Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
34
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
R. Valentina Sagala
1
Abstract Indonesian constitution acknowledges and guarantees the right of
every citizen to choose, to leave and to return to employment and residency within the region of Indonesia Article 28E, verse 2. Every
citizen has the right to proper employment and livelihood.
It is very important to place migrant workers within the context of human rights and gender, as it is insuficient to view them from
economic and security perspectives only.
Keywords: employment, livelihood, economic, security, human rights
1
Kerangka HAM Perlindungan Pekerja Migran
Kait-mengait antara HAM dan hukum dalam wilayah hukum
internasional, dengan instrumen HAM internasional convention,
declaration, protocol, optional protocol,
dan lain-lain sebagai perjanjian internasional yang
diakui secara universal dan didorong untuk disetujui dan
diimplementasikan oleh negara- negara di dunia.
“Implementasi” inilah
yang bermakna
bahwa HAM
bersentuhan dengan wilayah hukum nasional, yang terjadi
atau dialami dalam tataran hukum nasional. Acuan terhadap
HAM dapat dilihat dari instrumen HAM,
secara komprehensif
dan holistik, baik yang meliputi instrumen internasional HAM
yang telah disahkan oleh negara maupun yang belum Sagala
Rozana, 2007.
Dalam konteks ini pulalah, terminologi “hak asasi anak”,
“hak asasi
perempuan” dipahami. Hal ini sejalan dengan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan Convention
on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women
1 R. Valentina Sagala, feminis, Legal, Human Rights, and Gender Specialist, pendiri dan Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan Women’s Institute Foundation. Email:
val77inayahoo.com or institut_perempuanyahoo.com
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
35
CEDAW yang telah diratiikasi
dan diundangkan Indonesia menjadi UU No. 7 Tahun 1984.
Terkait hak asasi anak, hal ini sejalan dengan Konvensi Hak
Anak Convention on the Rights of Child
CRC, yang telah diratiikasi dan diundangkan
menjadi Keputusan Presiden Kepres No. 36 Tahun 1990.
Istilah hak
asasi manusia
dideinisikan sebagai “aturan hukum yang berlaku secara
universal di seluruh dunia yang menjamin perlindungan individu
dan kelompok dari tindakan- tindakan yang bertentangan
dengan kebebasan dasar dan martabat kemanusiaan. Hukum
HAM mewajibkan pemerintah untuk bertindak dan menjaga
HAM
dari tindakan
yang melanggar HAM tersebut”.
2
Perspektif HAM
merupakan pemahaman yang mengadopsi
prinsip-prinsip perlindungan
dan penghargaan pada hak mendasar manusia.
Dalam sejarah HAM, khususnya dalam kerangka hukum HAM
internasional klasik, pemangku kewajiban pemenuhan HAM
adalah negara, dalam hal ini
2 Frequently Asked Question on Human
Rights-Based Approach to Development Cooperation, Ofice of the United
Nations High Commissioner for Human Rights
negara bertanggung
jawab memenuhi,
melindungi, menegakkan, dan memajukan
hak asasi manusianya setidaknya untuk warga negaranya:
3
kewajiban untuk menghormati
obligation to
respect .
Kewajiban ini
menuntut negara untuk tidak melakukan
tindakan apa pun yang dapat melanggar
hak-hak dan
kebebasan dasar individu. kewajiban untuk melindungi
obligation
to protect.
Kewajiban ini menuntut negara untuk mengambil langkah-
langkah yang
diperlukan guna melindungi hak-hak dan
kebebasan warga negara di dalam wilayahnya. Misalnya,
membuat undang-undang
yang memberi perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
kewajiban untuk memenuhi
obligation to fulill. Kewajiban ini menuntut negara untuk
mengambil langkah-langkah yang perlu guna menjamin
terpenuhinya hak-hak dasar warga negaranya. Misalnya,
pemenuhan hak atas pekerjaan, layanan
kesehatan, atau
3 Lihat dalam Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan
Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban
Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan,
2009 2
Frequently Asked Question on Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, Ofice of the United Nations High Commissioner for Human Rights
3 Lihat dalam Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM
, Komnas Perempuan, 2009
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
36
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
standar hidup yang layak. kewajiban untuk mempromosikan
obligation to promote.
Kewajiban ini
menuntut negara untuk mempromosikan
HAM dan
setiap aspek
penyelenggaraan negara dan kehidupan di masyarakat.
Oleh karena itu, kelalaian negara dalam melaksanakan kewajiban-
kewajiban ini
merupakan tindakan
pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Lebih lanjut, sejumlah instrumen internasional
yang terkait
dengan perlindungan pekerja migran, antara lain:
4
Universal Declaration
of 1.
Human Rights
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Deklarasi ini diakui sebagai prinsip dasar yang diterima oleh
semua Negara yang menyatakan diri sebagai anggota PBB.
Pasal 22 hingga 27 DUHAM mencantumkan hak ekonomi,
sosial, dan budaya, yakni hak yang diperoleh setiap orang
4 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak
Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban
Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan,
2009
sebagai anggota masyarakat. Hak yang diakui mencakup: hak
atas jaminan sosial; hak untuk bekerja; hak untuk memperoleh
pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama; hak untuk
beristirahat; hak atas standar kehidupan yang memadai untuk
kesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat.
International Covenant on 2.
Economic, Social and Cultural Rights
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya
5
Pasal 2 1 Kovenan menegaskan kewajiban negara: Setiap negara
secara sendiri atau pun dengan bantuan internasional dan kerja
kooperatif dengan negara lain, mengusahakan sumber-sumber
untuk pemenuhan hak-hak yang telah diakui dalam konvensi,
termasuk mengusahakan adanya peraturan hukum formal
. Hak- hak ekonomi, sosial, dan budaya,
yang diatur mecakup: hak untuk bekerja pasal 6; hak untuk
menikmati kondisi kerja yang adil dan baik pasal 7; hak untuk
membentuk dan ikut dalam organisasi perpekerjaan pasal 8;
5 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan
UU No. 11 Tahun 2005 4 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia
HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM ,
Komnas Perempuan, 2009 5 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan UU No. 11 Tahun
2005
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
37
hak atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial pasal 10; hak
untuk mendapatkan kehidupan yang layak pasal 11.
International Covenant on Civil 3.
and Political Rigths Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil Politik
6
Pasal 2 Kovenan mengatur kewajiban setiap negara pihak
untuk menghormati hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini
juga memastikan pelaksanaannya bagi semua individu yang berada
di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa
perbedaan apa pun, seperti: ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, dan asal-usul kebangsaan.
Kovenan ini menegaskan hak hidup bahwa, tidak seorang pun
dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang pasal 6;
bebas dari penyiksaan, perlakukan atau hukuman yang kejam, atau
merendahkan martabat pasal7; bebas dari perbudakan pasal
8; bebas dari penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang pasal 10.
Convention on the Elimination 4.
of All Forms of Discrimination against
Women Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan
6 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan
UU No. 11 Tahun 2005
Konvensi ini mendeinisikan “diskriminasi
terhadap perempuan” Pasal I sebagai:
“setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin, yang berakibat
atau bertujuan
untuk mengurangi
atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan, atau penggunaan
hak asasi
manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok
di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau
apa pun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki
dan perempuan”.
Konvensi ini antara lain menyebutkan bahwa Negara peserta wajib
melakukan langkah-tindak
yang tepat, termasuk membuat peraturan perundang-undangan
di semua bidang, khususnya bidang politik, sosial, ekonomi,
dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan
perempuan
sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin
bahwa mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi
perempuan dan
kebebasan pokok atas dasar persamaan
dengan laki-laki Pasal 3. Secara khusus, pada 5 Desember 2008,
Komite CEDAW mengeluarkan
6 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan UU No. 11 Tahun 2005
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
38
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
General Recommendation
No. 26 on women migrant workers,
CEDAWC2009 WP.1R
Rekomendasi Umum No. 26 tentang Perempuan
Pekerja Migran. Rekomendasi ini mencakup hal-hal sebagai
berikut:
menerapkan prinsip-prinsip
HAM dan kesetaraan gender;
faktor-faktor yang
mempengaruhi
migrasi perempuan;
persoalan-persoalan HAM
berdasarkan jenis kelamin dan
gender yang berkaitan dengan perempuan migran; dan
rekomendasi kepada Negara
peserta. ILO Conventions
5. Konvensi-
Konvensi ILO terkait, antara lain:
7
Konvensi No. 29 tentang Kerja
Paksa; Konvensi No. 98 tentang
Berlakunya Dasar-dasar atas
Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama;
Konvensi No. 100 tentang
Kebebasan Berasosiasi dan Perlindungan terhadap Hak
Berorganisasi;
Konvensi No. 105 tentang
Penghapusan Kerja Paksa;
7 Indonesia telah meratiikasi semua Kon- vensi ILO berikut ini.
Konvensi No. 111 tentang
Diskriminasi dalam Pekerjaan atau Jabatan;
Konvensi No. 138 tentang Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja;
Konvensi No. 182 tentang
Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak.
Landasan Aksi dan Deklarasi 6.
Beijing Landasan Aksi dan Deklarasi
Beijing menekankan perempuan pekerja migran sebagai kelompok
rentan mengalami kekerasan. Karena itu, pemerintah didesak
untuk mendirikan pelayanan- pelayanan
bagi perempuan
pekerja migran termasuk yang menjadi
korban kekerasan
berbasis gender,
mengenali kerawananan
yang dialami
perempuan pekerja
migran dan mengenai bentuk-bentuk
penyalahgunaan yang dilakukan kepada
mereka, baik
di tempatnya bekerja maupun di
negara asal Bab II D, paragraf 125
International Convention on the 7.
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members
7 Indonesia telah meratiikasi semua Konvensi ILO berikut ini.
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
39
of Their Families Konvensi
Internasional Perlindungan
Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
Konvensi yang sering disebut Konvensi
Migran 1990
ini merupakan
instrumen internasional
HAM utama
yang mengatur
mengenai perlindungan pekerja migran
dan anggota keluarganya. Oleh karena itulah, negara-negara di
dunia didorong untuk meratiikasi dan mengundangkan Konvensi
ini.
Perlindungan Pekerja Migran Berdasarkan Konvensi Migran
Lahirnya Konvensi
Migran 1990
merupakan jawaban
keyakinan atas kebutuhan untuk menetapkan
perlindungan internasional pada hak semua
pekerja migran dan anggota keluarganya,
penegasan kembali, dan penetapan norma-
norma dasar dalam Konvensi yang menyeluruh yang dapat
diterapkan secara
universal. Secara garis besar, Konvensi
Migran dapat dikategorisasi dalam 7 bagian besar sebagai
berikut:
1. Deinisi dan Ruang Lingkup Pekerja Migran:
Deinisi dan ruang lingkup Konvensi
Migran 1990
dituangkan dalam Bagian I Pasal 1- 6. Pekerja migran dideinisikan
sebagai seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan
pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara tempat ia bukan
menjadi warga negara. Konvensi mengkategorisasi
pekerja migran menjadi pekerja frontir,
pekerja musiman, pelaut, pekerja di instalasi lepas pantai, pekerja
keliling, pekerja proyek, pekerja dengan pekerjaan tertentu, dan
pekerja mandiri. Konvensi juga
mengidentiikasi pekerja migran dan anggota keluarganya yang
dianggap terdaftar atau berada dalam situasi biasa, maupun
pekerja migran dan anggota keluarganya
yang dianggap
tidak terdaftar atau berada dalam situasi tidak biasa.
2. Prinsip Non Diskriminasi Bagian II dari Konvensi ini hanya
terdiri atas 1 pasal yaitu Pasal 7 yang menyatakan bahwa tidak
adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap hak-hak pekerja migran
dan anggota keluarganya yang menjadi subyek dari konvensi ini.
Semua pekerja migran dianggap setara dan setiap negara pihak
ini wajib menghormati dan menjamin hak-hak dari pekerja
migran.
3. Penjabaran Hak-Hak Asasi Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
40
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Bagian III Konvensi terdiri atas 24 pasal yang semuanya secara
terperinci membahas mengenai hak asasi yang dimiliki oleh
seorang pekerja migran dan semua anggota keluarganya.
Hak tersebut adalah:
Hak untuk
datang dan
pergi dari negara tempat
mereka bekerja juga negara asal mereka selama tidak
melanggar hukum Pasal 8.
Hak hidup yang dilindungi
oleh hukum Pasal 9. Hak
untuk mendapatkan
perlakuan yang manusiawi
sehingga bebas dari perlakuan yang menyiksa dan kejam
Pasal 10.
Hak bebas dari kerja paksa
atau perbudakan Pasal 11, deinisi dari kerja paksa dan
perbudakan di luar dari yang terdapat di Pasal 11 ayat 4.
Hak untuk
memilih dan
menganut
agama dan
kepercayaannya sesuai dengan keyakinan mereka masing-
masing Pasal 12.
Hak untuk
mengeluarkan
dan menerima pendapat dan berekspresi secara lisan dan
tulisan Pasal 13 dengan p e m ba t a s a n - p e m ba t a s a n
yang terdapat pada Pasal 13 Ayat 3.
Hak untuk
mendapat
perlindungan hukum
dari sasaran campur tangan orang
lain terhadap
kebebasan pribadinya Pasal 14.
Hak untuk
mendapat
perlindungan hukum terhadap hak milik secara individual
maupun bersama
dengan orang lain Pasal 15.
Hak untuk
mendapat
perlindungan dari
negara terhadap kekerasan baik secara
isik maupun intimidasi dari individu, kelompok maupun
institusi negara Pasal 16 Ayat 1-4:
hak untuk mendapatkan a.
informasi mengenai alasan penangkapan
dengan bahasa
yang mereka
mengerti Ayat 5; hak untuk diadili secepatnya
b. bila menjadi terdakwa dalam
tuntutan kriminal Ayat 6;
hak-hak yang dimiliki oleh c.
pekerja migran bila dirinya ditahan: hak untuk diwakili
oleh konsuler atau pejabat diplomatik negara asalnya,
hak untuk berkomunikasi dengan otoritas tersebut,
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
41
hak untuk diberi tahu mengenai hak-hak yang
dimilikinya, hak
untuk mendapatkan penerjemah
Ayat 7, 8;
hak mendapatkan
d. kompensasi bila penahanan
dan penangkapan pekerja migran tersebut tidak sah
Ayat 9.
Hak pekerja migran dalam
tahanan di negara tempat dia bekerja Pasal 17:
hak mendapatkan
a. perlakuan manusiawi dan
dihormati martabat dan identitas budayanya selama
penahanan;
hak dipisahkan dari tahanan b.
lain sesuai dengan umur dan jenis kelamin;
hak untuk
dipisahkan c.
dengan tahanan lain bila menjadi terdakwa dalam
masalah keimigrasian;
hak untuk dipisahkan dari d.
terpidana dewasa
dan diperlakukan sesuai umur
mereka dengan terpidana yang masih muda usianya;
hak untuk
dikunjungi e.
selama penahanan
dan pemenjaraan;
hak untuk
diperhatikan f.
masalah-masalah yang
dapat menimpa keluarga mereka dalam tahanan oleh
otoritas yang berwenang.
Hak untuk menerima hak yang
sama dengan warga negara lain dalam tahanan Hak yang
didapat di depan pengadilan Pasal 18:
hak mendapatkan hak a.
yang sama dengan warga negara lain di hadapan
pengadilan Ayat 1;
hak untuk menyatakan b.
diri tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut
hukum Ayat 2;
hak-hak lain berkaitan c.
dengan tuduhan kriminal terhadap
pekerja migran,
hak tersebut
antara lain diadili, hak diberi
tahu dengan
bahasa yang
mereka mengerti, hak mendapat
waktu, pembela,
dan fasilitas untuk persiapan
pembelaan mereka di hadapan
pengadilan, hak
untuk membela
diri, hak
diperiksa dan
mendapatkan pemeriksaan
saksi- saksi, hak mendapatkan
penerjemah, hak untuk
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
42
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
menolak bersaksi untuk memberatkan diri atau
mengaku salah Ayat 3;
hak untuk
meminta d.
peninjauan kembali
terhadap kasusnya Ayat 4;
hak untuk tidak menjalani e.
atau dikenai hukuman terhadap
pelanggaran yang telah dia jalani
hukumannya Ayat 5.
Hak untuk tidak dipenjarakan
akibat kegagalan pemenuhan kontrak Pasal 20.
Hak-hak dalam
proses
pemulangan pekerja migran Pasal 21.
hak untuk tidak dipulangkan a.
secara kolektif Pasal 22 Ayat 1;
hak diberitahukan
b. mengenai
pemulangan dengan
bahasa yang
dimengerti Pasal 22 Ayat 3;
hak mendapat kompensasi c.
jika keputusan pemulangan yang telah dilakukan lalu
dibatalkan Pasal 22 Ayat 5;
hak menuntut gaji atau hak- d.
hak lain serta kewajibannya sebelum
atau sesudah
keberangkatan ke negara asal Pasal 22 Ayat 6;
hak untuk
memasuki e.
wilayah negara lain selain negara
asalnya saat
pelaksanaan pemulangan dengan
catatan tidak
merugikan pelaksanaan
keputusan pemulangan
Pasal 22 Ayat 6; hak
dibiayai dalam
f. pemulangan Pasal 22 Ayat
7.
Hak untuk
mendapatkan
perlindungan dan bantuan konsuler
atau otoritas
diplomatik dari negara asal atau negara yang mewakili
kepentingan negara Pasal 23:
Hak untuk diakui sebagai
manusia di depan hukum Pasal 24;
Hak untuk
mendapat
perlakuan yang sama dengan warga negara dalam masalah
pemberian upah Pasal 25, hak ini dijamin oleh negara
Pasal 25 Ayat 3;
Hak untuk ikut dalam suatu
organisasi dan serikat buruh
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
43
Pasal 26; Hak menikmati perlakuan yang
sama dengan warga negara
berkenaan dengan jaminan sosial sepanjang memenuhi
persyaratan yang diperlakukan oleh UU yang berlaku di negara
tersebut Pasal 27;
Hak menerima
perawatan
medis untuk kelangsungan hidup Pasal 28;
Hak anak untuk mendapat
nama, pendaftaran kelahiran, dan kebangsaan Pasal 29;
Hak anak atas pendidikan
sama seperti warga negara lain Pasal 30;
Hak mentransfer penghasilan
atau tabungan mereka juga harta benda dan hak milik
mereka saat masa penghentian izin tinggal mereka di negara
pemberi kerja Pasal 32;
Hak untuk
mendapatkan
informasi tanpa
biaya dengan bahasa yang mereka
mengerti oleh negara asal, negara pemberi kerja, atau
negara transit
mengenai hak mereka yang tercantum
dalam konvensi ini, syarat izin, hak dan kewajiban di bawah
hukum Pasal 33. 4. Hak-hak Lain yang Dimiliki
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang Terdaftar
atau yang Berada dalam Situasi Biasa
Bagian IV Konvensi terdiri atas 21 pasal yang semuanya merinci
hak-hak lain yang dimiliki oleh pekerja migran yang terdaftar
sebagai tambahan selain hak- hak yang telah disebutkan
sebelumnya di Bagian III, yaitu :
dalam pasal 36 disebutkan
bahwa yang dapat menikmati hak-hak yang ada dalam
konvensi ini hanyalah para pekerja migran dan anggota
keluarganya yang terdaftar dalam situasi normal di dalam
negara pemberi kerja.
Hak untuk memberi tahu
kepada negara asal dan negara tujuan mengenai syarat-syarat
yang berlaku bagi izin kerja mereka,terutama
tentang izin tinggal dan kegiatan
pengupahan Pasal 37.
Hak untuk keluar sementara
berlibur atau cuti dari negara pemberi kerja dan juga hak
untuk diberi tahu syarat- syaratnya Pasal 38.
Hak untuk bebas bergerak di
wilayah negara yang mereka tinggali Pasal 39
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
44
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Hak untuk berkumpul dan
mendirikan organisasi Pasal 40.
Hak untuk ikut serta dalam
persoalan publik negara asal serta memilih dan dipilih pada
pemilihan di negara tersebut, sesuai perundang-undangan,
juga hak untuk mendapat fasilitas guna melaksanakan
hak tersebut dari negara- negara bersangkutan Pasal
41.
Hak untuk tetap menjadi warga
negara asal mereka dan hak ini difasilitasi oleh negara-negara
yang bersangkutan juga hak politik di negara pemberi kerja
Pasal 42.
Hak warga negara setempat
yang berhubungan dengan bidang pendidikan, pelatihan,
perumahan, layanan sosial dan kesehatan, kebudayaan,
perlindungan
terhadap pemecatan,
tunjangan pengangguran,
dan hak
mengenai pengupahan Pasal 43.
Hak perlindungan
akan
persatuan keluarga Pasal 44. Hak
menikmati perlakuan
yang sama dengan penduduk
negara itu berkaitan dengan pendidikan, layanan sosial,
kesehatan, dan budaya Pasal 45.
Hak bebas bea impor dan
ekspor dan pajak terhadap barang-barang pribadi dan
rumah tangga mereka maupun perlengkapan dalam hubungan
dengan pengupahan yang diakui pemberi kerja Pasal
46.
Hak untuk transfer pendapatan
ke negara asal pekerja migran Pasal 47.
Hak pekerja migran untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal perpajakan
seperti warga negara di tempat pekerja migran bekerja
Pasal 48.
Hak-hak untuk situasi-situasi
khusus dalam
kaitannya dengan proses pengupahan
Pasal 49.
Hak-hak yang menyangkut
kegiatan keluarga
seperti kematian
dan pernikahan
maka ada pertimbangan dari negara tujuan untuk memberi
izin anggota keluarga untuk bersatu Pasal 50.
Hak-hak dalam
kegiatan
pengupahan Pasal 51 dan Pasal 52.
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
45
Hak-hak yang dimiliki anggota
keluarga pekerja
migran bilamana mereka mendapat
izin menetap dan tinggal tanpa batas waktu tertentu
Pasal 53.
Hak untuk
mendapatkan
perlakuan yang sama dengan warga negara dalam hal
pemecatan dan pengangguran Pasal 54.
Hak mendapat perlakuan yang
sama dengan warga negara di negara tempat mereka bekerja
dalam kegiatan pengupahan Pasal 55.
Pekerja migran dan anggota
keluarganya tidak
boleh diusir dari negara tempat
bekerja, kecuali berdasarkan perundang-undangan nasional
dari negara tersebut dan tunduk pada rambu-rambu
hukum yang dicantumkan dalam Bagian III Pasal 56.
5. Ketetapan-ketetapan
yang Berlaku bagi Kategori Pekerja Tertentu dan Anggota
Keluarganya
Kategori pekerja migran yang
dapat menikmati hak yang ditetapkan dalam Konvensi
ini Pasal 57.
Kategori pekerja migran yang
termasuk dalam konvensi ini adalah pekerja perbatasan
Pasal 58.
Yang dimaksudkan sebagai
pekerja musiman Pasal 59. Yang termasuk ke dalam
lingkup pekerja keliling Pasal
60.
Yang termasuk
pekerja
proyek Pasal 61. Yang termasuk ke dalam
kategori
pekerja khusus
Pasal 62. Yang dimaksudkan sebagai
pekerja mandiri Pasal 63.
6. Promosi Mengenai Kondisi Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya dalam Hubungan Migrasi Internasional:
Kerja sama antar negara
untuk mempromosikan
kondisi yang sehat, wajar, dan manusiawi berkaitan
dengan migrasi
para pekerja migran dan anggota
keluarganya, termasuk
kebutuhan sosial, ekonomi, budaya, dan kebutuhan
lainnya Pasal 64.
Pelayanan negara-negara
anggota yang berkaitan
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
46
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Pasal 71. 7. Aplikasi
Konvensi dengan
Pensyaratan dan Pembatasan oleh Negara Peserta
Bagian VII - IX mencakup 22 pasal, yang mengatur pembentukan
Komite untuk
Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran
dan Anggota
Keluarganya, ketentuan-ketentuan penerapan
Konvensi, serta
mekanisme menjadi Negara Pihak.
Kerentanan Khusus
Pekerja Migran
Salah satu landasan lahirnya Konvensi Migran 1990 adalah
kerentanan khusus
pekerja migran.
Situasi kerentanan
yang sering kali dialami pekerja migran dan anggota keluarganya,
antara lain
terletak pada
ketidakberadaannya di negara asal dan pada kesulitan-kesulitan
yang mungkin mereka hadapi, yang timbul karena keberadaan
mereka di negara tujuan tempat mereka bekerja, merupakan salah
satu pertimbangan mendasar pentingnya keberadaan sebuah
instrumen HAM yang melindungi pekerja migran. Pada saat yang
sama, hak pekerja migran dan anggota keluarganya belum diakui
secara memadai di mana pun, dan karenanya membutuhkan
perlindungan internasional yang dengan masalah migrasi
internasional pekerja migran dan anggota keluarganya
Pasal 65.
Hak untuk
melakukan
perekrutan pekerja Pasal 66.
Kerja sama
negara-
negara anggota mengenai pemulangan dan promosi
untuk kondisi ekonomi yang wajar bagi pekerja migran
dan anggota keluarganya Pasal 67.
Pencegahan dan
penghapusan
kegiatan- kegiatan ilegal terhadap
pekerja migran Pasal 68.
Pencegahan situasi yang
tidak pasti terhadap pekerja migran
dan anggota
keluarganya Pasal 69. Negara-negara
anggota
melakukan tindakan yang sama
terhadap pekerja
migran dan
anggota keluarga
sama seperti
memperlakukan warga
negaranya sendiri Pasal 70.
Pemberian fasilitas
dan
kompensasi terhadap
kematian pekerja migran dan anggota keluarganya
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
47
layak. Kenyataan menunjukkan bahwa
migrasi kerap mengakibatkan masalah-masalah yang serius
bagi anggota keluarga para pekerja migran dan juga bagi
pekerja
migran, khususnya
karena tersebarnya keluarga. Masalah-masalah kemanusiaan
dalam migrasi lebih serius dan tidak biasa. Pekerja migran yang
tidak didokumentasikan atau yang berada dalam situasi yang
tidak biasa kerap dipekerjakan dalam kondisi kerja yang lebih
buruk dibandingkan dengan pekerja
lain, dan
bahwa beberapa majikan berupaya
mencari pekerja-pekerja
ini untuk memperoleh keuntungan
dalam persaingan yang tidak wajar.
Lebih lanjut, meskipun migrasi dilakukan baik oleh laki-laki
maupun perempuan, migrasi sama sekali bukanlah fenomena
netral
gender. Kedudukan
perempuan migran berbeda dari kedudukan laki-laki migran
dari segi
keabsahan jalur
migrasi, sektor tempat mereka bermigrasi,
bentuk-bentuk penganiayaan
yang mereka
derita beserta konsekuensinya. Untuk memahami bagaimana
dampaknya secara pasti terhadap perempuan, migrasi perempuan
hendaknya dipelajari dari sudut pandang ketimpangan gender,
peran tradisional perempuan, pasar tenaga kerja yang terkotak-
kotak menurut gender, terjadinya kekerasan berdasarkan gender
yang umum dijumpai di mana- mana, dan semakin banyaknya
kemiskinan dan migrasi tenaga kerja di kalangan perempuan
di seluruh dunia. Oleh sebab itu, pengintegrasian perspektif
gender adalah penting bagi analisis terhadap kedudukan
perempuan
migran dan
penyusunan kebijakan untuk melawan diskriminasi, eksploitasi,
dan penganiayaan.
Laporan Indonesia tahun 2004 kepada Pelapor Khusus PBB untuk
Hak Asasi Migran, menyebutkan lokasi dan manifestasi kerentanan
pekerja
migran perempuan
adalah: lokasi
kerentanan mencakup seluruh fase migrasi,
mulai dari proses perekrutan, tempat penampungan, hingga
proses pemulangan ke tempat asal. Manifestasi dan kerentanan
mereka terlihat dalam arena perdagangan
perempuan,
8
kriminalitas korban,
rumah tahanan dan penjara, deportasi,
status kesehatan, dan kekerasan.
8 Global Alliance against Trafic in Women GAATW, Beyond Borders:
Exploring Traficking’s Links to Gender, Migration, Labour, Globalisation and
Security, GAATW Working Papers Series 2010, Global Alliance Against
Trafic in Women 8 Global Alliance against Trafic in Women GAATW, Beyond Borders: Exploring
Traficking’s Links to Gender, Migration, Labour, Globalisation and Security, GAATW Working Papers Series 2010, Global Alliance Against Trafic in Women
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
48
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Rekomendasi Umum No. 26 tentang
Perempuan Pekerja
Migran menegaskan
bahwa Konvensi
Migran 1990
melindungi individu, termasuk perempuan migran, atas dasar
status migrasinya, sedangkan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
melindungi semua perempuan, termasuk
perempuan migran, terhadap diskriminasi
atas dasar
jenis kelamin
dan gender.
Meskipun migrasi memberikan kesempatan
baru kepada
perempuan dan dapat menjadi sarana pemberdayaan ekonomi
perempuan melalui partisipasi yang lebih luas, migrasi juga
dapat menempatkan hak asasi dan keamanan perempuan dalam
risiko bahaya. Oleh sebab itu, Rekomendasi Umum No. 26 ini
bertujuan menjabarkan keadaan- keadaan yang menimbulkan
kerawanan khas yang dialami oleh banyak perempuan pekerja
migran dan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan gender
yang mereka alami sebagai akibat pelanggaran hak asasi
mereka sebagai manusia.
Pekerja migran
di sektor
domestik dan pekerja migran yang tidak berdokumen sangat
rentan terhadap
kekerasan dan diskriminasi karena tidak
adanya kerangka hukum yang melindungi.
Pekerja migran
tak berdokumen mengalami kekerasan
dan kehilangan
haknya sebagai manusia karena tidak berdokumen. Padahal,
keberadaan mereka juga perlu dilihat dalam konteks kebijakan
negara misalnya, hasil dari kesepakatan
antarnegara Memorandum of Understanding
MoU yang
mensahkan penahanan
paspor oleh
majikan.
9
Upaya perlindungan pekerja migran,
baik langsung
maupun tidak
langsung, tidak boleh digunakan untuk
mendiskriminasi kelompok
tertentu pendatang perempuan, pekerja seks, atau kelompok
rentan lainnya
atau pun
melanggar hak asasi seseorang sebagaimana
diatur dan
dilindungi di dalam instrumen hukum HAM, seperti hak dasar
manusia untuk meninggalkan negaranya, bermigrasi secara
legal, dan mencari penghidupan. Oleh karena itu, harus ada
jaminan bahwa korban eksploitasi migrasi
tidak mendapatkan
perlakuan diskriminatif
baik dalam praktik hukum maupun
9 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak
Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban
Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan,
2009 9 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia
HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM ,
Komnas Perempuan, 2009
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
49
dalam menerima perlindungan, khususnya berkenaan dengan
gender. Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi sebagai
salah satu ketentuan fundamental HAM.
Rekomendasi Umum No. 26 memaparkan pula persoalan-
persoalan HAM berdasarkan jenis kelamin dan gender yang
berkaitan dengan perempuan migran. Secara khusus, pekerja
migran perempuan, terutama yang
bekerja pada
sektor domestik dan migran yang tidak
berdokumen irregular, memiliki kerentanan yang tinggi untuk
mengalami tindak pelanggaran HAM. Jenis kelamin, karakter,
tempat locus pekerjaan, dan status hukum menjadi alasan
tingginya tingkat kerentanan tersebut.
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia?
Filosoi Indonesia
terhadap pekerja migran pada prinsipnya
sejalan dengan kerangka HAM. Kebebasan setiap orang memilih
pekerjaan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali Pasal 28E Ayat 1, UUD
1945 Amandemen; dan hak warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 27 Ayat 2 UUD
1945 Amandemen, merupakan alasan seseorang memutuskan
menjadi pekerja migran. Secara bersamaan, perlindungan pekerja
migran Indonesia atau yang disebut Tenaga Kerja Indonesia
TKI menjadi kewajiban negara. Ironisnya,
dalam konteks
Indonesia, perlindungan pekerja migran masih merupakan tanda
tanya besar.
Berbagai data
menunjukkan peningkatan jumlah berbanding
terbalik dengan perlindungan pekerja
migran Indonesia.
Berbagai studi menyebutkan push and pull factors
dari migrasi, termasuk
faktor kemiskinan
yang berkorelasi
dengan migrasi.
Kemiskinan, atau
menurut sebagian
kalangan, lebih tepat disebut pemiskinan
sebagai dampak pembangunan yang tidak berkeadilan, selalu
menjadi faktor utama seseorang bermigrasi. Tidak salah jika model
migrasi seperti ini dikategorikan sebagai forced migration, migrasi
yang dilakukan secara terpaksa Hidayah, 2010. Menjadi pekerja
migran adalah strategi terakhir untuk mempertahankan hidup.
Dari besaran pekerja migran, penting pula dicermati bahwa
tingginya jumlah perempuan pekerja migran, sejalan dengan
menguatnya
feminisasi kemiskinan dan migrasi di
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
50
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
khususnya negara-negara
berkembang. Feminisasi migrasi didorong
oleh terbatasnya
akses yang dimiliki perempuan terhadap kesempatan kerja di
negara asal, akibat keterbatasan pendidikan yang diterima, selain
juga akibat stereotip sosial budaya
yang menempatkan
perempuan sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab atas
pemenuhan kebutuhan domestik keluarga.
Diperkirakan pekerja
migran Indonesia
di luar
negeri berjumlah lebih dari 6 juta jiwa.
Sebagian besar mereka atau sekitar 79 adalah perempuan
yang mayoritas bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah
tangga PRT migran. Ada tiga hal yang menggambarkan kondisi
dan situasi kerja PRT migran saat ini, yaitu dark, dirty, and dangerous.
Secara
khusus, persoalan
seksualitas dan
reproduksi sangat lekat dengan berbagai
pengalaman buruk PRT migran Indonesia. Situasi PRT migran
berada dalam area “privat” yang bersifat “hidden”, sehingga sangat
rentan terhadap pelanggaran HAM. Inilah mengapa tahun 2010
dan 2011, negara-negara dunia memberi perhatian besar dalam
pembentukan Konvensi
ILO mengenai Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga.
10
Studi juga menunjukkan fenomena
pekerja migran
Indonesia yang
dideportasi karena mereka tidak berdokumen.
Sebagian besar mereka adalah perempuan, yang menghadapi
perlakuan yang tidak manusiawi dimulai dari tempat mereka
bekerja hingga kepulangan.
11
Saat pemulangan
misalnya, keberadaan Terminal TKI adalah
praktik terlembaga dan sistematis dalam
bentuk pemerasan,
diskriminasi, pungutan liar, dan praktik-praktik
lainnya yang
merugikan pekerja
migran Indonesia.
12
Berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan dan kerentanan yang
pernah dialami oleh perempuan pekerja migran, yang dihimpun
oleh
Komnas Perempuan
bersumber dari berbagai forum konsultasi
dengan jaringan
kerja:
13
12 Eksploitasi saat pemulangan terjadi
antara lain mulai dari Terminal “khusus bagi TKI” atau Terminal 3
di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta -yang kemudian diubah menjadi
Gedung Pendataan Kepulangan TKI -; ongkosbiaya pengangkutan yang
tidak wajar, kekerasan, premanisme, dan sebagainya, hingga TKI tiba di
daerah asal. 13 Komnas Perempuan dan Komnas
HAM, 10 Sangat disayangkan dalam ILO Conference 2010, Pemerintah Indonesia tidak
memperlihatkan tanggapan positif dalam rencana pembentukan Konvensi ILO mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
11 Lebih lengkap dapat dilihat dalam: Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives for the Protection of their Rights,
Indonesian Country Report to the UN Special Repporteur on the Human Rights of Migrants,
Komnas Perempuan-CARAM Indonesia, 2003 12 Eksploitasi saat pemulangan terjadi antara lain mulai dari Terminal “khusus
bagi TKI” atau Terminal 3 di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta -yang kemudian diubah menjadi Gedung Pendataan Kepulangan TKI -; ongkos
biaya pengangkutan yang tidak wajar, kekerasan, premanisme, dan sebagainya, hingga TKI tiba di daerah asal.
13 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Op.Cit Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
51 Tabel 1. Hak yang Dilindungi dan Indikasi Pelanggaran Hak
Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin
Terjadi
Hak atas Pekerjaan dan Sumber Penghidupan
Terjerat hutang Mengalami penipuan, tidak jadi
berangkat ke negara tujuan Menunggu keberangkatan terlalu
lama
Diselundupkan tanpa dokumen yang sah
Dipalsukan identitas diri untuk kepentingan kerja
Gaji tidak dibayar Gaji dibayar setengahtidak sesuai
perjanjian Pemotongan gaji di luar prosedur
Over charging Bekerja melebihi masa kontrak
Tempat bekerja tidak seperti dalam
perjanjian Bekerja melebihi jam kerja
Pelarangan berkumpul dan
mendirikan serikat pekerja Penolakan untuk ijin cuti, istirahat
mingguan pembayaran biaya lembur.
Kondisi kerja yang tidak layak, buruk, atau berbahaya
Tidak ada upaya hukum terhadap pelanggaran hak pekerja
Pemberian paspor, visa, dan dokumen lain yang bukan
merupakan dokumen untuk menjadi pekerja migran
Paspor dan dokumen lain dihilangkan diambildipegang
pihak lain Pembatasan kebebasan untuk
berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
52
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin
Terjadi
Hak atas Kesehatan Reproduksi Pemeriksaan kesehatan tanpa izin
yang bersangkutan Pemaksaan penggunaan
kontrasepsi Pemaksaan aborsi
Dipaksa bekerja dalam keadaan sakit
Tidak mendapatkan layanan kesehatan ketika sakit
Tidak ada jaminan keselamatan kerja
Hak atas Hidup, Kemerdekaan, Kesetaraan, Integritas Diri, dan
Bebas dari Kekerasan Dijual ke perusahaan penyalur
tenaga kerja yang lain Perkosaan
Pelecehan seksual Penyiksaan
Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat Pembunuhan
Perbudakantindakan setara perbudakan
Penyekapan Perdagangan perempuan
Dijualdipekerjakan ke beberapa majikan
Mendapat ancamanintimidasi
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
53 Kategori Hak yang Dilindungi
Pelanggaran yang Mungkin Terjadi
Hak atas Kesetaraan di depan Hukum
Penolakan atas asas praduga tak bersalah
Tidak mendapat waktu dan fasilitas yang memadai selama proses
peradilan dan di penjara Peradilan yang tidak bebas dan
berpihak Penangkapan dan penahanan yang
sewenang-wenang Tidak memperoleh pengadilan
yang secepatnya Tidak mendapat akses ke
pengadilan Tidak mendapat bantuan pembela
Pelanggaran hak-hak narapidana
Hak atas Standar Hidup dan Jaminan Sosial
Asuransi tidak dibayarkan, tidak bisa diklaim
Pembatasan akses terhadap layanan kesehatan
Tindakan yang melanggar hak-hak atas makanan yang sehat
Pembatasan akses terhadap lingkungan yang sehat
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
54
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin
Terjadi
Hak Sipil Politik Keluarga tidak mendapat informasi
memadai tentang keberadaan perempuan pekerja migran
Larangan berkomunikasi dengan keluargateman
Hilang kontak Pembatasan terhadap akses
mendapatkan informasi Pembatasanlarangan hak untuk
berkumpul, berserikat, atau berorganisasi
Laranganpembatasan untuk mengenakan pakaian tertentu
Laranganpembatasan hak untuk kembalipulang ke tempatnegara
asal Deportasi
Larangan beribadah
Hak atas Budaya Pembatasan penggunaan bahasa
tertentu Pembatasan praktik budaya tertentu
Sumber: Komnas Perempuan dan Komnas HAM, 2009 Terdapat beberapa permasalahan
seputar perlindungan pekerja migran Indonesia. Pertama, di
tingkat peraturan perundang- undangan mengenai pekerja
migran, pada tahun 2004, Indonesia memberlakukan UU
No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri UU PPTKILN. Ironisnya,
UU yang
sempat menjadi
tumpuan harapan
adanya perlindungan bagi pekerja migran
ini justru meninggalkan banyak celah terjadinya pelanggaran
hak-hak pekerja migran, karena tidak banyak menyentuh agenda
“perlindungan”
ketimbang aspek
“penempatan” dan
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
55
komoditisasi pekerja migran. UU ini juga cenderung menegasikan
keberadaan pekerja migran tidak berdokumen,
padahal pada
kenyataannya jumlah pekerja migran
tidak berdokumen
diperkirakan jauh lebih banyak daripada
pekerja migran
berdokumen. Sejak diundangkan, UU ini banyak
menuai protes dari berbagai pihak dengan kepentingan yang
beragam. Pada 27 Februari 2006, Presiden telah menginstruksikan
agar UU ini diamandemen. Namun,
ironisnya, instruksi
tersebut tidak mengarah kepada perbaikan perlindungan, namun
agar migrasi tenaga kerja ke luar negeri dipermudah. Instruksi
tersebut tertuang dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 mengenai
paket kebijakan perbaikan iklim investasi. Dalam Bab IV huruf
b,
Presiden memandatkan
Menakertras untuk mengajukan draft revisi UU PPTKILN kepada
DPR, dengan
menghapus persyaratan bahwa Perusahaan
Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta PPTKIS wajib memiliki
unit pelatihan kerja untuk mendapatkan izin atau SIUP.
Kemudahan tersebut merupakan skema untuk memenuhi target
pengiriman pekerja migran.
Terkait dengan anak, UU PPTKILN mengatur mengenai ketentuan
usia minimum menjadi TKI di luar negeri, yaitu dalam Pasal
35 lihat Sagala, 2010, yang menyatakan:
Perekrutan calon TKl oleh pelaksana
penempatan TKI swasta wajib dilakukan
terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:
berusia sekurang-kurangnya 18 a.
delapan belas tahun kecuali bagi calon TKl yang akan
dipekerjakan pada Pengguna perseorangan
sekurang- kurangnya berusia 21 dua
puluh satu tahun;
sehat jasmani dan rohani; b.
tidak dalam keadaan hamil c.
bagi calon
tenaga kerja
perempuan; dan berpendidikan
sekurang- d.
kurangnya lulus
Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertarna
SLTP atau yang sederajat. Artinya,
selain menekankan
bahwa anak dan yang belum berpendidikan
sekurang- kurangnya lulus SLTP atau
sederajat, tidak boleh menjadi TKI, UU PPTKILN juga mengatur
bahwa khusus
bagi calon
TKl yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan
harus sekurang-kurangnya
berusia 21 tahun. “Pengguna perseorangan” dalam hal ini
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
56
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
dapat dimaknai sebagai pemberi kerja perorangan yang tidak
bertujuan untuk menghasilkan barangjasa bernilai ekonomis.
Dengan kata lain, dipekerjakan pada Pengguna perseorangan
dapat diartikan bekerja dalam lingkup domestik atau “pekerjaan
kerumahtanggaan” atau sebagai “pekerja rumah tangga” atau
masih biasa disebut dengan istilah: pembantu rumah tangga.
Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKILN menjelaskan:
Dalam praktiknya TKI yang bekerja
pada Pengguna
perseorangan selalu
mempunyai hubungan
personal yang
intens dengan
Pengguna, yang
dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada
keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat
hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang
yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi.
Dengan
demikian risiko
terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.
Pasal ini telah mengalami uji materiil di Mahkamah Konstitusi.
Terhadap permohonan
uji materiil tersebut, Mahkamah
Konstitusi telah mengeluarkan putusan 12 April 2007 yang
menyatakan dengan tegas bahwa pasal mengenai pembatasan
umur minimal 21 tahun bagi seseorang untuk menjadi TKI
ini tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia UUD 1945
dan dengan demikian Pasal ini tetap berlaku. Ketentuan
yang diatur dalam pasal ini bukanlah
penghapusan hak
terhadap suatu
pekerjaan, tetapi merupakan persyaratan
yang dapat dibenarkan dalam rangka pemenuhan kewajiban
negara untuk melindungi warga negaranya yang bekerja diluar
negeri.
14
UU PPTKILN, dengan demikian, secara eksplisit mengakui realitas
pekerja yang yang dipekerjakan pada “Pengguna perseorangan”
dapat
dimaknai sebagai
pemberi kerja
perorangan yang tidak bertujuan untuk
14 Permohonan uji materiil ini dimohonkan oleh 9 calon TKI yang akan dipekerjakan
ke luar negeri. Namun, keberangkatan mereka ditolak pemerintah, dengan alasan usia ke-9 calon TKI belum mencapai 21. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
ketentuan dalam UU PPTKI itu juga sudah diatur sebelumnya dalam International Covenant on Civil and Political Rights
ICCPR, yang telah diratiikasi pemerintah dengan UU No. 11 Tahun 2005. Menurut majelis, pembatasan usia itu juga harus
diartikan untuk melindungi para TKI dari pelecehan seksual atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan SARA. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
permohonan pemohon dinyatakan tidak beralasan, sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak detikNews, 120407.
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
57
menghasilkan barangjasa
bernilai ekonomis, atau dengan kata lain, dipekerjakan pada
Pengguna perseorangan dapat diartikan bekerja dalam lingkup
domestik
atau “pekerjaan
kerumahtanggaan” atau sebagai “pekerja rumah tangga” atau
masih biasa disebut “pembantu rumah tangga”, dan untuk itu
menentukan usia minimum 21 tahun untuk jenis pekerjaan ini.
Pertimbangan utama mengenai penetapan
usia minimum
ini dengan
memperhatikan unsur “dalam praktiknya TKI
yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai
hubungan personal yang intens dengan
Pengguna”, “yang
dapat mendorong TKI yang bersangkutan
berada pada
keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual”, dan “pada
pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang
dari aspek kepribadian dan emosi”,
sehingga “dengan
demikian risiko
terjadinya pelecehan
seksual dapat
diminimalisasi.” Sayangnya, cuplikan kecil ini
tenggelam dengan buruknya sistem
perlindungan secara
keseluruhan. Sebagai contoh, hingga kini Indonesia belum
memiliki sistem perlindungan PRT. Meski Program Legislasi
Nasional telah mencantumkan RUU Perlindungan PRT sebagai
salah satu RUU yang harus dibahas oleh pemerintah dan
DPR
tahun ini,
komitmen politik
pemerintah maupun
sebagian besar kepentingan di DPR memperlambat proses
penggodokan RUU ini menjadi UU.
Sejalan dengan itu, mengenai “kesetaraan
gender” sebagaimana dimuat di Bagian
Penjelasan UU
PPTKILN, nampaknya tak lebih hanya
untaian huruf yang tak bermakna. Bagian Penjelasan UU PPTKILN
menyatakan:
“... Perbedaan
pelayanan atau perlakuan bukan untuk
mendiskriminasikan suatu
kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun
justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam
memperoleh
pekerjaan dan
penghidupan yang
layak bagi
kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam
Undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan
perlindungan TKI
adalah persamaan hak, berkeadilan,
kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi....”
Kedua, selain UU PPTKILN
peraturan lainnya antara lain: a
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
58
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Inpres No 6 Tahun 2006 2 Agustus 2006 tentang Kebijaksanaan
Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran;
b Permenakertrans No: PER19 MEN V2006 tentang Pelaksanaan
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri 12 Mei 2006;
dan c Peraturan Presiden No 81 Tahun 2006 tentang Badan
Nasional
Penempatan dan
Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia 8 September 2006.
Kelahiran BNP2TKI
pada kenyataannya telah menciptakan
konlik berkepanjangan antara Depnakertrans dan BNP2TKI,
yang berakibat terabaikannya perlindungan pekerja migran.
Berbagai ketentuan perundang- undangan
lebih banyak
mendelegasikan kewajiban
negara dalam
melindungi pekerja migran, kepada para
pebisnis yang selalu berorientasi pada proit. Dengan peran
PPTKIS yang sangat dominan, mulai dari pendidikan calon
pekerja migran, pengurusan dokumen, hingga penempatan
pekerja migran, perlindungan pekerja migran menjadi jauh dari
kerangka penegakan HAM.
Ketiga, belum diratiikasinya
Konvensi Migran 1990 dan tidak efektifnya implementasi
instrumen ASEAN:
ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers
2008. Pada tanggal 22 September 2004, Menteri Luar
Negeri, atas nama Pemerintah Indonesia, telah menandatangani
Konvensi Migran 1990. Meskipun peratiikasian dan pengundangan
Konvensi menurut Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009,
seharusnya diratiikasi pada tahun 2005, hingga kini Konvensi
ini belum diratiikasi. Padahal peratiikasian Konvensi ini sangat
penting dan telah memenuhi alasan ilosois, yuridis, dan
sosiologis dari lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan
Komnas Perempuan, 2009.
Sebagai tambahan, dengan fakta tingginya jumlah pekerja migran
Indonesia di Malaysia, ditambah banyaknya
pekerja migran
Indonesia yang
mengalami kekerasan dan meninggal dunia
di Malaysia, pemerintah juga belum efektif menggunakan
ASEAN Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
sebagai instrumen untuk melindungi
pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Keempat, lemahnya diplomasi.
Salah satu
upaya dalam
melindungi pekerja migran yang juga wajib dilakukan pemerintah
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
59
Indonesia adalah melakukan kerja sama antar-negara baik
bilateral maupun multilateral sebagaimana
diamanatkan dalam UU PPTKILN Pasal 7 :
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, pemerintah
berkewajiban:
a. menjamin terpenuhinya hak- hak calon TKITKI, baik yang
berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang
berangkat secara mandiri;
b.mengawasi p e l a k s a n a a n penempatan calon TKI;
c. membentuk dan mengembang- ka n
s i s t e m i n f o r m a s i
penempatan calon TKI di luar negeri;
d. melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan
hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara
tujuan; dan
e. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum
pemberangkatan, masa
penempatan, dan masa purna penempatan
Sebagai bagian dari upaya diplomatik,
dikenal adanya
Memorandum of Understanding MoU yang dibuat antara
Pemerintah Indonesia dengan pemerintah
negara tujuan
penempatan. Sepanjang
pengalaman Pemerintah
Indonesia, terdapat MOU antara Pemerintah Indonesia dengan
9 sembilan negara yaitu: Malaysia 2 MoU, Korea Selatan
G to G, Taiwan, Jepang G to G, Australia, Jordania, Kuwait,
Uni Arab Emirat, dan Qatar Roostiawati, 2010.
MoU adalah salah satu bentuk perjanjian
internasional yang merupakan salah satu
sumber hukum internasional utama. Oleh karena itu, sudah
semestinya antara Indonesia dengan negara-negara tujuan
penempatan lain di luar yang telah memiliki MoU dengan
Indonesia, perlu diupayakan pembuatan
MoU guna
meningkatkan perlindungan
bagi pekerja migran. Bagian lain dari diplomasi adalah
upaya pembelaan
sebagai bagian
dari perlindungan
pekerja migran Indonesia yang menghadapi persoalan hukum
di negara tujuan dan penegakan hukum
pada kasus-kasus
yang menimpa pekerja migran Indonesia. Dalam hal pekerja
migran yang terancam hukuman mati, misalnya, upaya diplomasi
Pemerintah Indonesia masih sangat lemah dan kurang efektif.
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
60
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Penutup
Melihat isu pekerja migran semata dari perspektif ekonomi
dan keamanan
security akan
mengaburkan ilosoi
perlindungan pekerja migran sebagai
sebuah landasan
universal. Oleh
karena itu,
persoalan perlindungan pekerja migran harus diletakkan sebagai
persoalan HAM dan pencapaian keadilan gender. Dengan ini,
sistem
perlindungan pekerja
migran akan menjawab realita dan perubahan, serta kompleksitas
persoalan migrasi, khususnya migrasi
internasional. Dalam
kerangka HAM ini, kesejahteraan dimaknai secara luas, tidak semata
dari aspek ekonomi, melainkan juga dalam hal pemenuhan HAM
pekerja migran, tidak hanya sebagai pelaku migrasi dan
pekerja, namun terlebih: sebagai manusia
. Dalam konteks ini, perempuan
pekerja migran,
dilihat sebagai pelaku migrasi, pekerja, dan perempuan.
Dengan kata lain, diperlukan sistem
perlindungan pekerja
migran, termasuk sistem hukum khusus perlindungan pekerja
migran, yang sejalan dengan perspektif HAM dan keadilan
gender. Tanpa ini, peraturan perundang-undangan
yang lahir akan terbatas pada aspek
ekonomi semata. Secara khusus, sangat penting
bagi Indonesia untuk meratiikasi International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members
of Their Families Konvensi
Internasional Perlindungan
Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya dan
mengamandemen UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
menjadi UU yang sejalan dengan kerangka HAM. Kerangka HAM
yang dimaksud adalah dengan mengadopsi
prinsip-prinsip HAM
secara komprehensif
sebagaimana diatur
dalam instrumen-instrumen
HAM. Instrumen HAM yang dimaksud,
baik yang bersifat internasional, maupun yang bersifat regional
misalnya ASEAN yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip
HAM universal.
Selain itu, persoalan PRT, baik domestik migrasi antardaerah
di dalam
negeri maupun
internasional, memerlukan
kerangka perlindungan tersendiri, mengingat kekhasan sifat dan
risiko kerjanya. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu
menyusun dan memberlakukan UU Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga
yang berperspektif
HAM dan berkeadilan gender. Indonesia seharusnya terlibat
aktif dalam mendukung rencana pembentukan
Konvensi ILO
mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
61 Daftar Acuan
Sagala, Valentina, R, Ellin Rozana. 2007. Pergulatan Feminisme dan HAM, HAM untuk Perempuan, HAM untuk Keadilan Sosial
, Bandung: Institut Perempuan
Ofice of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Frequently Asked Question on Human Rights-Based Approach to
Development Cooperation Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak
Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM
, Komnas Perempuan, Jakarta, 2009 Global Alliance against Trafic in Women GAATW, Beyond Borders:
Exploring Traficking’s Links to Gender, Migration, Labour, Globalisation and Security, GAATW Working Papers Series 2010,
Global Alliance Against Trafic in Women, Bangkok, 2010
Hidayah, Anis. 2010. Wajah Diplomasi Perlindungan Buruh Migran Indonesia
, dalam Jurnal Diplomasi Vol. 2 No. 1, Maret Tahun 2010. Jakarta: Pusdiklat Kementerian Luar Negeri
Komnas Perempuan-CARAM Indonesia. 2003. Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives for the
Protection of their Rights, Indonesian Country Report to the UN Special Repporteur on the Human Rights of Migrants.
Jakarta: Komnas Perempuan-CARAM Indonesia
Sagala, Valentina R. 2010. “Analisa Hukum Mengenai Usia Minimum Bagi Pekerja Rumah Tangga”, Jaringan Advokasi Nasional untuk
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga JALA-PRT, makalah Komnas Perempuan, 2009. ”Pentingnya Segera Meratiikasi Konvensi
Migran 1990”, makalah, Juni Roostiawati. 2010. “Kebijakan Depnakertrans dalam Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, presentasi, Direktorat Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI,
Jakarta, 21 Januari
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
62
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan
Pedesaan
Ratih Dewayanti
1
Abstract
Land tenure have been widely used as a classical approach to understand rural agrarian change, as it relects, among others, the
changing socio-economic structure of the peasant society in particular territory. However, this approach has been rarely used to understand the
impact of international labor migration to the ruralagrarian society. Different with other approaches being employed in other studies, this
article proposes land tenure pattern as an analytical approach to investigate how the socio-economic strata from which migrant labors
come is related to the type of job, country of destination and the use of remittances among the peasant-migrant households.
Keywords: migrant labors, land tenure, rural, agrarian change, remittances
1 Peneliti lepas AKATIGA untuk studi-studi pedesaan.
Tulisan ini bermaksud memberikan suatu pandangan metodologis
untuk memahami
dampak migrasi
internasional dan
remitansi yang menyertainya melalui perspektif penguasaan
lahan oleh rumah tangga petani- buruh migran. Asumsi dasar yang
digunakan dalam pendekatan ini adalah fakta bahwa sebagian
besar buruh migran berasal dari pedesaan dan secara langsung
maupun
tidak langsung
terkait dengan pertanian dan penguasaan
lahan. Dalam
konteks Indonesia, pendekatan ini cukup penting digunakan
untuk memahami
kaitan antara
migrasi internasional
dan perubahan
pedesaan karena pendekatan yang ada
umumnya terfokus pada pola penggunaan remitansi dikaitkan
dengan jenis pekerjaan, negara tujuan, besarnya upah, perilaku
individu dan rumah tangga
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
63
dalam menggunakan uang, dan terjadi tidaknya pembangunan
isik di tingkat komuniti, seperti perbaikan jalan, rumah
ibadah, irigasi, dan sebagainya. Pendekatan yang selama ini
digunakan belum cukup untuk sampai pada kesimpulan ‘apakah
migrasi internasional mampu mengurangi kemiskinan’.
Pendekatan ini diharapkan dapat melengkapi
perspektif yang
digunakan dalam studi-studi yang sudah ada sebelumnya
sehingga dapat memandu ke arah pemahaman mengenai kaitan
antara migrasi internasional dan perubahan pedesaan sebagai
tempat asal sebagian besar buruh
migran internasional.
Untuk itu, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan teoretis
mengenai migrasi internasional, konsep peran dan pemahaman
mengenai penggunaan remitansi, serta perspektif penguasaan
tanah dalam memahami dampak migrasi internasional terhadap
masyarakat pedesaan.
Tinjauan Teoretis
Migrasi Internasional, Remitansi, dan
Pedesaan Migrasi
internasional dianggap
sebagai jalan
keluar dari kemiskinan karena kemampuannya
mengalirkan sejumlah besar dana tunai ke
pedesaan. Data-data statistik makro
memperlihatkan meningkatnya
jumlah aliran
remitansi dari negara-negara Utara Global North ke negara-
negara Selatan Global South, dari US 2 miliar pada tahun
1970 menjadi lebih dari US 116 miliar pada tahun 2003,
belum termasuk aliran uang yang dikirimkan melalui jaringan
informal dan yang dibawa tunai oleh migran ke negara asalnya
Gammeltoft, 2002 dan World Bank, 2005 dalam Haas, 2005,
World Bank, 2006. Di banyak negara pengirim, aliran remitansi
ini melampaui besarnya dana pembangunan
internasional international
development aid
dan merupakan penghasil devisa negara yang cukup besar
INSTRAW, 2005. Dalam konteks Indonesia, jumlah
buruh migran yang bekerja di luar negeri meningkat dari
tahun ke tahun. Diperkirakan pada tahun 2007 mencapai 4,3
juta orang IOM, 2008. Pada tahun 2006 neraca pembayaran
IMF mencatat aliran remitansi yang
masuk ke
Indonesia mencapai US 5,7 miliar. Survei
yang dilakukan Bank Indonesia memperkirakan bahwa jumlah ini
mencapai 45 dari penghasilan buruh migran World Bank,
2008:15-17.
Migrasi internasional memiliki
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
64
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
kaitan erat dengan pedesaan karena sebagian besar buruh
migran berasal dari pedesaan dan memiliki keterkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan tanah atau pertanian. Dalam
hal ini, migrasi internasional mempertegas
terintegrasinya petani kecil dengan ekonomi
global Jokisch, 2002. Jika, di satu sisi, perusahaan transnasional
yang masuk ke suatu wilayah memproduksi kesempatan kerja
di dalam negeri, maka wilayah- wilayah pertanian di dunia
berkembang justru memproduksi buruh
migran transnasional
untuk bekerja di negara-negara kaya Kyle, 2000.
Migrasi: Neoklasik
vs Strukturalis
Bagaimana teori yang ada menjelaskan
fenomena ini?
Secara teoretis, terdapat dua aliran utama yang berkembang
dalam studi migrasi internasional. Pertama, aliran neoklasik yang
memandang
bahwa migrasi
terjadi karena adanya kelebihan tenaga kerja di suatu wilayah
dan kebutuhan akan tenaga kerja di wilayah lainnya. Akibatnya,
akan terjadi aliran tenaga kerja dari wilayah yang mengalam
kelebihan
oversupply tenaga kerja ke wilayah yang
membutuhkan tenaga kerja. Dalam kasus ini, kelebihan tenaga
kerja terjadi di negara miskin dan kebutuhan tenaga kerja terjadi di
negara industri maju. Aliran ini berpendapat bahwa perbedaan
tingkat
upah merupakan
determinan yang mendorong aliran migrasi dari suatu wilayah
ke wilayah lain Borjas, 1988 dalam Wilson, 1994. Dengan
adanya migrasi, diharapkan akan terjadi pengurangan perbedaan
tingkat
upah antarwilayah
sehingga pada akhirnya dapat mengurangi arus migrasi dari
wilayah lebih terbelakang ke wilayah yang lebih maju.
Tenaga kerja yang bermigrasi dari wilayah atau negara miskin
umumnya mengisi pasar kerja berketerampilan dan berupah
rendah. Secara relatif, tingkat upah pada segmen pasar kerja
ini memang berbeda. Misalnya, upah pengurus rumah tangga
dan
penjaga anak
baby sitter
di Indonesia berkisar antara Rp. 400.000,00 sampai
Rp. 1.000.000,00 per bulan, sementara di Saudi Arabia
pekerjaan yang sama mendapat upah sekitar Rp 1.200.000,00
sampai Rp. 1.800.000,00 per bulan dan Rp. 3.000.000,00
sampai Rp. 4.000.000,00 per bulan di Taiwan. Perbedaan upah
ini memang terbukti mendorong aliran migrasi buruh. Di sisi
lain, kajian empiris mengenai migrasi dari Amerika Latin ke
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
65
Amerika Serikat dan Eropa Barat menunjukkan bahwa migrasi
justru memperlebar perbedaan tingkat
upah antarwilayah
Gerking and Mutti, 1983. Arus migrasi justru semakin meningkat
karena negara-negara
yang lebih terbelakang tidak mampu
menyediakan lapangan kerja yang cukup, apalagi dengan
tingkat upah yang layak.
Aliran kedua
yaitu aliran
strukturalis;aliran ini
memandang bahwa
migrasi tenaga kerja internasional terjadi
karena ketidakseimbangan
pembangunan yang
terjadi di dunia maju dan dunia
ketiga uneven geographical development
. Dalam
upaya mengakumulasi kapital, dunia
maju memerlukan tenaga buruh murah yang dapat menjamin
kelanggengan produksi
dan reproduksi sosial warga negaranya.
Migrasi buruh
internasional dibutuhkan untuk mengisi pekerjaan domestik,
seperti pembantu rumah tangga, supir, serta penjaga anak dan
orang tua. Hal tersebut dipahami sebagai upaya dunia maju untuk
mempertahankan
reproduksi sosial yang dibutuhkan warganya.
Untuk dapat mempertahankan produktivitas
kerjanya dan
juga pertumbuhan ekonomi negara-negara
tersebut, keluarga-keluarga di negara
maju membutuhkan seseorang yang mampu menangani urusan
domestik mereka dengan tingkat upah yang relatif lebih rendah
dibanding menggunakan tenaga kerja lokal. Sebagai contoh,
tingkat upah penjaga bayi ‘lokal’ di negara-negara maju
mencapai 7-8jam, sementara tingkat upah pembantu yang
berasal dari dunia ketiga kurang lebih sebesar 250-500 per
bulan, tergantung asal negara dan pengalaman. Ditambah lagi,
pembantu ini bisa dipekerjakan untuk bermacam-macam jenis
pekerjaan dan mudah dikontrol Lan, 2006, termasuk membantu
kegiatan usaha mereka secara informal seperti yang banyak
dilakukan oleh buruh migran Indonesia di luar negeri.
Remitansi: Pandangan Optimis vs Pandangan Pesimis
Dalam kaitan dengan remitansi, terdapat dua pandangan yang
secara optimis dan pesimis menempatkan
remitansi dalam
konteks perbaikan
kondisi di wilayah asal. Aliran strukturalis atau Neo-Marxist
memiliki pandangan pesimistis terhadap
dampak positif
migrasi internasional terhadap wilayah asal. Dalam pandangan
mereka, “perilaku konsumtif penggunaan remitansi sebagai
kelemahan
yang justru
memperkuat ketergantungan,
mengintensifkan ketidaksetaraan
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
66
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
sosial, dan menempatkan rumah tangga buruh migran di desa
asal dalam siklus migrasi yang tidak berkesudahan” Cohen et
al., 2005: 87. Sebaliknya, aliran optimis atau ‘apologetic’ yang
didukung antara lain oleh Cohen lihat Cohen et al., 2005 meyakini
bahwa remitansi memiliki peran dalam
memelihara kondisi
hidup rumah tangga buruh migran, antara lain sebagai basis
pengembangan usaha mikro. Namun, Cohen juga menegaskan
bahwa pendukung aliran ini tidak sepenuhnya sepakat bahwa
remitansi dapat mendorong pembangunan karena kekuatan
globalisasi lebih kuat dibanding potensi
yang diperankan
remitansi dalam mendorong pembangunan. Dengan kata
lain, ekonomi politik global yang
menyebabkan adanya
ketimpangan pembangunan
antarnegara dan berdampak pada proses underdevelopment
yang tidak berkesudahan di pedesaan tidak dapat diatasi
hanya melalui aliran remitansi yang masuk ke pedesaan.
Pandangan optimis mengenai peran migrasi internasional dan
remitansi terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di
wilayah asal umumnya diyakini oleh lembaga-lembaga donor. Dalam
studinya di 71 negara berkembang pengirim buruh migran, Bank Dunia
menyimpulkan bahwa untuk setiap peningkatan jumlah buruh migran
di suatu negara sebesar 10, terjadi penurunan jumlah orang miskin
sebesar 2,1 Adams.Jr and Page, 2005.
Memandang pada
potensi migrasi
internasional dan
remitansi terhadap peningkatan kesejahteraan di daerah asal,
tidak kurang dari Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
serta
sejumlah organisasi
regional seperti
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara
ASEAN
2
terlibat dalam upaya memfasilitasi mobilitas buruh
internasional dan kemudahan pengiriman uang melalui jalur-
jalur yang dianggap resmi dan aman bagi buruh migran.
Sebaliknya, Komisi Uni Eropa justru mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk ‘membatasi’ jumlah buruh migran yang
masuk karena dikhawatirkan akan mengurangi kesempatan
kerja bagi warganya lihat misalnya, Etzinger, 1985 dalam
Haas, 2005.
2
Tercantum dalam Deklarasi ASEAN mengenai Pekerja Migran yang ditandatangani di Cebu Filipina oleh 10 negara anggota ASEAN pada tanggal
13 Januari 2007 Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
67 Migrasi
dalam Kerangka
Penghidupan Pedesaan Rural Livelihood Framework
Migrasi menjadi isu penting karena fenomena ini tidak
hanya menyangkut
negara- negara penerima, tetapi juga
negara dan wilayah pengirim migran, khususnya pedesaan di
Selatan Global South. Migrasi sebagai bagian dari siklus hidup
masyarakat pedesaan sudah dikenal
sejak berabad-abad
yang lalu, terutama diakibatkan oleh industrialisasi di kota-kota
besar dan penemuan teknologi pertanian yang mengakibatkan
sejumlah besar pekerja pertanian kehilangan pekerjaannya dan
memilih bermigrasi ke kota untuk mendapatkan penghasilan.
Dalam konsep penghidupan pedesaan
rural livelihood
framework , migrasi dipandang
sebagai salah satu bentuk strategi penghidupan masyarakat
pedesaan Bebbington, 1999; Kothari, 2002; 2003; Scoones,
2009.
Istilah yang
sering digunakan
adalah strategi
penghidupan multilokal atau multispasial
Thieme, 2008.
Pengertian dari konsep ini adalah perpindahan satu atau
lebih anggota rumah tangga ke luar desa untuk mendapatkan
penghasilan yang secara rutin maupun tidak rutin dikirimkan
untuk menghidupi keluarganya di wilayah asal. Pasar kerja yang
dapat dimasuki oleh migran ini sangat tergantung pada aset
dan kemampuan capability yang
dimilikinya, termasuk
modal sosial berupa jaringan sosial. Walaupun pada awalnya
kerangka konsep ini digunakan untuk
menjelaskan migrasi
desa-kota, konsep ini kemudian berkembang untuk memahami
migrasi buruh internasional.
Sebagai sebuah
strategi penghidupan yang mendunia,
migrasi internasional sudah sejak lama dilakukan, dengan
berbagai kepentingan
dan alasan.
Dorongan untuk
melakukan migrasi sangat terkait dengan situasi yang dialami di
daerah asal, baik itu persoalan struktural seperti kemiskinan dan
faktor pengambilan keputusan individu seperti ajakan teman,
keluarga, atau agen pengerah tenaga kerja. Kedua faktor inilah
yang banyak ditemukan dalam studi-studi mengenai migrasi
buruh internasional Wirawan, 2006; Agra et al., 2010.
Terlepas dari latar belakang atau alasan yang mendasari orang
bekerja di luar negeri, teori mengatakan
bahwa migrasi
internasional dilakukan bukan oleh kelompok paling miskin,
karena dibutuhkan modal dan risiko yang cukup besar lihat
Skeldon, 1997 dalam Haas,
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
68
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
2005. Namun, teori ini tidak cukup lagi untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Semakin sulitnya
kehidupan pedesaan mendorong kelompok-kelompok termiskin
di desa mengikuti arus migrasi internasional
untuk bekerja
sebagai buruh. Jenis pekerjaan dan negara yang dituju tidak
saja tergantung pada lowongan yang ditawarkan agen pengerah
tenaga kerja, tetapi juga pada besarnya modal yang mereka
miliki dan besarnya risiko yang mungkin ditanggung.
Sebagai contoh, sejak tahun 2009,
agen-agen pengerah
tenaga kerja
Indonesia khusus
untuk pembantu
rumah tangga perempuan di Saudi Arabia membebaskan
biaya penempatan,
bahkan memberikan ‘uang bekal’ untuk
keluarga yang
ditinggalkan di desa. Praktik ini tentu saja
berdampak pada meningkatnya jumlah
buruh migran
perempuan yang semula tidak mampu
menanggung biaya
penempatan. Makna apa yang dapat kita
simpulkan dari
perubahan fenomena tersebut? Pandangan
optimis tentunya mengatakan bahwa mereka yang berasal dari
kelompok termiskin sekarang memiliki kesempatan yang sama
untuk menjadi buruh migran dan berkesempatan menangguk
manfaat remitansi yang sama dengan buruh migran lainnya.
Artinya, terdapat kesempatan yang sama untuk memperbaiki
taraf
hidup dan
kapasitas dalam mengurangi kerentanan.
Pandangan kritis atau pesimis akan
mempertanyakan: seberapa besar perbaikan taraf
hidup dan kapasitas mengurangi kerentanan dapat dicapai dengan
bekerja sebagai tenaga buruh berupah murah di luar negeri,
dengan risiko yang juga tinggi.
Dalam hal ini, perlu dicermati tipe migrasi buruh yang dilakukan.
Migrasi yang dilakukan buruh migran Meksiko dan Filipina,
misalnya, berbeda dengan yang dilakukan buruh migran dari
Indonesia, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan. Buruh migran
Meksiko,
Filipina, Ekuador
terdiri atas
buruh migran
yang kemudian tinggal secara permanen terlepas dari masalah
legalitas di negara tujuan, dan
membentuk diaspora
3
3 Dalam pengertian sederhana, diaspora adalah jaringan sosial yang dibentuk di daerah tujuan oleh sekelompok migran yang memiliki kesamaan identitas tertentu, baik
kesamaan daerahnegara asal, agama, atau etnisras. Diaspora tidak saja dibentuk oleh buruh migran, tetapi juga oleh kelompok pengungsi dalam pengertian refugee
dan displaced person, yaitu mereka yang kehilangan tempat tinggal karena suatu peristiwa tertentu seperti bencana, peperangan, atau pun kerusuhan.
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
69
yang salah satunya bertujuan memfasilitasi penempatan kerja
dan penyelesaian masalah bagi kerabat yang bermigrasi ke
daerah yang sama. Walaupun tipe pekerjaan yang dimasuki
tidak selalu tetap, keberadaan mereka di negara tujuan relatif
lebih panjang dan permanen ketimbang buruh migran dari
Indonesia, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan.
Buruh migran dari golongan kedua umumnya bekerja secara
temporer mengikuti kontrak yang diberikan, antara dua sampai
tiga tahun. Kepastian untuk memperpanjang kontrak tidak
secara merata dimiliki oleh setiap buruh migran. Tipe migrasi yang
dilakukan kelompok ini dikenal sebagai ‘recurrent migration’ atau
migrasi berulang. Kesempatan untuk memperpanjang masa
kerja sangat tergantung pada kesempatan yang ada dan
modal yang dimiliki. Berdasarkan temuan penelitian terungkap
fakta bahwa cukup banyak buruh migran menggunakan sebagian
gaji
atau remitansi
yang diperolehnya untuk membayar
biaya penempatan selanjutnya, yang harus dilakukan dari daerah
asalnya karena perpanjangan kontrak tidak dapat dilakukan di
negara tujuan Agra et al., 2010.
Mengacu pada
perbedaan tipe migrasi tersebut, tidak
mengherankan jika
besar dan frekuensi aliran remitansi
yang dihasilkan buruh migran ‘permanen’ lebih besar dan lebih
rutin ketimbang buruh migran lainnya.
Namun ironisnya,
situasi ini justru mendorong peningkatan
secara statistik
jumlah buruh migran Meksiko dan Filipina.
Konsep Penggunaan Remitansi dan
Dampaknya terhadap
Perubahan di Daerah Asal
Studi mengenai dampak aliran remitansi terhadap perubahan
di wilayah asal sudah banyak dilakukan, baik di Indonesia
maupun
di negara-negara
lainnya. Kesimpulan
yang dihasilkan
oleh studi-studi
tersebut sebagian
besar memperlihatkan
bahwa remitansi yang dihasilkan oleh
buruh migran internasional tidak atau belum berhasil membawa
peningkatan kesejahteraan
maupun pembangunan
di wilayah asal. Namun, kesimpulan
kajian tersebut dipengaruhi oleh perspektif maupun konsep yang
digunakan untuk memahami penggunaan remitansi.
Remitansi merupakan
isu yang cukup banyak dibahas
dalam memahami
dampak migrasi internasional terhadap
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
70
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
peningkatan kesejahteraan
daerah asal. Potensi remitansi yang sedemikian besar dianggap
tidak mampu
mendorong peningkatan
kesejahteraan di
daerah asal
karena ketidaktepatan
penggunaan remitansi untuk tujuan konsumtif.
Menurut de Haas, perspektif yang
menyatakan bahwa
penggunaan remitansi bersifat konsumtif, non-produktif, dan
non-developmental merupakan
mitos yang
berkembang sejak tahun 1970-an. Tidak
hanya itu, perspektif tersebut juga
memandang migrasi
sebagai penghambat potensi ekonomi
yang seharusnya
berkembang di pedesaan akibat berkurangnya
tenaga kerja
untuk pengembangan pertanian dan industri kecil pedesaan
seperti kerajinan Haas, 2005. Akan tetapi, ditegaskan oleh de
Haas bahwa pandangan ini perlu dikritisi. Investasi dalam bentuk
rumah,
sekolah, kesehatan,
sanitasi, dan pangan memiliki efek menggandakan multiplier
dalam jangka panjang, sehingga dapat
dipandang sebagai
‘development’ dalam arti luas. Hanya saja, terwujud tidaknya
kondisi tersebut
sangat dipengaruhi oleh konteks sosial,
ekonomi, dan politik yang berkembang di negara tujuan
maupun asal Haas, 2005:1249- 50.
Berikut ini
akan disajikan
beberapa gambaran mengenai hasil kajian dan perspektif yang
digunakan dalam memahami dampak
remitansi terhadap
perubahan di wilayah asal, khususnya pedesaan. Migrasi
internasional dan
remitansi yang menyertainya dianggap
memegang peran penting dalam meningkatkan
pembangunan isik pedesaan, yaitu dalam
bentuk berdirinya
rumah- rumah permanen di desa, serta
menggairahkan perekonomian lokal
melalui meningkatnya
jumlah pembeli di pasar dan pusat pertokoan lihat Noveria,
2001.
Migrasi internasional
mengubah fungsi dan peran perempuan dalam reproduksi
sosial di dalam keluarga, yaitu dalam memelihara anak dan
pemenuhan kebutuhan keluarga berupa
pangan, sandang,
kesehatan, dan
pendidikan. Remitansi
yang dikirimkan
digunakan untuk ‘membiayai’ pengeluaran-pengeluaran untuk
keperluan tersebut, seperti studi yang dilakukan di Karawang
Busono et al., tanpa tahun.
Terlepas dari
beragam kesimpulan yang ditarik oleh
setiap peneliti, tujuan tulisan ini adalah menyoroti berbagai
pendekatan atau perspektif yang digunakan dalam memahami
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
71
perubahan pedesaan
yang terkait dengan migrasi buruh
internasional. Pendekatan
perilaku merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan
dalam memahami penggunaan remitansi di desa asal, terutama
studi-studi yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dalam konteks
pedesaan Indonesia.
Umumnya mereka
yang menggunakan perspektif ini
berpendapat bahwa ‘faktor perilaku’
yang mendorong
penggunaan remitansi menjadi konsumtif atau kurang produktif
dan tidak berperspektif jangka panjang. Penggunaan remitansi
yang dianggap konsumtif ini adalah
pengeluaran untuk
membeli atau membangun tanah dan rumah tinggal,
memperbaiki sebagian atau keseluruhan rumah tinggal,
membeli
perhiasan dan
alat-alat elektronik modern, membeli kendaraan bermotor,
dan untuk
perayaanritual budaya setempat.
Pendekatan perilaku di satu sisi memberikan suatu metoda
untuk memahami pengambilan keputusan yang dilakukan di
tingkat individu dan rumah tangga. Akan tetapi, pendekatan
ini tidak cukup kuat untuk memahami alasan yang lebih
struktural—kondisi
sosial, ekonomi,
dan politik—yang
mendorong perilaku ini terjadi Sanderson and Kentor, 2008.
Sebagai konsekuensinya, kajian dengan pendekatan ini hanya
akan
menghasilkan suatu
deskripsi mengenai
alokasi penggunaan remitansi untuk
jenis-jenis pengeluaran tertentu, dan gagal untuk memahami
latar belakang pengambilan keputusan tersebut. Pendekatan
ini
juga tidak
mengaitkan pengambilan
keputusan tersebut dengan situasi makro
yang tengah terjadi, sehingga pilihan
‘konsumtif’ tersebut
menjadi rasional untuk diambil. Misalnya, pilihan untuk memulai
usaha mikro bukan sesuatu yang mudah karena persoalan yang
melingkupinya pun tidak mudah untuk diatasi. Cohen 2005
menggambarkan
bahwa di
Meksiko, penggunaan remitansi tidak semata-mata merupakan
keputusan individu dan rumah tangga, tetapi dipengaruhi oleh
krisis ekonomi nasional dan masuknya paham neoliberal
yang memperburuk situasi di pedesaan Meksiko.
Migrasi Intenasional, Aliran Remitansi, dan Penguasaan
Tanah di Pedesaan
Berangkat dari
gambaran yang diuraikan di atas, tulisan
ini bermaksud
menegaskan akan
pentingnya menjawab
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
72
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
pertanyaan mengenai seberapa jauh terjadi perubahan taraf
hidup dan kapasitas mengurangi kerentanan di antara rumah
tangga buruh migran pedesaan. Jawaban terhadap pertanyaan
ini akan sekaligus menjawab optimisme maupun pesimisme
mengenai
peran migrasi
internasional khususnya
remitansi dalam mengurangi kemiskinan.
Dalam konteks Indonesia, studi semacam ini semakin penting
karena studi-studi yang ada umumnya terfokus pada pola
penggunaan remitansi dikaitkan dengan jenis pekerjaan, negara
tujuan, besarnya upah, perilaku individu dan rumah tangga
dalam
menggunakan uang,
dan apakah terjadi perubahan pembangunan isik di tingkat
komunal, seperti
perbaikan jalan, rumah ibadah, irigasi, dan
sebagainya. Sementara itu, studi yang memotret perubahan belum
banyak dilakukan, sehingga untuk sampai pada kesimpulan ‘apakah
migrasi internasional mampu mengurangi kemiskinan’ belum
sepenuhnya terjawab. Tulisan ini bermaksud memberikan suatu
pandangan metodologis untuk menjawab pertanyaan tersebut,
namun interpretasi dari hasil kajian bisa jadi beragam.
Tidak dapat lagi dipungkiri bahwa remitansi
memegang peran
penting dalam ekonomi rumah tangga buruh migran, walaupun
sifatnya tidak permanen, tidak rutin, dan tidak tentu besarnya.
Oleh karena itu, kajian-kajian mengenai dampak remitansi
terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di
daerah asal banyak dilakukan. Namun, dari berbagai perspektif
dan metoda yang digunakan untuk
menjelaskan dampak
remitansi, sangat jarang ditemui perspektif dan metoda yang
menjelaskan dampak remitansi terhadap perubahan pertanian,
baik itu cara produksi, tenaga kerja,
penguasaan tanah,
dan mekanisme pembiayaan produksi pertanian. Tulisan ini
bermaksud mengisi kekosongan tersebut dengan pertimbangan
bahwa sebagian besar rumah tangga buruh migran memiliki
kaitan
dengan tanah
dan pertanian,
baik langsung
maupun tidak langsung Kyle, 2000; Jokisch, 2002; Thieme,
2008. Metodologi ini pula yang digunakan dalam penelitian yang
dilakukan AKATIGA pada tahun 2009-2010 bersama dengan
Departemen Geograi, University of Philippines di Diliman Agra et
al., 2010.
Masyarakat pedesaan sudah mengalami stratiikasi secara
ekonomi dan sosial jauh sebelum adanya migrasi internasional
Cohen et al., 2005. Oleh
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
73
karena itu, dalam memahami ada
tidaknya peningkatan
kondisi hidup di desa asal perlu dikaitkan dengan stratiikasi
sosial ekonomi yang sebelumnya sudah ada. Dalam hal ini, struktur
penguasaan tanah merupakan salah satu cara memahami
stratiikasi sosial ekonomi di wilayah
pedesaan dengan
penghidupan yang
berbasis pada tanah.
Inti dari pendekatan yang ditawarkan ini adalah memahami
perubahan masyarakat
di pedesaan,
utamanya yang
berbasis pertanian,
sebagai akibat dari migrasi internasional
dan aliran remitansi yang masuk ke pedesaan. Analisis mengenai
dampak migrasi internasional dan remitansi terhadap rumah
tangga buruh migran dengan penghidupan yang masih terikat
pada tanah dan pertanian tidak dapat dilepaskan dari perubahan
yang terjadi pada pertanian dan masyarakat
agraris. Sebagai
acuan tambahan, kita dapat mengacu pada klasiikasi yang
disusun oleh Rigg akan terbit, dalam ChatSEA, 2005 mengenai
transisi agraria di Asia Tenggara lihat Tabel 1.
Tabel 1.
Tipologi Transisi Agraria di Asia Tenggara
Tipe Agraria Karakteristik
Subsisten Terfokus pada pertanian dan pedesaan;
sebagian masih menggunakan barter dan menjual surplus produksi
Semi-subsisten Kombinasi subsisten dan pertanian
komersial; penghidupan masih tetap bergantung pada pertanian dan pedesaan
Pluriaktif post- peasant
Kombinasi subsisten dan pertanian komersial dengan beragam kegiatan
nonpertanian, baik on-farm dan off-farm
. Migrasi dan delokalisasi pekerjaan semakin meningkat
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
74
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
Profesional Pertanian profesional dan munculnya
pengusaha agraria; skala besar, perusahaan komersial dengan
penggunaan input produksi yang tinggi, integrasi yang kuat terhadap
pasar nasional dan internasional, dan penggunaan teknologi secara intensif.
Ukuran dan tingkat produksi yang digunakan memungkinkan petani untuk
menggantungkan hidup hanya dari pertanian.
Pluriaktif post-pro- ductive, non-peasant
Melakukan pluriaktivitas sebagai petani paruh waktu, dengan kombinasi
pekerjaan lain dengan penghasilan yang tinggi
Petani kecil marjinal remnant small-
holder Rumah tangga pedesaan yang tetap
terikat pada tanah dan sistem produksi tradisional. Produksi rendah, orientasi
subsisten, dan miskin.
Sumber: Rigg akan terbit, dalam ChatSEA, 2005:2
Pola Penguasaan Tanah, Pasar Kerja, dan Pola Penggunaan
Remitansi
Pasar kerja yang dapat dimasuki jenis pekerjaan, tingkat upah,
negara tujuan sangat tergantung pada modal atau aset yang
dimiliki oleh calon buruh migran. Bagi buruh migran yang berasal
dari rumah tangga petani, modal, atau aset yang dimiliki terkait
Seperti sudah
diuraikan sebelumnya, dorongan untuk
bermigrasi tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi di
daerah asal. Selain pilihan individu dan faktor eksternal lainnya,
perlu dipahami pula bahwa tipe agraria dan penguasaan faktor
produksi juga merupakan dua variabel yang cukup menentukan
pasar kerja yang dimasuki dan pola penggunaan remitansi.
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
75
pula dengan faktor produksi yang dimiliki dan dikuasai.
Sebagai ilustrasi,
penelitian AKATIGA menemukan bahwa
rumah tangga petani pemilik lahan mampu memasuki pasar
kerja yang lebih baik ketimbang rumah tangga buruh tani Agra et
al., 2010. Walaupun peran agen pengerah tenaga kerja sponsor
dan pelepas uang rentenir sangat menentukan pasar kerja
yang dimasuki, tawaran yang diberikan kepada calon buruh
migran juga tergantung pada penguasaan faktor produksi
dan aset rumah tangga yang dimiliki.
Sebagai ilustrasi,
seorang informan menceritakan riwayat
pekerjaannya di luar negeri yang dimulai dari bekerja sebagai
pekerja domestik di Timur Tengah, Taiwan, dan kemudian
kembali
ke Timur
Tengah. Cerita tersebut kemudian kami
konirmasikan dengan riwayat penguasaan
tanah rumah
tangganya. Dengan membuat perbandingan
antara jenis
pekerjaan dan negara tujuan dengan
penguasaan tanah,
diperoleh kesimpulan bahwa ketika ia belum memiliki tanah,
jenis pekerjaan yang dapat dimasukinya adalah pekerjaan
berupah rendah sebagai pekerja domestik di Timur Tengah
selama kurang lebih sembilan tahun. Modal biaya penempatan
diperolehnya dengan meminjam pada
sponsor. Upah
yang diperolehnya digunakan untuk
membeli lahan pertanian seluas 1 ha. Setelah itu, ia mendapat
kesempatan bekerja sebagai penjaga jompo di Hong Kong
selama
16 bulan,
dengan modal
biaya penempatan
yang dipinjamnya dari sponsor dan sebagian dari upah yang
disisihkan. Setelah perceraian, informan tersebut kehilangan
tanah yang dibelinya seluas 1 ha, dan kembali memasuki pasar
kerja sebagai pekerja domestik di Saudi Arabia wawancara,
Agustus 2009.
Ilustrasi di atas merupakan salah
satu contoh,
dan ditemukan pola-pola serupa
dalam penelitian tersebut. Tipe penguasaan faktor produksi
lahan ini juga berpengaruh terhadap
pola penggunaan
remitansi. Rumah
tangga buruh tani yang memperoleh
modal pemberangkatan
melalui pinjaman
umumnya menghabiskan kiriman uang yang
diterimanya untuk membayar pinjaman beserta bunganya,
dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lain halnya dengan
rumah tangga pemilik lahan yang
mampu menyisihkan
upahnya untuk menyewa dan atau membeli mengakumulasi
tanah pertanian.
Penguasaan tanah memang bukan
Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan
76
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
merupakan satu-satunya variabel yang menjelaskan kemampuan
akumulasi rumah tangga petani- buruh migran. Kajian di Filipina
antara
lain menyimpulkan
bahwa lama migrasi dan jumlah anggota rumah tangga yang
bermigrasi lebih berpengaruh terhadap kemampuan akumulasi
Agra et al., 2010. Namun, tidak demikian halnya dengan
temuan di pedesaan Indonesia. Kedua variabel tersebut belum
dapat menjelaskan kemampuan suatu rumah tangga dalam
meningkatkan kesejahteraannya atau meningkatkan kapasitasnya
dalam mengurangi kerentanan. Perbedaan ini terkait dengan
tipe migrasi yang dilakukan buruh Filipina dan Indonesia,
yaitu migrasi permanen dan migrasi temporer. Keberadaan
lebih dari satu anggota rumah tangga yang bermigrasi dalam
konteks Filipina dipengaruhi oleh kemampuan buruh migran
Filipina
untuk membentuk
diaspora dan
memfasilitasi penempatan kerja, sementara
penempatan kerja buruh migran Indonesia sangat tergantung
pada agen pengerah tenaga kerja.
KESIMPULAN
Selama ini
kajian empiris
mengenai dampak remitansi terhadap
peningkatan kesejahteraan rumah tangga
buruh migran menggunakan indikator-indikator
‘standar’ seperti
tingkat pendapatan
rumah tangga, umur, jenis kelamin, relasi gender dalam
rumah tangga, dan kepemilikan aset dalam rumah tangga.
Di sisi lain, di hampir setiap kajian mengenai migrasi buruh
transnasional dinyatakan bahwa sebagian terbesar buruh migran
dari negara pengirim berasal dari pedesaan, berasal dari rumah
tangga petani dan keterpurukan di sektor pertanian yang menjadi
salah satu sebab utama migrasi. Akan tetapi, masih sedikit
kajian yang memperlihatkan bagaimana
dampak migrasi
internasional terkait dengan perubahan pertanianagraria.
Hasil yang
diperoleh bisa
diinterpretasikan secara
beragam, akan tetapi di sini ditawarkan suatu cara pandang
lain dalam memahami kaitan antara migrasi internasional dan
perubahan pedesaan, yang tidak melulu melihat keberhasilan
atau kegagalan secara material seperti pembangunan isik dan
adanya usaha kecil yang dirintis. Struktur
penguasaan tanah
memperlihatkan pola hubungan antara antara luas dan cara
penguasaan tanah terhadap jenis pekerjaan, negara tujuan, dan
‘modal’ yang harus dimiliki untuk
Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan
Bahasan Utama
Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010
77
memasuki pasar kerja tersebut. Selama ini studi yang ada hanya
melihat jenis pekerjaan, negara tujuan, dan besar ‘modal’ yang
harus dimiliki menurut cara pandang demograis umur,
gender,
status perkawinan,
tingkat pendidikan dan sosial ekonomi tingkat pendapatan.
Selain memperlihatkan pola migrasi, penguasaan tanah juga
dapat memperlihatkan dampak remitansi terhadap perubahan
strata sosial ekonomi dalam suatu lokalitas.
DAFTAR ACUAN
Adams.Jr, R. H. dan J. Page. 2005. “Do International Migration and Remittances Reduce Poverty in Developing Countries?” World
Development
3310: 1645-69.