”Selain itu, pertumbuhan ini tidak terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti pertanian, industri manufaktur, dan
sektor bangunan. Indeks Tendensi Bisnis menurun ke level pesimistis dari 113,5 di triwulan IV 2004 menjadi 98,93 pada triwulan I 2005,” kata Fadhil.
Sementara itu, Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I 2005 memperkirakan defisit APBN-P 2005 membengkak menjadi
satu persen terhadap produk domestik bruto PDB atau Rp 26,2 triliun. Itu berarti Rp 5,85 triliun lebih tinggi dari target APBN-P 2005 sebesar Rp 20,33
triliun atau 0,8 persen terhadap PDB.
Defisit itu terjadi karena selisih antara realisasi keuangan pemerintah Semester I dan perkiraan Semester II 2005. Pemerintah memperkirakan
pendapatan negara dan hibah akan mencapai Rp 516,03 triliun atau lima persen lebih tinggi dari target APBN-P 2005 senilai Rp 491,59 triliun. Sementara belanja
negara diperkirakan Rp 542,2 triliun atau 5,9 persen di atas target yang ditetapkan APBN-P 2005.
C. Keadaan Pengangguran di Indonesia
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga
kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang
menutupmengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam
proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang
berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar 5.78 juta adalah pada usia muda 15-24 tahun. Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta
penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan hopeless. Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta
orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas
rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia P2E LIPI memprediksi bahwa jumlahpengangguran tahun ini akan meningkat
menjadi 11,833 juta orang. Angka tersebut belum termasuk eks tenagakerja Indonesia TKI yang kembali ke Tanah Air dari Malaysia dan pengangguran
akibat bencana tsunami di Aceh.
Angka ini berbeda dengan yang dikeluarkan pemerintah yang menyatakan pengangguran pada 2005 sekitar 9,9juta orang, kata Koordinator
P2E LIPI, Wijaya Adi, kepada wartawan di Jakarta kemarin.Menurut Wijaya, tingginya angka pengangguran terkait dengan fenomena yang muncul pada
masa krisis, yaitupertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan konsumsi. Padahal konsumsi tidak memberikan pengaruh kepada penyerapan tenaga
kerja. Bila sebelum krisis kenaikan pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menyerap 400 ribu tenaga kerja, sekarang hanya menyerap 250 ribu tenaga
kerja.
Padahal dalam setahun, menurut dia, tambahan angkatan kerja mencapai 2,5 juta orang atau 12,5 juta orang selama lima tahun. Dengan target
pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5,5 persen, tenaga kerja yang dapat diserap hanya 1,375 juta orang. Tambahan pengangguran pada 2005 akan
berkisar pada angka 1,125 juta orang, ujarnya. Ditambah stok penganggur pada tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan jumlah penganggur pada 2005 akan
berkisar 11,833 juta orang.
Penelitian LIPI tersebut belum memperhitungkan pengangguran pascatsunami di Aceh. Akibat bencana ini, boleh jadi angka pengangguran di
Indonesia akan lebih besar. Sebab, menurut Organisasi Buruh Internasional ILO, ada 600 ribu pengangguran pascabencana tersebut. ILO memperkirakan,
tingkat pengangguran di provinsi-provinsi yang terkena dampak bencana ini
diperkirakan 30 persen atau lebih, meningkat drastis dari tingkat 6,8 persen di provinsi-provinsi tersebut sebelum tertimpa bencana Koran Tempo, 241.
Wijaya membenarkan bila memperhitungkan eks TKI dan pascatsunami, angka pengangguran bisa lebih besar lagi. Perkiraan saya ada tambahan
pengangguran sekitar 500 ribu orang, tuturnya.
Di sisi lain, ia menjelaskan, masalah ketenagakerjaan menjadi semakin pelik karena setiap tahun upah buruh diwajibkan naik. Padahal penentuan upah
buruh tidak dikaitkan secara langsung dengan produktivitas tenaga kerja. Dalam batas tertentu, kata dia, hal itu akan menyebabkan biaya produksi meningkat dan
pada gilirannya akan mempengaruhi daya saing. Padahal di berbagai negara pesaing Indonesia, seperti Vietnam, upah buruh relatif lebih rendah dengan
produktivitas tenaga kerja lebih tinggi atau sama. Menurut dia, jika persoalan ini tidak diselesaikan, konflik antara pengusaha dan tenaga kerja akan tetap
berlanjut.Dalam jangka panjang hal ini akan merugikan, katanya, sebab salah satu pertimbangan hengkangnya investor ke luar negeri berkaitan dengan
masalah ketenagakerjaan.
D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja