Pengalaman Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Prasekolah (3 Hingga 6 Tahun) di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta timur

i

PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA
PRASEKOLAH (3
(3-66 TAHUN) DI PAUD MENUR RW.
09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :
SUMARYANI
109104000030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M


i

ii

ii

iii

L

iii

iv

iv

v

RIWAYAT HIDUP
Nama


: Sumaryani

Tempat, Tanggal Lahir

: Jakarta 27 Juni 1991

Status Pernikahan

: Belum menikah

Alamat

: Jl. Cipinang Lontar II Rt.007/Rw.009 No.15
Kelurahan Cipinang Kecamatan Pulogadung Jakarta
Timur 13240

Telepon

: 085695348117


Email

: [email protected]

Riwayat Pendidikan
1. TK Bhayangkari 16

[1996-1997]

2. SD Negeri Cipinang 05 Jakarta Timur

[1997-2003]

3. SMP Negeri 92 Jakarta Timur

[2003-2006]

4. SMA Negeri 31 Jakarta Timur


[2006-2009]

Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:
1. Peserta Nursing Camp Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan
(ILMIKI) Wilayah

III (DKI Jakarta Jawa Barat dan Banten)

“Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan Dalam Menghadapi
Tantangan Global” tahun 2011
2. Seminar Kesehatan Masyarakat “Thinking Before Eating berlebihankah
konsumsi MSG anda” tahun 2011
3. Seminar “Role of Bioinformatics in Biological Sequence Analysis and
Genomic Epidemiology” tahun 2012
4. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012
5. Seminar Nasional

“Uji Kompetensi Nasional Perawat: Meningkatkan

Peran dan Mutu Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan

Global” tahun 2012

v

vi

6. Seminar Nasional Keperawatan “NANDA, NIC, NOC: Concept,
Implementation and Innovation for Better Quality of Nursing Service in
Indonesia” tahun 2013

vi

vii

LEMBAR PERSEMBAHAN

Skripsi bagaikan kumpulan ilmu, keringat, jerih payah, dan suka duka selama 4
tahun menjalani bangku perkuliahan. Lembar ini saya dedikasikan untuk mereka
yang selalu sedia membantu dan menyemangati. Terima kasih sedalam-dalamnya
saya ucapkan kepada:

Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan rahmat serta karuniaNya.
Kedua orang tua tercinta yang telah senantiasa memberikan cinta, kasih sayang,
bantuan secara langsung maupun tidak langsung dan selalu mendoakan untuk
keberhasilan saya.
Kakak-kakak saya tersayang (Sumarni Tuti Mardiah Kiah Marliah dan Ahmad
Abdul Rojak) yang selalu memberi tawa dan celotehan-celotehan yang
memotivasi saya untuk segara menyelesaikan tugas akhir saya ini.
Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan keceriaan selama 4 tahun belajar
bersama (Anggi Arum Ayu Inggar Sheshe Sumi Tiwi Winda dan Yanti) yang
tak pernah luput canda, tawa, bantuan, semangat, dan doa yang selalu diberikan
kepada saya.
Sahabat group ONE (Adelia Nining Qoys Rusmanto dan Ummi) yang telah
bersama-sama untuk saling membantu medukung memotivasi dan bertukar
pikiran dalam menyelasaikan tugas akhir ini.
Teman-teman seperjuang lainnya (Desi Sri Siska Ami Dewi Cicy) yang telah
bersama melalui perjalanan hingga akhir penyelesaian tugas akhir ini.

vii

viii


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi Januari 2013
Sumaryani NIM: 109104000030
Pengalaman Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia
Prasekolah (3 Hingga 6 Tahun) di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang
Jakarta timur
x + 87 halaman + 4 lampiran
ABSTRAK
Perilaku seksual yang ditunjukan anak khususnya usia prasekolah dalam
memuaskan rasa keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi
orang tua khususnya ibu dalam menginterpretasikan rasa keingintahuan yang
ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan
seks. Masalahnya seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada
anak usia 3 hingga 6 tahun apalagi untuk mengajarkannya kepada anak. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan
seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun). Metode yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif pengambilan

data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dipilih dengan
teknik purposive sampling. Informan pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki
anak usia 3 hingga 6 tahun yang bersekolah di PAUD Menur. Data dianalisis
menggunakan metode Colaizzi. Penelitian ini mengidentifikasikan 5 tema yaitu:
(1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak (2)Persepsi ibu
mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3)Pengetahuan ibu mengenai
pendidikan seks (4)Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak
prasekolah dan (5)Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan
pendidikan seks pada anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu merupakan
pemberi pendidikan seks utama pada anak. Peran ayah tidak terlihat. Ibu percaya
pentingnya pendidikan untuk anak namun tidak memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup baik mengenai pendidikan seks khususnya pada anak
usia prasekolah. Orang tua perlu meningkatkan pemahaman serta pengetahuannya
mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah. Penambahan
program pendidikan seks di PAUD akan membantu orang tua dan anak terkait
perkembangan seksual anak.
Kata kunci: ibu pendidikan seks anak prasekolah
Daftar Bacaan: 48 (1998 - 2013)

viii


ix

NURSING SCIENCE PROGRAM
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
Undergraduate Thesis January 2014
Sumaryani NIM : 109104000030
Mothers Experience In Providing Sex Education In Preschooler ( 3 to 6 years
) in PAUD Menur RW.09 Cipinang Village East Jakarta
xii + 87 pages + 4 appendixes
ABSTRACT
Sexual behavior is shown in the preschool age children especially satisfying
curiosity related to sexual exploitation is an indication of parents, especially
mothers in interpreting child's curiosity as a marker indicated that the child is
ready to be given sex education. The problem of sex still considered taboo,
especially in children aged 3 to 6 years let alone teach it to children. This study
aims to determine the mother's experience in providing sex education to preschool
children (3 to 6 years). The method used is a qualitative research study design
descriptive phenomenological research data collection is done by in-depth

interviews. Informants were selected by purposive sampling technique.
Informants in this study were mothers of children aged 3 to 6 years old who attend
PAUD Menur. Data were analyzed using Colaizzi method. This study identifies
five themes namely:(1)Mother as the main providers of sex education on
children (2)Mother perceptions regarding sex education in preschool children
(3)Mother knowledge about sex education( 4 ) The attitude of the mother in
delivering sex education in preschool children and ( 5 ) the factors affecting the
mother in providing sex education to children . The results showed that mothers
are the main providers of sex education in children. The role of the father is not
visible. Mother believes the importance of education for children but do not have
sufficient knowledge and understanding of both the sex education especially in
preschool children. Parents need to increase the understanding and knowledge
about sex education to children, especially preschoolers. The addition of sex
education programs in PAUD will help parents and children related to sexual
development of children.
Keywords: mother sex education preschoolers.
Reading List: 48 (1998 - 2013)

ix


x

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI
PAUD MENUR RW. 09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR”.
Skipsi ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan guna memenuhi
persyaratan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep).
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.

Ibu Maftuhah, M.Kep, PHD selaku pembimbing I yang telah membimbing
serta mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Jamaludin, S.Kp.,M.Kep selaku pembimbing II yang telah mengoreksi
serta menyetujui penulis untuk mengajukan skripsi ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti
selama duduk pada bangku kuliah serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi,
S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah banyak membantu.
7. Ketua Pengurus dan pengajar di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang
Jakarta Timur
8. Orang tua serta keluarga besar yang telah mendukung, mengingatkan dan
memberi motivasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

x

xi

9. Temen-teman angkatan 2009 yang telah memberikan semangat serta masukan
kepada penulis.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam kesempatan ini.
Peneliti sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan skripsi ini agar lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
baik untuk penulis maupun pembaca.

Jakarta, Januari 2014

Sumaryani

xi

xii

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN

……………………………………………

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

……………………

i
ii

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………. iii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………

v

LEMBAR PERSEMBAHAN

……………………………………

vii

……………………………………………………………

viii

ABSTRAK

ABSTRACT ……………………………………………………………

ix

KATA PENGANTAR

x

……………………………………………

DAFTAR ISI

……………………………………………………

xii

DAFTAR TABEL

……………………………………………………

xiv

DAFTAR BAGAN …………………………………………………

xv

DAFTAR LAMPIRAN

……………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

……………………………………………

1

A. Latar Belakang

……………………………………………

1

B. Rumusan Masalah

……………………………………………

7

C. Tujuan Penelitian

……………………………………………

7

D. Manfaat Penelitian

……………………………………………

8

E. Ruang Lingkup Penelitian

………………………………….

8

……………………………………

10

……………………………………………………

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengalaman

B. Anak Usia Prasekolah

……………………………………

11

……………………………………………

20

……………………………………………………………

24

C. Pendidikan Seks
D. Ibu

xvii

E. Kerangka Teori

……………………………………………
xii

39

xiii

BAB III KERANGKA KONSEP

……………………………………

40

A. Kerangka Konsep

……………………………………………

40

B. Definisi Istilah

……………………………………………

41

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ……………………………

42

A. Desain Penelitian

……………………………………………

42

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………………

43

C. Informan Penelitian

……………………………………………

44

D. Instrumen Penelitian ……………………………………………

45

E. Teknik Pengambilan Data

……………………………………

45

F. Teknik Analisis Data ……………………………………………

45

G. Validasi Data ……………………………………………………

47

H. Etika Penelitian

48

……………………………………………

BAB V HASIL PENELITIAN

……………………………………

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

50

……………………

50

……………………………

51

……………………………………………

67

A. Pembahasan Hasil Penelitian ……………………………………

67

B. Keterbatasan Penelitian

84

B. Analisa Tematik Hasil Penelitian
BAB VI PEMBAHASAN

……………………………………

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

……………………………

………………………………………………….

B. Saran ……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiii

85
85
87

xiv

DAFTAR TABEL

No. tabel

halaman

Tabel 2.1

Penelitian Terkait……………………………………….

35

Tabel 5.1

Karakteristik Informan……………………………….

51

Tabel 5.2

Tabel Tematik ……………………………………….

64

xiv

xv

DAFTAR BAGAN

No. Bagan

halaman

Bagan 2.1

Kerangka Teori…………………………………………….. 39

Bagan 4.1

Teknik Analisa Data……………………………………….. 47

xv

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Pedoman Wawancara

Lampiran 2

Matriks Analisa Data

Lampiran 3

Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 4

Biodata Informan

xvii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada
anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) apalagi untuk mengajarkannya kepada
anak. Masyarakat terkadang merasa tabu dalam membicarakan persoalan
mengenai seks kepada anak, menurut Skripsiadi (2005) terdapat dua hal yang
membuat masyarakat merasa tabu dalam membicarakan hal tersebut,
diantaranya: faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seks di
depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat
pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain, dan pengertian
seks yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seks
seolah-olah hanya diartikan ke arah hubungan seksual. Kenyataanya
pembicaraan soal seks pada anak usia prasekolah sangatlah penting, karena
pada usia tersebut anak sudah mulai untuk melakukan eksploitasi seks.
Eksploitasi seks yang dilakukan pada anak usia prasekolah, misalnya
mengelus diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan,
atau orang di sekitar mereka, percobaan seksual lainnya terhadap lawan
jenisnya dan mengajukan pertanyaan terkait seks (Potter dan Perry, 2005).
Percobaan seksual lainnya terhadap orang lain contohnya, memegang
payudara wanita dewasa, mengintip orang mandi, dan lainnya. Contoh
pertanyaan yang diajukan anak terkait seks, seperti: “kenapa bisa ada bayi di
dalam perut ibu”, “bagaimana bayi keluar”, dan sebagainya. Sikap dan

1

2

perilaku yang terkadang membuat orang tua khususnya ibu kewalahan tersebut
merupakan rasa keingintahuan yang normal untuk mengenal organ genitalnya,
serta perbedaan struktur tubuh antara laki-laki dan perempuan (Kliegman,
2011 dan Wong, 2008). Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan perlu dilakukan sejak usia prasekolah
(Skripsiadi, 2005). Tidak ada batasan yang jelas kapan pendidikan seks dapat
diberikan pada anak, namun dengan munculnya perilaku-perilaku tersebut
dapat menjadi suatu indikasi untuk orang tua dalam menginterpretasikan rasa
keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk
diberikan pendidikan seks (Potter dan Perry, 2005).
Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak
tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi
psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan
seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku
seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopause, serta penyakit kelamin
(Skripsiadi, 2005). Pada usia prasekolah pendidikan seks yang dapat diberikan
oleh orang tuaadalah mengajarkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai
untuk genitalia perempuan dan laki-laki (Potter dan Perry, 2005). Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Johnson,
Tassinary, dan Lurye (2010) yang membuktikan bahwa perkembangan konsep
penting dari pria dan wanita terjadi pada usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini juga
sesuai dengan tugas perkembangan anak pada usia tersebut yakni, menguatkan
rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang
didefinisikan secara sosial (Potter dan Perry, 2005).

3

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kenny dan Wurtele (2008) pada
anak taman kanak-kanak (TK) atau daycare di Miami, Florida menyatakan
bahwa anak lebih mengenal nama bagian tubuh yang non genital seperti:
tangan, kaki, mata, dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil anak yang
mengetahui istilah vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk alat
kelamin laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa masih kurang peran orang tua
dalam memperkenalkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk
genitalia perempuan maupun laki-laki.
Pendidikan seks yang dapat diberikan orang tua pada anak usia
prasekolah selain memperkenalkan jenis kelamin yaitu, mengajarkan kepada
anak mengenai area “privasi” sebelum anak masuk sekolah (Kliegman, 2011).
Pendidikan seks tersebut akan membantu orang tua dalam mengembangkan
anak menjadi sehat secara seksual. Anakpun akan memiliki self-esteem yang
lebih baik di masa dewasanya sehingga anak akan terhindar dari pelecahan
seksual yang sedang marak terjadi (Skripsiadi, 2005).
Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia
menjadi hal yang paling memprihatikan saat ini. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan bahwa telah tercatat selama
tahun 2012, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus tindakan kekerasan seksual
terjadi pada anak. Kasus ini mengalami peningkatan signifikan hingga
mencapai 10 persen sepanjang tahun 2012 dibandingkan tahun 2011. Pada
tahun 2013, selama bulan Januari hingga awal Februari 2013 di wilayah
Jabodetabek saja, pihaknya sudah mendapat laporan kejahatan seksual
terhadap anak sebanyak 42 kasus yang terjadi. (BKKBN, 2013)

4

Masih tingginya kasus pelecehan seksual pada anak yang bahkan
dilakukan oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukan
pentingnya pendidikan seks sejak usia prasekolah. Masalahnya, pendidikan
seks kurang diperhatikan orang tua sehingga mereka menyerahkan semua
pendidikan seks pada saat anak bersekolah. Penelitian yang dilakukan LAI
(2005) dalam mengetahui persepsi orang tua terhadap pelaksanaan program
pendidikan seks pada anak Taman Kanak-Kanak (TK) di Hong Kong,
mendapati bahwa orang tua memiliki pemahaman yang tidak adekuat terhadap
pendidikan seks yang dilakukan oleh pihak Taman Kanak-Kanak. Hal ini
disebabkan masih tabunya anggapan orang tua mengenai pendidikan seks
untuk anak prasekolah.
Pendidikan seks untuk anak usia prasekolah masih dianggap tabu oleh
orang tua karena beranggapan bahwa pendidikan seks belum pantas diberikan
pada anak kecil. Anggapan yang demikian tak jarang orang tua mengalihkan
pembicaraan, kadang mereka membentak dan melarang anak dalam
berperilaku dan bertanya terkait masalah seks. Jika orang tua berusaha
menjawab pertanyaan anak terkait masalah seks, tak jarang jawaban yang
diberikan malah terkesan ngawur atau salah. Padahal jawaban yang demikian
dapat memicu anak untuk mengeksplor sendiri, karena mereka merasa
penasaran dan mencari jawaban sendiri, apabila tidak mendapatkannya dari
orang tua. Semakin berkembang teknologi semakin mudah anak mendapatkan
informasi yang kebenarannya belum tentu dapat dipercaya. Hal yang demikian
menuntut kepekaan dan keterampilan orang tua agar mampu memberi

5

informasi dalam porsi tertentu, sehingga tidak membuat anak semakin
bingung atau penasaran. (Skripsiadi, 2005)
Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Kurniawati, Rahmat, &
Lusmilasari (2005) membuktikan bahwa secara umum persepsi dan sikap ibu
dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun kurang baik. Hal
ini dilihat dari pandangan atau pendapat ibu terhadap perasaan mendukung
atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak yang
berkaitan dengan perkembangan seksual anak dan peran ibu dalam
menerapkan pendidikan seks pada anak. Adapun kesimpulan dari penelitian
ini didapati bahwa terdapat hubungan antara persepsi ibu tentang pendidikan
seks pada anak usia 0-5 tahun dengan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan
seks. Hal ini membutikan bahwa orang tua belum mempunyai pemahaman
yang kuat dan belum menjalankan tugasnya dalam mengajarkan pendidikan
seks pada anak sesuai dengan perkembangan anak. Namun penelitian lain
yang dilakukan oleh Kusumawati (2009) pada salah satu TK di daerah
Mojokerto membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks dini dengan perkembangan
perilaku seks pada anak usia 3 hingga 6 tahun. Oleh karena itu, peran orang
tua sebagai pemberi informasi awal mengenai seks pada anak menjadi salah
satu faktor yang akan mempengaruhi perkembangan dan kehidupan anak
kelak.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi orang tua khususnya ibu
dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak prasekolah menurut Lubis
(2012) antara lain: faktor sosial ekonomi, sosial budaya dan riwayat

6

pendidikan seks. Semakin rendah penghasilan keluarga maka orang tua akan
semakin lama di luar rumah sehingga dalam mengajarkan pendidikan seks
pada anak semakin buruk. Faktor budaya yang masih beranggapan bahwa
pendidikan seks merupakan hal tabu akan mempengaruhi orang tua dalam
memberikan pendidikan seks pada anak, dan riwayat pendidikan orang tua
dalam mendapatkan informasi mengenai seks sebelumnya juga akan
mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PAUD Menur
Rw. 09 Kelurahan Cipinang-Jakarta Timur didapati bahwa dari orang tua
murid yang dijadikan responden dalam studi pendahuluan memiliki karakter,
tingkat pendidikan, pekerjaan dan suku bangsa yang berbeda-beda. Adapun
pekerjaan yang dilakukan oleh para orang tua (ibu) murid PAUD Menur Rw
09 hampir sebagian besar merupakan seorang ibu rumah tangga, sedangkan
pendidikan yang mereka dapatkan sebagian besar telah menempuh hingga
tahap Perguruan Tinggi, dengan begitu data yang diperoleh dalam penelitian
ini menjadi lebih bervariatif.
Pengalaman adalah suatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai,
ditanggung, dan sebagainya) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,
2013). Pengalaman juga merupakan salah satu faktor internal yang dapat
mempengaruhi persepsi, pengetahuan, dan perilaku seseorang (Notoatmojo
2005; Swansburg, 2001 & Sunaryo, 2004). Oleh karena itu, dari suatu
pengalaman kita dapat melihat bagaimana persepsi, pengetahuan, perilaku dan
lainnya dari seseorang terkait fenomena yang terjadi.

7

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada topik sebelumnya,
membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengalaman orang tua
khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah (usia
3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi persepsi atau pengetahuan,
perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktor-faktor lain yang terkait di
PAUD Menur Rw. 09 kelurahan Cipinang Jakarta Timur.

B. Rumusan Masalah
Perilaku-perilaku yang ditunjukan anak dalam memuaskan rasa
keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi untuk orang
tua menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai
petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks. Tidak jarang orang
tua mengalihkan pembicaraan, bahkan hingga membentak dan melarang anak
apabila anak mereka berperilaku dan bertanya terkait masalah seks. Penelitian
terkait oleh Walker (2001) di Inggris menyimpulkan bahwa orang tua
memiliki

keterampilan

sebagai

pendidik,

namun

masih

mengalami

ketidakpastian dan malu terhadap peran mereka dalam memberikan
pendidikan seks pada anak. Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada
topik sebelumnya sehingga peneliti tertarik ingin menggali secara mendalam
tentang bagaimana pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada
anak prasekolah (usia 3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi
persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun
faktor-faktor lain yang terkait, khususnya di PAUD Menur Rw. 09 Cipinang
Jakarta Timur.

8

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengalaman
ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6
tahun) di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur.

D. Manfaat Penelitian
1. Orang tua
Memberikan informasi tentang pentingnya pendidikan seks pada usia
prasekolah kepada orang tua sebagai pendidik awal bagi anak dan
memperoleh gambaran pengalaman orang tua khususnya ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah.
2. Institusi pendidikan atau PAUD
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk menambahkan
pendidikan seks pada anak sebagai materi yang akan diberikan untuk
orang tua dan anak.
3. Perawat
Melalui penelitian ini, perawat dapat menilai tentang perlunya konstibutor
perawat dalam menjalankan perannya edukator dan konseler,yakni
perawat

dapat

memberikan

informasi

mengenai

seksualitas

dan

berkolaborasi dengan guru menjadi pembimbing baik kepada anak
maupun orang tua dalam menghadapi masalah mengenai perkembangan
seks pada anak.

9

4. Penelitian selanjutnya
Sebagai sumber referensi dan bacaan untuk peneliti selanjutnya dalam
kaitanya dengan pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada
anak prasekolah.

E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada orang tua khususnya ibu yang memiliki
anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) dan bersekolah di PAUD Menur Rw.
09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif. Sampel dalam
penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Sedangkan untuk memperoleh informasi tentang
pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak yang diperoleh
dari data wawancara mendalam (indepth interview) dibantu dengan alat
pencatat dan alat perekam (tape recorder). Penelitian ini perlu dilakukan
untuk mengetahui gambaran dari pengalaman ibu dalam memberikan
pendidikan seks khususnya pada anak prasekolah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengalaman
1. Pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2013) mengartikan
pengalaman sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalanin, dirasakan,
ditanggung, dan sebagainya). Oakeshott (1933) mengartikan pengalaman
sebagai hal yang subjektif dan merupakan bentuk pemikiran yang
dibangun dan dipengaruhi oleh riwayat hidup seseorang, serta kondisi
sosial budaya dimana pengalaman tersebut terjadi (Jarvis, 2004).
Pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi
persepsi seseorang (Notoatmodjo, 2005). Pengalaman juga mempengaruhi
pengetahuan seseorang, walaupun seseorang dapat mempelajari suatu hal
dengan menghafal, pengalaman sebelumnya dapat dijadikan pembelajaran
yang bermanfaat (Swansburg, 2001). Perilaku individu yang berbeda-beda
pun salah satunya dipengaruhi oleh pengalaman (Sunaryo, 2004). Di sisi
lain, pengalaman dapat pula dipengaruhi oleh memori atau ingatan
seseorang dalam variasi cara yang berbeda (Jarvis, 2004). Dengan
demikian, pengalaman dapat diartikan sebagai hal subjektif yang pernah
dialami seseorang yang dipengaruhi oleh memori atau ingatan dan kondisi
sosial budaya, sehingga akan mempengaruhi persepsi, pengetahuan serta
perilaku seseorang itu sendiri.

10

11

B. Anak Usia Prasekolah
1. Pengertian
Anak usia pra-sekolah adalah anak yang berusia tiga sampai enam
tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Pada anak pra-sekolah,
pertumbuhan berlangsung secara stabil, terjadi perkembangan dengan
aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan
proses berpikir (Narendra, 2002). Kombinasi pencapaian biologis,
psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode pra-sekolah,
yakni mempersiapkan anak pra-sekolah untuk perubahan gaya hidup yang
paling bermakna sebelum anak masuk sekolah (Wong, 2008).
Anak pra-sekolah memiliki karakteristik sebagai individu yang
ingin

tahu, dapat berpikir secara intuitif, dan mengajukan pertanyaan

hampir segala hal. Mereka ingin tahu alasan, sebab, dan maksud segala
sesuatu (mengapa) dapat terjadi tetapi tidak merisaukan proses
(bagaimana) kejadiannya. Fantasi dan realitas tidak dapat dibedakan
dengan baik (Bastable, 2002). Pada usia pra-sekolah rasa ingin tahu yang
pertama kali muncul adalah mengenai perbedaan struktur tubuh antara
anak laki-laki dan perempuan serta anak-anak dan dewasa (Wong, 2008).
Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan anak usia pra-sekolah adalah
menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai
gender yang didefinisikan secara sosial (Potter, 2005). Belajar mengenal
peran-peran seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok
jenis kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari
dirinya sesuai jenis kelaminnya (Skripsiadi, 2005).

12

Montessori beranggapan bahwa tahap perkembangan pada rentang
usia tiga hingga enam tahun, terjadi kepekaan untuk peneguhan sensori
dan semakin memiliki kepekaan indrawi, yang masuk ke dalam masa
keemasan atau golden age. Pada masa keemasan (golden age), terjadi
transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya, namun juga termasuk
ke dalam masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting
bagi perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa yang akan
datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak.
Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan.
Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan anak selanjutnya (Asmani, 2009).
2. Tumbuh kembang anak prasekolah
a. Perkembangan biologis
Kecepatan pertumbuhan fisik melambat dan semakin stabil selama
masa pra-sekolah. Postur tubuh anak pra-sekolah lebih langsing tetapi
kuat, anggun, tangkas, dan tanggap. Namun hanya ada sedikit
perbedaan dalam karakteristik fisik sesuai dengan jenis kelamin,
kecuali yang ditentukan oleh faktor lain seperti pakaian dan potongan
rambut. Pada anak usia pra-sekolah sebagian besar sistem tubuh telah
matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stress dan
perubahan yang moderat. Selama periode ini sebagian besar anak
sudah menjalani toilet training. Perkembangan motorik terjadi pada
sebagian besar peningkatan kekuatan dan penghalusan keterampilan
yang telah diajari sebelumnya, seperti berjalan, berlari, dan melompat.

13

Namun, perkembangan otot dan pertumbuhan tulang masih jauh dari
matur. Penghalusan koordinasi mata-tangan dan otot jelas terbukti
dalam beberapa area. Perkembangan motorik halus jelas terbukti pada
keterampilan anak, seperti dalam menggambar dan berpakaian (Wong,
2008).
b. Perkembangan psikososial
Tugas psiko-sosial utama pada periode pra-sekolah adalah
menguasai rasa inisiatif. Pada tahap perkembangan ini anak sedang
dalam stadium belajar energik. Meraka bermain, bekerja, dan hidup
sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang
sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konfik timbul ketika anak telah
melampaui batas kemampuan mereka dan memasuki serta mengalami
rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak dengan benar.
Perasaan bersalah, cemas, dan takut juga bisa berakibat oleh pikiran
yang berbeda dengan perilaku yang diharapkan.
Perkembangan superego atau kesadaran telah dimulai pada akhir
masa toddler dan merupakan tugas utama untuk anak pra-sekolah.
Mempelajari kebenaran dari kesalahan dan mempelajari kebaikan dari
keburukan adalah permulaan moralitas (Wong, 2008).
c. Perkembangan kognitif
Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya memasukan anak
pra-sekolah yang berusia 3 hingga 6 tahun berada pada tahap praoperasional. Ciri menonjol pada tahap ini dalam perkembangan
intelektual adalah egosentrisme, hal ini bukan berarti egois atau

14

berpusat pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan
diri sendiri di tempat orang lain. Anak menginterpretasikan objek atau
peristiwa, tidak dari segi umum, melainkan dari segi hubungan mereka
atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut. Mereka tidak dapat
melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang
dimilikinya, mereka tidak dapat melihat sudut pandang orang lain, dan
mereka juga tidak dapat mengetahui alasan untuk melakukannya.
Berpikir pra-operasional bersifat konkret atau nyata. Anak-anak
tidak dapat berpikir melebihi yang terlihat, dan mereka kurang mampu
membuat deduksi atau generalisasi. Pemikiran didominasi oleh apa
yang mereka lihat, dengar, atau alami. Akan tetapi, mereka semakin
dapat menggunakan bahasa dan simbol untuk mewakili objek yang ada
di lingkungan mereka. Melalui bermain imajinatif, bertanya, dan
interaksi lainnya, mereka mulai membuat konsep dan membuat
hubungan sederhana antar-ide. Pada tahap akhir periode ini pemikiran
mereka bersifat intuitif (misalnya bintang harus pergi tidur karena
mereka juga tidur) dan mereka baru mulai menghadapi masalah berat
badan, tinggi badan, ukuran, dan waktu. Cara berpikir juga bersifat
transduktif karena dua kejadian terjadi bersamaan, mereka saling
menyebabkan satu sama lain, atau pengetahuan tentang satu ciri
dipindahkan ke ciri lain (misalnya semua wanita yang berperut besar
pasti hamil).
Bahasa

terus

berkembang

selama

periode

pra-sekolah.

Berbicara terutama masih menjadi pembawa komunikasi egosentris.

15

Anak pra-sekolah berasumsi bahwa setiap orang berpikir seperti yang
mereka pikirkan dan penjelasan singkat mengenai pemikiran mereka
membuat keseluruhan pemikiran mereka dipahami oleh orang lain.
Adanya komunikasi verbal yang merujuk pada diri sendiri dan bersifat
egosentris ini maka mengeksplorasi dan memahami pikiran anak kecil
sering kali dibutuhkan melalui pendekatan nonverbal lainnya. Anak
pada kelompok usia ini, metode yang paling menyenangkan dan efektif
adalah bermain, yang menjadi cara anak untuk memahami,
menyesuaikan dan mengembangkan pengalaman hidup.
Anak pra-sekolah semakin banyak menggunakan bahasa tanpa
memahami makna dari kata-kata tersebut, terutama konsep kanan dan
kiri, sebab-akibat, dan waktu. Anak bisa menggunakan konsep secara
benar tetapi hanya dalam keadaan yang telah mereka pelajari.
Pemikiran anak pra-sekolah sering kali dijelaskan sebagai pikiran
magis. Karena egoisentrisme dan alasan transduktif mereka, mereka
percaya bahwa pikiran adalah yang paling berkuasa. Pikiran tersebut
menempatkan mereka pada posisi yang rentan untuk merasa bersalah
dan bertangguang jawab terhadap pikiran buruk, yang secara kebetulan
terjadi sesuai dengan kejadian yang diharapkan. Ketidakmampuan
untuk merasionalisasi sebab-akibat suatu penyakit atau cidera secara
logis menyulitkan meraka memahami kejadian tersebut (Wong, 2008).
d. Perkembangan moral
Teori Kohlberg menempatkan anak pra-sekolah pada tingkat prakonvensional atau pra-moral. Perkembangan penilaian moral anak

16

kecil sedang berada pada tingkat paling dasar. Mereka berperilaku
sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu
tindakan.

Anak

menghindari

hukuman

dan

mematuhi

tanpa

mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan dan
memperkuat aturan dan label (benar atau salah). Anak akan
menentukan bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang
memuaskan kebutuhan mereka sendiri dan terkadang kebutuhan orang
lain. Walaupun unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta
pembagian yang adil juga terlihat pada tahap ini. Hhal tersebut
diinterpretasikan dengan cara yang sangat praktis dan konkret tanpa
kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan (Wong, 2008).
e. Perkembangan spiritual
Pengetahuan anak tentang kenyakinan dan agama dipelajari dari
orang lain yang bermakna dalam lingkungan mereka, biasanya dari
orang tua dan praktik keagamaan mereka. Namun, pemahaman anak
kecil mengenai spiritual dipengaruhi oleh tingkat kognitifnya. Anak
pra-sekolah memiliki konsep konkret mengenai Tuhan dengan
karakteristik fisik, yang sering kali menyerupai teman imaginer
mereka. Mereka mengerti kisah sederhana dari kitab suci dan
menghapal doa-doa yang singkat, tetapi pemahaman mereka mengenai
ritual ini masih terbatas.
Perkembangan kesadaran sangat terkait dengan perkembangan
spiritual. Pada usia ini anak mempelajari kebenaran dari kesalahan dan
berperilaku dengan benar untuk menghindari hukuman. Perbuatan

17

salah mengartikan penyakit sebagai hukuman akibat pelanggaran
mereka yang nyata atau khayalan. Penting bagi anak untuk
memandang Tuhan sebagai pemberi cinta tanpa syarat, bukan sebagai
hakim dari perilaku baik atau buruk (Wong, 2008).
f. Perkembangan citra tubuh
Masa

pra-sekolah

memainkan

peranan

penting

dalam

perkembangan citra tubuh. Meningkatnya pemahaman bahasa, anak
pra-sekolah mengenali bahwa individu memiliki penampilan yang
diinginkan dan yang tidak diinginkan. Mereka mengenali perbedaan
warna kulit dan identitas rasial serta rentan mempelajari prasangka dan
bias. Mereka menyadari makna kata seperti “cantik” atau “buruk”, dan
penampilan mereka mencerminkan pendapat orang lain. Pada usia 5
tahun anak mulai membandingkan ukuran tubuhnya degan teman
sebaya dan bisa menjadi sadar bahwa mereka tinggi atau pendek,
terutama jika orang lain mengatakan mereka “sangat besar” atau
“sangat kecil” untuk usia mereka. Meskipun perkembangan citra tubuh
telah maju, anak pra-sekolah tidak dapat mendefinisikan ruang lingkup
tubuhnya dengan baik dan mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan
mengenai anatomi internalnya (Wong, 2008).

g. Perkembangan seksualitas
Freud menempatkan anak pra-sekolah dalam teori psikoseksualnya
berada pada tahap falik, dimana selama tahap ini genital menjadi area
tubuh yang menarik dan sensitif. Anak mengetahui perbedaan jenis

18

kelamin dan menjadi ingin tahu tentang perbedaan tersebut. Fase yang
sangat penting pada perkembangan seksual pada masa ini yaitu,
mengenal

identitas

dan

kepercayaan

seksual

individu

secara

menyeluruh. Anak usia pra-sekolah menguatkan rasa identitas gender
dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan
secara sosial. Proses pembelajaran ini terjadi dalam perjalan interaksi
normal orang dewasa-anak dari boneka yang diberikan kepada anak,
pakaian yang dikenakan, permainan yang dimainkan, dan respon yang
dihargai. Anak juga mengamati perilaku orang dewasa, mulai untuk
menirukan tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, dan
mempertahankan atau memodifikasi perilaku yang didasarkan pada
umpan balik orang tua.
Pada tahap ini eksplorasi tubuh merupakan perkembangan yang
sedang dialami anak. Eksporasi dapat mencakup mengelus diri sendiri,
manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan, atau orang di
sekitar mereka; dan percobaan sensual lainnya. Sementara mempelajari
bahwa tubuh itu baik dan bahwa stimulasi tertentu itu menyenangkan,
anak dapat juga diajarkan tentang perbedaan perilaku yang bersifat
pribadi versus publik. Permainan dengan pasangan jenis kelamin dapat
ditangani dengan cara seperti apa adanya. Orang tua dapat
menginterpretasi rasa keingintahuan yang ditunjukan sebagai suatu
indikasi yang menandakan bahwa anak telah siap untuk belajar tentang
perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan dan
laki-laki.

19

Pertanyaan mengenai reproduksi seksual bisa sampai ke bagian
depan pencarian anak prasekolah, bahkan pertanyaan tentang dari
mana bayi berasal atau perilaku seksual yang diamati oleh anak harus
dijelaskan secara terbuka, jujur, dan sederhana. Bahkan jika pertanyaan
tidak dijawab, kesempatan pembelajaran harus tetap diberikan melalui
menunjuk pada wanita yang sedang hamil atau perilaku hewan di
kebun binatang atau melalui diskusi tentang seksualitas sebagai tindak
lanjut dari cerita atau program televise yang melibatkan topik ini
(Potter dan Perry, 2005; Wong, 2008).
h. Perkembangan sosial
Selama periode pra-sekolah proses individualisasi-perpisahan
sudah komplet. Anak pra-sekolah telah mengatasi banyak kecemasan
yang berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan
pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka dapat berhubungan dengan
orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi perpisahan
singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protes. Namun,
mereka masih membutuhkan keamanan dari orang tua, penerangan,
bimbingan, dan persetujuan, terutama ketika memasuki masa
prasekolah atau sekolah dasar (Wong, 2008).

C. Pendidikan Seks
1. Pengertian
Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada
anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan

20

konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara
umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi,
kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan
menopause, serta penyakit kelamin (Skripsiadi, 2005).
Pengertian pendidikan seks dalam islam adalah pendidikan tentang
tingkah laku yang baik (berakhlak) berhubungan dengan seks. Jadi,
pendidikan seks ini walaupun tidak dapat dihindarkan dari membahas
tentang seks dalam arti keilmuan (seksologi), yang terpenting dalam
pandangan islam adalah bagaimana penanaman nilai-nilai moral agama,
serta akidah yang kuat dalam pendidikan seks tersebut. Harapannya, anak
mampu tumbuh dengan kematangan seksual yang berlandaskan pada
kekuatan iman, kebersihan jiwa, dan ketinggian akhlak (El-Qudsy, 2012).
Pendapat lain pendidikan seks menurut Profesor Gawshi adalah untuk
memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang menyiapkanya untuk
beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan
kehidupannya dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak
memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah seksual
dan reproduksi (Madani, 2003).
Usia pra-sekolah adalah masa pembentukan rasa percaya diri,
kebanggaan, dan dasar-dasar kemandirian, tetapi belum dapat menerima
pendapat orang lain. Pada usia ini anak sangat butuh bimbingan dengan
penuh kehangatan, kelembutan, kasih sayang, dan hindari dari pengalaman
yang dapat menimbulkan rasa ragu dan malu. Pendidikan seks yang dapat
diberikan pada anak usia pra-sekolah, yakni:

21

a. Memperlakukan anak sesuai dengan kodratnya.
b. Pengenalan dasar anatomi badan
c. Mengajarkan norma seks kepada anak
1) Kenalkan tentang konsep aurat dalam islam. Tunjukan bagian
tubuh mana yang boeh terlihat atau tidak bagi anak laki-laki atau
anak perempuan
2) Ajarkan berbagai doa yang berhubungan dengan alat vital.
Contohnya doa ketika anak membersihkan alat vitalnya selepas
buang air besar atau buang air kecil.
3) Mengajarkan cara berpakaian dan ia harus melepaskan pakaianya,
harus dilakukan di tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau
kamar tidur dan jelaskan kepada anak bahwa ini adalah perilaku
yang pribadi.
4) Memberikan contoh yang benar adalah penting bagi anak.
5) Hindari kecerobohan
6) Pada usia prasekolah, orang tua tidak perlu menjelaskan secara
detail tentang hubungan intim suami istri. Ada beberapa pertanyaan
yang tidak harus dijawab ketika itu. Namun, kita dapat membuat
janji pada waktu yang lain (El-Qudsy, 2012).
Pendapat lain pendidikan seks berdasarkan usia yaitu pada usia balita:
a. Membantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya.
b. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka
merasakan kasih sayang dari orang tuanya secara tulus.

22

c. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak
boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi
harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau kamarnya. Orang
tua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai
mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari
tubuhnya yang tidak semua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya.
d. Mengajarkan anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria
dan wanita. Menjelaskan proses tubuh, seperti hamil dan melahirkan
dalam kalimat sederhana. Menjelaskan bagaimana bayi bisa berada
dalam kandungan ibu. Hal ini tentu saja harus dilihat perkembangan
kognitif anak, yang penting orang tua tidak membohongi anak,
misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau
dibawa burung. Orang tua sebisa mungkin memosisikan diri sebagai
anak pada usia tersebut, yakni dengan memberitahu hal-hal yang
ingin diketahuinya atau dapat menjelaskan dengan contoh yang
terjadi pada binatang.
e. Menghindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi
tubuhnya.
f. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian
tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan
penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau
yang lainnya.
g. Membantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau
pembicaraan soal seks adalah pribadi.

23

h. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang
kepada orang tua untuk bertanya soal seks (Novita,2007).
2. Tujuan pendidikan seks
Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan pendidikan seks
kepada anak menurut islam adalah sebagai berikut:
a. Penanaman dan pengukuhan akhlak sejak dini kepada anak dalam
menghadapi masalah seksual agar tidak mudah terjerumus pada
pergaulan bebas. Diharapkan mereka mampu membentengi diri
dalam menghadapai perubahan-perubahan dorongan seksual secara
islami.
b. Membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab
terhadap masa depan seksual anaknya.
c. Sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama untuk
menghindarkan anak dari pergaulan bebas dan penyimpangan
seksual.
d. Membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual.
e. Membekali anak dengan informasi yang benar dan bertanggung
jawab tentang seks agar mereka terhindar informasi dari sumbersumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
f. Memahami sejak dini tentang perbedaan mendasar antara anatomi
pria dan wanita serta peran masing-masing gender dalam
reproduksi manusia (El-Qudsy, 2012).

24

D. Ibu
1. Pengertian
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu kandung (KBBI, 2013). Orang
tua khususnya ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak-anaknya
sehingga mereka diberi amat dan tanggung jawab untuk mengembangkan
anak-anaknya. Setiap orang tua memiliki tugas kependidikan dan hal itu
hendaknya bisa dijalankan dengan baik karena setiap orang tua pasti
memiliki kepentingan terhadap anak-anaknya (Roqib, 2009).
Islam

mengutamakan

peran ibu

dalam

kaitannya

dengan

pendidikan anak. Al-Mawardi rahimahullah menggambarkan hubungan
ibu dengan anaknya. Dia berkata: “kaum ibu unggul kasih sayangnya
lebih melimpah cinta kasihnya karena merekalah yang langsung
melahirkannya dan memperhatikan pendidikannya. Mereka manusia yang
paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya.” Oleh karena itu
keberadaan ibu dalam keluarga pelaksanaan kewajibannya dalam
mendidik dan merawat dipandang sebagai tiang keluarga yang paling
penting dan sebagai sebab utama ketentraman psikologis dan sosiologis
keluarga (Baharits 2005).
2. Peran ibu
Peranan ibu sebagai orang tua bagi pendidikan anak adalah
memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar, seperti
pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, kasih sayang, rasa aman,
dasar-dasar untuk memenuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaankebiasaan (Hasan, 2009). Salah satu tugas perkembangan anak yang harus

25

dicapai pada masa anak usia 3 hingga 6 tahun adalah belajar mengenai
jenis kelamin dan peran menyertainya. Belajar mengenal peran-peran
seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok jenis
kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari dirinya
sesuai jenis kelaminnya. Ibu sebagai orang tua berkewajiban menanamkan
identitas dan peran seksual yang sesuai dengan jenis kelamin.
Perbedaan-perbedaan sikap ibu sebagai orang tua dan tekanan
terhadap peran seksual yang tidak disesuaikan dengan taraf kematangan
anak dan penjelasan yang cukup, seringkali menimbulkan kebingungan
pada anak. Tidak jarang hal ini membuat anak merasa tidak aman, stres
dan tidak bahagia, baik ayah dan ibu khususnya mempunyai kewajiban
dan peran yang sama dalam menghantarkan anak agar ia bisa berperan
sesuai dengan standar norma yang berlaku. Bila orang tua mempunyai
pandangan dan harapan yang wajar terhadap perbedaan peran berdasarkan
jenis kelamin, tanda menekankan salah satu jenis kelamin lebih penting
dari yang lain, maka anak akan dapat berkembang dengan wajar. Bila
orang tua memberikan informasi yang cukup dan kesempatan yang ada di
sekelilingnya, maka dapat diharapkan ia akan bisa berlatih dan belajar
menemukan identitas seksualnya yang diharapkan daripadanya. Bila anak
berhasil menemukan dirinya, ia puas dengan perannya, dan ia merasa
orang tua pun puas dengannya, maka ia akan berkembang menjadi anak
yang ceria. Sebaliknya bila ia berkembang secara salah, baik disebabkan
oleh pembawaan pribadinya maupun karena sikap dan harapan orang tua,

26

maka sukar diharapkan ia bisa memperoleh kebahagiaan dari lingkungan
dan kepuasan dari dirinya sendiri (Skripsiadi, 2005).
Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan memang perlu dilaku