Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
15
NH adalah
seorang buruh
migran perempuan yang berasal dari Desa Tempuran Duwur.
Dia bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga PRT semenjak
tahun 1998, pada saat reformasi turunnya rezim Suharto sampai
saat ini. Sosok NH tergolong BMP yang “berhasil” secara ekonomi
karena
mampu menopang
kehidupan keluarganya, mulai dari kebutuhan pangan, tempat
tinggal sampai pendidikan dan politik.
Dengan kemampuan
ekonominya, dia
mampu membiayai
suaminya untuk
bekerja sebagai perangkat desa di Desa Tempuran Duwur. Padahal
awalnya ketika NH berangkat ke luar negeri, suaminya dalam
kondisi pas-pasan karena hanya menjadi
pekerja rendahan.
Tekadnya yang begitu kuat untuk memperbaiki
penghidupan ekonomi keluarga, walaupun
pendidikan rendah dan usia yang masih relatif muda, NH
tetap melangkah ke Saudi Arabia untuk mendapatkan penghasilan
yang baik serta dapat beribadah dengan baik karena bekerja di
negara muslim
. Sumber Lembaga KITA
1. Pertanian di Pedesaan
Memasuki wilayah
Desa Tempuran Duwur yang terletak
di kaki Gunung Sumbing berjarak sekitar 5 km ke kota kecamatan
serta kurang lebih 20 km ini ke kota kabupaten, nuansa
pegunungan dan dataran tinggi begitu terasa. Dingin, lembab,
berkabut, serta hujan yang sering turun menjadi cuaca
keseharian yang melingkupi dusun tersebut.
Menyusuri jalanan di Dusun Desa Tempuran Duwur yang
merupakan kantung
buruh migran
perempuan—tempat NH sebagai salah seorang BMP
tinggal—terasa mendaki gunung yang tidak ada ujungnya, terasa
sangat jauh. Di sepanjang jalan berbaris pepohonan yang lebat
dan persawahan subur yang hijau, dan tanaman pangan
kebutuhan pokok masyarakat. Akan tetapi, tanaman yang paling
mendominasi di sepanjang jalan itu adalah tanaman teh. Dusun?
Desa Tempuran Duwur sendiri termasuk ke dalam Kecamatan
Sapuran yang menjadi bagian dari Kabupaten Wonosobo yang
terletak di lereng beberapa pegunungan seperti Gunung
Sindoro, Sumbing, Prahu, Bismo dan di lereng pegunungan
Telomoyo,
Tampomas, serta
Songgoriti. Bagian utara wilayah tersebut
merupakan dataran
tinggi, bagian
tengah merupakan
lereng-lereng gunung,
dan bagian
selatan merupakan
dataran tinggi. Karakter dataran
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
16
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
tinggi dan
pegunungan inilah
yang menyebabkan
kabupaten tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi
sebagai basis produksi hasil pertanian. Tentunya iklim dan
kondisi
geograis tersebut
sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan
politik masyarakat.
Mayoritas warga dusun Desa Tempuran Duwur yang kurang
lebih 900 KK memiliki mata pencaharian sebagai petani,
dengan komoditas pertanian berupa
jagung yang
juga digunakan sebagai makanan
pokok. Saat ini jagung mulai tergeser dan digantikan oleh
beras sebagai bahan makanan pokok. Komoditas lain yang juga
ditanam oleh masyarakat Desa Tempuran Duwur adalah sayur-
sayuran, seperti kubis, buncis, cabe rawit, tomat, dan loncang.
Kondisi pertanian di desa ini termasuk
kedalam kategori
pertanian yang mengalami involusi pertanian dan termasuk kategori
petani subsisten. Sebagaimana diungkap oleh penelitian yang
dilakukan oleh Cliford Geertz 1975, kondisi pertanian dan
petani
dalam kategori
ini mengalami pemiskinan bersama.
Kondisi tersebut
ditandai produktivitas yang tidak naik
dan selalu berada pada tempat dan waktu sama.
Involusi adalah istilah yang melukiskan pola-pola kebudayaan
yang mencapai bentuk yang pasti tidak berhasil untuk menstabilisasi
atau
mengubah menjadi
suatu pola baru, tetapi terus berkembang ke dalam sehingga
semakin rumit.
2
Involusi pertanian dan
keterkaitannya dengan
fungsi persawahan bertujuan untuk mempertahankan tingkat
produktivitas serta menyerap tenaga kerja yang berlimpah.
Involusi pertanian merupakan ciri khas dari pertanian sawah setelah
kira-kira
pertengahan abad
ke sembilan belas. Munculnya involusi pertanian ini meresap
hingga ke seluruh sistem ekonomi perdesaan, antara lain dengan
adanya sistem hal milik yang semakin rumit, hubungan sewa
menyewa tanah yang semakin ruwet, pengaturan kerja gotong
royong semakin kompleks, dan kesemua hal tersebut merupakan
usaha
menyediakan satu
relung bagi setiap orang dalam keseluruhan sistem
3
. Usaha tani yang mengalami
involusi itu
digambarkan
2 Pendapat Goldenweiser
yang mendeinisikan makna kebudayaan
dalam Geertz, Agriculture Involution diterjemahkan oleh S. Supomo United
States of America; University of California Press, 1976 hlm 88
3 Ibid, hlm 89 2 Pendapat Goldenweiser yang mendeinisikan makna kebudayaan dalam Geertz,
Agriculture Involution diterjemahkan oleh S. Supomo United States of America;
University of California Press, 1976 hlm 88 3 Ibid, hlm 89
Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
17
dengan produktivitas
yang tidak kunjung naik diukur dari
produktivitas per orang tenaga kerja. Kenaikan hasil per hektare
bisa dicapai, tetapi tingginya hasil tersebut hanya cukup
untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan perorang.
Bagi
pemilik lahan,
usaha padi sawah lebih banyak pada
menanggung beban tenaga kerja dengan pemberian 47 bagian
pendapatan diberikan kepada tenaga kerja. Berkaitan dengan
pemilikan tanah, Geertz membagi pola kesempatan bekerja usaha
tani yang sangat sempit menjadi semakin sempit dengan pola yang
disebut “kemiskinan bersama”
4
. Di samping mengalami involusi,
kondisi petani di Desa Desa Tempuran Duwur juga berada
pada kondisi subsisten. Kondisi subsistensi diartikan sebagai cara
hidup yang cenderung minimalis dengan melakukan usaha-usaha
bertujuan untuk sekadar hidup
5
. Sebagaimana analisis dalam buku
Moral Ekonomi Petani Scott,
1975, bahwa
permasalahan subsistensi di kawasan Asia
Tenggara ditandai
dengan adanya indikator marjin ekonomi
petani yang semakin rendah.
4 Ibid, hlm 106 5 Rahardjo. Pengantar Sosiologi Pedesaan
dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada
University Press; 1999, hlm 68
Oleh sebab itu, petani memilih cara-cara aman dan enggan
mengambil risiko. Analisis sosial Scott mengatakan bahwa petani
dalam kondisi tersebut berusaha secara maksimal melimpahkan
risiko ekonomi kepada lembaga- lembaga lain demi keamanan
subsistensinya yang dipengaruhi oleh stratiikasi, resiprositas desa,
sewa tanah, dan perpajakan.
Ciri khusus perilaku ekonomis rumah tangga petani subsisten
adalah memproduksi pertanian sekaligus
mengkonsumsinya. Agar bisa bertahan, rumah
tangga petani harus memenuhi kebutuhan sebagai konsumen
kondisi subsistensi yang tidak dapat dikurangi dan tergantung
jumlah
anggota keluarga.
Menurut Wharton
1963, subsisten murni petani terjadi
ketika petani dapat berdiri sendiri dengan hasil produksi pertanian
untuk dikonsumsi sendiri dan tidak dijual
6
. Upaya
bertahan hidup
merupakan suatu kehidupan yang berkaitan erat dengan garis batas
kemiskinan, ditandai dengan adanya kekhawatiran mengalami
kekurangan pangan. Bagi rumah
6 Rahardjo,
Pengantar Sosiologi
Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press; 1999 hlm 68
4 Ibid, hlm 106
5 Rahardjo. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada University Press; 1999, hlm 68
6 Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada Uni- versity Press; 1999 hlm 68
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
18
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
tangga petani, gagal panen tidak hanya berarti kurang makan,
tetapi penyebab
kelaparan dan tidak mampu memenuhi
kebutuhan di luar makan. Untuk dapat makan, rumah tangga
petani mengorbankan harga diri dan menjadi beban orang
lain atau menjual sebagian dari tanah atau ternak untuk
memperkecil kemungkinan tidak tercapainya tingkat subsistensi.
Subsistensi rumah tangga petani merupakan fenomena struktural
dan kultural.
Subsistensi sebagai fenomena struktural
ditandai dengan
sempitnya kepemilikan
dan penguasaan lahan pertanian,
kemiskinan dan
kebodohan yang menyertainya, struktur
ekonomi dan politik yang kurang mendukung
perkembangan sektor pertanian masyarakat desa
secara umum dan khususnya sektor pertanian. Sementara itu,
pandangan subsistensi sebagai fenomena
kultural adalah
bahwa kondisi
subsistensi tersebut menjadi suatu way
of life , eksistensinya terlekat
pada sistem feodalisme yang merupakan tahap perkembangan
masyarakat selepas
zaman pra-industri
menuju zaman
masyarakat industri
7
. Subsistensi rumah tangga petani
adalah bagaimana menghasilkan beras cukup untuk makan,
membeli barang
kebutuhan pokok seperti garam, sandang,
dan memenuhi kebutuhan sosial. Segala usaha yang dilakukan
petani adalah
menghindari kegagalan
penghancur kehidupan dan bukan berusaha
memperoleh keuntungan besar dengan
mengambil risiko.
Perilaku petani itu disebut risk averse
8
. Perilaku menghindari risiko
ini tercermin
dari penggunaan berbagai macam
jenis bibit, cara bertani tradisional di lahan terpencar-pencar yang
berakibat pada berkurangnya hasil rata-rata pertanian. Bagi
rumah tangga petani yang hidup dekat dengan batas subsistensi,
akibat kegagalan panen adalah kelaparan
sehingga mereka
lebih mengutamakan keamanan pangan daripada keuntungan
jangka panjang. Prinsip ini dikenal
safety irst dahulukan selamat
9
.
7 Ibid, hlm 71 8 James C. Scott, The Moral Economy of
The Peasant; Rebelion and Subsistence in Southeast Asia
diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale
University Press, ltd., 1981 hlm 7 9 Ibid, hlm 7
7 Ibid, hlm 71 8 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebelion and Subsistence in Southeast
Asia diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press,
ltd., 1981 hlm 7 9 Ibid, hlm 7
Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
19 2. Migrasi Pertanian ke Jasa
Berdasarkan data yang berasal dari aparat desa Desa Tempuran
Duwur tentang
komposisi warga Dusun Desa Tempuran
Duwur berdasarkan jenis mata pencahariannya, jumlah petani
tercatat sebanyak 624 jiwa atau 55,22 dari keseluruhan
penduduk. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan komposisi
penduduk Dusun Desa Tempuran Duwur berdasarkan jenis mata
pencaharian.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan
Jumlah 1.
Petani Penggarap 420
20,99 2.
Buruh Tani 204
10,19 3.
Industri Kecil Kerajinan
81 4,05
4. Bangunan
83 4,15
5. Pedagang
42 2,10
6. Angkutan
6 0,30
7. PNS
4 0,20
8. Pensiunan
1 0,05
9. Ojek
30 1,50
10. Lainnya
1.130 56,47
Jumlah 2001
100 Sumber: Lembaga KITA, 2010
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dikatakan
bahwa mayoritas
penduduk Dusun Desa Tempuran Duwur adalah bukan petani, yaitu
sebanyak 68 dari keseluruhan penduduk. Sementara penduduk
yang bekerja dalam pertanian hanya sekitar 31, yang terdiri
atas petani penggarap yaitu sebanyak 20,99 dan 10,19
adalah buruh tani. Dilihat dari sisi mata pencaharian sebagai
petani,
walaupun mayoritas
adalah petani
penggarap, adanya kondisi pertanian yang
mengalami involusi kemudian menyebabkan pertanian hanya
menjadi usaha subsisten bagi rumah tangga petani. Kondisi
ekonomi
yang subsisten
tersebut menyebabkan kondisi perekonomian
di pedesaan
semakin memburuk,
karena beban ekonomi yang semakin
tinggi dan adanya kebutuhan konsumsi
yang semakin
meningkat. Dengan kalimat lain, bisa juga diuraikan bahwa harga
produk pertanian tidak seimbang dengan harga barang-barang
kebutuhan pokok atau konsumsi yang lain. Proses produksi
pertanian yang memerlukan biaya tinggi menjadi tidak
sebanding dengan harga jual hasil pertanian yang semakin
menurun.
Implikasi dari kondisi tersebut menyebabkan terdapat banyak
sekali jaringan dan lembaga di luar lingkungan masyarakat
yang dapat, dan memang sering kali, berfungsi sebagai peredam
kejutan
selama krisis-krisis
ekonomi. Mereka akan dibantu
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
20
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
oleh sanak saudara, kawan- kawan, desa, seorang pelindung
yang berpengaruh, dan -- walaupun jarang-- negaranya
dengan
berbagai macam
program untuk mengatasi masa sulit tersebut. Sementara pada
tingkat keluarga ada berbagai alternatif subsistensi yang dapat
digolongkan sebagai “swadaya”, yang mencakup kegiatan seperti
berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang kecil, buruh lepas,
mencari kayu bakar, membuat arang, atau malah bermigrasi
10
. Upaya
diferensiasi di
luar pertanian yang dilakukan oleh
masyarakat Desa
Tempuran Duwur adalah terutama pada
sektor perdagangan dan jasa. Usaha
perdagangan yang
dijalankan oleh masyarakat adalah mulai dari usaha berdagang
kecil-kecilan, usaha sampingan kerajinan anyaman bambu yang
dimodiikasi menjadi keranjang, tikar dari mendong, dan industri
makanan seperti opak dan tempe. Sementara usaha jasa
yang dilakukan adalah sebagai pedagang, buruh serabutan di
luar pekerjaan pertanian, atau
10 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebellion and Subsistence
in Southeast Asia diterjemahkan oleh
Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press, ltd., 1981 hlm
40
menjadi tukang ojek. Pekerjaan di luar pertanian yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Tempuran Duwur merupakan
sebuah keharusan
untuk bertahan
hidup. Mengingat
sektor pertanian yang hanya bisa menampung sedikit tenaga kerja
dengan panen yang hanya terjadi 3 kali setahun dan kecilnya rata-
rata lahan pertanian membuat mereka
harus mendapatkan
pendapatan lain di sektor-sektor pekerjaan informal.
Pekerjaan informal
yang dimaksud di sini merujuk pada
tumbuhnya aktivitas penciptaan pendapatan
di luar
segala dimensi kelembagaan formal
dan intervensi negara yang saat ini menunjukkan kecenderungan
terus meningkat,
terutama di negara berkembang dan
miskin
11
. Sesuai dengan namanya informal, penghasilan dari sektor
ini tentunya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan
keluarga dan tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan lainnya
seperti pendidikan, kesehatan, atau pun sosial. Dengan demikian,
pekerjaan
ini tidak
dapat
11 Gejala itu pada dasarnya juga terlihat
di negara-negara dengan perekonomian yang lebih stabil dan maju. Di sejumlah
kota utama Eropa pada dekade 80- an, tren informalisasi bahkan sempat
sangat mencolok seperti juga di kota-
kota besar di Amerika Utara, dalam Wahyu B. Basyir, “Informalisasi dan
Tantangan Perburuhan”, dalam Jurnal Analisis Sosial
, Volume 3 Desember 2003,Bandung; Akatiga, 2003, hlm
1-2
Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan
10 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebellion and Subsistence in Southeast Asia
diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press, ltd., 1981 hlm 40
11 Gejala itu pada dasarnya juga terlihat di negara-negara dengan perekonomian yang lebih stabil dan maju. Di sejumlah kota utama Eropa pada dekade 80-an, tren informalisasi
bahkan sempat sangat mencolok seperti juga di kota-kota besar di Amerika Utara, dalam Wahyu B. Basyir, “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”, dalam Jurnal Analisis
Sosial , Volume 3 Desember 2003,Bandung; Akatiga, 2003, hlm 1-2
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
21
dipastikan berdasarkan waktu dan jumlah pendapatannya,
sehingga dapat
dikatakan sebagai
pekerjaan sambilan
semata. Kondisi ini menunjukkan adanya
ketidakpastian penghasilan
secara ekonomi bagi petani, khususnya
petani laki-laki.
Sedangkan perempuan di Desa Tempuran
Duwur, layaknya
sebagian besar
perempuan desa di wilayah Indonesia,
bekerja hanya untuk membantu suami, bukan sebagai pemenuh
kebutuhan pokok
keluarga. Ketidakpastian penghasilan dari
sektor pertanian inilah yang menyebabkan
perempuan, termasuk NH dari Desa Tempuran
Duwur keluar dari rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan
ekonomi sebagai BMP.
Alasan memilih menjadi BMP seperti yang dilakukan oleh
NH adalah karena pendapatan ekonomi
yang diperoleh
lebih besar daripada di dalam negeri. Gaji yang diperolehnya
berkisar Rp. 2.000.000,00bulan; nilai gaji tersebut sangat jauh
dibandingkan dengan di dalam negeri yang hanya berkisar
Rp. 300.000,00 sampai Rp. 600.000,00bulan. Di samping
itu, mereka juga mendapatkan fasilitas
kerja seperti
jam istirahat, hari libur, dan aneka
bonus kerja: pakaian, makanan, atau pun kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi serta pengalaman
hidup di luar negeri, yaitu: Arab Saudi, Malaysia, Oman,
Singapura,
Korea, Kuwait,
Brunei Darussalam, Abu Dhabi, Kuwait, Hong Kong, dan Taiwan
sebagai suatu yang tidak ternilai harganya.
Pilihan pekerjaan yang dilakukan oleh BMP juga biasanya hanya
berkisar pada pekerjaan di sektor domestik, yakni sebagai
Pekerja Rumah Tangga PRT. Dengan pekerjaan utamanya
mencuci perabot rumah tangga, mencuci pakaian, menyeterika,
menyapu
rumahhalaman, memasak, belanja, mengepel
lantai, membersihkan KMWC, mengasuh bayi, serta tugas
tambahan lainnya yang meliputi: mencuci mobil, merapikan kebun,
menyopiri majkan, menjaga toko, dan membantu usaha majikan
12
. Secara
singkat, pekerjaan
PRT adalah mengerjakan dan mengelola semua pekerjaan
kerumahtanggaan.
Fenomena maraknya
BMP dimulai
semenjak tahun
1998, yaitu setelah turunnya Suharto dan krisis ekonomi di
Indonesia yang menyebabkan
12 Ibid, hlm 56
12 Ibid, hlm 56
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
22
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
terjadinya gelombang migrasi TKITKW besar-besaran sampai
sekarang. Jumlah warga dusun Desa Tempuran Duwur yang
bekerja sebagai TKITKW sendiri hampir mencapai 90 dari
total penduduk desa, baik yang berstatus mantan maupun yang
saat ini masih bekerja. Menurut informasi dari perangkat desa,
jumlah warga yang bekerja sebagai TKITKW saat ini di Desa
Tempuran Duwur adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah Buruh Migran di Desa Tempuran Duwur
No. Nama
Dusun Jumlah
1. Pulo
27 2.
Kayugan 7
3. Bambusari
5 4.
Krajan 101
5. Lempuyang
2
Total 142
Sumber: Informasi Perangkat Desa Desa Tempuran Duwur
13
Pola kinerja buruh migran dari Desa Tempuran Duwur berjalan
dengan siklus tertentu secara terus-menerus hingga saat ini.
Tercatat kurang lebih 50 warga yang bekerja ke luar negeri
berangkat sejak usianya baru 13 tahun dengan status sudah
13 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 27 April 2010
menikah. Dengan
demikian, seolah ada hukum yang tidak
tertulis bahwa sebelum bekerja ke luar negeri perempuan
maupun laki-laki harus menikah terlebih
dahulu, walaupun
setelah satu minggu menikah mereka harus berangkat. Usia
pernikahan dini ini terjadi karena pemahaman kesadaran tentang
pendidikan yang rendah, disertai dengan tidak adanya fasilitas
yang mudah dijangkau mulai dari tingkat SLTP sampai SLTA.
