PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

(1)

PATTANGAN

(Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Disusun Oleh:

MARK SINAR RAFAEL GIRSANG NIM: 100905034

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PATTANGAN

(Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah disajikan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap meninggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, September 2015 Penulis


(3)

ii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PATTANGAN” (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)” disusun oleh Mark Sinar Rafael Girsang (100905034), 2015. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, daftar pustaka serta lampiran.

Penelitian ini membahas tentang pattangan bagi marga-marga pada Simalungun yang ada di Saribudolok. Pattangan merupakan bentuk dari totemisme, dimana hewan dianggap sakral sehingga tidak akan dibunuh, dimakan, disakiti dan digganggu habitat hewan tersebut. Ada empat marga besar di Simalungun yang menjadi objek penelitian ini yaitu marga Damanik, marga Saragih, marga Sinaga, dan marga Purba.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan kepercayaan Simalungun terhadap pattangan dan bagaimana fungsi pattangan

tersebut bagi kehidupan masyarakat Simalungun yang ada di Saribudolok. Disini penulis memaparkan bagaimana orang Simalungun meyakini bahwa hewan dianggap sebagai pattangan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat mendeskripsikan, dengan metode tersebut akan dilihat bagaimana kepercayaan marga simalungun terhadap hewan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsionalisme. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi. Wawancara dilakukan kepada masyarakat Simalungun di Saribudolok mengenai permasalahan yang terkait dengan penelitian.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa setiap marga besar Simalungun memiliki kepercayaan terhadap hewan yang disebut dengan pattangan.

Damanik, Saragih, Sinaga dan Purba merupakan marga besar dari suku Simalungun. Damanik mempercayai ular Sibaganding Tua, Saragih mempercayai Burung Perkutut, Sinaga mempercayai harimau, dan Purba mempercayai ular. Namun tidak semua masyarakat simalungun di Saribudolok mengetahui alasan mengapa mereka menganggap hewan tersebut menjadi pattangan bagi marga mereka.


(4)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang mha Esa, karena kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah : PATTANGAN (Studi Etnografi

Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, Ayahanda Alm. Rohman Girsang, BBA yang sekarang telah bersama dengan Bapa di Surga. Dan juga terlebih kepada Ibunda Yuspita Meiliana br Sipayung yang selalu mengasihi dan memberikan semangat, doa dan dana selama penulis melakukan perkuliahan, juga kepada kakak penulis yang tercinta Evayani Yossefina Girsang, S.E, Catherine Natalia Girsang, A.Md dan adik penulis yang sangat penulis kasihi Roy Michael Elmando Girsang yang selalu memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih buat doa-doa dan semangat dari keluargaku selama ini. Skripsi ini kupersembahkan untuk kalian.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU, Drs. Agustrisno, MSP sebagai Sekretaris Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan juga sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama mengerjakan


(5)

iv

skripsi ini. Banyak sekali masukan yang telah Bapak Agus berikan untuk kelangsungan penulisan skripsi ini dan tetap sabar membimbing penulis walaupun penulis sering kurang memahami maksud dan tujuan Bapak untuk penuis dan untuk kebaikan penulisan skripsi ini semoga Tuhan memberkati Bapak beserta Keluarga.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing penulis Dra. Sabariah Bangun, M.Soc yang telah membimbing selama ini dip roses akademik yang penulis ikuti. Terimakasih juga kepada seluruh dosen-dosen Program Studi Antropologi Sosial yang telah mendidik dan mengajar penulis dalam perkuliahaan selama ini. Terima kasih juga kepada Kak Nur sebagai Staf Departemen antropologi Sosial yang senantiasa sabar melayani kebutuhan surat menyurat untuk kelangsungan prosedur perkuliahan. Semoga Ibu dan keluarga diberi kesehatan untuk tetap bisa memberikan yang terbaik untuk Program Studi Antropologi Sosial.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini: Iyan, Jop, Maryo, Gorat, Christoper, Eki, Simson, Gintarius, Leo, Lamtiur, Amy, Fathia, Rini, Soraya dan teman stambuk 2010 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Dan juga pasukan dari stambuk 2012: Winggou, Rizky, Puput bin Subur, Erwin, Riksen, Madun, Ali, dan lainnya yang juga tidak dapat penulian sebutkan satu-persatu. Serta abangda Carles gultom, Bastian, Adit, dkk. Penulis sangat banga bisa berteman dengan kerabat-kerabat semua. Penulis tidak akan pernah melupakan pengalaman yang pernah kita lalui bersama, semoga persahabatan ini dapat abadi sampai selamanya. Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu rohani penulis Pdt. Delilitnaria Tarigan


(6)

v

yang selalu memberikan arahan, nasehat serta doa kepada penulis sehingga skripsi ini bisa selesai.

Terima kasih khusus penulis ucapkan kepada Nora Evangeline Pasaribu yang selama ini telah banyak memberikan bantuan, semangat, kasih sayang, perhatian, bantuan dan doa-doa di dalam perkuliahan dan di dalam penulisan skripsi ini. Perjuangan untuk tetap bersama sampai saat ini semoga Tuhan memberkati dan memberikan jalan yang terbaik buat kita.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua orang yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Tuhan yang memberkati kalian semua. Penulis telah banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang telah banyak membantu penulis selama ini, banyak cerita yang membukakan pikiran penulis untuk menjadi manusia yang lebih baik ini semua penulis dapat karena penulis dapat melakukan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu, khususnya di Antropologi FISIP USU.

Medan, September 2015 Penulis


(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

Mark Sinar Rafael Girsang, lahir pada tanggal 4 Desember 1992 di Saribudolok, kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Beragama Kristen Protestan, Anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm.Rohman Girsang, BBA dan Ibunda Yuspita Meiliana Sipayung.

Riwayat Pendidikan formal penulis: SD RK Don Bosco Saribudolok (1997-2003), SMP Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar (2003-2006), SMA Kristen kalam Kudus (2006-2007) dan pindah sekolah ke SMA CR DUYNHOVEN Saribudolok (2007-2009), Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (2010-2015).

Selama mengikuti pendidikan di Antropologi Sosial FISIP USU, penulis juga mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanitiaan Inisiasi, seminar di kampus, dan kegiatan lainnya, berikut penjabarannya :

1. TOEFL Prediction, USU Language Center, Medan (2010)

2. Peserta inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU tahun 2010, Danau Toba Parapat, Sumatera Utara (2010)

3. Panitia Inisiasi 2011, sebagai Sek, Konsumsi, Sibolangit (2011) 4. Panitia pengadaan acara Bakti Sosial ke Panti Jompo, Binjai (2012)


(8)

vii

5. Peserta TOF Matakuliah Pengembangan Masyarakat, Medan (2013)


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN PERSETUJUAN ...

PERNYATAAN ORGINALITAS ... i

ABSRTAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL. ... xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Tinjauan Pustaka ...5

1.3. Rumusan Masalah ...14

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...15

1.5. Metode Penelitian ...15

BAB II MASYARAKAT DI SARIBUDOLOK ...19

2.1. Sejarah Singkat Saribudolok ...19

2.1.1. Letak dan Keadaan Wilayah ...21

2.1.1.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis ...21

2.1.1.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah ...21

2.2. Keadaan Penduduk...23

2.2.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Suku. ...23

2.2.2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur ...24

2.2.3. Keadaan Pnduduk Berdasarkan Pendidikan ...26

2.2.4. Keadaaan Penduduk Berdasarkan Agama ...27

2.2.5. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...28

2.3. Potensi Alam ...30

2.4. Sarana dan Prasarana ...34

2.4.1. Sarana Kesehatan ...34

2.4.2. Sarana Pendidikan ...35

2.4.3. Sarana Ibadah ...36

2.4.4. Sarana Transportasi ...37

BAB III ORANG SIMALUNGUN ...39

3.1. Sejarah Simalungun ...39

3.1.1. Gelombang Pertama (Simalungun Proto) ...40

3.1.2. Gelombang Kedua (Simalungun Deutro) ...40

3.2. Marga Besar di Simalungun...42


(10)

x

3.2.2. Marga Saragih ...46

3.2.3. Marga Sinaga ...48

3.2.4. Marga Purba ...49

3.3. Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun ...55

BAB IV PATTANGAN DAN FUNGSINYA ...64

4.1. Kepercayaan Pattangan Marga Besar Simalungun di Saribudolok ...64

4.1.1. Kepercayaan Marga Damanik Terhadap Pattangan ...64

4.1.2. Kepercayaan Marga Saragih Terhadap Pattangan ...68

4.1.3. Kepercayaan Marga Sinaga Terhadap Pattangan ...72

4.1.4. Kepercayaan Marga Purba Terhadap Pattangan ...75

4.2. Fungsi Pattangan di Marga Simalungun ...77

4.2.1. Fungsi Pattangan Sebagai Pelindung ...77

4.2.2. Fungsi Pattangan dari Aspek Ekonomi ...84

4.2.3. Fungsi Pattangan sebagai Sistem Kepercayaan ...88

BAB V PENUTUP...95

5.1 Kesimpulan ...95

5.2 Saran ...97

DAFTAR PUSTAKA ...101 LAMPIRAN


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahaan di Kecamatan Silimakuta Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

Tabel 3 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Kelompok Tenaga Kerja

Tabel 4 : Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 5 : Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama


(12)

ii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PATTANGAN” (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)” disusun oleh Mark Sinar Rafael Girsang (100905034), 2015. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, daftar pustaka serta lampiran.

Penelitian ini membahas tentang pattangan bagi marga-marga pada Simalungun yang ada di Saribudolok. Pattangan merupakan bentuk dari totemisme, dimana hewan dianggap sakral sehingga tidak akan dibunuh, dimakan, disakiti dan digganggu habitat hewan tersebut. Ada empat marga besar di Simalungun yang menjadi objek penelitian ini yaitu marga Damanik, marga Saragih, marga Sinaga, dan marga Purba.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan kepercayaan Simalungun terhadap pattangan dan bagaimana fungsi pattangan

tersebut bagi kehidupan masyarakat Simalungun yang ada di Saribudolok. Disini penulis memaparkan bagaimana orang Simalungun meyakini bahwa hewan dianggap sebagai pattangan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat mendeskripsikan, dengan metode tersebut akan dilihat bagaimana kepercayaan marga simalungun terhadap hewan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsionalisme. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi. Wawancara dilakukan kepada masyarakat Simalungun di Saribudolok mengenai permasalahan yang terkait dengan penelitian.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa setiap marga besar Simalungun memiliki kepercayaan terhadap hewan yang disebut dengan pattangan.

Damanik, Saragih, Sinaga dan Purba merupakan marga besar dari suku Simalungun. Damanik mempercayai ular Sibaganding Tua, Saragih mempercayai Burung Perkutut, Sinaga mempercayai harimau, dan Purba mempercayai ular. Namun tidak semua masyarakat simalungun di Saribudolok mengetahui alasan mengapa mereka menganggap hewan tersebut menjadi pattangan bagi marga mereka.


(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia. Kebudayaan juga bisa menunjukan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia, di dalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai atau nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya (Sunjata, 1996:2).

Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini berproses. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan akal sehat, kebijaksanaan suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut (Maran, 2003:38).

Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Pattangan menyerupai Totem, yang dapat dipercayai oleh manusia sebagai dasar dalam bertindak atau bersikap. Setiap suku bangsa biasanya memiliki kepercayaan tersendiri terhadap totem. Para penganut kepercayaan totemisme meyakini bahwa mereka diturunkan dari satu leluhur totem yang mistis, atau bahwa mereka dan para anggota dari totem


(14)

2 sejenis merupakan “saudara”. Mereka menggunakan totem sebagai simbol kelompok dan menganggapnya sebagai “pelindung” kelompok secara keseluruhan. Totem dipercayai dapat membantu dan menjaga manusia dari gangguan ataupun serangan, totem juga dijadikan sebagai simbol yang menguntungkan1.

Pattangan merupakan kata yang menggambarkan bahwa manusia dan

hewan memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan kekeluargaan. Masyarakat beranggapan bahwa ada hubungan istimewa antara manusia dengan hewan. Hubungan yang terjadi antara hewan dan menusia adalah saling menguntungkan.

Masyarakat Simalungun merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sumatera Utara. Suku bangsa Simalungun memiliki berbagai marga, dan marga pertama suku bangsa Simalungun yaitu marga Damanik2. Sementara ada tiga marga pendatang yaitu Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga-marga inilah yang menjadi empat marga besar di Simalungun.

Masyarakat Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari “Datu” atau dukun disertai persembahan kepada nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada tiga Dewa yang disebut Naibata.

Naibata Atas (dilambangkan warna putih), Naibata Tengah

(dilambangkan warna merah), dan Naibata bawah (dilambangkan warna

1

Dhavamony, Mariasusai. 2010. Fenomenologi Agama. (cet. ke-11) Yogyakarta: Kanisius 2


(15)

3 hitam). Bukan hanya itu saja, ajaran Hindu-Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun (Sinaga 2008 : 35).

Hal ini terbukti dari peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu), sang Buddha yang menunggangi gajah (Budha). Akan tetapi, jauh sebelum kepercayaan ini memperngaruhi masyarakat Simalungun, mereka sudah percaya akan “Pattangan”3.

Pergaulan hewan dengan manusia telah membentuk suatu tanggapan yang religius, hewan lebih banyak memiliki kelebihan dibanding manusia, seperti mata hewan yang lebih tajam, pendengaran hewan yang lebih tajam dibanding manusia. Masyarakat menganggap bahwa hewan tersebut adalah nenek moyang mereka.

Masyarakat yang menganggap hewan adalah bagian dari dirinya, maka dari situlah akan terdapat kekuatan dari hewan tersebut4. Hewan dipercayai dapat membantu manusia di dalam kesusahan maupun kesulitan. Dari hewan itulah manusia percaya dan menganggapnya sebagai kekuatan dari dewa. Di India, sapi merupakan salah satu hewan yang dianggap suci dan sebagai pelindung.

Menurut seorang antropolog Marvin Harris, alasan pragmatis untuk tidak membunuh sapi adalah karena alasan ekonomis di mana sapi sangat dibutuhkan untuk melalukan pekerjaan-pekerjaan berat, penghasil susu dan sangat membantu dari sisi tenaga.

3

Pattangan merupakan istilah lain dari totem yang berasal dari suku bangsa Simalungun

4


(16)

4 Tetapi bagi umat Hindu sapi adalah hewan yang suci. India sebagai negara dengan mayoritas pemeluk Hindu terbesar memberlakukan perlindungan kepada hewan ini dengan mengesahkannya melalui peraturan undang-undang yang melarang pembantain terhadap sapi dan anak sapi.

Pemimpin perjuangan India seperti Mahatma Gandhi sangat menghormati hewan ini dan menganggap sapi sebagai hewan yang merepresentasikan salah satu bentuk perlawanan yang diajarkan oleh Gandhi yaitu Ahimsa. Pada perayaan Keagamaan Hindu, Krisna dilambangkan sedang menunggang sapi maka dari itu Krisna adalah pelindung Sapi, sehingga sapi harus dilindungi oleh manusia terkhusus bagi masyarakat India.5

Masyarakat Simalungun terbagi atas empat marga besar, setiap marga di Simalungun memiliki hewan larangan karena di anggap nenek moyang mereka. Damanik sebagai marga tertua memiliki pattangan yaitu Ular Sibaganding Tua. Ular Sibaganding Tua ini tidak bisa di pelihara ataupun di bunuh karena ular ini merupakan sumber keberuntungan bagi masyarakat bermarga Damanik.

Saragih dipantangkan untuk memakan burung perkutut. Marga Sinaga juga tidak dapat memilihara ataupun membunuh ular dan teringgiling, karena hewan tersebut sangat berjasa bagi marga Sinaga. Demikian pula halnya dengan marga Purba. Purba memiliki larangan untuk membunuh ular, karena ular merupakan nenek moyang dari marga Simalungun. Purba dilarang membunuh ular karena Purba pernah menikahi perempuan yang mengaku sebagai anak ular dan dibesarkan oleh ular tersebut.

5


(17)

5 Kepercayaan masyarakat Simalungun ini memiliki pro-kontra, ada yang mengatakan dongeng dan ada juga yang mengatakan bahwa cerita itu adalah sejarah. Akan tetapi, penelitian ini bukan membahas kebenarannya melainkan bagaimana pandangan masyarakat Simalungun terhadap totem tersebut.

Peneliti untuk meneliti bagaimana pandangan masyarakat Simalungun pada masa kini terhadap sistem kepercayaan masyarakat terhadap hewan dan menjadikan hewan sebagai nenek moyang atau sebagai salah satu pelindung. Dimana pada saat sekarang melihat bahwa teknologi semakin canggih serta pemikiran manusia yang semakin berkembang, sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan.

1.2. Tinjauan Pustaka

Istilah totemisme berasal dari kata Ojibawa (suku bangsa Algonkin dari Amerika Utara) ditulis secara beragam totem, tatam, dodaim. Durkheim mengembangkan suatu defenisi mengenai religi yang dapat mengatasi segala jenis aneka warna-warni ekspresi keagamaan yang di kenal manusia di muka bumi ini (Thouless 1995 : 144).

Dalam hal itu Durkheim menentang konsep religi J.G Frazer yang memandang religi dalam masyarakat manusia itu gejala-gejala yang bersangkutan dengan suatu alam dunia yang ada di luar batas kemampuan akal manusia, yang oleh Frazer disebut “dunia gaib” atau dunia supernatural. Hal itu disebabkan karena pada penduduk pribumi Australi seolah-olah tidak ada


(18)

6 batas antara dunia yang ada di dalam batas akal manusia dan dunia gaib yang ada di luarnya.

Banyak contoh di mana orang-orang Australia itu menghubungkan benda-benda atau kekuatan-kekuatan yang dapat mereka kuasai penuh dengan akal mereka sebagai benda-benda keagamaan. Durkheim juga tidak setuju dengan M. Muller yang beranggapan bahwa agama berasal dari kebutuhan azasi manusia untuk mencari masalah kekuatan hakiki apa yang menguasai hidupnya dan alam sekitarnya itu, dan dari masalah itu timbulah gagasan-gagasan mengenai dewa-dewa, roh-roh, dan Tuhan.

Keberatan Durkheim adalah bahwa walaupun manusia sekarang sudah banyak menemukan kekuatan yang menguasai hidupnya dalam alam sekitarnya, religi dan agama tetap belum terdesak dari hidupnya. Lagipula banyak religi dalam berbagai kebudayaan di Dunia tidak mengenal adanya dewa-dewa atau roh-roh. Namun, kata Durkheim ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasan dan perilaku keagamaan makhluk manusia, yaitu perasaan atau sentimen bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama yaitu bersifat profan.

Dengan demikian ia sampai pada suatu defenisi kerja mengnai religi, yang berbunyi: “suatu religi itu adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorintasi kepada suatu komunitas moral, yang disebut umat (Koentjaraningrat 2007:95).


(19)

7 Dengan defenisi tersebut, Durkheim kemudian meninjau berbagai macam teori yang ada tentang asal mula religi. Dalam hal itu ia tentu pertama-tama membahas teori E.B Taylor tentang animisme. Seandainya memang benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhluk-makhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang dikatakan oleh Taylor.

Maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia. Dan karena itu ada suatu sistem yang lebih azasi, dan karena itu lebih tua dari animisme dan sistem religi, yaitu totemisme (Koentjaraningrat 2007:95)

Durkheim mensurvei semua karangan yang pernah terbit mengenai masalah totemisme, untuk kemudian mengkhususkan kepada totemisme masyarakat penduduk pribumi Australi. Suatu gejala penting yang di temukannya dalam data yang dipelajari itu adalah hubungan erat antara organisasi sosial, sistem klan6, dan keyakinan kepada totem, yang sebenarnya tidak lain dari sebutan dan lambang dari klan dan sekaligus juga merupakan suatu jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda keramat.

Binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda yang dianggap totem sama sekali bukan hal yang harus ditakuti atau yang mengesankan. Dan sering sekali hanya berupa batu atau pohon biasa yang tidak berbeda sama sekali dengan batu atau pohon lain, dan tanpa dijiwai oleh adanya suatu keyakinan akan adanya roh yang menempatinya. Namun totem melambangkan solidaritas klan, memberi nama yang merupakan identitas klan, timbul dalam

6


(20)

8 upacara klan dan seni hias mentato kulit, memberi nilai keramat kepada segala halyang ada sangkut pautnya.

