Valentina Sagala Social Security di Pedesaan

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 34 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender

R. Valentina Sagala

1 Abstract Indonesian constitution acknowledges and guarantees the right of every citizen to choose, to leave and to return to employment and residency within the region of Indonesia Article 28E, verse 2. Every citizen has the right to proper employment and livelihood. It is very important to place migrant workers within the context of human rights and gender, as it is insuficient to view them from economic and security perspectives only. Keywords: employment, livelihood, economic, security, human rights 1 Kerangka HAM Perlindungan Pekerja Migran Kait-mengait antara HAM dan hukum dalam wilayah hukum internasional, dengan instrumen HAM internasional convention, declaration, protocol, optional protocol, dan lain-lain sebagai perjanjian internasional yang diakui secara universal dan didorong untuk disetujui dan diimplementasikan oleh negara- negara di dunia. “Implementasi” inilah yang bermakna bahwa HAM bersentuhan dengan wilayah hukum nasional, yang terjadi atau dialami dalam tataran hukum nasional. Acuan terhadap HAM dapat dilihat dari instrumen HAM, secara komprehensif dan holistik, baik yang meliputi instrumen internasional HAM yang telah disahkan oleh negara maupun yang belum Sagala Rozana, 2007. Dalam konteks ini pulalah, terminologi “hak asasi anak”, “hak asasi perempuan” dipahami. Hal ini sejalan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1 R. Valentina Sagala, feminis, Legal, Human Rights, and Gender Specialist, pendiri dan Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan Women’s Institute Foundation. Email: val77inayahoo.com or institut_perempuanyahoo.com Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 35 CEDAW yang telah diratiikasi dan diundangkan Indonesia menjadi UU No. 7 Tahun 1984. Terkait hak asasi anak, hal ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak Convention on the Rights of Child CRC, yang telah diratiikasi dan diundangkan menjadi Keputusan Presiden Kepres No. 36 Tahun 1990. Istilah hak asasi manusia dideinisikan sebagai “aturan hukum yang berlaku secara universal di seluruh dunia yang menjamin perlindungan individu dan kelompok dari tindakan- tindakan yang bertentangan dengan kebebasan dasar dan martabat kemanusiaan. Hukum HAM mewajibkan pemerintah untuk bertindak dan menjaga HAM dari tindakan yang melanggar HAM tersebut”. 2 Perspektif HAM merupakan pemahaman yang mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan dan penghargaan pada hak mendasar manusia. Dalam sejarah HAM, khususnya dalam kerangka hukum HAM internasional klasik, pemangku kewajiban pemenuhan HAM adalah negara, dalam hal ini 2 Frequently Asked Question on Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, Ofice of the United Nations High Commissioner for Human Rights negara bertanggung jawab memenuhi, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusianya setidaknya untuk warga negaranya: 3 kewajiban untuk menghormati  obligation to respect . Kewajiban ini menuntut negara untuk tidak melakukan tindakan apa pun yang dapat melanggar hak-hak dan kebebasan dasar individu. kewajiban untuk melindungi  obligation to protect. Kewajiban ini menuntut negara untuk mengambil langkah- langkah yang diperlukan guna melindungi hak-hak dan kebebasan warga negara di dalam wilayahnya. Misalnya, membuat undang-undang yang memberi perlindungan terhadap hak-hak perempuan. kewajiban untuk memenuhi  obligation to fulill. Kewajiban ini menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah yang perlu guna menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warga negaranya. Misalnya, pemenuhan hak atas pekerjaan, layanan kesehatan, atau 3 Lihat dalam Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, 2009 2 Frequently Asked Question on Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, Ofice of the United Nations High Commissioner for Human Rights 3 Lihat dalam Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, 2009 Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 36 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 standar hidup yang layak. kewajiban untuk mempromosikan  obligation to promote. Kewajiban ini menuntut negara untuk mempromosikan HAM dan setiap aspek penyelenggaraan negara dan kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, kelalaian negara dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban ini merupakan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut, sejumlah instrumen internasional yang terkait dengan perlindungan pekerja migran, antara lain: 4 Universal Declaration of 1. Human Rights Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Deklarasi ini diakui sebagai prinsip dasar yang diterima oleh semua Negara yang menyatakan diri sebagai anggota PBB. Pasal 22 hingga 27 DUHAM mencantumkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak yang diperoleh setiap orang 4 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, 2009 sebagai anggota masyarakat. Hak yang diakui mencakup: hak atas jaminan sosial; hak untuk bekerja; hak untuk memperoleh pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama; hak untuk beristirahat; hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. International Covenant on 2. Economic, Social and Cultural Rights Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya 5 Pasal 2 1 Kovenan menegaskan kewajiban negara: Setiap negara secara sendiri atau pun dengan bantuan internasional dan kerja kooperatif dengan negara lain, mengusahakan sumber-sumber untuk pemenuhan hak-hak yang telah diakui dalam konvensi, termasuk mengusahakan adanya peraturan hukum formal . Hak- hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang diatur mecakup: hak untuk bekerja pasal 6; hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik pasal 7; hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi perpekerjaan pasal 8; 5 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan UU No. 11 Tahun 2005 4 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, 2009 5 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan UU No. 11 Tahun 2005 Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 37 hak atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial pasal 10; hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak pasal 11. International Covenant on Civil 3. and Political Rigths Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik 6 Pasal 2 Kovenan mengatur kewajiban setiap negara pihak untuk menghormati hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa perbedaan apa pun, seperti: ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, dan asal-usul kebangsaan. Kovenan ini menegaskan hak hidup bahwa, tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang pasal 6; bebas dari penyiksaan, perlakukan atau hukuman yang kejam, atau merendahkan martabat pasal7; bebas dari perbudakan pasal 8; bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang pasal 10. Convention on the Elimination 4. of All Forms of Discrimination against Women Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 6 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan UU No. 11 Tahun 2005 Konvensi ini mendeinisikan “diskriminasi terhadap perempuan” Pasal I sebagai: “setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apa pun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”. Konvensi ini antara lain menyebutkan bahwa Negara peserta wajib melakukan langkah-tindak yang tepat, termasuk membuat peraturan perundang-undangan di semua bidang, khususnya bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin bahwa mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi perempuan dan kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki Pasal 3. Secara khusus, pada 5 Desember 2008, Komite CEDAW mengeluarkan 6 Indonesia telah meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini dengan UU No. 11 Tahun 2005 Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 38 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 General Recommendation No. 26 on women migrant workers, CEDAWC2009 WP.1R Rekomendasi Umum No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran. Rekomendasi ini mencakup hal-hal sebagai berikut: menerapkan prinsip-prinsip  HAM dan kesetaraan gender; faktor-faktor yang  mempengaruhi migrasi perempuan; persoalan-persoalan HAM  berdasarkan jenis kelamin dan gender yang berkaitan dengan perempuan migran; dan rekomendasi kepada Negara  peserta. ILO Conventions 5. Konvensi- Konvensi ILO terkait, antara lain: 7 Konvensi No. 29 tentang Kerja  Paksa; Konvensi No. 98 tentang  Berlakunya Dasar-dasar atas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama; Konvensi No. 100 tentang  Kebebasan Berasosiasi dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi; Konvensi No. 105 tentang  Penghapusan Kerja Paksa; 7 Indonesia telah meratiikasi semua Kon- vensi ILO berikut ini. Konvensi No. 111 tentang  Diskriminasi dalam Pekerjaan atau Jabatan; Konvensi No. 138 tentang Usia  Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja; Konvensi No. 182 tentang  Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk- bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Landasan Aksi dan Deklarasi 6. Beijing Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing menekankan perempuan pekerja migran sebagai kelompok rentan mengalami kekerasan. Karena itu, pemerintah didesak untuk mendirikan pelayanan- pelayanan bagi perempuan pekerja migran termasuk yang menjadi korban kekerasan berbasis gender, mengenali kerawananan yang dialami perempuan pekerja migran dan mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan yang dilakukan kepada mereka, baik di tempatnya bekerja maupun di negara asal Bab II D, paragraf 125 International Convention on the 7. Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members 7 Indonesia telah meratiikasi semua Konvensi ILO berikut ini. Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 39 of Their Families Konvensi Internasional Perlindungan Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Konvensi yang sering disebut Konvensi Migran 1990 ini merupakan instrumen internasional HAM utama yang mengatur mengenai perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya. Oleh karena itulah, negara-negara di dunia didorong untuk meratiikasi dan mengundangkan Konvensi ini. Perlindungan Pekerja Migran Berdasarkan Konvensi Migran Lahirnya Konvensi Migran 1990 merupakan jawaban keyakinan atas kebutuhan untuk menetapkan perlindungan internasional pada hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya, penegasan kembali, dan penetapan norma- norma dasar dalam Konvensi yang menyeluruh yang dapat diterapkan secara universal. Secara garis besar, Konvensi Migran dapat dikategorisasi dalam 7 bagian besar sebagai berikut: 1. Deinisi dan Ruang Lingkup Pekerja Migran: Deinisi dan ruang lingkup Konvensi Migran 1990 dituangkan dalam Bagian I Pasal 1- 6. Pekerja migran dideinisikan sebagai seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara tempat ia bukan menjadi warga negara. Konvensi mengkategorisasi pekerja migran menjadi pekerja frontir, pekerja musiman, pelaut, pekerja di instalasi lepas pantai, pekerja keliling, pekerja proyek, pekerja dengan pekerjaan tertentu, dan pekerja mandiri. Konvensi juga mengidentiikasi pekerja migran dan anggota keluarganya yang dianggap terdaftar atau berada dalam situasi biasa, maupun pekerja migran dan anggota keluarganya yang dianggap tidak terdaftar atau berada dalam situasi tidak biasa. 2. Prinsip Non Diskriminasi Bagian II dari Konvensi ini hanya terdiri atas 1 pasal yaitu Pasal 7 yang menyatakan bahwa tidak adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya yang menjadi subyek dari konvensi ini. Semua pekerja migran dianggap setara dan setiap negara pihak ini wajib menghormati dan menjamin hak-hak dari pekerja migran. 3. Penjabaran Hak-Hak Asasi Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 40 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Bagian III Konvensi terdiri atas 24 pasal yang semuanya secara terperinci membahas mengenai hak asasi yang dimiliki oleh seorang pekerja migran dan semua anggota keluarganya. Hak tersebut adalah: Hak untuk datang dan  pergi dari negara tempat mereka bekerja juga negara asal mereka selama tidak melanggar hukum Pasal 8. Hak hidup yang dilindungi  oleh hukum Pasal 9. Hak untuk mendapatkan  perlakuan yang manusiawi sehingga bebas dari perlakuan yang menyiksa dan kejam Pasal 10. Hak bebas dari kerja paksa  atau perbudakan Pasal 11, deinisi dari kerja paksa dan perbudakan di luar dari yang terdapat di Pasal 11 ayat 4. Hak untuk memilih dan  menganut agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan mereka masing- masing Pasal 12. Hak untuk mengeluarkan  dan menerima pendapat dan berekspresi secara lisan dan tulisan Pasal 13 dengan p e m ba t a s a n - p e m ba t a s a n yang terdapat pada Pasal 13 Ayat 3. Hak untuk mendapat  perlindungan hukum dari sasaran campur tangan orang lain terhadap kebebasan pribadinya Pasal 14. Hak untuk mendapat  perlindungan hukum terhadap hak milik secara individual maupun bersama dengan orang lain Pasal 15. Hak untuk mendapat  perlindungan dari negara terhadap kekerasan baik secara isik maupun intimidasi dari individu, kelompok maupun institusi negara Pasal 16 Ayat 1-4: hak untuk mendapatkan a. informasi mengenai alasan penangkapan dengan bahasa yang mereka mengerti Ayat 5; hak untuk diadili secepatnya b. bila menjadi terdakwa dalam tuntutan kriminal Ayat 6; hak-hak yang dimiliki oleh c. pekerja migran bila dirinya ditahan: hak untuk diwakili oleh konsuler atau pejabat diplomatik negara asalnya, hak untuk berkomunikasi dengan otoritas tersebut, Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 41 hak untuk diberi tahu mengenai hak-hak yang dimilikinya, hak untuk mendapatkan penerjemah Ayat 7, 8; hak mendapatkan d. kompensasi bila penahanan dan penangkapan pekerja migran tersebut tidak sah Ayat 9. Hak pekerja migran dalam  tahanan di negara tempat dia bekerja Pasal 17: hak mendapatkan a. perlakuan manusiawi dan dihormati martabat dan identitas budayanya selama penahanan; hak dipisahkan dari tahanan b. lain sesuai dengan umur dan jenis kelamin; hak untuk dipisahkan c. dengan tahanan lain bila menjadi terdakwa dalam masalah keimigrasian; hak untuk dipisahkan dari d. terpidana dewasa dan diperlakukan sesuai umur mereka dengan terpidana yang masih muda usianya; hak untuk dikunjungi e. selama penahanan dan pemenjaraan; hak untuk diperhatikan f. masalah-masalah yang dapat menimpa keluarga mereka dalam tahanan oleh otoritas yang berwenang. Hak untuk menerima hak yang  sama dengan warga negara lain dalam tahanan Hak yang didapat di depan pengadilan Pasal 18: hak mendapatkan hak a. yang sama dengan warga negara lain di hadapan pengadilan Ayat 1; hak untuk menyatakan b. diri tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum Ayat 2; hak-hak lain berkaitan c. dengan tuduhan kriminal terhadap pekerja migran, hak tersebut antara lain diadili, hak diberi tahu dengan bahasa yang mereka mengerti, hak mendapat waktu, pembela, dan fasilitas untuk persiapan pembelaan mereka di hadapan pengadilan, hak untuk membela diri, hak diperiksa dan mendapatkan pemeriksaan saksi- saksi, hak mendapatkan penerjemah, hak untuk Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 42 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 menolak bersaksi untuk memberatkan diri atau mengaku salah Ayat 3; hak untuk meminta d. peninjauan kembali terhadap kasusnya Ayat 4; hak untuk tidak menjalani e. atau dikenai hukuman terhadap pelanggaran yang telah dia jalani hukumannya Ayat 5. Hak untuk tidak dipenjarakan  akibat kegagalan pemenuhan kontrak Pasal 20. Hak-hak dalam proses  pemulangan pekerja migran Pasal 21. hak untuk tidak dipulangkan a. secara kolektif Pasal 22 Ayat 1; hak diberitahukan b. mengenai pemulangan dengan bahasa yang dimengerti Pasal 22 Ayat 3; hak mendapat kompensasi c. jika keputusan pemulangan yang telah dilakukan lalu dibatalkan Pasal 22 Ayat 5; hak menuntut gaji atau hak- d. hak lain serta kewajibannya sebelum atau sesudah keberangkatan ke negara asal Pasal 22 Ayat 6; hak untuk memasuki e. wilayah negara lain selain negara asalnya saat pelaksanaan pemulangan dengan catatan tidak merugikan pelaksanaan keputusan pemulangan Pasal 22 Ayat 6; hak dibiayai dalam f. pemulangan Pasal 22 Ayat 7. Hak untuk mendapatkan  perlindungan dan bantuan konsuler atau otoritas diplomatik dari negara asal atau negara yang mewakili kepentingan negara Pasal 23: Hak untuk diakui sebagai  manusia di depan hukum Pasal 24; Hak untuk mendapat  perlakuan yang sama dengan warga negara dalam masalah pemberian upah Pasal 25, hak ini dijamin oleh negara Pasal 25 Ayat 3; Hak untuk ikut dalam suatu  organisasi dan serikat buruh Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 43 Pasal 26; Hak menikmati perlakuan yang  sama dengan warga negara berkenaan dengan jaminan sosial sepanjang memenuhi persyaratan yang diperlakukan oleh UU yang berlaku di negara tersebut Pasal 27; Hak menerima perawatan  medis untuk kelangsungan hidup Pasal 28; Hak anak untuk mendapat  nama, pendaftaran kelahiran, dan kebangsaan Pasal 29; Hak anak atas pendidikan  sama seperti warga negara lain Pasal 30; Hak mentransfer penghasilan  atau tabungan mereka juga harta benda dan hak milik mereka saat masa penghentian izin tinggal mereka di negara pemberi kerja Pasal 32; Hak untuk mendapatkan  informasi tanpa biaya dengan bahasa yang mereka mengerti oleh negara asal, negara pemberi kerja, atau negara transit mengenai hak mereka yang tercantum dalam konvensi ini, syarat izin, hak dan kewajiban di bawah hukum Pasal 33. 4. Hak-hak Lain yang Dimiliki Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang Terdaftar atau yang Berada dalam Situasi Biasa Bagian IV Konvensi terdiri atas 21 pasal yang semuanya merinci hak-hak lain yang dimiliki oleh pekerja migran yang terdaftar sebagai tambahan selain hak- hak yang telah disebutkan sebelumnya di Bagian III, yaitu : dalam pasal 36 disebutkan  bahwa yang dapat menikmati hak-hak yang ada dalam konvensi ini hanyalah para pekerja migran dan anggota keluarganya yang terdaftar dalam situasi normal di dalam negara pemberi kerja. Hak untuk memberi tahu  kepada negara asal dan negara tujuan mengenai syarat-syarat yang berlaku bagi izin kerja mereka,terutama tentang izin tinggal dan kegiatan pengupahan Pasal 37. Hak untuk keluar sementara  berlibur atau cuti dari negara pemberi kerja dan juga hak untuk diberi tahu syarat- syaratnya Pasal 38. Hak untuk bebas bergerak di  wilayah negara yang mereka tinggali Pasal 39 Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 44 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Hak untuk berkumpul dan  mendirikan organisasi Pasal 40. Hak untuk ikut serta dalam  persoalan publik negara asal serta memilih dan dipilih pada pemilihan di negara tersebut, sesuai perundang-undangan, juga hak untuk mendapat fasilitas guna melaksanakan hak tersebut dari negara- negara bersangkutan Pasal 41. Hak untuk tetap menjadi warga  negara asal mereka dan hak ini difasilitasi oleh negara-negara yang bersangkutan juga hak politik di negara pemberi kerja Pasal 42. Hak warga negara setempat  yang berhubungan dengan bidang pendidikan, pelatihan, perumahan, layanan sosial dan kesehatan, kebudayaan, perlindungan terhadap pemecatan, tunjangan pengangguran, dan hak mengenai pengupahan Pasal 43. Hak perlindungan akan  persatuan keluarga Pasal 44. Hak menikmati perlakuan  yang sama dengan penduduk negara itu berkaitan dengan pendidikan, layanan sosial, kesehatan, dan budaya Pasal 45. Hak bebas bea impor dan  ekspor dan pajak terhadap barang-barang pribadi dan rumah tangga mereka maupun perlengkapan dalam hubungan dengan pengupahan yang diakui pemberi kerja Pasal 46. Hak untuk transfer pendapatan  ke negara asal pekerja migran Pasal 47. Hak pekerja migran untuk  mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal perpajakan seperti warga negara di tempat pekerja migran bekerja Pasal 48. Hak-hak untuk situasi-situasi  khusus dalam kaitannya dengan proses pengupahan Pasal 49. Hak-hak yang menyangkut  kegiatan keluarga seperti kematian dan pernikahan maka ada pertimbangan dari negara tujuan untuk memberi izin anggota keluarga untuk bersatu Pasal 50. Hak-hak dalam kegiatan  pengupahan Pasal 51 dan Pasal 52. Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 45 Hak-hak yang dimiliki anggota  keluarga pekerja migran bilamana mereka mendapat izin menetap dan tinggal tanpa batas waktu tertentu Pasal 53. Hak untuk mendapatkan  perlakuan yang sama dengan warga negara dalam hal pemecatan dan pengangguran Pasal 54. Hak mendapat perlakuan yang  sama dengan warga negara di negara tempat mereka bekerja dalam kegiatan pengupahan Pasal 55. Pekerja migran dan anggota  keluarganya tidak boleh diusir dari negara tempat bekerja, kecuali berdasarkan perundang-undangan nasional dari negara tersebut dan tunduk pada rambu-rambu hukum yang dicantumkan dalam Bagian III Pasal 56. 