salah satu gas yang memiliki efek rumah kaca (green


(12)

house effect) yaitu gas yang menyerap panas yang dilepaskan oleh cahaya matahari. Oleh karena itu, peningkatan kadar berkorelasi positif dengan peningkatan temperatur bumi yang biasa disebut dengan pemanasan global (Effendi, 2003).

Meskipun persentasi di atmosfer relatif kecil tetapi keberadaannya di perairan relatif tinggi karena memiliki kelarutan yang tinggi (Jeffries dan Mills,1996). Karbondioksida yang terdapat di atmosfer larut ke dalam badan air akan menghasilkan asam karbonat (Cole et al., 1988).

Cole et al. (1988) juga mengemukakan bahwa keberadaan di perairan terdapat dalam bentuk gas karbondioksida bebas ( ), ion bikarbonat ( ), ion karbonat ( ), dan asam karbonat ( ). Proporsi dari keempat bentuk karbon tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan antara dengan pH (Willoughby, 1978)

Karbondioksida yang terlarut di dalam air membentuk beberapa kesetimbangan yang secara terperinci ditunjukkan dalam persamaan kesetimbangan karbondioksida (Mackereth et al., 1989):


(13)

(gas) (aq) ………... (1)

+ O ……… (2)

+ ……… (3)

H + ……… (4)

+ ……… (5)

O + ……… (6) Kelarutan dalam air dipengaruhi oleh temperatur. Proses fotosintesis di perairan dapat memanfaatkan ataupun ion bikarbonat sebagai sumber karbon (Jeffries dan Mills,1996). Namun tumbuhan akuatik misalnya alga lebih menyukai sebagai sumber karbonnya dibandingkan ion bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat digunakan sebagai sumber karbon tetapi di dalam kloroplas bikarbonat harus dikonversi terlebih dahulu menjadi

dengan bantuan enzim karbonik anhidrase (Boney, 1989).

2.6 Kegunaan Makroalga

Makroalga dimanfaatkan secara luas baik dalam raw material maupun dalam bentuk hasil olahan. Di Indonesia makroalga digunakan sebagai lalapan, obat, manisan, dan sayuran. Sedangkan di Jepang digunakan sebagai sayuran, minuman teh, dan campuran pada nasi. Selain itu, pemanfaatan makroalga adalah sebagai pupuk, makanan ternak, dan sumber energi (Atmadja et al., 1996).

Salah satu hasil olahan makroalga yang paling potensial dan bernilai ekonomi adalah polisakarida. Polisakarida yang sangat komersil dari alga yaitu agar, karaginan, dan alginat. Agar merupakan senyawa polisakarida yang


(14)

memiliki sifat-sifat koloid sehingga banyak dimanfaatkan untuk formulasi

berbagai produk. Polisakarida agar dapat diperoleh dari berbagai jenis alga merah diantaranya Gracilaria sp. dan Gelidium sp. (Rachmaniar, 1996b).

Menurut John (2010) beberapa spesies alga dengan kandungan pati yang tinggi dapat dijadikan etanol. Perusahaan penerbangan dan minyak telah mulai menginvestasikan modalnya untuk mengembangkan biofuel dari alga misalnya US Air Force dan Federal Aviation Administration.

2.7 Karbohidrat

Karbohidrat adalah biomolekul yang sangat melimpah di bumi. Fotosintesis mengonversi lebih dari 100 miliar metrik dan O menjadi selulosa dan produk tanaman lainnya. Karbohidrat (gula dan pati) adalah makanan pokok di sebagian besar dunia. Polimer karbohidrat tidak berfungsi sebagai struktural serta pelindung elemen dalam dinding sel bakteri, tanaman, dan dalam jaringan ikat hewan. Ada tiga kelas ukuran utama karbohidrat, yaitu monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Kata "sakarida" berasal dari bahasa Yunani sakaron, yang berarti "gula" (Nelson dan Cox, 2004).

Monosakarida atau gula sederhana, terdiri dari aldehida polihidroksi tunggal atau keton unit. Monosakarida yang paling melimpah di alam adalah gula enam-karbon D-glukosa, kadang-kadang disebut sebagai dekstrosa. Monosakarida dengan rantai lebih dari empat karbon cenderung memiliki struktur siklik.

Oligosakarida terdiri dari rantai pendek monosakarida atau residu bergabung dengan karakteristik hubungan yang disebut ikatan glikosidik. Secara umum monosakarida dan disakarida memiliki nama berakhir dengan akhiran "-ose"


(15)

(Nelson dan Cox, 2004). Polisakarida adalah gula yang mengandung polimer lebih dari 20 unit dan beberapa memiliki ratusan atau ribuan unit. Beberapa polisakarida seperti selulosa adalah rantai linear sedangkan glikogen adalah rantai bercabang. Keduanya terdiri dari unit berulang D-glukosa, tetapi berbeda dalam jenis glikosidik dan akibatnya memiliki sifat yang sangat berbeda dan peran biologis (Nelson dan Cox, 2004).

2.8 Produksi Bioetanol dan Hidrolisis

Proses produksi blue-etanol dari makroalga dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian. Hidrolisis dilakukan menggunakan asam kuat dengan pemanasan 100 ⁰C selama 3 jam atau

menggunakan enzim selulase. Tujuannya adalah untuk memisahkan polisakarida dari biomassa makroalga. Selanjutnya adalah fermentasi hasil hidrolisis

makroalga menjadi etanol menggunakan bantuan mikroorganisme.

Mikroorganisme yang biasa digunakan untuk fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae, Streptococcus cremoris, dan Lactobacillus pentoacetius pada kondisi anaerob, karena pada kondisi aerob akan menjadikan mikroorganisme

berkembang baik tetapi pembentukan etanolnya sedikit. Tahap terakhir adalah pemurnian etanol agar kandungan hasil fermentasi sesuai dengan yang diharapkan dan bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil (Iryani et al., 2009).

Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air ( O) menjadi kation hidrogen ( ) dan anion hidroksida ( ) melalui suatu proses kimia. Proses ini biasanya digunakan untuk memecah polimer tertentu, contohnya polimer organik yang memiliki rantai karbon. Ada tiga metode hidrolisis yang


(16)

biasa digunakan, yaitu hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolisis), dan hidrolisis enzim (enzyme hydrolysis). Hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dapat dilakukan

menggunakan tiga metode di atas. Beberapa penelitian melaporkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan daripada menggunakan asam yaitu mencegah terjadinya korosi, proses dapat berlangsung pada kondisi mild (pH 4,8 dan temperatur 500 °C) dan rendemen lebih tinggi (Duff dan Murray, 1996).

Menurut Speight (2002) hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidroksil atau oleh suatu senyawa. Gugus dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis asam, hidrolisis basa, dan hidrolisis enzim. Hidrolisis murni adalah hidrolisis yang menggunakan air saja sebagai penghidrolisis. Beberapa macam senyawa yang dapat dihidrolisis secara langsung dengan menggunakan air saja, antara lain halida asam dan asam anhidrid. Hidrolisis dengan asam ini mula-mula diamati oleh Kirchoff dengan mengamati hidrolisis pati dengan adanya asam-asam mineral dan terjadi suatu transformasi bahan pati menjadi glukosa. Jenis asam yang banyak digunakan antara lain asam klorida, asam sulfat, asam oksalat, dan asam benzena sulfonat. Asam berfungsi sebagai katalisator yaitu untuk

mempercepat terjadinya proses hidrolisis. Hidrolisis alkali adalah hidrolisis menggunakan larutan alkali encer seperti larutan asam. Larutan alkali encer hanya bersifat sebagai katalisator saja. Larutan alkali pekat yang diberikan dalam jumlah cukup bertujuan untuk mengikat asam yang terbentuk. Hidrolisis enzim adalah hidrolisis dengan menggunakan zat enzim yang dihasilkan oleh


(17)

mikroorganisme. Contoh hidrolisis enzim yaitu proses hidrolisis reaksi pembuatan alkohol. Pada reaksi hidrolisis ini air akan menyerang komponen karbohidrat atau hemiselulosa sehingga pecah menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa, galaktosa, dan mannose.

