Hidrolisis Enzimatik untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol dari Makroalga (Eucheum cottonii)
HIDROLISIS ENZIMATIK UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKSI BIOETANOL DARI MAKROALGA
(
Eucheuma cottonii
)
SKRIPSI
DODY ALEXANDER NABABAN
F34080103
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(2)
ENZYMATIC HYDROLYSIS TO INCREASE PRODUCTION
BIOETHANOL FROM MACROALGAE
Dwi Setyaningsih and Dody Alexander Nababan
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Dramaga,
PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.
Abstract
Bioethanol is ethanol produced from the fermentation of glucose and followed by distillation process. One of alternative to replace bioethanol feedstock is using seaweed (Eucheuma cottonii) as raw material substitution. The common process for producing bioethanol are acid and enzymatic hydrolysis, but in this research only focused on enzymatic hydrolysis. The enzymes that used were Cel 150 and xylanase, with additional of acid hydrolysis before the application of enzymatic hydrolysis. Incubation time and enzymes concentration in the hydrolysis step are crucial factor to improve reducing sugar value in increasing bioethanol yield from macroalgae. The treatment was done in each enzyme concentration of 1, 3, 5, 7.5 and 10% with incubation period of 1, 2 and 3 days, for getting the highest percentage of reducing sugar. The result obtained that average of the highest reducing sugar was done on concentration of 7.5% using Cel 150 in two days incubation time and 3% for xylanase within one day incubation period. The lowest average of total solid value for Cel 150 is done in concentration 5% on 3 days incubation time and at same precent of concentration for xylanase on 2 days incubation period. The increasing reducing sugar for Cel 150 and xylanase enzymes with the best concentration and incubation period is 57.69% and 5.37%. The best treatment of each enzyme fermented using Sacaromices cereviceae for four days to get ethanol. The results were 1.46% and 0.31% for cel 150 and xylanase. The result show that concentration and incubation period for enzymatic hydrolysis process have noticeable influence for total reducing sugars value.
(3)
Dody Alexander Nababan F34080103. Hidrolisis Enzimatik Untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol Dari Makroalga (Eucheuma Cottonii). Di bawah bimbingan Dr. Dwi Setyaningsih, STP, M.Si. 2013.
RINGKASAN
Dewasa ini masalah keterbatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dunia terjadi karena bahan baku yang berasal dari fosil sudah mulai habis. Semakin berkurangnya sumber bahan bakar minyak di Indonesia sedangkan laju penggunaannya semakin meningkat mengakibatkan pemerintah harus memangkas subsidi BBM. Selain pemangkasan subsidi BBM, pemerintah juga melakukan langkah-langkah penghematan energi dan mencari sumber-sumber energi baru untuk menggantikan minyak bumi. Upaya untuk mengurangi konsumsi BBM jenis bensin, dapat dilakukan dengan menambahkan 10% bioetanol atau sering disebut E-10. Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari bahan bergula, berpati dan berserat. Salah satu sumber hayati yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan bakar yaitu makroalga yang diproduksi menjadi bioetanol. Makroalga merupakan bahan hayati yang mudah dibudidayakan sehingga sangat berpotensi dikembangkan menjadi sumber energi terbarukan yaitu bioetanol. Bioetanol adalah sebuah bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan (biomassa) dengan cara fermentasi, dimana memiliki keunggulan mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %.
Polisakarida makroalga harus dikonversi menjadi monosakarida terfermentasi melalui proses hidrolisis baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologi. Tahap ini merupakan tahap terpenting dalam proses produksi bioetanol karena polisakarida makroalga berbeda dengan tanaman darat yang sudah dikenal. Polisakarida makroalga banyak mengandung gugus galaktosa tersulfat dengan ikatan beta. Oleh karena itu, dilakukan upaya proses yang lebih baik menggunakan enzim agar dapat menghidrolisis dengan baik.
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui jenis enzim dan waktu hidrolisis yang tepat untuk meningkatkan kadar gula pereduksi hidrolisat asam E. cottonii. Serta mengetahui kemampuan khamir dalam memanfaatkan gula pereduksi dalam hidrolisat asam dilanjutkan dengan hidrolisis enzim, untuk menghasilkan bioetanol. Pelaksanaan metode untuk menghasilkan bioetanol dari makroalga dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu persiapan bahan baku, perlakuan awal dengan asam dan basa, hidrolisis enzimatis, dan proses fermentasi. Hidrolisis enzim dilakukan dengan menggunakan enzim Cel 150 dan xilanase dengan perlakuan konsentrasi enzim dan lama inkubasi. Konsentrasi enzim yang digunakan yakni 1, 3, 5, 7.5, dan 10%, sedangkan lama inkubasi 1, 2 dan 3 hari.
Pada proses awal E. cottonii 15 gram ditambah aquades 25 ml kemudian di autoclave (121 oC, 45’). Hidrolisis asam dilakukan dengan penambahan H2SO4 2% ke dalam hidrolisat dan dinetralkan dengan NaOH 10%. Setelah itu hidrolisis asam dilanjutkan dengan hidrolisis enzim. Hidrolisat ditambahkan enzim (1, 3, 5, 7.5 dan 10 persen dari bobot substrat dilarutkan dalam 25 ml buffer sitrat) kemudian diinkubasi (1, 2 dan 3 hari, 50oC). Setelah itu dilakukan penyaringan terhadap hidrolisat untuk mendapatkan padatan dan filtrat. Dari padatan akan diuji total padatan dan dari filtrat akan diuji gula perduksi.
Hidrolisis enzimatis dengan menggunakan enzim Cel 150 menghasilkan rata-rata gula pereduksi tertinggi dengan perlakukan konsenrasi 7.5% pada lama inkubasi dua hari sebesar 12.30%. Sedangkan untuk enzim xilanase menghasilkan rata-rata gula pereduksi tertinggi dengan perlakuan konsentrasi 3% pada lama inkubasi satu hari sebesar 8.40%. Dari uji total padatan,
(4)
rata-rata total padatan terendah untuk Cel 150 sebesar 11.84% pada konsentrasi 5% dengan lama inkubasi tiga hari. Pada xilanase rata-rata total padatan terendah sebesar 19.04% pada konsentrasi 5% dengan lama inkubasi dua hari.
Hidrolisat dengan rata-rata gula pereduksi tertinggi dari setiap enzim difermentasi dengan menggunakan khamir Sacharomycese cerevisiae dimana terlebih dahulu dilakukan detoksifikasi. Hidrolisat difermentasi secara anaerob selama empat hari. Setelah empat hari dilakukan destilasi untuk mendapatkan etanol. Cel 150 didapatkan nilai rata-rata etanol sebesar 1.46 %v/v, sedangkan untuk xilanase sebesar 0.31 %v/v. Efisiensi fermentasi dan substrat untuk Cel 150 sebesar 45.41% dan 86.40% sedangkan untuk xilanase sebesar 10.70% dan 48.86%. Dari hasil yang didapat kadar etano tidak terlalu salah satunya diakibatkan adanya proses detoksifikasi yang dapat merusak gula yang terdapat pada hidrolisat. Hal ini terlihat dari hasil gula pereduksi pada saat hidrolisis yang lebih tinggi dibanding setelah dilakukan detoksifikasi. Dengan berkurangnya jumlah gula yang terkandung juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan S. cerevisiae. Selain itu konversi gula menjadi etanol juga akan mengalami penurunan karena jumlah gula yang sedikit. Pada prosesnya juga fermentasi diharapkan berlangsung pada kondisi anaerob. Kemungkinan pada saat fermentasi berlangsung, terdapat oksigen yang mengakibatkan fermentasi tidak berlangsung secara anaerob. Adanya oksigen tersebut dapat menyebabkan oksidasi etanol yang terbentuk menjadi asam asetat. Dilihat dari hasil yang didapat, hidrolisis enzim dapat meningkatkan gula pereduksi namun pada proses fermentasi belum didapatkan kadar etanol yang tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan adaptasi S. cereviseae terhadap jenis gula yang dihasilkan setelah proses hidrolisis enzim.
(5)
HIDROLISIS ENZIMATIK UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKSI BIOETANOL DARI MAKROALGA
(
Eucheuma cottonii
)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
DODY ALEXANDER NABABAN
F34080103
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(6)
Judul Skripsi : Hidrolisis Enzimatik untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol dari Makroalga (Eucheum cottonii)
Nama : DODY ALEXANDER NABABAN
NIM : F34080103
Menyetujui,
Pembimbing Akademik,
Dr. Dwi Setyaningsih, STP, M.Si NIP 19700103 199412 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
(7)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Hidrolisis Enzimatik untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol dari Makroalga (E. cottonii) ”adalah
hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 08 Maret 2013 Yang membuat pernyataan,
Dody Alexander Nababan F34080103
(8)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto kopi, mikrofilm, dan sebagainya.
(9)
BIODATA PENULIS
Dody Alexander Nababan lahir di Kotamadya Pematangsiantar, yang terletak di Medan, Sumatera Utara. Pada tanggal 8 Januari 1991 dari ayah Drs. Wesly Nababan M.Pd dan ibu Dra. Ratna Simatupang, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 1994 penulis mulai pendidikan di TK Kemala Bayangkari lulus tahun 1996. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di SD Katolik Cinta Rakyat 4 dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMP N 1 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Budi Mulia Pematangsiantar. Pada tahun 2008 diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama mengikuti perkuliahan di Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis berpartisipasi dalam organisasi dan kegiatan kampus IPB. Pada tahun 2009 penulis menjadi Bada Pengawas Himalogin. Dan tahun 2010-2011 penulis menjadi wakil ketua Organisasi Daerah (IKANMASS IPB) dan tahun 2011-2012 penulis menjadi ketua IKANMASS IPB. Selanjutnya tahun 2011 penulis melakukan praktek lapang di pabrik kelapa sawit Adolina PTPN IV. Pada tahun 2012 penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Hidrolisis Enzimatik untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol dari Makroalga (Eucheuma cottonii)” dibawah bimbingan Dr. Dwi Setyaningsih, STP, MSi.