5. Ketetapan-ketetapan yang Berlaku bagi Kategori Pekerja Tertentu dan Anggota Keluarganya Kategori pekerja migran yang  dapat menikmati hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini Pasal 57. Kategori pekerja migran yang  termasuk dalam konvensi ini adalah pekerja perbatasan Pasal 58. Yang dimaksudkan sebagai  pekerja musiman Pasal 59. Yang termasuk ke dalam  lingkup pekerja keliling Pasal 60. Yang termasuk pekerja  proyek Pasal 61. Yang termasuk ke dalam  kategori pekerja khusus Pasal 62. Yang dimaksudkan sebagai  pekerja mandiri Pasal 63. 6. Promosi Mengenai Kondisi Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dalam Hubungan Migrasi Internasional: Kerja sama antar negara  untuk mempromosikan kondisi yang sehat, wajar, dan manusiawi berkaitan dengan migrasi para pekerja migran dan anggota keluarganya, termasuk kebutuhan sosial, ekonomi, budaya, dan kebutuhan lainnya Pasal 64. Pelayanan negara-negara  anggota yang berkaitan Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 46 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Pasal 71. 7. Aplikasi Konvensi dengan Pensyaratan dan Pembatasan oleh Negara Peserta Bagian VII - IX mencakup 22 pasal, yang mengatur pembentukan Komite untuk Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, ketentuan-ketentuan penerapan Konvensi, serta mekanisme menjadi Negara Pihak. Kerentanan Khusus Pekerja Migran Salah satu landasan lahirnya Konvensi Migran 1990 adalah kerentanan khusus pekerja migran. Situasi kerentanan yang sering kali dialami pekerja migran dan anggota keluarganya, antara lain terletak pada ketidakberadaannya di negara asal dan pada kesulitan-kesulitan yang mungkin mereka hadapi, yang timbul karena keberadaan mereka di negara tujuan tempat mereka bekerja, merupakan salah satu pertimbangan mendasar pentingnya keberadaan sebuah instrumen HAM yang melindungi pekerja migran. Pada saat yang sama, hak pekerja migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai di mana pun, dan karenanya membutuhkan perlindungan internasional yang dengan masalah migrasi internasional pekerja migran dan anggota keluarganya Pasal 65. Hak untuk melakukan  perekrutan pekerja Pasal 66. Kerja sama negara-  negara anggota mengenai pemulangan dan promosi untuk kondisi ekonomi yang wajar bagi pekerja migran dan anggota keluarganya Pasal 67. Pencegahan dan  penghapusan kegiatan- kegiatan ilegal terhadap pekerja migran Pasal 68. Pencegahan situasi yang  tidak pasti terhadap pekerja migran dan anggota keluarganya Pasal 69. Negara-negara anggota  melakukan tindakan yang sama terhadap pekerja migran dan anggota keluarga sama seperti memperlakukan warga negaranya sendiri Pasal 70. Pemberian fasilitas dan  kompensasi terhadap kematian pekerja migran dan anggota keluarganya Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 47 layak. Kenyataan menunjukkan bahwa migrasi kerap mengakibatkan masalah-masalah yang serius bagi anggota keluarga para pekerja migran dan juga bagi pekerja migran, khususnya karena tersebarnya keluarga. Masalah-masalah kemanusiaan dalam migrasi lebih serius dan tidak biasa. Pekerja migran yang tidak didokumentasikan atau yang berada dalam situasi yang tidak biasa kerap dipekerjakan dalam kondisi kerja yang lebih buruk dibandingkan dengan pekerja lain, dan bahwa beberapa majikan berupaya mencari pekerja-pekerja ini untuk memperoleh keuntungan dalam persaingan yang tidak wajar. Lebih lanjut, meskipun migrasi dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, migrasi sama sekali bukanlah fenomena netral gender. Kedudukan perempuan migran berbeda dari kedudukan laki-laki migran dari segi keabsahan jalur migrasi, sektor tempat mereka bermigrasi, bentuk-bentuk penganiayaan yang mereka derita beserta konsekuensinya. Untuk memahami bagaimana dampaknya secara pasti terhadap perempuan, migrasi perempuan hendaknya dipelajari dari sudut pandang ketimpangan gender, peran tradisional perempuan, pasar tenaga kerja yang terkotak- kotak menurut gender, terjadinya kekerasan berdasarkan gender yang umum dijumpai di mana- mana, dan semakin banyaknya kemiskinan dan migrasi tenaga kerja di kalangan perempuan di seluruh dunia. Oleh sebab itu, pengintegrasian perspektif gender adalah penting bagi analisis terhadap kedudukan perempuan migran dan penyusunan kebijakan untuk melawan diskriminasi, eksploitasi, dan penganiayaan. Laporan Indonesia tahun 2004 kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, menyebutkan lokasi dan manifestasi kerentanan pekerja migran perempuan adalah: lokasi kerentanan mencakup seluruh fase migrasi, mulai dari proses perekrutan, tempat penampungan, hingga proses pemulangan ke tempat asal. Manifestasi dan kerentanan mereka terlihat dalam arena perdagangan perempuan, 8 kriminalitas korban, rumah tahanan dan penjara, deportasi, status kesehatan, dan kekerasan. 8 Global Alliance against Trafic in Women GAATW, Beyond Borders: Exploring Traficking’s Links to Gender, Migration, Labour, Globalisation and Security, GAATW Working Papers Series 2010, Global Alliance Against Trafic in Women 8 Global Alliance against Trafic in Women GAATW, Beyond Borders: Exploring Traficking’s Links to Gender, Migration, Labour, Globalisation and Security, GAATW Working Papers Series 2010, Global Alliance Against Trafic in Women Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 48 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Rekomendasi Umum No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran menegaskan bahwa Konvensi Migran 1990 melindungi individu, termasuk perempuan migran, atas dasar status migrasinya, sedangkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melindungi semua perempuan, termasuk perempuan migran, terhadap diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan gender. Meskipun migrasi memberikan kesempatan baru kepada perempuan dan dapat menjadi sarana pemberdayaan ekonomi perempuan melalui partisipasi yang lebih luas, migrasi juga dapat menempatkan hak asasi dan keamanan perempuan dalam risiko bahaya. Oleh sebab itu, Rekomendasi Umum No. 26 ini bertujuan menjabarkan keadaan- keadaan yang menimbulkan kerawanan khas yang dialami oleh banyak perempuan pekerja migran dan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan gender yang mereka alami sebagai akibat pelanggaran hak asasi mereka sebagai manusia. Pekerja migran di sektor domestik dan pekerja migran yang tidak berdokumen sangat rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi karena tidak adanya kerangka hukum yang melindungi. Pekerja migran tak berdokumen mengalami kekerasan dan kehilangan haknya sebagai manusia karena tidak berdokumen. Padahal, keberadaan mereka juga perlu dilihat dalam konteks kebijakan negara misalnya, hasil dari kesepakatan antarnegara Memorandum of Understanding MoU yang mensahkan penahanan paspor oleh majikan. 9 Upaya perlindungan pekerja migran, baik langsung maupun tidak langsung, tidak boleh digunakan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu pendatang perempuan, pekerja seks, atau kelompok rentan lainnya atau pun melanggar hak asasi seseorang sebagaimana diatur dan dilindungi di dalam instrumen hukum HAM, seperti hak dasar manusia untuk meninggalkan negaranya, bermigrasi secara legal, dan mencari penghidupan. Oleh karena itu, harus ada jaminan bahwa korban eksploitasi migrasi tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif baik dalam praktik hukum maupun 9 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, 2009 9 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, 2009 Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 49 dalam menerima perlindungan, khususnya berkenaan dengan gender. Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi sebagai salah satu ketentuan fundamental HAM. Rekomendasi Umum No. 26 memaparkan pula persoalan- persoalan HAM berdasarkan jenis kelamin dan gender yang berkaitan dengan perempuan migran. Secara khusus, pekerja migran perempuan, terutama yang bekerja pada sektor domestik dan migran yang tidak berdokumen irregular, memiliki kerentanan yang tinggi untuk mengalami tindak pelanggaran HAM. Jenis kelamin, karakter, tempat locus pekerjaan, dan status hukum menjadi alasan tingginya tingkat kerentanan tersebut. Perlindungan Pekerja Migran Indonesia? Filosoi Indonesia terhadap pekerja migran pada prinsipnya sejalan dengan kerangka HAM. Kebebasan setiap orang memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali Pasal 28E Ayat 1, UUD 1945 Amandemen; dan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 Amandemen, merupakan alasan seseorang memutuskan menjadi pekerja migran. Secara bersamaan, perlindungan pekerja migran Indonesia atau yang disebut Tenaga Kerja Indonesia TKI menjadi kewajiban negara. Ironisnya, dalam konteks Indonesia, perlindungan pekerja migran masih merupakan tanda tanya besar. Berbagai data menunjukkan peningkatan jumlah berbanding terbalik dengan perlindungan pekerja migran Indonesia. Berbagai studi menyebutkan push and pull factors dari migrasi, termasuk faktor kemiskinan yang berkorelasi dengan migrasi. Kemiskinan, atau menurut sebagian kalangan, lebih tepat disebut pemiskinan sebagai dampak pembangunan yang tidak berkeadilan, selalu menjadi faktor utama seseorang bermigrasi. Tidak salah jika model migrasi seperti ini dikategorikan sebagai forced migration, migrasi yang dilakukan secara terpaksa Hidayah, 2010. Menjadi pekerja migran adalah strategi terakhir untuk mempertahankan hidup. Dari besaran pekerja migran, penting pula dicermati bahwa tingginya jumlah perempuan pekerja migran, sejalan dengan menguatnya feminisasi kemiskinan dan migrasi di Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 50 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 khususnya negara-negara berkembang. Feminisasi migrasi didorong oleh terbatasnya akses yang dimiliki perempuan terhadap kesempatan kerja di negara asal, akibat keterbatasan pendidikan yang diterima, selain juga akibat stereotip sosial budaya yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan domestik keluarga. Diperkirakan pekerja migran Indonesia di luar negeri berjumlah lebih dari 6 juta jiwa. Sebagian besar mereka atau sekitar 79 adalah perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga PRT migran. Ada tiga hal yang menggambarkan kondisi dan situasi kerja PRT migran saat ini, yaitu dark, dirty, and dangerous. Secara khusus, persoalan seksualitas dan reproduksi sangat lekat dengan berbagai pengalaman buruk PRT migran Indonesia. Situasi PRT migran berada dalam area “privat” yang bersifat “hidden”, sehingga sangat rentan terhadap pelanggaran HAM. Inilah mengapa tahun 2010 dan 2011, negara-negara dunia memberi perhatian besar dalam pembentukan Konvensi ILO mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. 10 Studi juga menunjukkan fenomena pekerja migran Indonesia yang dideportasi karena mereka tidak berdokumen. Sebagian besar mereka adalah perempuan, yang menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi dimulai dari tempat mereka bekerja hingga kepulangan. 11 Saat pemulangan misalnya, keberadaan Terminal TKI adalah praktik terlembaga dan sistematis dalam bentuk pemerasan, diskriminasi, pungutan liar, dan praktik-praktik lainnya yang merugikan pekerja migran Indonesia. 12 Berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan dan kerentanan yang pernah dialami oleh perempuan pekerja migran, yang dihimpun oleh Komnas Perempuan bersumber dari berbagai forum konsultasi dengan jaringan kerja: 13 12 Eksploitasi saat pemulangan terjadi antara lain mulai dari Terminal “khusus bagi TKI” atau Terminal 3 di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta -yang kemudian diubah menjadi Gedung Pendataan Kepulangan TKI -; ongkosbiaya pengangkutan yang tidak wajar, kekerasan, premanisme, dan sebagainya, hingga TKI tiba di daerah asal. 13 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, 10 Sangat disayangkan dalam ILO Conference 2010, Pemerintah Indonesia tidak memperlihatkan tanggapan positif dalam rencana pembentukan Konvensi ILO mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. 11 Lebih lengkap dapat dilihat dalam: Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives for the Protection of their Rights, Indonesian Country Report to the UN Special Repporteur on the Human Rights of Migrants, Komnas Perempuan-CARAM Indonesia, 2003 12 Eksploitasi saat pemulangan terjadi antara lain mulai dari Terminal “khusus bagi TKI” atau Terminal 3 di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta -yang kemudian diubah menjadi Gedung Pendataan Kepulangan TKI -; ongkos biaya pengangkutan yang tidak wajar, kekerasan, premanisme, dan sebagainya, hingga TKI tiba di daerah asal. 13 Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Op.Cit Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 51 Tabel 1. Hak yang Dilindungi dan Indikasi Pelanggaran Hak Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin Terjadi Hak atas Pekerjaan dan Sumber Penghidupan Terjerat hutang Mengalami penipuan, tidak jadi berangkat ke negara tujuan Menunggu keberangkatan terlalu lama Diselundupkan tanpa dokumen yang sah Dipalsukan identitas diri untuk kepentingan kerja Gaji tidak dibayar Gaji dibayar setengahtidak sesuai perjanjian Pemotongan gaji di luar prosedur Over charging Bekerja melebihi masa kontrak Tempat bekerja tidak seperti dalam perjanjian Bekerja melebihi jam kerja Pelarangan berkumpul dan mendirikan serikat pekerja Penolakan untuk ijin cuti, istirahat mingguan pembayaran biaya lembur. Kondisi kerja yang tidak layak, buruk, atau berbahaya Tidak ada upaya hukum terhadap pelanggaran hak pekerja Pemberian paspor, visa, dan dokumen lain yang bukan merupakan dokumen untuk menjadi pekerja migran Paspor dan dokumen lain dihilangkan diambildipegang pihak lain Pembatasan kebebasan untuk berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 52 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin Terjadi Hak atas Kesehatan Reproduksi Pemeriksaan kesehatan tanpa izin yang bersangkutan Pemaksaan penggunaan kontrasepsi Pemaksaan aborsi Dipaksa bekerja dalam keadaan sakit Tidak mendapatkan layanan kesehatan ketika sakit Tidak ada jaminan keselamatan kerja Hak atas Hidup, Kemerdekaan, Kesetaraan, Integritas Diri, dan Bebas dari Kekerasan Dijual ke perusahaan penyalur tenaga kerja yang lain Perkosaan Pelecehan seksual Penyiksaan Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat Pembunuhan Perbudakantindakan setara perbudakan Penyekapan Perdagangan perempuan Dijualdipekerjakan ke beberapa majikan Mendapat ancamanintimidasi Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 53 Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin Terjadi Hak atas Kesetaraan di depan Hukum Penolakan atas asas praduga tak bersalah Tidak mendapat waktu dan fasilitas yang memadai selama proses peradilan dan di penjara Peradilan yang tidak bebas dan berpihak Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang Tidak memperoleh pengadilan yang secepatnya Tidak mendapat akses ke pengadilan Tidak mendapat bantuan pembela Pelanggaran hak-hak narapidana Hak atas Standar Hidup dan Jaminan Sosial Asuransi tidak dibayarkan, tidak bisa diklaim Pembatasan akses terhadap layanan kesehatan Tindakan yang melanggar hak-hak atas makanan yang sehat Pembatasan akses terhadap lingkungan yang sehat Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 54 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Kategori Hak yang Dilindungi Pelanggaran yang Mungkin Terjadi Hak Sipil Politik Keluarga tidak mendapat informasi memadai tentang keberadaan perempuan pekerja migran Larangan berkomunikasi dengan keluargateman Hilang kontak Pembatasan terhadap akses mendapatkan informasi Pembatasanlarangan hak untuk berkumpul, berserikat, atau berorganisasi Laranganpembatasan untuk mengenakan pakaian tertentu Laranganpembatasan hak untuk kembalipulang ke tempatnegara asal Deportasi Larangan beribadah Hak atas Budaya Pembatasan penggunaan bahasa tertentu Pembatasan praktik budaya tertentu Sumber: Komnas Perempuan dan Komnas HAM, 2009 Terdapat beberapa permasalahan seputar perlindungan pekerja migran Indonesia. Pertama, di tingkat peraturan perundang- undangan mengenai pekerja migran, pada tahun 2004, Indonesia memberlakukan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri UU PPTKILN. Ironisnya, UU yang sempat menjadi tumpuan harapan adanya perlindungan bagi pekerja migran ini justru meninggalkan banyak celah terjadinya pelanggaran hak-hak pekerja migran, karena tidak banyak menyentuh agenda “perlindungan” ketimbang aspek “penempatan” dan Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 55 komoditisasi pekerja migran. UU ini juga cenderung menegasikan keberadaan pekerja migran tidak berdokumen, padahal pada kenyataannya jumlah pekerja migran tidak berdokumen diperkirakan jauh lebih banyak daripada pekerja migran berdokumen. Sejak diundangkan, UU ini banyak menuai protes dari berbagai pihak dengan kepentingan yang beragam. Pada 27 Februari 2006, Presiden telah menginstruksikan agar UU ini diamandemen. Namun, ironisnya, instruksi tersebut tidak mengarah kepada perbaikan perlindungan, namun agar migrasi tenaga kerja ke luar negeri dipermudah. Instruksi tersebut tertuang dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 mengenai paket kebijakan perbaikan iklim investasi. Dalam Bab IV huruf b, Presiden memandatkan Menakertras untuk mengajukan draft revisi UU PPTKILN kepada DPR, dengan menghapus persyaratan bahwa Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta PPTKIS wajib memiliki unit pelatihan kerja untuk mendapatkan izin atau SIUP. Kemudahan tersebut merupakan skema untuk memenuhi target pengiriman pekerja migran. Terkait dengan anak, UU PPTKILN mengatur mengenai ketentuan usia minimum menjadi TKI di luar negeri, yaitu dalam Pasal 35 lihat Sagala, 2010, yang menyatakan: Perekrutan calon TKl oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: berusia sekurang-kurangnya 18 a. delapan belas tahun kecuali bagi calon TKl yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang- kurangnya berusia 21 dua puluh satu tahun; sehat jasmani dan rohani; b. tidak dalam keadaan hamil c. bagi calon tenaga kerja perempuan; dan berpendidikan sekurang- d. kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertarna SLTP atau yang sederajat. Artinya, selain menekankan bahwa anak dan yang belum berpendidikan sekurang- kurangnya lulus SLTP atau sederajat, tidak boleh menjadi TKI, UU PPTKILN juga mengatur bahwa khusus bagi calon TKl yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan harus sekurang-kurangnya berusia 21 tahun. “Pengguna perseorangan” dalam hal ini Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 56 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 dapat dimaknai sebagai pemberi kerja perorangan yang tidak bertujuan untuk menghasilkan barangjasa bernilai ekonomis. Dengan kata lain, dipekerjakan pada Pengguna perseorangan dapat diartikan bekerja dalam lingkup domestik atau “pekerjaan kerumahtanggaan” atau sebagai “pekerja rumah tangga” atau masih biasa disebut dengan istilah: pembantu rumah tangga. Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKILN menjelaskan: Dalam praktiknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian risiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi. Pasal ini telah mengalami uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Terhadap permohonan uji materiil tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan 12 April 2007 yang menyatakan dengan tegas bahwa pasal mengenai pembatasan umur minimal 21 tahun bagi seseorang untuk menjadi TKI ini tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia UUD 1945 dan dengan demikian Pasal ini tetap berlaku. Ketentuan yang diatur dalam pasal ini bukanlah penghapusan hak terhadap suatu pekerjaan, tetapi merupakan persyaratan yang dapat dibenarkan dalam rangka pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang bekerja diluar negeri. 14 UU PPTKILN, dengan demikian, secara eksplisit mengakui realitas pekerja yang yang dipekerjakan pada “Pengguna perseorangan” dapat dimaknai sebagai pemberi kerja perorangan yang tidak bertujuan untuk 14 Permohonan uji materiil ini dimohonkan oleh 9 calon TKI yang akan dipekerjakan ke luar negeri. Namun, keberangkatan mereka ditolak pemerintah, dengan alasan usia ke-9 calon TKI belum mencapai 21. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan dalam UU PPTKI itu juga sudah diatur sebelumnya dalam International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR, yang telah diratiikasi pemerintah dengan UU No. 11 Tahun 2005. Menurut majelis, pembatasan usia itu juga harus diartikan untuk melindungi para TKI dari pelecehan seksual atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan SARA. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, permohonan pemohon dinyatakan tidak beralasan, sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak detikNews, 120407. Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 57 menghasilkan barangjasa bernilai ekonomis, atau dengan kata lain, dipekerjakan pada Pengguna perseorangan dapat diartikan bekerja dalam lingkup domestik atau “pekerjaan kerumahtanggaan” atau sebagai “pekerja rumah tangga” atau masih biasa disebut “pembantu rumah tangga”, dan untuk itu menentukan usia minimum 21 tahun untuk jenis pekerjaan ini. Pertimbangan utama mengenai penetapan usia minimum ini dengan memperhatikan unsur “dalam praktiknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna”, “yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual”, dan “pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi”, sehingga “dengan demikian risiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.” Sayangnya, cuplikan kecil ini tenggelam dengan buruknya sistem perlindungan secara keseluruhan. Sebagai contoh, hingga kini Indonesia belum memiliki sistem perlindungan PRT. Meski Program Legislasi Nasional telah mencantumkan RUU Perlindungan PRT sebagai salah satu RUU yang harus dibahas oleh pemerintah dan DPR tahun ini, komitmen politik pemerintah maupun sebagian besar kepentingan di DPR memperlambat proses penggodokan RUU ini menjadi UU. Sejalan dengan itu, mengenai “kesetaraan gender” sebagaimana dimuat di Bagian Penjelasan UU PPTKILN, nampaknya tak lebih hanya untaian huruf yang tak bermakna. Bagian Penjelasan UU PPTKILN menyatakan: “... Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi....” Kedua, selain UU PPTKILN peraturan lainnya antara lain: a Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 58 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Inpres No 6 Tahun 2006 2 Agustus 2006 tentang Kebijaksanaan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran; b Permenakertrans No: PER19 MEN V2006 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri 12 Mei 2006; dan c Peraturan Presiden No 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia 8 September 2006. Kelahiran BNP2TKI pada kenyataannya telah menciptakan konlik berkepanjangan antara Depnakertrans dan BNP2TKI, yang berakibat terabaikannya perlindungan pekerja migran. Berbagai ketentuan perundang- undangan lebih banyak mendelegasikan kewajiban negara dalam melindungi pekerja migran, kepada para pebisnis yang selalu berorientasi pada proit. Dengan peran PPTKIS yang sangat dominan, mulai dari pendidikan calon pekerja migran, pengurusan dokumen, hingga penempatan pekerja migran, perlindungan pekerja migran menjadi jauh dari kerangka penegakan HAM. Ketiga, belum diratiikasinya Konvensi Migran 1990 dan tidak efektifnya implementasi instrumen ASEAN: ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers 2008. Pada tanggal 22 September 2004, Menteri Luar Negeri, atas nama Pemerintah Indonesia, telah menandatangani Konvensi Migran 1990. Meskipun peratiikasian dan pengundangan Konvensi menurut Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009, seharusnya diratiikasi pada tahun 2005, hingga kini Konvensi ini belum diratiikasi. Padahal peratiikasian Konvensi ini sangat penting dan telah memenuhi alasan ilosois, yuridis, dan sosiologis dari lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan Komnas Perempuan, 2009. Sebagai tambahan, dengan fakta tingginya jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia, ditambah banyaknya pekerja migran Indonesia yang mengalami kekerasan dan meninggal dunia di Malaysia, pemerintah juga belum efektif menggunakan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers sebagai instrumen untuk melindungi pekerja migran Indonesia di Malaysia. Keempat, lemahnya diplomasi. Salah satu upaya dalam melindungi pekerja migran yang juga wajib dilakukan pemerintah Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 59 Indonesia adalah melakukan kerja sama antar-negara baik bilateral maupun multilateral sebagaimana diamanatkan dalam UU PPTKILN Pasal 7 : Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, pemerintah berkewajiban: a. menjamin terpenuhinya hak- hak calon TKITKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri; b.mengawasi p e l a k s a n a a n penempatan calon TKI; c. membentuk dan mengembang- ka n s i s t e m i n f o r m a s i penempatan calon TKI di luar negeri; d. melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan e. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan Sebagai bagian dari upaya diplomatik, dikenal adanya Memorandum of Understanding MoU yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara tujuan penempatan. Sepanjang pengalaman Pemerintah Indonesia, terdapat MOU antara Pemerintah Indonesia dengan 9 sembilan negara yaitu: Malaysia 2 MoU, Korea Selatan G to G, Taiwan, Jepang G to G, Australia, Jordania, Kuwait, Uni Arab Emirat, dan Qatar Roostiawati, 2010. MoU adalah salah satu bentuk perjanjian internasional yang merupakan salah satu sumber hukum internasional utama. Oleh karena itu, sudah semestinya antara Indonesia dengan negara-negara tujuan penempatan lain di luar yang telah memiliki MoU dengan Indonesia, perlu diupayakan pembuatan MoU guna meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran. Bagian lain dari diplomasi adalah upaya pembelaan sebagai bagian dari perlindungan pekerja migran Indonesia yang menghadapi persoalan hukum di negara tujuan dan penegakan hukum pada kasus-kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia. Dalam hal pekerja migran yang terancam hukuman mati, misalnya, upaya diplomasi Pemerintah Indonesia masih sangat lemah dan kurang efektif. Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 60 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Penutup Melihat isu pekerja migran semata dari perspektif ekonomi dan keamanan security akan mengaburkan ilosoi perlindungan pekerja migran sebagai sebuah landasan universal. Oleh karena itu, persoalan perlindungan pekerja migran harus diletakkan sebagai persoalan HAM dan pencapaian keadilan gender. Dengan ini, sistem perlindungan pekerja migran akan menjawab realita dan perubahan, serta kompleksitas persoalan migrasi, khususnya migrasi internasional. Dalam kerangka HAM ini, kesejahteraan dimaknai secara luas, tidak semata dari aspek ekonomi, melainkan juga dalam hal pemenuhan HAM pekerja migran, tidak hanya sebagai pelaku migrasi dan pekerja, namun terlebih: sebagai manusia . Dalam konteks ini, perempuan pekerja migran, dilihat sebagai pelaku migrasi, pekerja, dan perempuan. Dengan kata lain, diperlukan sistem perlindungan pekerja migran, termasuk sistem hukum khusus perlindungan pekerja migran, yang sejalan dengan perspektif HAM dan keadilan gender. Tanpa ini, peraturan perundang-undangan yang lahir akan terbatas pada aspek ekonomi semata. Secara khusus, sangat penting bagi Indonesia untuk meratiikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families Konvensi Internasional Perlindungan Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan mengamandemen UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi UU yang sejalan dengan kerangka HAM. Kerangka HAM yang dimaksud adalah dengan mengadopsi prinsip-prinsip HAM secara komprehensif sebagaimana diatur dalam instrumen-instrumen HAM. Instrumen HAM yang dimaksud, baik yang bersifat internasional, maupun yang bersifat regional misalnya ASEAN yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip HAM universal. Selain itu, persoalan PRT, baik domestik migrasi antardaerah di dalam negeri maupun internasional, memerlukan kerangka perlindungan tersendiri, mengingat kekhasan sifat dan risiko kerjanya. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu menyusun dan memberlakukan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang berperspektif HAM dan berkeadilan gender. Indonesia seharusnya terlibat aktif dalam mendukung rencana pembentukan Konvensi ILO mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Perlindungan Pekerja Migran, HAM, dan Gender Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 61 Daftar Acuan Sagala, Valentina, R, Ellin Rozana. 2007. Pergulatan Feminisme dan HAM, HAM untuk Perempuan, HAM untuk Keadilan Sosial , Bandung: Institut Perempuan Ofice of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Frequently Asked Question on Human Rights-Based Approach to Development Cooperation Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia HAM Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM , Komnas Perempuan, Jakarta, 2009 Global Alliance against Trafic in Women GAATW, Beyond Borders: Exploring Traficking’s Links to Gender, Migration, Labour, Globalisation and Security, GAATW Working Papers Series 2010, Global Alliance Against Trafic in Women, Bangkok, 2010 Hidayah, Anis. 2010. Wajah Diplomasi Perlindungan Buruh Migran Indonesia , dalam Jurnal Diplomasi Vol. 2 No. 1, Maret Tahun 2010. Jakarta: Pusdiklat Kementerian Luar Negeri Komnas Perempuan-CARAM Indonesia. 2003. Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives for the Protection of their Rights, Indonesian Country Report to the UN Special Repporteur on the Human Rights of Migrants. Jakarta: Komnas Perempuan-CARAM Indonesia Sagala, Valentina R. 2010. “Analisa Hukum Mengenai Usia Minimum Bagi Pekerja Rumah Tangga”, Jaringan Advokasi Nasional untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga JALA-PRT, makalah Komnas Perempuan, 2009. ”Pentingnya Segera Meratiikasi Konvensi Migran 1990”, makalah, Juni Roostiawati. 2010. “Kebijakan Depnakertrans dalam Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, presentasi, Direktorat Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta, 21 Januari Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 62 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Ratih Dewayanti 1 Abstract Land tenure have been widely used as a classical approach to understand rural agrarian change, as it relects, among others, the changing socio-economic structure of the peasant society in particular territory. However, this approach has been rarely used to understand the impact of international labor migration to the ruralagrarian society. Different with other approaches being employed in other studies, this article proposes land tenure pattern as an analytical approach to investigate how the socio-economic strata from which migrant labors come is related to the type of job, country of destination and the use of remittances among the peasant-migrant households. Keywords: migrant labors, land tenure, rural, agrarian change, remittances 1 Peneliti lepas AKATIGA untuk studi-studi pedesaan. Tulisan ini bermaksud memberikan suatu pandangan metodologis untuk memahami dampak migrasi internasional dan remitansi yang menyertainya melalui perspektif penguasaan lahan oleh rumah tangga petani- buruh migran. Asumsi dasar yang digunakan dalam pendekatan ini adalah fakta bahwa sebagian besar buruh migran berasal dari pedesaan dan secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan pertanian dan penguasaan lahan. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini cukup penting digunakan untuk memahami kaitan antara migrasi internasional dan perubahan pedesaan karena pendekatan yang ada umumnya terfokus pada pola penggunaan remitansi dikaitkan dengan jenis pekerjaan, negara tujuan, besarnya upah, perilaku individu dan rumah tangga Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 63 dalam menggunakan uang, dan terjadi tidaknya pembangunan isik di tingkat komuniti, seperti perbaikan jalan, rumah ibadah, irigasi, dan sebagainya. Pendekatan yang selama ini digunakan belum cukup untuk sampai pada kesimpulan ‘apakah migrasi internasional mampu mengurangi kemiskinan’. Pendekatan ini diharapkan dapat melengkapi perspektif yang digunakan dalam studi-studi yang sudah ada sebelumnya sehingga dapat memandu ke arah pemahaman mengenai kaitan antara migrasi internasional dan perubahan pedesaan sebagai tempat asal sebagian besar buruh migran internasional. Untuk itu, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan teoretis mengenai migrasi internasional, konsep peran dan pemahaman mengenai penggunaan remitansi, serta perspektif penguasaan tanah dalam memahami dampak migrasi internasional terhadap masyarakat pedesaan. Tinjauan Teoretis Migrasi Internasional, Remitansi, dan Pedesaan Migrasi internasional dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan karena kemampuannya mengalirkan sejumlah besar dana tunai ke pedesaan. Data-data statistik makro memperlihatkan meningkatnya jumlah aliran remitansi dari negara-negara Utara Global North ke negara- negara Selatan Global South, dari US 2 miliar pada tahun 1970 menjadi lebih dari US 116 miliar pada tahun 2003, belum termasuk aliran uang yang dikirimkan melalui jaringan informal dan yang dibawa tunai oleh migran ke negara asalnya Gammeltoft, 2002 dan World Bank, 2005 dalam Haas, 2005, World Bank, 2006. Di banyak negara pengirim, aliran remitansi ini melampaui besarnya dana pembangunan internasional international development aid dan merupakan penghasil devisa negara yang cukup besar INSTRAW, 2005. Dalam konteks Indonesia, jumlah buruh migran yang bekerja di luar negeri meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan pada tahun 2007 mencapai 4,3 juta orang IOM, 2008. Pada tahun 2006 neraca pembayaran IMF mencatat aliran remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai US 5,7 miliar. Survei yang dilakukan Bank Indonesia memperkirakan bahwa jumlah ini mencapai 45 dari penghasilan buruh migran World Bank, 2008:15-17. Migrasi internasional memiliki Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 64 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 kaitan erat dengan pedesaan karena sebagian besar buruh migran berasal dari pedesaan dan memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan tanah atau pertanian. Dalam hal ini, migrasi internasional mempertegas terintegrasinya petani kecil dengan ekonomi global Jokisch, 2002. Jika, di satu sisi, perusahaan transnasional yang masuk ke suatu wilayah memproduksi kesempatan kerja di dalam negeri, maka wilayah- wilayah pertanian di dunia berkembang justru memproduksi buruh migran transnasional untuk bekerja di negara-negara kaya Kyle, 2000. Migrasi: Neoklasik vs Strukturalis Bagaimana teori yang ada menjelaskan fenomena ini? Secara teoretis, terdapat dua aliran utama yang berkembang dalam studi migrasi internasional. Pertama, aliran neoklasik yang memandang bahwa migrasi terjadi karena adanya kelebihan tenaga kerja di suatu wilayah dan kebutuhan akan tenaga kerja di wilayah lainnya. Akibatnya, akan terjadi aliran tenaga kerja dari wilayah yang mengalam kelebihan oversupply tenaga kerja ke wilayah yang membutuhkan tenaga kerja. Dalam kasus ini, kelebihan tenaga kerja terjadi di negara miskin dan kebutuhan tenaga kerja terjadi di negara industri maju. Aliran ini berpendapat bahwa perbedaan tingkat upah merupakan determinan yang mendorong aliran migrasi dari suatu wilayah ke wilayah lain Borjas, 1988 dalam Wilson, 1994. Dengan adanya migrasi, diharapkan akan terjadi pengurangan perbedaan tingkat upah antarwilayah sehingga pada akhirnya dapat mengurangi arus migrasi dari wilayah lebih terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Tenaga kerja yang bermigrasi dari wilayah atau negara miskin umumnya mengisi pasar kerja berketerampilan dan berupah rendah. Secara relatif, tingkat upah pada segmen pasar kerja ini memang berbeda. Misalnya, upah pengurus rumah tangga dan penjaga anak baby sitter di Indonesia berkisar antara Rp. 400.000,00 sampai Rp. 1.000.000,00 per bulan, sementara di Saudi Arabia pekerjaan yang sama mendapat upah sekitar Rp 1.200.000,00 sampai Rp. 1.800.000,00 per bulan dan Rp. 3.000.000,00 sampai Rp. 4.000.000,00 per bulan di Taiwan. Perbedaan upah ini memang terbukti mendorong aliran migrasi buruh. Di sisi lain, kajian empiris mengenai migrasi dari Amerika Latin ke Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 65 Amerika Serikat dan Eropa Barat menunjukkan bahwa migrasi justru memperlebar perbedaan tingkat upah antarwilayah Gerking and Mutti, 1983. Arus migrasi justru semakin meningkat karena negara-negara yang lebih terbelakang tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup, apalagi dengan tingkat upah yang layak. Aliran kedua yaitu aliran strukturalis;aliran ini memandang bahwa migrasi tenaga kerja internasional terjadi karena ketidakseimbangan pembangunan yang terjadi di dunia maju dan dunia ketiga uneven geographical development . Dalam upaya mengakumulasi kapital, dunia maju memerlukan tenaga buruh murah yang dapat menjamin kelanggengan produksi dan reproduksi sosial warga negaranya. Migrasi buruh internasional dibutuhkan untuk mengisi pekerjaan domestik, seperti pembantu rumah tangga, supir, serta penjaga anak dan orang tua. Hal tersebut dipahami sebagai upaya dunia maju untuk mempertahankan reproduksi sosial yang dibutuhkan warganya. Untuk dapat mempertahankan produktivitas kerjanya dan juga pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut, keluarga-keluarga di negara maju membutuhkan seseorang yang mampu menangani urusan domestik mereka dengan tingkat upah yang relatif lebih rendah dibanding menggunakan tenaga kerja lokal. Sebagai contoh, tingkat upah penjaga bayi ‘lokal’ di negara-negara maju mencapai 7-8jam, sementara tingkat upah pembantu yang berasal dari dunia ketiga kurang lebih sebesar 250-500 per bulan, tergantung asal negara dan pengalaman. Ditambah lagi, pembantu ini bisa dipekerjakan untuk bermacam-macam jenis pekerjaan dan mudah dikontrol Lan, 2006, termasuk membantu kegiatan usaha mereka secara informal seperti yang banyak dilakukan oleh buruh migran Indonesia di luar negeri. Remitansi: Pandangan Optimis vs Pandangan Pesimis Dalam kaitan dengan remitansi, terdapat dua pandangan yang secara optimis dan pesimis menempatkan remitansi dalam konteks perbaikan kondisi di wilayah asal. Aliran strukturalis atau Neo-Marxist memiliki pandangan pesimistis terhadap dampak positif migrasi internasional terhadap wilayah asal. Dalam pandangan mereka, “perilaku konsumtif penggunaan remitansi sebagai kelemahan yang justru memperkuat ketergantungan, mengintensifkan ketidaksetaraan Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 66 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 sosial, dan menempatkan rumah tangga buruh migran di desa asal dalam siklus migrasi yang tidak berkesudahan” Cohen et al., 2005: 87. Sebaliknya, aliran optimis atau ‘apologetic’ yang didukung antara lain oleh Cohen lihat Cohen et al., 2005 meyakini bahwa remitansi memiliki peran dalam memelihara kondisi hidup rumah tangga buruh migran, antara lain sebagai basis pengembangan usaha mikro. Namun, Cohen juga menegaskan bahwa pendukung aliran ini tidak sepenuhnya sepakat bahwa remitansi dapat mendorong pembangunan karena kekuatan globalisasi lebih kuat dibanding potensi yang diperankan remitansi dalam mendorong pembangunan. Dengan kata lain, ekonomi politik global yang menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan antarnegara dan berdampak pada proses underdevelopment yang tidak berkesudahan di pedesaan tidak dapat diatasi hanya melalui aliran remitansi yang masuk ke pedesaan. Pandangan optimis mengenai peran migrasi internasional dan remitansi terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di wilayah asal umumnya diyakini oleh lembaga-lembaga donor. Dalam studinya di 71 negara berkembang pengirim buruh migran, Bank Dunia menyimpulkan bahwa untuk setiap peningkatan jumlah buruh migran di suatu negara sebesar 10, terjadi penurunan jumlah orang miskin sebesar 2,1 Adams.Jr and Page, 2005. Memandang pada potensi migrasi internasional dan remitansi terhadap peningkatan kesejahteraan di daerah asal, tidak kurang dari Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta sejumlah organisasi regional seperti Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara ASEAN 2 terlibat dalam upaya memfasilitasi mobilitas buruh internasional dan kemudahan pengiriman uang melalui jalur- jalur yang dianggap resmi dan aman bagi buruh migran. Sebaliknya, Komisi Uni Eropa justru mengeluarkan berbagai kebijakan untuk ‘membatasi’ jumlah buruh migran yang masuk karena dikhawatirkan akan mengurangi kesempatan kerja bagi warganya lihat misalnya, Etzinger, 1985 dalam Haas, 2005. 2 Tercantum dalam Deklarasi ASEAN mengenai Pekerja Migran yang ditandatangani di Cebu Filipina oleh 10 negara anggota ASEAN pada tanggal 13 Januari 2007 Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 67 Migrasi dalam Kerangka Penghidupan Pedesaan Rural Livelihood Framework Migrasi menjadi isu penting karena fenomena ini tidak hanya menyangkut negara- negara penerima, tetapi juga negara dan wilayah pengirim migran, khususnya pedesaan di Selatan Global South. Migrasi sebagai bagian dari siklus hidup masyarakat pedesaan sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, terutama diakibatkan oleh industrialisasi di kota-kota besar dan penemuan teknologi pertanian yang mengakibatkan sejumlah besar pekerja pertanian kehilangan pekerjaannya dan memilih bermigrasi ke kota untuk mendapatkan penghasilan. Dalam konsep penghidupan pedesaan rural livelihood framework , migrasi dipandang sebagai salah satu bentuk strategi penghidupan masyarakat pedesaan Bebbington, 1999; Kothari, 2002; 2003; Scoones, 2009. Istilah yang sering digunakan adalah strategi penghidupan multilokal atau multispasial Thieme, 2008. Pengertian dari konsep ini adalah perpindahan satu atau lebih anggota rumah tangga ke luar desa untuk mendapatkan penghasilan yang secara rutin maupun tidak rutin dikirimkan untuk menghidupi keluarganya di wilayah asal. Pasar kerja yang dapat dimasuki oleh migran ini sangat tergantung pada aset dan kemampuan capability yang dimilikinya, termasuk modal sosial berupa jaringan sosial. Walaupun pada awalnya kerangka konsep ini digunakan untuk menjelaskan migrasi desa-kota, konsep ini kemudian berkembang untuk memahami migrasi buruh internasional. Sebagai sebuah strategi penghidupan yang mendunia, migrasi internasional sudah sejak lama dilakukan, dengan berbagai kepentingan dan alasan. Dorongan untuk melakukan migrasi sangat terkait dengan situasi yang dialami di daerah asal, baik itu persoalan struktural seperti kemiskinan dan faktor pengambilan keputusan individu seperti ajakan teman, keluarga, atau agen pengerah tenaga kerja. Kedua faktor inilah yang banyak ditemukan dalam studi-studi mengenai migrasi buruh internasional Wirawan, 2006; Agra et al., 2010. Terlepas dari latar belakang atau alasan yang mendasari orang bekerja di luar negeri, teori mengatakan bahwa migrasi internasional dilakukan bukan oleh kelompok paling miskin, karena dibutuhkan modal dan risiko yang cukup besar lihat Skeldon, 1997 dalam Haas, Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 68 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 2005. Namun, teori ini tidak cukup lagi untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Semakin sulitnya kehidupan pedesaan mendorong kelompok-kelompok termiskin di desa mengikuti arus migrasi internasional untuk bekerja sebagai buruh. Jenis pekerjaan dan negara yang dituju tidak saja tergantung pada lowongan yang ditawarkan agen pengerah tenaga kerja, tetapi juga pada besarnya modal yang mereka miliki dan besarnya risiko yang mungkin ditanggung. Sebagai contoh, sejak tahun 2009, agen-agen pengerah tenaga kerja Indonesia khusus untuk pembantu rumah tangga perempuan di Saudi Arabia membebaskan biaya penempatan, bahkan memberikan ‘uang bekal’ untuk keluarga yang ditinggalkan di desa. Praktik ini tentu saja berdampak pada meningkatnya jumlah buruh migran perempuan yang semula tidak mampu menanggung biaya penempatan. Makna apa yang dapat kita simpulkan dari perubahan fenomena tersebut? Pandangan optimis tentunya mengatakan bahwa mereka yang berasal dari kelompok termiskin sekarang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi buruh migran dan berkesempatan menangguk manfaat remitansi yang sama dengan buruh migran lainnya. Artinya, terdapat kesempatan yang sama untuk memperbaiki taraf hidup dan kapasitas dalam mengurangi kerentanan. Pandangan kritis atau pesimis akan mempertanyakan: seberapa besar perbaikan taraf hidup dan kapasitas mengurangi kerentanan dapat dicapai dengan bekerja sebagai tenaga buruh berupah murah di luar negeri, dengan risiko yang juga tinggi. Dalam hal ini, perlu dicermati tipe migrasi buruh yang dilakukan. Migrasi yang dilakukan buruh migran Meksiko dan Filipina, misalnya, berbeda dengan yang dilakukan buruh migran dari Indonesia, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan. Buruh migran Meksiko, Filipina, Ekuador terdiri atas buruh migran yang kemudian tinggal secara permanen terlepas dari masalah legalitas di negara tujuan, dan membentuk diaspora 3 3 Dalam pengertian sederhana, diaspora adalah jaringan sosial yang dibentuk di daerah tujuan oleh sekelompok migran yang memiliki kesamaan identitas tertentu, baik kesamaan daerahnegara asal, agama, atau etnisras. Diaspora tidak saja dibentuk oleh buruh migran, tetapi juga oleh kelompok pengungsi dalam pengertian refugee dan displaced person, yaitu mereka yang kehilangan tempat tinggal karena suatu peristiwa tertentu seperti bencana, peperangan, atau pun kerusuhan. Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 69 yang salah satunya bertujuan memfasilitasi penempatan kerja dan penyelesaian masalah bagi kerabat yang bermigrasi ke daerah yang sama. Walaupun tipe pekerjaan yang dimasuki tidak selalu tetap, keberadaan mereka di negara tujuan relatif lebih panjang dan permanen ketimbang buruh migran dari Indonesia, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan. Buruh migran dari golongan kedua umumnya bekerja secara temporer mengikuti kontrak yang diberikan, antara dua sampai tiga tahun. Kepastian untuk memperpanjang kontrak tidak secara merata dimiliki oleh setiap buruh migran. Tipe migrasi yang dilakukan kelompok ini dikenal sebagai ‘recurrent migration’ atau migrasi berulang. Kesempatan untuk memperpanjang masa kerja sangat tergantung pada kesempatan yang ada dan modal yang dimiliki. Berdasarkan temuan penelitian terungkap fakta bahwa cukup banyak buruh migran menggunakan sebagian gaji atau remitansi yang diperolehnya untuk membayar biaya penempatan selanjutnya, yang harus dilakukan dari daerah asalnya karena perpanjangan kontrak tidak dapat dilakukan di negara tujuan Agra et al., 2010. Mengacu pada perbedaan tipe migrasi tersebut, tidak mengherankan jika besar dan frekuensi aliran remitansi yang dihasilkan buruh migran ‘permanen’ lebih besar dan lebih rutin ketimbang buruh migran lainnya. Namun ironisnya, situasi ini justru mendorong peningkatan secara statistik jumlah buruh migran Meksiko dan Filipina. Konsep Penggunaan Remitansi dan Dampaknya terhadap Perubahan di Daerah Asal Studi mengenai dampak aliran remitansi terhadap perubahan di wilayah asal sudah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Kesimpulan yang dihasilkan oleh studi-studi tersebut sebagian besar memperlihatkan bahwa remitansi yang dihasilkan oleh buruh migran internasional tidak atau belum berhasil membawa peningkatan kesejahteraan maupun pembangunan di wilayah asal. Namun, kesimpulan kajian tersebut dipengaruhi oleh perspektif maupun konsep yang digunakan untuk memahami penggunaan remitansi. Remitansi merupakan isu yang cukup banyak dibahas dalam memahami dampak migrasi internasional terhadap Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 70 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 peningkatan kesejahteraan daerah asal. Potensi remitansi yang sedemikian besar dianggap tidak mampu mendorong peningkatan kesejahteraan di daerah asal karena ketidaktepatan penggunaan remitansi untuk tujuan konsumtif. Menurut de Haas, perspektif yang menyatakan bahwa penggunaan remitansi bersifat konsumtif, non-produktif, dan non-developmental merupakan mitos yang berkembang sejak tahun 1970-an. Tidak hanya itu, perspektif tersebut juga memandang migrasi sebagai penghambat potensi ekonomi yang seharusnya berkembang di pedesaan akibat berkurangnya tenaga kerja untuk pengembangan pertanian dan industri kecil pedesaan seperti kerajinan Haas, 2005. Akan tetapi, ditegaskan oleh de Haas bahwa pandangan ini perlu dikritisi. Investasi dalam bentuk rumah, sekolah, kesehatan, sanitasi, dan pangan memiliki efek menggandakan multiplier dalam jangka panjang, sehingga dapat dipandang sebagai ‘development’ dalam arti luas. Hanya saja, terwujud tidaknya kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di negara tujuan maupun asal Haas, 2005:1249- 50. Berikut ini akan disajikan beberapa gambaran mengenai hasil kajian dan perspektif yang digunakan dalam memahami dampak remitansi terhadap perubahan di wilayah asal, khususnya pedesaan. Migrasi internasional dan remitansi yang menyertainya dianggap memegang peran penting dalam meningkatkan pembangunan isik pedesaan, yaitu dalam bentuk berdirinya rumah- rumah permanen di desa, serta menggairahkan perekonomian lokal melalui meningkatnya jumlah pembeli di pasar dan pusat pertokoan lihat Noveria, 2001. Migrasi internasional mengubah fungsi dan peran perempuan dalam reproduksi sosial di dalam keluarga, yaitu dalam memelihara anak dan pemenuhan kebutuhan keluarga berupa pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan. Remitansi yang dikirimkan digunakan untuk ‘membiayai’ pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut, seperti studi yang dilakukan di Karawang Busono et al., tanpa tahun. Terlepas dari beragam kesimpulan yang ditarik oleh setiap peneliti, tujuan tulisan ini adalah menyoroti berbagai pendekatan atau perspektif yang digunakan dalam memahami Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 71 perubahan pedesaan yang terkait dengan migrasi buruh internasional. Pendekatan perilaku merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan dalam memahami penggunaan remitansi di desa asal, terutama studi-studi yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dalam konteks pedesaan Indonesia. Umumnya mereka yang menggunakan perspektif ini berpendapat bahwa ‘faktor perilaku’ yang mendorong penggunaan remitansi menjadi konsumtif atau kurang produktif dan tidak berperspektif jangka panjang. Penggunaan remitansi yang dianggap konsumtif ini adalah pengeluaran untuk membeli atau membangun tanah dan rumah tinggal, memperbaiki sebagian atau keseluruhan rumah tinggal, membeli perhiasan dan alat-alat elektronik modern, membeli kendaraan bermotor, dan untuk perayaanritual budaya setempat. Pendekatan perilaku di satu sisi memberikan suatu metoda untuk memahami pengambilan keputusan yang dilakukan di tingkat individu dan rumah tangga. Akan tetapi, pendekatan ini tidak cukup kuat untuk memahami alasan yang lebih struktural—kondisi sosial, ekonomi, dan politik—yang mendorong perilaku ini terjadi Sanderson and Kentor, 2008. Sebagai konsekuensinya, kajian dengan pendekatan ini hanya akan menghasilkan suatu deskripsi mengenai alokasi penggunaan remitansi untuk jenis-jenis pengeluaran tertentu, dan gagal untuk memahami latar belakang pengambilan keputusan tersebut. Pendekatan ini juga tidak mengaitkan pengambilan keputusan tersebut dengan situasi makro yang tengah terjadi, sehingga pilihan ‘konsumtif’ tersebut menjadi rasional untuk diambil. Misalnya, pilihan untuk memulai usaha mikro bukan sesuatu yang mudah karena persoalan yang melingkupinya pun tidak mudah untuk diatasi. Cohen 2005 menggambarkan bahwa di Meksiko, penggunaan remitansi tidak semata-mata merupakan keputusan individu dan rumah tangga, tetapi dipengaruhi oleh krisis ekonomi nasional dan masuknya paham neoliberal yang memperburuk situasi di pedesaan Meksiko. Migrasi Intenasional, Aliran Remitansi, dan Penguasaan Tanah di Pedesaan Berangkat dari gambaran yang diuraikan di atas, tulisan ini bermaksud menegaskan akan pentingnya menjawab Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 72 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 pertanyaan mengenai seberapa jauh terjadi perubahan taraf hidup dan kapasitas mengurangi kerentanan di antara rumah tangga buruh migran pedesaan. Jawaban terhadap pertanyaan ini akan sekaligus menjawab optimisme maupun pesimisme mengenai peran migrasi internasional khususnya remitansi dalam mengurangi kemiskinan. Dalam konteks Indonesia, studi semacam ini semakin penting karena studi-studi yang ada umumnya terfokus pada pola penggunaan remitansi dikaitkan dengan jenis pekerjaan, negara tujuan, besarnya upah, perilaku individu dan rumah tangga dalam menggunakan uang, dan apakah terjadi perubahan pembangunan isik di tingkat komunal, seperti perbaikan jalan, rumah ibadah, irigasi, dan sebagainya. Sementara itu, studi yang memotret perubahan belum banyak dilakukan, sehingga untuk sampai pada kesimpulan ‘apakah migrasi internasional mampu mengurangi kemiskinan’ belum sepenuhnya terjawab. Tulisan ini bermaksud memberikan suatu pandangan metodologis untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun interpretasi dari hasil kajian bisa jadi beragam. Tidak dapat lagi dipungkiri bahwa remitansi memegang peran penting dalam ekonomi rumah tangga buruh migran, walaupun sifatnya tidak permanen, tidak rutin, dan tidak tentu besarnya. Oleh karena itu, kajian-kajian mengenai dampak remitansi terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah asal banyak dilakukan. Namun, dari berbagai perspektif dan metoda yang digunakan untuk menjelaskan dampak remitansi, sangat jarang ditemui perspektif dan metoda yang menjelaskan dampak remitansi terhadap perubahan pertanian, baik itu cara produksi, tenaga kerja, penguasaan tanah, dan mekanisme pembiayaan produksi pertanian. Tulisan ini bermaksud mengisi kekosongan tersebut dengan pertimbangan bahwa sebagian besar rumah tangga buruh migran memiliki kaitan dengan tanah dan pertanian, baik langsung maupun tidak langsung Kyle, 2000; Jokisch, 2002; Thieme, 2008. Metodologi ini pula yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan AKATIGA pada tahun 2009-2010 bersama dengan Departemen Geograi, University of Philippines di Diliman Agra et al., 2010. Masyarakat pedesaan sudah mengalami stratiikasi secara ekonomi dan sosial jauh sebelum adanya migrasi internasional Cohen et al., 2005. Oleh Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 73 karena itu, dalam memahami ada tidaknya peningkatan kondisi hidup di desa asal perlu dikaitkan dengan stratiikasi sosial ekonomi yang sebelumnya sudah ada. Dalam hal ini, struktur penguasaan tanah merupakan salah satu cara memahami stratiikasi sosial ekonomi di wilayah pedesaan dengan penghidupan yang berbasis pada tanah. Inti dari pendekatan yang ditawarkan ini adalah memahami perubahan masyarakat di pedesaan, utamanya yang berbasis pertanian, sebagai akibat dari migrasi internasional dan aliran remitansi yang masuk ke pedesaan. Analisis mengenai dampak migrasi internasional dan remitansi terhadap rumah tangga buruh migran dengan penghidupan yang masih terikat pada tanah dan pertanian tidak dapat dilepaskan dari perubahan yang terjadi pada pertanian dan masyarakat agraris. Sebagai acuan tambahan, kita dapat mengacu pada klasiikasi yang disusun oleh Rigg akan terbit, dalam ChatSEA, 2005 mengenai transisi agraria di Asia Tenggara lihat Tabel 1. Tabel 1. Tipologi Transisi Agraria di Asia Tenggara Tipe Agraria Karakteristik Subsisten Terfokus pada pertanian dan pedesaan; sebagian masih menggunakan barter dan menjual surplus produksi Semi-subsisten Kombinasi subsisten dan pertanian komersial; penghidupan masih tetap bergantung pada pertanian dan pedesaan Pluriaktif post- peasant Kombinasi subsisten dan pertanian komersial dengan beragam kegiatan nonpertanian, baik on-farm dan off-farm . Migrasi dan delokalisasi pekerjaan semakin meningkat Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 74 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 Profesional Pertanian profesional dan munculnya pengusaha agraria; skala besar, perusahaan komersial dengan penggunaan input produksi yang tinggi, integrasi yang kuat terhadap pasar nasional dan internasional, dan penggunaan teknologi secara intensif. Ukuran dan tingkat produksi yang digunakan memungkinkan petani untuk menggantungkan hidup hanya dari pertanian. Pluriaktif post-pro- ductive, non-peasant Melakukan pluriaktivitas sebagai petani paruh waktu, dengan kombinasi pekerjaan lain dengan penghasilan yang tinggi Petani kecil marjinal remnant small- holder Rumah tangga pedesaan yang tetap terikat pada tanah dan sistem produksi tradisional. Produksi rendah, orientasi subsisten, dan miskin. Sumber: Rigg akan terbit, dalam ChatSEA, 2005:2 Pola Penguasaan Tanah, Pasar Kerja, dan Pola Penggunaan Remitansi Pasar kerja yang dapat dimasuki jenis pekerjaan, tingkat upah, negara tujuan sangat tergantung pada modal atau aset yang dimiliki oleh calon buruh migran. Bagi buruh migran yang berasal dari rumah tangga petani, modal, atau aset yang dimiliki terkait Seperti sudah diuraikan sebelumnya, dorongan untuk bermigrasi tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi di daerah asal. Selain pilihan individu dan faktor eksternal lainnya, perlu dipahami pula bahwa tipe agraria dan penguasaan faktor produksi juga merupakan dua variabel yang cukup menentukan pasar kerja yang dimasuki dan pola penggunaan remitansi. Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 75 pula dengan faktor produksi yang dimiliki dan dikuasai. Sebagai ilustrasi, penelitian AKATIGA menemukan bahwa rumah tangga petani pemilik lahan mampu memasuki pasar kerja yang lebih baik ketimbang rumah tangga buruh tani Agra et al., 2010. Walaupun peran agen pengerah tenaga kerja sponsor dan pelepas uang rentenir sangat menentukan pasar kerja yang dimasuki, tawaran yang diberikan kepada calon buruh migran juga tergantung pada penguasaan faktor produksi dan aset rumah tangga yang dimiliki. Sebagai ilustrasi, seorang informan menceritakan riwayat pekerjaannya di luar negeri yang dimulai dari bekerja sebagai pekerja domestik di Timur Tengah, Taiwan, dan kemudian kembali ke Timur Tengah. Cerita tersebut kemudian kami konirmasikan dengan riwayat penguasaan tanah rumah tangganya. Dengan membuat perbandingan antara jenis pekerjaan dan negara tujuan dengan penguasaan tanah, diperoleh kesimpulan bahwa ketika ia belum memiliki tanah, jenis pekerjaan yang dapat dimasukinya adalah pekerjaan berupah rendah sebagai pekerja domestik di Timur Tengah selama kurang lebih sembilan tahun. Modal biaya penempatan diperolehnya dengan meminjam pada sponsor. Upah yang diperolehnya digunakan untuk membeli lahan pertanian seluas 1 ha. Setelah itu, ia mendapat kesempatan bekerja sebagai penjaga jompo di Hong Kong selama 16 bulan, dengan modal biaya penempatan yang dipinjamnya dari sponsor dan sebagian dari upah yang disisihkan. Setelah perceraian, informan tersebut kehilangan tanah yang dibelinya seluas 1 ha, dan kembali memasuki pasar kerja sebagai pekerja domestik di Saudi Arabia wawancara, Agustus 2009. Ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh, dan ditemukan pola-pola serupa dalam penelitian tersebut. Tipe penguasaan faktor produksi lahan ini juga berpengaruh terhadap pola penggunaan remitansi. Rumah tangga buruh tani yang memperoleh modal pemberangkatan melalui pinjaman umumnya menghabiskan kiriman uang yang diterimanya untuk membayar pinjaman beserta bunganya, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lain halnya dengan rumah tangga pemilik lahan yang mampu menyisihkan upahnya untuk menyewa dan atau membeli mengakumulasi tanah pertanian. Penguasaan tanah memang bukan Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan 76 Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 merupakan satu-satunya variabel yang menjelaskan kemampuan akumulasi rumah tangga petani- buruh migran. Kajian di Filipina antara lain menyimpulkan bahwa lama migrasi dan jumlah anggota rumah tangga yang bermigrasi lebih berpengaruh terhadap kemampuan akumulasi Agra et al., 2010. Namun, tidak demikian halnya dengan temuan di pedesaan Indonesia. Kedua variabel tersebut belum dapat menjelaskan kemampuan suatu rumah tangga dalam meningkatkan kesejahteraannya atau meningkatkan kapasitasnya dalam mengurangi kerentanan. Perbedaan ini terkait dengan tipe migrasi yang dilakukan buruh Filipina dan Indonesia, yaitu migrasi permanen dan migrasi temporer. Keberadaan lebih dari satu anggota rumah tangga yang bermigrasi dalam konteks Filipina dipengaruhi oleh kemampuan buruh migran Filipina untuk membentuk diaspora dan memfasilitasi penempatan kerja, sementara penempatan kerja buruh migran Indonesia sangat tergantung pada agen pengerah tenaga kerja. KESIMPULAN Selama ini kajian empiris mengenai dampak remitansi terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga buruh migran menggunakan indikator-indikator ‘standar’ seperti tingkat pendapatan rumah tangga, umur, jenis kelamin, relasi gender dalam rumah tangga, dan kepemilikan aset dalam rumah tangga. Di sisi lain, di hampir setiap kajian mengenai migrasi buruh transnasional dinyatakan bahwa sebagian terbesar buruh migran dari negara pengirim berasal dari pedesaan, berasal dari rumah tangga petani dan keterpurukan di sektor pertanian yang menjadi salah satu sebab utama migrasi. Akan tetapi, masih sedikit kajian yang memperlihatkan bagaimana dampak migrasi internasional terkait dengan perubahan pertanianagraria. Hasil yang diperoleh bisa diinterpretasikan secara beragam, akan tetapi di sini ditawarkan suatu cara pandang lain dalam memahami kaitan antara migrasi internasional dan perubahan pedesaan, yang tidak melulu melihat keberhasilan atau kegagalan secara material seperti pembangunan isik dan adanya usaha kecil yang dirintis. Struktur penguasaan tanah memperlihatkan pola hubungan antara antara luas dan cara penguasaan tanah terhadap jenis pekerjaan, negara tujuan, dan ‘modal’ yang harus dimiliki untuk Penguasaan Tanah, Migrasi Internasional, dan Perubahan Pedesaan Bahasan Utama Jurnal Analisis Sosial Vol. 15 No. 2 Desember 2010 77 memasuki pasar kerja tersebut. Selama ini studi yang ada hanya melihat jenis pekerjaan, negara tujuan, dan besar ‘modal’ yang harus dimiliki menurut cara pandang demograis umur, gender, status perkawinan, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi tingkat pendapatan. Selain memperlihatkan pola migrasi, penguasaan tanah juga dapat memperlihatkan dampak remitansi terhadap perubahan strata sosial ekonomi dalam suatu lokalitas. DAFTAR ACUAN Adams.Jr, R. H. dan J. Page. 2005. “Do International Migration and Remittances Reduce Poverty in Developing Countries?” World Development

3310: 1645-69.