Target penurunan emisi belum dipadukan dengan kebijakan perencanaan lainnya

1jt81 tahun 3,5jt25 tahun 16,4 jt 5 tahun 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20 40 60 80 100 120 140 160 L u a s la h a n y a n g d ir e h a b il it a si ri b u h a Lama lahan yang direhabilitasi tahun Target yang seharusnya dijawab oleh pemerintahan SBY 500rb163 tahun Target yang dibuat oleh pemerintahan SBY Graik 2.2 Lama waktu rehabilitasi dibandingkan luasan lahan rehabilitasi Kotak 2.1 Kebijakan Moratorium Ijin di Indonesia Pada tanggal 20 Mei 2011, Intruksi Presiden Inpres No. 10 tahun 2011 diterbitkan dengan tujuan untuk menunda pemberian izin HPH baru untuk penebangan dan konversi hutan dan lahan gambut selama dua tahun sejak tanggal diundangkannya. Penundaan ini memungkinkan pembenahan tata kelola hutan yang lebih baik melalui pelembagaan proses koordinasi dan pengumpulan data dan kemungkinan juga peraturan-peraturan baru yang diperlukan. Dalam perkembangannya, Inpres tersebut diperpanjang berlakunya hingga tahun 2014 atau ketika masa presiden SBY berakhir. 15 Analisis Kebijakan Perencanaan dan Anggaran Nasional terhadap Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia Pemerintah gagal memenuhi kinerja program rehabilitasi lahan kritis. Alih-alih untuk menaikkan titik optimum, dengan asumsi target kinerja yang ada saja, pemerintah masih belum berhasil mencapai target rehabilitasi lahan kritis seluas 500 ribu Ha per tahun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan 2012 menunjukkan bahwa program rehabilitasi pada tahun 2007-2012 hanya mampu dilakukan pada lahan seluas 1,6 juta Ha. Artinya rata-rata yang bisa direhabilitasi oleh pemerintah per tahunnya hanya sebesar 320 ribu Ha. Angka ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh RPJMN. Moratorium, mencegah izin baru pada 22,5 juta Ha hutan primer dan lahan gambut, tapi tidak melindungi 46,7 juta Ha hutan sekunder. Pemerintah Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden Inpres No. 62013 untuk melanjutkan Inpres No. 102011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Dimasukkannya hutan lindung dan hutan konservasi yang sudah dilindungi secara hukum menimbulkan spekulasi bahwa sesungguhnya target yang dijadikan cakupan moratorium tidak sebesar seperti yang tertera dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru PIPIB. Kawasan konservasi yang sudah dilindungi oleh UU No. 411999 dan peraturan pemerintah adalah seluar 47,8 juta Ha, sedangkan cakupan moratorium berdasarkan PIPIB seluas 66,4 juta Ha. Artinya kawasan baru yang sesungguhnya dicakup oleh moratorium hanyalah 22,5 juta Ha. Moratorium diopersionalisasi sebagai kepentingan melakukan penataan administrasi perijinan dan masih belum menyentuh pada penegakan hukum atas pelanggaran administrasi perijinan yang terjadi. Dalam hal melindungi kawasan konservasi, yang paling dibutuhkan adalah ketegasan pemerintah untuk melakukan penegakan hukum secara serius. Praktek penyerobotan kawasan konservasi untuk kepentingan industri kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang dilakukan oleh swasta hanya bisa dicegah dengan penegakan hukum. Inpres moratorium sesungguhnya hanya memberi sinyal kompromi antara pemerintah pusat – daerah – swasta untuk tidak dalam kepentingan penegakan hukum namun hanya untuk penataan ijin. 16 16 Penyimpulan atas diskusi dengan tim Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan UKP4 Republik Indonesia Tabel 2.4 Luas Kawasan Moratorium Berdasarkan Pulau juta ha; Perbandingan Kawasan Konservasi dan Cakupan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru PIPIB Sumber : Working Paper – Moratorium Hutan Indonesia; Batu Loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan?. CIFOR, 2011 16 Analisis Kebijakan Perencanaan dan Anggaran Nasional terhadap Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia