Pertanian di Pedesaan JAS Vol 15 No 2 Migrasi Internasional Jurnal 15 No 2

Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 15 NH adalah seorang buruh migran perempuan yang berasal dari Desa Tempuran Duwur. Dia bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga PRT semenjak tahun 1998, pada saat reformasi turunnya rezim Suharto sampai saat ini. Sosok NH tergolong BMP yang “berhasil” secara ekonomi karena mampu menopang kehidupan keluarganya, mulai dari kebutuhan pangan, tempat tinggal sampai pendidikan dan politik. Dengan kemampuan ekonominya, dia mampu membiayai suaminya untuk bekerja sebagai perangkat desa di Desa Tempuran Duwur. Padahal awalnya ketika NH berangkat ke luar negeri, suaminya dalam kondisi pas-pasan karena hanya menjadi pekerja rendahan. Tekadnya yang begitu kuat untuk memperbaiki penghidupan ekonomi keluarga, walaupun pendidikan rendah dan usia yang masih relatif muda, NH tetap melangkah ke Saudi Arabia untuk mendapatkan penghasilan yang baik serta dapat beribadah dengan baik karena bekerja di negara muslim . Sumber Lembaga KITA

1. Pertanian di Pedesaan

Memasuki wilayah Desa Tempuran Duwur yang terletak di kaki Gunung Sumbing berjarak sekitar 5 km ke kota kecamatan serta kurang lebih 20 km ini ke kota kabupaten, nuansa pegunungan dan dataran tinggi begitu terasa. Dingin, lembab, berkabut, serta hujan yang sering turun menjadi cuaca keseharian yang melingkupi dusun tersebut. Menyusuri jalanan di Dusun Desa Tempuran Duwur yang merupakan kantung buruh migran perempuan—tempat NH sebagai salah seorang BMP tinggal—terasa mendaki gunung yang tidak ada ujungnya, terasa sangat jauh. Di sepanjang jalan berbaris pepohonan yang lebat dan persawahan subur yang hijau, dan tanaman pangan kebutuhan pokok masyarakat. Akan tetapi, tanaman yang paling mendominasi di sepanjang jalan itu adalah tanaman teh. Dusun? Desa Tempuran Duwur sendiri termasuk ke dalam Kecamatan Sapuran yang menjadi bagian dari Kabupaten Wonosobo yang terletak di lereng beberapa pegunungan seperti Gunung Sindoro, Sumbing, Prahu, Bismo dan di lereng pegunungan Telomoyo, Tampomas, serta Songgoriti. Bagian utara wilayah tersebut merupakan dataran tinggi, bagian tengah merupakan lereng-lereng gunung, dan bagian selatan merupakan dataran tinggi. Karakter dataran Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 16 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 tinggi dan pegunungan inilah yang menyebabkan kabupaten tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi sebagai basis produksi hasil pertanian. Tentunya iklim dan kondisi geograis tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Mayoritas warga dusun Desa Tempuran Duwur yang kurang lebih 900 KK memiliki mata pencaharian sebagai petani, dengan komoditas pertanian berupa jagung yang juga digunakan sebagai makanan pokok. Saat ini jagung mulai tergeser dan digantikan oleh beras sebagai bahan makanan pokok. Komoditas lain yang juga ditanam oleh masyarakat Desa Tempuran Duwur adalah sayur- sayuran, seperti kubis, buncis, cabe rawit, tomat, dan loncang. Kondisi pertanian di desa ini termasuk kedalam kategori pertanian yang mengalami involusi pertanian dan termasuk kategori petani subsisten. Sebagaimana diungkap oleh penelitian yang dilakukan oleh Cliford Geertz 1975, kondisi pertanian dan petani dalam kategori ini mengalami pemiskinan bersama. Kondisi tersebut ditandai produktivitas yang tidak naik dan selalu berada pada tempat dan waktu sama. Involusi adalah istilah yang melukiskan pola-pola kebudayaan yang mencapai bentuk yang pasti tidak berhasil untuk menstabilisasi atau mengubah menjadi suatu pola baru, tetapi terus berkembang ke dalam sehingga semakin rumit. 2 Involusi pertanian dan keterkaitannya dengan fungsi persawahan bertujuan untuk mempertahankan tingkat produktivitas serta menyerap tenaga kerja yang berlimpah. Involusi pertanian merupakan ciri khas dari pertanian sawah setelah kira-kira pertengahan abad ke sembilan belas. Munculnya involusi pertanian ini meresap hingga ke seluruh sistem ekonomi perdesaan, antara lain dengan adanya sistem hal milik yang semakin rumit, hubungan sewa menyewa tanah yang semakin ruwet, pengaturan kerja gotong royong semakin kompleks, dan kesemua hal tersebut merupakan usaha menyediakan satu relung bagi setiap orang dalam keseluruhan sistem 3 . Usaha tani yang mengalami involusi itu digambarkan 2 Pendapat Goldenweiser yang mendeinisikan makna kebudayaan dalam Geertz, Agriculture Involution diterjemahkan oleh S. Supomo United States of America; University of California Press, 1976 hlm 88 3 Ibid, hlm 89 2 Pendapat Goldenweiser yang mendeinisikan makna kebudayaan dalam Geertz, Agriculture Involution diterjemahkan oleh S. Supomo United States of America; University of California Press, 1976 hlm 88 3 Ibid, hlm 89 Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 17 dengan produktivitas yang tidak kunjung naik diukur dari produktivitas per orang tenaga kerja. Kenaikan hasil per hektare bisa dicapai, tetapi tingginya hasil tersebut hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan perorang. Bagi pemilik lahan, usaha padi sawah lebih banyak pada menanggung beban tenaga kerja dengan pemberian 47 bagian pendapatan diberikan kepada tenaga kerja. Berkaitan dengan pemilikan tanah, Geertz membagi pola kesempatan bekerja usaha tani yang sangat sempit menjadi semakin sempit dengan pola yang disebut “kemiskinan bersama” 4 . Di samping mengalami involusi, kondisi petani di Desa Desa Tempuran Duwur juga berada pada kondisi subsisten. Kondisi subsistensi diartikan sebagai cara hidup yang cenderung minimalis dengan melakukan usaha-usaha bertujuan untuk sekadar hidup 5 . Sebagaimana analisis dalam buku Moral Ekonomi Petani Scott, 1975, bahwa permasalahan subsistensi di kawasan Asia Tenggara ditandai dengan adanya indikator marjin ekonomi petani yang semakin rendah. 4 Ibid, hlm 106 5 Rahardjo. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada University Press; 1999, hlm 68 Oleh sebab itu, petani memilih cara-cara aman dan enggan mengambil risiko. Analisis sosial Scott mengatakan bahwa petani dalam kondisi tersebut berusaha secara maksimal melimpahkan risiko ekonomi kepada lembaga- lembaga lain demi keamanan subsistensinya yang dipengaruhi oleh stratiikasi, resiprositas desa, sewa tanah, dan perpajakan. Ciri khusus perilaku ekonomis rumah tangga petani subsisten adalah memproduksi pertanian sekaligus mengkonsumsinya. Agar bisa bertahan, rumah tangga petani harus memenuhi kebutuhan sebagai konsumen kondisi subsistensi yang tidak dapat dikurangi dan tergantung jumlah anggota keluarga. Menurut Wharton 1963, subsisten murni petani terjadi ketika petani dapat berdiri sendiri dengan hasil produksi pertanian untuk dikonsumsi sendiri dan tidak dijual 6 . Upaya bertahan hidup merupakan suatu kehidupan yang berkaitan erat dengan garis batas kemiskinan, ditandai dengan adanya kekhawatiran mengalami kekurangan pangan. Bagi rumah 6 Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada University Press; 1999 hlm 68 4 Ibid, hlm 106 5 Rahardjo. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada University Press; 1999, hlm 68 6 Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Yogyakarta; Gadjah Mada Uni- versity Press; 1999 hlm 68 Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 18 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 tangga petani, gagal panen tidak hanya berarti kurang makan, tetapi penyebab kelaparan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan di luar makan. Untuk dapat makan, rumah tangga petani mengorbankan harga diri dan menjadi beban orang lain atau menjual sebagian dari tanah atau ternak untuk memperkecil kemungkinan tidak tercapainya tingkat subsistensi. Subsistensi rumah tangga petani merupakan fenomena struktural dan kultural. Subsistensi sebagai fenomena struktural ditandai dengan sempitnya kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian, kemiskinan dan kebodohan yang menyertainya, struktur ekonomi dan politik yang kurang mendukung perkembangan sektor pertanian masyarakat desa secara umum dan khususnya sektor pertanian. Sementara itu, pandangan subsistensi sebagai fenomena kultural adalah bahwa kondisi subsistensi tersebut menjadi suatu way of life , eksistensinya terlekat pada sistem feodalisme yang merupakan tahap perkembangan masyarakat selepas zaman pra-industri menuju zaman masyarakat industri 7 . Subsistensi rumah tangga petani adalah bagaimana menghasilkan beras cukup untuk makan, membeli barang kebutuhan pokok seperti garam, sandang, dan memenuhi kebutuhan sosial. Segala usaha yang dilakukan petani adalah menghindari kegagalan penghancur kehidupan dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil risiko. Perilaku petani itu disebut risk averse 8 . Perilaku menghindari risiko ini tercermin dari penggunaan berbagai macam jenis bibit, cara bertani tradisional di lahan terpencar-pencar yang berakibat pada berkurangnya hasil rata-rata pertanian. Bagi rumah tangga petani yang hidup dekat dengan batas subsistensi, akibat kegagalan panen adalah kelaparan sehingga mereka lebih mengutamakan keamanan pangan daripada keuntungan jangka panjang. Prinsip ini dikenal safety irst dahulukan selamat 9 . 7 Ibid, hlm 71 8 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebelion and Subsistence in Southeast Asia diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press, ltd., 1981 hlm 7 9 Ibid, hlm 7 7 Ibid, hlm 71 8 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebelion and Subsistence in Southeast Asia diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press, ltd., 1981 hlm 7 9 Ibid, hlm 7 Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 19 2. Migrasi Pertanian ke Jasa Berdasarkan data yang berasal dari aparat desa Desa Tempuran Duwur tentang komposisi warga Dusun Desa Tempuran Duwur berdasarkan jenis mata pencahariannya, jumlah petani tercatat sebanyak 624 jiwa atau 55,22 dari keseluruhan penduduk. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan komposisi penduduk Dusun Desa Tempuran Duwur berdasarkan jenis mata pencaharian. Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pekerjaan No Jenis Pekerjaan Jumlah 1. Petani Penggarap 420 20,99 2. Buruh Tani 204 10,19 3. Industri Kecil Kerajinan 81 4,05 4. Bangunan 83 4,15 5. Pedagang 42 2,10 6. Angkutan 6 0,30 7. PNS 4 0,20 8. Pensiunan 1 0,05 9. Ojek 30 1,50 10. Lainnya 1.130 56,47 Jumlah 2001 100 Sumber: Lembaga KITA, 2010 Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dikatakan bahwa mayoritas penduduk Dusun Desa Tempuran Duwur adalah bukan petani, yaitu sebanyak 68 dari keseluruhan penduduk. Sementara penduduk yang bekerja dalam pertanian hanya sekitar 31, yang terdiri atas petani penggarap yaitu sebanyak 20,99 dan 10,19 adalah buruh tani. Dilihat dari sisi mata pencaharian sebagai petani, walaupun mayoritas adalah petani penggarap, adanya kondisi pertanian yang mengalami involusi kemudian menyebabkan pertanian hanya menjadi usaha subsisten bagi rumah tangga petani. Kondisi ekonomi yang subsisten tersebut menyebabkan kondisi perekonomian di pedesaan semakin