Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Penelitian
Paradigma
dalam
penelitian
ini
menggunakan
paradigma
konstruktivisme. Morissan (2014: 165) mengemukakan, teori konstruktivisme
(constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh
besar
terhadap
perkembangan
ilmu
komunikasi.
Teori
konstruktivisme
menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak, menurut
berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Sedangkan Creswell
(2010: 11), menyebutkan bahwa konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi
bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia, di mana mereka hidup
dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalamanpengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau bendabenda tertentu.
Ardianto & Anees (2007: 154) menyebutkan bahwa paradigma
konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Prinsip
dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh
konstruk diri, sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri,
sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan dan ditentukan oleh diri di tengah
pengaruh lingkungan luar. Sebagaimana Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007:
22-23), konstruktivis merupakan pendekatan yang menggunakan pola pikir
Universitas Sumatera Utara
16
induktif yaitu berjalan dari spesifik menuju umum, dari yang konkret menuju
abstrak, ilmu yang bersifat ideografis, nomotetis dan ilmu yang tidak bebas nilai.
Sementara itu Hidayat (2003: 3) mengemukakan, paradigma konstruktivis sebagai
analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan
langsung dan terperinci, terhadap pelaku sosial yang bersangkutan, menciptakan
dan memelihara atau mengelola dunia sosial seseorang.
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu.
Penelitian terdahulu tentang kajian persepsi budaya, khususnya penelitian
tentang tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, dapat dilihat pada beberapa
penelitian berikut ini:
(1). Matrilokal dan status perempuan: studi kasus tentang status perempuan dalam
Tradisi Bajapuik di Pariaman Sumatera Barat.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Azwar Wilhendri (2000), dalam
tesisnya pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yokyakarta. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa dalam lembaga keluarga dengan pola kekerabatan
patrilineal-patrilokal, merupakan wadah lahirnya sistem patriarki. Sistem
patriarki sebagai analisis dalam studi perempuan, dianggap sebagai salah satu
sebab timbulnya pensubordinasian dan penindasan terhadap hak-hak sosial
perempuan dalam hubungan kesetaraan gender .
Kota Pariaman secara kultural, merupakan salah satu wilayah di
Minangkabau, dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, status dan
kedudukan perempuan dianggap sangat kuat. Ternyata pada tradisi bajapuik
dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal tersebut, status dan
kedudukan perempuan tersubordinasi, baik dalam keluarga maupun dalam
Universitas Sumatera Utara
17
hubungan sosial. Pada sistem patriarki, posisi perempuan berada di bawah
otoritas bapak sebelum menikah dan dikuasai oleh suami setelah menikah.
Sementara itu pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, seorang
perempuan dikuasai oleh mamak (paman) dalam hubungan kerabat (extended
family), sekaligus oleh suami di dalam keluarga inti (nuclear family). Hal
tersebut dibuktikan dengan lemahnya akses perempuan, dalam pengambilan
keputusan untuk menentukan terjadinya ikatan perkawinan, karena intervensi
mamak.
Posisi tawar (bargaining position) dalam menentukan nilai uang
japuik juga lemah, ini juga berlaku pada pengelolaan uang japuik,
penghargaan terhadap status sosial dan status perempuan dalam keluarga.
Kesimpulannya bahwa tradisi bajapuik membuktikan bahwa sistem patriarki
terlembaga dalam perkawinan. Penelitian ini membuktikan, sistem patriarki
juga terjadi pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, di mana
perempuan mengalami subordinasi berganda (Sumber: http://etd.ugm.ac.id).
(2). Persepsi remaja tentang Tradisi Uang Jemputan dalam adat perkawinan suku
Minang (Studi deskriptif pada Ikatan Keluarga VII Koto sekretariat Jalan
Bromo Medan).
Penelitian tersebut dilakukan Susanti (2005), dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana remaja khususnya gadis Minang, mempersepsikan
tradisi uang jemputan pada adat perkawinan Pariaman. Dalam penelitian ini,
juga dilakukan observasi pada sebuah pesta perkawinan, yang melaksanakan
tradisi uang jemputan didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan, tradisi uang
Universitas Sumatera Utara
18
jemputan masih dilaksanakan dalam perkawinan masyarakat suku Minang
yang berasal dari daerah Pariaman.
Sementara itu seorang tokoh adat Minang Pariaman yang menjadi
nara sumber (key informan) dalam penelitian mengatakan bahwa uang
jemputan sebenarnya bermakna tanggung jawab mamak (saudara laki-laki
ibu), dalam pencarian jodoh yang layak dan sesuai untuk keponakannya.
Sedangkan gadis Minang yang merupakan informan dalam penelitian,
umumnya mempersepsikan uang jemputan secara subjektif, yaitu perempuan
sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak pantas atau tidak layak
(Susanti, 2005: 73).
(3). Perubahan Tradisi Bajapuik pada perkawinan orang Minang Pariaman di Kota
Binjai.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Deliani (2005). Hasil penelitian
menyebutkan bahwa di Kota Binjai, banyak anak-anak muda Pariaman yang
memilih jodohnya sendiri. Sedikit sekali di antara anak-anak orang Minang
Pariaman, yang mengikuti perkawinan melalui perjodohan. Keluarga dan para
mamak (paman), dalam hal ini hanya mengikuti pilihan mereka dan
membantu mempersiapkan kebutuhan pernikahan anak-anak mereka. Para
ninik mamak menganggap, jika terjadi pergeseran pada adat itu lumrah,
meskipun keinginan untuk memegang adat masih kuat.
Deliani juga menemukan beberapa bentuk perubahan yang terjadi
dalam tradisi Bajapuik di Kota Binjai. Perubahan tersebut adalah sebagai
berikut: (1). Tradisi perkawinan bajapuik orang Minang Pariaman,
berlangsung dengan sejumlah variasi dan penyederhanaan di dalamnya;
Universitas Sumatera Utara
19
(2). Perubahan dalam struktur sosial orang Minang Pariaman, sedikitnya
ditandai dengan bergesernya struktur dalam sistem kekerabatan mereka, dari
konsep extended family ke arah bentuk nuclear family; dan (3). Perubahan
yang terjadi dalam struktur sosial orang Minang tersebut, berimplikasi pada
perubahan orientasi nilai budaya pada pelaksanaan tradisi bajapuik. Selain
pengaruh dari luar sistem dan sosial budaya orang Minang Pariaman (faktor
eksternal), perubahan tradisi bajapuik juga didorong oleh kebutuhan dari
dalam (faktor internal).
(4). Bentuk-bentuk perubahan pertukaran dalam perkawinan Bajapuik.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Maihasni, Titik Sumarti, Ekawati
Sri Wahyuni dan Sediono MP. Tjondronegoro (2010: 190). Hasil penelitian
mendapati perubahan pertukaran pada perkawinan bajapuik di Pariaman,
melalui 4 (empat) bentuk perubahan pertukaran, yaitu: 1). Uang jemputan
adalah uang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, dan
dikembalikan lagi kepada perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk
pertama kali. Bentuk pengembalian ini berwujud benda yang bernilai
ekonomis, seperti emas dan benda lainnya; 2). Uang hilang adalah pemberian
kepada pihak laki-laki, namun tidak dikembalikan kepada pihak perempuan.
Pemberian tersebut dapat berwujud benda, khususnya uang yang dapat
dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga laki-laki khususnya orang tua;
3). Uang selo adalah salah satu bentuk pengeluaran lain dari pihak
perempuan, untuk membiayai adat perkawinan. Uang selo ini diberikan
kepada ninik mamak pihak laki-laki, yang hadir pada saat pertunangan; dan
4) Uang tungkatan adalah uang tembusan dari benda-benda tungkatan yang
Universitas Sumatera Utara
20
dibawa perempuan, sebagai persyaratan menjemput mempelai laki-laki untuk
dinikahkan.
(5). Uang Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Ririanty Yunita, Syaiful M dan
Muhammad Basri (2012). Inti sari dalam penelitian ini berdasarkan rumusan
masalah yaitu bagaimanakah persepsi orang-orang Padang Pariaman
perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan
Padang Pariaman di Bandar Lampung, maka penelitian ini ditujukan untuk
mencari tahu persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar
Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di
Bandar Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 responden penelitian,
sebanyak 7 responden atau 8%, mempunyai persepsi negatif mengenai uang
japuik. Sementara itu sebanyak 85 responden atau 92% dari 92 responden
termasuk dalam kategori persepsi yang positif mengenai uang japuik. Dapat
disimpulkan bahwa persepsi para perantau asal kabupaten Padang Pariaman
mengenai tradisi pemberian uang japuik pada adat perkawinan Padang
Pariaman di Kota Bandar Lampung, termasuk dalam persepsi yang positif
(sumber: http://jurnal.fkip.unila.ac.id).
(6). Persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang
diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat
Batak Toba (Studi kualitatif terhadap masyarakat Batak Toba di Kelurahan
Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai).
Universitas Sumatera Utara
21
Penelitian mengenai persepsi budaya pada tradisi perkawinan suku
Batak Toba tersebut dilakukan oleh Sahmaida Lubis (2011). Ada beberapa
bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak
Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar
hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu
laki-laki). Simbol-simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai
perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi
simbolik yang diberikan kepada pengantin, dalam upacara perkawinan adat
Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi, berupa pemahaman pasangan
suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada
pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak semua pasangan suami-istri memahami makna komunikasi
simbolik dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, dikarenakan kurangnya
proses sosialisasi budaya dan cara pandang yang berbeda dari pasangan
suami-istri tersebut.
2.3. Uraian Teoritis
2.3.1. Komunikasi Antarbudaya
Hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari
pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Sebagaimana Edward T.
Hall (dalam Syam, 2013: 84), mengemukakan bahwa “komunikasi adalah budaya
dan budaya adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) pandangan
terhadap komunikasi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
22
1). Komunikasi sebagai aktivitas simbolis.
Aktivitas komunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna, yang diubah
ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol non
verbal untuk diperagakan. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan
dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewaliki makna tertentu.
2). Komunikasi sebagai proses.
Komunikasi merupakan aktifitas yang dinamis, aktifitas yang terus
berlangsung secara berkesinambungan, sehingga dia terus mengalami
perubahan.
3). Komunikasi sebagai pertukaran makna.
Para ahli mengatakan bahwa komunikasi adalah kegiatan “pertukaran
makna”. Makna itu ada dalam setiap orang yang mengirimkan pesan. Jadi
makna bukan sekedar kata-kata verbal atau perilaku non verbal, tetapi
makna adalah pesan yang dimaksudkan pengirim dan diharapkan akan
dimengerti pula oleh penerima (Liliweri, 2007: 5-6).
2.3.1.(a). Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Samovar, et al. (2010: 55) menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi antara orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya berbeda.
Pendapat serupa juga dikemukakan Tubbs & Moss (2005: 236-237), bahwa
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
budaya (baik ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi). Penggolongan
kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak. DeVito (1997: 480),
mendefenisikan komunikasi antarbudaya secara luas sebagai bentuk komunikasi
Universitas Sumatera Utara
23
di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda, selain juga
secara lebih sempit mencakup bidang komunikasi antara kultur yang berbeda.
Lubis (2012: 44) mengemukakan bahwa, komunikasi yang berlangsung
di antara individu yang berbeda budaya, selalu mengalami hambatan-hambatan
yang disengaja maupun tidak disengaja atau tanpa disadari. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar kalau ditinjau dari komunikasi antarbudaya. Dengan demikian
terlihat adanya dinamika di antara para peserta yang berkomunikasi, dengan
keragaman budaya yang melatarbelakanginya.
Setiap orang berkomunikasi dengan kerangka pemikiran ( frame of
reference ) dan keluasan pengalaman (field of experience ) yang berbeda-beda satu
sama lain, yang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Oleh karena itu
komunikasi antarbudaya menjadi penting dipelajari, tidak hanya untuk tujuan
efektifitas berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, melainkan juga
untuk efektifitas pemahaman terhadap budaya sendiri. Sebagaimana disebutkan
Litvin (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010), bahwa tujuan studi komunikasi
antarbudaya bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1) Menyadari bias budaya sendiri.
2) Lebih peka secara budaya.
3) Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari
budaya lain dan menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan
dengan orang tersebut.
4) Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
5) Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
Universitas Sumatera Utara
24
6) Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu
menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7) Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan
memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
8) Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh
pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasankebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9) Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi
bidang komunikasi antarbudaya.
10) Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat
dipelajari secara sistematis, dibandingkan dan dipahami.
Seseorang dari latar belakang budaya tertentu akan terlibat dalam situasi
komunikasi antarbudaya, saat mengalami proses akulturasi dengan orang yang
memiliki latar belakang budaya berbeda. Cara kita berkomunikasi sebagian besar
dipengaruhi oleh kultur, sehingga orang-orang dari kultur yang berbeda akan
berkomunikasi secara berbeda (DeVito, 1997: 481). Brislin (dalam Samovar, et
al., 2010: 44), menyebutkan bahwa nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu
masyarakat yang sudah ada selama beberapa tahun, harus diturunkan dari satu
generasi ke generasi yang lainnya dalam proses enkulturasi budaya.
2.3.1.(b). Proses Enkulturasi dan Akulturasi dalam Komunikasi Antarbudaya.
Dalam mempelajari budaya, setiap individu yang lahir ke dunia, akan
melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi mengacu pada proses di
mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua,
kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
25
merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Sedangkan akulturasi mengacu
pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan
langsung dengan kultur lain (DeVito, 1997: 479). Sementara itu Samovar, et al.
(2010: 479), mendefenisikan akulturasi sebagai proses pembelajaran bagaimana
hidup dalam budaya yang baru. Sebagaimana Lubis (2012: 21), menyebutkan
bahwa kita mempelajari kultur (budaya), bukan mewarisinya.
Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan
sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis
mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik dan tradisi-tradisi untuk terus hidup
dan berkembang, diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu
masyarakat tertentu. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari
dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya
terkondisikan untuk menerima “kebenaran-kebenaran” tersebut tentang kehidupan
di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan dan
melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku “yang
dapat diterima” untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh setiap fase aktifitas manusia (Haris dan Moran dalam
Mulyana dan Rakhmat, 2010: 55).
Komunikasi antarbudaya terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu,
memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya,
komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi
budaya dan sistem simbolnya, cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar
et. al, 2010: 13). Selanjutnya Gudykunst (2003: 316) menyebutkan, terdapat
beberapa potensi masalah dalam proses akulturasi budaya, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
26
1. Stereotip.
Stereotip biasa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang dan
berhadapan dengan banyak hal yang tidak selalu sama dan tidak kita
ketahui. Masalah timbul ketika kita tidak menyadari bahwa kita memiliki
stereotip negatif. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan
kadang-kadang dapat dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif.
2. Prasangka.
Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan
rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Brislin (dalam
Gudykunst, 2003: 323) mengatakan prasangka adalah perasaan mengenai
hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas dan lainlain.
3. Etnosentrisme.
Nanda dan Warms (dalam Gudykunst, 2003: 331) menyebutkan,
etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih
unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain, dinilai
berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita
melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita.
Sebagaimana (Samovar, et, al. dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 76),
etnosentrisme adalah kecenderungan memandang orang lain, secara tidak
sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita
sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Sumber utama perbedaan
budaya dalam sikap adalah etnosentrisme.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Culture shock (gegar budaya).
Kalvero Aberg (dalam Gudykunst, 2003: 335), gegar budaya ditimbulkan
oleh rasa gelisah, sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol
yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya dapat
menyebabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman.
2.3.2. Persepsi Budaya
Adler (dalam Samovar, et al., 2010: 224) menyebutkan, persepsi
merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Kita belajar untuk melihat
dunia dengan suatu cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budaya kita.
Sebagaimana Wood (dalam Samovar, et al., 2010: 34), bahwa kita mempelajari
pandangan dan pola budaya dalam proses komunikasi, ketika kita berinteraksi
dengan orang lain, kita mengerti tentang kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa
budaya kita.
Persepsi sering dianggap sebagai inti komunikasi. Sedangkan penafsiran
atau interpretasi adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik
(decoding) dalam proses komunikasi (Riswandi, 2009: 50). Sementara itu
hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya
masing-masing pelaku komunikasi. Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi
sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak
patut (DeVito, 1997: 490).
Samovar, et al. (2010: 221) menjelaskan bahwa persepsi merupakan
suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Sementara
Mulyana dan Rakhmat (2010: 25), mendefenisikan persepsi sebagai proses
internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan
Universitas Sumatera Utara
28
rangsangan dari lingkungan eksternal. Selanjutnya Sobur (2003: 445),
mengemukakan persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana
seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau
pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
Liliweri (2011: 153), menyebutkan persepsi merupakan proses di mana
individu memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan apa yang
dibayangkan tentang dunia sekelilingnya. Sementara itu Matsumoto (2004: 60),
mengungkapkan bahwa persepsi mengacu pada proses, di mana informasi
inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna. Desiderato (dalam
Rakhmat, 2007: 51), menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli
inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dan persepsi sudah jelas. Sensasi
adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi
inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi
dan memori. Selanjutnya Mulyana (2001: 180-191) menjelaskan beberapa sifatsifat persepsi, sebagai berikut:
1) Persepsi bersifat selektif.
Setiap orang menerima begitu banyak rangsangan inderawi, bila manusia
harus menafsirkan semua, ia bisa gila. Karena itu persepsi bersifat selektif
dalam menafsirkan rangsangan yang diterima tersebut.
2) Persepsi bersifat dugaan.
Karena data yang kita peroleh mengenai objek melalui penginderaan tidak
pernah lengkap, persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.
Universitas Sumatera Utara
29
3) Persepsi bersifat evaluatif.
Orang menjalani kehidupan dengan perasaan bahwa apa yang mereka
persepsi
adalah
nyata.
Mereka
berfikir
menerima
pesan
dan
menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Akan tetapi terkadang
alat-alat indera dan persepsi kita menipu, sehingga perlu mengevaluasinya
kembali.
4) Persepsi bersifat kontekstual.
Suatu rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari semua pengaruh
yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh
paling kuat. Konteks yang melingkungi kita ketika melihat suatu objek,
orang atau suatu kejadian yang sangat mempengaruhi struktur kognitif,
pengharapan dan juga persepsi kita.
2.3.2.(a). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal
Rakhmat (2007: 89-91), menjelaskan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi interpersonal, yaitu:
(1). Pengalaman
Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu
lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui
rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi.
(2). Motivasi
Proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal sangat banyak
melibatkan unsur-unsur motivasi. Telah banyak penelitian tentang
pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi, seperti motif biologis,
ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian, dan perasaan terancam
Universitas Sumatera Utara
30
karena persona stimuli. motif personal lainnya yang mempengaruhi
persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai dunia yang
adil. Menurut Lerner (dalam Rakhmat, 2007: 89), kita perlu mempercayai
bahwa dunia ini diatur secara adil. Orang diganjar dan dihukum karena
perbuatannya.
Bila
kita
melihat
orang
sukses,
kita
cenderung
menanggapinya sebagai orang yang memiliki karakteristik baik. Motif
dunia ini, sering mendistorsi persepsi kita.
(3). Kepribadian
Dalam psikoanalisis, dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan
ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara
tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya kepada orang lain.
Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain, sifat-sifat
yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Kepribadian otoriter
adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegangan
pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam
hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab
pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari
peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.
2.3.2.(b). Elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi budaya.
Sebagaimana dikutip dari pandangan Samovar, et al. tentang hal-hal yang
mempengaruhi persepsi budaya, oleh Mulyana dan Rakhmat (2010: 26)
diterjemahkan sebagai unsur-unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar
dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita, yang
terdiri dari: (1). sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude);
Universitas Sumatera Utara
31
(2). pandangan dunia (world view); dan (3). organisasi sosial (social
organization). Sementara itu Lubis (2012: 63), menterjemahkan pandangan
Samovar, et al. tersebut sebagai elemen-elemen pokok yang mempengaruhi
persepsi budaya, yang terdiri dari: (1). pandangan dunia ( world view) yang terdiri
dari agama/sistem kepercayaan, nilai dan perilaku; (2). sistem lambang; dan
(3). organisasi sosial. Kedua pendapat tersebut, tidak terlalu memiliki perbedaan
yang signifikan. Selanjutnya elemen-elemen yang membentuk persepsi budaya,
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pandangan Dunia (world view)
Paige & Martin (dalam Lubis, 2012:64) menjelaskan, pandangan dunia
merupakan satu lensa dari pada pandangan manusia yang memandang realitas
dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan
merupakan landasan paling dasar dari pada suatu budaya. Mulyana dan Rakhmat
(2010: 28) mengatakan, pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu
budaya, terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalahmasalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Pandangan
dunia kita membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam
semesta. Sarbaugh (dalam Lubis, 2011: 81) menjelaskan, pandangan dunia
sebagai sistem-sistem kepercayaan yang membentuk keseluruhan sistem berfikir
tentang sifat-sifat “sesuatu” secara keseluruhan dan persepsinya terhadap
lingkungan.
Pandangan dunia (world view) orang Minang, seperti dikemukakan Navis
(1984: 59), bahwa orang Minang menamakan tanah airnya sebagai Alam
Minangkabau. Alam bagi mereka bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat
Universitas Sumatera Utara
32
mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis,
seperti pepatah mengatakan “alam takambang manjadi guru” yang artinya alam
terkembang menjadi guru. Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka
seperti yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah (nasehat), dan lain-lainnya
mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam.
Alam dan segenap unsurnya bagi orang Minang, terdiri dari empat atau
sering di sebut nan ampek (yang empat), atau dibagi dalam empat bentuk adat,
yakni: (1) adat yang sebenarnya adat; (2) adat istiadat; (3) adat yang diadatkan;
dan (4) adat yang teradat (Navis, 1984: 88-89). Berbeda budaya, akan berbeda
pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Dalam pandangan dunia
terdapat tiga unsur yang mempengaruhi yaitu :
(a). Agama atau sistem kepercayaan.
Agama mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang
budaya mereka (Samovar, et, al., 2010: 123). Peranan agama dalam suku
manapun merupakan unsur utama, karena agama mengandung nilai-nilai universal
yang berisikan pendidikan, pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga.
Rogers dan Steinfatt (dalam Samovar, et al., 2010: 224), mengemukakan bahwa
kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu,
termasuk pemikiran, ingatan dan interpretasi
terhadap suatu peristiwa.
Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang.
Pandangan dunia (world view) yang dipengaruhi oleh agama dan
kepercayaan pada adat istiadat Minang, di mana sebagian besar masyarakatnya
memeluk agama Islam, seperti dikemukakan oleh Abdullah (1987: 104), bahwa
Universitas Sumatera Utara
33
pada mulanya antara adat dan Islam memang terjadi konflik. Setidaknya demikian
menurut peneliti-peneliti barat sejak masa penjajahan.
Yaswirman (2011: 112) menyebutkan, perbenturan persepsi antara adat
dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama bidang
kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, sedang Islam
menganut parental bilateral atau menurut pemahaman para mujtahid menganut
sistem patrilineal. Di Minangkabau suami tinggal bersama di rumah keluarga istri,
sedang dalam Islam sebaliknya, istri tinggal di rumah yang disediakan suami.
Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan, perwalian, kepemilikan harta dan
pewarisan. Kendati telah ada konsensus “ adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”, namun mewujudkan persentuhan
adat dan Islam dalam persoalan ini mengalami proses yang sangat panjang.
(b). Nilai-nilai.
Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai
dan sikap. Nilai-nilai menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan yang palsu,
positif dan negatif, dan sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Meskipun
memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat
universal, karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya
lainnya, dan nilai-nilai itu dipelajari (Lubis, 2012: 67).
Pandangan dunia yang dipengaruhi unsur nilai dalam tradisi pemberian
uang jemputan sebagai syarat perkawinan, menunjukkan norma yang menjadi
suatu keharusan. Karena kesepakatan mengenai uang jemputan ini, menjadi
penentu batal atau tidaknya suatu perjodohan sebelum berlangsungnya
Universitas Sumatera Utara
34
perkawinan (Yaswirman, 2011: 135). Sementara itu nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi
laki-laki (suami) sebagai urang sumando atau orang yang datang ke keluarga istri,
di mana uang jemputan tersebut, diberikan sebagai modal usaha bagi mereka
untuk hidup berumahtangga (Maihasni, et. al, 2010: 178; dan Sjarifoedin, 2011:
477).
(c). Sikap.
Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar
untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu
konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut
membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita
(Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Sikap merupakan predisposisi mental
individual untuk mengevaluasi suatu hal tertentu dalam beberapa derajat yang
disukai atau yang tidak disukai. Secara umum setiap individu mempunyai sikap
yang difokuskan kepada objek, orang atau institusi, bahkan peristiwa (Liliweri,
2011: 165). Sikap manusia terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
1) Kognitif yang berkaitan dengan kepercayaan, teori, harapan, sebab dan
akibat dari suatu kepercayaan, dan persepsi relatif terhadap objek tertentu;
2) Afektif yang menunjukkan perasaan, respek atau perhatian kita terhadap
objek tertentu; dan
3) Konatif yang berisi kecenderungan untuk bertindak (memutuskan) atau
mengimplementasikan perilaku sebagai tujuan terhadap objek (Liliweri,
2011: 166).
Universitas Sumatera Utara
35
2. Sistem Lambang (verbal/non verbal).
Forgas (dalam Lubis, 2012: 72), menyebutkan penggunaan sistem
lambang seperti bahasa lisan sehari-hari mencatat suatu peristiwa komunikasi, di
mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat
spesifik. Sedangkan Haviland (dalam Sihabuddin, 2013: 66) menyebutkan, bahasa
adalah suatu sistem bunyi, yang digabungkan menurut aturan tertentu
menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam
bahasa tersebut. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan
secara sempurna ke dalam suatu bahasa lain. Bahasa sebagai wujud penyampaian
pesan mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.
Sementara itu, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa.
Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara
berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara,
2011: 101). Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem
lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar
yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu
komunitas geografis atau kebudayaan. Bahasa merupakan suatu sistem tidak pasti
untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan
bergantung pada berbagai penafsiran (Porter dan Samovar dalam Mulyana dan
Rakhmat, 2010: 30).
Perwujudan dari perilaku adalah melalui sistem lambang yang digunakan
seperti melalui percakapan, tertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh),
penampilan dan lainnya (Ruben dalam Lubis, 2012: 72). Makna kata “ bajapuik”
dalam tradisi bajapuik yang disepakati oleh masyarakat Pariaman, mengandung
Universitas Sumatera Utara
36
makna menghormati posisi laki-laki (suami) yang melibatkan barang-barang yang
bernilai seperti emas atau uang, sehingga secara umum diartikan sebagai tradisi
uang jemputan (Sjarifoedin, 2011: 477).
Kata bajapuik yang berasal dari bahasa Minang, menyajikan realitas
secara simbolik sehingga makna kata bajapuik akan dipahami perempuan Minang
Pariaman yang pada akhirnya, mempengaruhi persepsinya tentang tradisi tersebut.
Pengaruh bahasa pada persepsi budaya seperti dikemukakan Lubis (2011:
204-207), bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tua suku Tionghoa di rumah,
juga berdampak kepada anak-anak dan lingkungan sekitar. Berbahasa Indonesia
tidak mengecilkan atau menghilangkan identitas sebagai suku Tionghoa.
Sedangkan Listiyorini (2007: 4) mengungkapkan penggunaan bahasa asing makin
mendapatkan tempat dalam kehidupan masa kini, sementara penggunaan bahasa
daerah kian terdesak.
Sementara itu Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat,
2010: 31) menyebutkan, sistem lambang juga mencakup lambang non verbal,
seperti isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh,
sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Cangara (2011: 105)
mengatakan, manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa),
juga memakai kode non verbal. Kode non verbal biasanya disebut bahasa isyarat
atau bahasa diam (silent language).
3. Organisasi Sosial (social organization)
Organisasi
sosial
adalah
cara
bagaimana
suatu
kebudayaan
dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan
dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah (Samovar, et al. dalam
Universitas Sumatera Utara
37
Lubis, 2012:76). Organisasi sosial yang berperan dalam proses komunikasi pada
tradisi uang jemputan adalah keluarga. Galvin dan Brommel (dalam Budyatna dan
Ganiem, 2012: 169), menyebutkan keluarga adalah sebuah kelompok manusia
yang memiliki hubungan akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga, dan
identitas kelompok, lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan
emosi serta mengalami sejarah dan menatap masa depan.
Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan
keluarga sangat penting, seiring perjalanannya dari waktu ke waktu yang mana
budaya luar akan mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar
mengenal kebudayaannya dan menilai kebudaannya paling baik dibandingkan
kebudayaan suku lain, dan lain sebagainya. Organisasi sosial juga mencakup
lembaga formal seperti sekolah. Melalui pendidikan di sekolah, seorang individu
mengenal kebudayaan-kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Selain sekolah,
peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong (STM),
kelompok perkumpulan, maupun tempat bekerja, individu-individu yang berbeda
budaya dapat saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat
pada masing-masing budaya (Lubis, 2012: 76-81).
2.3.3. Komunikasi Keluarga
Keluarga merupakan transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku,
peranan dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Melalui kata dan contoh,
keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola fikir dan
cara bertingkah laku, sehingga menjadi suatu kebiasaan (DeGenova dan Rice
dalam Samovar, et al., 2010: 65). Hubungan antara perempuan Minang Pariaman
dengan orang tua dan mamak (paman) adalah bentuk keluarga berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
38
hubungan darah, sebagaimana Djamarah (2004: 16) bahwa bentuk-bentuk
keluarga berdasarkan dimensi hubungan darah, dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu :
a) Keluarga kecil (keluarga inti) di sebut juga sebagai nuclear family adalah
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
b) Keluarga besar di sebut sebagai extended family adalah keluarga inti di
tambah dengan keluarga lainnya yang masih memiliki hubungan darah
(kakek-nenek, paman-bibi, dan sebagainya).
Selanjutnya
Budyatna
dan
Ganiem
(2012:
169)
menyebutkan,
kebanyakan fungsi mengenai sistem keluarga merupakan produk dari komunikasi
di dalam keluarga. Fitzpatrick mengidentifikasi pola komunikasi dalam 4 (empat)
tipe keluarga. Empat tipe pola komunikasi keluarga tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Tipe Konsensual.
Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun juga
memiliki
kepatuhan yang tinggi.
Keluarga
tipe
ini
suka
sekali
berkomunikasi secara terbuka dengan sesama anggota keluarga. Pemegang
otoritas keluarga dalam hal ini orang tua adalah pihak yang membuat
keputusan.
b) Tipe Pruralistis.
Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki
kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering sekali berkomunikasi
secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusan
masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak
Universitas Sumatera Utara
39
mereka karena setiap pendapat di nilai berdasarkan pada kebaikannya, yaitu
pendapat mana yang terbaik dan setiap orang turut serta dalam pengambilan
keputusan.
c) Tipe Protektif.
Yaitu keluarga yang jarang melakukan komunikasi, namun memiliki
kepatuhan yang tinggi, jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga
tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tidak melihat alasan penting, mengapa
mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol.
Mereka juga tidak melihat alasan, mengapa mereka harus menjelaskan
keputusan yang telah mereka buat.
d) Tipe Leissez-Faire.
Yaitu keluarga yang jarang berkomunikasi satu sama lain dan juga memiliki
kepatuhan yang rendah. Adanya sikap tidak peduli dan lepas tangan dengan
apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain (dalam Morissan, 2014: 292296).
Wursanto (dalam Djamarah, 2004: 36), menyebutkan bahwa komunikasi
dapat berlangsung setiap saat, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan
siapa saja. Sejak lahir, seseorang sudah mengadakan hubungan dengan kelompok
masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami oleh individu yang
baru lahir, ialah keluarga yaitu dengan ibu, bapak dan anggota keluarga lainnya.
Makin bertambah umurnya, makin luas pula hubungan yang dapat dijangkau oleh
individu itu. Selain sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial dan
makhluk bermasyarakat.
Universitas Sumatera Utara
40
Umur ideal untuk perkawinan dalam tradisi Minang adalah usia 16-25
tahun bagi wanita, dan usia 18-30 tahun bagi pria. Orang yang belum menikah
pada umurnya yang ideal, akan menderita perasaan batin, baik yang bersangkutan
maupun keluarganya. Oleh karenanya gadih gadang (gadis dewasa) yang belum
menikah merupakan aib, bukan saja aib mamak (saudara kandung laki-laki ibu),
yang bertanggung jawab pada kemenakan atau keponakannya, tapi juga aib kedua
orang tua, bahkan aib orang sekampung (Depdikbud, 1978: 30).
2.3.4. Adat Perkawinan Masyarakat Pariaman.
2.3.4.(a). Adat bagi masyarakat Minang.
Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada
ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ketiga peraturan yang
disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan
Undang-undang Negara. Pada kehidupan nyata, penerapan hukum yang terdapat
dalam Tali Tiga Sepilin ini tidak selalu berjalan mulus. Ketiga peraturan tersebut
seharusnya saling seiring sejalan, saling mengisi dan saling menguatkan. Pada
kenyataannya, tidak jarang pula saling bertentangan dan berpotensi untuk saling
berbenturan.
Navis (1984: 88), menyebutkan bahwa adat bagi orang Minang adalah
kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak dapat
berubah, seperti kata pepatah : “kain dipasang usang, adaik dipakai baru (kain
dipakai usang, adat dipakai baru)”. Maksudnya sebagaimana pakaian bila
dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus menerus senantiasa
awet. Oleh karena ada adat yang tetap tidak berubah di samping yang berubah.
Universitas Sumatera Utara
41
Adat di bagi dalam empat kategori, yakni: (1). adat yang sebenarnya adat;
(2). adat istiadat; (3). adat yang diadatkan; dan (4). adat yang teradat.
Navis (1978: 89) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan empat
kategori adat tersebut adalah:
(1). adat yang sebenarnya ialah adat yang asli yang tidak berubah, yang tak
lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras
mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak
mati, dipindahkan tidak layu) . Adat yang lazim diungkapkan dalam
pepatah dan petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah
hidup orang Minang.
(2). adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum
atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku
pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan
tidak apa-apa. Adat ini dalam mamangan (pepatah) diibaratkan seperti :
pohon sayuran yang gadang dek diambak, tinggi dek dianjuang (besar
karena dilambuk, tinggi karena dianjung) , yang artinya adat itu akan dapat
tumbuh karena dirawat dengan baik.
(3). adat yang diadatkan ialah apa yang dinamakan sebagai undang-undang
dan hukum yang berlaku, seperti yang didapatkan pada undang-undang
luhak dan rantau, undang-undang nan dua puluh. Terhadap adat ini
berlaku apa yang diungkapkan mamangan (pepatah) : jikok dicabuik mati,
jikok diasak layua (jika dicabut (ia) mati, jika dipindahkan (ia) layu) ,
seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak
ada tangan yang mengganggu hidupnya.
(4). adat teradat ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau
konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud
mamangan (pepatah): patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh,
hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia akan
dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau ia hilang, ia diganti
pohon lain pada bekas tempatnya hilang karena pohon itu perlu ada untuk
keperluan hidup manusia.
Menurut Nasrun, adat Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan
hidup yang kekal, segar dan aktual, oleh karena didasarkan pada:
1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada
nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.
2. Kebersamaan dalam arti seseorang untuk kepentingan bersama, dan
kepentingan bersama untuk seseorang.
3. Kemakmuran yang merata.
Universitas Sumatera Utara
42
4. Perimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata
serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.
5. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
7. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu, dan keadaan (dalam
Soekanto, 1983: 72-73).
Tradisi uang jemputan merupakan kategori adat yang teradat.
Sebagaimana Sjarifoedin (2011: 477), tradisi perkawinan bajapuik di Pariaman,
termasuk ke dalam kategori adat nan teradat karena hanya berlaku di Pariaman,
sedangkan di daerah lain tidak mengenal tradisi bajapuik.
2.3.4.(b). Perempuan dalam adat perkawinan Pariaman.
Dalam adat Minang, etika yang harus dimiliki seorang perempuan selain
patuh dan hormat kepada kedua orang tua, salah satunya adalah mendengarkan
nasehat dan perintah mamak/pamannya. Meskipun mamaknya itu, seorang lakilaki yang lebih muda dibandingkan dengan umurnya, tetapi kalau mereka sudah
akhil baligh, patutlah dipandang sebagai mamak juga (Dirajo, 2003: 164).
Demikianlah adat Minang menempatkan peranan seorang mamak yang harus
dipatuhi oleh perempuan Minang.
Di Kota Pariaman, istilah “gadih gadang indak balaki” membuat seorang
mamak orang Pariaman, sangat peduli untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Begitu pedulinya para mamak di Pariaman terhadap isu gadih
gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve, menaik
se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi
penurunan tingkat suplai laki-laki yang mapan. Akibatnya merusak titik
ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif),
artinya pihak keluarga anak gadis, siap memberikan kompensasi berapapun
nilainya, asalkan anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Dari
kondisi tersebut muncul istilah uang hilang yang dalam prakteknya samasama dijalankan dengan uang jemputan. Uang jemputan akan dikembalikan
dalam bentuk pemberian, berupa emas yang nilainya setara dengan nilai
Universitas Sumatera Utara
43
yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin wanita. Terkadang pemberian
itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai (pengantin pria)
sebelumnya, karena pemberian tersebut menyangkut gengsi keluarga
marapulai itu sendiri (sumber: http://sosbud.kompasiana.com).
Pendapat senada disampaikan Sjarifoedin (2011: 471) bahwa gadis
gadang indak balaki (gadis dewasa, namun belum menikah) di Pariaman,
merupakan aib bagi keluarga. Kondisi ini membuat pihak keluarga perempuan
yang terdiri dari ibu-bapak, mamak/paman dan ninik mamak dari pihak ibu,
berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan suami bagi anak kemenakannya, bahkan
bersedia untuk membayar kepada pihak calon mempelai laki-laki. Terkadang
jumlah uang jemputan yang diminta, tidak masuk akal sehingga membebani pihak
perempuan.
2.3.4.(c). Tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman.
Tradisi uang jemputan merupakan syarat terjadinya perkawinan yang
berlaku bagi masyarakat di daerah Pariaman.
Tradisi uang jemputan adalah memberikan sejumlah uang atau barang
berharga lainnya oleh pihak perempuan, kepada pihak laki-laki sebagai
syarat terjadinya perkawinan. Jumlah uang jemputan ditetapkan dengan
kesepakatan bersama, antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Jika keluarga laki-laki setuju, peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti
batal. Semakin tinggi kedudukan sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang
jemputannya. Uang jemputan diserahkan ketika acara manjapuik marapulai
yaitu tradisi menjemput pengantin pria, sebelum melangsungkan akad nikah
di rumah perempuan. Uang jemputan ini akan dikembalikan lagi oleh pihak
laki-laki dalam bentuk perhiasan atau benda-benda berharga lainnya disebut
panibo, yang diberikan saat manjalang mintuo yaitu pada saat perempuan
berkunjung pertama kalinya ke rumah mertua (dalam Navis, 1984: 201;
Maihasni,et. al., 2010: 173-174; Yaswirman, 2011: 135; Sjarifoedin,
2011: 478; Naim, 2013: 329).
Proses pelaksanaan tradisi uang jemputan seperti dikutip dalam Jurnal
Depdikbud, Dirjen Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Universitas Sumatera Utara
44
Padang (2000: 29-59), berjudul “Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat
Pariaman dalam Upacara Perkawinan”, adalah sebagai berikut :
Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka
orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka
menemukan laki-laki yang dirasakan cocok, maka keluarga perempuan akan
mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo
(menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita
mengenal calon suaminya, melalui pihak keluarganya. Bila dirasakan cocok,
maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara
mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan batandang
(berkunjung) kembali, ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai),
untuk melakukan musyawarah.
Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro (calon pengantin
perempuan) akan menyampaikan maksud mereka, kepada mamak tungganai
(paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan
bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah,
karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik (uang
jemputan), akan dipersiapkan oleh keluarga perempuan. Bila keluarganya
termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual
harato pusako (harta pusaka), untuk membiayai pernikahan. Kemudian
dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan
membicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan
lainnya.
Sementara itu, Fiony Sukmasari menyebutkan syarat-syarat perkawinan
dalam adat Minangkabau sebagai berikut:
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari nagari atau
luhak yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak
yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai
orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
4. Calon suami (marapulai) sudah mempunyai sumber penghasilan (dalam
Amir, 2006: 12-13).
Universitas Sumatera Utara
45
2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai
berikut:
Elemen-elemen
yang membentuk
persepsi:
P
E
R
U
B
A
H
A
N
Persepsi
perempuan
Minang
Pariaman
tentang
tradisi uang
jemputan
1. Pandangan
dunia
(agama/sistem
kepercayaan,
nilai-nilai dan
sikap
2. Sistem
lambang
3. Organisasi
sosial
S
I
K
A
P
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Dari bagan di atas, dapat dijelaskan alur pemikiran penelitian yang akan
dilakukan. Persepsi budaya perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang
jemputan, dibentuk oleh pandangan dunia (aga
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Penelitian
Paradigma
dalam
penelitian
ini
menggunakan
paradigma
konstruktivisme. Morissan (2014: 165) mengemukakan, teori konstruktivisme
(constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh
besar
terhadap
perkembangan
ilmu
komunikasi.
Teori
konstruktivisme
menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak, menurut
berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Sedangkan Creswell
(2010: 11), menyebutkan bahwa konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi
bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia, di mana mereka hidup
dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalamanpengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau bendabenda tertentu.
Ardianto & Anees (2007: 154) menyebutkan bahwa paradigma
konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Prinsip
dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh
konstruk diri, sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri,
sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan dan ditentukan oleh diri di tengah
pengaruh lingkungan luar. Sebagaimana Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007:
22-23), konstruktivis merupakan pendekatan yang menggunakan pola pikir
Universitas Sumatera Utara
16
induktif yaitu berjalan dari spesifik menuju umum, dari yang konkret menuju
abstrak, ilmu yang bersifat ideografis, nomotetis dan ilmu yang tidak bebas nilai.
Sementara itu Hidayat (2003: 3) mengemukakan, paradigma konstruktivis sebagai
analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan
langsung dan terperinci, terhadap pelaku sosial yang bersangkutan, menciptakan
dan memelihara atau mengelola dunia sosial seseorang.
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu.
Penelitian terdahulu tentang kajian persepsi budaya, khususnya penelitian
tentang tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, dapat dilihat pada beberapa
penelitian berikut ini:
(1). Matrilokal dan status perempuan: studi kasus tentang status perempuan dalam
Tradisi Bajapuik di Pariaman Sumatera Barat.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Azwar Wilhendri (2000), dalam
tesisnya pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yokyakarta. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa dalam lembaga keluarga dengan pola kekerabatan
patrilineal-patrilokal, merupakan wadah lahirnya sistem patriarki. Sistem
patriarki sebagai analisis dalam studi perempuan, dianggap sebagai salah satu
sebab timbulnya pensubordinasian dan penindasan terhadap hak-hak sosial
perempuan dalam hubungan kesetaraan gender .
Kota Pariaman secara kultural, merupakan salah satu wilayah di
Minangkabau, dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, status dan
kedudukan perempuan dianggap sangat kuat. Ternyata pada tradisi bajapuik
dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal tersebut, status dan
kedudukan perempuan tersubordinasi, baik dalam keluarga maupun dalam
Universitas Sumatera Utara
17
hubungan sosial. Pada sistem patriarki, posisi perempuan berada di bawah
otoritas bapak sebelum menikah dan dikuasai oleh suami setelah menikah.
Sementara itu pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, seorang
perempuan dikuasai oleh mamak (paman) dalam hubungan kerabat (extended
family), sekaligus oleh suami di dalam keluarga inti (nuclear family). Hal
tersebut dibuktikan dengan lemahnya akses perempuan, dalam pengambilan
keputusan untuk menentukan terjadinya ikatan perkawinan, karena intervensi
mamak.
Posisi tawar (bargaining position) dalam menentukan nilai uang
japuik juga lemah, ini juga berlaku pada pengelolaan uang japuik,
penghargaan terhadap status sosial dan status perempuan dalam keluarga.
Kesimpulannya bahwa tradisi bajapuik membuktikan bahwa sistem patriarki
terlembaga dalam perkawinan. Penelitian ini membuktikan, sistem patriarki
juga terjadi pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, di mana
perempuan mengalami subordinasi berganda (Sumber: http://etd.ugm.ac.id).
(2). Persepsi remaja tentang Tradisi Uang Jemputan dalam adat perkawinan suku
Minang (Studi deskriptif pada Ikatan Keluarga VII Koto sekretariat Jalan
Bromo Medan).
Penelitian tersebut dilakukan Susanti (2005), dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana remaja khususnya gadis Minang, mempersepsikan
tradisi uang jemputan pada adat perkawinan Pariaman. Dalam penelitian ini,
juga dilakukan observasi pada sebuah pesta perkawinan, yang melaksanakan
tradisi uang jemputan didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan, tradisi uang
Universitas Sumatera Utara
18
jemputan masih dilaksanakan dalam perkawinan masyarakat suku Minang
yang berasal dari daerah Pariaman.
Sementara itu seorang tokoh adat Minang Pariaman yang menjadi
nara sumber (key informan) dalam penelitian mengatakan bahwa uang
jemputan sebenarnya bermakna tanggung jawab mamak (saudara laki-laki
ibu), dalam pencarian jodoh yang layak dan sesuai untuk keponakannya.
Sedangkan gadis Minang yang merupakan informan dalam penelitian,
umumnya mempersepsikan uang jemputan secara subjektif, yaitu perempuan
sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak pantas atau tidak layak
(Susanti, 2005: 73).
(3). Perubahan Tradisi Bajapuik pada perkawinan orang Minang Pariaman di Kota
Binjai.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Deliani (2005). Hasil penelitian
menyebutkan bahwa di Kota Binjai, banyak anak-anak muda Pariaman yang
memilih jodohnya sendiri. Sedikit sekali di antara anak-anak orang Minang
Pariaman, yang mengikuti perkawinan melalui perjodohan. Keluarga dan para
mamak (paman), dalam hal ini hanya mengikuti pilihan mereka dan
membantu mempersiapkan kebutuhan pernikahan anak-anak mereka. Para
ninik mamak menganggap, jika terjadi pergeseran pada adat itu lumrah,
meskipun keinginan untuk memegang adat masih kuat.
Deliani juga menemukan beberapa bentuk perubahan yang terjadi
dalam tradisi Bajapuik di Kota Binjai. Perubahan tersebut adalah sebagai
berikut: (1). Tradisi perkawinan bajapuik orang Minang Pariaman,
berlangsung dengan sejumlah variasi dan penyederhanaan di dalamnya;
Universitas Sumatera Utara
19
(2). Perubahan dalam struktur sosial orang Minang Pariaman, sedikitnya
ditandai dengan bergesernya struktur dalam sistem kekerabatan mereka, dari
konsep extended family ke arah bentuk nuclear family; dan (3). Perubahan
yang terjadi dalam struktur sosial orang Minang tersebut, berimplikasi pada
perubahan orientasi nilai budaya pada pelaksanaan tradisi bajapuik. Selain
pengaruh dari luar sistem dan sosial budaya orang Minang Pariaman (faktor
eksternal), perubahan tradisi bajapuik juga didorong oleh kebutuhan dari
dalam (faktor internal).
(4). Bentuk-bentuk perubahan pertukaran dalam perkawinan Bajapuik.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Maihasni, Titik Sumarti, Ekawati
Sri Wahyuni dan Sediono MP. Tjondronegoro (2010: 190). Hasil penelitian
mendapati perubahan pertukaran pada perkawinan bajapuik di Pariaman,
melalui 4 (empat) bentuk perubahan pertukaran, yaitu: 1). Uang jemputan
adalah uang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, dan
dikembalikan lagi kepada perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk
pertama kali. Bentuk pengembalian ini berwujud benda yang bernilai
ekonomis, seperti emas dan benda lainnya; 2). Uang hilang adalah pemberian
kepada pihak laki-laki, namun tidak dikembalikan kepada pihak perempuan.
Pemberian tersebut dapat berwujud benda, khususnya uang yang dapat
dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga laki-laki khususnya orang tua;
3). Uang selo adalah salah satu bentuk pengeluaran lain dari pihak
perempuan, untuk membiayai adat perkawinan. Uang selo ini diberikan
kepada ninik mamak pihak laki-laki, yang hadir pada saat pertunangan; dan
4) Uang tungkatan adalah uang tembusan dari benda-benda tungkatan yang
Universitas Sumatera Utara
20
dibawa perempuan, sebagai persyaratan menjemput mempelai laki-laki untuk
dinikahkan.
(5). Uang Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Ririanty Yunita, Syaiful M dan
Muhammad Basri (2012). Inti sari dalam penelitian ini berdasarkan rumusan
masalah yaitu bagaimanakah persepsi orang-orang Padang Pariaman
perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan
Padang Pariaman di Bandar Lampung, maka penelitian ini ditujukan untuk
mencari tahu persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar
Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di
Bandar Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 responden penelitian,
sebanyak 7 responden atau 8%, mempunyai persepsi negatif mengenai uang
japuik. Sementara itu sebanyak 85 responden atau 92% dari 92 responden
termasuk dalam kategori persepsi yang positif mengenai uang japuik. Dapat
disimpulkan bahwa persepsi para perantau asal kabupaten Padang Pariaman
mengenai tradisi pemberian uang japuik pada adat perkawinan Padang
Pariaman di Kota Bandar Lampung, termasuk dalam persepsi yang positif
(sumber: http://jurnal.fkip.unila.ac.id).
(6). Persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang
diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat
Batak Toba (Studi kualitatif terhadap masyarakat Batak Toba di Kelurahan
Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai).
Universitas Sumatera Utara
21
Penelitian mengenai persepsi budaya pada tradisi perkawinan suku
Batak Toba tersebut dilakukan oleh Sahmaida Lubis (2011). Ada beberapa
bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak
Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar
hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu
laki-laki). Simbol-simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai
perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi
simbolik yang diberikan kepada pengantin, dalam upacara perkawinan adat
Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi, berupa pemahaman pasangan
suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada
pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak semua pasangan suami-istri memahami makna komunikasi
simbolik dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, dikarenakan kurangnya
proses sosialisasi budaya dan cara pandang yang berbeda dari pasangan
suami-istri tersebut.
2.3. Uraian Teoritis
2.3.1. Komunikasi Antarbudaya
Hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari
pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Sebagaimana Edward T.
Hall (dalam Syam, 2013: 84), mengemukakan bahwa “komunikasi adalah budaya
dan budaya adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) pandangan
terhadap komunikasi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
22
1). Komunikasi sebagai aktivitas simbolis.
Aktivitas komunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna, yang diubah
ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol non
verbal untuk diperagakan. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan
dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewaliki makna tertentu.
2). Komunikasi sebagai proses.
Komunikasi merupakan aktifitas yang dinamis, aktifitas yang terus
berlangsung secara berkesinambungan, sehingga dia terus mengalami
perubahan.
3). Komunikasi sebagai pertukaran makna.
Para ahli mengatakan bahwa komunikasi adalah kegiatan “pertukaran
makna”. Makna itu ada dalam setiap orang yang mengirimkan pesan. Jadi
makna bukan sekedar kata-kata verbal atau perilaku non verbal, tetapi
makna adalah pesan yang dimaksudkan pengirim dan diharapkan akan
dimengerti pula oleh penerima (Liliweri, 2007: 5-6).
2.3.1.(a). Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Samovar, et al. (2010: 55) menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi antara orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya berbeda.
Pendapat serupa juga dikemukakan Tubbs & Moss (2005: 236-237), bahwa
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
budaya (baik ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi). Penggolongan
kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak. DeVito (1997: 480),
mendefenisikan komunikasi antarbudaya secara luas sebagai bentuk komunikasi
Universitas Sumatera Utara
23
di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda, selain juga
secara lebih sempit mencakup bidang komunikasi antara kultur yang berbeda.
Lubis (2012: 44) mengemukakan bahwa, komunikasi yang berlangsung
di antara individu yang berbeda budaya, selalu mengalami hambatan-hambatan
yang disengaja maupun tidak disengaja atau tanpa disadari. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar kalau ditinjau dari komunikasi antarbudaya. Dengan demikian
terlihat adanya dinamika di antara para peserta yang berkomunikasi, dengan
keragaman budaya yang melatarbelakanginya.
Setiap orang berkomunikasi dengan kerangka pemikiran ( frame of
reference ) dan keluasan pengalaman (field of experience ) yang berbeda-beda satu
sama lain, yang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Oleh karena itu
komunikasi antarbudaya menjadi penting dipelajari, tidak hanya untuk tujuan
efektifitas berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, melainkan juga
untuk efektifitas pemahaman terhadap budaya sendiri. Sebagaimana disebutkan
Litvin (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010), bahwa tujuan studi komunikasi
antarbudaya bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1) Menyadari bias budaya sendiri.
2) Lebih peka secara budaya.
3) Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari
budaya lain dan menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan
dengan orang tersebut.
4) Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
5) Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
Universitas Sumatera Utara
24
6) Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu
menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7) Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan
memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
8) Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh
pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasankebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9) Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi
bidang komunikasi antarbudaya.
10) Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat
dipelajari secara sistematis, dibandingkan dan dipahami.
Seseorang dari latar belakang budaya tertentu akan terlibat dalam situasi
komunikasi antarbudaya, saat mengalami proses akulturasi dengan orang yang
memiliki latar belakang budaya berbeda. Cara kita berkomunikasi sebagian besar
dipengaruhi oleh kultur, sehingga orang-orang dari kultur yang berbeda akan
berkomunikasi secara berbeda (DeVito, 1997: 481). Brislin (dalam Samovar, et
al., 2010: 44), menyebutkan bahwa nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu
masyarakat yang sudah ada selama beberapa tahun, harus diturunkan dari satu
generasi ke generasi yang lainnya dalam proses enkulturasi budaya.
2.3.1.(b). Proses Enkulturasi dan Akulturasi dalam Komunikasi Antarbudaya.
Dalam mempelajari budaya, setiap individu yang lahir ke dunia, akan
melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi mengacu pada proses di
mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua,
kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
25
merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Sedangkan akulturasi mengacu
pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan
langsung dengan kultur lain (DeVito, 1997: 479). Sementara itu Samovar, et al.
(2010: 479), mendefenisikan akulturasi sebagai proses pembelajaran bagaimana
hidup dalam budaya yang baru. Sebagaimana Lubis (2012: 21), menyebutkan
bahwa kita mempelajari kultur (budaya), bukan mewarisinya.
Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan
sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis
mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik dan tradisi-tradisi untuk terus hidup
dan berkembang, diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu
masyarakat tertentu. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari
dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya
terkondisikan untuk menerima “kebenaran-kebenaran” tersebut tentang kehidupan
di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan dan
melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku “yang
dapat diterima” untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh setiap fase aktifitas manusia (Haris dan Moran dalam
Mulyana dan Rakhmat, 2010: 55).
Komunikasi antarbudaya terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu,
memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya,
komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi
budaya dan sistem simbolnya, cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar
et. al, 2010: 13). Selanjutnya Gudykunst (2003: 316) menyebutkan, terdapat
beberapa potensi masalah dalam proses akulturasi budaya, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
26
1. Stereotip.
Stereotip biasa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang dan
berhadapan dengan banyak hal yang tidak selalu sama dan tidak kita
ketahui. Masalah timbul ketika kita tidak menyadari bahwa kita memiliki
stereotip negatif. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan
kadang-kadang dapat dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif.
2. Prasangka.
Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan
rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Brislin (dalam
Gudykunst, 2003: 323) mengatakan prasangka adalah perasaan mengenai
hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas dan lainlain.
3. Etnosentrisme.
Nanda dan Warms (dalam Gudykunst, 2003: 331) menyebutkan,
etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih
unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain, dinilai
berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita
melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita.
Sebagaimana (Samovar, et, al. dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 76),
etnosentrisme adalah kecenderungan memandang orang lain, secara tidak
sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita
sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Sumber utama perbedaan
budaya dalam sikap adalah etnosentrisme.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Culture shock (gegar budaya).
Kalvero Aberg (dalam Gudykunst, 2003: 335), gegar budaya ditimbulkan
oleh rasa gelisah, sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol
yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya dapat
menyebabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman.
2.3.2. Persepsi Budaya
Adler (dalam Samovar, et al., 2010: 224) menyebutkan, persepsi
merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Kita belajar untuk melihat
dunia dengan suatu cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budaya kita.
Sebagaimana Wood (dalam Samovar, et al., 2010: 34), bahwa kita mempelajari
pandangan dan pola budaya dalam proses komunikasi, ketika kita berinteraksi
dengan orang lain, kita mengerti tentang kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa
budaya kita.
Persepsi sering dianggap sebagai inti komunikasi. Sedangkan penafsiran
atau interpretasi adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik
(decoding) dalam proses komunikasi (Riswandi, 2009: 50). Sementara itu
hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya
masing-masing pelaku komunikasi. Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi
sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak
patut (DeVito, 1997: 490).
Samovar, et al. (2010: 221) menjelaskan bahwa persepsi merupakan
suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Sementara
Mulyana dan Rakhmat (2010: 25), mendefenisikan persepsi sebagai proses
internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan
Universitas Sumatera Utara
28
rangsangan dari lingkungan eksternal. Selanjutnya Sobur (2003: 445),
mengemukakan persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana
seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau
pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
Liliweri (2011: 153), menyebutkan persepsi merupakan proses di mana
individu memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan apa yang
dibayangkan tentang dunia sekelilingnya. Sementara itu Matsumoto (2004: 60),
mengungkapkan bahwa persepsi mengacu pada proses, di mana informasi
inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna. Desiderato (dalam
Rakhmat, 2007: 51), menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli
inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dan persepsi sudah jelas. Sensasi
adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi
inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi
dan memori. Selanjutnya Mulyana (2001: 180-191) menjelaskan beberapa sifatsifat persepsi, sebagai berikut:
1) Persepsi bersifat selektif.
Setiap orang menerima begitu banyak rangsangan inderawi, bila manusia
harus menafsirkan semua, ia bisa gila. Karena itu persepsi bersifat selektif
dalam menafsirkan rangsangan yang diterima tersebut.
2) Persepsi bersifat dugaan.
Karena data yang kita peroleh mengenai objek melalui penginderaan tidak
pernah lengkap, persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.
Universitas Sumatera Utara
29
3) Persepsi bersifat evaluatif.
Orang menjalani kehidupan dengan perasaan bahwa apa yang mereka
persepsi
adalah
nyata.
Mereka
berfikir
menerima
pesan
dan
menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Akan tetapi terkadang
alat-alat indera dan persepsi kita menipu, sehingga perlu mengevaluasinya
kembali.
4) Persepsi bersifat kontekstual.
Suatu rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari semua pengaruh
yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh
paling kuat. Konteks yang melingkungi kita ketika melihat suatu objek,
orang atau suatu kejadian yang sangat mempengaruhi struktur kognitif,
pengharapan dan juga persepsi kita.
2.3.2.(a). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal
Rakhmat (2007: 89-91), menjelaskan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi interpersonal, yaitu:
(1). Pengalaman
Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu
lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui
rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi.
(2). Motivasi
Proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal sangat banyak
melibatkan unsur-unsur motivasi. Telah banyak penelitian tentang
pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi, seperti motif biologis,
ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian, dan perasaan terancam
Universitas Sumatera Utara
30
karena persona stimuli. motif personal lainnya yang mempengaruhi
persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai dunia yang
adil. Menurut Lerner (dalam Rakhmat, 2007: 89), kita perlu mempercayai
bahwa dunia ini diatur secara adil. Orang diganjar dan dihukum karena
perbuatannya.
Bila
kita
melihat
orang
sukses,
kita
cenderung
menanggapinya sebagai orang yang memiliki karakteristik baik. Motif
dunia ini, sering mendistorsi persepsi kita.
(3). Kepribadian
Dalam psikoanalisis, dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan
ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara
tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya kepada orang lain.
Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain, sifat-sifat
yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Kepribadian otoriter
adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegangan
pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam
hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab
pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari
peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.
2.3.2.(b). Elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi budaya.
Sebagaimana dikutip dari pandangan Samovar, et al. tentang hal-hal yang
mempengaruhi persepsi budaya, oleh Mulyana dan Rakhmat (2010: 26)
diterjemahkan sebagai unsur-unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar
dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita, yang
terdiri dari: (1). sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude);
Universitas Sumatera Utara
31
(2). pandangan dunia (world view); dan (3). organisasi sosial (social
organization). Sementara itu Lubis (2012: 63), menterjemahkan pandangan
Samovar, et al. tersebut sebagai elemen-elemen pokok yang mempengaruhi
persepsi budaya, yang terdiri dari: (1). pandangan dunia ( world view) yang terdiri
dari agama/sistem kepercayaan, nilai dan perilaku; (2). sistem lambang; dan
(3). organisasi sosial. Kedua pendapat tersebut, tidak terlalu memiliki perbedaan
yang signifikan. Selanjutnya elemen-elemen yang membentuk persepsi budaya,
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pandangan Dunia (world view)
Paige & Martin (dalam Lubis, 2012:64) menjelaskan, pandangan dunia
merupakan satu lensa dari pada pandangan manusia yang memandang realitas
dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan
merupakan landasan paling dasar dari pada suatu budaya. Mulyana dan Rakhmat
(2010: 28) mengatakan, pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu
budaya, terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalahmasalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Pandangan
dunia kita membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam
semesta. Sarbaugh (dalam Lubis, 2011: 81) menjelaskan, pandangan dunia
sebagai sistem-sistem kepercayaan yang membentuk keseluruhan sistem berfikir
tentang sifat-sifat “sesuatu” secara keseluruhan dan persepsinya terhadap
lingkungan.
