3. Hypodhermic Needle Theory
Teori ini dikenal dengan banyak nama lain, seperti teori peluru atau teori stimulus respons. Teori ini mengatakan bahwa masyarakat benar-
benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Teori ini menjelaskan bahwa apabila pesan tersebut tepat sasaran, maka akan
mendapatkan efek yang diinginkan Severin dan Tankard, 2011: 147. Model ini muncul selama dan setelah perang dunia pertama. Dalam
bentuk eksperimen, penelitian dengan model ini dilakukan Hovland untuk meneliti pengaruh propaganda sekutu dalam mengubah sikap. Model ini
mempunyai asumsi
bahwa komponen-komponen
komunikasi komunikator, pesan, media amat perkasa dalam mempengaruhi
komunikasi. Disebut model jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan-akan komunikasi disuntikan langsung kedalam jiwa
komunikan. Sebagaimana obat disimpan dan disebarkan dalam tubuh sehingga terjadi perubahan dalam sistem fisik, begitu pula pesan-pesan
persuasif mengubah sistem psikologis. Model ini juga disebut bullet theory teori peluru karena komunikan dianggap secara pasif menerima
berondongan pesan-pesan komunikasi. Bila kita mengunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat
diarahkan sekehendak kita Rakhmat, 2009:62. Menurut Wilbur schramm teori ini dinamai teori peluru perak.
Teori ini mengatakan bahwa media bekerja seperti peluru yang dibidikan kearah sasaran, jika senapan diisi secara benar dan dibidikan secara akurat,
peluru akan menembus sasaran. Artinya, media akan menghasilkan efek yang diinginkan atas khalayak sasaran. Menurut pandangan ini, khalayak
seperti sasaran tembak, bersikap pasif dan tidak menunjukan penolakan. Seperti halnya sasaran tidak dapat menolak untuk ditembus, begitu juga
khalayak Devito, 1997:522. Teori peluru ini dikembangkan sebagian besar dari orang-orang
yang ketakutan sebagai akibat propaganda masa perang. Orang mengasumsikan bahwa pemerintah musuh akan mampu mengubah nilai-
nilai dan kepercayaan dasar hanya dengan menembakan pesan-pesan yang tepat. Tetapi penerima sebenarnya merupakan peserta aktif, tidak pasif.
Penerima membentuk, mengubah dan bahkan mencipta ulang pesan-pesan yang mereka terima. Pendengar bersikap selektif terhadap apa yang datang
kepada mereka dan mengenai apa yang mereka ingat. Teori ini di samping mempunyai pengaruh yang sangat kuat juga
mengasumsikan bahwa para pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih pintar dibanding audience. Akibatnya, audience bisa dikelabuhi
sedemikian rupa dari apa yang disiarkan. Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audience bisa ditundukan sedemikian
rupa atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki media. Intinya, sebagaimana dikatakan oleh Jason dan Anne Hill 1997,
media massa dalam teori jarum hipodermik mempunyai efek langsung “disuntikan” kedalam ketidaksadaran audience Nurudin, 2007:166.
Pada era masyarakat massa, para peneliti meyakini efek media massa melalui teori peluru, yang berarti individu dipengaruhi secara
langsung oleh pesan media. Media massa dinilai sangat berkuasa dalam membentuk opini publik. Teori ini mempunyai pemikiran bahwa media
adalah obat yang berbahaya atau kekuatan pembunuh yang berbahaya yang dapat secara langsung dan segera menembus sistem saraf manusia
Morissan, 2010:18. Di penelitian ini, Hypodermic needle theory menunjukan bahwa
pemberitaan penyerangan Lapas Cebongan Sleman yang dilakukan oleh beberapa anggota Kopassus yang diberitakan oleh media berhasil masuk
kedalam pikiran khalayak yang efeknya mengubah sikap, perilaku, dan pendapat masyarakat secara tidak disadari. Dimana dalam teori
Hypodermic needle theory, kasus penyerangan Lapas Cebongan Sleman yang dilakukan oleh beberapa anggota Kopassus merupakan sebuah jarum
suntik yang berisikan pesan-pesan yang disebarkan secara langsung kepada masyarakat khususnya masyarakat Dukuh Tanggul, Kelurahan
Pucangan, Kecamatan Kartasura, yang menghasilkan umpan balik seputar pemberitaan kasus tersebut berupa pendapat atau persepsi masyarakat
mengenai sosok Kopassus.
4. Berita