Dengan demikian bukan binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda itu sendiri yang sebenarnya penting dalam konsep totem, melainkan suatu prinsip yang menyebabkan dijadikan lambang dari suatu kesatuan sosial, yaitu prinsip yang oleh Durkheim disebut “ prinsip totem” (Koentjaraningrat 2007:97).

Emosi keagamaan sebagai sebagai unsur elementer dalam kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif para warga klan, yang sebaliknya dapat diintensifkan lagi oleh emosi keagamaan yang ditimbulkan dalam upacara totem itu (Saifuddin 2005 : 12).

Kesadaran kolektif memberi semangat hidup baru yang dibutuhkan oleh tiap warga klan apabila mereka nanti dalam musim berburu harus kembali lagi kepada kehidupan mereka yang terpisah selama beberapa bulan untuk berjuang mencari nafkah. Agama yang di anggap paling primitif menurut Durkheim adalah totemisme.

Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu spesies tertentu dalam wilayah hewan atau tetumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku bangsa.

Totemisme merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan “mistik” atau ritual


(21)

9 antara anggota-anggota kelompok sosial atau suatu jenis binatang atau tumbuhan.

Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau menganggu tanaman totem. Para anggota dari kelompok sosial itu juga percaya bahwa mereka diturunkan dari satu leluhur totem yang mistis, atau bahwa mereka dan para anggota dari totem sejenis merupakan “saudara”.

Mereka menggunakan totem sebagai simbol kelompok dan mengangapnya sebagai “pelindung” kelompok secara keseluruhan mereka juga melakukan “upacara pengembangan” untuk menghasilkan perlipat gandaan jenis totem itu.

Kebiasaan suku bangsa Indian Amerika, sebagai mana digariskan John Long, menekankan aspek pengajaran dari totemisme untuk individu yang nasibnya dihubungkan dengan nasib binatang totem itu. Roh penjaga suku bangsa Indian Amerika menjadi milik orang yang telah melihatnya dalam suatu penglihatan, bukan milik kelompok sosial. Totemisme tidak bisa dicampur adukkan dengan binatang pemujaan, totem tidak dipuja.

Makhluk-makhluk totem tidaklah diseleksi atas dasar penampilan mereka yang mengesankan. Kesucian mereka hanyalah sekunder, yang lebih penting adalah lukisan makhluk-makhluk pada kayu dan batu. Dalam tindakan dan upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah pengaktualisasian identitas antara totem dan kelompok.

Dalam upacara-upacara ini tanda totem dilukiskan pada tubuh, atau tarian-tarian dilakukan dalam bentuk tanda totem. Pada umumnya tato adalah


(22)

10 ciri totem dan suku-suku Indian Amerika menghiasi diri mereka dengan bagian-bagian dari binatang totem, misalnya bulu-bulu sebagai hiasan kepala.

Apakah makna religius dari fenomena totem, dimana manusia menemukan dasar mutlak dari hidupnya. Tentu saja ada suatu pengartian mencolok dari hubungan yang dekat antara manusia dan alam sekitarnya, suatu pengartian mengenai ketunggalan tertentu dengan kosmos dan mengenai partisipasi dengan totalitas kosmis.

Totemisme memainkan peranan penting dalam perkembangan teori keagamaan abad 19 dan awal abad ke-20, terutama untuk pemikir seperti Emile Durkheim, yang memusatkan studinya ke kebudayaan primitif. Emile Durkheim dalam bukunya The elementary Forms of the Religious Life (1915). Pandangannya bermula dari empat ide pokok, yaitu (a) bahwa agama primitif adalah kultus marga (khan), (b) kultur tersebut adalah totemisme, (c) tuhan marga adalah marga itu sendiri, dan (d) totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif, yaitu bentuk asli dari agama yang dikenal sekarang ini.

Dengan mendasarkan diri pada ide-ide tersebut Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama menurutnya adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda suci (sacred) dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lain-lainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamakan jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya (Mariasusai, 2010 : 7).


(23)

11 Menurut Durkheim lebih lanjut, totemisme merupakan semacam Tuhan yang tidak bersifat kemanusiaan, yang menetap di bumi dan bersenyawa dengan benda-benda yang tak terbatas jumlahnya, dan erat hubunganya dengan makna dan ide yang sejenis dengan masyarakat primitif.

Menurut Robertson Smith totemisme, religi tertua umat manusia dalam tingkat kehidupan yang masih sederhana iyalah pemujaan terhadap totem. Totemisme adalah suatu religi dimana kelompok manusia menganggap bahwa diri mereka adalah keturunan dari suatu jenis binatang atau tumbuhan tertentu, sehingga mereka memuja binatang atau tuumbuh-tumbuhan totemnya serta membangun tiang totem sebagai tempat pemujaan. Binatang totem tabu untuk di bunuh atau di makan.

Menurut P.P. Arnadit pada masyarakat flores terdapat sisa-sisa totemisme. Hal ini terlihat misalnya dari nama suatu klan di Maumere yaitu Kuat Era ( kuat artinya klan, sedangkan era artinya penyu) ada pula klan yang bernama Kuat Higite7 (Razak, 2007:54).

Fungsional atau fungsi ditinjau dari segi etimologi adalah kegunaan lawan dari disfungsi, sedangkan menurut terminologi adalah suatu metode untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam suatu tataran masyarakat (Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994).

Para peneliti sosial, kata Durkheim harus dapat mengkombinasikan penelitian untuk mencari asal-usul dan sebab (pendekatan historis), disatu pihak dan penentuan fungsi-fungsi dari suatu fenomena sosial (pendekatan

7


(24)

12 fungsional) dari pihak lain.kita harus menentukan apakah ada satu hubungan antara kenyataan sosial yang diteliti dengan kebutuhan umum organisme sosial. Kalau ada maka hal tersebut terdiri dari hal-hal apa saja, dan bagaimana prosesnya sehingga hubungan tersebut terjadi. Pendekatan fungsional di peloporioleh dua peneliti inggris yang hidup sezaman, yaitu Radcliffe Brown dan Malinowski.

Bronislaw Malinowski (1884 – 1942) merupakan salah satu tokoh antropologi yang menggagas dan berhasil mengembangkan teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa teorinya ia kembangkan dengan menekuni penelitian lapangan. Teori Fungsionalisme dikembangkan selama Perang Dunia II mengisolir diri bersama penduduk asli pulau Trobrian untuk mempelajari cara hidup mereka dengan jalan melakukan observasi berperan serta (participant observation).

Ia mengajukan teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan (Baharrudin, 2011:45).

Malinowski mengacukan konsep budaya terhadap mikrokosmos masyarakat tribe (masyarakat sederhana, primitive, dan sebagainya) yaitu suatu masyarakat yang unsur-unsurnya berfungsi sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Konsepsi yang melihat budaya dari sebuah masyarakat tribe


(25)

13 sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi adalah sebuah pemikiran baru dalam ilmu antropologi. Dari pandangan yang seperti inilah kemudian kita mengenal istilah, “budaya Jawa”, “budaya Batak”, “budaya Simalungun”.

Malinowski menekankan betapa pentingnya mengkaji fungsi atau guna, dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya secara keseluruhan. Jadi disini Malinowski juga mengacukan konsep fungsi terhadap suatu sistem, bukan hanya pemenuhan terhadap pemenuhan atas kebutuhan psikobiologis manusia.

Unsur-unsur penting dari budaya sebuah masyarakat adalah misalnya sistem politik, sistem kepercayaan, sistem ekonomi, dan sistem kekerabatan. Dalam hal ini Malinowski betapa pentingnya meneliti fungsi dari suatu sistem tersebut di atas bagi keutuhan kerja masyarakat/ budaya secara keseluruhan.

Menurut Grabb Ada dua hal yang paling menonjol mengenai fungsionalis:

1. Pengamat berkeyakinan bahwa jika struktural fungsionalis menguraikan tugas-tugas masyarakat sebagai fungsi, maka mereka sebenarnya mempromosikan pandangan bahwa struktur-struktur dan institusi-institusi dari masyarakat yang ada adalah baik dan ideal yang berfungsi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Implikasinya adalah, bahwa setiap perubahan dalam tatanan yang sudah mantap dalam konteks ini niscaya disfungional yakni terganggunya kerja masyarakat yang setabil, jadi para pengeritik berkeyakinan bahwa struktural fungsionalis secara tersirat mengadopsi begitu


(26)

14 saja pandangan bahwa struktur sosial itu tidak berubah, kadang-kadang dikombinasikan dengan diabaikannya perubahan sosial.

2. Gagasan fungsi berkenaan dengan bagaimana kita memutuskan, andai kata sesuatu berfungsi atau tidak berfungsi struktur atau institusi atas dasar apakah struktur atau institusi tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Bagi kritikus penilaian semata-mata atas dasar ini menyiratkan bahwa suatu struktur atau sistem aturan dianggap fungsional selama ini ia memenuhi tugas-tugas tertentu dalam masyarakat yang terpenting tak soal konsekwensi-konsekuensinya.

Di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari banyak interaksi baik interaksi sosial maupun interaksi bermasyarakat, secara garis besarnya manusia akan selalu hidup dalam keadaan berinteraksi sosial. Karena disamping itu manusia juga sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

1. Bagaimana kepercayaan masyarakat Simalungun terhadap pattangan di Saribudolok.

2. Apa fungsi kepercayaan terhadap pattangan dalam kehidupan masyarakat Simalungun di Saribudolok.


(27)

15 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat etnografi dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kepercayaan masyarakat Simalungun terhadap totem dan apa fungsi kepercayaan tersebut bagi masyarakat Simalungun.

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan khususnya bagi bidang antropologi untuk memperkaya literatur dan pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun yang saat ini dapat dikatakan semakin meredup dan kurang mendapatkan perhatian.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa antropologi untuk mengetahui lebih dalam lagi bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Simalungun pada masa lampau. Secara praktis bagi peneliti bermanfaat untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah didapat selama masa perkuliahan.

1.5. Metode Penelitian

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian etnografi, yaitu dimana peneliti menjelasakan mengenai “Totem”. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2006:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian.

Penelitian kualitatif ini menggunakan metode etnografi. Seperti yang tertuang dalam buku Metode Etnografi Spredlay, tujuan utama etnografi


(28)

16 adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan dengan dunianya.

Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik Observasi

Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tingkah laku ataupun peristiwa) dengan cara mengamati. Peneliti melakukan teknik observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang gejala tindakan, percakapan, tingkah laku, dan semua hal yang akan di tangkap panca indera terhadap apa yang dilakukan masyarakat yang akan diteliti di lapangan. Riduwan (2004:104)8 mendefenisikan observasi ataupun pengamatan yang dilakukan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang di lakukan.

Pada dasarnya teknik observasi untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena-fenomena social yang tumbuh dan berkembang yang kemudia dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut bagi pelaksana observasi untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlakukan (Margono, 2007:159)9. Melalui observasi inilah diharapkan mampu membantu peneliti dalam memahami permasalahan yang akan diteliti secara mendalam.

8

Riduwan, Metode dan Teknik Menyusun Thesis, (Bandung : Alfabeta, 2004), cet. Kedua, halaman 104

9


(29)

17 b. Teknik wawancara

Didalam penelitian ini, peneliti telah mencoba mengumpulkan data melalui teknik wawancara. Wawancara ataupun interview adalah suatu percakapan yang memiliki pertanyaan yang sudah terstruktur (formal) dan dengan maksud tertentu antara pewawancara atau yang sering disebut dengan

interviewer dengan informan yaitu orang yang memberikan jawaban atas

pertanyaan yang diberikan. Wawancara yang akan dilakukan yakni melakukan Tanya jawab secara langsung dan terbuka dengan individu ataupun kelompok yang akan diteliti.

Dengan melakukan wawancara dalam penelitian, peneliti telah mendapatkan keterangan secara lisan dari informan atau sering juga disebut dengan responden. Responden adalah seseorang yang diwawancarai dan diharapkan memberikan keterangan ataupun inforasi mengenai hal-hal yang ingin diketahui oleh si peneliti. Ada beberapa tipe informan seperti informan pangkal, informan kunci, dan juga informan biasa. Dalam penelitian antropologi, biasanya menggunakan istilah informan ini kepada orang-orang yang memberikan keterangan ataupun informasi.

Wawancara yang dilakukan peneliti diolah melalui percakapan-percakapan sederhana dan biasa. Meskipun percakapan-percakapan biasa yang dilakukan, peneliti tetap mengarahkan percakapan pada focus pertanyaan penelitian. Teknik wawancara ini dilakukan agar komunikasi antara subjek peneliti dengan peneliti diharapkan agar tidak membua subjek peneliti itu merasa


(30)

18 bosan. Selain itu, teknik ini dilakukan bertujuan untuk memperkuat data yang sebelumnya di dapat dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti.

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan beberapa alat pendukung guna mengumpulkan data. Selain pedoman wawancara, yang mana peneliti juga akan menggunakan alat perekam serta kamera digital untuk mempermudah saat mengumpulkan data. Penggunaan alat ini bertujuan untuk mencegah tidak terangkumnya data sewaktu melakukan wawancara, yang disebabkan oleh kurang jelasnya informasi yang ditangkap oleh panca indera.


(31)

19 BAB II

MASYARAKAT DI SARIBUDOLOK

2.1. Sejarah Singkat Saribudolok

Saribudolok berasal dari kata saribu artinya seribu dan dolok artinya bukit. Jadi Saribudolok dapat diartikan sebagai suatu daerah yang terdiri dari seribu bukit. Wilayah Saribudolok terbentuk sekitar tahun 1928 yang dipimpin oleh Marga Girsang. Lokasi yang pertama sekali ditempati oleh Sipungka Huta (pembuka kampung) disebut dengan Sardolok Atas. Dikatakan Sardolok Atas karena letaknya berada ditempat yang paling tinggi.

Akibat pertumbuhan penduduk dan adanya orang-orang yang datang merantau, dengan pertambahan penduduk yang banyak mengakibatkan penduduk memperluas areal pemukiman yang akhirnya perluasan areal pemukiman ini menyebabkan nama baru yaitu disebut dengan Kampung Kristen karena yang menempati lokasi tersebut terdiri dari keluarga-keluarga pendeta.

Selain nama Kampung Kristen, masih ada tempat yang dinamakan dengan Kampung Toba, dan Kampung Kopi. Alasan dari pemberian nama tersebut adalah di Kampung Toba ini dulunya yang menempati adalah para pendatang-pendatang yang berasal dari daerah Samosir yang bertujuan untuk


(32)

20 bekerja sebagai Haroan (orang upahan yang bekerja khususnya di bidang pertanian).

Seiring dengan perjalanan waktu maka jumlah penduduk di Kampung Toba semakin bertambah dimana sampai saat ini sudah mencapai jumlah 437 jiwa. Jumlah ini hanya yang terdata di kelurahan Saribudolok, sementara pendatang lainnya yang tidak menetap tidak dicatatkan di kantor kelurahan karena biasanya mereka datang dan pergi tanpa ada waktu yang pasti. Mereka yang memilih untuk hidup menetap di Kelurahan Saribudolok ini memiliki alasan bahwa mereka berharap bisa mendapatkan kehidupan yang layak dengan kesuburan tanah yang ada dan dapat mereka kelola.

Alasan mengapa dikatakan Kampung Kopi karena pada awalnya kampung ini banyak ditanami kopi,namun pada saat sekarang tanaman ini tidak ditemukan lagi di lokasi ini karena sudah berubah menjadi pemukiman penduduk. Kepadatan penduduk Saribudolok ini mengakibatkan nama-nama kampung yang disebutkan diatas menjadi kabur karena batas-batas perumahan penduduk hampir tidak dapat dipastikan lagi. pada saat sekarang ini yang menjadi tanda pembagian Kelurahan Saribudolok ini adalah adanya yang disebut dengan Jalan Sutomo, Jalan Kartini, Jalan Merdeka, Jalan Singgalang, Jalan Pematang Siantar, Jalan Kabanjahe dan lain sebagainya.


(33)

21 2.1.1. Letak dan Keadaan Wilayah

2.1.1.1.Kondisi Iklim dan Letak Geografis

Ditinjau dari letak geografisnya, Kelurahan Saribudolok diapit oleh dua pegunungan, yaitu sebelah utara pegunungan Sipiso-piso dan sebelah barat pegunungan Singgalang. Oleh sebab itu Kelurahan Saribudolok terletak di dataran tinggi derngan ketinggian tempat dari permukaan laut 1400 meter. Dimana 59,99% (1440,25 Ha) keadaan topografinya merupakan daratan dan 39,99% (960,17 Ha) merupakan perbukitan/pegunungan. Rata-rata suhunya sekitar 26-28 0C dan keadaan curah hujan 1.150 mm/tahun.

2.1.1.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah

Adapun batas-batas Kelurahan Saribudolok adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok Silau

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purba

Berdasarkan topografi kemiringan tanah, Kelurahan Saribudolok berada pada kawasan dataran tinggi sehingga menyebabkan masyarakat cenderung lebih memilih menjadi petani dan pedagang (agen sayur-mayur). Untuk lebih jelas dapat dilihat dari tabel dibawah ini.


(34)

22 Tabel 1

Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahaan di Kecamatan Silimakuta Tahun 2006

No. Nagori/Kelurahan Luas (Km)

Rasio terhadap luas kecamatan (%)

1 Ujung Saribu 6.64 4.24

2 Sibangun Meriah 16.93 10.80

3 Silimakuta Barat 11.09 7.08

4 Saribudolok 20.60 13.15

5 Purbsa Sinombah 24.77 15.81

6 Purba Tua 12.22 7.80

7 Siboras 14.50 9.25

8 Ujung Meriah 9.96 6.36

9 Mardinding 9.30 5.93

10 Naga Saribu 8.23 5.25

11 Purba Tua Baru 11.20 7.15

12 Saribujandi 11.26 7.19

Jumlah 156.70 100.00

Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2014

Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa Kecamatan Silimakuta terdiri dari 12 Kelurahan atau Nagori. Ditinjau dari Luasnya wilayah Kecamatan Silimakuta dengan populasi yang cukup padat maka dalam hal ini penulis membatasi lokasi penelitian yaitu di Nagori/Kelurahan Saribudolok. Daerah Saribudolok dianggap mampu mewakili unit analisis penelitian yang dibutuhkan dengan mayoritas penduduknya adalah suku Simalungun dan luas Wilayah 20,60 Km atau 13,15%.


(35)

23 2.2. Keadaan Penduduk

2.2.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Suku

Mayoritas penduduk Kelurahan Saribudolok adalah Suku Simalungun. Hal ini dikeranakan yang pertama-tama menempati daerah ini adalah Suku Simalungun (penduduk Asli). Akan tetapi pada masa sekarang selain penduduk asli banyak juiga suku perantauan yang datang seperti: Suku Karo, Batak Toba, Jawa, dan Etnis Cina. Untuk lebih jelasnya perbandingan daripada jumlah penduduk berdasarkan suku dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

No. Suku Jumlah Jiwa Presentase

1 Simalungun 6.006 orang 78,0 %

2 Karo 914 orang 12,0 %

3 Toba 473 orang 6,0 %

4 Jawa 278 orang 3,5 %

5 China 21 orang 0,5 %

Jumlah 7692 orang 100 %

Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2014

Dari tabel di atas, ada beberapa suku bangsa yang terdapat di daerah Saribudolok yaiu: Simalungun sebesar 78 %, Batak Karo 12 %, Batak Toba 6 %, Jawa 3,5 %, dan Etnis China 0,5 %. Dilihat dari tabel, suku pendatang yang


(36)

24 paling dominan adalah Suku Karo sekitar 12 % dibandingkan dengan suku battak toba yang hanya 6 % saja.

Satu hal yang perlu di ketahui, diantara suku Batak Toba dan Karo tidak ingin disebutkan sebagai pendatang. Hal ini dikarenakan mereksa sudah menjadi bagian dari warga Saribudolok. Adapun yang menjadi alasannya adalah karena mereka sudah turun temurun tinggal di daerah Saribudolok atau dengan kata lain sudah lahir di Kelurahan Saribudolok.

2.2.2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur

Dengan memperhatikan data yang diperoleh peneliti dari data statistic dari lapangan (Kantor Kelurahan Saribudolok) maka komposisi penduduk terdidi dari beberapa klasifikasi menurut umur dan kelompok tenaga kerja. Berdasarkan jumlah penduduk yang sebanyak 7.692 jiwa, maka jumlah laki-laki adalah sebesar 3.659 jiwa dan perempuan 4.033 jiwa. Berdasarkan jumlah ini jelas terlihat jumlah perbandingan antara penduduk laki-laki dengan perempuan. Dimana jumlah yang paling banyak itu adalah perempuan.

Jumlah penduduk kelurahan Saribudolok yang dominan usia angkatan kerja yaitu, 27 tahun sampai dengan 57 tahun. Hal ini dsebabkan oleh penduduk yang berusia 4 tahun sampai dengan 25 tahun masih terikat dengan pendidikan masing-masing, dan kebanyakan penduduk Saribudolok yang masih bersekolah menempuh pendidikan di luar Kota misalnya, Medan, Siantar, Jakarta, dan Kota lainnya.


(37)

25 Pada umumnya penduduk Saribudolok yang masih berusia 14 tahun sudah melanjutkan pendidikan di luar daerah sampai bekerja. Tidak jarang juga dari antara mereka yang tidak kembali kekampung halaman dan menetap di kota. Sementara yang berumur 50 tahun ke atas mereka biasanya menghabiskan masa tua mereka di Saribudolok.

Tabel 3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Kelompok Tenaga Kerja

No. Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 0 – 12 bulan 65 72 137

2 1 – 4 tahun 102 115 217

3 5 – 6 tahun 205 211 416

4 7 – 12 tahun 354 365 719

5 13 – 15 tahun 537 606 1.133

6 16 – 18 tahun 429 503 932

7 19 – 25 tahun 328 375 703

8 26 – 35 tahun 496 536 1.032

9 36 – 45 tahun 457 496 953

10 46 – 50 tahun 312 378 690

11 51 – 60 tahun 247 246 493

12 61 – 75 tahun 103 98 201

13 76 tahun ke atas 45 51 96


(38)

26 2.2.3. Keadaan Penduduk Berdasarkaan Pendidikan

Masyarakat Saribudodlok sebenarnya adalah masyarakat yang sangat peduli dengan pendidikan. Akan tetapi banyak sekali anak-anak sekolah yang putus sekolah hanya samapi jenjang pendidikan SMA sederajat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: keadaan ekonomi dan kurangnya minat belajar pemuda setempat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Untuk lebih jelasnya melihat keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4

Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Tidah/belum sekolah 760

2 Tidak tamat SD 1.031

3 SD 1.487

4 SMP 1.762

5 SMA 1.757

6 Perguruan Tinggi 619

7 Lain-lain 279

Jumlah 7.692 Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2014

Dilihat dari tabel di atas, keadaan penduduk berdasarkan pendidikan di Kelurahan Saribudolok sudah tergolong penduduk yang berpendidikan atau pendidikan pada masyarakat sudah mulai berkembang. Berkembangnya pendidikan didaerah ini dikarenakan jarak daerah ini sudah dekat dengan wilayah perkotaan. Selain itu, didukung juga oleh sarana prasarana dan perekonomian di Saribudolok yang sangat mendukung khususnya dari sektor pertanian. Banyaknya minat sekolah dari setiap keluarga untuk melanjutkan


(39)

27 studi diluar daerah Saribudolok bukan karena tidak adanya Gedung Sekolah akan tetapi pemikiran orang tua yang menginginkan anaknya lebih baik daripada pendidikan mereka terdahulu dan didukung juga orang keinginan anak yang ingin bersekolah ke luar daerah Simalungun.

2.2.4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama

Kelurahan Saribudolok merupakan daerah yang penduduknya mayoritas suku Simalungun. Sejak jaman dahulu suku bangsa Simalungun adalah suku bangsa yang mayoritasnya menganut Agama Kristen dan Islam. Sama halnya dengan Suku Simalungun yang ada di Kelurahan Saribudolok, penduduknya menganut berbagai aliran kepercayaan baik itu agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam. Tetapi berdasarkan hasil penelitian maka penduduk adalah mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5

Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama

No. Agama Jumlah Presentase

1 Katolik 3.030 39,0 %

2 Protestan 4.052 52,0 %

3 Islam 589 7,6 %

4 Budha 21 0,4 %

5 Hindu - -


(40)

28 Dari tabel di atas dapat disimpulakn bahwa keadaan penduduk berdasarkan agama di Kelurahan Saribudolok didomunasi oleh agama Kristen Protestan, yakni sebanyak 4.052 % jiwa atau sekira 52 %. Berdasarkan data tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa yang menganut agama Kristen didominasi oleh suku Batak Toba, Karo, dan Simalungun.

Sementara untuk agama Islam sebanyakan dianut oleh etnis Jawa sedangkan untuk agama Budha dianut oleh etnis China. Dari data ini juga dapat kita lihat bahwa utnuk agama Budha 100 % dianut oleh etnis China dimana hal ini dapat dilihat dari data penduduk. Artinya dari 21 jiwa penduduk Cina, semuanya menganut agama Budha.

2.2.5. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Penduduk Kelurahan Saribudolok menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Selain sebagai petani, masyarakatnya juga ada yang hidup dari sektor jasa, Guru, Pegawai dan Pedagang. Walaupun banyak mata pencaharian yang lain akan tetapi penghasilan utama itu adalah dari hasil pertanian. Ini terbukti bahwa rata-rata penduduk yang sudah berprofesi menjadi pegawai baik swata maupun negeri termasuk juga pedagang tetap juga memiliki lahan pertanian untuk digarap dan ditanami. Sebagai suatu daerah yang strategi yakbi berada sekitar 1400 meter di atar permukaan laut dan iklim yang tetap yaitu musim kemarau dan musim hujan.


(41)

29 Dengan perbedaan temperature anatara siang dan malam mencapai 27 – 29 0C, lahan pertanian sangat subur untuk ditanami hortikultura dana tanaman lainnya. Tanaman yang ada di daerah ini berbagai jenis diantaranya ada tanaman keras dan tanaman muda, akan tetapi tanaman muda adalah pilihan utama bagi penduduk.

Alasan tanaman muda dijadikan pilihan utama dalam pertanian adalah karena pengurusannya lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil lebih cepat dan yang paling mendukung adalah tanahnya yang subur untuk tanaman capcay (tanaman muda seperti sayur-mayur). Tanah di Kelurahan Saribudolok ini dapat dikatakan sebagai tanah yang tergolong subur.

Tanaman muda seperti kentang, cabe, kol, tomat, sayur-mayur dan lainnya. Sedangkan tanaman tua seperti kopi, jeruk dan lainnya. Dari hasil-hasil tanaman inilah penduduk Kelurahan Saribudolok dapat memenuhi kebutuhan hidup baik kebutuhan sehari-hari. Seperti kebutuhan untuk makan, kebutuhan pendidikan anak dan juga pemenuhan kebutuhan hidup seperti kebutuhan barang-barang lainnya. Untuk lebih mengetahui mata pencaharian penduduk masyarakat Saribudolok dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


(42)

30 Tabel 6

Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah Presentase (%)

1 PNS 471 6,0

2 Pegawai Swasta 289 3,8

3 Petani 3.620 47,0

4 Pengrajin 31 0,4

5 Pedagang 254 3,3

6 Penjahit 34 0,4

7 Montir 18 0,2

8 Supir 114 1,4

9 Pengemudi Becak 82 1,0

10 TNI/Polri 37 0,4

11 Dokter 16 0,2

12 Pengusaha 60 0,7

13 Tukang kayu 8 0,1

14 Tukang Batu 20 0,2

15 Pensiunan 23 0,2

16 Usia Sekolah 2.570 33,4

17 Lain – lain 45 0,6

Jumlah 7.692 100

Sumber: Data Kelurahan Saribudolok, 2014

Berdasarkan tabel diatas, sebagian besar penduduk di Kelurahan Saribudolok hidup dari sektor pertanian yaitu sekitar 49 %. Akan tetapi perlu diketahui walaupun sebagian lagi penduduknya hidup di sektor jasa, pegawai, dan sebagainya, mereka tetap merangkap sebagai petani. Hal ini terbukti pada dasarnya atau setiap penduduk yang ada di Kelurahan Saribudolok rata-rata memiliki juma (ladang) untuk digarap sebagai lahan pertaian. Oleh sebab itu, Saribudolok dikenal sebagai daerah pertanian tanaman hortikultura.

2.3. Potensi Alam

Lahan pertanian yang subur dan luas menjadi modal utama perekonomian Simalungun dan menjadikan daerah ini lumbung padi terbesar


(43)

31 kedua Sumatera Utara setelah Kabupaten Deli Serdang. Terletak pada ketinggian 369 meter di atas permukaan laut, Simalungun mampu menarik perhatian masyarakat luar daerah sejak zaman kolonial.

Kehadiran pemerintahan kolonial memberi arti penting bagi perkembangan pertanian. Irigasi yang bersumber dari bendungan, salah satu bentuk pembangunan zaman kolonial, dimanfaatkan petani untuk mengairi sawah. Lahan sawah, termasuk ladang, tersebar merata di setiap kecamatan.

Tahun 2001 misalnya, petani Simalungun memproduksi beras 293.179 ton, 190 persen dari kebutuhan lokal. Simalungun setiap tahun surplus beras yang disalurkan ke daerah sekitarnya melalui Dolog maupun pasar tradisional. Swasembada pangan Simalungun teruji puluhan tahun dan masih akan terus berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, niat petani menanam padi tidak begitu kuat. Tahun 1995, petani bersemangat menanam kelapa sawit sehingga tidak sedikit lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan ini tidak mengganggu Simalungun sebagai penghasil beras. Produksi beras Simalungun tahun 1995 surplus 149.255 ton.

Selain padi, daerah ini juga penghasil utama palawija. Jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah menempati urutan pertama dan kedua produksi terbesar di Sumatera Utara. Dukungan tenaga kerja pertanian tanaman pangan sangat besar. Kecamatan Dolok Panribuan dan Tanah Jawa yang berbatasan dengan Kabupaten Asahan di timur serta delapan kecamatan lainnya di barat merupakan daerah-daerah dengan tenaga kerja pertanian tanaman pangan lebih dari 50 persen. Kecamatan Dolok Silau yang berbatasan


(44)

32 dengan Kabupaten Karo di barat menjadi penyedia tenaga kerja pertanian tanaman pangan terbesar (83,4 persen).

Sementara Kecamatan Tapian Dolok yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang menjadi daerah dengan sebaran penduduk merata dalam lapangan pekerjaan: pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertanian lainnya, industri pengolahan, serta jasa. Potensi perkebunan semakin memantapkan pertanian sebagai sektor unggulan. Kegiatan ekonomi daerah tahun 2001 Rp 4,2 triliun, 62 persen disumbang oleh pertanian. Di sektor pertanian, hampir 50 persen ditunjang hasil perkebunan. Kelapa sawit menjadi komoditas utama. Tahun 2001 tak kurang 489.335 ton dihasilkan dari areal 24.787 hektar. Kelapa sawit merupakan produksi perkebunan rakyat terbesar kedua di Sumut setelah Kabupaten Labuhan Batu.

Perkebunan besar dengan lahan hampir 70.000 hektar kelapa sawit memproduksi sekitar satu juta ton tahun 2001. Karet dan cokelat menjadi pendukung kontribusi perkebunan. Saat ini ada dua badan usaha besar yang dikelola pemerintah dan swasta. Jumlah tenaga kerja perkebunan tidak merata di setiap kecamatan. Ada tiga kecamatan dengan tenaga kerja setidaknya 20 persen, yakni Dolok Batu Nanggar, Jorlang Hataran, dan yang terbesar Sidamanik (28,5 persen) berbatasan langsung dengan Danau Toba. Fluktuasi produksi karet dialami oleh perkebunan yang dikelola pemerintah lima tahun terakhir.

Setelah penurunan produksi tahun 1997, tahun 2001 meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya menjadi 8.608 ton. Peningkatan produksi sangat


(45)

33 tajam juga terjadi pada komoditas cokelat. Tahun 2000 perkebunan hanya memproduksi 2.076 ton kakao. Setahun berikutnya naik menjadi 13.630 ton.

Namun, ini masih di bawah produksi tahun 1999 yang mencapai 16.032 ton.Tanaman yang membuat prihatin adalah teh. Produksi teh yang terpusat di Kecamatan Raya dan Sidamanik ini mulai anjlok. Penurunan produksi secara tajam dimulai tahun 2000, dari 100.498 ton tahun sebelumnya menjadi 75.796 ton, dan tinggal 15.340 ton tahun 2001.

Dalam menjual hasil panen, petani Simalungun sangat bergantung pada pedagang dan tengkulak, yang sebagian besar dari luar daerah. Kehadiran industri besar, seperti PT Good Year Sumatra Plantations yang didirikan tahun 1970, cukup membantu petani memasarkan hasil panen mereka. Meskipun memiliki perkebunan sendiri, perusahaan pengolahan karet ini mampu menampung karet hasil perkebunan rakyat. Setelah diolah menjadi bahan setengah jadi, produknya dijual ke luar daerah dan ekspor. Melihat produksi pertanian yang melimpah, sepantasnya Pemerintah Kabupaten Simalungun memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan industri pengolahan.

Meski masih belum maksimal, aktivitasnya mampu memberikan kontribusi Rp 721,6 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam bidang ini di berbagai kecamatan memang masih sedikit, satu sampai empat persen. Satu-satunya kecamatan dengan jumlah tenaga kerja besar dalam bidang ini adalah Tapian Dolok, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang, dengan 12,7 persen tenaga kerja.


(46)

34 Perpaduan pengembangan antara pertanian sebagai sumber bahan baku, industri sebagai wahana pemberi nilai tambah, dan perdagangan akan menjadikan Simalungun sebagai daerah agroindustri, agrobisnis, dan juga agrowisata.

2.4. Sarana dan Prasarana 2.4.1. Sarana Kesehatan

Jika dilihat dari tingkat kesehatannya, maka Kelurahan Saribudolok dapat disebut sebagai masyarakat yang peduli akan tingkat kesehatan. Ini dapat peneliti lihat dari sarana kesehatan yang tersedia. Demikian juga masyarakatnya yang sudah berfikir logis mengenai kesehatan. Hal ini terbukti dari jumlah bidan desa. Selain itu juga apabila masyarakat terserang penyakit, langsung datang ke dokter untuk memeriksadan meminta resep obat. Begitu juga dengan kaum ibu yang sedang mengandung sudah mau mengkonsultasikan kandungannyake bidan-bidan yang ada.

Sampai pada proses persalinannya, para ibu sudah mempercayakan keselamatan bayinya kepada bidan desa yang ada. Untuk lebih jelasnya, menegnai sarana dan prasarana kesehatan yang ada di daerah Saribudolok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(47)

35 Tabel 7

Sarana Kesehatan

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit 1

2 Puskesmas 1

3 Toko Obat 4

4 Apotik 1

5 Klinik 1

6 Posyandu 8

Jumlah 16 Sumber: Data Kelurahan Saribudolok, 2014

2.4.2. Sarana Pendidikan

Sebagai daerah kelurahan dan merupakan Ibukota Kecamatan Silimakuta, maka Saribudolok mempunyai sarana yang sudah cukup lengkap karena mulai dari Sekolah Tingkat Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas sudah tersedia. Untuk lebih jelasnya akan disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 8

Sarana Pendidikan di Kelurahan Saribudolok

No. Jenis Sekolah Jumlah

1 Sekolah Dasar (SD) 5

2 Sekolah Menengah Pertama (SMP)

3

3 Sekolah Menengah Atas (SMA) 3 Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok 2014


(48)

36 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat jumlah sekolah yang paling banyak adalah Sekolah Dasar (SD). Untuk gedung sekolah masih dapat dibagi dalam beberapa kelompok. Untuk SD ada 5 gedung sekolah, yaitu: 2 SD Swasta ( SD Khatolik dan SD GKPS) dan 3 SD Negeri. Untuk SMP ada 3 gedung sekolah, yaitu: SMP Khatolik Bunda Mulia, SMP Negeri 1, dan SMP Negeri 2. Sedangkan untuk SMA ada 2 gedung sekolah, yaitu: SMA Swasta Khatolik Duynhoven dan SMA Negeri 1.

2.4.3. Sarana Ibadah

Dilihat dari hubungan antara manusia dan Sang Penciptanya, maka setiap daerah tentu mempunyai tempat untuk beribadah. Walaupun di Kelurahan Saribudolok ini hanya ada 3 agama yang berkembang, tetapi tidak semua agama tersebut mempunyai tempat untuk beribadah, misalnya agama Budha. Adapun sarana yang ada di Kelurahan Saribudolok dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9 Sarana Ibadah

No. Sarana Ibadah Jumlah

1 Masjid 1

2 Gereja 7

3 Vihara -

4 Pura -

Jumlah 8 Sumber: Data Kelurahan Saribudolok, 2014


(49)

37 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah sara ibadah untuk agama Kristen lebih banyak di bandingkan dengan sarana ibadah untuk agama Muslim. Hal ini dikarenakan Kristen masih dapat dikelompokkan lagi menjadi dua agama yaitu agama Kristen Khatolik yang memiliki 2 rumah ibadah dan agama Kriten Protestan yang memiliki 5 rumah ibadah.

Untuk Kristen Protestan gedung gereja lebih banyak dibandingkan dengan Kristen Khatolik, karena agama Kristen Protestan terbagi lagi menjadi beberapa aliran, seperti aliran gereja suku (GKPS) dan Gereja Sekte seperti: Imanuel, GBI, GKII dan Pentakosta yang masing-masing memiliki gedung ibadah.

2.4.4. Sarana Transportasi

Kelurahan Saribudolok mempunyai letak yang strategis, terletak di antara Pematang Siantar, Kabupaten Karo dan juga Sidikalang. Hal ini pastinya akan membuat wilayah Saribudolok sebagai jalur lintas untuk Sidikalang, Kabupaten Karo dan juga Pematang Siantar. Oleh sebab itu, untuk sarana angkutan umum menuju daerah lain, sarana angkutan yang ada sudah lebih dari cukup. Sedangkan sarana angkutan untuk masyarakat setempat atau antar nagori yang dimanfaatkan adalah kendaraan becak motor dan angkot. Khusus untuk kendaraan becak motor di Saribudolok sekarang ini sudah cukup menjamur dan lebih efisien bagi masyarakat setempat.

Adanya kendaraan becak motor yang setiap saat tersedia dan yang paling penting adalah bagi penduduk yang kampungnya jauh, seperti ke


(50)

38 pelosok tidak perlu khawatir lagi karena tukang becak kendaraan becak motor siap untuk memberikan pelayanan setiap saat. Selain itu becak motor ini tidak hanya melayani penduduk untuk bepergian ke tempat-tempat umum dan pelosok saja, becak motor ini juga melayani para penduduk khususnya petani untuk pergi ke ladang-ladang mereka, bahkan bersedia juga untuk mengangkut hasil panen dari ladang.


(51)

39 BAB III

ORANG SIMALUNGUN

3.1. Sejarah Simalungun

Simalungun adalah salah satu suku bangsa asli yang mendiami Sumatera Utara, tepatnya di timur Danau Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo menyebut mereka dengan sebutan Timur, karena letak mereka yang disebelah timur Taneh Karo. Di dalam cakap (bahasa) Karo, “Simelungen” sendiri bermakna “si sepi, si sunyi, yang dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si = si, yang; dan me-lungun = sepi, sunyi”, jadi simalungen mengandung artian: “wilayah (daerah) yang sepi”.

Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini masyarakatnya hidup berjauhan(tidak berkumpul) sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang Batak menyebutnya dengan “Si Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di wilayah itu.

Dalam tradisi asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal dari wilayah di India Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar abad ke-5 Masehi serta menetap di timur Danau Toba (Kab. Simalungun sekarang), dan melahirkan marga Damanik yang merupakan marga asli Simalungun(cikal bakal Simalungun Tua).


(52)

40 Dikemudian hari datang marga-marga dari sekitar Simalungun seperti: Saragih, Sinaga, dan Purba yang menyatu dengan Damanik menjadi empat marga besar di Simalungun.

3.1.1. Gelombang Pertama (Simalungun Proto)

Simalungun Proto( Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore di India Selatan dan Assam dari India Timur, yang dimana diyakini mereka bermigrasi dari India ke Myanmar selanjutnya ke Siam (Thailand) dan ke Malaka hingga akhirnya ke Sumatera Timur mendirikan kerajaan Nagur (kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik (marga asli Simalungun).

Dalam kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan wilayah-wilayah sekitarnya, dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar dari Siam dan India yang bergerak dari Sumatera Timur menuju Langkat dan Aceh, namun pada akhirnya mereka terdesak oleh suku bangsa asli setempat (Aru/Haru/Karo) hingga ke daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.

3.1.2. Gelombang Kedua (Simalungun Deutro)

Pada gelombang kedua ini, atau dengan masuknya marga Saragih, Sinaga, dan Purba, dikatakan Simalungun asli mengalami invasi dari suku bangsa sekitar yang memiliki pertalian dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan aspek ruang dan waktu dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo: Tarigan Purba dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan dari Barat Danau Toba(Pakpak/Dairi: Sinaga).


(53)

41 Hal ini juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa yang ada di tradisi merga di utara Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting: terkhususnya Ginting Munthe yang mendapat konfirmasi dari marga Saragih, Saragih Munthe di Simalungun dan Dalimunte di Labuhan Batu) dan Tarigan(Legenda Danau Toba dan Si Raja Umang Tarigan) yang dimana dalam tradisi dua merga ini menceritakan adanya migrasi dari cabang(sub-)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.

Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab Simalungun kuno) dikisahkan Parpandanan Na Bolag(cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari

Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain

menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.

Namun, kini populasi Simalungun sudah mengalami kemunduran akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan Karo) dan terdesak akibat derasnya arus migrasi suku-suku disekitar Simalungun (khususnya Toba dan Karo) yang membuat suku bangsa Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah Simalungun atas saja


(54)

42 3.2. Marga Besar di Simalungun

3.2.1. Marga Damanik

Damanik adalah satu marga di antara empat marga pada suku bangsa Simalungun, Damanik merupakan marga pertama di Simalungun. Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Leluhur marga Damanik dan marga-marga lain dalam Suku bangsa Simalungun berasal dari Nagore (India Selatan) dan Pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Birma ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari raja dinasti Damanik.

Damanik disebut juga Parbapaan artinya seorang yang dituakan, tempat bertanya hal-hal yang diperlukan tentang sesuatu dalam ilmu yang terkandung pada alam semesta, dilihat dari Parhalaan, mempunyai ilmu pengobatan dan sebagainya, pada zaman dulu disebut Datu (dukun). Karena oknumya dianggap manusia yang mengetahui rahasia-rahasia alam semesta. Sebagai Datu sering terlihat dalam pakaian jubah yang ditaburi manik-manik (permata) pada waktu memanjatkan mantera dalam upacara kepercayaan yang dianut pada masa itu. Bila dipertautkan dengan zaman kejadiaannya, dengan suatu masa manurut pra-sejarah kira-kira 800-600 SM.

Pada zaman Kerajaan Sulaiman di Asia, pakaian jubah para Imam, sama bentuk dan perlengkapannya dengan yang dipakai Datu. Bila demikian,


(55)

43 tentu Datu menganut suatu keyakinan di samping ilmu-ilmu yang lain yang telah diuraikan di atas. Keyakinan di mana dalam masa pra-sejarah (1000 SM) berupa suatu ajaran yang berasal dari Nabi Musa terkenal dengan ajaran Dasa Sila (sepuluh perintah Tuhan) yang menganggap bahwa manusia sama adanya di hadapan Tuhan.

Dari fakta sejarah menurut peradaban Simalungun dapat disimpulkan bahwa orang yang berketepatan sebagai Raja di wilayah masing-masing ternyata berasal dari satu keturunan Nenek moyang yang tiba di Batubara. Pada satu generasi yang sama, muncul 3 (tiga) orang bersaudara berkedudukan sebagai Raja di wilayah masing-masing yang terdiri dari :

1. Raja Namartuah (Raja Siattar) dari jenis Marga Damanik Barotbot anak keturunan Marahsilu (Raja Nagur yang terakhir). 2. Raja Jumorlang (Kerajaan Jumorlang) dari jenis Marga

Damanik (Bah Bolag) anak dari sorotilu (Kerajaan Manakasian). 3. Timoraja Damanik Nagur, sanak keluarga dari Raja-raja Nagur

terdahulu.

Dari 3 (tiga) jenis anak keturunan marga Damanik dalam peradaban untuk mengetahui dari antaranya siapa yang tertua, yang tengah dan yang bungsu, tidak terlihat lagi sebagai tanda-tanda pertalian dalam kekeluargaan

tarombo. Tetapi dari sudut hubungan persaudaraan satu sama lain masih


(56)

44 Damanik Barotbot :

• Anak keturunan Raja Uluan, Pamatang Sipolha di negeri Sijambur – Ajibata dan sebagainya.

• Anak keturunan Raja Namaringis Raja Siattar di Pematang Siantar, Marihat.

• Anak keturunan Partuanon Pamatang Bandar • Anak keturunan Partuanon Pamatang Sidamanik

• Anak keturunan Parbapaan di Batubara (Damanik- Batubara) Dolog Malele, Bangun, Naga Huta, dan seterusnya.

• Anak keturunan Parbapaan di Pulau Raja Damanik – Simargolong.

Damanik Bah Bolag :

Anak keturunan Raja Jumorlang diberi nama Ariurung Oppu Barita jabatan Bah Bolag (penguasa lautan) menjadi marga Damanik (Bah Bolag) berada di sekitar Pamatang Siantar.

Damanik Nagur :

Anak keturunan Damanik Nagur, Damanik Usang, Damanik Sola, Damanik Rappogos, Damanik Melayu, Damanik Bayu, Damanik Sarasa, Damanik Rih d.l.l. Sejak Simalungun masih diriwayatkan sebagai Nagur , Damanik telah menjadi pemimpin bagi marga lainnya. Sebagai marga


(57)

45 bangsawan awal, Damanik mengatur tatanan ke Simalungunan. Namun jika dilihat dari perjalanan panjang marga Damanik dalam tinjauan habonaron, maka sebuah kebenaran tidaklah boleh ditiadakan. Bukti dari “Perjalanan Simalungun/ Damanik dalam Tinjauan Habonaron”, sebagai etnis/marga tua yang berbudaya dan memiliki peradaban yang tinggi.

Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku bangsa ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.

Kerajaan tersebut adalah:

1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)

2. Panei (Januari 1904, SK No.6) 3. Dolok Silou

4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)

Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:

1. Raya (Januari 1904, SK No.6) 2. Purba

3. Silimakuta

Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun. Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian


(58)

46 diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.

3.2.2. Marga Saragih

Saragih berasal dari Selatan India, yang melakukan perjalanan ke Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Secara Etimologis Saragih berasal dari “simada ragih” dalam bahasa Simalungun, yang mana “ragih” berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Marga Saragih pertama (Hasusuran-1) itu sendiri muncul saat salah seorang Puanglima (Panglima) dari kerajaan Nagur dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan satu kerajaan baru di Raya (disebut Pematang Raya, Simalungun). Saragih terdiri dari banyak sub-marga, antara lain: Garingging Dasalak, Dajawak, Munthe, Rumahorbo, Siallagan, Sidabalok, Sidabukke, Sidabutar, Sidahuruk, Sigalingging, Sijabat, Simanihuruk, Simarmata, Sitanggang, Sitio, Sumbayak, Tamba, Tinambunan, Turnip.


(59)

47 Raja Kerajaan Raya:

1. Tuan Si Pinang Sori

2. Raja Raya, Tuan Lajang Raya 3. Raja Raya Simbolon

4. Raja Gukguk 5. Raja Unduk 6. Raja Denggat 7. Raja Minggol 8. Raja Poso 9. Raja Nengel 10. Raja Bolon 11. Raja Martuah

12. Raja Raya Tuan Morahkalim

13. Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog 14. Raja Raya Tuan Rondahaim

15. Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan) 16. Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya) 17. Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Saragih merupakan marga poparan raja nai ambaton yang terdapat di simalungun saat itu. Jika pakai "h" berarti merupakan gabungan poparan raja nai ambaton (PARNA) masih ada lanjutannya mis: saragih sumbayak, saragih napitu, saragih garingging, saragih simbolon, dll. Namun jika tidak pakai "h"


(60)

48 adalah yang benar benar keturunan op. saragi tua (dari samosir) jadi Marga Saragih simalungun bukan berarti keturunan op. Saragi Tua saja tetapi gabungan marga poparan raja nai ambaton (PARNA).

3.2.3. Marga Sinaga

Sinaga merupakan salah satu dari empat marga asli suku bangsa Simalungun saat terjadi “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara empat raja besar (Raja Nagur, Raja Banua Sobou, Raja Banua Purba, Raja Saniang Naga) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keturunan dari Raja Saniang Naga di atas adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad XIV, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).

Keturunan raja Tanah Jawa berasal dari India, salah satunya adalah menurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan


(61)

49 Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku bangsa Simalungun dan Batak lainnya. Perbauran suku bangsa asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya menimbulkan marga-marga lain dengan Sinaga. Marga-marga tersebut antara lain Sipayung, Sihaloho, Sinurat, dan Sitopu.

3.2.4. Marga Purba

Purba secara etimologi bermakna timur, kata ini serumpun dengan kata "purwa" dalam bahasa Jawa. Kata ini berakar dari bahasa Sanskerta "purva". Pengaruh budaya India yang kental dengan corak Hindu-Buddha melalui bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa pada awal abad Masehi sangat besar peranannya dalam mewarnai kebudayaan nusantara. Pengaruh itu tentunya tidak terelakkan oleh suku bangsa Simalungun, akibat dari pengaruh yang berlangsung selama berabad-abad sehingga ditemukan cukup banyak budaya Simalungun yang bernuansa Hindu-Buddha.

Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di Simalungun. Marga ini terbagi ke dalam beberapa cabang yaitu Tambak, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Sigumonrong, Silangit, Tambun Saribu, Tua, Tanjung, Pakpak, Siboro, Girsang, Tondang, Sihala, dan Manorsa. Penamaan Purba sebagai marga dari suatu kelompok masyarakat Simalungun dapat dideskripsikan bahwa nenek moyang mereka berasal dari arah timur pulau Sumatera.


