Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RONI ZULI PUTRA

NIM. 1112044100003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M/1438 H


(2)

Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Roni Zuli Putra

NIM. 1112044100003

Dibawah Bimbingan

Dr. Hj. Isnawati Rais, MA

NIP:195710271985032001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2016 M/1438 H


(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Roni Zuli Putra

NIM : 112044100003

Fakultas : Syariah dan Hukum Jurusan : Ahwal Syakhshiyyah Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi in merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memperoleh salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil penjiblakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Oktober 2016


(5)

Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa sejauhmana masyarakat Pariaman di Perantauan melestarikan tradisi uang japuik yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam budaya rantau, menjelaskan tolok ukur status sosial laki-laki Pariaman di perantauan dalam tradisi uang japuik, serta mensinergikan korelasi pandangan Islam terhadap tradisi uang japuik yang berlangsung di Pariaman itu sendiri.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan antropologi hukum. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode obsevasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka, yang semuanya untuk menjawab permasalahan penelitian tentang Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masyarakat Pariaman di perantauan Kutabumi Tangerang masih mempraktekan tradisi uang japuik dalam rangkaian praperkawinan mereka sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ninik mamak dan hukum adat di Minangkabau serta tetap menjaga kedudukan status sosial laki Pariaman dalam tradisi uang japuik ini. Disamping itu tradisi uang japuik juga memberi gambaran bahwa adanya keserasian dan keselarasan antara hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau, hal ini menjadi bukti bahwa

masyarakat Minangkabau masih menjunjung tinggi nilai filosofi “Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

Kata kunci : Tradisi, Uang Japuik, Pariaman Perantauan, Status Sosial Laki-laki

Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, MA Daftar pustaka : 1974 Sampai 2016


(6)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ه مسب

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai. Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila di dalam penulisan skripsi ini ada yang kurang berkenan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis masih jauh dari kesempurnaan.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.


(7)

penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Yayan Sopyan, M.Ag selaku Wakil Dekan III sekaligus Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah sabar mendampingi penulis hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam perumusan desain judul skripsi inidan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Hj. Isnawati Rais, MA sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Ayahanda tercinta Mudarlis dan Ibunda tercinta Fitra Azidar yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah dan mustahil penulis mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan meyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada kakak dan adik-adik tercinta Ismail, Rozi Saputra, Nadila Rahma Fitri dan Fauzan Azhima yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis


(8)

dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu menjadi kakak dan adik-adik yang terbaik bagi penulis.

8. Kepada segenap pengurus PKDP Kutabumi Tanggerang dan Bapak Lurah Kutabumi beserta jajaran. Terimakasih telah bersedia memberikan informasi dan data penelitian bagi penulis.

9. Narasumber, Bapak Mochtar Naim, Sidi Asril Caniago, Sutan Ali Wara, Sutan Awaluddin, Bapak Agusti Esden, Uni Adek dan Uda Zamris yang telah memberikan doa dan informasi berkenaan dengan materi skripsi yang penulis. 10. Kepada Mamak Edison M. Nur, Mak Datuak Bungsu, Mak Men dan

bapak-bapak Letting HIKRAL 88 Jaya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih yang takterhingga penulis sampaikan karena sudah membantu studi penulis baik moril maupun materilsehingga penulis dapat memperoleh gelar Strata Satu.

11. Kepada Lusi Yulanda, S. Pd yang tak henti mengingatkan, memberi semangat penulis dalam menyelesaikan skripsis ini dan juga telah berjuang selama bertahun-tahun bersama penulis dalam mencapai visi misi yang sama. Mudah-mudahan kebahagian akan segera kita dapatkan. Amiinn

12. Kepada teman-teman Keluarga Mahasiswa Minangkabau (KMM) Ciputat, teman-teman KKN Pusako Rantau (Arif, Harri, Ismail Ankai, Yudi, Harris, Fitriyani, Fitriwati, Delima dan Uci) dan Ikatan Keluarga Alumni MAN 2 Batusangkar (IKAMANDA) CiputatAndri, Rozi, Azmi, Yusri, Suci, Fadel dan adik-adik Alumni MAN 2 terimakasih telah memberikan semangat bagi penulis.


(9)

membuat cerita dalam hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis, dan pergorbanan. Tetap selalu menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.

14. Kepada teman-teman Hafiz, Okta, Wahid, Dayat, dan Ruhul Amin yang selalu menghibur dan memberi semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selalu ada setiap penulis lagi malas, galau, bosan, bahkan sampai larut menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang akan datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi selanjutnya.

Jakarta, Oktober 2016


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

LEMBAR PERNYATAAN...iii

ABSTRAK...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...ix

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah ... 1

Identifikasi Masalah ... 8

Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 9

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

Metode Penelitian ... 11

Review Studi Terdahulu ... 13

Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TEORI UMUM TENTANG KHITBAH DALAM ISLAM DAN BUDAYA MINANGKABAU A.Khitbah dalam Islam ... 16

1. Pengertian Khitbah ... 16

2. Dasar Hukum Khitbah ... 18

3. Khitbah dalam Konsep 'Urf ... 21

4. Perempuan yang tidak boleh di Khitbah ... 22

5. Hikmah Khitbah ... 23

B.Khitbah Dalam Budaya Minangkabau ... 23

1. Pengertian Khitbah ... 23

2. Perempuan yang tidak boleh di Khitbah dalam tradisi Perkawinan Minangkabau ... 26

3. Sekilas tentang Munculnya Perbedaan Tradisi di Minangkabau ... 27

C.Khitbah dalam Tradisi Perkawinan Pariaman ... 28

Bab III SEKILAS TENTANG MASYARAKAT PARIAMAN DI KUTABUMI A. Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Kutabumi ... 37

B. Profil Masyarakat Pariaman di Kutabumi ... 42

Bab IV TRADISI UANG JAPUIK BAGI MASYARAKAT PARIAMAN PERANTAUAN DALAM MENJAGA STATUS SOSIAL LAKI-LAKI A. Tradisi Uang Japuik di Perantauan Kutabumi... 46

B. Hubungan Antara Besarnya Uang Japuik dengan Status Sosial Laki-laki . 49 C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Uang Japuik ... 54

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57

B. Saran-saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(11)

A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu, sekarang, dan masa akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza), ikatan suci (transenden), suatu perjanjian yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan badan antara suami isteri sebagai penyaluran libido seksual manusia yang terhormat, oleh karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.1

Untuk menyalurkan keinginan seksual tersebut tentunya harus dengan perkawinan yang sah sesuai dengan rukun dan syarat yang diatur dalam kitab fiqih. Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak diperhitungkan.

Adapun syarat pernikahan dalam syariat Islam salah satunya adalah pelaksanaan pranikah (peminangan). Khitbah (peminangan) bertujuan untuk menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi

1

Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta : PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 127.


(12)

2

nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam.2

Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai perempuan tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi

seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaannya

beragam, adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.3

Di Indonesia terdapat berbagai adat dan budaya yang beragam, termasuk juga budaya pra nikah juga berbeda-beda di setiap daerah. Salah satunya dalam kehidupan orang Minangkabau, adat dan agama merupakan ajaran moral yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Agama Islam adalah salah satu pedoman yang datang kemudian setelah adat, maka sesuai dengan perjalanan sejarah orang Minangkabau antara adat dan agama menjadi sebuah pedoman. Walaupun al-Quran datang kemudian bukan berarti orang Minangkabau meninggalkan begitu saja ajaran moral yang telah ditentukan oleh adat, tetapi mereka mensinergikan dan mengkombinasikan keduanya. Sehingga orang Minangkabau memiliki dua pedoman hidup dalam menjalani kehidupan di

2

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak (Jakarta: Amzah, 2011), h. 7.

3

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, h. 8.


(13)

dunia ini. Hal ini sesuai dengan pepatah adat, adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.4(adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah).

Di Minangkabau adat terbagi dalam empat macam yaitu: Pertama: adat nan sabana adat, kedua: adat nan diadatkan, ketiga: adat nan taradat, keempat: adat istiadat. Adapun adat nan sabana adat adalah adat yang asli, yang tidak berubah, yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Aturan-aturan dan sifat-sifat serta ketentuan-ketentuan adat nan sabana adat terletak pada setiap jenis benda alam ini seperti: api membakar, air membasahi, laut berombak. Adat nan diadatkan adalah peraturan setempat yang telah diambil dengan kata mufakat atau kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam suatu nagari saja dan tidak boleh dipaksakan berlaku juga untuk nagari lain. Yang termasuk dalam kategori adat nan diadatkan adalah tentang cara, syarat-syarat yang berhubungan dengan upacara pengangkatan penghulu, ataupun upacara perkawinan yang berlaku pada masing-masing nagari. Adat nan taradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan, selama tidak menyalahi landasan berpikir orang Minang, yaitu Alur dan Patut, Rasa-Periksa, dan Musyawarah Mufakat. Adat nan taradat ini dengan sendirinya menyangkut peraturan tingkah laku dan pribadi perorangan seperti tata cara berpakaian, makan dan minum, ke pesta dan sebagainya. Adat istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti jalannya perkembangan masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat. Kelaziman ini umumnya

4Pepatah ini mengindikasikan bahwa antara adat dan syara’ (syari’at, agama) adalah dua ajaran moral bagi orang Minangkabau yang saling mendukung dan saling melengkapi antara keduanya. Walaupun demikian, sesuai dengan kesepakatan para petinggi adat bahwa jika terjadi sebuah masalah yang bertentangan antara adat dan agama, maka agama harus yang pertama diikuti.


(14)

4

menyangkut tentang apresiasi seni dan budaya masyarakat anak nagari yang sesuai dengan alua jo patuik.5

Pinang-meminang (Khitbah) di Minangkabau termasuk dalam adat nan diadatkan, yang lazimnya diprakarsai kerabat pihak perempuan. Bila seorang gadis dipandang telah tiba masanya untuk berumah tangga, mulailah kerabatnya menyalangkan mata, yang artinya melihat-lihat atau mendengar-dengar jejaka mana yang telah pantas pula untuk beristri yang kira-kira cocok bagi anak gadis mereka. Bila yang dicari telah ditemukan, berundinglah para kerabat untuk memperbincangkan keadaan calon menantu mereka. Bila rundingan itu lancar, barulah ditugasi seseorang untuk melakukan penyelidikan, apakah pihak sana akan mau menerima pinangan mereka.6

Jika hasil penyelidikan itu memberi angin, barulah dikirim utusan untuk melakukan pinangan. Utusan itu dipimpin mamak gadis mereka. Namun, sebelum pinangan resmi disampaikan, beberapa penghubung telah pergi bolak-balik ke rumah pihak laki-laki utuk merundingkan waktu dan cara peminangan yang akan digunakan. Mamak yang datang untuk meminang itu diiringi beberapa orang laki-laki dan perempuan. Sedangkan di rumah orang yang akan dipinang telah menanti kerabat terdekatnya dengan pimpinan mamaknya.

Kepastian hasil dalam pinang-meminang itu belum diambil. Pihak laki-laki akan merundingkan lebih dahulu masalahnya dengan semua kerabat. Beberapa hari berikutnya dikirim lagi oleh pihak perempuan bisa diterima untuk

5

Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau (Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau), ( Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), h. 141.

6

A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 199.


(15)

mendengarkan hasil keputusan. Pada hari yang disepakati kedua belah pihak, utusan pihak perempuan datang lagi menemui pihak kerabat laki-laki untuk mendengarkan pinangan mereka diterima atau tidak.

Apabila pinangan telah diterima, tidaklah otomatis perkawinan bisa dilangsungkan. Rundingan selanjutnya ialah untuk menentukan kapan hari waktunya pertunangan dilaksanakan. Hari pertunangan itu disebutkan batimbang tando.7 Benda yang dijadikan pertukaran tanda itu tidaklah sama pada semua Nagari. Ia bisa berbentuk cincin emas, kain bersuji benang emas (kainbalapak), atau keris. Namun yang umum pihak perempuan memberikan kain atau perhiasan emas, sedangkan laki-laki memberikan keris pusaka.8

Dalam rangkaian adat perkawinan Minangkabau pada umumnya sama di setiap wilayah kecuali di Pariaman. Adat perkawinan Pariaman ini berbeda dengan adat perkawinan daerah Minangkabau lainnya, sebab dalam acara batimbang tando ada acara yang dikenal dengan tradisi bajapuik (menjemput pengantin laki-laki) yang mensyaratkan adanya uang japuik9. Adat perkawinan ini menjadi ciri khas di daerah Pariaman yang termasuk dalam adat nan diadatkan, karena hanya terjadi di daerah tertentu saja. Tradisi bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberikan sejumlah uang atau benda yang bernilai kepada pihak laki-laki sebelum akad nikah dilangsungkan.10

7

Timbang tando adalah pemberian tanda dari pihak perempuan berupa kain kepada pihak laki-laki sedangkan pihak laki-laki juga memberikan hal yang sama.

8

A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 200. 9

Uang Japuik adalah suatu pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki berupa barang yang berharga dengan tujuan untuk menghargai laki-laki tersebut sebagai orang yang datang atau disebut juga dengan urang sumando.

10

Welhendri Azwar, Matriolokal Dan Status Perempuan Dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta: Galang press, 2001), h. 52.


(16)

6

Adat perkawinan Pariaman terdiri dari berbagai rangkaian. Ada aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas-aktivitas saat perkawinan dan sesudah perkawinan. Dalam aktivitas sebelum perkawinan di Pariaman terdiri dari maratak tanggo, mamendekkan hetongan, batimbang tando (maminang) dan menetapkan uang jemputan. Lalu saat perkawinan terdiri dari bakampuang-kampuangan, alek randam, malam bainai, badantam, bainduak bako,manjapuik marapulai, akad nikah,basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo. Kemudian aktivitas setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu manganta limau, berfitrah, mangantaperbukoan, dan bulan lemang.11

Pada awalnya uang japuik ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar kebangsawanan seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah. Seiring dengan perkembangan zaman uang japuik ini tidak hanya berlaku bagi kalangan bangsawan saja. Akan tetapi setiap laki-laki yang berasal dari Pariaman jika ingin melangsungkan pernikahan juga berhak mendapatkan uang japuik tersebut terlepas dari status sosial kebangsawanan apa yang disandangnya. Hal ini tentu tidak tertutup kemungkinan bagi yang berprofesi sebagai jasa angkutan (ojek) juga berhak mendapatkan uang japuik tersebut. Namun, dengan jumlah uang japuik yang setara dengan profesinya. Begitu juga bagi yang berprofesi sebagai PNS dan wiraswasta lainnya akan berbeda uang japuik yang akan diterimanya.

Setiap kebudayaan/tradisi suatu tempat tentu tidak sama dengan kebudayaan di tempat yang lainnnya. Keunikan tradisi uang japuik ini termasuk salah satu dari

11

Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung, 2012


(17)

keberagaman budaya dalam Minangkabau khususnya dan budaya Indonesia umumnya. Seperti yang dijelaskan di halaman sebelumnya bahwa tradisi uang japuik ini hanya dipakai di daerah Pariaman saja dan tidak berlaku di daerah lainnya.

Untuk mendapatkan kehidupan yang baru yang lebih layak, orang Pariaman sebagaimana umumnya orang Minangkabau biasa dikenal suka merantau, boleh dikatakan dalam cakupan deerah-daerah di Indonesia dari Sabang sampai Marauke terdapat perantau dari Ranah Minangkabau. Prisip perantau Minangkabau begitupun orang Pariaman yaitu dima bumi dipijak di sinan langik dijujuang maksudnya orang Minangkabau harus pandai beradaptasi dengan adat dan tradisi daerah rantau. Hal ini bukan berarti meninggalkan adat dan tradisi Minangkabau atau Pariaman itu sendiri. Apalagi dalam melaksanakan rangkaian-rangkaian tradisi perkawinan yang mesyaratkan adanya uang japuik, masyarakat Pariaman perantauan harusnya masih melaksanakan meskipun tidak sepenuhnya.

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengakaji dan meneliti lebih dalam lagi terkait dengan tradisi yang dikenal begitu kental di daerah asal (Pariaman) apakah tradisi ini masih dipertahankan bagi masyarakat Pariaman yang merantau? Pertanyaan ini muncul karena sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan informasi, masyarakat Minangkabau umumnya melakukan upacara/resepesi perkawinan mereka di tanah rantau, tentu mungkin saja itu terjadi bagi orang Pariaman.

Oleh karena itu, dipandang perlu penulis untuk menentukan wilayah objek penelitian ini, agar penelitian ini tidak telalu melebar dan lebih fokus. Agar bisa


(18)

8

dipertanggungjawabkan kebenaran data dan informasinya penulis memilih daerah perantauan Kutabumi Kabupaten Tangerang. Karena Tangerang diantaranya wilayah perantauan yang cukup diminati oleh masyarakat Pariaman. Inilah yang kemudian akan penulis teliti lebih lanjut tentang bagaimana pandangan masyarakat Pariaman mempertahankan tradisi mereka di tanah rantau..

Untuk lebih terarahnya skripsi ini, maka penulis memberi judul dengan:

“Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki”.

B.Identifikasi Masalah

1. Bagaimana dan darimana asal-muasal lahirnya adat bajapuik di Pariaman? 2. Apakah tradisi uang japuik masih dipraktekkan oleh masyarakat Pariaman

perantauan?

3. Apakah besarnya uang japuik dalam tradisi perkawinan Pariaman ditentukan oleh status sosial laki-laki?

4. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam adat bajapuik di pariaman? 5. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan tradisi bajapuik

terhadap sosial masyarakat Pariaman?

6. Apakah perbedaan dan persamaan antara uang japuik dengan uang hilang? 7. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik tersebut? 8. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat pariaman untuk tetap

mempertahankan tradisi ini?

9. Bagaimana cara mempertahankan tradisi bajapuik ini agar tetap ada di tengah-tengah masyarakat pariaman?


(19)

10. Apakah tradisi bajapuik ini masih relevan untuk masyarakat modern sekarang ini?

C.Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Salah satu tradisi perkawinan di Minangkabau yang unik dan menarik untuk diteliti adalah tradisi uang japuik di Pariaman. Yang pada prakteknya pihak perempuan yang memberikan sesuatu yang berharga kepada laki-laki yang hendak menjadi pemimpin bagi dirinya dan anak-anaknya nanti. Agar pembahasan skripsi ini tidak menyimpang dan lebih terarah, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian di daerah perantauan Kelurahan Kutabumi, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang dan data yang akan diteliti di tahun 2015.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah dikemukan diatas, maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah besarnya uang japuik dalam tradisi perkawinan Pariaman ditentukan oleh status sosial laki-laki?

b. Apakah tradisi uang japuik masih dipraktekkan oleh masyarakat Pariaman perantauan?


(20)

10

D.Tujuan dan Manfaat

1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui status sosial yang ditentukan untuk mengukur uang japuik dalam adat perkawinan Pariaman.

b. Untuk mengetahui tradisi uang japuik ini masih dipraktekkan oleh masyarakat Pariaman perantauan.

c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik. 2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang hubungan status sosial laki-laki dan jumlah uang japuik dalam tradisi masyarakat Pariaman perantauan.

b. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang adat Minangkabau khususnya tentang tradisi uang japuik di masyarakat Pariaman perantauan.

c. Untuk menjelaskan kepada masyarakat apakah tradisi uang japuik yang dilaksanakan oleh masyarakat Pariaman di Tangerang dikaitkan dengan status sosial laki-laki

d. Sebagai tambahan literatur di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum

tentang budaya dan adat Minangkabau khususnya tentang tradisi uang japuik di Pariaman.


(21)

E.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang lebih banyak mengunakan kualitas subjektif, mencakup penelaahan dan pengungkapkan berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan.12

2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan antropologi hukum yaitu memfokuskan pada telaah sistem hukum dalam lingkup norma dan budaya manusia.13 Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada suatu garis perilaku yang menujukkan kejadianmya secara terus-menerus yang biasa disebut kebiasaan atau adat.14

3. Sumber Data

a. Data Primer didapat melalui wawancara dengan tokoh-tokoh adat atau tokoh masyarakat yaitu ninik mamak atau penghulu daerah setempat. Termasuk juga pelaku yang melaksanakan uang japuik ini.

b. Data Sekunder adalah buku-buku, jurnal, artikel dan sumber lain yang dianggap perlu untuk bahan penelitian.

12

Asep Hermawan, Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, Desertasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h.14.

13

Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, Antropologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,2012), h. 73.

14

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni Bandung, 2010), h. 11.


(22)

12

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dengan cara wawancara dengan tokoh-tokoh adat atau tokoh masyarakat yaitu Ninik Mamak atau penghulu daerah setempat. Termasuk juga pelaku yang melaksanakan uang japuik ini yang ditunjuk langsung oleh penulis.

5. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dimulai dengan melakukan pengkodean data dan selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui kertas bantu.

6. Lokasi dan waktu penelitian a. Lokasi Penelitian

Peneltian ini, penulis akan meneliti di Kelurahan Kutabumi, Pasar Kemis, Tangerang. Penulis mengambil lokasi ini karena daerah ini didominasi oleh perantau berasal dari Pariaman yang dieratkan dalam sebuah organisasi Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman.

b. Waktu penelitian

Adapun waktu penelitian penulis lakukan dimulai pada bulan Desember 2015 dan berakhir pada bulan April 2016.

7. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariáh dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.


(23)

F. Review Studi Terdahulu

Pada penulisan skripsi ini penulis juga melakukan studi keperpustakaan dengan cara mengamati karya ilmiah orang lain yang membahas tentang tradisi bajapuik dalam bentuk skripsi.

No JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN

1. Tradisi Bajapuik Dan Uang Hilang Pada Perkawinan Adat Masyarakat Perantauan Padang Pariaman Di Kota Malang Dalam Tinjauan

„Urf. Oleh

Savvy Dian Faizzati .2015

Tesis ini membahas tentangtradisi bajapuik dan uang hilang masyarakat Padang Pariaman di kota Malang.

Perbedaan objek penelitian daerah rantau berbeda kultur dan budaya.Penelitian ini tidak membahas uang hilang tetapi lebih mengkhususkan tentang uang japuik karena itu merupakan adat yang ada jauh lebih dahulu daripada uang hilang yang datang kemudian. Pendekatan yang digunakan Antropologi hukum.


(24)

14

G. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:

2. Tradisi Uang

Jemputan dan Uang Hilang di Pariaman Dalam Novel Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi : Tinjauan Sosiologi Sastra Sastra

Oleh Nia Azda Oktavia Tahun 2011.

Membahas mengenai

pemaparan dan

pendeskripsian unsur-unsur instrinsik novel Ketika

Rembulan Kembali

Bernyanyi

Membahas tentang

uang jemputan dan

uang hilang yang

dijalankan oleh

masyarakat

di Kabupaten Padang Pariaman dalam novel tersebut.

Perbedaan dengan skripsi penulis adalah penelitian dilakukan di daerah rantau, dengan mengamati sejauhmana orang Pariaman melaksanakan tradisi ini di perantauan. Jenis penelitian yang digunakan penelitian kualitatif.


(25)

a. Bab Kesatu, merupakan bab pendahuluan dimuat tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, sistematika penulisan.

b. Bab Kedua, membahas teori umum tentang khitbah dalam Islam dan adat Minangkabau: meliputi khitbah dalam islam, khitbah dalam budaya Minangkabau, khitbah dalam tradisi perkawinan Pariaman.

c. Bab Ketiga, membahas mengenai sekilas tentang masyarakat Pariaman di Kutabumi, Profil Daerah Kelurahan Kutabumi, Profil masyarakat Pariaman di Kutabumi

d. Bab Keempat, membahas tentang tradisi uang japuik bagi masyarakat Pariaman perantauan dalam menjaga status sosial laki-laki: tradisi uang japuik di perantauan, Hubungan antara besarnya uang japuik dengan status sosial laki-laki Pariaman, Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik .

e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran beserta lampiran-lampiran terkait.


(26)

16 BAB II

TEORI UMUM TENTANG KHITBAH DALAM ISLAM DAN ADAT MINANGKABAU

A.Khitbah Dalam Islam 1. Pengertian Khitbah

Secara etimologi kata khitbah berasal dari kata طخ-ا طخ-بطخي-بطخyang

artinya “meminang”.1 Khitbah secara sederhana diartikan dengan: penyampaian

kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Penyampaian kehendak untuk

menikahi seseorang dalam bahasa Melayu disebut “peminangan”.2

Secara terminologi khitbah atau meminang adalah mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya.3

Defenisi lain dari khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang perempuan yang halal dinikahi secara

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 120.

2

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 49

3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, Jil. 9, penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 21


(27)

kepada seorang wanita untuk dijadikan istri.5

Meminang juga dapat diartikan dengan menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis idddahnya,

kecuali perempuan yang masih dalam iddah ba’in sebaiknya dengan jalan sindiran

saja. Sedangkan menurut Rahmat Hakim, meminang atau khitbah mengandung arti permintaan, yang menurut adat merupakan bentuk pernyataan dari satu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan perkawinan. Khitbah ini pada umumnya dilakukan pihak laki-laki terhadap perempuan dan ada pula yang dilakukan oleh pihak perempuan, tetapi hal ini tidak lazim dilakukan. Oleh karena itu, jarang terjadi, kecuali pada sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti di Minangkabau yang berlaku adat meminang dari pihak wanita kepada pihak laki-laki.6

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyaria’atkan sebelum

ada ikatan suami istri. Dalam hukum adat istilah meminang mengandung arti permintaan, yang berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada pihak yang lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.7

4

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta: 2009), h.8.

5

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.564

6

MustofaHasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.69. 7

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), h.27.


(28)

18

2. Dasar Hukum Khitbah

Adapun landasan hukum Khitbah dalam al-Qur’an diantaranya terdapat di dalam surat Al-Baqarah 235.

         / رق لا(

2:532 )

Artinya: ”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).

Ayat diatas menjelaskan bahwa mengkhitbah secara sharih (jelas) atau membuat janji menikah dengan perempuan yang masih berada dalam masa iddah dari suami sebelumnya, menurut para ulama ahli fiqih telah bersepakat hukumnya haram. Sebab diharamkannya khitbah secara tashrih adalah boleh jadi si perempuan akan berbohong bahwa iddahnya telah usai dan juga dikarenakan khitbah dalam masa iddah dapat menyakiti hati laki-laki yang telah mentalaq si perempuan. Oleh karena itu, Menurut Wahbah Az-Zuhaili khitbah ada kalanyadilakukan dengan mengungkapkan perasaan cinta secara terang-terangan. Ada kalanya juga khitbah dilakukan secara implisit atau dengan sindiran.8

8 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h.26.


(29)

Az-Zhahiri mengatakan bahwa pinangan itu wajib, sebab meminang adalah suatu tindakan yang menuju kebaikan.9

Disamping itu, juga banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Salah satunya tentang anjuran kepada seorang laki-laki yang sholeh untuk mencari perempuan sholehah, demikian pula dengan wali kaum perempuan juga berkewajiban mencari laki-laki sholeh yang akan dinikahkan dengan anaknya. Rasulullah SAW bersabda:

وُجِوَزَ ف َُقُلُخَو َُيِد َنْوَضْرَ ت ْنَم ْمُكْيَلِإ َبَطَخ اَذِإ َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َِللا ُلوُسَر َلاَق

اوُلَعْفَ ت ََِإ ُ

ٌضيِرَع ٌداَسَفَو ِضْرَْْا ِِ ٌةَْ تِف ْنُكَت

م تلا اور(

)يذ

10

Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang

melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (H.R.Tirmidzi)

Hadist Nabi:

ْنِم َناَكَو ِيِمْهَسلا َةَفاَذُح ِنْب ِسْيَ ُخ ْنِم َرَمُع ُتِْب ُةَصْفَح ْتََََأَت َنِح ِباَطَْْا َنْب َرَمُع َنَأ

ْيَ تَأ ِباَطَْْا ُنْب ُرَمُع َلاَقَ ف ِةَيِدَمْلاِب َُِِوُ تَ ف َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َِللا ِلوُسَر ِباَحْصَأ

ُع ُت

َنْب َناَمْث

اَدَب ْدَق َلاَقَ ف َِِيِقَل َُُ َِِاَيَل ُتْثِبَلَ ف يِرْمَأ ِِ ُرُظْنَأَس َلاَقَ ف َةَصْفَح ِْيَلَع ُتْضَرَعَ ف َناَفَع

َجَوَزَ تَأ ََ ْنَأ ِِ

َكُتْجَوَز َتْئِش ْنِإ ُتْلُقَ ف َقيِدِصلا ٍرْكَب اَبَأ ُتيِقَلَ ف ُرَمُع َلاَق اَذَ يِمْوَ ي

َتَمَصَف َرَمُع َتِْب َةَصْفَح

َطَخ َُُ َِِاَيَل ُتْثِبَلَ ف َناَمْثُع ىَلَع ِِِم ِْيَلَع َدَجْوَأ ُتُْكَو اًئْيَش ََِِإ ْعِجْرَ ي ْمَلَ ف ٍرْكَب وُبَأ

َِللا ُلوُسَر اَهَ ب

ُبَأ َِِيِقَلَ ف ُاَيِإ اَهُ تْحَكْنَأَف َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص

َيَلَع َتْضَرَع َنِح َيَلَع َتْدَجَو َكَلَعَل َلاَقَ ف ٍرْكَب و

ِجْرَأ ْنَأ ِِْعَ ََْ ََْ َُنِإَف ٍرْكَب وُبَأ َلاَق ْمَعَ ن ُتْلُ ق ُرَمُع َلاَق اًئْيَش َكْيَلِإ ْعِجْرَأ ْمَلَ ف َةَصْفَح

اَميِف َكْيَلِإ َع

ْمِلَع ُتُْك َِِأ ََِإ َيَلَع َتْضَرَع

َيِشْفُِْ ْنُكَأ ْمَلَ ف اََرَكَذ ْدَق َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َِللا َلوُسَر َنَأ ُت

9

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h.70. 10

Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Jil. 2, (Beirut: Dar al-Garb al- Islami, 1998), h. 385.


(30)

20

َق َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َِللا ُلوُسَر اَهَكَرَ ت ْوَلَو َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َِللا ِلوُسَر َرِس

اَهُ تْلِب

اور(

)يراخبلا

11

Artinya: “Ketika Hafshah binti Umar menjadi janda lantaran wafatnya Khunais

bin Hudzafah As Sahmi -termasuk salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan ia wafat di Madinah, Maka Umar bin Al Khaththab berkata; Aku mendatangi Utsman bin Affan dan menawarkan Hafshah padanya, maka ia pun berkata, "Aku akan berfikir terlebih dahulu." Lalu aku pun menunggu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, "Aku telah mengambil keputusan, bahwa aku tidak akan menikah untuk hari-hari ini." Lalu aku pun menemui Abu Bakar Ash Shiddiq dan berkata padanya, "Jika kamu mau, maka aku akan menikahkanmu dengan Hafshah." Namun ia tidak memberi jawaban apa pun padaku. Maka aku menunggu selama beberapa malam, dan akhirnya ia pun dikhithbah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, "Sepertinya kamu merasa kecewa saat menawarkan Hafshah padaku." Umar berkata; Aku berkata, "Ya." Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali bahwa aku tahu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutnya. Dan aku tidak mau membuka rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan sekiranya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkannya, niscaya aku akan menerimanya."(H.R. Bukhari)

Menurut Kompilasi Hukum Islam Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991:

Pasal 11: Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.

Pasal 12: (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya, (2) wanita yang

ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyyah haram dan

dilarang untuk dipinang, (3) dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum

11

Muhammad bin Ismail Bukhari, Shahih Bukhari, Jil. 5, (Beirut: Dar Thaug al-Najah, 1422 H), h. 85.


(31)

pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13: (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan pinangan, (2) kebebasan memutuskan hubungan pinangan dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

3. Khitbah dalam Konsep 'Urf

Dalam nash tidak dijelaskan secara rinci terkait dengan tata cara pelaksanaan khitbah. Tidak ada ketentuan, siapakah yang harus mengkhitbah terlebih dahulu baik laki-laki maupun perempuan semuanya bisa mengawali khitbah. Maka dari itu hukum Islam menyerahkan kepada 'urf (kebiasaan) yang di lakukan di suatu tempat atau disesuaikan dengan tradisi yang berlaku di daerah tersebut.

Dalam kajian usul fiqh kajian tentang hukum adat yang terpadu dalam materi al-'urf. Dalam buku "Ilmu Ushul Fiqh" Abdul Wahab Khalaf menjelaskan pengertian al-'urf adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalankan orang berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan kebiasaan dan dinamakan adat.12

12


(32)

22

Al-'urf dibedakan menjadi dua bentuk yaitu al-'urf sahih yang berarti kebiasaan di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan membawa mashlahat bagi umat, dan al-'urf fasid yaitu kebiasaan di masyarakat yang bertentangan dengan syariat Islam yang menimbulkan mufsadat (kerusakan) bagi umat.13

'Urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan dalam nash. Apabila 'urfsuatu masyarakatbertentangan dengan nash maka'urf tersebut ditolak. Ulama Mazhab Hanafy fan Maliky mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf yang sahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat).14

4. Perempuan Yang Tidak Boleh di Khitbah

Seorang laki-laki dilarang mengajukan pinangan kepada perempuan, kecuali perempuan yang akan dipinangnya memenuhi empat syarat berikut ini, yaitu:

a. Perempuan yang akan dipinang tidak mendapati sesuatu yang menghalanginya untuk dinikahi secara syarak.

b. Perempuang yang akan dipinang tidak sedang dilamar laki-laki lain yang

dilakukan secara syar’i.15

c. Perempuan yang tidak sedang masa iddah raj’iyah.

d. Perempuan yang sedang masa iddah ba’in, sebaiknya dipinang secara

rahasia.16

13

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Al-Fiqh,Cet. Ke-16, penerjemah, Saefullah Ma'shum dkk, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), h. 418.

14

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Al-Fiqh, h. 417-418. 15

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jil.3,Penerjemah, Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h.225.

16


(33)

yang haram untuk dinikahi selamanya, seperti saudara perempuan, bibi dari ayah dan ibu. Atau yang haram secara temporal, seperti saudara perempuan istri, istri orang lain (perempuan yang masih berada dalam masa iddah).17

5. Hikmah khitbah

Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu.18 Khitbah hanya sekadar janji untuk menikah, bukan merupakan pernikahan itu sendiri.19Khitbah merupakan jalan untuk mempelajari akhlak, tabiat dan kecendrungan masing-masing dari keduanya. Dengan demikian, kedua belah pihak akan dapat merasa tentram bahwa mereka berdua akan hidup bersama dengan selamat, aman, bahagia, cocok, tenang, dan penuh rasa cinta.20

B.Khitbah Dalam Budaya Minangkabau 1. Pengertian khitbah

Khitbah (meminang)dalam tradisi perkawinan Minangkabau dikenal dengan batimbang tandoyaitu pemberian tanda dari pihak perempuan kepada pihak laki-lak berupa barang yang bernilai (cincin dan kain) sedangkan pihak laki-laki-laki-laki juga memberikan hal yang sama.

17

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h.26.

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 50.

19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h. 21.

20

Wahbah Az-Zuhaili , Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h. 21.


(34)

24

Peminangan dalam perkawinan Minangkabau dilakukan oleh mamak dari pihak perempuan. Biasanya di Minangkabau pihak kerabat perempuan lebih memprakarsai dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga, mulai dari mencari jodoh, meminang dan menyelenggarakan perkawinan.Kemudian biasa diistilahkan oleh masyarakat “sia nan datang inyo nan kanai” (siapa yang datang akan lebih berperan menangguang biaya perkawinan).21

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tradisi perkawinan dapat digolongkan adat nan diadatkan. Secara umum cara pelaksanaan tradisi perkawinan termasuk di dalamnya khitbah atau meminang di Minangkabau adalah sama. Kecuali, ada penambahan rangkaian dalam tradisi tersebut yang berlaku dan dipakai oleh daerah tertentu saja dan tidak bisa dipaksakan untuk berlaku di daerah lainnya. Adapun tahap peminangan (khitbah) harus melalui beberapa tahap yaitu:

a. Maresek / maanta asok (memilih menantu)yaitu pihak keluaraga perempuan terutama saudara laki-laki dari ibu (mamak) mencarikan laki-laki yang cocok untuk kemenakan perempuanya. Jika telah ditemukan seorang laki-laki yang ingin menikahi kemenakannya lanjut pada tahap berikutnya. Hal ini bertujuan untuk. 1) meminta kesediaan pihak keluarga laki-laki (terutama orang tuanya), agar mau melepaskan anaknya untuk dijadikan menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran bertujuan menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan,

21

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h. 109.


(35)

menentukan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan.22 b. Manilingkai (mengirim utusan), pihak keluarga perempuan mengirim utusan

untuk membicarakan secara resmi perihal peminangan mereka terhadap keluarga laki-laki. Biasanya yang melakukan penjajakan ini adalah orang terdekat dari calon perempuan, terutama angota keluarga dari pihak ibu seperti mamak, kakak, etek atau seseorang yang dapat dipercaya. Proses ini dapat berlangsung antara 1-3 kali pertemuan. Penajajakan pertama dari pihak perempuan, utusan datang kerumah calon mempelai laki-laki dengan membawa buah tangan sebagai pembuka jalan sekaligus untuk memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Setelah ada aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua perempuan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa berupa pisang, kue bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Pada pertemuan ini keluarga perempuan langsung menanyakan kepada orang tua laki-laki, apakah bersedia untuk melepas anaknya untuk dijadikan menantu bagi pihak yang datang. Bila jawaban dari orang tua laki-laki menyatakan bersedia , maka dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut sertakan ninik mamak kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap berikutnya.23

22 Maihasni, “

Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat,” (Disertasi S3 Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,2010), h.78.

23 Maihasni, “

Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h.79.


(36)

26

c. Batimbang/Batuka Tando (peminangan), pengukuhan perjanjian biasanya ditandai dengan pertukaran barang-barang tertentu seperti emas (cincin) dan ada pula dalam bentuk benda lain, berupa kain sarung. Acara ini tidak hanya dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap melibatkan keluarga besar dan ninik mamak keduanya, sehingga bagi masyarakat acara ini biasa disebut dengan acara duduk ninik mamak. Pertemuan ninik mamak ini tidak hanya untuk pengukuhan pertunangan saja, tetapi juga membicarakan dan menetapkan persyaratan adat khusus lainnya yang berlaku di daerah (nagari) setempat, misalnya selain menetapkan tanggal pernikahan dan pesta, di daerah Pariaman jugamenentukan uang japuik, uang hilang dan uang tungkatan.

Apapun keputusan yang diambil dalam acara duduk ninik mamak ini berlaku mengikat untuk kedua belah pihak keluarga. Apabila terjadi suatu pelanggaran perjanjian terhadap kesepakatan yang telah dibuatm maka pihak yang melanggar harus mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua kali lipat dari biaya semula, jika benda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka harus dikembalikan sebanyak 8 emas.24 Di sinilah peran ninik mamak lebih terlihat sebagai orang yang didahulukan salangkah, di tinggikan sarantiang (didahulukan selangkah, ditinggikan seranting) yang melambangkan kedudukan ninik mamak dalam adat Minangkabau.

2. Perempuan Yang Tidak Boleh diKhitbah Dalam Tradisi Perkawinan Minangkabau.

24

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h.81.


(37)

Minangkabau, selain dari yang ditetapkan oleh syarakantara lain perempuan yang setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum dan sesuku. Perkawinan se-kaum atau sesuku tidak merupakan larangan dalam arti agama, tetapi hanya sebatas patang yang ditetapkan oleh adat. Pada eksogami suku anggota masyarakat yang mempunyai suku Caniago tidak boleh kawin sesama suku Caniago, suku Piliang tidak boleh kawin sesama suku Piliang dan begitu juga dengan suku-suku yang lainnya.25

3. Sekilas Tentang Munculnya Perbedaaan Tradisi di Minangkabau

Perbedaan yang timbul dalam menjalankan tradisi Adat Nan Diadatkan tersebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah asal muasal pembagian wilayah di Minangkabau. Wilayah Minangkabau secara umum dibagi menjadi wilayah luhak dan wilayah rantau.26 Dalamtambo27 disebut “luhak bapangulu, rantau

barajo”(luhak berpenghulu, rantau beraja), yang artinya pemerintahan di wilayah luhak diatur penghulu sedangkan rantau diatur raja. Dikisahkan dalam tambo bahwa alam Minangkabau mempunyai luhak nan tigo (luhak nan tiga), Yakni

25

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 140-141.

26

Luhak secara geografis berasal dari lereng-lereng Bukit barisan yang berhutan lebat, berjurang, terjal, dan dalam. Rantau ialah teluk-teluk kecil di pantai tempat orang memunggah dan memuat barang ke kapal. Kemudian berubah artinya menjadi tempat kediaman sementara penduduk untuk mencari harta dengan berdagang atau mengambil upah. Selanjutnya diartikan sebagai wilayah kolonisasi Kerajaan Pagaruyuang. Dalam bahasa Sanskerta artinya tempat tinggal.

27

Tambo berasal dari bahasa sanskerta tambay/tambe artinya bermula. Adalah cerita kuno atau babat suatu daerah yang sering bercampur dengan dongeng-dongeng. Ada tambo alam dan tambo adat. Tambo alam berarti silsilah keturunan nenek moyang dan bangunan kerajaan Minangkabau. Tambo adat berarti cerita adat atau sistem pemerintah Minangkabau masa lalu.


(38)

28

Luhak Tanah Data (Tanah Datar), Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto (Lima Puluh Kota).28

Para peneliti cenderung mempermudah pembagian wilayah adat Minangkabau kepada dua bagian, yakni:29

1. Minang darat, terdiri dari Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak 50 Koto.

2. Minang Rantau, merupakan koloni dari luhak-luhak yang ada, yakni: a. Rantau Luhak Agam, meliputi Pesisir Barat, mulai dari Tiku Pariaman

sampai ke Air Bangis, Lubuk Sikaping, Pasaman.

b. Rantau Tanah Datar, meliputi Kubang Tiga Belas, Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh.

c. Rantau Luhak 50 Koto, meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kanan serta Rokan.

Dahulunya masyarakat darek Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat negeri baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat daerah yang mereka tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal mereka di Luhak Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan Sembilan (Negeri Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar,

28

A.A. Navis, AlamTerkambangJadi Guru: AdatdanKebudayaanMinangkabau, (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 104-105.

29

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, h. 100-101


(39)

Pasaman. Daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie.30

Secara georgrafis, ekonomis, polistis dan sosio kultural Minangkabau disebut dengan pesisir, darat dan rantau. Pesisir adalah daratan rendah yang membentang sebelah barat bukit barisan dan berbatasan dengan Samudra Indonesia, mulai dari Tiku Pariaman sebelah utara sampai ke Indrapura sebelah selatan. Darat adalah daratan tinggi bukit barisan, mulai dari Gunung Singgalang, Gunung Tandikat, Gunung Merapi dan Gunung Sago. Darat menjelma menjadi Minang Darat/ Minang Asli.Rantau adalah daerah-daerah sungai dan anak sungai dari lembah bukit barisan yang bermuara ke Selat Sumatera dan Laut Cina Selatan. Daerah ini biasa disebut dengan kolonisasi alam Minangkabau kemudian disebut Minang Rantau.31

Arus perpindahan peduduk luhak ke rantau yang demikian besarnya, baik secara individu maupun secara kelompok kampung atau suku, maka secara lambat laun nagari-nagari di wilayah itu tumbuh menjadi nagari dengan menumbuhkan jabatan penghulu, sebagai balahan dari nagari asalnya.Oleh karena itu, nagari-nagari di wilayah rantau merupakan wilayah Minangkabau secara etnis, tetapi kebudayaannya lebih berbaur dengan kebudayaan luar. Umpamanya, kewajiban membuat rumah gadang dan balairung menurut arsitektur Minangkabau tidak begitu ketat, gelar asal usul yang di sandang setiap laki-laki yang telah menikah

30

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat”, h.67.

31

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, h. 100


(40)

30

seperti yang lazim disebut ketek banamo, gadang bagala (kecil mempunyai nama, dewasa mempunyai gelar) dipakai secara berdampingan antara gelar garis keturunan ibu dan gelar garis keturunan ayah.Adakalanya dipakai hanyalah gelar garis ayah. Di wilayah rantau Pariaman, lazim setiap laki-laki yang telah beristri memakai gelar bagindo, sutan dan sidi disamping nama kecilnya.32

Begitu pula dengan pelaksanaan tradisi perkawinan yang sedikit berbeda dengan wilayah luhak dengan rantau. Salah satunya di daerah rantau Pariaman, dalam rangkaian tradisi perkawinan khususnya dalam mengkhitbah atau batimbang tando disyaratkan untuk menetapkan uang japuiksebagai salah satu ciri khas dari daerah ini.

C.Khitbah Dalam Tradisi Perkawinan Pariaman

Secara umum pengertian khitbah dan tata cara pelaksanannya tidak jauh berbeda dengan tradisi perkawinan di Minangkabau. Masyarakat Pariaman memiliki sistem pernikahan yang berlainan dengan daerah lainnya. Mempelai lelaki (marapulai) dijemput secara adat dalam suatu perkawinan merupakan sesuatu yang lumrah dan umum terjadi dalam masyarakat di daerah lain di Minangkabau. Akan tetapi, marapulai dijemput dengan mensyaratkan adanya uang japuik(jemputan) adalah tradisi khas masyarakat dan merupakan ciri daerah Pariaman.

Bajapuik (jemputan) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khusus di daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga

32


(41)

suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.33

Uang japuik pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis. Dalam perjalanan tradisi uang japuik terus mengalami perubahan mulai dari model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada wujud uang japuik yang berwujud emas, di mana pada awalnya model awalnya berupa rupiah dan ringgit emas.34 Karena model itu sudah ketinggal zaman, sehingga tidak diminati masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan kalung emas. Jumlah uang japuik dalam wujud emas ini berkisar antara 2 hingga 20 emas tergantung kepada kesepakatan dan kemampuan dari pihak perempuan. Kemudian pada dekade terakhir ini wujud uang japuik tidak hanya berbentuk emas, tetapi juga dalam bentuk benda lainnya, seperti kendaraan roda dua ataupun roda empat, hingga dibuatkan sebuah rumah.35

Penetapan uang japuikbiasanya ditetapkan dalam acara sebelum perkawinan, biasanya mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuikakan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harta pusako (harta pusaka/warisan) untuk membiayai pernikahan. Uang japuiksendiri akan ditetapkan oleh kedua belah pihak setelah acara batimbang

33

Welhendri Azwar, Matrilokal Dan Status Perempuan Dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta, Galang Press: 2001), h.52.

34

1 rupiah emas berjumlahnya 16,6 gram atau lebih kurang 6,5 emas. Kemudian 1 ringgit emas berjumlah 33 gram atau lebih kurang 13 emas

35

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h.95-96.


(42)

32

tando dan akan diberikan saat akad nikah oleh pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga pria saat acara manjapuik marapulai.36

Kemudian uang japuik itu akan dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada acara manjalang mintuo, biasanya jumlah yang dikembalikan lebih banyak dari uang japuik tadi, misalnya uang japuik 1.000.000 dikembalikan oleh pihak laki-laki 1.500.000 atau 2.000.000.37Lazimnya uang japuik ini berupa benda berharga seperti uang japuik laki-laki senilai rupiah emas polos dan dikembalikan pada pihak perempuan dalam bentuk kalung setelah diberi tampuk sekaligus dengan rantainya. Bagi pihak laki-laki, nilai lebih yang diberikan pada perempuan ini merupakan prestise tersendiri. Keluarga laki-laki akan merasa malu dan terhina apabila nilai pengembalian uang japutan sama atau malah lebih rendah dari yang diterima.38

Jadi uang japuik mengandung makna yang sangat dalam yaitu saling menghargai anatara pihak perempuan dan pihak laki-laki, keika laki-laki dihargai dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan juga dihargai dengan uang dan emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik, saat pengembalian inilah disebut dengan uang agiah jalang.

36

Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, “Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung”, (Bandar Lampung: 2012).

37 Muhammad Rani Ismail “

Perakawinan Adat Pariaman” Talk Show di Minangtv, dipublikasikan 1 Maret 2013, diakses pada 8 september 2016 dari https://www.youtube.com/watch?v=iOX1KlrwSh8

38 Bunga Moeleca, “

Konstruksi Realitas Makna Bajapuik Pada Pernikahan Bagi Perempuan Pariaman Di Kecamatan Pasir Penyu” diakses pada 24 April 2016 dari http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/5048/493


(43)

aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas saat perkawinan dan sesudah perkawinan. Berikut penjelasannya:

a.Dalam aktivitas sebelum perkawinan di Pariaman terdiri dari maratak

Tanggoyaitu jika telah merasa ada kecocokan antara keduanya maka pihak perempuan mengunjungi keluarga laki-laki, mamendekkan hetonganyaitu musyawarah antara kedua keluargatentang biaya baralek (pesta) beserta uang japuik yang harus dikeluarkan oleh pihak perempuan dan berbagai persyaratan lainnya, acara ini hanya melibatkan mamak tungganai saja.Batimbang tando (meminang) yaitu keluarga perempuan termasuk didalamnya ninik mamak mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya. Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka akan menikah, kemudian setelah itu meningkat pembicaraan mengenai uang japuik, mahar dan hari pernikahan.

b.Lalu saat perkawinan terdiri dari bakampuang-kampuangan, alek randam, malam bainai, badantam, bainduak bako, manjapuik marapulai, akad nikah, basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo.

c.Kemudian aktivitas setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu manganta limau, berfitrah, mangantaperbukoan, dan bulan lemang.39

Setiap tradisi yang dilakukan oleh suatu masyarakat tentu terrdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Begitupun dengan tradisi uang japuik,

39Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, “

Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung”, (Bandar Lampung: 2012).


(44)

34

setidaknya ada tiga nilai yang terkandung dalam tradisi ini yaitu nilai sosial, nilai budaya dan nilai agama.40

1. Nilai sosial yang ada pada adat tradisi uang japuik ialah untuk menghargai pihak laki-laki yang akan menjadi orang pedatang di keluarga pihak perempuan, agar wibawanya seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya lebih ada dan dianggap ada dan untuk menaikkan harkat dan martabat pihak laki-laki makanya mereka di jemput secara adat dan orang pariaman menginterprestasikan kedalam bentuk benda dan uang jemputan yang telah di kenal selama ini.

2. Nilai budaya yang ada pada adat tradisi uang japuikadalah, bahwa tradisi ini merupakan tradisi yang unik yang hanya dimiliki daerah Pariaman dan diluar Pariaman khususnya Sumatera Barat tidak ada tradisi bajapuik dengan menggunakan uang jemputan.

3. Nilai agama yang ada pada adat tradisi uang japuik ini adalah, bahwa dulunya masukknya Islam ke Pariaman. lazimnya Islam masuk dan berkembang pada suatu daerah melalui pendekatan kultural, maka tradisi bajapuik menjadi terlegitimasi oleh nilai agama. Islam dalam pandangan orang Minangkabau adalah sebagai penyempurnaan adat, “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengatur adat melaksanakan).

40 Bunga Moeleca, “

Konstruksi Realitas Makna Bajapuik Pada Pernikahan Bagi Perempuan Pariaman Di Kecamatan Pasir Penyu” diakses pada 24 April 2016 dari http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/5048/493


(45)

terdapat dua dasar pertukaran yakni; gelar kebangsawanan atau gelar keturunan (sidi, bagindo, sutan)41dan status sosial ekonomi atau yang disebut prestasi. Jika pada awalnya diperioritas pada laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan) saat ini berubah menjadi status sosial ekonomi (prestasi). Perubahan itu disebabkan oleh faktor ekonomi khususnya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan menyempitnya lahan. Selain itu faktor pendidikan merantau dan modernisasi secara tidak langsung turut pula dalam perubahan itu.42

Oleh sebab itu pada awalnya dalam tradisi bajapuik, laki-laki yang diterima sebagai menantu adalah yang mempunyai gelar. Meskipun pada saat itu tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, laki-laki yang bergelar mendapat perioritas utama diterima sebagai menantu. Pertimbangan pihak keluarga perempuan mencari seorang laki-laki adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik. Oleh sebab itu laki-laki tersebut harus mempunyai asal-usul yang jelas. Sementara itu untuk ekonomi rumah tangganya ditanggung oleh keluarganya (dari harta pusaka). Dengan demikian pertimbangan menerima laki-laki--laki yang bergelar adalah agar mendapatkan keturunan yang baik.

Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pertukaran

41

Gelar sidi berasal dari Syaidina: yakni Syaidina Muhammad artinya penghulu atau pemuka agama; gelar bagindo berasal dari baginda: yakni baginda Rasul yang artinya raja atau pimpinan dan gelar sutan berasal dari kata sultan yang berarti raja atau pemimpin.

42

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 116


(46)

36

sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial pertukaran juga mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi).43

Dalam penelitian Maihasni, terkait dengan jumlah uang japuik berdasarkan status sosial ekonomi menunjukkan kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik antara Rp 3 sampai 100 juta. Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Selain itu terdapat pula jumlah uang japuik melebihi kisaran di atas. Ini terjadi bila pihak keluarga perempuan mempunyai kemampuan ekonomi lebih (orang kaya) dan calon marapulai dipandang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi pula, maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik yang lebih tinggi.44 Berikut di tampilkan dalam tabel dibawah:

No Uraian Jumlah

1

Seorang sarjana yang bekerja sebagai PNS 10-15 Juta 2 Seorang sarjana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap 5-10 Juta 3 Seorang sarjana yang berpropesi sebagai dokter 25-50 Juta

4

Seorang tamatan AKABRI yang berprofesi sebagai

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 75-100 Juta

5 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai PNS 5-10 Juta 6 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai Polisi/TNI 20-30 Juta 7 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai pegawai

swasta 5-7 Juta

8 Seorang yang tamatan SMA, SMP dengan pekerjaan

sebagai pedagang, buruh tani, sopir, nelayan, 3-5 Juta

43

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 3-4.

44

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 119


(47)

Data Primer 2008 Penelitian Disertasi Maihasni

Jadi pertukaran yang terjadi dalam tradisi uang japuik ini tidak hanya terdiri dari satu unsur yakni pertukaran uang dengan seorang laki-laki, tetapi juga terdiri dari unsur yaitu pertukaran uang yang berkombinasi dengan nilai/norma. Inilah yang kemudian harus dipahami oleh masyarakat bahwa setiap tradisi itu mempunyai nilai-nilai filosofi secara tersirat mengandung maksud dan tujuan dalam menata kehidupan bermasyarakat.


(48)

37 BAB III

SEKILAS TENTANG MASYARAKAT PARIAMAN DI KUTABUMI A.Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Kutabumi Kelurahan

Kutabumi merupakan salah satu kelurahan yang berada dalam wilayah Kecamatan Pasarkemis Kabupaten Tangerang, Banten, Indonesia.1 Kelurahan ini dibentuk berdasarkan Perda Kabupaten Tengerang No. 03 tahun 2005 dengan luas wilayah 278.5 Ha. .

1

https://id.wikipedia.org/wiki/Kutabumi,_Pasarkemis,_Tangerang diakses pada 4 Februari


(1)

keindahan pasumandan dengan ipar bisan “budi nan bajurai aka nan mangangkak” dalam khidupan sehari-hari itulah benang merah perbedaan uang jamputan dengan uang hilang.

4. Pertanyaan : Apakah tradisi uang japuik ada kaitannya dengan mahar?

Jawaban :Uang japuik ini tidak ada kaitan dengan mahar yang diberikan oleh laki-laki, yang mahar tetap mahar tidak bisa disamakan dengan uang japuik karena uang japuik ini bagian dari adat. Mahar adalah wajib diberikan oleh laki-laki kepada perempuan menurut ketentuan Islam begitupun uang japuik wajib juga diberikan perempuan kepada laki-laki karena begitulah ketentuan adat yang berlaku di Pariaman.


(2)

WAWANCARA PRIBADI DENGAN Ir. AGUSTI ESDEN (PENGURUS PKDP PUSAT)

1. Pertanyaan : Pariaman dikenal tradisi perkawinan yang mensyaratkan uang japuik dan itu cuman berlaku di Pariaman, apakah tradisi itu dibawa ke rantau? Jawaban : Adat laki-laki dijapuik itu pasti, ada istilah adat itu nanpanuah ka ateh dan panuah ka bawah, kaji dirantau ada kejadian beberapa ketika uang japuik secara adat tadi, kita bicara bukan bicara uang hilang ya, kalo uang hilang kita tinggalkan karena suatu penghinaan untuk laki-laki. Uang adat tadi atau uang japuik ini secara kondisional, di rantau ini kita kehidupan mulai tersebar, ada mamaknya berkecukupan ada yang tidak, sebab uang jemputan bukan dari laki-laki bukan dari pengantin itu, itu pemberian dari keluarga perempuan (niniak mamak, apak, mandeh dan bako) nah niniak mamak ini ingin memberikan sesuatu untuk kemenakan perempuannya.

2. Pertanyaan :Lantas apa tujuan pemberian mamak kepada kemenakan

perempuan tersebut?

Jawaban : Nah gini, saya ingin bertanya, kita punya kemenakan kan? kapan mamak memberikan kemenakan itu kepeang (uang) yang berguna untuk kemenakannya, ketika dia gadis mamak memberikan berapapun kepeang (uang) diberikan ke kemenakan pasti akan habis dalam satu jam contoh diberikan 5 juta dia pergi ke mall sudah habis. Sedangkan ketika diberikan sesudah nikah sudah punya suami diberikan uang itu akan jadi penghinaan bagi suaminya dan bisa tersinggung karena anggapan suaminya dia tidak bisa menghidupi keluarganya (istrinya) nanti akan keluar kata-kata “kamanakan dek mamak, bini dek den” jadi untuk menghindari itulah mamak memberikan ke kemenakan perempuan ketika akan menikah, pemberian ini diketahui semua orang bahwa pemberian itu dari mamak dan keluarga besar perempuan (apak, mamak, bako). Pemberian itu berbentuk barang misalnya emas, rupiah, ringgik. Nah tujuannya bisa sebagai simpanan bagi perempuan, tidak bisa diganggu oleh suami, karena bukan harta suami. Hanya bisa dipakai dalam keadaan pertama jika terjadi masalah di rantau kemudian di tinggalkan oleh suaminya uang itu bisa digunakan misalnya untuk ongkos pulang kampung, kedua ketika hidup sulit uang itu bisa pakai untuk modal usaha akan tetapi harus diganti oleh suami nantinya. Begitulah sistem uang japutan di Pariaman.

3. Pertanyaan : Seperti apa bentuk pelaksanaanya?

Jawaban : Misalnya ambo punya anak perempuan untuk menikahkan anak itu berkumpulah mamak-mamaknya untuk berunding menentukan panjapuik junjuangan (calon suami) kemenakanya ya kita kumpulkan umpamanya 10 juta. Karena itu pemberian terakhir sebelum nikah. Jika mamak seandainya tidak mampu tentu tidak mungkin berikan dengan sejumlah besar nah itu lah yang disebut nan panuah ka bawah. Terjadi saya pernah nikah waktu itu saya menikah di Lampung di japuik dengan 3 buah ringgit emas, itu babunyi (diketahui, didengar) orang bayak tapi bendanya tidak ada. Itu lah kesepakatan


(3)

keluarga saya dengan istri karena adat itu kondisional yang harus di isi maka itu dibunyikan saja. Uang japutan ini kadang-kadang berlebih, misalnya dijapuik dengan 3 rupiah ameh (emas) berbentuk (bulat) dikembalikan dengan bentuknya berbeda misalnya dengan cincin dan anting emas nilainya lebih dari 3 rupiah emas kadang-kadang ditambah dengan kain, mukena dll. Jarang terjadi kalau uang jemputan dipotong karena akan menimbulkan malu bagi keluaraga laki-laki dan menimbulkan kesan yang tidak baik dari keluarga perempuan.

4. Pertanyaan : Apakah iya uang japuik itu bertolok kepada status sosial laki-laki?

Jawaban :Uang japuik ini tidak harus diukur dengan status sosial, karena itu pemberian mamak untuk kemenakannya bukan untuk laki-laki tersebut. cuman sebagai simbol untuk laki-laki. Kalau seandainya secara status sosial maka yang akan menikah pasti yang kaya dengan yang kaya saja. Misalnya ada yang bergelar sidi ingin menikah dengan keluarga perempuan yang hidup pas-pasan tentu jika dikur dengan status sosial tidak akan terjadi perkawinan karena tidak akan sangup perempuan tersebut manjapuik sidi tersebut. Untuk itu pihak mamak dan keluarga perempuan berkumpul untuk mengumpulkan uang japutan berapa uang japutan yang pantas untuk yang bergelar sidi (gelar kebangsawanan yang tinggi di Pariaman) tujuan biar setara kedudukan keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki. Karena suatu kehormatan bagi keluarga perempuan bermenantu dengan sidi, sarjana, doktor dan lain sebagainya. Tidak mungkin calon menantu doktor di japuik dengan lapiak sahalai, itu akan menjatuhkan harga diri perempuan dan keluarga besar akan menjadi buah bibir dan cemohan bagi orang banyak. Kalau kita bawa dimasa sekarang sebenarnya tidak ada aturan adat yang mengatur standar uang japuik ini hanya kesepakatan orang tua saja. Nah biasanya laki-laki mempunyai pekerjaan tetap seperti PNS, Dokter, TNI dan Polisi biasanya uang japuik yang diterimanya berkisar 15-50 Juta. Tapi yang perlu di ingat itu semua kembali lagi kesepakatan kedua pihak keluarga dalam hal ini yang lebih berperan yaitu orang tua dan kadang itu hanya dibunyinya saja. Nah, berbeda dengan uang hilang yang datang kemudian dibuat-buat oleh sebagian masyarakat yang inginkan uang semata. Karena uang japuik bukan untuk laki-laki dan keluarganya, maka bagi laki-laki yang pakak ka ikur yang ingin mendapat kepeang pula. Mungkin karena melihat mamak dari perempuan kaya diminta lah uang hilang. Bagi sebagian masyarakat berpendapat laki-laki yang meminta uang hilang akan dicibirkan masyarakat sebagai laki-laki yang tidak pandai mencari nafkah. Tapi yang sebenarnya uang hilang tersebut pemberian mamak untuk kemenakan laki-lakinya yang dinikahkan dengan anak perempuannya itu idak masalah (pulang kabako, anak mamak), laki-laki juga berhak meminta ke mamaknya. Nah ini yang ditiru oleh masyarakat lainnya meminta uang hilang kepada perempuan yang bukan bako atau anak mamaknya.

5. Pertanyaan : Apakah sama benda pemberian batimbang tando dengan uang japuik?


(4)

Jawaban : Benda timbang tando dengan uang japutan itu berbeda, misalnya timbang tando tanda jadi dengan tukar cincin atau kain kuning yang di ikat di jari sebagai tanda sudah di pinangan disamping itu uang japutan 10 juta. Uang japutan ini sudah terjadi kesepatan sebelum batimbang tando, cuman secara adat perkawinan di sampaikan dalam acara batimbang tando. Jika ada yang membatalkan maka akan dikenakan denda membayar dua kali lipat. Jadi harus teliti terlebih dahulu keluarga perempuan untuk memilih laki-laki yang benar-benar ingin dengan anak kemenakannya.


(5)

Hasil Wawancara dengan Salah Seorang Budayawan Minangkabau Prof. Dr. Mochtar naim

Kita ketahui bahwa Minangkabau merupakan salah satu daerah di Indonesia yang dikenal dengan berbagai kearifan lokal yang sangat unik dan kental dengan tradisinya. Setiap tradisi yang dilaksanakan sangat beragam di setiap daerah. Salah satunya Pariaman dengan sistem perkawinan yang mensyaratkan adanya uang jemputan (uang japuik). Masyarakat Pariaman sangat menjaga agar tradisi ini tetap dilaksanakan baik di kampung halaman maupun di perantauan.

1. Pertanyaan:Bagaimana pandangan bapak terhadap tradisi perkawinan

Pariaman yang mesyaratkan adanya uang japuik khususnya di perantauan? Jawaban: Tentu berbagai variasi yang terjadi satu misalnya Apakah suami atau istri yang kawin sama-sama orang pariaman atau tidak. Kalau sama-sama orang pariaman seperti apa bentuknya kalau tidak juga seperti apa bentuknya. Sebab antara orang pariaman dengan orang pariaman belum tentu akan sama. akan banyak faktor-faktor penentu lain. Walaupun mereka tinggal di Pariaman itu sendiri. Mestinya mengikuti adat Pariman tapi mungkin karna latar belakang yang bermacam-macam dan pendidikan yang bermacam tidak sepenuhnya diikuti atau mungkin ada yang di ikuti tapi cuma sebagian. Tentu akan sendirinya akan ada beberapa variasi yang bisa terjadi tergantung pada latarbelakang masyarakat tersebut.

2. Pertanyaaan:Apa saja variasi yang terjadi jika tradisi uang japuik ini dipraktekan di Perantauan?

Jawaban: Variasi yang ditemukan berbeda mereka yang masih ada kontak di kampuang dengan tidak. Tergantung kepada sudah berapa mereka migrasi, apakah hanya kesana saja atau sebelumnya sudah kemana-mana. Jangankan di rantau bermacam variasi di Pariaman itu sendiri juga banyak variasi. Orang pariaman itu luas rantaunya termasuk keNegri malaysia. Merantaunya orang paiaman itu dari generasi ke generasi sudah ratusan tahun. Terbukti mereka mendirikan kesultanan Sulu di Filipina yang membangun kota madina adalah orang Pariaman, jadi orang Pariaman termasuk luas rantauannya. sampai kemana nilai budaya pariaman dibawa dalam proses migrasi.

3. Pertanyaan: Apakah tradisi uang japuik yang ada di Pariaman itu sudah sejalan dengan hukum Islam? Bagaimana pandangan bapak?


(6)

Jawaban: Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kita di Minangkabau semenjak dahulu sampai sekarang selalu adat kebiasaan sehari-hari adalah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah Al-qurannul karim, hal ini berdasarkan perjanjian di bukit Marapalam pada tahun 1833 semenjak usai Perang Paderi, waktu itu adat dan syarak di Minangkabau masih kacau maka para petinggi adat berkumpul di Marapalam dan menghasilkan perundingan bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau kesehariannya berlandaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Sepanjang pengetahuan saya uang japuik itu bukan bagian dari syara tapi bagian dari adat. Tidak ada ketentuan dari syarak yang mengharuskan ada uang japuik itu. Jadi itu adalah porsinya adat. Yang syara tidak apriori, menerima atau menolak uang jamputan karena itu di luar syara. Uang japutan itu adalah bagian dari adat kecuali kalau dalam syara memang ada pula uang japutan. Tradisi ini berlaku di daerah tertentu saja termasuk adat nan di adatkan. Tapi akan di pengaruhi perkembangan zaman dan peruabahan sosial dari yang bersangkutan, bisa dibagi atas, menengah, bawah.Jadi uang japuik dilakukan karena memenuhi persyaratan adat, nah adat itu salingka nagari “lain padang lain ilalang lain nagari lain adatnya” bisa saja bervariasi, yang jelas terbagi dua darek dan rantau. Lain hal dengan mahar. Mahar termasuk bagian syara dan di atur ketentuannya dalam syara. Tapi ini bukan mahar uang japuik dia adalah adat. Dalam kasuskita ini adat tidak melanggar syara dan syara juga tidak melarang. Yang diatur hanyalah sejauh dalam ketentuan syara itu saja bukan berarti diluar itu tidak boleh.

4. Pertanyaan: “dima bumi dipijak, disitu langik dijujuang” ini merupakan salah satu pepatah Minangkabau yang menggambarkan pola merantauanya orang Minangkabau, apa pandangan bapak terhadap pepatah tersebut?

Jawaban: kejelian dari filosofi Minangkabau itu bahwa orang Minang itu tidak mungkin berdiri sendiri harus bergaul, bekerjasama serasi dengan masyarakat dan adat lainnya. Yang dicari itu adalah keserasian bukan pertentanggan. Sistem atau tradisi marantaunya urang Minang kemanapun mereka pergi selalu menghindari diri klas dan konflik. Mereka selalu mendahulukan keseragaman, kesepahaman, kesediaan untuk bekerjasama karena itu orang minang bisa diterima dimana-mana.

5. Pertanyaan: Menurut bapak faktor apa yang mempengaruhi tradisi uang japuik ini diperantauan?

Jawaban: formasi pelaksanaan tradisi itu sangat diperangaruhi oleh besar kecilnya rantau. Kutabumi tentu tidak bisa disamakan dengan jakarta, medan dll. Makin kecil kelompoknya makin terlaksana tradisi itu.