Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini
menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut (DeVito, 1997: 490).
Seperti halnya kultur (budaya) perkawinan yang dianut oleh masyarakat suku
Minang di daerah Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Sjarifoeddin (2011: 476)
menyebutkan bahwa adat perkawinan antara satu daerah dengan daerah lainnya di
Minangkabau memiliki perbedaan. Tata cara perkawinan di Pariaman, berbeda
dari tata cara perkawinan di daerah lainnya seperti Payakumbuh, Bukittinggi dan
lainnya.
Pada masyarakat suku Minang yang menganut sistem matrilineal, posisi
suami adalah sebagai urang sumando atau orang yang datang dalam keluarga istri.
Oleh karena itu, untuk menghormati posisi laki-laki (suami), ibarat pepatah
“datang karano dipanggia, tibo karano dianta” (datang karena dipanggil, tiba
karena diantar), masyarakat Pariaman mewujudkannya dalam bentuk proses
bajapuik pada adat perkawinan yang melibatkan barang-barang yang bernilai,
seperti emas atau uang (Sjarifoedin, 2011: 477). Proses bajapuik atau menjemput

laki-laki dengan melibatkan uang inilah yang disebut sebagai tradisi uang
jemputan (japuik), pada adat perkawinan masyarakat Pariaman.
Maihasni,

Sumarti,

Wahyuni

dan

Tjondronegoro

(2010:

178),

mengemukakan bahwa tradisi uang jemputan merupakan implementasi dari sistem

Universitas Sumatera Utara


2

matrilineal suku Minang di Pariaman, di mana harta pusaka ditetapkan menjadi
milik perempuan, sementara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Oleh karena itu,
wajar bila laki-laki yang diterima sebagai menantu, diberikan uang jemputan
sebagai modal bagi mereka untuk hidup berumah tangga. Sjarifoedin (2011: 474)
menambahkan dalam adat perkawinan di Pariaman, pihak wanitalah yang
melamar dan menjemput serta membayar pihak pria, ketika akan melangsungkan
perkawinan. Karena itu adat perkawinan Pariaman, lebih dikenal dengan
“perkawinan bajapuik” atau “perkawinan berjemputan”. Adat perkawinan
Pariaman yang demikian adalah adat lokal Pariaman, tidak berlaku untuk seluruh
wilayah Minangkabau Sumatera Barat.
Uang jemputan umumnya terdapat di daerah Pariaman dan Kota Padang.
Laki-laki dijemput oleh keluarga perempuan dengan sejumlah uang atau barang
berharga lainnya pada saat peminangan. Jika keluarga laki-laki setuju,
peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti batal. Semakin tinggi kedudukan
sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang jemputannya (Yaswirman, 2011: 135).
Dari pernyataan tersebut, dapat digambarkan bahwa dalam tradisi uang jemputan,
terdapat aturan komunikasi yang bersifat transaksional antar keluarga calon
pengantin dalam mencapai kesepakatan mengenai jumlah uang jemputan, sebagai

syarat perkawinan. Tidak tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak
keluarga tersebut dapat berakibat pada gagalnya rencana perkawinan, di mana hal
ini menggambarkan tidak efektifnya proses komunikasi yang dilakukan.
Seperti dikisahkan dalam sebuah cerpen yang dimuat pada harian
Kompas Tahun 2007, berjudul “Uang Jemputan” karya Farizal Sikumbang.
Cerpen ini mengisahkan Aku (penulis) yang terhalang kisah cintanya dengan

Universitas Sumatera Utara

3

seorang gadis bernama Faraswati. Keluarga Faraswati tidak mampu memenuhi
uang jemputan sebesar sepuluh juta rupiah, sebagai syarat perkawinan yang
diminta oleh keluarganya. Tokoh Aku (penulis) sebenarnya menolak adanya
tradisi tersebut. Keinginannya menikahi Faraswati terhalang, karena harus
mematuhi adat istidat (sumber: http://manggopohalamsaiyo.blogspot.com). Kisah
tersebut menceritakan tentang, tidak efektifnya proses komunikasi yang dilakukan
mengenai kesepakatan uang jemputan sebagai syarat perkawinan.
Proses komunikasi yang tidak efektif pada pelaksanaan tradisi uang
jemputan, juga dikisahkan dalam sebuah film pendek karya Ferdinand Almi,

berjudul “Salisiah Adaik” yang artinya “Selisih Adat”. Film tersebut menceritakan
tentang perjalanan cinta dua sejoli, bernama Muslim dan Rosa. Cinta keduanya
tidak dapat bersatu, karena memiliki adat perkawinan yang saling bertentangan.
Muslim adalah pemuda Pariaman, sedangkan Rosa adalah gadis Payakumbuh.
Bagi keluarga Muslim, dalam adat perkawinan Pariaman mengharuskan adanya
pemberian uang jemputan dari pihak perempuan. Sementara bagi keluarga Rosa,
dalam adat perkawinan Payakumbuh mengharuskan adanya pelaksanaan tradisi
sasuduik. Tradisi sasuduik adalah kewajiban calon suami untuk memenuhi
tanggung jawab dalam memberikan perlengkapan kamar kepada perempuan yang
akan dinikahi. Perselisihan adat tersebut membuat kisah cinta Muslim dan Rosa,
sulit dipersatukan dalam sebuah ikatan perkawinan (sumber: http://www.wartaandalas.com).
Pada awalnya uang jemputan diberikan kepada laki-laki yang memiliki
darah bangsawan, namun kini telah bergeser kepada laki-laki yang memiliki status

Universitas Sumatera Utara

4

sosial tinggi, seperti gelar kesarjanaan. Sekarang ini uang jemputan bukan lagi
untuk laki-laki yang dijemput, melainkan untuk ibunya (Navis, 1984: 201).

Kuntjaraningrat mengemukakan bahwa penetapan besarnya uang jemputan,
merupakan masalah sulit yang harus ditempuh oleh keluarga perempuan
dalam melakukan peminangan. Uang jemputan telah berubah
pelaksanaannya menjadi “uang hilang”. Istilah “hilang” berarti pemberian
pihak keluarga perempuan, tidak dibalas oleh pihak keluarga laki-laki.
Sementara dalam prosesi yang sebenarnya, pemberian uang jemputan
seharusnya dibalas atau dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki dalam
bentuk pemberian perhiasan atau benda berharga lainnya yang disebut
panibo. Pemberian ini dilaksanakan pada saat anak daro (pengantin
perempuan), datang mengunjungi mertua (manjalang mintuo) untuk
pertama kali (dalam jurnal Depdikbud, 1978: 11).
Pernyataan di atas didukung oleh Al Reza (2011: 72) yang menyebutkan,
di dalam agama Islam hanya dikenal dengan mahar sebagai pemberian laki-laki
untuk calon istrinya, bukan sebaliknya seperti yang berlaku pada tradisi uang
hilang. Oleh karena itulah uang hilang bertentangan dengan hukum Islam.
Meskipun demikian perkawinan yang tidak memakai uang jemputan itu tetap sah,
karena pemberian uang jemputan itu adalah syarat tersendiri yang timbul karena
kebiasaan masyarakat Pariaman. Perkawinan dapat dilakukan asalkan rukun dan
syarat perkawinan terpenuhi, seperti terdapat dalam ketentuan Hukum Islam dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada
ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ke tiga peraturan yang
disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan
Undang-undang Negara. Pendapat senada disampaikan Ibrahim (1984: 15), bahwa
“adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” merupakan ungkapan yang
mencerminkan masyarakat Sumatera Barat, di samping mereka teguh memegang
adatnya, juga taat melaksanakan syariat agamanya. Di sisi lain, Abdullah

Universitas Sumatera Utara

5

(1987: 104) mengemukakan, pada mulanya antara adat Minang dan Islam
memang terjadi konflik, setidaknya demikian menurut peneliti-peneliti barat sejak
masa penjajahan.
Pendapat tersebut didukung Yaswirman (2011: 112), bahwa perbenturan
persepsi antara adat dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan,
terutama bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal,
sedangkan Islam menganut sistem patrilineal. Di Minangkabau, suami tinggal
bersama di rumah keluarga istri, sedangkan dalam Islam sebaliknya, istri tinggal

