BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran
Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi waktu tertentu, yaitu pada usia angkatan kerja yang tidak bekerja, baik dalam arti
mendapatkan upah atau bekerja mandiri, kemudian mencari pekerjaan, dalam arti mempunyai kegiatan aktif dalam mencari kerja tersebut. Selain definisi di
atas masih banyak istilah arti definisi pengangguran diantaranya:
Definisi pengangguran menurut Sadono Sukirno
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya
Definisi pengangguran menurut Payman J. Simanjuntak
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu
sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan.
Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan latihan tenaga kerja
Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang meskipun dapat dan mampu melakukan kerja.
Definisi pengangguran menurut Menakertrans
Pengangguran adalah ornag yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa
tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
B. Masalah Pengangguran di Indonesia
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja
tidak sebanding dengan jumlah
lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya.
Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian
karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan
masyarakat akan
berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan
dan masalah-
masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah
angkatan kerja yang dinyatakan dalam
persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran
dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek
psikologis yang buruk terhadap penganggur dan
keluarganya .
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan
politik , keamanan dan sosial sehingga mengganggu
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP
dan pendapatan per kapita suatu negara
.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah pengangguran terselubung di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan
dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan
setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi
merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat
mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban
keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat
pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta
mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang
tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan
dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses,
pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota harus merupakan satu kesatuan yang saling
mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.
Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran GNPP, Mengingat 70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan
penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.
Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran GNPP dengan mengerahkan semua unsur-
unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah
satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah
pengangguran.
Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima orang tokoh dari pemerintah provinsi,
pemerintah kabupatenkota, perwakilan pengusaha, perwakilan perguruan tinggi, menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli
Zainal; Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H. Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P.
Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil dari para tokoh yang memandang masalah
ketenagakerjaan di Indonesia harus segera ditanggulangi oleh segenap komponen bangsa.
Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah,
serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya mengatasi pengangguran.
Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk
Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja.
Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen bangsa
terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan
semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat
maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah
maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.
Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Februari 2004 yang lalu, Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya juga
berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan pengangguran di Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah pengangguran;
keadaan angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta sasaran yang akan dicapai. Dalam konteks ini kiranya paparan tersebut masih relevan untuk
diinformasikan.
Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa pembukaan UUD 1945 mengamanatkan: “… untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa …”. Selanjutnya secara lebih konkrit pada Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa : ” tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” dan pada Pasal 28 D ayat 2 menyatakan bahwa:” Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini berarti, bahwa secara konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk
menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang cukup, produktif dan remuneratif.. Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa upaya-upaya
penanganan pengangguran yang telah dilaksanakan selama ini masih belum memenuhi harapan, serta mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi
Penanggulangan Pengangguran.
Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut sertakan pihak-pihak terkait sedang menyusun konsepsi penanggulangan
pengangguran. Dalam proses penyusunan ini telah dilakukan beberapa kali pembahasan di lingkungan Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit secara
terbatas Apindo dan beberapa Serikat Pekerja; dan juga pembahasan dengan beberapa Departemen dan Bappenas. ” Memperhatikan kompleksnya
permasalahan pengangguran, disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai pihak
yang lebih luas, antara lain sangat dibutuhkan masukan dan dukungan sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang terhormat khususnya Komisi VII; masih
memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan suatu Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang
didukung oleh seluruh komponen masyarakat”, tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.
Institute for Development of Economics and Finance Indef menilai pertumbuhan ekonomi 6 persen, yang berlangsung selama enam bulan sejak
triwulan IV tahun 2004 hingga triwulan I tahun 2005, sebagai pertumbuhan tidak berkualitas karena tak mampu menekan pengangguran yang malah naik 10,3
persen.
Pertumbuhan ekonomi itu dinilai semu karena kesejahteraan masyarakat tidak semakin membaik. Hal itu tercermin dari munculnya kasus busung lapar di
beberapa lokasi.
Direktur Utama Indef M Fadhil Hasan mengungkapkan hal tersebut saat memublikasikan Kajian Tengah Tahun 2005 di Jakarta, Rabu 38. ”Ini
merupakan anomali dalam perekonomian Indonesia,” ungkap Fadhil menjelaskan.
Menurut dia, pertumbuhan semu itu terjadi karena kontribusi penggerak ekonomi pada periode tersebut lebih disebabkan oleh berlangsungnya
penurunan impor sehingga ekspor bersih Indonesia seolah-olah membaik. Pada triwulan I 2005 nilai impor menurun sebesar 0,49 persen dibandingkan dengan
impor triwulan IV tahun 2004.
”Selain itu, pertumbuhan ini tidak terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti pertanian, industri manufaktur, dan
sektor bangunan. Indeks Tendensi Bisnis menurun ke level pesimistis dari 113,5 di triwulan IV 2004 menjadi 98,93 pada triwulan I 2005,” kata Fadhil.
Sementara itu, Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I 2005 memperkirakan defisit APBN-P 2005 membengkak menjadi
satu persen terhadap produk domestik bruto PDB atau Rp 26,2 triliun. Itu berarti Rp 5,85 triliun lebih tinggi dari target APBN-P 2005 sebesar Rp 20,33
triliun atau 0,8 persen terhadap PDB.
Defisit itu terjadi karena selisih antara realisasi keuangan pemerintah Semester I dan perkiraan Semester II 2005. Pemerintah memperkirakan
pendapatan negara dan hibah akan mencapai Rp 516,03 triliun atau lima persen lebih tinggi dari target APBN-P 2005 senilai Rp 491,59 triliun. Sementara belanja
negara diperkirakan Rp 542,2 triliun atau 5,9 persen di atas target yang ditetapkan APBN-P 2005.
C. Keadaan Pengangguran di Indonesia