Pandangan dunia (world view) orang Minang, seperti dikemukakan Navis
(1984: 59), bahwa orang Minang menamakan tanah airnya sebagai Alam
Minangkabau. Alam bagi mereka bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat
Universitas Sumatera Utara
32
mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis,
seperti pepatah mengatakan “alam takambang manjadi guru” yang artinya alam
terkembang menjadi guru. Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka
seperti yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah (nasehat), dan lain-lainnya
mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam.
Alam dan segenap unsurnya bagi orang Minang, terdiri dari empat atau
sering di sebut nan ampek (yang empat), atau dibagi dalam empat bentuk adat,
yakni: (1) adat yang sebenarnya adat; (2) adat istiadat; (3) adat yang diadatkan;
dan (4) adat yang teradat (Navis, 1984: 88-89). Berbeda budaya, akan berbeda
pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Dalam pandangan dunia
terdapat tiga unsur yang mempengaruhi yaitu :
(a). Agama atau sistem kepercayaan.
Agama mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang
budaya mereka (Samovar, et, al., 2010: 123). Peranan agama dalam suku
manapun merupakan unsur utama, karena agama mengandung nilai-nilai universal
yang berisikan pendidikan, pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga.
Rogers dan Steinfatt (dalam Samovar, et al., 2010: 224), mengemukakan bahwa
kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu,
termasuk pemikiran, ingatan dan interpretasi
terhadap suatu peristiwa.
Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang.
Pandangan dunia (world view) yang dipengaruhi oleh agama dan
kepercayaan pada adat istiadat Minang, di mana sebagian besar masyarakatnya
memeluk agama Islam, seperti dikemukakan oleh Abdullah (1987: 104), bahwa
Universitas Sumatera Utara
33
pada mulanya antara adat dan Islam memang terjadi konflik. Setidaknya demikian
menurut peneliti-peneliti barat sejak masa penjajahan.
Yaswirman (2011: 112) menyebutkan, perbenturan persepsi antara adat
dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama bidang
kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, sedang Islam
menganut parental bilateral atau menurut pemahaman para mujtahid menganut
sistem patrilineal. Di Minangkabau suami tinggal bersama di rumah keluarga istri,
sedang dalam Islam sebaliknya, istri tinggal di rumah yang disediakan suami.
Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan, perwalian, kepemilikan harta dan
pewarisan. Kendati telah ada konsensus “ adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”, namun mewujudkan persentuhan
adat dan Islam dalam persoalan ini mengalami proses yang sangat panjang.
(b). Nilai-nilai.
Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai
dan sikap. Nilai-nilai menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan yang palsu,
positif dan negatif, dan sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Meskipun
memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat
universal, karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya
lainnya, dan nilai-nilai itu dipelajari (Lubis, 2012: 67).
Pandangan dunia yang dipengaruhi unsur nilai dalam tradisi pemberian
uang jemputan sebagai syarat perkawinan, menunjukkan norma yang menjadi
suatu keharusan. Karena kesepakatan mengenai uang jemputan ini, menjadi
penentu batal atau tidaknya suatu perjodohan sebelum berlangsungnya
Universitas Sumatera Utara
34
perkawinan (Yaswirman, 2011: 135). Sementara itu nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi
laki-laki (suami) sebagai urang sumando atau orang yang datang ke keluarga istri,
di mana uang jemputan tersebut, diberikan sebagai modal usaha bagi mereka
untuk hidup berumahtangga (Maihasni, et. al, 2010: 178; dan Sjarifoedin, 2011:
477).
(c). Sikap.
Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar
untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu
konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut
membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita
(Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Sikap merupakan predisposisi mental
individual untuk mengevaluasi suatu hal tertentu dalam beberapa derajat yang
disukai atau yang tidak disukai. Secara umum setiap individu mempunyai sikap
yang difokuskan kepada objek, orang atau institusi, bahkan peristiwa (Liliweri,
2011: 165). Sikap manusia terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
1) Kognitif yang berkaitan dengan kepercayaan, teori, harapan, sebab dan
akibat dari suatu kepercayaan, dan persepsi relatif terhadap objek tertentu;
2) Afektif yang menunjukkan perasaan, respek atau perhatian kita terhadap
objek tertentu; dan
3) Konatif yang berisi kecenderungan untuk bertindak (memutuskan) atau
mengimplementasikan perilaku sebagai tujuan terhadap objek (Liliweri,
2011: 166).
Universitas Sumatera Utara
35
2. Sistem Lambang (verbal/non verbal).
Forgas (dalam Lubis, 2012: 72), menyebutkan penggunaan sistem
lambang seperti bahasa lisan sehari-hari mencatat suatu peristiwa komunikasi, di
mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat
spesifik. Sedangkan Haviland (dalam Sihabuddin, 2013: 66) menyebutkan, bahasa
adalah suatu sistem bunyi, yang digabungkan menurut aturan tertentu
menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam
bahasa tersebut. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan
secara sempurna ke dalam suatu bahasa lain. Bahasa sebagai wujud penyampaian
pesan mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.
Sementara itu, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa.
Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara
berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara,
2011: 101). Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem
lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar
yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu
komunitas geografis atau kebudayaan. Bahasa merupakan suatu sistem tidak pasti
untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan
bergantung pada berbagai penafsiran (Porter dan Samovar dalam Mulyana dan
Rakhmat, 2010: 30).
Perwujudan dari perilaku adalah melalui sistem lambang yang digunakan
seperti melalui percakapan, tertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh),
penampilan dan lainnya (Ruben dalam Lubis, 2012: 72). Makna kata “ bajapuik”
dalam tradisi bajapuik yang disepakati oleh masyarakat Pariaman, mengandung
Universitas Sumatera Utara
36
makna menghormati posisi laki-laki (suami) yang melibatkan barang-barang yang
bernilai seperti emas atau uang, sehingga secara umum diartikan sebagai tradisi
uang jemputan (Sjarifoedin, 2011: 477).
Kata bajapuik yang berasal dari bahasa Minang, menyajikan realitas
secara simbolik sehingga makna kata bajapuik akan dipahami perempuan Minang
Pariaman yang pada akhirnya, mempengaruhi persepsinya tentang tradisi tersebut.
Pengaruh bahasa pada persepsi budaya seperti dikemukakan Lubis (2011:
204-207), bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tua suku Tionghoa di rumah,
juga berdampak kepada anak-anak dan lingkungan sekitar. Berbahasa Indonesia
tidak mengecilkan atau menghilangkan identitas sebagai suku Tionghoa.
Sedangkan Listiyorini (2007: 4) mengungkapkan penggunaan bahasa asing makin
mendapatkan tempat dalam kehidupan masa kini, sementara penggunaan bahasa
daerah kian terdesak.
Sementara itu Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat,
2010: 31) menyebutkan, sistem lambang juga mencakup lambang non verbal,
seperti isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh,
sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Cangara (2011: 105)
mengatakan, manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa),
juga memakai kode non verbal. Kode non verbal biasanya disebut bahasa isyarat
atau bahasa diam (silent language).
3. Organisasi Sosial (social organization)
Organisasi
sosial
adalah
cara
bagaimana
suatu
kebudayaan
dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan
dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah (Samovar, et al. dalam
Universitas Sumatera Utara
37
Lubis, 2012:76). Organisasi sosial yang berperan dalam proses komunikasi pada
tradisi uang jemputan adalah keluarga. Galvin dan Brommel (dalam Budyatna dan
Ganiem, 2012: 169), menyebutkan keluarga adalah sebuah kelompok manusia
yang memiliki hubungan akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga, dan
identitas kelompok, lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan
emosi serta mengalami sejarah dan menatap masa depan.
Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan
keluarga sangat penting, seiring perjalanannya dari waktu ke waktu yang mana
budaya luar akan mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar
mengenal kebudayaannya dan menilai kebudaannya paling baik dibandingkan
kebudayaan suku lain, dan lain sebagainya. Organisasi sosial juga mencakup
lembaga formal seperti sekolah. Melalui pendidikan di sekolah, seorang individu
mengenal kebudayaan-kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Selain sekolah,
peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong (STM),
kelompok perkumpulan, maupun tempat bekerja, individu-individu yang berbeda
budaya dapat saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat
pada masing-masing budaya (Lubis, 2012: 76-81).
2.3.3. Komunikasi Keluarga
Keluarga merupakan transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku,
peranan dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Melalui kata dan contoh,
keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola fikir dan
cara bertingkah laku, sehingga menjadi suatu kebiasaan (DeGenova dan Rice
dalam Samovar, et al., 2010: 65). Hubungan antara perempuan Minang Pariaman
dengan orang tua dan mamak (paman) adalah bentuk keluarga berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
38
hubungan darah, sebagaimana Djamarah (2004: 16) bahwa bentuk-bentuk
keluarga berdasarkan dimensi hubungan darah, dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu :
a) Keluarga kecil (keluarga inti) di sebut juga sebagai nuclear family adalah
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
b) Keluarga besar di sebut sebagai extended family adalah keluarga inti di
tambah dengan keluarga lainnya yang masih memiliki hubungan darah
(kakek-nenek, paman-bibi, dan sebagainya).
Selanjutnya
Budyatna
dan
Ganiem
(2012:
169)
menyebutkan,
kebanyakan fungsi mengenai sistem keluarga merupakan produk dari komunikasi
di dalam keluarga. Fitzpatrick mengidentifikasi pola komunikasi dalam 4 (empat)
tipe keluarga. Empat tipe pola komunikasi keluarga tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Tipe Konsensual.
Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun juga
memiliki
kepatuhan yang tinggi.
Keluarga
tipe
ini
suka
sekali
berkomunikasi secara terbuka dengan sesama anggota keluarga. Pemegang
otoritas keluarga dalam hal ini orang tua adalah pihak yang membuat
keputusan.
b) Tipe Pruralistis.
Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki
kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering sekali berkomunikasi
secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusan
masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak
Universitas Sumatera Utara
39
mereka karena setiap pendapat di nilai berdasarkan pada kebaikannya, yaitu
pendapat mana yang terbaik dan setiap orang turut serta dalam pengambilan
keputusan.
c) Tipe Protektif.
Yaitu keluarga yang jarang melakukan komunikasi, namun memiliki
kepatuhan yang tinggi, jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga
tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tidak melihat alasan penting, mengapa
mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol.
Mereka juga tidak melihat alasan, mengapa mereka harus menjelaskan
keputusan yang telah mereka buat.
d) Tipe Leissez-Faire.
Yaitu keluarga yang jarang berkomunikasi satu sama lain dan juga memiliki
kepatuhan yang rendah. Adanya sikap tidak peduli dan lepas tangan dengan
apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain (dalam Morissan, 2014: 292296).
Wursanto (dalam Djamarah, 2004: 36), menyebutkan bahwa komunikasi
dapat berlangsung setiap saat, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan
siapa saja. Sejak lahir, seseorang sudah mengadakan hubungan dengan kelompok
masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami oleh individu yang
baru lahir, ialah keluarga yaitu dengan ibu, bapak dan anggota keluarga lainnya.
Makin bertambah umurnya, makin luas pula hubungan yang dapat dijangkau oleh
individu itu. Selain sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial dan
makhluk bermasyarakat.
Universitas Sumatera Utara
40
Umur ideal untuk perkawinan dalam tradisi Minang adalah usia 16-25
tahun bagi wanita, dan usia 18-30 tahun bagi pria. Orang yang belum menikah
pada umurnya yang ideal, akan menderita perasaan batin, baik yang bersangkutan
maupun keluarganya. Oleh karenanya gadih gadang (gadis dewasa) yang belum
menikah merupakan aib, bukan saja aib mamak (saudara kandung laki-laki ibu),
yang bertanggung jawab pada kemenakan atau keponakannya, tapi juga aib kedua
orang tua, bahkan aib orang sekampung (Depdikbud, 1978: 30).
2.3.4. Adat Perkawinan Masyarakat Pariaman.
2.3.4.(a). Adat bagi masyarakat Minang.
Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada
ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ketiga peraturan yang
disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan
Undang-undang Negara. Pada kehidupan nyata, penerapan hukum yang terdapat
dalam Tali Tiga Sepilin ini tidak selalu berjalan mulus. Ketiga peraturan tersebut
seharusnya saling seiring sejalan, saling mengisi dan saling menguatkan. Pada
kenyataannya, tidak jarang pula saling bertentangan dan berpotensi untuk saling
berbenturan.
Navis (1984: 88), menyebutkan bahwa adat bagi orang Minang adalah
kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak dapat
berubah, seperti kata pepatah : “kain dipasang usang, adaik dipakai baru (kain
dipakai usang, adat dipakai baru)”. Maksudnya sebagaimana pakaian bila
dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus menerus senantiasa
awet. Oleh karena ada adat yang tetap tidak berubah di samping yang berubah.
Universitas Sumatera Utara
41
Adat di bagi dalam empat kategori, yakni: (1). adat yang sebenarnya adat;
(2). adat istiadat; (3). adat yang diadatkan; dan (4). adat yang teradat.
Navis (1978: 89) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan empat
kategori adat tersebut adalah:
(1). adat yang sebenarnya ialah adat yang asli yang tidak berubah, yang tak
lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras
mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak
mati, dipindahkan tidak layu) . Adat yang lazim diungkapkan dalam
pepatah dan petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah
hidup orang Minang.
(2). adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum
atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku
pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan
tidak apa-apa. Adat ini dalam mamangan (pepatah) diibaratkan seperti :
pohon sayuran yang gadang dek diambak, tinggi dek dianjuang (besar
karena dilambuk, tinggi karena dianjung) , yang artinya adat itu akan dapat
tumbuh karena dirawat dengan baik.
(3). adat yang diadatkan ialah apa yang dinamakan sebagai undang-undang
dan hukum yang berlaku, seperti yang didapatkan pada undang-undang
luhak dan rantau, undang-undang nan dua puluh. Terhadap adat ini
berlaku apa yang diungkapkan mamangan (pepatah) : jikok dicabuik mati,
jikok diasak layua (jika dicabut (ia) mati, jika dipindahkan (ia) layu) ,
seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak
ada tangan yang mengganggu hidupnya.
(4). adat teradat ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau
konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud
mamangan (pepatah): patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh,
hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia akan
dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau ia hilang, ia diganti
pohon lain pada bekas tempatnya hilang karena pohon itu perlu ada untuk
keperluan hidup manusia.
Menurut Nasrun, adat Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan
hidup yang kekal, segar dan aktual, oleh karena didasarkan pada:
1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada
nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.
2. Kebersamaan dalam arti seseorang untuk kepentingan bersama, dan
kepentingan bersama untuk seseorang.
3. Kemakmuran yang merata.
Universitas Sumatera Utara
42
4. Perimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata
serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.
5. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
7. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu, dan keadaan (dalam
Soekanto, 1983: 72-73).
Tradisi uang jemputan merupakan kategori adat yang teradat.
Sebagaimana Sjarifoedin (2011: 477), tradisi perkawinan bajapuik di Pariaman,
termasuk ke dalam kategori adat nan teradat karena hanya berlaku di Pariaman,
sedangkan di daerah lain tidak mengenal tradisi bajapuik.
2.3.4.(b). Perempuan dalam adat perkawinan Pariaman.
Dalam adat Minang, etika yang harus dimiliki seorang perempuan selain
patuh dan hormat kepada kedua orang tua, salah satunya adalah mendengarkan
nasehat dan perintah mamak/pamannya. Meskipun mamaknya itu, seorang lakilaki yang lebih muda dibandingkan dengan umurnya, tetapi kalau mereka sudah
akhil baligh, patutlah dipandang sebagai mamak juga (Dirajo, 2003: 164).
Demikianlah adat Minang menempatkan peranan seorang mamak yang harus
dipatuhi oleh perempuan Minang.
Di Kota Pariaman, istilah “gadih gadang indak balaki” membuat seorang
mamak orang Pariaman, sangat peduli untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Begitu pedulinya para mamak di Pariaman terhadap isu gadih
gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve, menaik
se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi
penurunan tingkat suplai laki-laki yang mapan. Akibatnya merusak titik
ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif),
artinya pihak keluarga anak gadis, siap memberikan kompensasi berapapun
nilainya, asalkan anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Dari
kondisi tersebut muncul istilah uang hilang yang dalam prakteknya samasama dijalankan dengan uang jemputan. Uang jemputan akan dikembalikan
dalam bentuk pemberian, berupa emas yang nilainya setara dengan nilai
Universitas Sumatera Utara
43
yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin wanita. Terkadang pemberian
itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai (pengantin pria)
sebelumnya, karena pemberian tersebut menyangkut gengsi keluarga
marapulai itu sendiri (sumber: http://sosbud.kompasiana.com).
Pendapat senada disampaikan Sjarifoedin (2011: 471) bahwa gadis
gadang indak balaki (gadis dewasa, namun belum menikah) di Pariaman,
merupakan aib bagi keluarga. Kondisi ini membuat pihak keluarga perempuan
yang terdiri dari ibu-bapak, mamak/paman dan ninik mamak dari pihak ibu,
berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan suami bagi anak kemenakannya, bahkan
bersedia untuk membayar kepada pihak calon mempelai laki-laki. Terkadang
jumlah uang jemputan yang diminta, tidak masuk akal sehingga membebani pihak
perempuan.
2.3.4.(c). Tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman.
Tradisi uang jemputan merupakan syarat terjadinya perkawinan yang
berlaku bagi masyarakat di daerah Pariaman.
Tradisi uang jemputan adalah memberikan sejumlah uang atau barang
berharga lainnya oleh pihak perempuan, kepada pihak laki-laki sebagai
syarat terjadinya perkawinan. Jumlah uang jemputan ditetapkan dengan
kesepakatan bersama, antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Jika keluarga laki-laki setuju, peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti
batal. Semakin tinggi kedudukan sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang
jemputannya. Uang jemputan diserahkan ketika acara manjapuik marapulai
yaitu tradisi menjemput pengantin pria, sebelum melangsungkan akad nikah
di rumah perempuan. Uang jemputan ini akan dikembalikan lagi oleh pihak
laki-laki dalam bentuk perhiasan atau benda-benda berharga lainnya disebut
panibo, yang diberikan saat manjalang mintuo yaitu pada saat perempuan
berkunjung pertama kalinya ke rumah mertua (dalam Navis, 1984: 201;
Maihasni,et. al., 2010: 173-174; Yaswirman, 2011: 135; Sjarifoedin,
2011: 478; Naim, 2013: 329).
Proses pelaksanaan tradisi uang jemputan seperti dikutip dalam Jurnal
Depdikbud, Dirjen Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Universitas Sumatera Utara
44
Padang (2000: 29-59), berjudul “Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat
Pariaman dalam Upacara Perkawinan”, adalah sebagai berikut :
Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka
orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka
menemukan laki-laki yang dirasakan cocok, maka keluarga perempuan akan
mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo
(menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita
mengenal calon suaminya, melalui pihak keluarganya. Bila dirasakan cocok,
maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara
mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan batandang
(berkunjung) kembali, ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai),
untuk melakukan musyawarah.
Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro (calon pengantin
perempuan) akan menyampaikan maksud mereka, kepada mamak tungganai
(paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan
bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah,
karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik (uang
jemputan), akan dipersiapkan oleh keluarga perempuan. Bila keluarganya
termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual
harato pusako (harta pusaka), untuk membiayai pernikahan. Kemudian
dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan
membicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan
lainnya.
Sementara itu, Fiony Sukmasari menyebutkan syarat-syarat perkawinan
dalam adat Minangkabau sebagai berikut:
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari nagari atau
luhak yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak
yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai
orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
4. Calon suami (marapulai) sudah mempunyai sumber penghasilan (dalam
Amir, 2006: 12-13).
Universitas Sumatera Utara
45
2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai
berikut:
Elemen-elemen
yang membentuk
persepsi:
P
E
R
U
B
A
H
A
N
Persepsi
perempuan
Minang
Pariaman
tentang
tradisi uang
jemputan
1. Pandangan
dunia
(agama/sistem
kepercayaan,
nilai-nilai dan
sikap
2. Sistem
lambang
3. Organisasi
sosial
S
I
K
A
P
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Dari bagan di atas, dapat dijelaskan alur pemikiran penelitian yang akan
dilakukan. Persepsi budaya perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang
jemputan, dibentuk oleh pandangan dunia (aga