(10)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang MahaEsa atas segala karunia dan kasihNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.Penelitian dengan judul Hidrolisis Enzimatik untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol dari Makroalga (E. cottonii) dilaksanakan di Laboratorium Surfactan and Bioenergy Research Center (SBRC), LPPM IPB Bogor, sejak bulan Mei sampai September 2012. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin berterima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas karunia kesehatan dan kemudahan yang diberikan dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi.
2. Dr. Dwi Setyaningsih, STP, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah sabar memberikan arahan serta bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi.
3. Kepada kedua dosen penguji saya ibu Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih, Msi dan bapak Dr. Prayoga Suryadarma, STP. MT atas kritik dan saran.
4. Keduaorangtua saya bapak Drs. Wesly Nababan MPd dan ibu Dra. Ratna Simatupang serta abang saya Enricho Saor Pandapothan Nababan dan kakak saya Irene Adryani Nababan atas segala doa dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan selama proses penelitian dan penulisan skripsi.
5. Syarif, Ainun, kak Wiwin, kak Neli, kak Indah, dan seluruh karyawan SBRC atas masukan dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
6. Teman-teman seperjuangan selama penelitian di SBRC (Misep, Devi, Raka, Inggit, Syibli, Teguh, Yuni, Berlian, Anma, Adit, Hari, dan Dea).
7. Teman-teman senasib sepenanggungan Niza, Dhani, Panji, Tori, Dolli, Rosyid, Yudha, Ida, Anton, Dinar, Wawan, Teguh, Amhy, Cupa dan seluruh anak TIN 45.
8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak serta turut mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang teknologi industri pertanian.
Bogor, 8 Maret 2013
Dody Alexander Nababan F34080103
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioetanol ... 3
B. Eucheuma cottonii ... 4
C. Karaginan ... 5
D. Hidrolisis Enzimatis ... 6
E. Ligoselulosa ... 10
F. Fermentasi ... 12
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan ... 14
B. Metode Penelitian ... 14
1. Persiapan bahan baku ... 14
2. Hidrolisis asam ... 14
3. Pemilihan jenis enzim hidrolase ... 14
4. Hidrolisis Enzim ... 15
5. Detoksifikasi ... 16
6. Fermentasi ... 17
7. Metode analisis ... 19
IV. HASIL dan PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan ... 22
A.1 Persiapan Bahan Baku ... 22
A.2 Karakterisasi Bahan Baku... 22
B. Penelitian Utama ... 24
B.1 Hidrolisis Asam ... 24
B.2 Hidrolisis Enzim ... 26
B.2.1 Enzim Ce l 150 ... 29
B.2.2 Enzim Xilanase ... 34
C. Fermentasi ... 38
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 41
B. Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Sifat Fisika Etanol ... 3
Tabel 2. Komposisi bahan organik E. cottonii ... 5
Tabel 3. Karakteristik beberapa enzim ... 15
Tabel 4. Komposisi kimia E. cottonii ... 22
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Mekanisme hidrolisa selulosa secara enzimatis... 7
Gambar 2. Skema tahapan hidrolisis selulosa secara enzimatis ... 8
Gambar 3. Struktur kimia xilan ... 9
Gambar 4. Mekanisme degradasi xilan oleh enzim hemiseluloase (enzim Xilanolitik) ... 10
Gambar 5. Pengelompokan enzim selulase berdasarkan spesifitas substrat ... 11
Gambar 6. Satuan Penyusun Lignin ... 12
Gambar 7. Proses detoksifikasi ... 16
Gambar 8. Proses fermentasi ... 17
Gambar 9. Tahapan proses penelitian ... 18
Gambar 10. Rata-rata total padatan kontrol ... 25
Gambar 11. Rata-rata gula pereduksi pada kontrol ... 25
Gambar 12.Total padatan menggunakan enzim Cel 150 ... 30
Gambar 13. a.Total gula pereduksi (%) Cel 150antara inkubasi0dan 1 hari b. Besar perubahan (%) total gula pereduksi ... 32
Gambar 14. a. Total gula pereduksi (%) Cel 150 inkubasi 0 dan 2 hari b. Besar perubahan (%) total gula pereduksi... 32
Gambar 15. a. Total gula pereduksi (%) Cel 150 inkubasi 0 dan 3 hari b.Besar perubahan (%) total gula pereduksi... 33
Gambar 16. Total padatan menggunakan enzim xilanase ... 34
Gambar 17. a. Total gula pereduksi (%) xilanase inkubasi 0 dan 1 hari b. Besar perubahan (%) total gula pereduksi ... 35
Gambar 18. a. Total gula pereduksi (%) xilanase inkubasi 0 dan 2 hari b. Besar perubahan (%) total gula pereduksi ... 36
Gambar 19. a. Total gula pereduksi (%) xilanase inkubasi 0 dan 3 hari b. Besar perubahan (%) total gula pereduksi ... 36
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data gula pereduksi hasil hidrolsis enzim Cel 150 ... 46
Lampiran 2. Data gula pereduksi hasil hidrolsis enzim Xilanase ... 50
Lampiran 3. Data gula pereduksi hidrolisat sebelum hidrolisis enzim Cel 150 ... 54
Lampiran 4. Data gula pereduksi hidrolisat sebelum hidrolisis enzim Xylanase ... 57
Lampiran 5. Data gula pereduksi pada kontrol ... 60
Lampiran 6. Data total padatan Cel 150 ... 61
Lampiran 7. Data total padatan Xylanase ... 64
Lampiran 8. Data total padatan kontrol ... 66
Lampiran 9. Data hasil fermentasi ... 68
(15)
I.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pemanasan global dan krisis bahan bakar menjadi masalah yang sangat serius dibicarakan. Emisi gas dari pembakaran bahan bakar fosil menjadi kontributor utama terhadap pemanasan global. Masalah pemanasan global dan krisis bahan bakar menjadi semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah kendaraan dan penduduk. Selain itu sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi selama ini semakin berkurang karena sebagian besar sumber utama energi tersebut berasal dari sumber daya yang tidak terbarukan. Semakin berkurangnya sumber bahan bakar minyak di Indonesia sedangkan laju penggunaannya semakin meningkat mengakibatkan pemerintah harus memangkas subsidi BBM. Selain pemangkasan subsidi BBM, pemerintah juga melakukan langkah-langkah penghematan energi dan mencari sumber-sumber energi baru untuk menggantikan minyak bumi. Sumber bahan baku potensial dari bahan–bahan yang mengandung polisakarida dalam memproduksi etanol menjadi salah satu obyek penelitian yang menarik untuk dikembangkan. Salah satunya adalah makroalga yang potensial sebagai sumber energi terbarukan yakni bioetanol karena kandungan polisakaridanya yang tinggi yaitu E. cottonii sp.
Polisakarida makroalga E. cottonii yang sebagian besar terdiri dari kappa karagenan harus dikonversi menjadi monosakarida terfermentasi melalui proses hidrolisis baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologi. Tahap ini merupakan tahap terpenting dalam proses produksi bioetanol karena polisakarida makroalga berbeda dengan tanaman darat yang sudah dikenal. Polisakarida makroalga banyak mengandung gugus galaktosa tersulfat dengan ikatan beta yang sulit dirusak oleh enzim selulase dari tanaman darat. Namun demikian, belum tersedianya enzim karagenase komersial menyebabkan hidrolisis enzim pada penelitian masih menggunakan selulase.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup baik, namun masih diperlukan penelitian lanjut untuk meningkatkan gula pereduksi untuk meningkatkan produksi bioetanol. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan yakni hidrolisis menggunakan asam. Namun hidrolisis menggunakan asam hanya memotong ikatan-ikatan polimer secara acak tidak spesifik. Kandungan gula spesifik juga tidak diketahui secara pasti yang terkandung di dalam hidrolisat.
Pentingnya kandungan gula spesifik untuk diketahui untuk meningkatkan gula pereduksi sebagai hasil dari hidrolisis. Dengan diketahuinya kandungan gula spesifik, hidrolisis yang dilakukan juga dapat secara spesifik. Sehingga proses hidrolisis dapat berlangsung dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan gula pereduksi pada penelitian ini yakni dengan melanjutkan hidrolisis enzim setelah hidrolisis asam. Diharapkan dengan menggunakan hidrolisis enzim, proses pemotongan ikatan-ikatan pada substrat dapat berlangsung secara spesifik sehingga meningkatkan gula pereduksi.
(16)
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui kemampuan enzim Cel 150 dan xilanase dalam menghidrolisis polisakarida untuk meningkatkan kadar gula pereduksi setelah hidrolisis asam E. cottonii
2. Mengetahui kemampuan khamir dalam memanfaatkan gula pereduksi dalam menghasilkan bioetanol.
(17)
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Bioetanol
Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O atau rumus bangunnya CH3-CH2-OH. Bioetanol merupakan bagian dari kelompok metil (CH3-) yang terangkai pada kelompok metilen (-CH2-) dan terangkai dengan kelompok hidroksil (-OH). Bioetanol tidak berwarna dan tidak berasa tapi memiliki bau yang khas. Bahan ini dapat memabukkan jika diminum. Karena sifatnya yang tidak beracun bahan ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Sifat fisika etanol dapat kita lihat pada Tabel 1.
Saat ini pasokan bahan bakar minyak semakin menyusut ditambah lagi dengan harga minyak dunia yang melambung membuat bioetanol semakin diperhitungkan. Produksi bioetanol dari biomassa merupakan salah satu cara untuk mengurangi konsumsi binyak bumi dan polusi lingkungan. Bioetanol dapat digunakan tanpa mengubah mekanisme kerja mesin jika dicampur dengan bensin dengan kadar bioetanol hampir 100%. Perbandingan yang biasa digunakan di Indonesia baru 5% dari total bahan bakar yang biasa disebut Gasohol yang merupakan singkatan dari gasoline (bensin) dan bioetanol. Bioetanol absolut memiliki angka oktan 117, sedangkan premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki nilai oktan 92 atau setara pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer
(aditif) yang paling ramah lingkungan. Fungsi lain ialah oxygenating agent dimana alkohol mengandung oksigen sehingga dapat menyempurnakan pembakaran dengan efek positif mengurangi pencemaran udara.
Proses pembuatan bioetanol dibedakan menjadi tiga berdasarkan bahan bakunya yaitu bahan baku sumber gula, pati dan serat. Proses pembuatan bioetanol meliputi aspek fermentasi dan destilasinya. Karena proses pembuatan etanol meliputi proses fermentasi dan berbahan bakar biomassa, maka etanol dapat diartikan sebagai cairan biokimia dari proses fermentasi gula (sumber karbohidrat) dengan menggunakan bantuan mikroorganisme (Lowenstein, 1985).
Tabel 1. Sifat Fisika Etanol
SIFAT JUMLAH
Berat molekul (g/mol) 46,07 Titik beku (oC) -114,1 Titik didih normal (oC) 78,32 Densitas pada 20oC (g/ml) 0,7893 Kelarutan dalam air (20oC) Sangat larut Viskositas pada 20oC (cP) 1,17 Kalor spesifik, 20oC (kal/goC) 0,579 Kalor pembakaran, 25oC (kal/g) 0921,1 Kalor penguapan 78,32oC (kal/g) 200,6 Sumber: Rizani, 2000
(18)
Saat ini bahan baku pembuatan etanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi bahan pati atau gula dari tanaman menjadi etanol dan air sering diistilahkan sebagai generasi pertama. Sehingga perlu dilakukan penelitian pembuatan etanol generasi kedua yang diharapkan dapat dikembangkan secara komersial. Generasi pertama berbahan baku yang berbasis pada makanan seperti singkong dan jagung, dimana bahan baku tersebut lebih mudah dijadikan etanol namun terdapat perdebatan dimana akan terjadi persaingan antara kebutuhan pangan dan energi. Selain itu juga terbentur pada penggunaan lahan yang luas sebagai media tanam dari tanman pangan tersebut. Oleh karena itu salah satu bahan yang sangat berpotensial digunakan yakni makroalga (Eucheuma cottoni).
B.
Eucheuma cottonii
Eucheuma cotonii merupakan salah satu carragaenophytes yaitu rumput laut penghasil karagenan. Dua jenis Euchema yang cukup komersil yaitu Euchema spinosum yang merupakan penghasil iota karagenan dan E. cottoni sebagai penghasil kappa karagenan. Karaginan banyak digunakan pada sediaan makana, sediaan farmasi dan kosmetik sebagai bahan pembuat gel, pengental atau penstabil (Nehen, 1987).
Klasifikasi E. cottoni menurut Admadja et al., (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae
Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Eucheuma
Spesies : E. cottonii
Ciri morfologi ditandai dengan adanya thallus dan cabang-cabangnya yang berbentuk silinder atau pipih, waktu masih hidup berwarna hijau hingga kuning kemerahan dan apabila dalam bentuk kering warnanya kuning kecoklatan. Percabangan tidak teratur di atau tri-chotomous, dan cabang-cabangnya kasar karena ditumbuhi oleh nodula atau spine untuk melindungi gametangia (Atmadja et al,. 1996). Euchema cottonii tumbuh melekat pada substrat dengan alat berupa cakram, cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun rimbun dengan ciri khusus mengarah kearah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk. Jaringan tengah terdiri dari filamen-filamen tidak berwarna, dikelilingi oleh sel-sel besar, kemudian oleh lapisan korteks dan lapisan epidermis.
E. cottonii dapat diidentifikasi dari thallusnya. Pada E. cottonii, thallusnya bercabang-cabang berbentuk silindris atau pipih, perbercabang-cabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina E. cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Umumnya E. cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang
(19)
kecil dan substrat batu karang mati (Aslan, 1998). Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54 – 73 % tergantung pada jenis dan lokasi tempat tumbuhnya. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Selanjutnya dikembangkan keberbagai negara sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Atmadja, 1996).
Komposisi bahan organik dari rumput laut Euchema cottoni yang tumbuh dan berkembang di Indonesia terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi bahan organik Eucheuma cottonii
Komposisi Nilai
Air (%) 13,90
Protein (%) 2,69
Lemak (%) 0,37
Serat kasar (%) 0,95
Mineral Ca (ppm) 22,39 Mineral Fe (ppm) 0,121 Mineral Cu (ppm) 2,763
Tiamin (mg/100gr) 0,14
Riboflamin (mg/100gr) 2,7 Vitamin C (mg/100gr) 12
Karagenan (%) 61,52
Abu (%) 17,09
Kadar Pb (ppm) 0,04
Sumber : Istini et al., 1986
C.
Karaginan
Karaginan adalah suatu bentuk polisakrida linear dengan berat molekul di atas 100 kDa (Winarno 1996). Karaginan tersusun dari perulangan unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro galaktosa (3,6-AG). Keduanya baik yang berikatan dengan sulfat atau tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karaginan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain.
Doty (1985), membedakan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya menjadi dua fraksi yaitu kappa karaginan yang mengandung sulfat kurang dari 28 % dan iota karaginan jika lebih dari 30%. Winarno (1996) menyatakan bahwa kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, iota karaginan dihasilkan dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karaginan dari Chondrus crispus, selanjutmya membagi karaginan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda karaginan. Kappa karaginan tersusun dari α(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β(1,4)-3,6-anhidro-D galaktosa. Karaginan juga mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2- sulfat
(20)
ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996).
Monomer-monomer dalam setiap fraksi karaginan dihubungkan oleh jembatan oksigen melalui ikatan α-1,4 glikosidik. Monomer-monomer yang telah berikatan tersebut digabungkan bersama monomer-monomer yang lain melalui ikatan α-1,3 glokisidik yang membentuk polimer. Ikatan 1,3 glikosidik dijumpai pada bagian monomer yang tidak mengandung sulfat yaitu monomer D-galaktosa-4-sulfat dan D-galaktosa-2-sulfat. Ion sulfat tidak pernah ada pada atom C3, ikatan 1,4 glikosidik terdapat pada bagian monomer yang mengandung jembatan anhidro yaitu monomer-monomer 2,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa serta pada D-galaktosa-2,6-disulfat (Glicksman, 1983).
D.
Hidrolisis Enzimatis
Hidrolisis merupakan salah satu tahapan selanjutnya dalam pembuatan etanol berbahan baku lignoselulosa. Hal ini bertujuan untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi monosakarida (glukosa dan xylosa) yang kemudian akan difermentasi menjadi etanol. Pada umumnya hidrolisis dibagi menjadi dua, yaitu: hidrolisis asam dan hidrolisis enzim. Apabila hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksoka (C6).
Enzim adalah suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologis atau disebut biokatalisator. Enzim berfungsi mengatur kecepatan dan kekhususan reaksi kimia yang berlangsung di dalam sel. Walaupun enzim dibuat di dalam sel, tetapi untuk bertindak sebagai katalis tidak harus berada di dalam sel. Reaksi yang dikendalikan oleh enzim, antara lain respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, kontraksi otot, fotosintesis, fiksasi, nitrogen, dan pencernaan. Enzim sebagai katalis memiliki nilai ekonomis tinggi karena sangat diperlukan untuk menunjang berbagai proses industri, misalnya industri pangan.
Enzim dapat mempercepat reaksi (sebagai katalis), enzim tidak diubah oleh reaksi yang dikatalisnya, dan enzim tidak mengubah kedudukan normal dari keseimbangan kimia. Dengan kata lain enzim dapat membantu mempercepat pembentukan produk, tetapi akhirnya jumlah produk tetap sama dengan produk yang diperoleh tanpa enzim. Kondisi yang mempengaruhi aktifitas enzim diantaranya konsentrasi enzim, konsentasi substrat, pH, dan suhu. Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan hidrolisis asam, antara lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan yang relatif lebih rendah karena tidak ada bahan yang korosif (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Selain itu substrat yang digunakan juga berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Adanya substrat tertentu di dalam medium produksi dapat mensekresi metabolit selnya.
Tingginya kandungan serat pada tanaman memerlukan suatu proses untuk mendegradasi komponen serat yang ada pada tanaman tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan yakni dengan hidrolisis. Proses hidrolisis meluputi proses pemecehan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa, yakni: selulosa dan hemiselulosa monomer gula penyusunnya. Jika
(21)
hidrolisis selulosa berlangsung sempurna akan menghasilkan glukosa sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6).
Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol/bioetanol secara sederhana ditunjukkan pada reaksi 1 dan 2
H2O (C6H10O5)n N C6H12O6 (1) (pati) Enzim Glukosa
(C6H12O6)n 2C2H5OH + 2CO2 (2) Glukosa ZM Etanol
ZM : Zimomonas mobilis (Pasanda O, 2009)
Hidrolisis enzimatis polisakarida tanaman dapat dilakukan oleh enzim. Beberapa enzim yang banyak digunakan adalah selusase dan xilanase. Selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari eksoselulase atau eksobiohidrolase, endoselulase atau endo-β-1,4-glukanase dan β -1,4-glukosidase atau selobiase. Ekso- β-1,4 glukanase atau selobiohidrolase bekerja dengan cara melepas unit-unit selobiosa dari ujung rantai selulosa. Aktivitasnya sangat tinggi pada selulosa kristal tetapi sangat rendah pada selulosa amorf. Endo-β-1,4-glukanase mampu menghidrolisis selulosa secara acak menghasilkan selodextrin, selobiosa dan glukosa. Enzim ini sangat aktif memutus ikatan selulosa yang dapat larut (amorf) seperti karboksil metil selulosa (CMC). Enzim β-1,4- glukosidase atau selobiase dapat menghidrolisis selobiosa dan selo-oligomer pendek lainnya untuk menghasilkan glukosa (Trisanti Anindyawati, 2009).
Secara enzimatis mekanisme hidrolisa selulosa dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktivitas oleh enzim C1 (selobiohidrolase) dan dilanjutkan dengan tahap hidrolisa enzim Cx (endoglukonase) dan β-glukosidase (Reese et al., 1950).
Gambar 1. Mekanisme hidrolisa selulosa secara enzimatis (Reese et al., 1950)
Enzim endoglukonase (EG=Cx) menyerang bagian amorf (tak beraturan) serat selulosa, membuka jalan bagi kerja enzim selobiohidrolase (CBH=C1). Kemudian kedua enzim tersebut saling bekerja sama membebaskan serat selobiosa dari serat selulosa. Kedua enzim tersebut tidak mampu memecah selobiosa sehingga diperlukan bantuan enzim lain yaitu β -glukosidase yang menguraikan selobiosa menjadi glukosa.
(22)
Berikut tahapan hidrolisis selulosa:
Gambar 2. Skema Tahapan Hidrolisis Selulosa secara Enzimatis (Enari, 1983)
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al.2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hydrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa. Selulase merupakan suatu komplek enzim yang terdiri dari beberapa enzim yang bekerja bertahap atau bersama-sama menguraikan selulosa. Ada empat kelompok enzim utama yang menyusun selulase berdasarkan spesifikasi substrat masing-masing enzim (Enari, 1983).
Xilanase merupakan kelompok enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis hemiselulosa dalam hal ini ialah xilan atau polimer dari xilosa dan xilo-oligosakarida. Xilanase dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dihidrolisis, yaitu β-xilosidase, eksoxilanase, dan endoxilanase. β-xilosidase, yaitu xilanase yang mampu menghidrolisis xilo-oligosakarida rantai pendek menjadi xilosa. Aktivitas enzim akan menurun dengan meningkatnya rantai xilooligosakarida (Reilly, 1991; Dekker, 1983). Selain merupakan hasil hidrolisis xilosa juga merupakan inhibitor bagi enzim β-xilosidase. Sebagian besar enzim β -xilosidase yang berhasil dimurnikan masih menunjukkan adanya aktivitas transferase yang menyebabkan enzim ini kurang dapat digunakan industri penghasil xilosa. Eksoxilanase memiliki kemampuan memutus rantai polimer xilosa (xilan) pada ujung reduksi, sehingga menghasilkan produk utama yakni xilosa dan sejumlah oligosakarida rantai pendek. Enzim ini dapat mengandung sedikit aktivitas transferase sehingga potensial dalam industri penghasil xilosa. Endoxilanase mampu memutus ikatan β 1-4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Ikatan yang diputus ditentukan berdasarkan panjang rantai substrat, derajat
(23)
percabangan, ada atau tidaknya gugus substitusi, dan pola pemutusan dari enzim hidrolase tersebut (Richana Nur,2002). Xilanase umumnya merupakan protein kecil dengan berat molekul antara 15.000-30.000 Dalton, aktif pada suhu 55 oC dengan pH 9 (Yang et al., 1988; Yu et al., 1991). Pada suhu 60 oC dan pH normal, xilanase lebih stabil (Tsujibo et al., 1992; Cho-Goo et al., 1996).
Xilan dengan aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan terhidrolisis menjadi xilosa.
C5H8O4 + H2O C5H10O5 Xilan Xilosa
Hemiselulosa xilan merupakan polimer xilosa yang berikatan β-1,4 dengan jumlah monomer 150-200 unit (Sunna dan Antraniklan, 1997). Xilan merupakan polimer xilosa yang berikatan β-1,4 dengan jumlah monomer 30-100 unit. Xilanase dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dihidrolisis, yaitu β-xilosidase, eksoxilanase, dan endoxilanase.
Gambar 3. Struktur kimia xilan (Eriksson et al., 1990)
Β-xilodase, yaitu xilanase yang mampu menghidrolsis xilooligosa-karida rantai pendek menjadi xilosa. Aktivitas enzim akan menurun dengan meningkatnya rantai xilooligosakarida. Xilosa selain merupakan hasil hidrolisis juga merupakan inhibitor bagi enzim β-xilosidase. Sebagian besar enzim β-xilosidase yang berhasil dimurnikan masih menunjukkan adanya aktivitas transferase yang menyebabkan enzim ini kurang dapat digunakan industri penghasil xilosa.
Endoxilanase mampu memutus ikatan β 1,4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Ikatan yang diputus ditentukan berdasarkan panjang rantai substrat, derajad percabangan, ada atau tidaknya gugus substitusi, dan pola pemutusan dari enzim hidrolase tersebut. Xilanase umumnya merupakan protein kecil dengan berat molekul antara 15.000-30.000 Dalton, aktif pada suhu 55oC dengan pH 9 (Yang et al., 1988; Yu et al., 1991). Pada suhu 60oC dan pH normal, xilanase lebih stabil.
Hidrolisis dari xilan merupakan hasil kerja sama enzim endo-1,4- β-D-xilanase dengan enzim eksoglikosidase yaitu β-D-xilosidase. Selain kedua enzim tersebut, terdapat enzim lainnya yang dapat memotong rantai samping dari struktur xilan yaitu α-glucuronidase, α -arabinofuranosidase dan acetyl xilan esterase. Dari beberapa jenis enzim yang terlinat dalam hidrolisis xila tersebut, endo-1,4- β-D-xilanase dan β-D-xilosidase adalah yang terpenting (Sunna dan Antranikian, 1997).
Enzim endoxilanase (endo-1,4- β-D-xilanase) mempunyai kemampuan dalam memutus ikatan-ikatan β-1,4 pada bagian dalam dari rantai xilan, menghasilkan xilooligosakarida (baik
(24)
bercabang maupun tidak) yang meliputi xilopentose, xilotetraosa, xilotriose dan xilobiose. Adapaun enzim β-xilosidase memiliki kemampuan untuk menghidrolisis xilooligosakarida rantai pendek menjadi xilosa. Xilosa, selain merupakan produk hidrolisis, juga merupakan inhibitor bagi enzim β-xilosidase. Enzim β-xilosidase bekerja dengan memutus ujung-ujung non reduksi dari rantai pendek xilooligosakarida (Sorensen et al., 2003.). Pemutusan rantai xilan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini
A. Degradasi rantai xilan dari bagian dalam oleh endoxylanase dan degradasi rantai samping xilan oleh α-glucuronidase, α-arabinofuranosidase dan acetyl xilan esterase
B. Hidrolisis xilooligosakarida oleh β-xilosidase
Gambar 4. Mekanisme degradasi xilan oleh enzim hemiseluloase (enzim Xilanolitik) (Sunna dan Antranikan, 1997)
E.
Lignoselulosa
Lignoselulosa sebagai salah satu sumber polisakarida yang melimpah, dapat dikonversi menjadi etanol sebagai suatu alternatif sumber energi hijau. Indonesia sebagai negara tropis memiliki sumber-sumber lignoselulosa sangat melimpah. Oleh karena itu, pengembangan proses pembuatan etanol dari lignoselulosa tentu memberi manfaat untuk kemajuan masyarakat. Senyawa lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang merupakan bahan utama penyusun dinding sel tumbuhan. Ketiga komponen utama tersebut membentuk suatu ikatan kimia yang kompleks menjadi bahan dasar dinding sel tumbuhan.
Selulosa merupakan polimer linier glukan dengan struktur rantai yang seragam. Unit-unit
glukosa terikat dengan ikatan glikosidik −β–(14). Dua unit glukosa yang berdekatan bersatu dengan mengeliminasi satu molekul air di antara gugus hidroksil pada karbon 1 dan karbon 4.
(25)
Kedudukan –β dari gugus –OH pada C1 membutuhkan pemutaran unit glukosa berikutnya melalui sumbu C1-C4 cincin piranosa. Unit ulang terkecil dari rantai selulosa adalah unit selobiosa dengan panjang 1,03 nm dan terdiri atas dua unit glukosa.
Gambar 5. Pengelompokan enzim selulase berdasarkan spesifitas substrat (Enari, 1983)
Hemiselulosa adalah istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam alkali. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman (Fengel dan Wegener 1984; Howard etal. 2003). Menurut Fengel dan Wegener (1984) terdapat lima gula normal yang menjadi konstituen utama dari hemiselulosa, yakni glukosa, mannosa, dan galaktosa (heksosan) serta xilosa dan arabinosa (pentosan). Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan monomer glukosa dan derajat polimerisasi yang tinggi (10.000-14.000 unit), hemiselulosa memiliki rantai utama yang terdiri atas hanya satu jenis monomer (homopolimer), seperti xilan, atau terdiri atas dua atau lebih jenis monomer (heteropolimer), seperti glukomannan. Hemiselulosa juga memiliki rantai molekul yang lebih pendek daripada selulosa.
Lignin mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propan. Kayu daun jarum memiliki kandungan lignin lebih tinggi daripada kayu daun lebar. Selain itu, ada beberapa perbedaan struktur lignin dalam kayu daun jarum dan daun lebar. Lignin sulit untuk didegradasi karena memiliki struktur yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga patogen (Orth et al. 1993). Selain memberikan bentuk yang kokoh, lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida untuk melindungi tanaman dari degradasi mikroba dengan membentuk struktur lignoselulosa.
(26)
para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol Sinapil Alkohol Model Kerangka C
Gambar 6. Satuan Penyusun Lignin (Steffen 2003)
Biomassa lignoselulosa saat ini sedang dilirik sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar masa depan (etanol). Kandungan lignin merupakan penghambat dalam biokonversi lignoselulosa menjadi etanol. Dalam hal ini lignin melindungi selulosa, sehingga selulosa sulit untuk dihidrolisis menjadi glukosa. Saat ini proses pretreatment banyak dilakukan untuk memecah pelindung ini sehingga selulosa mudah dihidrolisis.
F.
Fermentasi
Fermentasi adalah proses pemecahan senyawa organik (khususnya gula, lemak) oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob menghasilkan produk-produk organik yang lebih sederhana. Fermentasi etanol merupakan proses biologi yang melibatkan mikroorganisme untuk mengubah bahan organik menjadi komponen sederhana. Selama proses fermentasi berlangsung, mikroorganisme memproduksi enzim untuk menghidrolisis substrat menjadi komponen seerhana (gula) selanjutnya mengubahnya menjadi etanol. Beberapa penelitian melaporkan bahwa produksi etanol yaitu dengan menggunakan mikroorganisme seperti kapang, khamir dan bakteri. Mikroba yang sering digunakan yakni S. cerevisiae. Hal inilah yang menjadi alasan menggunakan khamir tersebut dalam penelitian ini. Khamir ini dapat tumbuh di media yang mengandung gula sederhana seperti glukosa, fruktosa dan mannose (Lin dan Tanaka, 2005).
Secara umum proses fermentasi alkohol terjadi dari pemecahan karbohidrat melalui suatu degradasi dari monosakarida yaitu glukosa menjadi asam piruvat. Asam piruvat ini selanjutnya akan dirombak menjadi etanol dan juga CO2 yang biasanya berlangsung melalui proses oksidasi reduksi dengan menggunakan DNPH+H+ sebagai donor elektron (Winarno dan Fardiaz, 1990).
Selama proses fermentasi, khamir menghasilkan enzim zimase yang dapat mengubah gula menjadi etanol, kerja enzim hanya spesifik pada gula (tidak semua karbohidrat dapat dikonversi). Pada fermentasi alkohol, disakarida seperti maltose ataupun sukrosa (C12H22O4) dihidrolisis menjadi heksosa (C6H12O6) oleh enzim maltase ataupun invertase yang terdapat pada sel khamir. Selanjutnya heksosa diubah menjadi etanol dan karbohidrat oleh enzim zimase.
(27)
Proses fermentasi terdiri atas glikolisis dan reaksi yang menghasilkan NAD+ melalui transfer electron NADH ke piruvat. Glikolisis merupakan proses pengubahan 1 molekul glukosa menjadi 2 molekul piruvat. Piruvat diubah menjadi etanol (etil alkohol) dalam dua langkah pada proses fermentasi. Pertama dengan melepaskan karbondioksida dari piruvat selanjutnya diubah menjadi senyawa asetaldehida berkarbon dua. Kedua, asetaldehida direduksi oleh NADH menjadi etanol (Campbell dkk, 2002).
Konsentrasi alkohol hasil dari fermentasi dipengaruhi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja dari mikroorganisme. pH optimum pada proses fermentasi berkisar antara 4,5-5, dimana ketika pH di bawah atau di atasnya maka akan mempengaruhi efektivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme dalam membentuk kompleks enzim substrat. Selain itu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi sehingga menurunkan aktivitas enzim (Poedjiadi dan Titin, 2006).
Penggunaan jenis mikroorganisme yang digunakan juga mempengaruhi hasil karena harus sesuai dengan substrat yang digunakan. S. cerevisiae biasa digunakan untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula. Seleksi tersebut bertujuan untuk mendapatkan mikroorganisme yang mempu tumbuh dengan cepat dan mempunyai toleransi terhadap konsnetrasi gula yang tinggi serta mampu menghasilkan alkohol dalam jumlah yang banyak dan tahan terhadap alkohol sebagai daya tolak umpan balik (Budiyanto, 2004).
Sedangkan untuk suhu, sampai pada suatu titik, kecepatan reaksi enzimatik mikroba akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Hal ini dikarenakan substrat akan bertumbukan dengan tempat aktif lebih sering ketika molekul itu bergerak lebih cepat (Campbell dkk, 2002). Media juga merupakan salah satu faktor penting dalam fermentasi karena mikroba dapat hidup dalam media tersebut, tumbuh serta dapat berkembang biak dan dapat mensintesis produk. Oleh karena itu media harus dipersiapkan dengan kandungan bahan-bahan yang memenuhi syarat dan cukup untuk berkembang biak dan cukup untuk mengubah produk. Mikroba memerlukan unsur karbon dan nitrogen. Oleh karena itu dilakukan penambahan urea dan NPK sebagai sumber nutrisi bagi mikroba. Unsur karbon dapat meningkatkan energi dan biosintesis sehingga persediaan sumber karbon yang cukup, dibutuhkan untuk proses fermentasi. Sedangkan sumber nitrogen digunakan oleh mikroba untuk mempercepat pertumbuhan sel dalam fermentasi. Salah satu sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah urea (Trismilah dan Sumaryanto, 2003).
(28)
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
ALAT DAN BAHAN
1.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain autoclave, oven, stiring plate, pompa vakum, spektrofotometer, refraktometer, dan peralatan gelas.
2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Eucheuma cottoni dari jenis ganggang merah. Bahan-bahan lain untuk proses pretreatment, hidrolisis, dan fermentasi adalah H2SO4 , NaOH, enzim komersial (Cel 150 dan xilanase), kapur tohor, arang aktif, urea, NPK, buffer sitrat dan media YMGP sebagai starter. Selain itu, digunakan beberapa bahan kimia untuk analisa seperti pelarut DNS.
B.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan metode untuk menghasilkan bioetanol dari makroalga dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu persiapan bahan baku, perlakuan awal dengan asam dan basa, hidrolisis enzimatis, dan proses fermentasi. Namun, penelitian ini fokus pada hidrolisis enzim sehingga akan dilakukan beberapa tahapan yaitu persiapan bahan baku, treatment asam dan enzim, netralisasi dan detoksifikasi, dan fermentasi.
1.
Persiapan Bahan Baku
Persiapan bahan baku rumput laut (E.cottonii) kering yang dilakukan adalah desalinasi dengan cara perendaman dalam air selama 2 hari dengan dilakukan penggantian air perendaman tiap harinya, pencucian hingga pengotor-pengotor hilang, pencacahan menggunakan mesin pencacah sampai ukuran ± 0.5-1.5 cm dan pengeringan dengan cara penjemuran.
2.
Hidrolisis Asam
Perlakuan awal dilakukan dengan tujuan untuk melonggarkan dan memutuskan jaringan matriks polisakarida supaya mudah dihidrolisis untuk tahapan selanjutnya. Perlakuan awal dengan asam dilakukan terhadap rumput laut E.cottonii seberat 15 gram menggunakan H2SO4 dengan konsentrasi asam 2% dan dihidrolisis menggunakan
autoclave pada suhu 121oC selama 45 menit. Hasil hidrolisis asam disampling dan dianalisis kadar gula pereduksinya. Kemudian dinetralkan dengan NaOH 10%.
3.
Pemilihan jenis enzim hidrolase
Sebelum hidrolisis enzim, dilakukan pengujian beberapa jenis enzim untuk melihat jenis enzim yang tepat dalam menghidrolisis substrat yang digunakan. Beberapa jenis enzim tersebut diuji aktivitasnya ke dalam beberapa substrat yaitu CMC, karagenan dan
E. cottonii. Karakteristik beberapa jenis enzim baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini
(29)
Tabel 3. Karakteristik beberapa enzim
Enzim Aktivitas densitas
(g/ml)
pH T (oC) Dosis
Cellulase complex 1000 BHU(2)/g 1.15 5.0-5.5 45-50 1-5% Enzym complex 100 FBG/g
13.700 PGU/g
1.19 4.5-6.0 25-55 0.05-0.4% Xylanase 2.500 FXU-S/g 1.09 4.5-6.0 35-55 0.05-0.25% Hemicellulase 45 FBG/g
470 FXU/g
1.20 5.0-6.5 40-60 0.4-2% β-glukosidase 250 CBU/g 1.2 2.5-6.5 45-70 0.2-0.6% Glukoamilase 750 AGU/g 1.15 4.5-5.5 60-70 0.01-0.06%
Ethol GE 45-50
Enzim pabrik kertas
36.8 U/ml 50
Cel 150 1.500.000 U/g
Keterangan:
BHU : Biomass Hydrolysis Unit- mengukur aktivitas enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis selulosa yang yang berada pada substrat komplek biomassa pada kondisi standar.
FBG : Fungal Beta Glucanase Unit – 1 FBG adalah jumlah enzim yang akan menghasilkan karbohidrat pereduksi setara dengan 1 μmol glukosa/menit pada kondisi standar.
FXU : Fungal Xylanase Unit – mengukur aktivitas endoxylanase
CBU : Cellobiase Unit – 1 CBU adalah jumlah enzim yang melepaskan 2 μmol glukosa per menit pada konsidi standar dengan menggunakan substrat selobiosa.
AGU : Amylo Glucosidase Unit – aktivitas amiloglukosidase
4.
Hidrolisis Enzim
Setelah hidrolisis dengan asam kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis enzim. Ada dua jenis enzim yang digunakan yakni Cel 150 (1.500.000 U/G) dan xylanase (2.500 FXU-S/g). Sampel dinetralkan sampai pH 5-6 dengan menambahkan NaOH 10% ke dalam hidrolisat kemudian enzim dimasukkan dengan perlakuan konsentrasi 1%, 3%, 5%, 7.5%, dan 10 % dari berat substrat yang digunakan kemudian dilarutkan dalam 25 ml buffer sitrat (pH: 4.8-5) dengan tiga kali ulangan setiap konsentrasi. Kemudian sampel diinkubasi pada suhu 50 ⁰C dengan waktu 1, 2, dan 3 hari. Setelah inkubasi sampel disaring menggunakan pompa vakum, dimana sampel terlebih dahulu ditera sampai 250 ml. hasil dari proses penyaringan didapat total padatan dan cairan hidrolisat.
(30)
5.
Detoksifikasi
Hidrolisat yang dihasilkan dari hidrolisis enzim tersebut selanjutnya dilakukan proses detoksifikasi. Detoksifikasi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu metode overliming dan metode adsorpsi arang aktif. Pada tahap awal overliming, hidrolisat yang dihasilkan ditambahkan larutan kapur tohor (Ca(OH)2) untuk menaikkan pH menjadi pH 10. Larutan kapur tohor yang digunakan dibuat dengan menambahkan serbuk kapur tohor dengan air (perbandingan 1:3). Setelah ditambahkan Ca(OH)2, kemudian larutan gula diaduk selama 30 menit dan dilakukan penyaringan untuk menghilangkan kandungan kapur dan senyawa lain yang mengendap. Selanjutnya asam sulfat konsentrasi 10% ditambahkan pada hidrolisat asam untuk menurunkan pH hidrolisat hingga mencapai pH 5,5 – 6. Selanjutnya dilakukan detoksifikasi metode adsorbsi menggunakan arang aktif. Arang aktif sebanyak 5% (b/v larutan) ditambahkan ke dalam hidrolisat, dilakukan pengadukan selama 15 menit, dan dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring. Dapat dilihat pada Gambar 7berikut ini
Gambar 7. Proses detoksifikasi
Dipanaskan (t:30-50; 15’) Hidrolisat
Disaring
Dinetralkan (H2SO4 10%; pH: 5-6)
Ditambahkan arang aktif (5% dari volume)
Disaring
Hidrolisat hasil detoksifikasi
(31)
6.
Fermentasi
Hidrolisat proses pemekatan selanjutnya difermentasi untuk mendapatkan etanol. Waktu fermentasi berlangsung selama 4 hari menggunakan mikroorganisme
Saccharomyces cerevisiae yang telah diadaptasi. Nutrisi berupa urea dan NPK masing-masing ditambahkan sebesar 0.5% dan 0.06% dari jumlah gula.
∑ gula (gr) = brix x 100 ml
∑ urea dan NPK (gr) = % urea dan NPK x ∑ gula (gr)
Volume hidrolisat yang digunakan pada proses fermentasi adalah 90 ml dan volume
starter yang digunakan 10 ml. Kultur S.cerevisiae diberikan sebesar 10% ke dalam hidrolisat yang mengandung gula dan nutrisi (urea dan NPK), kemudian diinkubasi pada suhu ruang (27-30oC) selama 4 hari. Hasil proses fermentasi selanjutnya didestilasi untuk mendapatkan etanol dan kadar etanol yang dihasilkan diukur menggunakan alat densitometer.
Keterangan:
PDA : Potato Dektros Agar YMGP : Yeast Malt Glucosa Peptone
Gambar 8. Proses fermentasi Kultur (S. Cereviseae) di
media agar cawan PDA (inkubasi 48 jam)
Dimasukkan ke media YMGP (inkubasi 2 hari)
Fermentasi (4 hari)
Destilasi pencampuran Hidrolisat (90 ml)
urea 0.5% & NPK 0.06% YMGP, 10 ml
(32)
Gambar 9.Tahapan proses penelitian
E. cottonii
Desalinasi
Pencacahan
Pengeringan
Autoclave 45 menit, 121⁰C
Inkubasi ( t = 50⁰; 1, 2, 3 hari)
Penyaringan
Total padatan
Analisis Gula Pereduksi Hidrolisis asam (H2SO4
2%, 75ml)
Penetralan (NaOH 10%)
Analisis Gula Pereduksi Hidrolisis enzim
(1%, 3%, 5%, 7.5%, 10%)
Padatan Hidrolisat
Bahan kering (15 g, vol 100 ml)
Detoksifikasi
Fermentasi
(33)
7.
Metode Analisis
1. Gula pereduksiPrinsip metode ini yakni dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.
a. Penyiapan Pereaksi DNS
Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrolisat dan 19,8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tatrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50 oC dan 8,3 g Na-Metabisulfit. Kemudian diaduk rata, 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCL 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCL 0,1 N.
b. Penentuan Kurva Standar
Kurva standar dibuat dengan mengukur mengetahui nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2-0,5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linear. c. Penetapan Total Gula Pereduksi
Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut : 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang kemudian ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.
2. Perhitungan Total padatan
total residu bobot substrat (15 gr)
Keterangan: Total residu: ((bobot kain saring + padatan)-(bobot awal kain saring)) + ((bobot kertas saring + padatan)-(bobot awal kertas saring))
3. Prosedur Karakterisasi E.cottonii
a. Uji Luff school
Sebanyak 1-2 gram bahan ditimbang dan ditambahkan 100 ml HCl 3%. Larutan dimasukkan ke dalam otoklaf pada suhu 105o C selama 15 menit. Kemudian larutan didinginkan dan dinetralkan menggunakan larutan NaOH 4 N, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml sampai tanda tera.
Sebanyak 10 ml larutan dipipet ke dalam stop Erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan luff schoorl, dihubungkan dengan pendingin udara, dipanaskan hingga mendidih dan tunggu 10 menit. Didinginkan kemudian ditambahkan 25
(34)
ml larutan H2SO4 6 N dan 15 ml larutan KI 20 %, dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N dengan indikator amilum 1 %. Dihitung selisih antara jumlah ml titran sampel dengan blangko dengan perhitungan sebagai berikut :
(b-a) x N.Na Thio
0,1
b = bobot blangko (g) a = bobot sampel (g)
Dihitung kesetaraan kadar gula invert dengan tabel kadar gula invert sebagai glukosa:
Kadar karbohidrat = 0,9 x G x P x 100% Y
G = mg glukosa yang setara dengan (ml blanko-ml contoh) Na2S2O3 0,1 N P = faktor Pengenceran
Y = mg berat contoh b. Kadar Air
Cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 5 gram sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105o C selama 3 jam. Cawan aluminium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Pemanasan sampel diulangi sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang menghilang sebagai kadar air.
Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100%
W1
c. Kadar Abu
Sebanyak 2 gram contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas Bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600o C selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.
Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B
d. Kadar Protein
Sebanyak 0,1-0,5 gram contoh dimasukkan ke dalam labu kjeldahl lalu ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat dan 1 gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4). Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan NaOH 6 N dan asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam labu Erlenmeyer mencapai dua kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan
(35)
akuades (ditampung dalam labu Erlenmeyer). Larutan yang berada dalam labu Erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko.
Kadar protein (%) = (b-a) x N x 0,014 x 6,25 x 100% W
Keterangan :
a = ml H2SO4 untuk titrasi blanko b = ml H2SO4 untuk titrasi contoh N = Normalitas H2SO4
(36)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
PENELITIAN PENDAHULUAN
A.1 Persiapan Bahan Baku
Bahan baku penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis
E.cottonii yang diperoleh dari daerah Lampung. Bahan baku E. cottonii yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan proses desalinasi yaitu dengan perendaman dan pencucian. Bahan baku yang sudah didesalinasi kemudian dicacah dan dikeringkan. Perendaman bertujuan untuk melarutkan bahan-bahan pengotor yang terdapat pada bahan baku E. cottonii agar bahan pengotor seperti tanah, lumpur, dan sebagainya tidak mempengaruhi proses selanjutnya. Kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan semua bahan-bahan yang tidak diperlukan tersebut. Bahan baku tersebut kemudian dicacah menggunakan mesin pencacah menjadi berukuran ± 0,5-1,5 cm, yang bertujuan untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga kontak dengan larutan asam akan berlangsung dengan sempurna. Bahan baku kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari untuk menghilangkan kandungan air. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan bahan akibat timbulnya jamur dan mikroorganisme lainnya selama penyimpanan.
A.2 Karakterisasi Bahan Baku
Karakterisasi E.cottonii yang dilakukan pada penelitian pendahuluan meliputi uji kadar air, kadar abu, protein, dan karbohidrat. Hasil analisis karakterisasi bahan baku
E.cottonii disajikan pada Tabel 4 berikut
Tabel 4. Komposisi kimia E. cottonii.
Komponen Komposisi (%) *Pustaka (%)
Air 8,01 27,8
Abu 13,79 22,25
Protein 3,59 5,4
Karbohidrat 48,93 33,3
Lemak 8,60
Serat kasar 3
*Harvey, 2009
Tabel 4 menunjukkan bahwa E.cottonii hanya mengandung sedikit protein yaitu 3,59%. Sementara kandungan yang paling tinggi yakni karbohidrat sebesar 48,93%. Kandungan karbohidrat yang tinggi membuat E.cottonii memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi salah satu bahan baku penghasil bioetanol. Berdasarkan hasil penelitian Sriyanti (2003), bahwa tinggi rendahnya kadar gula dan kadar alkohol tiap gramnya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan karbohidrat. Hal ini
(37)
menunjukkan kadar karbohidrat yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar alkohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi karbohidrat.
Menurut Harvey (2009), secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), serat kasar (3,0%), dan abu (22,25%). Menurut Suriawiria (2003), uji proksimat yang dilakukan pada limbah rumput laut kering didapatkan presentase masing-masing komponen yaitu kadar air 11.28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1,86%, kadar serat kasar 8,96%, dan karbohidrat 41,43%.
Hasil karakterisasi E.cottonii pada penelitian ini menunjukkan nilai yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Luthfy (1988), melaporkan bahwa rumput laut jenis E. cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Namun, komponen karbohidrat hasil penelitian menunjukkan nilai yang sedikit lebih kecil dibandingkan penelitian Luthfy (1988). Hal ini disebabkan komposisi kimia E.cottonii bervariasi karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Ishibashi dan Yamamoto (1960), komposisi kimia rumput laut bervariasi karena adanya perbedaan individu, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungannya. Komponen utama rumput laut adalah karbohidrat (gula dan vegetable-gum), protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Karbohidrat yang dimiliki berupa polisakarida yang kompleks seperti karaginan. Karaginan tersusun dari unit D-galaktosa dan 3,6 anhidro-D-galaktosa dengan ikatan β-1,3 dan α-1,4 pada polimer heksosanya, sedangkan pada atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan ikatan ester (Glicksman, 1983). Senyawa-senyawa polisakarida mudah terhidrolisis dalam larutan yang bersifat asam dan stabil dalam suasana basa. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi glukosa dilakukan dengan penambahan H₂SO dan enzim. Selanjutnya dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
Kandungan karbohidrat yang besar menunjukkan bahwa E.cottonii sangat berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol. Karbohidrat pada rumput laut
E.cottonii terdiri atas galaktan, selulosa, hemiselulosa, dan karaginan. Menurut Hellebust dan Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karaginan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain. Menurut Oxford Food & Nutrition Dictionary, galaktan adalah polisakarida yang terdiri dari turunan galaktosa, sebuah unsur utama karaginan. Hidrolisis galaktan akan menghasilkan gula sederhana berupa galaktosa. Sementara hidrolisis selulosa akan menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa, dan arabinosa. Karbohidrat tersebut akan dipecah menjadi monomer-monomer atau gula sederhana melalui proses hidrolisis. Gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan menjadi sumber makanan utama mikroorganisme (S.serevisiae) selama proses fermentasi berlangsung yang akan dikonversi menjadi etanol sebagai produk metabolit utamanya.
(38)
B.
PENELITIAN UTAMA
B.1 Hidrolisis asam
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida (karagenan dan selulosa) menjadi monosakarida (galaktosa, glukosa) yang selanjutnya akan difermentasi menjadi etanol. Hidrolisis pertama yang dilakukan pada penelitian ini yaitu hidrolisis asam menggunakan H₂SO4. Pada umumnya hidrolisis yang sering digunakan ada dua yakni hidrolisis asam dan hidrolisis enzim. Hidrolisis asam lebih umum digunakan karena biaya yang murah dan mudah digunakan. Namun, untuk kerjanya sendiri asam berkerja secara acak dalam memotong ikatan tidak seperti enzim yang bekerja secara spesifik.
Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam bertujuan untuk menguraikan polisakarida pada rumput laut (E.cottonii) sehingga menjadi struktur yang lebih sederhana yaitu monosakarida.
Pada penelitian ini konsentrasi H2SO4 yang digunakan yakni 2% dengan volume 75ml. Pada umumnya asam yang digunakan untuk menghidrolisis bahan berligniselulosa adalah H2SO4 atau HCl pada konsentrasi antara 2-5%. Penggunaan asam H2SO4 dan HCl sebagai katalis dalam hidrolisis asam menghasilkan gula sederhana yang berbeda, dimana pada konsentrasi dan waktu hidrolisis yang sama, H2SO4 memberikan hasil yang lebih tinggi dari pada HCl (Mussatto dan Roberto, 2004). Konsentrasi padatan substrat yang digunakan yakni 15% dari total volume (100 ml), konsentrasi padatan sebesar ini merupakan konsentrasi terbaik berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyaningsih (2010), dimana nilai brix yang didapat lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 7.5% dan 10%. Nilai brix adalah padatan yang terlarut dalam suatu larutan yang dihitung sebagai sukrosa. Brix juga dapat didefinisikan sebagai persentase massa sukrosa yang terkandung di dalam massa larutan sukrosa. Dengan kata lain semakin semakin besar zat terlarut yang terkandung dalam suatu larutan maka nilai brixnya juga akan semakin besar.
Pada tahap awal penelitian dilakukan kontrol dimana substrat tidak mendapat perlakuan penambahan enzim akan tetapi tetap dengan volume 100 ml (75 ml asam dan 25 ml buffer tanpa enzim). Dimana pada saat hidrolisis asam tidak dilakukan perlakuan yang berbeda yakni konsentrasi padatan 15% dan penambahan asam (H2SO4) 75 ml dengan ulangan tiga kali. Kemudian dilakukan hidrolisis asam dengan suhu 121⁰C selama 45 menit. Setelah 45 menit substrat dinetralkan dengan basa NaOH 10%. Kemudian hidrolisat diinkubasi selama satu, dua, dan tiga hari (Gambar 10). Setelah diinkubasi, hidrolisat disaring sehingga didapat total padatan. Dari setiap lama inkubasi didapat rata-rata dari tiga kali pengulangan.
(39)
Gambar 10. Rata-rata total padatan kontrol
Jika dilihat dari rata-rata total padatan yang didapat, semuanya tidak jauh berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perlakuan konsentrasi asam yang diberikan sama dan tanpa penambahan enzim. Lama inkubasi juga tidak berpengaruh dikarenakan hidrolisat sudah terlebih dahulu dinetralkan. Sehingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi di dalam hidrolisat tanpa penambahan enzim.
Selain total padatan, total gula pereduksi juga diamati dan hasilnya dapat kita lihat pada Gambar 11 berikut ini
Gambar 11. Rata-rata gula pereduksi pada kontrol
Berdasarkan hasil uji statistik gula pereduksi pada kontrol menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 5a). Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa perlakuan lama inkubasi baik 1, 2 atau 3 hari tidak berbeda signifikan (Lampiran 5b). Namun rata-rata menunjukkan bahwa lama inkubasi 2 hari memiliki nilai gula pereduksi tertinggi yaitu 4.55%, diikuti dengan waktu inkubasi 1 hari yaitu 4.30% dan waktu inkubasi 3 hari yaitu 4.12%.
(40)
B.2 Hidrolisis Enzim
Setelah proses hidrolisis asam dan dinetralkan dengan NaOH, maka dilanjutkan dengan proses hidrolisis enzimatis. Hidrolisis enzim dilakukan agar proses pemotongan ikatan-ikatan pada substrat lebih optimal karena enzim bekerja secara spesifik sehingga berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah gula pereduksi setelah hidrolisis asam. Pengujian terhadap beberapa enzim ini dilakukan untuk melihat kemampuan atau aktivitas beberapa enzim dalam beberapa substrat yang digunakan. Pada dasarnya kita tidak mengetahui kandungan umum yang terkandung pada E. cottonii, sehingga digunakan beberapa enzim-enzim selulase dengan kandungan dasar yang berbeda pada substrat yang berbeda pula.
Setelah dilakukan pengujian, Tabel 5 menunjukkan hasil dari pengujian aktivitas dari beberapa jenis enzim tersebut.
Tabel 5. Aktivitas beberapa jenis enzim hidrolase
No Jenis Enzim
Aktivitas Enzim (IU/ml atau IU/mg)
CMC Karagenan E. cottonii
1. Selulase kompleks
(Novozyme) 4660 101 660
2. Enzim kompleks
(Novozyme) 527 68 295
3. β Glukosidase sellobiase (Novozyme)
218 109 352
4. Xilanase
(Novozyme) 5414 177 2048
5. Glukoamilase 83 87 357
6. Selulase
(Pabrik Kertas) 293 12 1739 7. Ethol-GE
(Sinobios) 322 3 115 8. CEL-150 (Sinobios) 21019 1194 5904
Karakteristik masing-masing enzim yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Selulase kompleks merupakan enzim primer yang dapat digunakan dalam hidrolisis dari bahan lignosellulosik, serta mengkatalisis bahan selulosa menjadi glukosa, sellibiosa dan glukosa polimer yang lebih tinggi. Selain itu dapat digunakan untuk mengurangi viskositas atau meningkatkan hasil ekstraksi berbagai produk yang berasal dari tumbuhan. Menurut Gong dan Tsao (1979), selulase merupakan golongan enzim yang mampu memutus ikatan β-1,4 pada
(41)
substrat selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya. Terdirir dari tiga jenis yaitu: (1) endoglukanase (β-1,4-D-glukan-4-glukanhidrolase, EC 3.2.1.4), (2) selobiohidrolase (β-1,4-D-glukanselobio-hidrolase, EC 3.2.1.91) dan (3) β-glukosidase (β-1,4-D-glukosida-glukohidrolase, EC 3.2.1.21). Ketiga enzim ini bekerja sama dalam menghidrolisis selulosa yang tidak larut menjadi glukosa sehingga aktivitas gabungan ketiga enzim dapat diukur dengan memantau jumlah glukosa yang dihasilkan.
2. Enzim kompleks mengandung berbagai macam karbohidrat, termasuk arabinase, β-glukanase, selulase, hemisellulase, pektinase, dan xilanase. Enzim ini juga dapat memecah dinding sel untuk ekstraksi komponen yang berasal dari jaringan tumbuhan serta mampu membebaskan bahan terikat dan menurunkan berbagai polisakarida yang bukan pati.
3. β-glukosidase sellobiase juga dikenal sebagai sellobiosa, menghidrolisis sellobiosa menjadi glukosa. Dapat digunakan untuk melengkapi selulase kompleks untuk meningkatkan hasil pada fermentasi gula. Menurut Gong dan Tsao (1979), enzim β-glukosidase merupakan enzim terpenting dalam hidrolisis selulosa, karena kedua enzim selulase lainnya yaitu ekso dan endoglukanase dapat hambat oleh selobiosa. Selain itu juga, enzim ini juga penting dalam regulasi induksi selulase. Hidrolisis dari selobiosa eksogenous secara in-vivo
menjadi glukosa yang berfungsi mengatur tingkat glukosa dan selobiosa intraselular sehingga dapat mempengaruhi biosintesis selulase melalui mekanisme induksi-represi.
4. Xilanase merupakan murni endoxylanase dengan spesifisitas yang tinggi terhadap pentosans terlarut. Enzim xilanase mampu membebaskan gula pentosa dari fraksi biomassa hemiselulosa.
5. Glukoamilase digunakan pada cairan yang mengandung substrat pati dalam memproduksi gula untuk fermentasi. Bekerja di tahap-tahap awal proses sakarifikasi sebaik fermentasi dan sakarifikasi yang terjadi pada saat bersamaan. Glukoamilase menghidrolisis ikatan 1,4 dan 1,6-alpha untuk melepaskan glukosa untuk fermentasi berikutnya oleh ragi.
6. Selulase merupakan suatu komplek enzim yang terdiri dari beberapa enzim yang bekerja bertahap atau bersama-sama menguraikan selulosa. Ada empat kelompok enzim utama yang menyusun selulase berdasarkan spesifikasi substrat masing-masing enzim (Enari, 1983).
7. Enzim endo- β-1,4-glukanase (β-1,4-Dglukano hidrolase EC 3.2.1.4) pada substrat CMC, menghidrolisa ikatan glikosidik β-1,4 secara acak dan bekerja terutama pada daerah amorf dari serat selulosa. Enzim ini tidak dapat menyerang selobiosa tapi menghidrolisia selodekstrin dan selulosa yang telah dilunakan dengan asam fosfat serta selulosa yang telah disubstitusi seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulase) dan HEC (Hydroxy Ethyl Cellulase). Enzim ini kurang aktif dalam menyerang selulosa kristal tetapi aktif terhadap selulosa yang telah dimodifikasi secara kimia.
(42)
Aktivitas enzim endoglukanase akan meningkat dengan semakin panjangnya rantai selulosa yang akan dihidrolisis. Enzim ini lebih terkenal dengan nama CMC-ase, karena aktivitasnya yang sangat tinggi pada substrat CMC. Endoglukanase yang telah dimurnikan kurang memiliki kemampuan menghidrolisis selulosa kristalin yang sangat teratur, seperti serat kapas dan Avicel (Mandels, 1982; Gong dan Tsao, 1979).
Enzim β-1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC 3.2.1.91) menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan menghsilkan selobiosa. Enzim ini dapat menyerang selodekstrin tapi tidak menyerang selulosa yang telah disubstitusi serta tidak menghidrolisis selobiosa.
Selobiohidrolase yang dikenal sebagai komponen C1, merupakan bagian terbesar dari selulase yang dihasilkan oleh T. reesei, bekerja dengan cara melepaskan unit-unit selobiosa dari ujung non reduksi rantai selulosa, menunjukkan aktivitas yang sangat tinggi pada selulosa dan sangat rendah pada CMC. Produk utama dari hidrolisis ini yaitu selobiosa. Jika dibandingkan dengan endoselulase, enzim ini membutuhkan substrat dengan kespesifikasian tinggi karena tidak dapat bekerja pada substrat-substrat yang telah disubstitusi. Enzim ini dapat menghidrolisis selooligomer menjadi selobiosa tetapi tidak dapat menghidrolisis selobiosa (Mandels, 1982; Gong dan Tsao, 1979; Enari, 1983).
Selobiohidrolase memiliki aktivitas rendah bila bekerja sendiri pada substrat yang memiliki keteraturan tinggi (Frost dan Moss, 1987). Enzim selobiohidrolase dikenal juga sebagai avicelase karena kemampuannya dalam menghidrolisis avicel. Kecepatan hidrolisis enzim ini tergantung kepada derajat polimerisasi (DP) selulosa, dan meningkat dengan naiknya derajat polimerisasi substrat.
Enzim β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC 3.2.1.74) menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan manghasilkan glukosa. Selain itu juga menyerang selulosa yang telah dilunakkan oleh asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC.
Setelah dilakukan pengujian aktivitas beberapa enzim terhadap susbtart-substrat tersebut terlihat bahwa aktivitas yang berbeda untuk setiap susbtart-substrat. Enzim selulase kompleks jika dilihat aktivitasnya pada ketiga substrat yang digunakan, enzim ini memliki nilai tertinggi pada substrat CMC. Hal ini sesuai dengan kerja dari enzim selulase kompleks yang dapat mengkatalisis bahan selulosa menjadi glukosa, sellibiosa dan glukosa polimer yang lebih tinggi. Enzim ini mengandung berbagai macam enzim pemecah karbohidrat meliputi arabinase, β glukanase, selulase, hemiselulase, pectinase dan xilanase. CMC yang juga merupakan selulosa yang telah disubstitusi manjadi sangat mudah untuk dihidrolisis oleh enzim selulase kompleks. Berbeda dengan substrat lainnya dimana aktivitas enzim ini lebih rendah.
(43)
Sama halnya dengan selulase kompleks, enzim kompleks juga memiliki aktivitas yang tinggi pada substrat CMC dibandingkan pada substrat E.cottonii
dan karaginan. Kandungan dari enzim ini juga berpengaruh terhadap tingginya aktivitas pada substrat CMC disbanding yang lainnya. Pada E. cottonii rendahnya aktivitas kemungkinan diakibatkan kandungan dari substrat yang lebih banyak mengandung polisakarida demikian juga substrat karaginan.
Pada enzim β-glukosidase sellobiase, dapat dilihat bahwa aktivitas yang tertinggi terdapat pada substrat E. cottonii. Hal ini sesuai dengan fungsi dari enzim tersebut yang baik dalam menghidrolisis sellobiosa menjadi glukosa. Selain itu enzim ini bekerja spesifik pada β-, yang lebih banyak terkandung pada substrat E. cottonii dibanding dengan substrat lainnya.
Selanjutnya untuk enzim xilanase memiliki aktivitas yang cukup tinggi pada substrat E. cottonii meskipun tertinggi pada CMC. Hal ini menunjukkan kandungan xilan yang cukup tinggi pada kedua substrat tersebut dibandingkan dengan karaginan yang hanya mengandung karaginan saja.
Glukoamilase memiliki aktivitas tertinggi pada E.cottonii. Enzim menghidrolisis ikatan 1,4 dan 1,6-alpha yang kemungkinan banyak terkandung pada substrat tersebut. Namun pada substrat karaginan memiliki aktivitas yang cukup tinggi juga, hal ini dapat diakibatkan dari karaginan yang merupakan kandungan terbesar dari E.cottonii. Sehingga ikatan 1,4 dan 1,6-alpha juga masih terdapat pada karaginan.
Aktivitas enzim selulase (pabrik kertas) tertinggi pada E. cottonii yang kemungkinan disebabkan kandungan selulosa yang tinggi pada substrat tersebut dibandingkan yang lain. Hal ini mendukung kinerja dari enzim tersebut yang menghidrolisis selulosa dengan baik. Berikutnya enzim Ethol-GE (sinobios) terlihat memiliki aktivitas tertinggi pasa substrat CMC diikuti E. cottonii dan yang terkecil pada karaginan. Berbeda dengan Cel 150, cenderung memiliki aktivitas yang tinggi pada ketiga substrat namun tertinggi pada CMC. Hal ini menunjukkan kandungan selulosa yang tinggi pada CMC dan juga pada E. cottonii yang digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan hasil uji aktivitas beberapa enzim ini, maka dipilihlah enzim dengan aktivitas tertinggi pada substrat E. cottonii yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu Cel 150 dan xilanase.
B.2.1 Enzim Cel 150
Pemberian enzim Cel 150 (1.500.000 U/G) pada hidrolisat dengan konsentrasi tiap enzim yakni 1%, 3%, 5%, 7.5%, dan 10 % dari total substrat, kemudian enzim dilarutkan dengan 25 ml buffer sitrat. Sehingga total volume pada saat hidrolisis enzim sebesar 100 ml. Selanjutnya enzim dengan volume 25 ml dengan konsentrasi yang berbeda ditambahkan ke dalam hidrolisat yang telah dinetralkan. Setiap konsentrasi diinkubasi selama satu, dua, dan tiga hari dengan tiga kali ulangan untuk setiap lama inkubasi tersebut.
(1)
konsentrasi inkubasi
(hari) ulangan
bobot cottoni (gr)
total
padatan rata-rata std
2 15.003 19.31
3 15.002 17.77
2 1 15.000 15.41 16.60 2.27
2 15.000 19.22
3 15.002 15.18
3 1 15.004 26.22 24.82 5.05
2 15.005 19.23
3 15.005 29.02
a.Hasil uji statistik total padatan Xylanase Sumber Keragaman Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas Kuadrat Tengah F hitung F tabel Keterangan
Konsentrasi(A) 611.131 4 152.782 16.64 2.69 *
Hari (B) 3.727 2 1.863 0.20 3.32
A*B 284.744 8 35.593 3.88 2.27
Error 275.480 30
Total 1175.084 44
Keterangan : jika F hitung > dari F tabel maka berbeda nyata (*) b.Konsentrasi (A)
Konsentrasi Rata-rata Keterangan
A2 28.436 A
A1 27.882 A
A3 A4 A5 21.364 20.524 20.172 B B B
Keterangan : rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05 c.Hari (B)
Hari Rata-rata Keterangan
B3 23.886 A
B1 23.872 A
B2 23.269 A
(2)
d.Interaksi Antara Konsentrasi Dan Hari (Inkubasi) Interaksi Rata-rata Keterangan
A2B2 33.473 A
A1B3 28.927 BA
A1B1 A1B2 A2B1 A2B3 A5B3 A3B1 A4B1 A4B2 A3B3 A4B3 A5B1 A3B2 27.973 26.747 25.986 25.848 24.825 24.768 21.543 20.479 20.280 19.550 19.092 19.045 B BC BD BD BECD BECD FECD FED FED FE FE FE
Keterangan : rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05
Lampiran 8. Data total padatan kontrol
lama inkubasi ulangan bobot cottoni total padatan rata-rata std
1 1 15.000 30.38 28.62 1.78
2 15.001 26.81
3 15.003 28.68
2 1 15.000 32.08 32.88 1.52
2 15.000 31.93
3 15.000 34.64
3 1 15.000 32.92 30.47 2.51
2 15.000 27.90
3 15.002 30.58
a. Hasil uji statistik total padatan Xylanase Sumber Keragaman Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas Kuadrat Tengah F hitung F tabel Keterangan
Hari (B) 27.402 2 13.701 3.48 5.14
Error 23.621 6
Total 51.023 8
(3)
b. Hari (B)
Hari Rata-rata Keterangan
B2 32.883 A
B3 30.467 AB
B1 28.621 B
(4)
Lampiran 9. Data hasil fermentasi
Sampel Ulangan Jumlah Gula (gr)
Etanol (% v/v cairan fermentasi)
Rata2 etanol (% v/v cairan fermentasi)
Rata2 Efisiensi Fermentasi
(%)
Efisiensi Substrat
(%)
Rata2 Efisiensi Substrat
(%)
Efisiensi Produks
i (%)
Rata-rata Efisiensi Produk (%)
Cel 150 1 4.587 1.6704 1,4558 45,4139 85.732 86,371 61.045 52,642
2 4.655 1.2412 87.009 44.239
Xylanase 1 2.433 0.3979 0.3143 10.7031 49.492 48.8588 27.132 21.848
(5)
Lampiran 10. Dokumentasi kegiatan
Bahan baku Eucheuma cottonii Pencucian bahan baku
Pencacahan bahan baku Hidrolisat
(6)
Cairan hidrolisat hasil penyaringan Pompa vakum