di rumah yang disediakan suami. Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan,
perwalian, kepemilikan harta dan pewarisan. Kendati telah ada konsensus “adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”,
namun mewujudkan persentuhan adat dan Islam dalam persoalan ini, mengalami
proses yang sangat panjang.
Dalam urusan perjodohan generasi muda Minang, tidak hanya orang tua
yang berperan, seorang “mamak” atau paman (saudara laki-laki ibu) juga ikut
berperan. Mamak termasuk orang yang berkuasa terhadap keturunan. Keturunan
yang dimaksud adalah kemenakan yang menjadi anak dalam keluarga inti. Jika
tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya sampai mereka dewasa, maka
tanggung jawab dan kekuasaan mamak terhadap kemenakannya, seakan-akan
bukan dalam waktu terbatas. Kekuasaan itu mulai terlihat sejak kemenakan masih
kecil, mencarikan jodoh sampai berumah tangga (Yaswirman, 2011: 167-168).
Sebuah novel berjudul “Memang Jodoh” karangan Marah Rusli,
menceritakan tentang peranan keluarga dalam urusan perjodohan yang dikisahkan
Rusli melalui novel semiautobiografi kehidupannya, dalam belenggu adat istiadat

Universitas Sumatera Utara

6


perkawinan Minang. Hamli (tokoh utama dalam novel) selalu mendapat desakan
dari para mamak (paman)nya untuk mau menerima pinangan, di antara beberapa
perempuan sesama suku Minang yang akan memberinya uang jemputan. Hamli
diperbolehkan melakukan poligami dengan alasan agar perempuan Minang yang
akan ia nikahi, mendapat keturunan yang baik darinya, sebagai seorang keturunan
bangsawan dari kerajaan Pagaruyung di Kota Padang. Sikap Hamli yang sangat
menentang poligami dan tradisi uang jemputan, membuatnya memilih
meninggalkan kampung halaman dan merantau ke Bogor untuk melanjutkan
pendidikan. Akhirnya terjadi konflik antara Hamli dengan keluarga besarnya,
disebabkan Hamli memutuskan menikahi seorang perempuan dari suku Jawa,
yang kini menjadi istrinya. (Rusli, 2013: 10).
Kisah lain tentang peranan keluarga dalam perjodohan dengan tradisi
uang jemputan yang cukup menarik, ditulis oleh Desni Intan Suri dalam sebuah
novel fiksi, berjudul “Aku Tidak Membeli Cintamu”. Novel tersebut menceritakan
kisah seorang gadih gadang indak balaki (gadis yang telah dewasa, namun belum
bersuami). Tokoh utama pada novel tersebut bernama Suci Intan Baiduri. Ia
sangat menentang keinginan ibunya, untuk menikahkan dirinya kepada laki-laki
Pariaman dengan sejumlah uang jemputan. Suci memandang sistem matrilineal,
membuat perempuan Minang menjadi lebih berkuasa dari pada laki-laki, apalagi

dengan adanya tradisi uang jemputan. Suci melihat hal tersebut pada karakter
ibunya yang selalu memegang setiap keputusan dalam urusan rumah tangga. Suci
berpendapat bahwa adat Minang yang sesungguhnya, bertujuan untuk melahirkan
watak bundo kanduang bagi wanita Minang, yaitu sebuah watak kepemimpinan
perempuan yang terampil, cermat dan bijaksana. Akhirnya Suci menerima

Universitas Sumatera Utara

7

perjodohan tersebut setelah mengetahui bahwa laki-laki yang dijodohkan dengan
dirinya adalah laki-laki yang ia kagumi selama ini dan memiliki prinsip, tidak
menginginkan adanya tradisi uang jemputan dalam perkawinan (Suri, 2012: 70).
Dari kedua kisah pada novel di atas, penulis mencoba menyampaikan
adanya persepsi berbeda tentang tradisi uang jemputan. Persepsi tersebut
digambarkan oleh tokoh Hamli dan Suci yang bersikap menolak tradisi uang
jemputan, setelah keluarga berperan dalam memprakarsai perjodohan dengan
tradisi uang jemputan. Berbeda dengan hasil penelitian Yunita, Muhammad dan
Basri (2010) yang mendapati bahwa persepsi masyarakat Padang Pariaman di
Kota Lampung, tentang tradisi uang jemputan adalah persepsi yang positif.

Tradisi tersebut menurut responden, merupakan upaya untuk melestarikan adat
istiadat Minang Pariaman (sumber: http//jurnal.fkip.unila.ac.id). Ini menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki cara pandang atau persepsi yang berbeda-beda
dalam memaknai suatu budaya. Samovar & Porter (dalam Lubis, 2012: 63)
menyebutkan, ada 3 (tiga) elemen-elemen pokok yang mempengaruhi persepsi
budaya, yaitu: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem
kepercayaan, nilai-nilai dan sikap perilaku; (2). sistem lambang (verbal dan non
verbal); dan (3). organisasi sosial.
Masyarakat Minangkabau, sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya
di Indonesia, sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya
(culture shocks) yang sangat hebat, akibat tantangan dan serangan yang datang
dari berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi. Di samping itu juga akibat proses
pelapukan yang terjadi dari dalam, yang semua ini bisa membahayakan eksistensi
dan keberlanjutan budaya Minang sendiri (Naim, 2000: 10). Sering terjadi saat ini

Universitas Sumatera Utara

8

pada orang Minang perantauan atau yang tinggal di perkotaan, tanpa

mengenyampingkan adat, masalah uang jemputan dapat diatasi. Misalnya secara
simbolis jumlahnya tetap dibunyikan, tapi dalam praktiknya tidak dilaksanakan.
Kecuali di antara pihak itu, ada yang tidak mempunyai itikad baik dalam
perkawinan. Kalau hal ini yang terjadi, memang lebih baik rencana perkawinan
tersebut dibatalkan dini hari. Seperti pepatah “kumbang tidak seekor, bunga tidak
setangkai” (Sjarifoedin, 2011: 481).
Menurut Provencher, model migrasi masyarakat Minangkabau sering
disebut merantau dalam bentuk perpindahan tradisional, institusional dan
normatif (dalam Pelly, 2013: 9). Selanjutnya Thomas & Znaniecki menyebutkan,
fungsi migrasi adalah sebagai cultural transmitter atau penyalur arus budaya
(dalam Naim, 2013: 13). Kota Medan menempati urutan pertama, setelah Binjai,
Tebing Tinggi, dan Kota lainnya di Sumatera Utara yang merupakan tempat
tujuan perantau Minangkabau dengan jumlah yang besar, berdasarkan hasil sensus
penduduk pada tahun 1930 (Naim, 2013: 105). Sementara itu pada tahun 1981,
penduduk etnis Minangkabau, merupakan urutan ke lima sebagai penduduk
terbanyak di Kota Medan, setelah etnis Jawa, Batak Toba, Tionghoa dan
Mandailing (Pelly, 2011: 97).
Kehadiran orang Minangkabau di Kota Medan dalam jumlah yang besar,
merupakan faktor yang menempatkan mereka, tidak merasa tersudut oleh situasi
atau merasa terasing sebagai pendatang. Orang Minang berprinsip seperti apa
yang dikatakan pepatah “dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang”, yang
artinya di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Minang dapat
berbaur dan beradaptasi dengan budaya tuan rumah. Mereka juga membentuk

Universitas Sumatera Utara

9

organisasi berdasarkan daerah asal di Sumatera Barat, seperti Pariaman, Batu
Sangkar, Maninjau, Pasaman dan sebagainya (Naim, 2013: 108-109).
Penelitian yang pernah peneliti lakukan pada tahun 2005, mendapati
bahwa tradisi uang jemputan masih dilaksanakan orang Minang yang berasal dari
daerah Tujuh Koto, Kabupaten Pariaman yang ada di Kota Medan, sebagai lokasi
penelitian. Persepsi tentang tradisi uang jemputan oleh remaja putri Minang
sebagai informan penelitian, cenderung bersifat subjektif, di mana perempuan
sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak layak atau tidak pantas (Susanti,
2005: 73). Sedangkan di daerah asal tradisi ini, Bupati Padang Pariaman sendiri
pernah menghimbau agar masyarakat Pariaman, menghapus tradisi uang japuik
atau uang hilang. Pada tanggal 25 Januari 1990, dikeluarkan keputusan bersama
antara Bupati, Lembaga Adat dan Lembaga Agama setempat untuk menghapus
tradisi uang hilang (Al Reza, 2011: 1).
Sementara itu masyarakat di luar suku Minang, sering mengartikan
tradisi uang jemputan sebagai tradisi “membeli laki-laki”. Dahulu seluruh
masyarakat di daerah Sumatera Barat, memakai tradisi uang jemputan pada adat
pernikahan. Sekarang ini, Kota Pariaman adalah satu dari sedikit daerah di
Sumatera Barat yang tetap mempertahankan adat tersebut. Tradisi “membeli lakilaki” dengan sejumlah uang ini, ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak keluarga (sumber: http://www.infominang.com). Adanya stereotip tentang
tradisi uang jemputan sebagai tradisi “membeli laki-laki”, merupakan cara
pandang atau persepsi yang berbeda dari ekspektasi sebenarnya tentang nilai-nilai
tradisi uang jemputan, di mana pemberian uang jemputan dimaksudkan sebagai
modal bagi laki-laki untuk hidup berumah tangga (Maihasni, et. al., 2010: 178).