(62)

50 Leluhur awal marga Purba datang dari Siam bersamaan dengan Saragih dan Sinaga, mereka berlayar ke Pulau Sumatera tepatnya ke Sumatera Timur, jalur pelayarannya melalui India. Ada 2 lokasi yang diduga menjadi tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur, yaitu pesisir Serdang Bedagai dan Asahan sekarang. Mereka kemudian masuk ke pedalaman dan berbaur dengan masyarakat setempat.

Purba Sigumondrong berasal dari Lokkung, keturunannya kemudian menyebar ke Cingkes, Marubun, Togur, dan Raya, Simalungun. Marga ini merupakan keturunan dari Purba Tambak yang lahir dari boru Simarmata. Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Gerneng. Adapun leluhur Purba Tondang berawal dari kampung Huta Tanoh di Kecamatan Purba, marga ini merupakan saudara dari Purba Tambun Saribu. Sebagian keturunannya meyakini leluhur mereka berasal dari Purba Parhorbo di Humbang.

Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tendang. Saudaranya, Purba Tambun Saribu berasal dari Harangan Silombu dan Binangara di Kecamatan Purba, keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tambun. Tua. Cabang marga Purba lainnya yaitu Purba Tua, marga ini adalah pendiri kampung Purba Tua yang berada di Kecamatan Silimakuta, sebagian meyakini marga ini merupakan saudara dari Purba Tanjung yang mendiami daerah Sipinggan, simpang Haranggaol.


(63)

51 Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tua dan banyak bermukim di Juhar.

Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga Cibero di Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih menjadi Tarigan Sibero. Kampung asal Purba Tanjung berada di Sipinggan dekat simpang Haranggaol, sebagian keturunannya meyakini marga mereka lahir dari Purba Pakpak. Sedang pendapat lain mengatakan leluhur mereka adalah Purba Tambak, di mana salah seorang keturunannya pergi berdiam di sebuah tanjung di pinggiran Danau Toba.

Adapun marga Girsang, dari hasil investigasi penulis beberapa waktu yang lalu, di mana salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Leluhur marga ini tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, pemukimannya itu diberikan oleh Raja Mandida Manik Karena menikahi puterinya.

Salah seorang keturunan si Girsang ada yang memiliki keahlian meramu obat sehingga dikenal juga dengan sebutan Datu Parulas dan menyumpit burung sehingga digelari juga dengan Pangultop. Adapun nama leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya adalah 2 orang bersaudara yaitu Girsang Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini keturunan ke 11 dari Raja Ghaib, leluhur pertama marga Cibero.


(64)

52 Keduanya melakukan perburuan terhadap seekor burung, karena mengejar burung tersebut salah seorang di antara keduanya sampai ke Simalungun dan memasuki kampung Naga Mariah tanah ulayat marga Sinaga. Pada masa itu Tuan Naga Mariah tengah mendapat ancaman dari musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, berkat bantuan si Girsang musuh dari Siantar dapat diatasi. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menikahkannya dengan puterinya dan menyerahkan tampuk kekuasaan padanya.

Adapun penduduk asli tempat itu yaitu marga Sinaga, setelah kekuasaan beralih ke tangan si Girsang, mereka akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan menjadi marga Peranginangin Bangun. Di tempat itu, Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu sebagai ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Nagamariah.

Marga ini terbagi lagi menjadi Girsang Jabu Bolon, Girsang Na Godang, Girsang Parhara, Girsang Rumah Parik, dan Girsang Rumah Bolon. Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang, kampung Sinaman di Kecamatan Tiga Panah merupakan salah satu kampung yang didirikan keturunan Girsang yang pindah ke tanah Karo. Adapun keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang disebut dengan Girsang Silangit. Peristiwa yang sama juga dialami salah seorang keturunan marga Cibero yang bergelar Pangultopultop.


(65)

53 Karena memburu seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima Punggapungga membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki wilayah kekuasaan Tuan Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan Panei. Karena kepiawaiannya ia berhasil merebut hati rakyat Simalobong saat terjadi musim paceklik sehingga rakyat pun dengan sukarela memanggilnya raja. Hal ini menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong, karena ia merasa ialah satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut.

Akibatnya Pangultopultop berurusan dengan pihak istana dan berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong, peristiwa ini berujung dengan adu sumpah (marbija) antara keduanya yang akhirnya berhasil dimenangkan oleh Pangultopultop. Kepemimpinan kemudian jatuh ke tangannya, di bekas wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan Kerajaan Purba dan mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak.

Pengetua adat marga Cibero tersebut dengan tegas mengatakan bahwa Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba dan nenek moyang pertama Purba Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya adalah Gorga, ia memiliki seorang saudara yg bernama Buah atau Suksuk Langit, saudaranya inilah yg pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero.

Mereka ini merupakan generasi ke 20 dari Raja Ghaib, generasi awal marga Cibero. Kalau merujuk pada pendapat beliau, artinya lebih dahulu si Girsang merantau ke Simalungun dibanding si Parultop, ada selisih 9 generasi antara Girsang dan Parultop, leluhur Purba Pakpak. Di antara keturunan Purba


(1)

95 Kebutuhan yang dimaksudkan ialah kebutuhan primer atau biologis, sekunder atau psikologis yaitu kebutuhan mendasar yang muncul dari kebudayaan itu sendiri. Pandangan fungsionalis atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan.


(2)

95 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Penelitian ini membahas tentang Pattangan yang ada di suku Simalungun tepatnya di Saribudolok. Berdasarkan hasil penelitian terhadap informan peneliti dengan judul Pattangan, maka yang menjadi kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa budaya merupakan hasil belajar manusia. Dalam proses belajar, masyarakat menelaah kelebihan dan kekurangan yang mereka rasakan.

Pada penelitian ini, marga asli Simalungun yang berada di Saribudolok memiliki hubungan kekerabatan pada hewan. Tidak hanya hubungan kekerabatan, melainkan menjadi sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan terhadap hewan dapat terlihat dari ritual atau upacara ataupun pemberian sesajen yang mereka lakukan secara rutin.

Kepercaayan masyarakat Simalungun muncul sebelum adanya kepercayaan animisme yaitu totemisme. Pattangan itu sendiri merupakan bagian dari totemisme, dimana hewan tersebut dianggap sacral sehingga masyarakat Simalungun tidak membunuh, memakan, dan menyakiti hewan tersebut.

Damanik, Saragih, Sinaga, dan Purba memiliki hewan yang di pattangkan dan hewan tersebutlah yang dianggap sakral. Danamik memiliki pattangan yaitu ular Sibaganding Tua, Saragih memiliki pattangan yaitu burung perkutut. Sinaga memiliki pattangan lembu, harimau dan ular. Dan


(3)

Purba memiliki pattangan ular. Hubungan kekerabatan ini awalnya muncul karena hewan tersebut menolong manusia sehingga manusia menjalin suatu hubungan yang erat.

Akan tetapi kepercayaan masyarakat Simalungun khususnya di Saribudolok sudah mulai memudar. Hal tersebut terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan pola pikir masyarakat yang semakin berkembang pula serta dipengaruhi juga oleh keberadaan agama.

Dari seluruh informan yang diteliti, hanya bapak Saragih yang tidak ingin menceritakan sejarah pattangan saragih kepada keturunannya. Karena menurut bapak Saragih, saat sekarang ini pattangan hanya sekedar cerita rakyat.

Dalam mempercayai, tentu ada yang dinamakan ritual. Ritual tersebut berfungi untuk memantapkan solidaritas sosial antara manusia dan hewan. Solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan masyarakat memainkan peranannya yakni memelihara kadar kebersamaan yang menjadi landasan bagi berlakunya sistem sosial. Sistem sosial inilah yang saling menguntungkan dari kedua pihak, yaitu manusia dan hewan.

Dari hasil penelitian, peneliti melihat bahwa hewan dan manusia saling menguntungkan satu sama lain. Manusia mendapat pertolongan dari hewan, dan sebaliknya hewan juga mendapat keuntungan dari manusia. Budaya tersebut muncul dari adanya keuntungan satu sama lain. Dari situlah tercipta hubungan kekerabatan dan berubah menjadi pattangan.


(4)

97 5.2. Saran

Penelitian ini diharapakan dapat menjadi pengetahuan yang berguna bagi masyarakat. Penelitian ini juga dapat menjadi pengetahuan baru untuk lebih mengetahui bagaimana sistem kepercayaan masyarakat pada masa lampau terhadap pattangan. Pattangan seharusnya lebih dilestarikan untuk menjadi aset kebudayaan di Simalungun.

Bahkan kepercayaan tersebut seharusnya dapat di buat kedalam buku, dimana masyarakat dan hewan juga memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Tidak hanya itu saja, masyarakat juga harus lebih menjaga dan melestarikan hewan agar tidak punah.


(5)

98 DAFTAR PUSTAKA

Baharrudin, M. Achwan. 2011. Research Metode dan Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama. Jakarta : Jakarta Press

Honig, A.G. 2005. Ilmu Agama. Diterjemahkan oleh M.D. Koesoemosoesastro & Soegiarto (cet. ke-11). Jakarta: Gunung Mulia

Jahutar Damanik, NPV: 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan, medio 1981 cetak ulang tahun 1987

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

______________. 2007. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Maran, Rafael Raga. 2003. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya

Margono. (1997). Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Mariasusai, Dhavamany. 2010. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kansius


(6)

99 Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontremporer : Suatu

Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Edisi Pertama, Cetakan ke-1. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Sinaga, Drs Salmon. 2008. Adat Ni Simalungun. Siantar : Presidium Partuha

Sunjata. 1996. Tradisi, Makna dan Simbolnya. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Spardley, James. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana

Thouless, Robert H. 1995. Pengantar Psikologi Agama terjemahan Machun Husein. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Sumber Lain :

www.tuanguru.com/2012/10/kepercayaan-totemisme.html

http://www.academia.edu/5002694/Asas-asas_Antropologi_Dr._Abdullah_Taib._DBP_1985

Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994


Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

8 111 119

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

4 37 112

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 11

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 1

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 18

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 20

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 2

BAB II GAMBARAN UMUM - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 2 24

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 0 15