Reaksinya : ( )n + n O  n

Hidrolisis polisakarida menjadi glukosa berlangsung sangat lambat, sehingga dalam reaksinya membutuhkan katalisator untuk mempercepat

terjadinya proses hidrolisis. Katalisator yang biasa digunakan adalah asam atau enzim. Asam yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah asam-asam organik, tapi yang paling banyak digunakan adalah asam sulfat atau asam klorida (Speight, 2002).


(18)

18 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Waktu pemeliharaan Gelidium latifolium berlangsung dari bulan Juni sampai Juli 2012. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan media kultivasi dan bibit makroalga, kultivasi menggunakan injeksi , pengukuran kualitas air, pengamatan

pertumbuhan makroalga, dan uji kadar karbohidrat sebelum serta setelah kultivasi. Rangkaian penelitian dilakukan di Laboratorium Mikroalga, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sampel Gelidium latifolium diperoleh dari perairan Ujung Kulon, Banten.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam uji kadar karbohidrat Gelidiumlatifolium pada kultivasi menggunakan injeksi tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat-alat uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium

No. Nama Alat Keterangan

1. Alat hidrolisis Temperatur 300°C 2. Neraca analitik Kapasitas 2.000 gram

3. Labu didih 500 mL

4. Labu takar 500 mL

5. Kertas saring 6. Corong

7. Pipiet volumetrik 10 mL dan 25 mL

8. Gelas ukur 100 mL

9. Labu erlemeyer 500 mL


(19)

Alat yang digunakan dalam penelitian laju pertumbuhan biomassa

Gelidiumlatifolium pada kultivasi menggunakan injeksi tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Alat-alat penelitian laju pertumbuhan Gelidium latifolium

No. Nama Alat Spesifikasi Keterangan

1. Akuarium kaca Dimensi 20x20x30 , tebal kaca 5 mm

15 buah

2. Styrofoam Dimensi 19x19x1,5 Penutup akuarium

3. Selang aerasi Diameter 5 mm Warna bening

4. Tali nilon Panjang 25 cm 30 buah

5. Karet kaca 30 buah

6. Pompa aerator Resun LP-60 air pump

7. Batu aerasi 15 buah

8. Mixing chamber Diameter 20 cm, tinggi 38 cm Bentuk tabung 9. Tabung Regulator Morris 101-25 FL

10. Kompresor Viva air compressor E25 2248 US Model SP-204

11. Flow meter Dwayer RMA-12-SSV Satuan cc/menit

12. Batu aerasi 9 buah

13. Neraca digital ACIS-AD-2100H Kapasitas 2.000 gr 14. Refraktometer ATAGO S/Mill-E Salinitas 0-100‰

15. pH meter HANNA instrument

16. Termometer Satuan ⁰C

17. Gelas ukur Volume 250 mL 3 buah

18. Gelas erlemeyer Volume 1000 mL 1 buah

19. Sirink Volume 3 mL 1 buah

20. Orsat Apparatus Pelarut KOH

21. Kantong Dimensi 20x28 cm 6 buah

22. Alat pemotong Gunting dan cutter 23. Penggaris Panjang 30 cm


(20)

Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian tersaji pada Gambar 3.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 3. Alat penelitian; (a) Akuarium (b) Mixing chamber (c) Tabung (d) Neraca (e) Flow meter (f) Orsat Apparatus (g) Refraktometer (h) pH meter (i) Kantong


(21)

Bahan yang digunakan dalam uji kadar karbohidrat Gelidiumlatifolium sebelum dan setelah kultivasi tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Bahan-bahan uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium

No. Nama Bahan Keterangan

1. Gelidium latifolium kering 5 gram

2. HCL 3% 200 mL

3. Indikator PP 3 tetes

4. Aquades 5. NaOH 30%

6. Luff school 25 mL

7. Larutan KI 20% 10 mL

8. Larutan 25% 25 mL

9. Larutan Na-tiosulfat 0.1 N

10. Indikator kanji 0,5% 5 tetes

Bahan yang digunakan dalam penelitian laju pertumbuhan biomassa Gelidiumlatifolium pada kultivasi menggunakan injeksi tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Bahan-bahan penelitian laju pertumbuhan Gelidium latifolium

No. Nama Bahan Spesifikasi Keterangan

1. Gelidium latifolium ± 3 gram 30 ikat 2. Air laut 8 liter /akuarium 15 akuarium

3. 0,1262 gram Penentu normalitas NaOH

4. Nutrien TSP, ZA,Urea 15 ppm, 30 ppm, 30 ppm

5. Murni dan campuran 4 bar

6. NaOH 0,8 gram 0,02 N


(22)

Beberapa bahan yang digunakan dalam penelitian tersaji pada Gambar 4.

(a) (b) (c)

Gambar 4. Bahan penelitian; (a) Gelidium latifolium (b) NaOH dan PP (c) Nutrien

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan persiapan media kultivasi dan bibit makroalga. Tahapan kedua adalah pemeliharaan makroalga dalam akuarium kultivasi serta diberikan perlakuan injeksi dengan jumlah yang berbeda-beda. Tahapan ketiga adalah analisis konsentrasi terlarut dan sisa dari sampel air media kultivasi serta kualitas air, yaitu temperatur, salinitas, dan derajat derajat keasaman. Tahapan keempat adalah mengukur laju pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium diukur dari data pertumbuhan bobot. Tahapan terakhir adalah pengujian kadar karbohidrat biomassa sebelum dan sesudah kultivasi.

3.3.1 Persiapan media kultivasi dan bibit

Akuarium yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 15 buah dengan ukuran 20x20x30 . Akuarium terbuat dari bahan kaca dan memiliki ketebalan 5 mm. Volume air laut yang digunakan di setiap akuarium adalah sebanyak 8 liter. Pertama-tama akuarium disterilkan dengan alkohol 70% kemudian


(23)

dikeringkan. Setelah kering, akuarium diisi air laut yang telah disaring

menggunakan plankton net untuk mengurangi organisme mikroskopik masuk. Air diaerasi menggunakan pompa aerator yang disambungkan menggunakan selang aerasi. Selain itu, untuk mengatur besar gelembung udara dalam air digunakan batu aerasi pada ujung selang. Akuarium yang berjumlah 15 buah dibagi menjadi lima untuk setiap perlakuan dan setiap perlakuan terdapat tiga ulangan. Media akuarium diletakan di ruangan yang temperaturnya distabilkan , yaitu pada ruangan AC dengan temperatur 23 ⁰C.

Setelah media kultivasi disiapkan, selanjutnya menyiapkan bibit

makroalga Gelidium latifolium. Bibit tidak langsung diberikan perlakuan namun diaklimatisasi terlebih dahulu selama 1-3 hari. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian sampel sebelum diberikan perlakuan tertentu. Hal ini bertujuan agar sampel tidak stress dan bisa hidup di lingkungan ex-situ dengan baik. Sampel Gelidium latifolium dicuci untuk menghilangkan substrat lumpur dan parasir. Selain itu, alga asosiasi yang menempel dibersihkan agar tidak menghambat pertumbuhan sampel.

Sebelum dilakukan perlakuan injeksi dengan jumlah yang berbeda-beda pada makroalga, hal yang paling penting adalah pemilihan bibit yang akan dikultivasi. Bibit makroalga harus muda, bersih, dan segar supaya memberikan pertumbuhan yang optimum. Bibit yang baik berasal dari induk yang sehat, segar, dan bebas dari jenis lain (Indriani dan Sumiarsih, 1999). Bibit yang telah dipilih kemudian ditimbang untuk menyeragamkan bobotnya dengar bobot rata-rata. Setelah ditimbang, bibit diikat dengan tali dan ditambahkan pemberat agar tidak melayang-layang saat berada di air. Setiap akuarium diisi dengan dua ikat


(24)

makroalga masing-masing 3 gram, sehingga dibutuhkan 30 ikat makroalga. Media dan bibit makroalga Gelidium latifolium pada saat kultivasi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Akuarium dan bibit Gelidium latifolium

3.3.2 Kultivasi dengan injeksi

Kultivasi Gelidium latifolium dilakukan selama 6 minggu di lingkungan yang terkontrol yaitu pada akuarium berisi air laut yang diganti selama 2 minggu sekali. Penggantian air bertujuan untuk menjaga kualitas air karena akuarium tidak menggunakan sistem resirkulasi atau filter. Pertumbuhan makroalga memerlukan nutrien sehingga dilakukan pemberian nutrien selama kultivasi sebanyak 3 kali dalam 2 minggu. Setiap akuarium mendapatkan jumlah nutrien yang sama. Nutrien yang diberikan adalah TSP, urea dan ZA. Tabel 5.

menunjukkan banyaknya nutrien yang digunakan selama kultivasi Gelidium latifolium.