memburuk, karena beban ekonomi yang semakin tinggi dan adanya kebutuhan konsumsi yang semakin meningkat. Dengan kalimat lain, bisa juga diuraikan bahwa harga produk pertanian tidak seimbang dengan harga barang-barang kebutuhan pokok atau konsumsi yang lain. Proses produksi pertanian yang memerlukan biaya tinggi menjadi tidak sebanding dengan harga jual hasil pertanian yang semakin menurun. Implikasi dari kondisi tersebut menyebabkan terdapat banyak sekali jaringan dan lembaga di luar lingkungan masyarakat yang dapat, dan memang sering kali, berfungsi sebagai peredam kejutan selama krisis-krisis ekonomi. Mereka akan dibantu Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 20 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 oleh sanak saudara, kawan- kawan, desa, seorang pelindung yang berpengaruh, dan -- walaupun jarang-- negaranya dengan berbagai macam program untuk mengatasi masa sulit tersebut. Sementara pada tingkat keluarga ada berbagai alternatif subsistensi yang dapat digolongkan sebagai “swadaya”, yang mencakup kegiatan seperti berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang kecil, buruh lepas, mencari kayu bakar, membuat arang, atau malah bermigrasi 10 . Upaya diferensiasi di luar pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tempuran Duwur adalah terutama pada sektor perdagangan dan jasa. Usaha perdagangan yang dijalankan oleh masyarakat adalah mulai dari usaha berdagang kecil-kecilan, usaha sampingan kerajinan anyaman bambu yang dimodiikasi menjadi keranjang, tikar dari mendong, dan industri makanan seperti opak dan tempe. Sementara usaha jasa yang dilakukan adalah sebagai pedagang, buruh serabutan di luar pekerjaan pertanian, atau 10 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebellion and Subsistence in Southeast Asia diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press, ltd., 1981 hlm 40 menjadi tukang ojek. Pekerjaan di luar pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tempuran Duwur merupakan sebuah keharusan untuk bertahan hidup. Mengingat sektor pertanian yang hanya bisa menampung sedikit tenaga kerja dengan panen yang hanya terjadi 3 kali setahun dan kecilnya rata- rata lahan pertanian membuat mereka harus mendapatkan pendapatan lain di sektor-sektor pekerjaan informal. Pekerjaan informal yang dimaksud di sini merujuk pada tumbuhnya aktivitas penciptaan pendapatan di luar segala dimensi kelembagaan formal dan intervensi negara yang saat ini menunjukkan kecenderungan terus meningkat, terutama di negara berkembang dan miskin 11 . Sesuai dengan namanya informal, penghasilan dari sektor ini tentunya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga dan tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, atau pun sosial. Dengan demikian, pekerjaan ini tidak dapat 11 Gejala itu pada dasarnya juga terlihat di negara-negara dengan perekonomian yang lebih stabil dan maju. Di sejumlah kota utama Eropa pada dekade 80- an, tren informalisasi bahkan sempat sangat mencolok seperti juga di kota- kota besar di Amerika Utara, dalam Wahyu B. Basyir, “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”, dalam Jurnal Analisis Sosial , Volume 3 Desember 2003,Bandung; Akatiga, 2003, hlm 1-2 Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan 10 James C. Scott, The Moral Economy of The Peasant; Rebellion and Subsistence in Southeast Asia diterjemahkan oleh Hasan Basari New Haven and London: Yale University Press, ltd., 1981 hlm 40 11 Gejala itu pada dasarnya juga terlihat di negara-negara dengan perekonomian yang lebih stabil dan maju. Di sejumlah kota utama Eropa pada dekade 80-an, tren informalisasi bahkan sempat sangat mencolok seperti juga di kota-kota besar di Amerika Utara, dalam Wahyu B. Basyir, “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”, dalam Jurnal Analisis Sosial , Volume 3 Desember 2003,Bandung; Akatiga, 2003, hlm 1-2 Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 21 dipastikan berdasarkan waktu dan jumlah pendapatannya, sehingga dapat dikatakan sebagai pekerjaan sambilan semata. Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakpastian penghasilan secara ekonomi bagi petani, khususnya petani laki-laki. Sedangkan perempuan di Desa Tempuran Duwur, layaknya sebagian besar perempuan desa di wilayah Indonesia, bekerja hanya untuk membantu suami, bukan sebagai pemenuh kebutuhan pokok keluarga. Ketidakpastian penghasilan dari sektor pertanian inilah yang menyebabkan perempuan, termasuk NH dari Desa Tempuran Duwur keluar dari rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi sebagai BMP. Alasan memilih menjadi BMP seperti yang dilakukan oleh NH adalah karena pendapatan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada di dalam negeri. Gaji yang diperolehnya berkisar Rp. 2.000.000,00bulan; nilai gaji tersebut sangat jauh dibandingkan dengan di dalam negeri yang hanya berkisar Rp. 300.000,00 sampai Rp. 600.000,00bulan. Di samping itu, mereka juga mendapatkan fasilitas kerja seperti jam istirahat, hari libur, dan aneka bonus kerja: pakaian, makanan, atau pun kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi serta pengalaman hidup di luar negeri, yaitu: Arab Saudi, Malaysia, Oman, Singapura, Korea, Kuwait, Brunei Darussalam, Abu Dhabi, Kuwait, Hong Kong, dan Taiwan sebagai suatu yang tidak ternilai harganya. Pilihan pekerjaan yang dilakukan oleh BMP juga biasanya hanya berkisar pada pekerjaan di sektor domestik, yakni sebagai Pekerja Rumah Tangga PRT. Dengan pekerjaan utamanya mencuci perabot rumah tangga, mencuci pakaian, menyeterika, menyapu rumahhalaman, memasak, belanja, mengepel lantai, membersihkan KMWC, mengasuh bayi, serta tugas tambahan lainnya yang meliputi: mencuci mobil, merapikan kebun, menyopiri majkan, menjaga toko, dan membantu usaha majikan 12 . Secara singkat, pekerjaan PRT adalah mengerjakan dan mengelola semua pekerjaan kerumahtanggaan. Fenomena maraknya BMP dimulai semenjak tahun 1998, yaitu setelah turunnya Suharto dan krisis ekonomi di Indonesia yang menyebabkan 12 Ibid, hlm 56 12 Ibid, hlm 56 Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 22 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 terjadinya gelombang migrasi TKITKW besar-besaran sampai sekarang. Jumlah warga dusun Desa Tempuran Duwur yang bekerja sebagai TKITKW sendiri hampir mencapai 90 dari total penduduk desa, baik yang berstatus mantan maupun yang saat ini masih bekerja. Menurut informasi dari perangkat desa, jumlah warga yang bekerja sebagai TKITKW saat ini di Desa Tempuran Duwur adalah sebagai berikut: Tabel 2. Jumlah Buruh Migran di Desa Tempuran Duwur No. Nama Dusun Jumlah 1. Pulo 27 2. Kayugan 7 3. Bambusari 5 4. Krajan 101 5. Lempuyang 2 Total 142 Sumber: Informasi Perangkat Desa Desa Tempuran Duwur 13 Pola kinerja buruh migran dari Desa Tempuran Duwur berjalan dengan siklus tertentu secara terus-menerus hingga saat ini. Tercatat kurang lebih 50 warga yang bekerja ke luar negeri berangkat sejak usianya baru 13 tahun dengan status sudah 13 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 27 April 2010 menikah. Dengan demikian, seolah ada hukum yang tidak tertulis bahwa sebelum bekerja ke luar negeri perempuan maupun laki-laki harus menikah terlebih dahulu, walaupun setelah satu minggu menikah mereka harus berangkat. Usia pernikahan dini ini terjadi karena pemahaman kesadaran tentang pendidikan yang rendah, disertai dengan tidak adanya fasilitas yang mudah dijangkau mulai dari tingkat SLTP sampai SLTA. Bagi masyarakat Desa Tempuran Duwur, bekerja ke luar negeri dengan berbagai macam negara tujuan sudah menjadi hal yang biasa. Setiap bulan Ramadhan sampai Lebaran, mereka bisa pulang ke kampung halaman, terutama mereka yang bekerja di Arab Saudi, Kuwait, dan Abu Dhabi. Dalam waktu setahun mereka memperoleh liburan satu bulan penuh. Mereka bekerja kembali setelah Lebaran sampai Lebaran berikutnya hingga usia mereka renta dan tenaga mereka tidak terpakai lagi untuk bekerja kepada orang lain. Biasanya rata- rata usia mereka ketika berhenti dari pekerjaannya adalah 45 tahun ke atas. Setelah itu, mereka lantas menetap di desa dengan membuka usaha, mendirikan koperasi salah satunya Koperasi Srikandi yang anggotanya Social Security di Desa sebagai Penopang Pekerjaan Buruh Migran Perempuan 13 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 27 April 2010 Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 23 mantan buruh migran, atau merawat cucu yang ditinggalkan oleh ibunya yang mengikuti jejaknya pergi ke luar negeri menjadi buruh migran 14 . Seperti halnya pengalaman SH, pertama kali berangkat ke Arab Saudi pada tahun 1998. Menandatangani kontrak yang pertama sampai dengan tahun 2000. Kemudian kembali menetap di desa setelah kontraknya selesai. Aktivitas yang dilakukan disela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga adalah membantu suami dalam aktivitas pertanian di desa. SH setiap hari mengolah lahan di sawah. Selain aktivitas di sektor pertanian, dia juga bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Pengawasan serta urusan sekolah menjadi kewajibannya. Pendapatan yang diperolehnya dari Arab Saudi diinvestasikan juga untuk membangun rumah yang selama ini menjadi impiannya. Tidak lama tinggal di desa, SH melanjutkan bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi kembali. Dia menandatangani kontrak kerja yang kedua selama waktu tiga tahun terhitung dari tahun 2009 sampai dengan 2011sehingga pada saat ini pun SH masih bergelut dengan pekerjaannya 14 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 28 April 2010 di luar negeri. Demikian juga halnya NH. NH berangkat menjadi BMP dalam rentang waktu yang sama dengan SH. SH berangkat bekerja pertama kali pada usia 22 tahun dengan menandatangani kontrak kerja tahun 1998 sampai 2000 dan bekerja di perumahan polisi. Kemudian kontrak kerja tersebut diperpanjang dari tahun 2000 sampai 2002. Pola kerja NH sama dengan pola kerja SH. NH beristirahat di rumah selama kurang lebih 2 tahun, yaitu dari tahun 2002 sampai 2004. Setelah merasa masa istirahatnya cukup, NH kembali bekerja menjadi buruh migran dengan kontrak kerja baru dari tahun 2004 – 2006 dan dengan majikan yang berbeda. Begitu seterusnya sampai tenaganya tidak bisa digunakan lagi 15 . Banyaknya warga yang merantau ke luar negeri, disebabkan oleh faktor ekonomi, terutama karena sektor pertanian yang tidak menjanjikan. Selain itu, faktor dukungan dari Pemerintah juga berperan. Mantan TKITKW lain juga mempermudah perolehan syarat-syarat untuk ke luar negeri serta mendorong migrasi menjadi bersifat progresif dari tahun ke tahun tanpa terputus dan menjadi siklus. Di samping 15 Dokumen Lembaga KITA, 27 April 2010 14 Dokumen Lembaga KITA, diperoleh tanggal 28 April 2010 15 Dokumen Lembaga KITA, 27 April 2010 Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 24 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 itu, di Desa Tempuran Duwur terdapat pula 2 dua agen PJTKI yang selama ini dianggap tidak pernah berkasus dan tidak banyak kekerasan yang menimpa buruh migran yang disalurkannya di tempat kerja di luar negeri.

3. Menjadi Buruh Migran