Universitas Sumatera Utara

10

Mulyana mengemukakan bahwa dalam komunikasi antarmanusia, stereotip
umumnya akan menghambat keefektifan komunikasi, bahkan pada gilirannya
akan menghambat integrasi manusia yang sudah pasti dilakukan lewat komunikasi
(dalam Mulyana & Rakhmat, 2010: 236).
Suatu kajian yang menarik mengenai perbedaan persepsi masyarakat,
khususnya generasi muda Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan.
Pelaksanaan suatu tradisi akan kuat, bila dilaksanakan di daerah asal.
Bagaimanakah jika tradisi tersebut, dilaksanakan di luar daerah asal atau di
perantauan?. Tradisi uang jemputan yang dilaksanakan di daerah rantau akan
melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Proses ini akan berpengaruh pada
persepsi budaya generasi muda, khususnya yang lahir dan besar di perantauan,
sebagai generasi penerus dalam proses transmisi nilai-nilai budaya.
Sebagaimana Samovar, et al. (2010: 49) menyebutkan bahwa “kita lebih
dari budaya kita”. Meskipun semua budaya memberikan referensi secara umum,
manusia bukanlah tawanan dari budaya mereka atau tunduk pada semua hal dari
budaya tersebut. Manusia berfikir, merasa, dan berperan dalam perilaku sosial
kolektif mereka. Akibatnya, nilai dan perilaku dari budaya tertentu, mungkin
bukanlah merupakan nilai dan perilaku semua individu dalam budaya tersebut.
Sjarifoedin (2011: 477) mengemukakan, tradisi perkawinan dengan uang
jemputan sering mengundang pro dan kontra dalam masyarakat, baik dari dalam
maupun dari luar masyarakat Pariaman. Namun tradisi tersebut tetap langgeng
dan eksis dilaksanakan.
Proses yang dilalui individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya)
komunikasi, dimulai pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan

Universitas Sumatera Utara

11

pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi
bagian kepribadian dan perilaku kita. Proses belajar ini memungkinkan kita
berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang memiliki pola-pola
komunikasi serupa (Adler dalam Mulyana & Rakhmat, 2010: 138).
Pada akhirnya proses komunikasi yang dilakukan dalam tradisi uang
jemputan, berakibat pada berhasil atau tidaknya seorang perempuan Minang
Pariaman untuk mendapatkan suami (menikah). Hal ini disebabkan, bahwa dalam
suku Minang, merupakan aib besar bagi suatu keluarga, kalau mereka mempunyai
“gadih gadang indak balaki” atau gadis yang telah dewasa, namun belum
memiliki suami (Sjarifoedin, 2011: 471). Kelahiran anak perempuan, sebenarnya
sangat didambakan oleh masyarakat Minang sebagai pelanjut kekerabatan dan
pemegang hak atas kekayaan keluarga. Kedudukan perempuan menjadi sentral
untuk urusan di dalam maupun di luar (Yaswirman, 2011: 125-126).
Berdasarkan seluruh paparan di atas, peneliti tertarik melakukan
penelitian komunikasi dalam adat perkawinan suku Minang, khususnya pada
persepsi tentang tradisi uang jemputan oleh perempuan Minang Pariaman yang
lahir dan besar di Kota Medan. Alasan pemilihan permasalahan ini, disebabkan
karena perempuan Minang Pariaman pada sistem matrilineal, merupakan pihak
yang memiliki peranan utama dalam proses pelamaran dan pemberian uang
jemputan. Hal ini dapat dikatakan pula bahwa pihak perempuan merupakan
komunikator dalam proses pelamaran dengan tradisi uang jemputan.
Budaya didefenisikan, dibentuk, ditransmisikan, dan dipelajari melalui
komunikasi (Edward T. Hall dalam Ruben dan Stewart, 2013: 361). Ketika
seorang perempuan dianggap layak untuk memasuki kehidupan pernikahan,

Universitas Sumatera Utara

12

keluarga akan berperan dalam urusan perjodohan dan penyampaian pesan tentang
adanya tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan. Oleh karena itu peneliti
ingin mengetahui lebih dalam, tentang persepsi dan perubahan sikap perempuan
Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan, tentang tradisi uang
jemputan sebagai adat perkawinan sukunya (intra culture) yang menerpa dirinya.
Alasan pemilihan Kota Medan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan
Kota Medan merupakan Kota Metropolitan ketiga setelah Jakarta dan Surabaya
(Pelly, 2013: 4) yang memiliki kedekatan geografis dengan Sumatera Barat
sebagai daerah asal tradisi uang jemputan. Sebagaimana dikemukakan Mochtar
Naim bahwa hubungan komunikatif yang relatif lancar, antara perantau di Kota
Medan dengan kampung halaman, memungkinkan perantau Minangkabau rutin
untuk pulang kampung (Naim, 2013: 109). Pada keluarga perantau Minang yang
berasal dari Pariaman yang ada di Kota Medan, memungkinkan terjadinya proses
komunikasi dalam pewarisan nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan,
sebagai upaya menjalankan misi budaya. Pelly (2013: 3) mengemukakan bahwa,
dengan meneliti “misi budaya” yang dibawa para perantau ke daerah perantauan,
kita bisa melihat budaya tuan rumah yang dominan itu, dapat mempengaruhi
konsep-konsep budaya yang dibawa para perantau dari daerah asal.
Dalam era globalisasi informasi, suatu fenomena tidak hanya sekedar
memerlukan pertimbangan nilai baik atau buruk, benar atau salah, indah atau
jelek, tetapi memerlukan pertimbangan lain, apakah menguntungkan atau
merugikan, layak atau tidak layak dan sebagainya (El Karimah dan Wahyudin,
2010: 52). Perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan
sebagai Kota Metropolitan, akan dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam

Universitas Sumatera Utara

13

kehidupan modern dan multikultural, sehingga turut pula membentuk persepsi
budayanya tentang tradisi uang jemputan yang menarik untuk diteliti. Selain itu
dalam referensi yang peneliti telusuri dan baca, peneliti belum mendapati
penelitian sebelumnya yang meneliti persepsi perempuan Minang Pariaman yang
lahir dan besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat
perkawinan Pariaman. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian ini,
untuk memberikan variasi terhadap penelitian sejenis.
1.2. Fokus Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, peneliti menetapkan
fokus masalah penelitian sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana cara pandang perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar
di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan?
1.2.2.Bagaimana perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan
besar di Kota Medan setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan dalam
adat perkawinan?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1.3.1. Mengetahui cara pandang perempuan Minang Pariaman yang lahir dan
besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan.
1.3.2. Mengetahui perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan
besar di Kota Medan setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan dalam
adat perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

14

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1. Secara akademis, diharapkan dapat menambah khasanah penelitian ilmu
komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi antarbudaya. Selain itu
diharapkan dapat memberikan motivasi kepada peneliti-peneliti lain, untuk
mengkaji lebih dalam penelitian komunikasi tentang tema-tema budaya.
1.4.2. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah pemahaman masyarakat
akademis mengenai penelitian yang berkaitan dengan tradisi uang
jemputan dalam adat perkawinan Pariaman di Kota Medan.
1.4.3. Secara praktis, diharapkan dapat menggambarkan terjadinya perubahan atau
pergeseran nilai-nilai pada tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan
Pariaman, melalui persepsi dan terlihat pada perubahan sikap perempuan
Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara