PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

DAFTAR PUSTAKA

Baharrudin, M. Achwan. 2011. Research Metode dan Pendekatan Antropologi
dalam Studi Agama. Jakarta : Jakarta Press
Honig,

A.G.

2005.

Ilmu

Agama.

Diterjemahkan

oleh

M.D.

Koesoemosoesastro & Soegiarto (cet. ke-11). Jakarta: Gunung Mulia

Jahutar Damanik, NPV: 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan
Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan, medio 1981 cetak ulang tahun
1987
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka
Cipta
______________. 2007. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Maran, Rafael Raga. 2003. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta : PT. Rineka
Cipta
Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya
Margono. (1997). Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Mariasusai, Dhavamany. 2010. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kansius
Riduwan. (2004). Metode dan Teknik Menyusun Thesis. Bandung: Alfabeta

98

Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontremporer : Suatu
Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Edisi Pertama, Cetakan ke-1.
Jakarta : Kencana Prenada Media.
Sinaga, Drs Salmon. 2008. Adat Ni Simalungun. Siantar : Presidium Partuha
Sunjata. 1996. Tradisi, Makna dan Simbolnya. Yogyakarta : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan
Spardley, James. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana
Thouless, Robert H. 1995. Pengantar Psikologi Agama terjemahan Machun
Husein. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Sumber Lain :
www.tuanguru.com/2012/10/kepercayaan-totemisme.html
http://www.academia.edu/5002694/Asasasas_Antropologi_Dr._Abdullah_Taib._DBP_1985
Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994
Kamus Besar Indonesia cetakan ketiga tahun 2013

99

BAB III
ORANG SIMALUNGUN

3.1.

Sejarah Simalungun

Simalungun adalah salah satu suku bangsa asli yang mendiami

Sumatera Utara, tepatnya di timur Danau Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo
menyebut mereka dengan sebutan Timur, karena letak mereka yang disebelah
timur Taneh Karo. Di dalam cakap (bahasa) Karo, “Simelungen” sendiri
bermakna “si sepi, si sunyi, yang dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si =
si, yang; dan me-lungun = sepi, sunyi”, jadi simalungen mengandung artian:
“wilayah (daerah) yang sepi”.
Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini masyarakatnya
hidup berjauhan(tidak berkumpul) sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang
Batak menyebutnya dengan “Si Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu
yang menimbulkan wabah penyakit di wilayah itu.
Dalam tradisi asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal
dari wilayah di India Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar
abad ke-5 Masehi serta menetap di timur Danau Toba (Kab. Simalungun
sekarang), dan melahirkan marga Damanik yang merupakan marga asli
Simalungun(cikal bakal Simalungun Tua).

39


Dikemudian hari datang marga-marga dari sekitar Simalungun seperti:
Saragih, Sinaga, dan Purba yang menyatu dengan Damanik menjadi empat
marga besar di Simalungun.
3.1.1. Gelombang Pertama (Simalungun Proto)
Simalungun Proto( Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore
di India Selatan dan Assam dari India Timur, yang dimana diyakini mereka
bermigrasi dari India ke Myanmar selanjutnya ke Siam (Thailand) dan ke
Malaka hingga akhirnya ke Sumatera Timur mendirikan kerajaan Nagur
(kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik (marga asli Simalungun).
Dalam kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan wilayahwilayah sekitarnya, dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar dari Siam
dan India yang bergerak dari Sumatera Timur menuju Langkat dan Aceh,
namun pada akhirnya mereka terdesak oleh suku bangsa asli setempat
(Aru/Haru/Karo) hingga ke daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.
3.1.2. Gelombang Kedua (Simalungun Deutro)
Pada gelombang kedua ini, atau dengan masuknya marga Saragih,
Sinaga, dan Purba, dikatakan Simalungun asli mengalami invasi dari suku
bangsa sekitar yang memiliki pertalian dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik
dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan aspek ruang dan waktu
dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo: Tarigan
Purba dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan

dari Barat Danau Toba(Pakpak/Dairi: Sinaga).

40

Hal ini juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa yang ada di tradisi
merga di utara Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting: terkhususnya
Ginting Munthe yang mendapat konfirmasi dari marga Saragih, Saragih
Munthe

di

Simalungun

dan

Dalimunte

di

Labuhan


Batu)

dan

Tarigan(Legenda Danau Toba dan Si Raja Umang Tarigan) yang dimana
dalam tradisi dua merga ini menceritakan adanya migrasi dari cabang(sub)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.
Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab Simalungun kuno)
dikisahkan Parpandanan Na Bolag(cikal bakal daerah Simalungun)
merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari
Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga
perbatasan sungai Rokan di Riau.
Namun, kini populasi Simalungun sudah mengalami kemunduran
akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan
Karo) dan terdesak akibat derasnya arus migrasi suku-suku disekitar
Simalungun (khususnya Toba dan Karo)

yang membuat suku bangsa


Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah Simalungun atas saja
(http://sejarah.kompasiana.com/2012/10/05/sejarah-singkat-asal-usul-bangsasimalungun-499339.html)

41

3.2.

Marga Besar di Simalungun

3.2.1. Marga Damanik
Damanik adalah satu marga di antara empat marga pada suku bangsa
Simalungun, Damanik merupakan marga pertama di Simalungun. Damanik
berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun
Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat,
berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Leluhur marga Damanik dan
marga-marga lain dalam Suku bangsa Simalungun berasal dari Nagore (India
Selatan) dan Pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5,
menyusuri Birma ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke
Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari raja dinasti Damanik.
Damanik disebut juga Parbapaan artinya seorang yang dituakan,

tempat bertanya hal-hal yang diperlukan tentang sesuatu dalam ilmu yang
terkandung pada alam semesta, dilihat dari Parhalaan, mempunyai ilmu
pengobatan dan sebagainya, pada zaman dulu disebut Datu (dukun). Karena
oknumya dianggap manusia yang mengetahui rahasia-rahasia alam semesta.
Sebagai Datu sering terlihat dalam pakaian jubah yang ditaburi manik-manik
(permata) pada waktu memanjatkan mantera dalam upacara kepercayaan yang
dianut pada masa itu. Bila dipertautkan dengan zaman kejadiaannya, dengan
suatu masa manurut pra-sejarah kira-kira 800-600 SM.
Pada zaman Kerajaan Sulaiman di Asia, pakaian jubah para Imam,
sama bentuk dan perlengkapannya dengan yang dipakai Datu. Bila demikian,
42

tentu Datu menganut suatu keyakinan di samping ilmu-ilmu yang lain yang
telah diuraikan di atas. Keyakinan di mana dalam masa pra-sejarah (1000
SM) berupa suatu ajaran yang berasal dari Nabi Musa terkenal dengan ajaran
Dasa Sila (sepuluh perintah Tuhan) yang menganggap bahwa manusia sama
adanya di hadapan Tuhan.
Dari fakta sejarah menurut peradaban Simalungun dapat disimpulkan
bahwa orang yang berketepatan sebagai Raja di wilayah masing-masing
ternyata berasal dari satu keturunan Nenek moyang yang tiba di Batubara.

Pada satu generasi yang sama, muncul 3 (tiga) orang bersaudara berkedudukan
sebagai Raja di wilayah masing-masing yang terdiri dari :

1.

Raja Namartuah (Raja Siattar) dari jenis Marga Damanik
Barotbot anak keturunan Marahsilu (Raja Nagur yang terakhir).

2.

Raja Jumorlang (Kerajaan Jumorlang) dari jenis Marga
Damanik (Bah Bolag) anak dari sorotilu (Kerajaan Manakasian).

3.

Timoraja Damanik Nagur, sanak keluarga dari Raja-raja Nagur
terdahulu.

Dari 3 (tiga) jenis anak keturunan marga Damanik dalam peradaban
untuk mengetahui dari antaranya siapa yang tertua, yang tengah dan yang

bungsu, tidak terlihat lagi sebagai tanda-tanda pertalian dalam kekeluargaan
tarombo. Tetapi dari sudut hubungan persaudaraan satu sama lain masih
terdapat satu ketentuan dalam sebutan sebagai berikut :

43

Damanik Barotbot :


Anak keturunan Raja Uluan, Pamatang Sipolha di negeri
Sijambur – Ajibata dan sebagainya.



Anak keturunan Raja Namaringis Raja Siattar di Pematang
Siantar, Marihat.








Anak keturunan Partuanon Pamatang Bandar
Anak keturunan Partuanon Pamatang Sidamanik
Anak keturunan Parbapaan di Batubara (Damanik- Batubara)
Dolog Malele, Bangun, Naga Huta, dan seterusnya.



Anak keturunan Parbapaan di Pulau Raja Damanik –
Simargolong.

Damanik Bah Bolag :

Anak keturunan Raja Jumorlang diberi nama Ariurung Oppu Barita
jabatan Bah Bolag (penguasa lautan) menjadi marga Damanik (Bah Bolag)
berada di sekitar Pamatang Siantar.

Damanik Nagur :

Anak keturunan Damanik Nagur, Damanik Usang, Damanik Sola,
Damanik Rappogos, Damanik Melayu, Damanik Bayu, Damanik Sarasa,
Damanik Rih d.l.l. Sejak Simalungun masih diriwayatkan sebagai Nagur ,
Damanik telah menjadi pemimpin bagi marga lainnya. Sebagai marga

44

bangsawan awal, Damanik mengatur tatanan ke Simalungunan. Namun jika
dilihat dari perjalanan panjang marga Damanik dalam tinjauan habonaron,
maka sebuah kebenaran tidaklah boleh ditiadakan. Bukti dari “Perjalanan
Simalungun/ Damanik dalam Tinjauan Habonaron”, sebagai etnis/marga tua
yang berbudaya dan memiliki peradaban yang tinggi.

Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku bangsa ini
terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.

Kerajaan tersebut adalah:

1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23
Oktober 1889, SK No.25)
2. Panei (Januari 1904, SK No.6)
3. Dolok Silou
4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)
Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan")
tersebut terdiri atas:
1. Raya (Januari 1904, SK No.6)
2. Purba
3. Silimakuta
Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah
Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan
yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling
Simalungun. Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian
45

diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar
Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil
baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan
Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.
3.2.2.

Marga Saragih
Saragih berasal dari Selatan India, yang melakukan perjalanan ke

Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke
Bandar Kalifah sampai Batubara. Secara Etimologis Saragih berasal dari
“simada ragih” dalam bahasa Simalungun, yang mana “ragih” berarti atur,
susun, tata, sehingga simada ragih berarti pemilik aturan atau pengatur,
penyusun atau pemegang undang-undang.

Marga Saragih pertama (Hasusuran-1) itu sendiri muncul saat salah
seorang Puanglima (Panglima) dari kerajaan Nagur dijadikan menantu oleh
Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan satu kerajaan baru di Raya (disebut
Pematang Raya, Simalungun). Saragih terdiri dari banyak sub-marga, antara
lain: Garingging Dasalak, Dajawak, Munthe, Rumahorbo, Siallagan,
Sidabalok,

Sidabukke,

Sidabutar,

Sidahuruk,

Sigalingging,

Sijabat,

Simanihuruk, Simarmata, Sitanggang, Sitio, Sumbayak, Tamba, Tinambunan,
Turnip.

46

Raja Kerajaan Raya:

1.

Tuan Si Pinang Sori

2.

Raja Raya, Tuan Lajang Raya

3.

Raja Raya Simbolon

4.

Raja Gukguk

5.

Raja Unduk

6.

Raja Denggat

7.

Raja Minggol

8.

Raja Poso

9.

Raja Nengel

10.

Raja Bolon

11.

Raja Martuah

12.

Raja Raya Tuan Morahkalim

13.

Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog

14.

Raja Raya Tuan Rondahaim

15.

Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan)

16.

Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya)

17.

Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Saragih merupakan marga poparan raja nai ambaton yang terdapat di
simalungun saat itu. Jika pakai "h" berarti merupakan gabungan poparan raja
nai ambaton (PARNA) masih ada lanjutannya mis: saragih sumbayak, saragih
napitu, saragih garingging, saragih simbolon, dll. Namun jika tidak pakai "h"
47

adalah yang benar benar keturunan op. saragi tua (dari samosir) jadi Marga
Saragih simalungun bukan berarti keturunan op. Saragi Tua saja tetapi
gabungan marga poparan raja nai ambaton (PARNA).

3.2.3. Marga Sinaga

Sinaga merupakan salah satu dari empat marga asli suku bangsa
Simalungun saat terjadi “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara
empat raja besar (Raja Nagur, Raja Banua Sobou, Raja Banua Purba, Raja
Saniang Naga) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan
(marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keturunan dari Raja Saniang Naga di atas adalah marga Sinaga di
Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit
melakukan ekspansi di Sumatera pada abad XIV, pasukan dari Jambi yang
dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan
mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Nenek moyang mereka ini kemudian
menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia
mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou
dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).

Keturunan raja Tanah Jawa berasal dari India, salah satunya adalah
menurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa
keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan
daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan
48

Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan,
postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku bangsa Simalungun
dan Batak lainnya. Perbauran suku bangsa asli Simalungun dengan suku-suku
di sekitarnya menimbulkan marga-marga lain dengan Sinaga. Marga-marga
tersebut antara lain Sipayung, Sihaloho, Sinurat, dan Sitopu.

3.2.4. Marga Purba

Purba secara etimologi bermakna timur, kata ini serumpun dengan kata
"purwa" dalam bahasa Jawa. Kata ini berakar dari bahasa Sanskerta "purva".
Pengaruh budaya India yang kental dengan corak Hindu-Buddha melalui
bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa pada awal abad Masehi sangat besar
peranannya dalam mewarnai kebudayaan nusantara. Pengaruh itu tentunya
tidak terelakkan oleh suku bangsa Simalungun, akibat dari pengaruh yang
berlangsung selama berabad-abad sehingga ditemukan cukup banyak budaya
Simalungun yang bernuansa Hindu-Buddha.

Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di
Simalungun. Marga ini terbagi ke dalam beberapa cabang yaitu Tambak,
Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Sigumonrong, Silangit, Tambun Saribu,
Tua, Tanjung, Pakpak, Siboro, Girsang, Tondang, Sihala, dan Manorsa.
Penamaan Purba sebagai marga dari suatu kelompok masyarakat Simalungun
dapat dideskripsikan bahwa nenek moyang mereka berasal dari arah timur
pulau Sumatera.

49

Leluhur awal marga Purba datang dari Siam bersamaan dengan
Saragih dan Sinaga, mereka berlayar ke Pulau Sumatera tepatnya ke Sumatera
Timur, jalur pelayarannya melalui India. Ada 2 lokasi yang diduga menjadi
tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur, yaitu pesisir
Serdang Bedagai dan Asahan sekarang. Mereka kemudian masuk ke
pedalaman dan berbaur dengan masyarakat setempat.

Purba Sigumondrong berasal dari Lokkung, keturunannya kemudian
menyebar ke Cingkes, Marubun, Togur, dan Raya, Simalungun. Marga ini
merupakan keturunan dari Purba Tambak yang lahir dari boru Simarmata.
Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Gerneng.
Adapun leluhur Purba Tondang berawal dari kampung Huta Tanoh di
Kecamatan Purba, marga ini merupakan saudara dari Purba Tambun Saribu.
Sebagian keturunannya meyakini leluhur mereka berasal dari Purba Parhorbo
di Humbang.

Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan
Tendang. Saudaranya, Purba Tambun Saribu berasal dari Harangan Silombu
dan Binangara di Kecamatan Purba, keturunannya yang pindah ke tanah Karo
beralih menjadi Tarigan Tambun. Tua. Cabang marga Purba lainnya yaitu
Purba Tua, marga ini adalah pendiri kampung Purba Tua yang berada di
Kecamatan Silimakuta, sebagian meyakini marga ini merupakan saudara dari
Purba Tanjung yang mendiami daerah Sipinggan, simpang Haranggaol.

50

Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tua dan
banyak bermukim di Juhar.

Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga
Cibero di Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih
menjadi Tarigan Sibero. Kampung asal Purba Tanjung berada di Sipinggan
dekat simpang Haranggaol, sebagian keturunannya meyakini marga mereka
lahir dari Purba Pakpak. Sedang pendapat lain mengatakan leluhur mereka
adalah Purba Tambak, di mana salah seorang keturunannya pergi berdiam di
sebuah tanjung di pinggiran Danau Toba.

Adapun marga Girsang, dari hasil investigasi penulis beberapa waktu
yang lalu, di mana salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia
menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Leluhur
marga ini tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, pemukimannya itu
diberikan oleh Raja Mandida Manik Karena menikahi puterinya.

Salah seorang keturunan si Girsang ada yang memiliki keahlian
meramu obat sehingga dikenal juga dengan sebutan Datu Parulas dan
menyumpit burung sehingga digelari juga dengan Pangultop. Adapun nama
leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya
adalah 2 orang bersaudara yaitu Girsang Girsang dan Sondar Girsang, mereka
ini keturunan ke 11 dari Raja Ghaib, leluhur pertama marga Cibero.

51

Keduanya melakukan perburuan terhadap seekor burung, karena
mengejar burung tersebut salah seorang di antara keduanya sampai ke
Simalungun dan memasuki kampung Naga Mariah tanah ulayat marga Sinaga.
Pada masa itu Tuan Naga Mariah tengah mendapat ancaman dari musuh yang
datang dari Kerajaan Siantar, berkat bantuan si Girsang musuh dari Siantar
dapat diatasi. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menikahkannya
dengan puterinya dan menyerahkan tampuk kekuasaan padanya.

Adapun penduduk asli tempat itu yaitu marga Sinaga, setelah
kekuasaan beralih ke tangan si Girsang, mereka akhirnya banyak yang
mengungsi ke Batu Karang dan menjadi marga Peranginangin Bangun. Di
tempat itu, Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu sebagai
ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu
Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Nagamariah.

Marga ini terbagi lagi menjadi Girsang Jabu Bolon, Girsang Na
Godang, Girsang Parhara, Girsang Rumah Parik, dan Girsang Rumah Bolon.
Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang,
kampung Sinaman di Kecamatan Tiga Panah merupakan salah satu kampung
yang didirikan keturunan Girsang yang pindah ke tanah Karo. Adapun
keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini
yang disebut dengan Girsang Silangit. Peristiwa yang sama juga dialami salah
seorang keturunan marga Cibero yang bergelar Pangultopultop.

52

Karena memburu seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima
Punggapungga membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki
wilayah kekuasaan Tuan Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan
Panei. Karena kepiawaiannya ia berhasil merebut hati rakyat Simalobong saat
terjadi musim paceklik sehingga rakyat pun dengan sukarela memanggilnya
raja. Hal ini menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong,
karena ia merasa ialah satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut.

Akibatnya Pangultopultop berurusan dengan pihak istana dan
berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong, peristiwa ini berujung dengan
adu sumpah (marbija) antara keduanya yang akhirnya berhasil dimenangkan
oleh Pangultopultop. Kepemimpinan kemudian jatuh ke tangannya, di bekas
wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan Kerajaan Purba dan
mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak.

Pengetua adat marga Cibero tersebut dengan tegas mengatakan bahwa
Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba dan nenek moyang pertama
Purba Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya
adalah Gorga, ia memiliki seorang saudara yg bernama Buah atau Suksuk
Langit, saudaranya inilah yg pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero.

Mereka ini merupakan generasi ke 20 dari Raja Ghaib, generasi awal
marga Cibero. Kalau merujuk pada pendapat beliau, artinya lebih dahulu si
Girsang merantau ke Simalungun dibanding si Parultop, ada selisih 9 generasi
antara Girsang dan Parultop, leluhur Purba Pakpak. Di antara keturunan Purba
53

Pakpak ada yang membelah diri dan menyebut marganya dengan Purba Sihala
dan mendiami daerah Purba Hinalang, keturunannyalah yang pindah ke tanah
Karo menjadi Tarigan Purba atau Tarigan Cikala yang banyak ditemukan di
daerah Cingkes dan Tanjung Purba, Kecamatan Dolog Silou.

Daftar Raja Purba:
1. Tuan Pangultop Ultop (1624-1648)
2. Tuan Ranjiman (1648-1669)
3. Tuan Nanggaraja (1670-1692)
4. Tuan Batiran (1692-1717)
5. Tuan Bakkaraja (1718-1738)
6. Tuan Baringin (1738-1769)
7. Tuan Bona Batu (1769-1780)
8. Tuan Raja Ulan (1781-1769)
9. Tuan Atian (1800-1825)
10. Tuan Horma Bulan (1826-1856)
11.Tuan Raondop (1856-1886)
12.Tuan Rahalim (1886-1921)
13. Tuan Karel Tanjung (1921-1931)
14. Tuan Mogang (1933-1947)

54

3.3.

Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun
Pattangan merupakan fenomena yang menunjukkan kepada hubungan

organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu suatu spesies
tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini diungkapkan
sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan
khusus perkawinan di luar suku bangsa.
Pattangan merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas.
Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang
mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan mistik atau ritual antara
anggota-anggota kelompok sosial dan suatu jenis binatang atau tumbuhan. Di
dalam pattangan, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu pattangan,
lambang pattangan dan para anggota suku bangsa itu sendiri. Fenomena
tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan
membunuh atau makan daging binatang pattangan atau mengganggu tanaman
pattangan (Mariasuasai, 2010 : 54).
Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di
provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun
dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku bangsa ini
berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku bangsa ini terbagi ke
dalam beberapa kerajaan.
Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga
pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga (nama
55

keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak
menyebut suku bangsa ini sebagai suku bangsa "Si Balungu" dari legenda
hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang
Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.
Terdapat

berbagai

sumber

mengenai

asal-usul

Suku

bangsa

Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku
bangsa Simalungun berasal dari luar Indonesia, kedatangan ini terbagi dalam 2
gelombang (Damanik, 1987), Gelombang pertama (Simalungun Proto ),
diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India
Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk
selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur
dari Raja dinasti Damanik.
Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di
sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku bangsa asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan
bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam
dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah
Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku bangsa setempat hingga bergerak
ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir. Pustaha Parpandanan Na
Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na
Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera
56

Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke
Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo
dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Salah satu kepercayaan asli yang masih mempunyai masyarakat
pendukung di daerah Sumatera diantaranya adalah kepercayaan Habonaron
Do Bona10. Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah
masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat
Simalungun merupakan salah satu dari enam subsuku bangsa Batak yang
secara geografis mendiami daerah induk Simalungun.
Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya
Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan laku dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai
luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya,
seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam
semesta.
Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam menurut kepercayaan
Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu
yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Naibata. Naibata adalah satu

10

Habonaron Do Bona adalah sebuah filosofi hidup masyarakat Simalungun yang artinya
adalah dasar dari segala sesuatu yaitu mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan
bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga baik bagi semua pihak, di
mana mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya di hadapan semua manusia

57

(sada) dan Maha Kuasa (Namar Kuasa/Namar Huasa). Karena Naibata adalah
awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah
ciptaan-Nya.
Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing, pemelihara
dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat pendukung
kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut Simagot,
Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur
adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan
yang disukainya. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan
adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaanNya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh
leluhur dan kepada keramat-keramat maupun kepada hewan dan tumbuhan.
Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan
Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam
Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau), Penolong (Tuhan Maha Pengasih),
Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber
Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya. Kemudian ajaran Habonaron
Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh
Tuhan yang terdiri dari laki-laki (dalahi) dan perempuan (daboru/naboru).
Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan
bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan baik itu
58

bencana, tumbuhan, hewan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan
gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa maupun dari
arwah leluhur.
Bencana Banjir (halonglongan), gampa bumi (sohul-sohul), angin ribut
(aliogo doras), petir (porhas), kegagalan panen, wabah penyakit, hewan
sebagai penolong, hewan dapat memberikan keberkahan dan bahkan tidak
mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib
Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia.
Jauh sebelum Habonaron Do Bona di Simalungun sudah terdapat
kepercayaan totemisme. Suku bangsa di Simalungun percaya terhadap hewan
sebagai salah satu yang dapat membantu mereka di dalam kehidupannya. Ada
kepercayaan khusus terhadap hewan dan suku bangsa Simalungun percaya
bahwa hewan tersebut adalah titisan dari Pencipta bumi ini. Hewan ini banyak
ragamnya, di dalam setiap marga memiliki hewan tersendiri. Dari kepercayaan
ini lah suku bangsa Simalungun terbantu dengan kehidupan yang mereka
jalani.
Kepercayaan mereka tersebut telah menjadi satu acuan dalam mereka
melangsungkan kehidupan mereka. Disaat mereka membutuhkan suatu
pertolongan, mereka langsung mencari hewan tersebut dan meminta tolong.
Bahkan di antara mereka ada yang memilihara hewan serta memberikan
makan juga. Suku bangsa Simalungun memperlakukan hewan tersebut sama

59

seperti dirinya. Hewan tersebut di beri makan, di rawat agar tetap hidup
dengan baik.
Bahkan dari suku bangsa Simalungun sendiri tidak jarang beranggapan
bahwa mereka berasal dari jelmaan hewan. Biasanya mereka menganggap
bahwa hewan tersebut adalah nenek moyang mereka. Mereka dahulunya
adalah jelmaan dari hewan sehingga saat ini mereka juga di bantu oleh hewan
untuk bertahan hidup. Jika di telaah lebih dalam, sebenarnya totemisme
merupakan sistem kepercayan pada zaman pra sejarah.
Suku bangsa Simalungun beranggapan bahwa hewan juga memiliki
roh, hal itu disebabkan karena ada hewan yang lebih kuat dari manusia seperti
harimau dan ada juga yang lebih cepat dari manusia. Banyak hewan yang
memiliki kelebihan dibandingkan manusia sehingga ada perasaan takut atau
juga menghargai binatang tersebut.
Tidak jarang hewan tersebut membantu suku bangsa Simalungun.
Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan hewan dapat berupa
hubungan permusuhan atau hubungan baik, hubungan persahabatan, bahkan
hubungan keturunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan
adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaanNya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh
leluhur dan kepada keramat-keramat. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka
banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti; Namar Huasa (Tuhan
Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau),
60

Pernolong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun),
Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan
lainnya.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai
tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Upacara menyembah kepada
Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat.
Masyarakat Simalungun mengenal bermacam-macam upacara seperti:






Upacara dauh hidup.
Upacara membongkar tulang belulang.
Upacara pesta tuan (Robu-robu/Harja Tuan), yaitu
upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk
memulai

suatu

usaha

seperti

kegiatan

pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil
yang memuaskan.




Upacara memasuki rumah baru.
Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa
(mambere tambunan/pagar parsakutuan).





Upacara menghormati roh suci penjaga desa.
Upacara menghormati keramat pelindung (mambere
simumbah).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran
Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan laranganlarangan. Apabila perintah dan larangan tersebut dipatuhi dapat menjadikan
61

ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan larangan tersebut,
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama
tutur (hamat hubani urang tua oppa hasoman marihutkon turur).
2. Menghormati guru (hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar).
3. Membantu orang lain (manappati).
4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan
kandungan.
5. Tidak boleh kimpoi semarga (ulang marboto-boto).
6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai
“berwarna kuning” (ulang iaben manetek iluhni halak magorsing).
7. Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).
8. Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi).
9. Tidak boleh berbohong (ulang marguak).
10. Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai).
11. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).
12. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto
otoi/ulang mangkhianat).
Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron
Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan
liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam (ulang
62

massedai). Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan
manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Rasa syukur dan
permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam,
misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian,
dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil
yang memuaskan.
Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro
(mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme (mendoakan saat
padi sedang bunting), memutik (mendoakan saat padi sudah menguning),
menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat)
dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah
terkumpul). Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan,
manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti
jujur terhadap diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri. Sistem
kepercayaan telah berkembang pada masa manusia purba. Mereka menyadari
bahwa ada kekuatan lain di luar mereka. Oleh sebeb itu mereka berusaha
mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut dan kepercayaan tersebut salah
satunya adalah pattangan.

63

BAB IV
PATTANGAN DAN FUNGSINYA

4.1.

Kepercayaan Pattangan Marga Besar Simalungun di Saribudolok

4.1.1. Kepercayaan Marga Damanik terhadap Pattangan
Pattangan merupakan sesuatu larangan untuk memakan, memelihara,
menikah dan sebagainya. Salah satu dari pattangan tersebut yaitu pattangan
terhadap hewan, baik membunuh, memakan, dan memelihara. Pada zaman
dulu saat manusia belum memiliki agama, manusia memiliki pandangan di
dalam kepercayaan. Di dalam penelitian ini, peneliti akan membahas tentang
pattangan dari kepercayaan marga Damanik.
Damanik merupakan marga tertua di Simalungun, dimana Raja
Damanik pertama bernama Raja Nagur Tengku Raul Dinasti Damanik.
Kerajaan ini terletak di pesisir pantai Nagur 400 SM. Nagur yang artinya
tempat persembahan tentu memiliki alasan yang kuat, salah satu diantaranya
yaitu Ular Sibaganding Tua. Ular ini merupakan ular yang sangat dihormati
oleh masyarakat bermarga Damanik.
Ular Sibaganding Tua diyakini membawa rezeki yang melimpah bagi
masyarakat Damanik. Ular ini dipercayai dapat memberikan keuntungan yang
berlimpah ketika seseorang mendapatkan atau memeliharanya. Bahkan, ular
ini terkadang dengan sendirinya datang ke orang yang membutuhkan.

64

Ketika petani ingin mendapatkan hasil yang maksimal maka petani
membiarkan Ular tersebut berada di dalam lumbung padi bahkan petani
sengaja menaruh ular tersebut di dalam lumbung padi, sehingga besoknya padi
tersebut akan bertambah banyak. Bahkan ular itu sendiri yang terkadang
datang dan tetap berada di dalam tumpukkan padi tersebut. Ular langka inilah
yang dipercayai marga Damanik dapat mengabulkan permintaan mereka.
Bapak Khairuddin Damanik mengatakan bahwa Ular Sibaganding Tua
merupakan ular yang sangat langka, ular ini sebesar ular piton hanya saja ular
ini memiliki panjang sekitar 70cm. Di bagian kepala ular ini terdapat sebuah
simbol seperti padi, ular ini sangat sulit untuk bergerak karena bentuk
tubuhnya, ular ini berwarna putih kecoklatan.
Ular ini sangat dipantangkan oleh marga Damanik. Bapak yang berasal
dari keturunan Raja Bajao Galunggung Damanik mengatakan bahwa ular ini
tidak boleh diperlihara maupun dibunuh oleh marga Damanik. Ketika marga
Damanik membunuh ular maka marga Damanik tersebut akan sakit, bahkan
ketika hanya terkena percikan darah marga Damanik tersebut dapat terkena
penyakit sampar.

65

“orang zaman dulu itu kan sakti-sakti, biasanya
ada ritual untuk Sibaganding Tua itu. Ritualnya
itu memberi napuran11, terus ada juga jeruk
purut. Jeruk purut ini ada dua tujuannya, untuk
yang jahat dan yang baik. Biasanya ada
permintaan kita juga pas ngasih sesajen itu.
Tapikan kalau yang baik kita lakukan, yang baik
juga kita dapatkan. Makanya tergantung kita
lah mau meminta apa, biasanya rezeki
bertambah. Karena kalau zaman dulu hatinya
masih banyak yang bersih, tidak seperti
sekarang. Tidak hanya itu saja, biasanya kalau
kita mau menjual padi kita harus memakannya
dahulu baru dapat di jual.” Demikianlah
penuturan dari Bapak Khairuddin Damanik (69
tahun).
Ular Sibaganding tua ini merupakan ular yang sangat dipercayai oleh
marga Damanik, bahkan ular ini sudah turun temurun menjadi penolong bagi
keturunan Damanik. Tidak diketahui asal ular ini darimana, tetapi marga
Damanik yakin ular ini adalah kiriman dari pencipta, jelas Bapak Khairuddin.
Pattangan terhadap ular Sibaganding Tua merupakan bagian dari
masyarakat bermarga Damanik terdahulu karena mereka menganggap ular
tersebut membantu mereka dalam bertahan hidup serta dalam mencari mata
pencaharian. Ular ini selalu datang di saat marga Damanik membutuhkan.
Ular sama seperti hewan pada umumnya tidak memiliki akal dan pikiran,
tetapi Damanik percaya bahwa hewan ini memang penolong bagi marga
Damanik. Ritual terhadap ular Sibaganding tua ini rutin dilakukan terus

11

Nappuran adalah daun sirih yang biasa di gunakan masyarakat Simalungun untuk dimakan,
meramu obat, ritual dan bahan untuk acara adat.

66

menerus. Meskipun demikian, Khairuddin mengaku bahwa pada saat ini ritual
itu sudah tidak ada lagi seiring perkembangan zaman. Pada masa sekarang
Ular yang dijadikan penolong di marga Damanik ini jarang ditemukan.
Bahkan, marga Damanik sendiripun sudah jarang menemukan ular
tersebut. Ular ini dipercayai sudah tidak ada lagi, menurut bapak Khairuddin
karena manusia semakin tamak dan semakin banyak kejahatan sehingga ular
tersebut tidak pernah terlihat lagi. Akan tetapi, bapak Khairuddin sebagai
keturunan Damanik tetap mengajarkan kepada anaknya untuk tidak
membunuh ataupun menangkap ular tersebut. Karena Sampai saat ini bapak
Khairuddin percaya bahwa ular tersebut memberi keberuntungan kepada
marga Damanik. Meskipun ular ini tidak terlihat bapak khairuddin percaya
bahwa ular ini akan muncul saat Damanik membutuhkan.
Ular ini akan muncul ketika manusia tidak banyak lagi melakukan
kejahatan karena ular ini selalu memberikan keberuntungan. Hal ini yang
dipercayai bapak Khairuddin keketurunannya agar mereka mengingat apa
yang terjadi di sejarah marga Damanik. Bertahannya marga Damanik karena
adanya campur tangan si ular, karena pertolongan ular jugalah marga Damanik
dapat bertahan hidup.
Ular Sibaganding Tua adalah hewan yang di anggap bersahabat dengan
marga Damanik. Hasil penelitian dari peneliti menunjukkan bahwa bapak
Khairuddin sangat percaya bahwa ular adalah bagian dari marga Damanik
yang menjadi keberuntungan. Menurut bapak Khairuddin, hubungan
67

kekerabatan antara ular dan marga Damanik harus tetap di jaga bahkan
dilestarikan karena itu adalah salah satu sejarah marga Damanik.

Bapak

Khairuddin juga menjelaskan bahwa dia selalu memantangkan anaknya untuk
tidak membunuh ular dan terlebih ular Sibaganding Tua. Banyak manusia
takut dengan ular tetapi tanpa disangka ular jugalah yang membantu manusia.
Hubungan kekerabatan ini merupakan bagian dari kebudayaan. Peneliti
melihat bahwa marga Damanik dan Ular saling memiliki tugas yang
berkesinambungan. Dimana marga Damanik tidak menganggu dan memberi
makan ular Sibaganding Tua dan sebaliknya Sibaganding Tua memberikan
keberuntungan bagi marga Damanik.
Meskipun ular ini sekarang susah untuk ditemukan, marga Damanik
tetap pada pattangan mereka untuk tidak menganggu ular Sibaganding Tua.
Hubungan kekerabatan yang terjadi anatara manusia dan hewan memang hal
yang tabu pada saat masa sekarang. Tetapi pada saat dulu hubungan
kekerabatan inilah yang menguntungkan kedua jenis ciptaan Tuhan.
4.1.2. Kepercayaan Marga Saragih terhadap Pattangan
Marga Saragih merupakan bagian dari suku bangsa Simalungun,
dimana marga Saragih juga memiliki pattangan. Pattangan di Saragih berbeda
dengan marga yang lain juga, yaitu burung perkutut atau bahasa Simalungun
mengatakan adduhur. Burung perkutut ini merupakan penolong bagi marga
Saragih.

68

Pada masa penjajahan di Simalungun, Saragih bersembunyi di semaksemak karena di kejar oleh musuh. Akan tetapi saat musuh mencari dan
hampir menemukan Saragih, tiba-tiba ada burung perkutut singgah di atas
semak-semak tersebut. Burung perkutut ini terlihat tenang dan tidak bersuara
sama sekali, seakan tidak ada siapa-siapa disekitarnya.
Sehingga musuh pun melewati Saragih dan mencari terus, akhirnya
Saragih selamat dari musuh yang ingin membunuhnya. Saragih pun
menceritakan hal tersebut kepada keturunannya, sehingga sampai saat ini
burung perkututlah yang menjadi pattangan pada marga Saragih.
Burung ini mungkin pada awalnya tidak sengaja hinggap di atas pohon
akan tetapi burung ini sudah menyelamatkan satu nyawa. Burung perkutut
masih sering ditemui pada saat sekarang. Burung ini juga tidak memiliki
kelebihan, tetapi marga Saragih sangat berterimakasih kepada burung ini.
Saragih beranggapan, seandainya burung ini tidak ada mungkin marga Saragih
juga akan sedikit pada saat sekarang.
Perkutut merupakan burung yang tidak boleh di makan dan di buru, hal
itu sebagai bukti penghormatan Saragih kepada burung perkutut. Ketika kita
hanya berniat ingin membunuh pun sudah sama dengan mengabaikan masa
lalu. Burung ini sama sekali tidak memiliki kelebihan seperti hewan lainnya.
Alber Saragih menjelaskan hal tersebut, perkutut merupakan penolong bagi

69

Saragih. Seandainya musuh tersebut mendapati Saragih, tentu Saragih tidak
akan memiliki keturunan lagi.
Akan tetapi, tidak ada ritual khusus untuk burung perkutut yang
disebut adduhur. Saragih hanya sekedar bersahabat dengan burung perkutut,
sehingga tidak ada hal khusus yang diberikan kepada perkutut. Hanya saja
untuk menghormati, marga Saragih sering memberi makan burung tersebut.
“Seandainya pun di makan, itu karena betulbetullah tidak ada makanan. Dan sangat
terpaksa memakannya karena tidak ada pilihan.
Meskipun gitu, harus kita ganti namanya karena
tidak boleh kita bilang makan burung perkutut
tapi kita ganti misalnya namanya jadi si Bennet.
Harus kita pikirkan di otak kita kalau itu bukan
perkutut.karena tidak lah manusiawi kalau kita
memakan burung yang sudah menyelamatkan
kita.” Ujar Alber Saragih (46 tahun) dalam
wawancara.
Alber mengetahui hal tersebut dari kakenya dan kakek tersebut
mengetahui dari nenek moyang marga Saragih. Burung tersebut memang tidak
dipelihara oleh nenek moyang saragih, tetapi ketika burung tersebut berada di
sawah mereka tidak mengusir dan membiarkan. Nenek moyang dari Saragih
mengatakan bahwa keturunannya harus tahu tentang sejarah perkutut ini.
Alber Saragih, mengatakan bahwa dia tidak menceritakan hal tersebut
kepada anak-anaknya. Alasan yang diutarakan oleh Alber yaitu karena Alber
merasa bahwa hal tersebut hanya kebetulan saja. Alber yang seorang sarjana
sejarah memberi penjelasan, alasannya karena mungkin saja pada saat itu,
70

burung perkutut sendiri tidak tahu bahwa dibawahnya ada seseorang sedang
bersembunyi.
Alber Saragih mengatakan mungkin saja itu hanya kebetulan dan
merasa selamat karena ada burung sehingga dia bisa selamat dari musuh.
Bukan hanya itu saja Alber Saragih berpandangan bahwa perkutut hanya
kebetulan karena anaknya sendiri telah memakan burung perkutut itu dan tidak
terjadi apa-apa.
Anak dari Alber ini melihat ada burung dan dia menangkapnya
bersama mertua dari Alber Saragih. Nenek dari anak Alber inilah yang
menangkap lalu mereka memasak dan memakannya. Nenek ini memang tidak
mengetahui kalau itu adalah pantangan dari marga menantunya. Bahkan anak
Alber ketika memakannya terlihat sangat senang dan ketagihan. Rasa enak
dari burung perkutut inilah yang mebuat si anak ketagihan.
Pada saat itu Alber tidak tahu bahwa anaknya memakan burung
perkutut, setelah memakan burung perkutut itu tidak ada keluhan dari
anaknya. Saat itu juga Alber semakin teguh dengan pendiriannya tentang
Perkutut. Meskipun demikian, Alber tetap tidak akan memakan burung
Perkutut karena dia berpandangan bahwa dirinya menjadi keturunan terakhir
yang percaya tentang burung Perkutut dan kakeknya. Alber juga menegaskan
kalau hal tersebut tidak masuk di akal.
Bahkan pada masa sekarang, burung Perkutut sering memakan benih di
sawah atau mengganggu tumbuhnya padi. Bahkan menrut Alber, burung
71

perkutut ini sangat merugikan tanaman padinya. Tetapi Alber hanya tidak
akan memberi tahu kepada keturunannya saja bukan kepada keturunan Saragih
lainnya. Alber juga mengaskan bahwa tidak semua Saragih berfikiran sama
dengannya, apalagi seumuran orangtuanya.
Orangtua yang sudah tua memang masih berpandangan bahwa perkutut
ini penolong. Tetapi melihat perkembangan zaman yang semakin pesat,
banyak marga Saragih yang tidak mempercayai. Padahal, sekalipun mereka
tidak percaya tetap saja perkutut memiliki sejarah tersendiri bagi marga
Saragih. Perkutut sudah membantu dan sebaliknya Saragih memberikan
kebebasan bagi perkutut. Ini merupakan hubungan kekerabatan yang saling
menguntungkan.
Pattangan dilakukan tentu karena ada sesuatu hal yang terjadi di masa
lampau dan di bawa sampai masa kini. Teori fungsionalisme mengatakan
bahwa di dalam kebudayaan tentu ada unsur yang saling berfungsi. Demikian
halnya dengan sejarah burung Perkutut dan Saragih, Saragih beranggapan
burung Perkutut sebagai penolongnya sehingga dia menghargai kehadiran
burung Perkutut. Interpretasi budaya juga terlihat dari pandangan dan
pengertian Alber Saragih tentang sejarah dari apa yang marga Saragih
pantangkan.
4.1.3. Kepercayaan Marga Sinaga terhadap Pattangan
Damanik dan Saragih memiliki pantangan yang berbeda meskipun
mereka satu suku bangsa, yaitu suku bangsa Batak Simalungun. Demikian
72

halnya dengan Sinaga, Marga Sinaga juga memiliki pattangan sendiri di
keturunan Sinaga. Sinaga berasal dari India yang datang ke kerajaan Nagur.
Pantangan awal di marga Sinaga adalah Lembu, dimana pada saat itu
anak dari Sinaga lahir di sebelah Lembu. Pada saat istri Sinaga yang datang
dari India melahirkan, Sinaga sedang tidak ada di tempat malahirkan dan
hanya ada Lembu yang menemani istri Sinaga tersebut.
Informan peneliti menguraikan bahwa Sinaga berasal dari India pada
masa kerajaan Nagur dan selanjutnya keturunan Sinaga juga berasal dari
Padang, Chaniago. Karena itulah raja di Tanah Jawa beragama muslim. Pada
tahun1761 Sinaga hanya ada delapan di daerah Sondi Raya sampai Merek.
Tujuh orang laki-laki dan satu orang perempuan, tiga diantara mereka
memiliki pattangan yaitu hewan Teringgiling dan empat orang adalah ular.
Pattangan terbagi lagi menjadi dua karena mereka menyembah hewan
tersebut. Mereka beranggapan bahwa ketika menyembah hewan tersebut
mereka akan mendapat kekuatan seperti filosofi dari Ular dan Teringgiling.
Hewan yang di sembah tentu menjadi pantangan untuk di makan akan
tetapi dapat di pelihara tanpa disakiti. Biasanya di dalam menyembah tentu
ada sesajen diantaranya, sirih, jeruk purut, tebu merah, pisang emas dan pasir.
Sesajen tersebut diberikan kepada ular dan Teringgiling dan memiliki tujuh
tingkatan.

73

Beda halnya dengan Lembu, Lembu merupakan hewan kesatuan dari
awal Sinaga karena setia menjaga istri Sinaga saat Sinaga tidak ada. Akan
tetapi pada masa sekarang hampir seluruh Sinaga memakan lembu. Pada saat
sekarang ini, bapak Sinaga tidak percaya dengan hal tersebut seperti yang Dia
katakan;
“dulu saya percaya tetapi sekarang ya tidak
saya percayai lagi, karena di atas kekuatan
masih ada kekuatan yang jauh lebih besar yaitu
Tuhan. Dari lahir saya beragama, orangtua
saya juga beragama. Tetapi karena masih kental
dengan adat, tentu keluarga saya percaya dan
sejalan semuanya dengan agama.”
Bapak Sinaga dulu menyembah Ular, tetapi dia tidak lagi menyembah
pada saat ini karena agamanya. Bapak Sinaga mengetahui sejarah tentang
pantangannya dari orangtuanya, meskipun demikian bapak Sinaga lebih
percaya dengan ajaran agama yang dia anut.
Bapak Sinaga juga mengatakan bahwa hewan yang kita sembah harus
sesuai dengan yang di sembah leluhur kita. Menurut pandangan Bapak Sinaga,
hal yang tidak mungkin kita menyembah ketika tidak sesuai dengan keturunan
kita. Itu terjadi karena adanya pembagian sesembahan di marga Sinaga.
Marga Sinaga, Lembu, Ular, Teringgiling memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Marga Sinaga membutuhkan Ular dan Teringgiling
yang dipercayai sebagai sumber kekuatan, sementara Lembu sebagai teman
yang ada di saat manusia membutuhkan. Pandangan ini tentu mendukung teori

74

fungsionalisme. Dimana unsur kebudayaan dan manusia berhubungan dan
memiliki fungsi yang saling mendukung.
4.1.4. Kepercayaan Marga Purba terhadap Pattangan
Marga Purba merupakan marga yang tidak hanya ada di Simalungun,
melainkan di Karo, Pakpak Dairi. Marga Purba Simalungun memiliki
kepercayaan kepada hewan sebagai nenek moyang mereka. Kepercayaan itu
muncul melalui cerita turun temurun dari nenek moyang Purba.
Asal Marga Purba tidak lepas kaitannya dengan hewan yaitu ular.
Dahulu marga Purba menikah dengan perempuan yang sangat cantik. Ternyata
perempuan itu adalah bidadari dimana ibunya seekor ular dan ayahnya seeokor
burung kakak tua. Konon ceritanya ular itu di kutuk oleh seseorang sehingga
mereka tinggal di sebuah hutan yang sangat lebat. Hutan tersebut berada
antara Simalungun dan Tanah Karo.
Purba yang dibuang oleh keluarganya dari Simalungun terpaksa
bertahan hidup selama tujuh tahun di tengah hutan. Sampai pada akhirnya, dia
memutuskan untuk keluar dari hutan tersebut. Tetapi saat diperjalanan dia
bertemu dengn seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

8 111 119

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

12 80 112

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 11

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 1

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 18

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 20

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 2

BAB II GAMBARAN UMUM - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 2 24

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 0 15