Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman Di Bandar Lampung

ABSTRAK
Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman
Di Bandar Lampung
Oleh:
Ririanty Yunita
Etnis Minangkabau merupakan etnis yang beradat minangkabau. Adat Minangkabau menganut
sistem matrilineal. Dalam adat ini dikenal tradisi merantau. Remaja pria minangkabau biasa
merantau dengan harapan mendapatkan hidup yang lebih layak di daerah rantau. Termasuk
orang-orang padang pariaman juga mengikuti tradisi ini. Mereka biasa merantau ke luar daerah
minang, termasuk ke kota Bandar Lampung. Salah satu adat minangkabau yang cukup menarik,
adalah adat perkawinan. Adat perkawinan minangkabau di kabupaten padang pariaman, berbeda
dengan adat perkawinan minangkabau daerah lain, perbedaan ini terletak dalam tradisi bajapuik
yang mensyaratkan adanya uang japuik. Hal ini dilakukan karena laki-laki itu akan menjadi
urang sumando dalam keluarga gadis itu kelak. Namun, tradisi pemberian uang japuik ini sering
dianggap negatif oleh sebagian orang, karena kesannya mempelai pria dibeli oleh keluarga
mempelai wanita.
Walaupun dianggap negatif, pemberian uang japuik mempunyai maksud yang baik. Tradisi tetap
dijalankan. Para perantau minang yang berasal dari Padang Pariaman juga mempraktekkan
pemberian uang japuik dalam adat perkawinan, termasuk yang merantau ke Bandar Lampung.
Oleh karena itu, rasanya menarik bila mengetahui bagaimana persepsi orang-orang padang
pariaman di Bandar Lampung mengenai pemberian uang japuik dalam perkawinan.

Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimanakah persepsi komunitas padang pariaman di
Bandar Lampung mengenai uang japuik dalam adat perkawinan padang pariaman. Persepsi itu
sendiri akan diketahui dari faktor pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman orang-orang
padang pariaman, sehingga melahirkan persepsi yang berbentuk positif atau berbentuk negatif
mengenai uang japuik dalam adat perkawinan padang pariaman di Bandar Lampung. Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif, dengan teknik pengumpulan data angket, wawancara dan
kepustakaan. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik analisa kualitatif melalui
persentase.
Berdasarkan hasil pembahasan, dari 92 responden dalam penelitian ini, sebanyak 7 responden
atau 8%. responden termasuk dalam kategori rendah dalam mempersepsikan mengenai uang
japuik. Mereka mempunyai persepsi negatif mengenai tradisi ini. Sebanyak 85 responden atau

92% responden dari 92 responden termasuk dalam kategori tinggi dalam mempersepsikan uang
japuik. Responden ini mempunyai persepsi positif mengenai uang japuik.
Jadi dapat disimpulkan persepsi para perantau asal kabupaten padang pariaman mengeai tradisi
pemberian uang japuik dalam adat perkawinan padang pariaman di kota Bandar Lampung,
termasuk persepsi positif karena sebagian besar responden mempunyai persepsi berbentuk positif
mengenai hal ini.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri
dari ribuan pulau yang dipisahkan oleh lautan, menjadikan negara ini memiliki
etnis serta budaya yang beragam. Diantara keanekaragaman kelompok etnis dan
budaya yang mendiami Indonesia itu, salah satunya adalah etnis minangkabau,
yang berbudaya minangkabau. Orang minangkabau, mempunyai falsafah hidup,
yaitu alam takambang manjadi guru, (Hakimy, 2001:1) yang artinya dalam
bahasa indonesia adalah “alam terkembang menjadi guru”.

Merupakan suatu ketentuan dalam adat Minangkabau bahwa alam terkembang
yang dipelajari dengan seksama merupakan sumber dan bahan-bahan pengetahuan
yang dapat dipergunakan dalam mengatur kehidupan manusia. (Hakimy, 2001:2)

Salah satu adat minangkabau yang asli dan unik, adalah keturunan menurut ibu
(matrilineal) (Hakimy, 2001:38). Orang minang menganggap ibu merupakan
sumber utama perkembangan hidupnya budi yang baik, ibu yang baik, akan
melahirkan insan yang baik dan berbudi pula (Hakimy, 2001:39). Semua hal
diprioritaskan untuk kaum ibu, karena kaum ibu mempunyai kodrat dan
kemampuan yang lemah bila dibanding kaum laki-laki, apa lagi kebebasan kaum


2

ibu tidak sama dengan laki-laki (Hakimy, 2001:42-43). Karena alasan-alasan itu
lah orang minang sangat menghormati kaum ibu dan menganut sistem matrilineal.
Dalam adat minangkabau, bila anak laki-laki sudah mengenal uang, maka ia tidak
tinggal bersama orang tuanya lagi, atau tidak tinggal di rumah gadang lagi, ia
harus tidur di surau atau masjid. Namun, anak perempuan tetap tinggal dalam
rumah gadang atau masih tinggal bersama orang tuanya. Oleh karena itu, anak
laki-laki minangkabau mempunyai tradisi merantau ke daerah lain, termasuk yang
berasal dari padang pariaman.

Orang-orang padang pariaman banyak merantau ke kota-kota besar di Indonesia,
salah satunya ke kota Bandar Lampung. Di Kota Bandar Lampung, para perantau
hidup berkeluarga dan menyebar di berbagai sudut Kota Bandar Lampung. Para
perantau ini ada yang berkeluarga dengan orang minangkabau juga dan ada juga
yang berkeluarga dengan suku lainnya. Mereka bekerja mencari uang untuk
menghidupi keluarganya, banyak dari mereka berprofesi sebagai pedagang atau
wiraswasta. Para perantau ini mempunyai wadah berkumpul sebagai ajang
silaturahmi sesama perantau. Misalnya perantau asal kabupaten padang pariaman,
mempunyai organisasi bernama Perkumpulan Keluarga Daerah Piaman (PKDP).


Salah satu adat dalam minangkabau, adalah adat perkawinan. Status perempuan
begitu dihormati dalam mayarakat minang sebagai bundo kanduang. Sistem
matrilineal juga mengatur perkawinan orang-orang Minangkabau. Laki-laki
minang yang menikah dengan perempuan minang statusnya sebagai urang

3

sumando atau pendatang di rumah keluarga istrinya. Suami bertempat tingal di
lingkungan istrinya. Ia dihormati dan diperlakukan sebaik-baiknya.

Setiap perkawinan di minangkabau, maka pengantin pria akan dijemput oleh
keluarga pengantin pria. Istilah ini dikenal dengan bajapuik (Azwar, 2001:55).
Dalam adat perkawinan Minangkabau ini, pihak calon pengantin wanita (anak
daro) akan menjemput calon pengantin pria (marapulai), karena marapulai akan
menjadi urang sumando dalam keluarga istrinya nanti.
Falsafah Adat Minangkabau memandang bahwa suami merupakan orang
datang. Dengan sistem matrilokalnya, hukum adat memposisikan suami
sebagai tamu di rumah istrinya.sebagai tamu atau orang datang, maka berlaku
nilai moral datang karano dipanggia, tibo karano dijapuik (datang karena

dipanggil, tiba karena dijemput). Dalam prosesi pernikahan, selalu laki-laki
yang diantar ke rumah istrinya, sebagai ketulusan hati menerima, maka
dijemput oleh keluarga istri secara adat. Begitupula sebaliknya, sebagai
wujud keikhlasan melepas anak kemenakan maka laki-laki diantar secara adat
oleh kerabat laki-laki. Karenanya laki-laki disebut juga sebagai “orang
jemputan” (Azwar, 2001 :56)
Di daerah padang pariaman, saat menjemput berbeda dengan daerah minang
lainnya, karena saat manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria) ini,
biasanya menyertakan benda pertukaran, salah satunya disebut uang japuik (uang
jemputan). Kebiasaan ini berbeda dengan kabupaten lainnya di Sumatera Barat.
Tentu tradisi pemberian uang japuik ini memiliki makna di dalamnya. Perkawinan
Padang pariaman sendiri terdiri dari berbagai macam rangkaian.
Adat perkawinan Padang Pariaman terdiri dari berbagai rangkaian. Ada
aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas saat perkawinan dan
sesudah perkawinan. Dalam aktivitas sebelum perkawinan di padang
pariaman terdiri dari maratak tanggo, mamendekkan hetongan, batimbang
tando (maminang) dan menetapkan uang jemputan. Lalu saat perkawinan
terdiri dari bakampuang-kampuanngan, alek randam, malam bainai,
badantam, bainduak bako, manjapuik marapulai, akad nikah, basandiang di
rumah anak daro, dan manjalang mintuo. Kemudian aktivitas setelah


4

perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu mengantar limau, berfitrah,
mengantar perbukoan, dan bulan lemang. (Ramot Silalahi, 2000:28-53)
Dalam hal penetapan uang japuik ini, Ramot Silalahi menjelaskan,
Uang japuik ini biasanya ditetapkan dalam acara sebelum perkawinan,
biasanya mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya pada calon anak daro,
apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta
isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila
keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan
menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Uang japuik sendiri akan
ditetapkan oleh kedua belah pihak setelah acara batimbang tando dan akan
didiberikan saat akad nikah oleh pihak keluarga mempelai wania kepada
keluarga pria saat acara manjapuik marapulai. (Ramot Silalahi, 2000:83-84)
Tatacara perkawinan tersebut, agak berbeda saat dilaksanakan di daerah rantau.
Misalnya, pelaksanaannya tidak seketat di daerah asal. Bila di Pariaman, dalam
perkawinan tidak menyertakan uang japuik, maka keluarganya dicemooh orangorang kampung, bahkan bisa diusir karena tidak menghargai ninik mamak.
(wawancara dengan ketua PKDP, Bapak Herman Nofri Hossen, tanggal 2 April
2012). Para perantau tersebut, juga mempunyai anggapan yang berbeda tentang

tradisi tersebut, termasuk dalam pemberian uang japuik yang sering dianggap
memberatkan namun harus dilaksanakan dalam perkawinan adat padang
pariaman.

Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimanakah persepsi orang-orang
rantau dari padang pariaman mengenai uang japuik, apakah para perantau tersebut
mempunyai persepsi yang berbetuk positif ataupun negatif mengenai uang japuik.
Persepsi ini akan diukur melalui aspek pengetahuan, pengalaman dan pemahaman
orang-orang padang pariaman yang merantau ke Kota Bandar Lampung. Orangorang padang pariaman perantauan sendiri di Bandar Lampung masih

5

berkomunikasi dan menjalin silaturahmi sesama perantau di Perkumpulan
Keluarga Padang Piaman (PKDP) kota Bandar Lampung.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi
masalah sebagai berikut :
a. Tatacara pelaksanaan perkawinan adat padang pariaman di daerah rantau
khususnya kota Bandar Lampung

b. Makna pemberian uang japuik dalam adat perkawinan padang pariaman
c. Persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung
tentang Uang Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar
Lampung.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan

identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah yaitu persepsi

orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang Uang
Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung.

D.

Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah maka yang menjadi rumusan
pada penelitian ini adalah : bagaimanakah persepsi orang-orang Padang Pariaman
perantauan di Bandar Lampung tentang Uang Japuik dalam adat perkawinan

Padang Pariaman di Bandar Lampung?

6

E.

Tujuan, Kegunaan Dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah persepsi orang-orang
Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang Uang Japuik dalam
adat perkawinan padang pariaman di kota Bandar Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan proposal ini adalah :
a.

Menjadi suplemen dalam mata pelajaran sejarah lokal di SMA

b.


Dapat memperbaiki pandangan pembaca tentang praktek uang japuik
yang berlaku dalam perkawinan orang-orang Padang Pariaman yang
dianggap berbeda dengan tradisi perkawinan lainnya.

c.

Dapat menambah informasi dan wawasan bagi para pembaca mengenai
ersepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung
tentang Uang Japuik.

3. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat masalah diatas cukup umum dalam penelitian untuk menghindari
kesalahpahaman, maka

dalam hal ini penulis memberikan kejelasan tentang

sasaran dan tujuan penulis mencakup :
a. Objek Penelitian

: Persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di

Bandar Lampung tentang Uang Japuik

b. Subjek Penelitian :

Orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar
Lampung

c. Tahun Penelitian : Tahun 2012

7

d. Tempat Penelitian : Kota Bandar Lampung
e. Bidang Ilmu

: Antropologi Budaya

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1.

Konsep Persepsi

Jalaludin Rahmat mengemukakan persepsi adalah pengalaman tentang obyek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan (Jalaludin Rahmat, 2003:15). Desideranto dalam
Jalaluddin Rahmat persepsi adalah penafsiran suatu objek, peristiwa atau
informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan
penafsiran itu (Jalaludin Rahmat, 2003:16).
Mar’at menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses pengamatan seseorang
yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi itu dipengaruhi oleh faktorfaktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Manusia
mengamati suatu objek psikologik dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai
oleh nilai dari kepribadiaannya, sedangkan objek psikologik ini berupa
kejadian, idea atau, situasi tertentu. Faktor pengalaman, proses belajar atau
sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat,
sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap objek
psikologik tersebut (Mar’at 1992:22).

Thoha mendefinisikan bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses kognisi
yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang
lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, peranan
dan penciuman. (Thoha, 2006:27).

9

Sarlito Wirawan menyatakan bahwa persepsi merupakan hasil hubungan antar
manusia dengan lingkungan kemudian diproses dalam alam kesadaran
(kognisi) yang dipengaruhi memori tentang pengalaman tentang masa lampau,
minat, sikap, intelegensi, dimana hasil penelitian terhadap apa yang
diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku (Sarlito Wirawan 1995:77).

Dari beberapa pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa persepi adalah penafsiran
tentang suatu objek, yang dipengaruhi oleh pengalamannya, pengetahuannya
dalam memahami objek tersebut sehingga menghasilkan penafsiran.

a. Proses Terjadinya Persepsi
Mar’at menjelaskan, proses persepsi merupakan proses pengamatan seseorang
yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor
pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya (Mar’at, 1992 : 22).

Manusia mengamati suatu obyek psikologis dengan kacamatanya sendiri yang
diwarnai oleh nilai dari pribadinya. Sedangkan obyek psikologis ini dapat berupa
kejadian, ide, atau situasi tertentu. Faktor pengalaman, proses belajar atau
sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan
pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek psikologik
tersebut.

Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa
yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan

10

terjadi pemahaman terhadap obyek tersebut. Selanjutnya komponen afeksi
memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang) terhadap objek.

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana persepsi orang-orang
Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung mengenai tradisi Uang Japuik.
Proses persepsi itu sendiri akan diketahui dari komponen-komponen yaitu
pengetahuan, pengalaman dan pemahaman responden mengenai uang japuik di
Bandar Lampung.

Menurut Nadler pengetahuan adalah proses belajar manusia mengenai kebenaran
atau jalan yang benar secara mudahnya mengetahui apa yang harus diketahui
untuk dilakukan (Nadler, 1986:62). Notoatmodjo menyatakan bahwa pengetahuan
merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap
obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagaian

besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007:90).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil
dari proses belajar manusia mengenai kebenaran dan jalan untuk mengetahui apa
yang harus diketahui untuk dilakukan, melalui proses penginderaan melalui panca
indera manusia.

Pengalaman menurut Notoatmodjo merupakan guru yang baik, yang menjadi
sumber pengetahuan dan juga merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran

11

pengetahuan (Notoatmojo, 2007:53). Sedangkan menurut Muhibbin Syah
pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodik, yaitu memori yang
menerima dan menyimpan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dialami individu
pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi
(Muhibbin Syah, 2003:20). Menurut W.J.S. Purwadarminta, pengalaman bila
dilihat dari sudut bahasa adalah merupakan sesuatu yang dikerjakan atau dialami
atau barang yang telah diketahui atau dirasakan, dikerjakan, dan sebagainya
(W.J.S. Purwadarminta, 1998: 314).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengalaman adalah sesuatu
yang telah diketahui dan dikerjakan atau dialami individu pada waktu dan tempat
tertentu untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.

Menurut W.J.S. Purwadarminta, pemahaman berasal dari kata “paham” dalam
kamus bahasa Indonesia diartikan menjadi benar. Seorang dikatakan paham
terhadap sesuatu hal, apabila orang tersebut mengerti benar dan mampu
menjelaskannya

(W.J.S.

Purwadarminta,

1998:314).

Suharsimi

Arikunto

menyatakan bahwa pemahaman (comprehension) adalah bagaimana seorang
mempertahankan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas,
menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali,
dan memperkirakan (Suharsimi Arikunto, 2009:118).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah
bagaimana seorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates),

12

menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan
contoh, menuliskan kembali, dan memperkirakan. Seorang dikatakan paham
terhadap sesuatu hal, apabila orang tersebut mengerti benar dan mampu
menjelaskannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah persepsi orang-orang
Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat
perkawinan padang pariaman di kota Bandar Lampung. Persepsi itu sendiri akan
dibentuk berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan pemahaman orang-orang
padang pariaman mengenai uang japuik tersebut, terutama uang japuik dalam adat
perkawinan padang pariaman di Bandar Lampung.

b. Bentuk- Bentuk Persepsi
Menurut Thoha, dilihat dari segi individu setelah melakukan interaksi dengan
obyek yang dipersepsikannya, maka dapat diketahui ada dua bentuk persepsi yaitu
yang bersifat positif dan negatif (Thoha, 2006:30).

1. Persepsi Positif
Persepsi positif yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan
menuju pada suatu keadaan dimana subjek yang mempersepsikan cenderung
menerima obyek yang ditangkap karena sesuai dengan pribadinya. Persepsi
positif menggambarkan segala pengetahuandan tanggapan dapat diteruskan
oleh pemanfaatannya. Hal itu akan diteruskan dengan keaktifan menerima
dan mendukung obyek yang dipersepsikan.

13

2. Persepsi Negatif
Persepsi negatif yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan
menunjukan pada keadaan dimana subyek yang mempersepsikan cenderung
menolak obyek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pribadinya. Hal
itu akan diteruskan dengan kepasifan menolak dan menentang obyek yang
dipersepsikan.

Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimanakah persepsi orang-orang
Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang Uang Japuik dalam
adat perkawinan padang pariaman di kota Bandar Lampung, yang akan dilihat
dari faktor pengetahuan, pengalaman dan pemahaman orang-orang padang
pariaman di Bandar Lampung mengenai uang japuik. Hasil persepsi dari
orang-orang padang pariaman tersebut kemudian akan dikategorikan, apakah
persepsinya berbentuk positif atau berbentuk negatif.

2. Konsep Adat Perkawinan Padang Pariaman
Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau banyak mempergunakan kata
adat terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma
yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan orang-orangnya. Menurut orang
minang, adat adalah kebudayaan secara keseluruhan.

Adat Minangkabau merupakan peraturan dan undang-undang atau hukum adat
yang berlaku dalam kehidupan sosial orang-orang Minangkabau, terutama yang
bertempat tinggal di alam Minangkabau. (Sjarifoedin, 2011:56)

14

Adat Minangkabau terdiri dari empat macam atau empat jenis, dikenal juga
dengan Adat Nan Ampek. Yaitu Adat Nan Sabana Adat, Adat Nan Diadatkan,
Adat Nan Teradat dan Adat Istiadat (Hakimy, 1994:104).

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang perkawinan republik Indonesia
No. 1 Th. 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang maha Esa. Perkawinan dianggap
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan
yang dianut sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membentuk keluarga yang kekal santun menyantuni, kasih mengasihi tenteram
dan bahagia. (Mohammad Idris, 1999:1)

Dapat disimpulkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara
sah membentuk keluarga yang bahagia, kekal santun menyantuni, kasih mengasihi
tenteram dan bahagia.

Jadi, adat perkawinan minangkabau adalah ikatan lahir batin antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah membentuk keluarga yang bahagia, kekal santun menyantuni, kasih

15

mengasihi tenteram dan bahagia, yang diikat oleh peraturan dan undang-undang
atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial orang-orang Minangkabau,
terutama yang bertempat tinggal di alam Minangkabau.

Sistem perkawinan di minangkabau berdasarkan sumando. Setiap terjadi
perkawinan, laki-laki akan dijemput oleh keluarga istri dan diantar ke rumah istri
secara adat, jika terjadi perceraian, maka laki-laki lah yang pergi dari rumah sang
istri dan istri akan tetap tinggal di rumah bersama keluarga (Hakimy, 2001:46)

Adat

perkawinan

Padang

Pariaman

termasuk

dalam

adat

perkawinan

minangkabau, namun terjadi di wilayah kabupaten Padang Pariaman. Adat
perkawinan Padang Pariaman ini berbeda dengan adat perkawinan daerah
minangkabau lainnya, karena mempunyai tradisi bajapuik (menjemput pengantin
laki-laki) yang mensyaratkan adanya uang japuik. Adat perkawinan ini, termasuk
dalam adat nan diadatkan. Karena hanya terjadi di daerah tertentu saja, dalam hal
ini hanya terjadi dalam lingkup padang pariaman saja. Adat perkawinan ini,
dilaksanakan oleh penduduk padang pariaman, termasuk yang telah merantau ke
kota lainnya, salah satunya kota Bandar Lampung.

3. Konsep Uang Japuik
Bajapuik (japuik; Jemput) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di
daerah pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga
perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon
suami) sebelum akad nikah dilangsungkan. (Azwar, 2001:52)

16

Uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada
pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan dikembalikan lagi
pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kalinya. Uang jemputan ini
berwujud benda yang bernilai ekonomis seperti emas dan benda lainnya.
Penentuan uang jemputan dilakukan pada saat acara maresek dan bersamaan
dengan penentuan persyaratan lainnya. Sedangkan untuk pemberian
dilakukan pada saat menjemput calon mempelai laki-laki untuk melaksanakan
pernikahan di rumah kediaman perempuan. (Maihasni, 2010:12)
Uang Japuik adalah pemberian dari keluarga pihak perempuan kepada pihak lakilaki yang diberikan pihak perempuan pada saat acara manjapuik marapulai dan
akan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua pada pertama kalinya
(acara manjalang). Uang Japuik ini sebagai tanda penghargaan kepada masingmasing pihak. (Azwar, 2001:53)

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan, uang jemputan (Uang Japuik)
adalah sejumlah pemberian berupa uang atau benda yang bernilai ekonomis yang
diberikan pihak keluarga calon pengantin perempuan (anak daro) kepada pihak
calon pengantin laki-laki (marapulai) pada saat acara penjemputan calon
pengantin pria (manjapuik marapulai).

a. Asal Mula Uang Japuik
Menurut cerita, tradisi bajapuik sudah ada dari sejak dahulu, bermula dari
kedatangan Islam ke Nusantara. Mayoritas orang minang merupakan penganut
agama Islam. Sumber adat minangkabau adalah Al-Qur’an, seperti kata pepatah
minang “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabulloh”. (Hakimy, 1994:6).

Dokumen yang terkait

Konstruksi Makna Uang Jemputan Dalam Adat Pernikahan di Pariaman Bagi Mahasiswi Asal Pariaman di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Uang Jemputan Dalam Adat Pernikahan di Pariaman Bagi Mahasiswi Asal Pariaman di Kota Bandung)

0 4 1

TAR PADANG DALAM PERKAWINAN ADAT LAMPUNG PEPADUN DI KAMPUNG KOTA AGUNG KECAMATAN SUNGKAI SELATAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA

0 13 46

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN NILAI UANG JUJUR DALAM ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN

0 4 4

Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki

1 44 87

SANKSI ADAT TERHADAP PERKAWINAN SESUKU DALAM KENAGARIAN SUNGAI ASAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN.

0 0 16

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

0 0 15

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

0 0 2

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

2 7 14

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

1 7 31

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

3 5 6