Bagi masyarakat Desa Tempuran Duwur, bekerja ke luar negeri
dengan berbagai macam negara tujuan sudah menjadi hal yang
biasa. Setiap bulan Ramadhan sampai Lebaran, mereka bisa
pulang ke kampung halaman, terutama mereka yang bekerja
di Arab Saudi, Kuwait, dan Abu Dhabi. Dalam waktu setahun
mereka memperoleh liburan satu bulan penuh. Mereka bekerja
kembali setelah Lebaran sampai Lebaran berikutnya hingga usia
mereka renta dan tenaga mereka tidak terpakai lagi untuk bekerja
kepada orang lain. Biasanya rata- rata usia mereka ketika berhenti
dari pekerjaannya adalah 45 tahun ke atas. Setelah itu, mereka
lantas menetap di desa dengan membuka usaha, mendirikan
koperasi salah satunya Koperasi Srikandi
yang anggotanya
Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan
13 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 27 April 2010
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
23
mantan buruh migran, atau merawat cucu yang ditinggalkan
oleh ibunya yang mengikuti jejaknya pergi ke luar negeri
menjadi buruh migran
14
. Seperti
halnya pengalaman
SH, pertama kali berangkat ke Arab Saudi pada tahun 1998.
Menandatangani kontrak
yang pertama sampai dengan tahun 2000. Kemudian kembali
menetap di
desa setelah
kontraknya selesai. Aktivitas yang
dilakukan disela-sela
kesibukannya sebagai ibu rumah tangga adalah membantu suami
dalam aktivitas pertanian di desa. SH setiap hari mengolah lahan di
sawah. Selain aktivitas di sektor pertanian, dia juga bertanggung
jawab
terhadap pendidikan
anak. Pengawasan serta urusan sekolah menjadi kewajibannya.
Pendapatan yang diperolehnya dari Arab Saudi diinvestasikan
juga untuk membangun rumah yang
selama ini
menjadi impiannya. Tidak lama tinggal
di desa,
SH melanjutkan
bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi kembali. Dia
menandatangani kontrak kerja yang kedua selama waktu tiga
tahun terhitung dari tahun 2009 sampai dengan 2011sehingga
pada saat ini pun SH masih bergelut dengan pekerjaannya
14 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh
tanggal 28 April 2010
di luar negeri. Demikian juga halnya NH.
NH berangkat menjadi BMP dalam rentang waktu yang
sama dengan SH. SH berangkat bekerja pertama kali pada usia 22
tahun dengan menandatangani kontrak kerja tahun 1998 sampai
2000 dan bekerja di perumahan polisi. Kemudian kontrak kerja
tersebut diperpanjang dari tahun 2000 sampai 2002.
Pola kerja NH sama dengan pola kerja SH. NH beristirahat
di rumah selama kurang lebih 2 tahun, yaitu dari tahun 2002
sampai 2004. Setelah merasa masa istirahatnya cukup, NH
kembali bekerja menjadi buruh migran dengan kontrak kerja
baru dari tahun 2004 – 2006 dan dengan majikan yang berbeda.
Begitu
seterusnya sampai
tenaganya tidak bisa digunakan lagi
15
. Banyaknya warga yang merantau
ke luar negeri, disebabkan oleh faktor ekonomi, terutama karena
sektor pertanian yang tidak menjanjikan. Selain itu, faktor
dukungan dari Pemerintah juga berperan. Mantan TKITKW lain
juga mempermudah perolehan syarat-syarat untuk ke luar
negeri serta mendorong migrasi menjadi bersifat progresif dari
tahun ke tahun tanpa terputus dan menjadi siklus. Di samping
15 Dokumen Lembaga KITA, 27 April 2010
14 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 28 April 2010 15 Dokumen Lembaga KITA, 27 April 2010
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
24
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
itu, di Desa Tempuran Duwur terdapat pula 2 dua agen
PJTKI yang selama ini dianggap tidak pernah berkasus dan
tidak banyak kekerasan yang menimpa buruh migran yang
disalurkannya di tempat kerja di luar negeri.
3. Menjadi Buruh Migran