(25)

Tabel 5. Konsentrasi dan massa nutrien untuk kultivasi Gelidium latifolium

Selain nutrien, makroalga juga membutuhkan cahaya untuk

berfotosintesis. Cahaya membantu makroalga menguraikan O menjadi dan dalam reaksi fotolisis yang terjadi di dalam grana. Ion ditangkap oleh

untuk menghasilkan biomassa tubuh makroalga berupa pertumbuhan thallus. Karbondioksida digunakan sebagai bahan pokok dalam penelitian ini, dengan melihat pengaruh penambahan karbondioksida atau injeksi dengan volume yang berbeda-beda terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 1 kontrol serta 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Adapun kelima perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus.

2. Perlakuan P1 dengan injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi.

3. Perlakuan P2 dengan injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi.

4. Perlakuan P3 dengan injeksi sebanyak2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

5. Perlakuan P4 dengan injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

No. Jenis Pupuk Konsentrasi Massa

1. TSP 15 ppm 0,12 gr

2. ZA 30 ppm 0,24 gr


(26)

Injeksi sebagai sumber karbon berasal dari murni dan gas kompresor dengan tekanan masing-masing sebesar 2 bar. Kedua sumber gas tersebut digabungkan pada sebuah tabung pencampur yaitu mixing chamber. Keluaran dari mixing chamber sebesar 2x100 cc/menit yang dialirkan ke dalam akuarium menggunakan selang aerasi berdiameter 5 mm. Akuarium ditutup dengan menggunakan styrofoam untuk mencegah terjadinya difusi gas yang tidak dikehendaki. Pengukuran sisa dilakukan pada perlakuan P3 dan P4. Karbondioksida pada kedua perlakuan tersebut ditampung menggunakan kantong yang dipasang bersamaan saat awal injeksi dan diukur

menjelang sore hari. Proses injeksi ke dalam akuarium kultivasi tersaji pada Gambar 6.


(27)

3.3.3 Analisis kandungan

Nilai konsentrasi yang diinjeksikan dapat diketahui dengan melihat flowmeter saat perlakuan yaitu sebesar 2x100 cc/menit. Karbondioksida yang bercampur dengan air akan bereaksi dan menjadi terlarut. Metode

pengukuran penentuan terlarut yang digunakan adalah metode titrasi dengan NaOH atau . Metode pengukuran terlarut tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7. Metode pengukuran terlarut

Keadaan asam akan ditunjukkan apabila air sampel tidak mengalami perubahan warna saat ditetesi indikator PP. Titrasi dilakukan sampai warna air sampel berubah menjadi merah muda selama 30 detik.

NaOH 0,8 gram

Dilarutkan dengan 1 Liter aquades

Standarisasi oleh larutan

Didapat normalitas NaOH (0,02 N)

Indikator pp 4 tetes Sampel air 25 mL


(28)

Perhitungan konsentrasi terlarut menggunakan rumus (Boyd, 1982) : ………. (7)

Keterangan :

= konsentrasi terlarut (mg/L) mL titran = volume NaOH (mL) N titran = normalitas NaOH (0,02 N)

Jumlah yang tersisa pada perlakuan P3 dan P4 dapat diketahui mengacu pada jumlah gas yang tertampung pada kantong , yang kemudian diukur menggunakan Orsat Apparatus. Gambar 8. menunjukkan bagian-bagian dari alat Orsat Apparatus yang berfungsi untuk mengukur sisa

Gambar 8. Bagian-bagian Orsat Apparatus

Orsat Apparatus memiliki tiga tabung dengan masing-masing fungsi berbeda. Perbedaan fungsi disebabkan oleh jenis larutan yang terdapat di

dalammnya. Tabung I berisi larutan Cu , tabung II berisi larutan asam kalium pirogalik, dan tabung III berisi larutan KOH.


(29)

Cara penggunaan:

1. Set ketiga tabung I, II, III pada ketinggian tertentu dengan membuka kran A, B, C dan mengatur tinggi larutan pada tabung I, II, III dengan

menaik-turunkan gelas B, kemudian tutup kran A, B, C setelah didapat tinggi yang diinginkan. Posisi ini ditetapkan sebagai titik acuan.

2. Naikan air yang ada pada tabung C sampai ketinggian air mencapai 50 mL dengan cara membukakan keran H.

3. Ambil gas buangan ( ) dari saluran gas buangan untuk diukur, salurkan melalui selang yang dimasukan ke dalam pipa H.

4. Buka kran H sehingga gas buangan akan masuk dan mengakibatkan tinggi air yang ada di tabung ukur C akan berkurang.

5. Setelah tinggi air pada tabung ukur turun sebanyak 50 mL (mencapai angka 0) tutup kran H dan artinya sudah memasukan volume gas sebanyak 50 mL.

6. Untuk mengukur kandungan buka kran C supaya gas buangan bereaksi dengan larutan pada tabung III, yaitu KOH dengan menaik-turunkan gelas B sebanyak 5 - 7 kali.

7. Setelah 5 - 7 kali, kembalikan posisi larutan III ke posisi acuan pada set awal dan tutup kran C setelah didapatkan posisi yang diinginkan.

8. Baca kenaikan permukaan air pada tabung ukur C. Kenaikan permukaan merupakan volume yang ada pada 50 mL gas buangan yang kita ukur.


(30)

3.3.4 Pengukuran parameter kualitas air

Pengukuran parameter kualitas air dilakukan setiap 3 hari sekali bersamaan dengan pemberian . Parameter yang diukur adalah temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (pH). Temperatur diukur menggunakan

termometer Celcius. Salinitas diukur menggunakan refraktometer dengan satuan permil (‰). Derajat derajat keasaman (pH) diukur menggunakan pH meter digital. Pengukuran kualitas air biasanya dilakukan setelah jam tiga sore dengan

memperhitungkan aktivitas fotosistesis yang dilakukan oleh makroalga.

3.3.5 Pengukuran laju pertumbuhan biomassa

Pengukuran laju pertumbuhan biomassa harian makroalga yang dikultivasi dihitung berdasarkan rumus (Dawes et al., 1993) :

………… (8) Laju pertumbuhan relatif dihitung dengan rumus :

……….….. (9) Keterangan :

DGR = laju pertumbuhan harian makroalga (%) per hari RGR = laju pertumbuhan relatif makroalga (%)

= bobot akhir makroalga pada saat t hari (gram) = bobot awal makroalga pada saat penanaman (gram) ∆t = periode kultivasi makroalga (hari)


(31)

3.4 Uji Kadar Karbohidrat

Uji kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan proses hidrolisis asam. Berikut adalah tahapan proses uji kadar pati Gelidium latifolium dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Proses uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium Gelidium latifolium kering 5 gram

Hidrolisis dengan HCL 3% selama 3 jam

Biarkan sampai dingin

Penetralan dengan (NaOH 4N) sampai berwarna merah muda

Didihkan 10 menit (endapan merah bata) Penambahan indikator PP

Menambahkan kanji 2% (biru tua) Setelah dingin + KI 30% 10 mL dan

25% 25 mL

Titrasi menggunakan Na-tiosulfat 0,1 N Pengenceran sampai 500 mL

Menyaring sampai 10 mL + Luff schrool 25 mL + aquades 15 mL


(32)

Uji karbohidrat di atas adalah metode yang resmi ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-2891-1992 yaitu analisis total karbohidrat dengan menggunakan metode Luff Schrool.

3.5 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan model Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan dan enam kelompok. Data dianalisis secara statistik menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%. ANOVA adalah teknik analisis statistik yang dapat memberikan jawaban atas ada tidaknya skor pada masing-masing kelompok, dengan suatu resiko kesalahan sekecil mungkin (Irianto, 2004). Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) persamaan Rancangan Acak Kelompok adalah sebagai berikut :

μ + + + ………. (10) Keterangan:

= perlakuan injeksi (ke-i) dan kelompok minggu (ke-j) μ = nilai tengah umum

= pengaruh akibat perlakuan injeksi (ke-i) = pengaruh kelompok minggu (ke-j)

= kesalahan perlakuan percobaan pada perlakuan jenis bahan organik (ke-i) dan ulangan (ke-j)

Untuk melihat pengaruh perbedaan perlakuan terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium , dilakukan analisis ragam dengan uji F. Setelah didapatkan hasil beda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk membandingkan semua pasangan perlakuan yang ada (Boer, 2008). Uji Duncan didasarkan pada


(33)

sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar tergantung pada jarak pada pangkat-pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan. Selain itu,

dilakukan uji regresi agar bida mengetahui pola pertumbuhan pada hari tertentu dengan variabel x sebagai periode kultivasi dan variabel y sebagai besar laju pertumbuhan biomassa harian Gelidium latifolium.


(34)

34 4.1 Bobot Basah Gelidium latifolium

Penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot basah rata-rata setiap ulangan pada kultivasi Gelidium latifolium dari perlakuan yang berbeda memiliki hasil beragam. Pertambahan bobot basah paling tinggi ditunjukkan oleh kultivasi P2 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, sedangkan yang paling rendah adalah kultivasi P4 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi (Lampiran 1). Pertambahan bobot basah rata-rata memengaruhi bobot basah pada akhir periode kultivasi. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Bobot basah rata-rata dan simpangan baku pada akhir kultivasi Gelidium latifolium

Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.


(35)

Bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, K sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram (Lampiran 2). Makroalga memerlukan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis. Fotosintesis yang berlangsung tidak hanya dibantu dengan sinar matahari, tetapi juga zat hara sebagai makanan. Zat hara didapatkan dari nutrien terlarut yang diberikan, yaitu TSP, ZA, dan urea. Penyerapan zat hara dilakukan oleh seluruh bagian tubuh dibantu oleh sirkulasi yang baik yaitu gerakan air. Sistem sirkulasi perlakuan K, P1, dan P2 menjadikan pertumbuhan Gelidium latifolium lebih baik daripada P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indriani dan Sumiarsih (1991) bahwa gerakan air berfungsi untuk memudahkan penyerapan zat hara, membersihkan kotoran yang ada, dan melangsungkan pertukaran dan dalam air.

Injeksi ditambah aerasi lebih efektif meningkatkan pertambahan bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Besar kecepatan yang diinjeksikan seragam sebesar 200 cc/menit didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Barat (2011) dengan menggunakan kecepatan 500 cc/menit. Kecepatan yang digunakan pada penelitian ini diturunkan dari kecepatan

penelitian sebelumnya, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga derajat keasaman dari media air laut, karena volume air yang digunakan lebih sedikit.

Aerasi menimbulkan gelembung-gelembung udara di dalam air dan menyebabkan pergerakan serta sistem sirkulasi di dalamnya. Penggunaan batu aerasi membantu memecah gelembung udara agar difusi di dalam air berlangsung lebih cepat dan terserap sempurna oleh makroalga. Lama injeksi pun


(36)

sebanyak 200 cc/menit selama 15 menit (P2) hari lebih efektif daripada injeksi sebanyak 200 cc/menit selama 10 menit (P1). Namun terjadi sebaliknya pada perlakuan yang tidak diaerasi, injeksi sebanyak 200 cc/menit selama 10 menit (P3) lebih efektif daripada injeksi sebanyak 200 cc/menit selama 15 menit (P4). Perlakuan K sebagai kontrol hanya mendapatkan aerasi saja, sehingga pertambahan bobotnya lebih lambat daripada perlakuan yang ditambahkan injeksi

(P1, P2 dan P3). Hal ini tidak berlaku untuk P4 karena mengalami

penurunan selisih bobot basah rata-rata pada awal kultivasi. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata dan simpangan baku Gelidium latifolium

Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.


(37)

Perlakuan P4 yakni injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan bobot basah rata-rata pada minggu ke-2 pemeliharaan, namun di minggu selanjutnya pertambahan bobot meningkat kembali. Secara keseluruhan selisih pertumbuhan bobot basah rata-rata menunjukkan peningkatan di awal pemeliharaan, setelah beberapa minggu pemeliharaan mengalami penurunan. Perlakuan P3 yaitu injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan yang signifikan di akhir pemeliharaan yaitu setelah minggu ke-4. Hal ini berbeda dengan perlakuan P4 yang mengalami penurunan sejak minggu ke-2. Penurunan ini diakibatkan oleh pelunakan bagian thallus sehingga mengurangi bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Bagian thallus yang melunak dipotong agar tidak memengaruhi pertumbuhan bagian yang lainnya.

Selisih tertinggi terjadi pada kultivasi P2 di minggu ke-4 sebesar

0,2383±0,11gram, sedangkan selisih pertumbuhan negatif terjadi pada kultivasi P4 di minggu ke-2 sebesar -0,0933±0,37 gram dan kultivasi P3 di minggu ke-6 sebesar 0,0017±0,08 gram (Lampiran 3).

4.2 Laju Pertumbuhan Gelidium latifolium

Laju pertumbuhan Gelidium latifolium untuk setiap perlakuan bervariasi baik laju pertumbuhan hariannya maupun laju pertumbuhan relatifnya, ekuivalen dengan pertambahan bobot rata-ratanya. Kultivasi berlangsung selama 42 hari dan pengukuran laju pertumbuhan dilakukan setiap satu minggu sekali.

Pemeliharaan makroalga selama 42 pada penelitian ini didasarkan pada kisaran waktu yang dibutuhkan untuk kultivasi makroalga antara 6-8 minggu Indriani dan


(38)

Sumiarsih (1999) dan pemanenan dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum Mukti (1987).

Besarnya nilai laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian berkisar antara 0,02-1,06%. Perbedaan laju pertumbuhan harian ini disebabkan oleh perbedaan respon makroalga terhadap perlakuan yang diberikan. Pemberian karbondioksida atau injeksi pada jumlah yang berbeda

memberikan pengaruh yang berbeda pada lingkungan hidupnya. Berikut adalah grafik laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama kultivasi 42 hari pada perlakuan yang berbeda hari tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Laju pertumbuhan harian dan simpangan baku Gelidium latifolium Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.


(39)

Laju pertumbuhan harian perlakuan P4 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi sangat fluktuatif , dilihat pada minggu ke-2 terjadi penurunan dari 0,54±0,15% menjadi 0,02±0,85%, namun pada minggu ke-3 mengalami kenaikan menjadi 0,12±0,58% (Lampiran 4). Bila melihat perlakuan P4, besarnya injeksi sebanyak 3.000 cc menyebabkan lingkungan menjadi lebih asam sehingga nilai pH menurun. Penurunan pH juga terjadi pada P3 dengan besarnya injeksi sebanyak 2.000 cc, namun tidak sebesar penurunan pH pada P4. Hal ini berbeda dengan P1 dan P2, penurunan pH dapat dinormalkan kembali oleh proses aerasi yang memicu terjadinya resirkulasi (Lampiran 10). Laju pertumbuhan harian selama kultivasi 42 hari dapat

diregresikan untuk mengetahui pertumbuhan pada hari-hari selanjutnya. Berikut adalah persamaaan regresi laju pertumbuhan harian control dan perlakuan yang berbeda Gelidium latifolium.

Tabel 6. Persamaan regresi linear laju pertumbuhan harian Gelidium latifoloum

Kontrol x = 0.463 - 0.000659 t

Perlakuan 1 x = 0.913 - 0.00401 t Perlakuan 2 x = 1.02 - 0.00486 t Perlakuan 3 x = 0.698 - 0.00404 t Perlakuan 4 x = 0.322 - 0.00502 t

Nilai x adalah besarnya laju pertumbuhan sedangkan t adalah lamanya waktu kultivasi. Persamaan regresi kontrol dan beberapa perlakuan menunjukan nilai yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Kondisi laju pertumbuhan harian pada akhir pertumbuhan setiap perlakuan


(40)

juga mengalami penurunan karena pada minggu tersebut pertumbuhan telah mengalami fase stasioner (Lampiran 4). Laju pertumbuhan harian menunjukkan persentase perbandingan antara bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman per satuan waktu.

Selain faktor derajat keasaman, salinitas pun memengaruhi laju

pertumbuhan Gelidium latifolium. Nilai salinitas tidak hanya berpengaruh pada pertumbuhan makroalga, tapi juga memicu organisme lain untuk tumbuh baik pada lingkungan tersebut. Salah satunya adalah fungi Rhizopus sp. yang

menempel pada thallusGelidium latifolium. Fungi ini menyebabkan penurunan laju pertumbuhan harian kulivasi P4 pada minggu ke-2 dan P3 pada minggu ke-6. Organisme mikro lainnya seperti mikroalga, tumbuh pada akuarium sehingga tampak seperti warna hijau di dinding-dinding akuarim.

Metode kultivasi monoline floating efektif untuk pemeliharaan Gelidium latifolium selama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan (1998) bahwa tingkat pertumbuhan makroalga dengan metode apung adalah sekitar 2,00-3,00%, metode lepas dasar sekitar 1,66-1,75%, dan metode dasar sekitar 0,30-0,53%. Menurut Soegiarto et al. (1978) kisaran laju pertumbuhan makroalga yang baik adalah antara 2-3%. Kultivasi pada setiap perlakuan dalam penelitian belum termasuk pada kategori baik karena laju pertumbuhannya kurang dari 2% sampai akhir pemeliharaannya.

Selain laju pertumbuhan harian, Gelidium latifolium juga memiliki pertumbuhan relatif. Berikut adalah diagram laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium selama 42 hari pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 13.


(41)

Gambar 13. Laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Besar laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium di akhir kultivasi pada setiap perlakuan yang berbeda dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah P2 sebesar 32,66%, P1 sebesar 29,43%, P3 sebesar 19,82%, K sebesar 16,64%, dan P4 sebesar 7,91% (Lampiran 5). Laju pertumbuhan relatif

menunjukkan hubungan presentase bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman.

Hasil analisis secara statistik dengan selang kepercayaan 95%,

menghasilkan bahwa perlakuan K yaitu kontrol memiliki nilai variasi ragam b. Perlakuan P1 yaitu injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi, P2 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, serta P3 yaitu injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium


(42)

latifolium, ketiganya masing-masing memiliki variasi ragam d, e, dan c.

Perlakuan P4 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi memiliki nilai variasi ragam a (Lampiran 8).

Nilai variasi ragam c sampai e merupakam jarak peringkat antara satu nilai rata-rata dengan rata-rata lainnya setelah diurutkan. Nilai variasi ragam e

memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling tinggi, sedangkan nilai variasi ragam a memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling rendah. Perlakuan K sebagai kontrol berada pada peringkat b artinya perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih tinggi dari perlakuan kontrol sedangkan perlakuan P4 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih rendah.

Selain pengujian berdasarkan perlakuan, dilakukan juga analisis statistik berdasarkan waktu kultivasi makroalga. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh lamanya hari tidak berbeda nyata terhadap laju perlumbuhan Gelidium latifolium sehingga tidak diperlukan uji lanjut untuk melihat variasi nilai ragamnya.

4.3 Pemanfaatan Karbondioksida pada Kultivasi Gelidium latifolium Karbondioksida diinjeksikan ke dalam air laut sebagai media kultivasi makroalga dengan aliran yang sama namun lamanya berbeda. Perlakuan P1, P2, P3, dan P4 diinjeksi dengan kecepatan 200 cc/menit dengan lama 10-15 menit. Berikut diagram nilai besarnya input yang diberikan pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 14.


(43)

Gambar 14. Input pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan :

K = tidak mendapatkan injeksi

P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Karbondioksida ( ) merupakan molekul gas yang bisa larut dalam air laut. Karbondioksida berikatan dengan air membentuk senyawa anorganik yaitu asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Semakin banyak yang masuk ke dalam air, jumlah asam pun meningkat. Penelitian yang

dilakukan merupakan salah satu aplikasi dari pemanfaatan karbondioksida terlarut yakni memanfaatkan yang berasal dari injeksi untuk pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium. Penelitian ini didukung oleh teori Aresta (2010) bahwa pemanfaatan gas karbondioksida dapat dijadikan sebagai teknologi

renewable yakni pengonversian karbon menjadi biomassa tumbuhan akuatik atau terestrial.

Injeksi pada perlakuan P1 dan P3 ataupun P2 dan P4 dilakukan dengan kecepatan yang sama namun hasil kelarutanya berbeda. Hal ini


(44)

disebabkan oleh pemberian aerasi pada perlakuan P1 dan P2, sedangkan P3 dan P4 tidak dilakukan pemberian aerasi. Perbedaan perlakuan ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh jumlah gas yang diinjeksi terhadap kualitas air dan respon pertumbuhan Gelidium latifolium.

Aerator memberikan masukan gelembung-gelembung udara pada air laut sehingga terjadi sirkulasi dan pergerakan air pada akuarium. Sirkulasi dan pergerakan air memengaruhi jumlah kelarutan gas yang diinjeksikan ke dalam air laut. Diagram berikut menunjukkan bahwa terlarut harian pada setiap perlakuan nilainya berfluktuasi.

Gambar 15. Jumlah terlarut harian pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan:

K = tidak bisa diukur menggunakan titrasi NaOH karena keadaan basa. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Nilai terlarut harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari 33 yaitu 37,25 mg/L, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P1 hari


(45)

ke-42 yaitu 19,95 mg/L. Semakin lama waktu injeksi semakin tinggi nilai kelarutannya. Hal ini disebabkan oleh input yang berdifusi dengan air laut lebih banyak. Karbondiksida pada kontrol tidak dapat diukur menggunakan titrasi NaOH karena jumlah karbondioksida sangat sedikit dan terserap sempurna oleh thallusGelidium latifolium. Selain itu, karbondioksida berubah menjadi bentuk lain yaitu ion bikarbonat ( ). Nilai kelarutan memiliki fase naik dan turun setelah 3 kali injeksi dilakukan. Faktor penggantian air laut pada akuarium yang dilakukan setelah 3 kali injeksi menyebabkan kualitas air menjadi fluktuatif. Berikut adalah persentasi perbandingan total terlarut setiap perlakuan, tersaji pada Gambar 16.

Gambar 16. Jumlah total terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan :

K = tidak mendapatkan injeksi

P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.


(46)

Nilai tertinggi total terlarut dalam air laut adalah pada perlakuan P4 yaitu injeksi selama 15 menit tanpa aerasi dan paling rendah adalah pada perlakuan P1 yaitu injeksi selama 10 menit dan aerasi. Nilainya total terlarut secara berurutan setiap perlakuan dari yang tertinggi sampai terendah adalah P4 441,76 mg/L, P3 391,01 mg/L, P2 360,21 mg/L, dan P1 283,65 mg/L (Lampiran 6).

Menurut Effendi (2003) salah satu faktor yang memengaruhi kelarutan adalah tekanan parsial. Tekanan parsial akan berkurang akibat adanya kegiatan fotosintesis dan pemanasan. Kemampuan fotosintesis individu makroalga yang berbeda-beda serta pemanasan pada siang hari menjadi penyebab variasi nilai pada setiap perlakuan.

Pengukuran kelarutan dilakukan pada sore hari karena pada waktu tersebut cahaya mulai redup. Fotosintesis memerlukan cahaya matahari untuk mengeksitasi elektron yang terdapat pada klorofil sehingga keadaan elektron dalam klorofil menjadi tidak stabil dan mendesak molekul air terpecah menjadi

dan . Ion berperan dalam pembentukan menjadi glukosa melewati reaksi terang. Oleh karena itu, pada saat cahaya mulai meredup efektivitas fotosintesis menurun sehingga dilakukan pengukuran sisa.

Kelarutan yang terjadi pada P1, P2, P3, dan P4 telah melebihi batas normal perairan, oleh karena itu sisa yang tidak dapat larut dalam air mengalami difusi dan tertampung pada kantong plastik yang telah diinstalasikan pada akuarium P3 dan P4.


(47)

Karbondioksida sisa merupakan gas sisa yang terbebaskan dari air laut dan tertampung pada penampung plastik . Penampung plastik yang digunakan untuk menangkap dilengkapi dengan keran agar gas yang masuk tidak berdifusi dengan gas dari luar. Konsentrasi gas diukur menggunakan Orsat Apparatus. Pengukuran sisa ini dilakukan hanya pada P3 dan P4 yakni perlakuan injeksi tanpa aerasi. Persentasi jumlah sisa dapat diukur karena tidak terjadi pertukaran dengan gas lainnya yang berada di luar akuarium. Penampungan gas dilakukan setelah selesai injeksi yaitu pukul 10.00, kemudian pengukuran dilakukan pada sore hari bersamaan dengan pengukuran kualitas air. Jumlah sisa harian setiap pemberian injeksi berfluktuasi, namun perlakuan P4 selalu mendominasi P3. Berikut adalah nilai sisa harian yang terukur oleh Orsat Apparatus tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Sisa hasil pengukuran Orsat Apparatus Keterangan :

K, P1, dan P2 tidak diukur karena mendapat masukan gas dari luar. P3 = injeksi 2000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.


(48)

Nilai sisa harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari ke-42 yaitu 12,27%, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P3 hari ke-13 yaitu 9,53%. Rata-rata sisa tersisa dari perlakuan P3 sebesar 10,16% dan P4 sebesar 11,73%. Volume air laut sebanyak 8 liter dan injeksi sebanyak 2x100 cc/menit memengaruhi kesetimbangan karbondioksida dalam air laut. Hal ini sesuai dengan Teori Boyd (1988) yang mengategorikan kelarutan di perairan bahwa pada temperatur 25-27 °C berkisar antara 0,45-0,48 mg/L. Besarnya nilai temperatur berkebalikan dengan nilai kelarutan karbondioksida.

4.4 Kualitas Air

Penelitian ini melakukan pengukuran beberapa kualitas air, yaitu temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (pH). Nilai temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 18.

Gambar 18. Parameter temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium

Selama 6 minggu pemeliharaan, temperatur air bervariasi antara 25-27 ⁰C. Perubahan temperatur disebabkan oleh redup terangnya penyinaran matahari.


(49)

Pada hari yang sama nilai temperatur pun sama, karena penempatan posisi akuarium berada di posisi yang terpapar cahaya matahari, namun besarnya tidak fluktuatif karena temperatur ruangan terkontrol oleh AC. Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai kisaran temperatur spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Makroalga dapat tumbuh di daerah tropis pada kisaran temperatur 20-30 ⁰C dan hidup optimal pada temperatur 28 ⁰C. Gelidium latifolium tidak dapat tumbuh dengan baik jika rentang temperaturnya luas. Tunas thallus mengalami pemberhentian pertumbuhan dikarenakan perubahan temperatur yang fluktuatif. Temperatur juga memengaruhi kelembaban udara di sekitar lingkungan tempat kultivasi. Kelembaban yang tinggi juga tidak begitu bagus untuk pertumbuhan Gelidium latifolium saat kultivasi.

Parameter kualitas air yang diukur selanjutnya adalah salinitas. Nilai salinitas semua perlakuan besarnya sama di setiap pengukuran. Nilai salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 19.


(50)

Salinitas yang dianjurkan untuk makroalga adalah salinitas pada kisaran 28-34 ppt (Zatnika dan Angkasa, 1994). Menurut Dawes (1981) kisaran salinitas yang baik untuk budidaya makroalga berkisar 30-35 ppt. Soegiarto et al. (1978) pun berpendapat bahwa salinitas yang cocok untuk budidaya makroalga adalah 32-35 ppt. Salinitas air pada penelitian yang dilakukan berkisar antara 32-34‰. Nilai ini masih berada dalam kisaran salinitas yang dianjurkan. Nilai salinitas tersebut relatif tinggi disebabkan oleh tingkat penguapan air dalam akuarium yang cukup tinggi, sehingga dilakukan penambahan air tawar. Penguapan ditandai adanya butiran garam pada dinding akuarium. Menurut Aslan (1998) Gelidium yang hidup di perairan Indonesia adalah jenis yang yang menyukai salinitas tinggi yaitu 33‰.

Parameter kualitas air yang diukur adalah derajat keasaman (pH). Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam ataupun terlalu basa maka akan menghambat pertumbuhan

makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga yaitu antara 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2. Nilai derajat keasaman air laut pada setiap perlakuan bervariasi mulai dari yang terendah yaitu 6,3 sampai tertinggi 8,8. Nilai derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 20.


(51)

Gambar 20. Parameter derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium

Perlakuan berpengaruh terhadap nilai pH, semakin lama injeksi

semakin asam air laut. Selain itu, faktor aerasi pun memberikan pengaruh pada perubahan derajat keasaman. Aerasi bisa mengembalikan derajat keasaman air karena adanya penambahan udara dari luar akuarium terutama oksigen yang bisa menurunkan kandungan asam di dalam air. Menurut Mackereth et al. (1989), derajat keasaman sangat berkaitan erat dengan , semakin tinggi kadar maka semakin tinggi derajat keasamannya dan hal ini juga berlaku sebaliknya semakin rendah maka semakin rendah derajat keasamannya. Pada kondisi asam, jumlah dalam air tinggi disebabkan adanya reaksi dan air menghasilkan asam karbonat sedangkan pada konsidi basa bentuk berubah menjadi ion bikarbonat ataupun karbonat. Selama kultivasi kontrol memiliki pH tertinggi 8,77 dan terendah 8,30. Perlakuan P1 memiliki pH tertinggi 7,50 dan terendah 7,33. Perlakuan P2 memiliki pH tertinggi 7,30 dan terendah 7,07. Perlakuan P3 memiliki pH tertinggi 7,13 dan terendah 6,63. Perlakuan P4 memiliki pH tertinggi 6,63 dan terendah 6,20.


(52)

4.5 Isolasi Fungi Penghambat Pertumbuhan

Faktor biologi yang memengaruhi penurunan pertumbuhan Gelidium latifolium adalah fungi. Fungi menempel pada thallus menyebabkan bagian thallus menjadi lunak dan berlendir. Berikut ini adalah gambar makroalga yang terserang oleh fungi pada saat kultivasi (Gambar 21).

Gambar 21. Makroalga yang terserang fungi

Fungi pada thallus diisolasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar) berbahan dasar kentang untuk mengetahui jenis fungi yang menghambat pertumbuhan. Fungi disimpan pada media tersebut selama satu minggu di dry cabinet sampai terlihat jelas koloni dan hifanya. Berikut adalah gambar fungi hasil isolasi dari Gelidium latifolium (Gambar 22).

(a) (b)

Gambar 22. Rhizopus sp.; (a) Pengamatan K.Nishimura dan (b) Hasil isolasi pada media PDA

Sumber: K. Nishimura 1999 Sumber: Dokumentasi pribadi Rhizopus sp.


(53)

Fungi di atas adalah kapang Rhizopus sp. yang biasa digunakan dalam pembuatan kecap. Kapang tersebut memiliki kemampuan untuk hidup pada salinitas tinggi sehingga bisa hidup pada tubuh makroalga yang hidup di laut. Warna putih (Gambar 21) disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada pada thallus. Pada proses isolasi banyak ditemukan beberapa jenis fungi, tetapi yang lebih dominan adalah Rhizopus sp.

Klasifikasi Rhizopus menurut Germain et al. (2006), yaitu Kingdom : Fungi

Divisio : Zygomycota Class : Zygomycetes

Ordo : Mucorales

Familia : Mucoraceae Genus : Rhizopus

Koloni Rhizopus sp. berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu serta sporangia globus atau sub globus berwarna coklat gelap sampai hitam bila telah masak. Sporangiofor tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, tumbuh berlawanan dan terletak pada posisi yang sama dengan sporangiofora, Bentuk spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder.

Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp. tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6 dan membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air fungi lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Hal ini selaras dengan hasil pengamatan yang dilakukan, Rhizopus sp. tumbuh pada thallus makroalga perlakuan P4. Pada perlakuan P4 kualitas airnya lebih asam dibandingkan perlakuan lainnya akibat lama injeksi dan tidak ditambahkannya aerasi.

Thallus yang terserang fungi mengalami pembusukan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini disebabkan oleh aktivitas fungi yang tumbuh pada


(54)

thallus. Thallus mengalami perubahan fisik terutama tekstur yang semakin lunak karena terjadi degradasi kadar selulosa (Hidayat et al., 2006).

4.6 Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium

Berbagai jenis Gelidium di Indonesia dan negara lain dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik agar-agar. Kandungan agarnya berkisar antara 12-48%

tergantung jenisnya, sedangkan kandungan agarnya di Indonesia (Sulawesi) mencapai 30% (Aslan, 1998). Menurut Rasyid et al. (1999) Gelidium sp. memiliki kandungan agar 26,5%. Hasil uji kadar karbohidrat yang dilakukan dalam penelitian berkisar antara 16,40-20,40%.

Kadar karbohidrat yang diuji adalah jenis monosakarida yaitu glukosa dan dihasilkan dari hidrolisis pati (amilum). Penentuan kadar karbohidrat kuantitatif dilakukan melaui metode Luff Schrool dengan prinsip dasarnya adalah hidrolisis karbohidrat dalam Gelidium latifolium kering menjadi monosakarida yang dapat mereduksi menjadi (SNI 01-2891-1992).

Tahapan reaksi yang terjadi adalah :

R-COH + CuO  Cu + R-COOH

+ CuO  Cu + O

Cu + 2KI  Cu +

2Cu  +

+  NaI

Uji kadar karbohidrat dilakukan sebelum dan sesudah kultivasi. Kadar karbohidrat sebelum kultivasi nilainya sebesar 18,23%, sedangkan setelah kultivasi bervariasi sesuai perlakuannya. Kadar karbohidrat kontrol nilainya


(55)

sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%. Besar kelima nilai kadar karbohidrat setelah kultivasi

tersebut tidak terlalu berbeda dengan nilai kadar karbohidrat sebelum kultivasi. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Kadar karbohidrat Gelidium latifoliumsebelum dan sesudah kultivasi

Kadar karbohidrat pada perlakuan P3 dan P4 merupakan kadar paling kecil dibandingkan yang lainnya. Nilai ini terjadi diperkirakan karena pada P3 dan P4 tumbuh fungi yang memfermentasi sakarida dari bagian thallus makroalga. Menurut Sudarmaji dan Markakis (1977), selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air setelah 24 jam fermentasi, kadar air akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64%. Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi adalah berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam.

Kadar karbohidrat sebelum kultivasi lebih rendah dari K, P1, dan P2, setelah kultivasi dikarenakan sampel yang uji sebelum kultivasi adalah bibit yang memiliki karakteristik thallus lebih muda daripada sampel yang telah dikultivasi. Setelah dikultivasi Gelidium latifolium telah mengalami proses metabolisme dan

Waktu Uji Perlakuan Kadar Karbohidrat

Sebelum kultivasi - 18.23%

Sesudah kultivasi K 19.40%

P1 20.40%

P2 19.40%

P3 16.87%


(56)

katabolisme sehingga biomassa thallus lebih banyak mengandung karbohidrat hasil pemanfaatan energi cahaya melalui fotosintesis menjadi biomassa.

Pengaruh penambahan injeksi pada kultivasi terhadap jumlah C (karbon) organik adalah kaitannya dengan biomassa thallus yang dihasilkan. Karbondioksida merupakan sumber karbon anorganik yang dikonversi ke dalam karbon organik berupa karbohidrat. Apabila bahan baku karbon tersedia di

lingkungan secara mudah makan kegiatan fotosintesis yang memanfaatkan karbon anorganik akan berjalan dengan mudah, namun harus didukung dengan


(57)

57

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum kultivasi adalah 18,23%, sedangkan setelah kultivasi untuk masing-masing perlakuan, yaitu P1 sebesar 19,40%, P2 sebesar 20,40%, P3 sebesar 19,40%, P4 sebesar 16,87%, dan P5 sebesar 16,40%. Laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian ini berkisar antara 0,02-1,06%. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan ditemukan pada P3 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan yang terendah ditemukan pada P5 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Pemberian

berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium. Nilai kelarutan dan sisanya dipengaruhi oleh faktor aerasi dan konsentrasi injeksi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan diperhatikan aklimatisasi dan sterilisasi untuk mencegah timbulnya faktor biologis yang memengaruhi kultivasi Gelidium latifolium. Selain itu, sebaiknya dilakukan penelitian pemberian injeksi karbondioksida serta komposisi nutriennya sebagai bahan pembentukan biomassa Gelidium latifolium.


(58)

MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI

DEA FAUZIA LESTARI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(59)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR

KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI

MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, 21 November 2012

DEA FAUZIA LESTARI C54080013


(60)

Gelidium latifolium on �� Injection of Cultivation System. Supervised by MUJIZAT KAWAROE and ADRIANI SUNUDDIN.

Macro algae is a potential feedstock for bioethanol energy development. The species of macro algae are very diverse in nature so that need to explore and research about biological characteristic, such as biomass growth rate. This research analyzed the levels of carbohydrate yield and measure the biomass growth rate of Gelidium latifolium on carbon dioxide (CO2) injection as source of photosynthesis

The research was conducted at Laboratory of Microbiology, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) of Bogor Agricultural University, Baranangsiang, on February until July 2012. Macro algae Gelidium latifolium is taken from Ujung Kulon, Banten. Experimental design used is Randomized Block Design (RBD) and Duncan Test with some treatments, namely control, P1

injection of 2.000 cc (200 cc x 10 minutes per 3 days) and aeration, P2 injection of 3.000 cc (200 cc x 15 minutes per 3 days) and aeration, P3 injection of 2.000 cc (200 cc x 10 minutes per 3 days) without aeration, and P4 injection of 3.000 cc (200 cc x 15 minutes per 3 days) without aeration. Initial weight of the Gelidium latifolium cultivation samples are similar, 3 grams and time of cultivation is 42 days.

The results showed that the highest average wet weight at the end of cultivation is P2 (4.16 ± 0.14 gram), P1 (4.03 ± 0.12 gram), P3 (0.23 ± 3.66 gram), control (3.54 ± 0.06 gram), and P4 (40.23 ± 3.26 gram). The daily growth rate value of Gelidium latifolium during study ranged from 0.02 to 1.06%. The highest daily growth rate of all treatments occurred in P2 is 1.06 ± 0.14% at 4th week, while the lowest daily growth rate of all treatments occurred in P4 is 0.02 ± 0.85% in the 2nd week . The weight of P4 treatment macro algae decreased

drastically in the 2nd week caused by fungi that grow around the thallus. The different treatments make significant effect on the growth rate of Gelidium latifolium, so need a test to determine effect of treatments to growth rate at 95% confidence interval. Carbohydrate yield before cultivation is 18.23%, while after cultivation for control carbohydrate yield is 19.40%, P1 is 20.40%, P2 is 19.40%, P3 is 16.87%, and P4 is 16.40% .


(61)

RINGKASAN

DEA FAUZIA LESTARI. Laju Pertumbuhan Biomassa dan Uji Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium pada Kultivasi Menggunakan Sistem Injeksi

. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI SUNUDDIN. Makroalga merupakan bahan baku potensial untuk mengembangkan energi bioetanol. Jenis makroalga sangat beragam di alam sehingga perlu dilakukan eksplorasi dan penelitian untuk mengetahui karakteristik biologi dasar, seperti laju pertumbuhan biomassa. Penelitian yang dilakukan adalah pengujian kadar

karbohidrat dan pengukuran laju pertumbuhan Gelidium latifolium pada kultivasi menggunakan injeksi karbondioksida ( ) sebagai bahan fotosintesis dan reduksi karbon di atmosfer.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikroalga Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) kampus Institut Pertanian Bogor, Baranang Siang, Bogor pada bulan Februari sampai dengan Juli 2012. Makroalga yang digunakan adalah Gelidium latifolium yang diambil dari perairan Ujung Kulon, Banten.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan Uji Lanjut Duncan dengan beberapa perlakuan, yaitu kontrol, P1 injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi, P2 injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, P3 injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi, dan P4 injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. Bobot awal dari sampel Gelidium latifolium yang dikultivasi diseragamkan yaitu seberat 3 gram dan waktu kultivasi selama 42 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, kontrol sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram Besarnya nilai laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian berkisar antara 0,02-1,06%. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Besarnya nilai bobot makroalga perlakuan P4 mengalami penurunan drastis pada miggu ke-2 yang disebabkan oleh fungi yang tumbuh di sekitar thallus. Pemberian

berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium, sehingga dilakukan uji lanjut untuk menentukan perlakuan berbeda nyata terhadap laju pertumbuhannya pada selang kepercayaan 95%. Besar kadar karbohidrat sebelum kultivasi adalah 18,23%, setelah kultivasi kadar karbohidrat kontrol sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%.


(62)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(63)

LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR

KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI

MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI

DEA FAUZIA LESTARI

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(64)

SKRIPSI

Judul Penelitian : LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI Nama Mahasiswa : Dea Fauzia Lestari

NIM : C54080013

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, .

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. NIP. 19651213 199403 2 002

Dosen Pembimbing II

Adriani Sunuddin, S.Pi. M.Si. NIP. 19790206 200604 2 013

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. NIP. 19640801 198903 1 001 Tanggal Sidang : 21 November 2012


(1)

69

26 25 25 25 25 25

29 26 26 26 26 26

33 26 26 26 26 26

36 26 26 26 26 26

39 26 26 26 26 26

42 26 26 26 26 26

Salinitas (‰)

Hari ke- P1 P2 P3 P4 P5

0 32 32 32 32 32

3 32 32 32 32 32

6 33 33 33 33 33

9 34 34 34 34 34

13 32 32 32 32 32

16 33 33 33 33 33

19 33 33 33 33 33

23 32 32 32 32 32

26 33 33 33 33 33

29 34.5 34.5 34.5 34.5 34.5

33 32 32 32 32 32

36 32 32 32 32 32

39 33 33 33 33 33

42 34 34 34 34 34

Keasaman (pH)

Hari ke- P1 P2 P3 P4 P5

0 8.2 8.2 8.2 8.2 8.2

3 8.3 7.5 7.3 7.1 6.6

6 8.5 7.4 7.2 7.0 6.5

9 8.6 7.4 7.2 6.8 6.3

13 8.3 7.5 7.3 7.1 6.6 16 8.5 7.5 7.3 7.0 6.5 19 8.7 7.4 7.2 6.7 6.3 23 8.3 7.5 7.3 7.1 6.6 26 8.5 7.4 7.2 7.0 6.5 29 8.7 7.4 7.4 6.7 6.3 33 8.3 7.3 7.3 7.1 6.6 36 8.5 7.5 7.3 7.0 6.5 39 8.7 7.4 7.2 6.7 6.3 42 8.8 7.4 7.2 6.6 6.2


(2)

70

Lampiran 11. Foto-foto selama penelitian

(a) Sampel Gelidium latifolium (b) Aklimatisasi sampel

(c) Pengukuran dimensi sampel (d) Alga parasit pada saat kultivasi

(e) Media PDA (f) Jarum ose (g) Spirtus


(3)

71

(j) Gelidium latifolium kering (k) Sampel untuk hidrolisis

(l)Hidrolisis asam HCL (m) Penambahan (n) Penambahan kanji Luff Schrool


(4)

72

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Desember 1990 dari ayah bernama Sukendar dan ibu bernama Rustika. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas dari SMAN 1 Sumedang dan pada tahun yang sama masuk di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.

Semasa menempuh kegiatan akademik di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Anggota Racana Pramuka IPB 2008-2012, Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK 2009-2010, Anggota IAAS IPB 2009-2010, dan Anggota Himpunan Mahasiswa ITK 2009-2012. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Iktiologi 2010-2012, Biologi Laut 2010-2012, Ekologi Laut Tropis 2012-2013, dan Biologi Tumbuhan Laut 2012-2013.

Penulis pernah menjadi Mahasiwa Berprestasi Departemen ITK pada tahun 2010, 10 besar Lomba Menulis Energi Terbarukan ESDM, perwakilan Latihan Gabungan Nasional Pramuka se-Indonesia pada tahun 2010 di Universitas Sriwijaya, Sumatera Utara dan tahun 2011 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Selain itu, penulis pernah mengikuti kegiatan Sailing Practice 2010 di Kepulauan Spermonde serta menjadi pembicara pada kegiatan Konservasi dan Survei Lapangan Himiteka di Kecamatan Parigi, Ciamis.


(5)

SUMMARY

DEA FAUZIA LESTARI. Biomass Growth Rate and Carbohydrate Yield of

Gelidium latifolium on �� Injection of Cultivation System. Supervised by MUJIZAT KAWAROE and ADRIANI SUNUDDIN.

Macro algae is a potential feedstock for bioethanol energy development. The species of macro algae are very diverse in nature so that need to explore and research about biological characteristic, such as biomass growth rate. This research analyzed the levels of carbohydrate yield and measure the biomass growth rate of Gelidium latifolium on carbon dioxide (CO2) injection as source of photosynthesis

The research was conducted at Laboratory of Microbiology, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) of Bogor Agricultural University, Baranangsiang, on February until July 2012. Macro algae Gelidium latifolium is taken from Ujung Kulon, Banten. Experimental design used is Randomized Block Design (RBD) and Duncan Test with some treatments, namely control, P1

injection of 2.000 cc (200 cc x 10 minutes per 3 days) and aeration, P2 injection of 3.000 cc (200 cc x 15 minutes per 3 days) and aeration, P3 injection of 2.000 cc (200 cc x 10 minutes per 3 days) without aeration, and P4 injection of 3.000 cc (200 cc x 15 minutes per 3 days) without aeration. Initial weight of the Gelidium latifolium cultivation samples are similar, 3 grams and time of cultivation is 42 days.

The results showed that the highest average wet weight at the end of cultivation is P2 (4.16 ± 0.14 gram), P1 (4.03 ± 0.12 gram), P3 (0.23 ± 3.66 gram), control (3.54 ± 0.06 gram), and P4 (40.23 ± 3.26 gram). The daily growth rate value of Gelidium latifolium during study ranged from 0.02 to 1.06%. The highest daily growth rate of all treatments occurred in P2 is 1.06 ± 0.14% at 4th week, while the lowest daily growth rate of all treatments occurred in P4 is 0.02 ± 0.85% in the 2nd week . The weight of P4 treatment macro algae decreased

drastically in the 2nd week caused by fungi that grow around the thallus. The different treatments make significant effect on the growth rate of Gelidium latifolium, so need a test to determine effect of treatments to growth rate at 95% confidence interval. Carbohydrate yield before cultivation is 18.23%, while after cultivation for control carbohydrate yield is 19.40%, P1 is 20.40%, P2 is 19.40%, P3 is 16.87%, and P4 is 16.40% .


(6)

RINGKASAN

DEA FAUZIA LESTARI. Laju Pertumbuhan Biomassa dan Uji Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium pada Kultivasi Menggunakan Sistem Injeksi

. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI SUNUDDIN.

Makroalga merupakan bahan baku potensial untuk mengembangkan energi bioetanol. Jenis makroalga sangat beragam di alam sehingga perlu dilakukan eksplorasi dan penelitian untuk mengetahui karakteristik biologi dasar, seperti laju pertumbuhan biomassa. Penelitian yang dilakukan adalah pengujian kadar

karbohidrat dan pengukuran laju pertumbuhan Gelidium latifolium pada kultivasi menggunakan injeksi karbondioksida ( ) sebagai bahan fotosintesis dan reduksi karbon di atmosfer.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikroalga Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) kampus Institut Pertanian Bogor, Baranang Siang, Bogor pada bulan Februari sampai dengan Juli 2012. Makroalga yang digunakan adalah Gelidium latifolium yang diambil dari perairan Ujung Kulon, Banten.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan Uji Lanjut Duncan dengan beberapa perlakuan, yaitu kontrol, P1 injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi, P2 injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, P3 injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi, dan P4 injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. Bobot awal dari sampel Gelidium latifolium yang dikultivasi diseragamkan yaitu seberat 3 gram dan waktu kultivasi selama 42 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, kontrol sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram Besarnya nilai laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian berkisar antara 0,02-1,06%. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Besarnya nilai bobot makroalga perlakuan P4 mengalami penurunan drastis pada miggu ke-2 yang disebabkan oleh fungi yang tumbuh di sekitar thallus. Pemberian

berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium, sehingga dilakukan uji lanjut untuk menentukan perlakuan berbeda nyata terhadap laju pertumbuhannya pada selang kepercayaan 95%. Besar kadar karbohidrat sebelum kultivasi adalah 18,23%, setelah kultivasi kadar karbohidrat kontrol sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%.