Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

(1)

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 365 k/pid. 2012)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Gelar Magister Hukum Pada Program studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH HENI WIDIYANI

117005020

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

Telah Lulus Diuji Pada Tanggal 28 Januari 2014

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo. SH. M.Hum

Anggota : Dr. Marlina, SH. M.Hum

Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum Dr. Eka Putra, SH. M.Hum


(4)

ABSTRAK

Prof. Syafruddin Dr. Marlina, SH, M.Hum2 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum3

Heni Widiyani. SH4

Dokter adalah sebuah profesi yang mengabdikan ilmunya pada kepentingan umum, mempunyai kebebasan nilai-nilai kemanusian dibawah kode etik kedokteran. Hubungan dokter dan pasien yang berawal dari hubungan paternalistik berubah ke horizontal kontrak. Perubahan tersebut menimbulkan banyak terjadi kritikan terhadap kinerja para dokter. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini mengenai aturan tentang malpraktek dalam hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban pidana dokter dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 365k/pid/2012. Permasalahan ini dianalisis dengan teori pertanggungjawaban pidana dan teori kausalitas.

Metode yang digunakan didalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan tekhnik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kulitatif.

Hasil penelitian tesis ini mengenai aturan malpraktek dalam hukum positif Indonesia adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Praktek Kedokteran,malpraktek dibagi menjadi dua, malpraktek yuridis dan malpraktek etik. Pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap dokter oleh Mahkamah Agung tidak sesuai dengan teori kausalitas karena tidak ada kelalaian yang terjadi dalam tindakan yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan matinya korban, sehingga unsur pasal 359 yang didakwakan tidak terpenuhi, dan seharusnya tidak ada pertanggungjawaban pidana dokter terhadap matinya korban, karena akibat matinya dikarenakan emboli yang merupakan resiko medik dalam dunia kedokteran dan termasuk dalam alasan pembenar dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga putusan Mahkamah Agung dalam memberi putusan bersalah tidak tepat dan keliru.

Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk mengatur malpraktik secara eksplisit kedalam hukum positif, sehingga tidak menimbulkan multitafsir, serta aparat penegak hukum untuk lebih teliti dan memahami asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-udang undangan yang berkaitan dengan malpraktik, sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang bijaksana bagi dokter dan pasien yang berkonflik dengan hukum.

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, dokter 1 Ketua Komisi Pembimbing

2 Dosen Pembimbing Kedua 3

Dosen Pembimbing Ketiga

4


(5)

ABSTRACT

Prof. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum5 Dr. Marlina, SH, M.Hum6 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum7

Heni Widiyani. SH8

Doctor is a profession devoted to the science of public interest, to have freedom of humanitarian values under the code of medical ethics. Relationship between doctor and patient that originated from the paternalistic relationship turns into a horizontal contract. The amendment raises a lot going on criticism of the performance of doctors. The formulation of the issues discussed in this study regarding the rules on malpractice in Indonesian positive law and criminal liability of doctors in the Supreme Court decision No. 365k/pid/2012. This problem is analyzed with the theory of criminal responsibility and theories of causality.

Method used in this thesis is a normative research using primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. This study uses library research techniques are further analyzed with qualitative.

Results of this thesis research on the rule of positive law malpractice in Indonesia is in the book of the Criminal Justice Act, Act No. 36 of 2009 on Health, and Law No. 29 of 2004 Practice of Medicine, malpractice is divided into two, judicial malpractice and malpractice etic. Criminal liability imposed on physicians by the Supreme Court is not in accordance with the theory of causality because there are no omissions in the action taken by the doctor that resulted in the death of the victim, so that the elements of Article 359 of the accused are not being met, and there should be no criminal responsibility for the death of the victim to the doctor, as a result of death due to embolism is a medical risk in medicine and included in the justification of criminal responsibility. So the Supreme Court's decision in giving the verdict of guilt was not right and wrong.

Based on this study suggested to regulate malpractice explicitly into positive law, so as not to give rise to multiple interpretations, as well as law enforcement officers to more thoroughly and understand the principles of law and legal theory and laws and regulations related to shrimp malpractice, resulting in a wise decision for the court physicians and patients in conflict with the law.

Key words: criminal responsibility, doctor

5

Head of lecuture commmittee 6

Second lecture committe 7

The third lecure committe 8


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmanirahim

Alhamdulilahi rabbil alamin, segala puji dan syukur penulis kepada allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesisi ini tepat pada waktunya. Begitu pula shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW.

Tesis ini disusun guna melengkapi tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Sumatera Utara, dengan judul

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012).

Penulis telah banyak mendapat bantuan. Bimbingan dan arahan dari berbagai pihak dalam penyusunan tesis ini, karenanya penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setingginya kepada:

Kedua orang tua penulis yang selalu dengan tulus mencintai dan menyayangi penulis, memberikan kasih sayang dan perhatian , abah Jamaris dan ibu Herminah karena semangat dan pengorbanan mereka, serta keikhlasan mereka yang tak mungkin bisa terbalaskan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Running sitepu, SH,M.Hum selaku dekan fakultas hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, SH, M.H selaku ketua program studi Magister Ilmu Hukum fakultas hukum Universitas Sumatera Utara


(7)

3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin kalo SH..M.Hum selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu memberikan masukan terhadap tesis ini.

4. Ibu Dr.Marlina.SH, M.Hum selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu memberikan masukan terhadap tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi.SH, M.Hum selaku pembimbing ketiga yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu memberikan masukan terhadap tesis ini.

6. Bapak Dr.Mahmul Siregar,SH,M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif dalam penyempurnaan tesis ini.

7. Bapak Dr. Eka Putra, SH,M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif dalam penyempurnaan tesis ini.

8. Seluruh staff tata usaha program studi magister ilmu hukum fakultas hukum universitas sumatera utara yang telah memberikan bantuandalam proses administrasi mulai pada saat memasuki kuliah hingga perkulihan selesai.

9. Terimakasih kepada abang Jefriadi.Amd. dan kakak ipar Lisnawati serta keponakan tersayang Raffi Khairul Azzam atas dukungan moral maupun materil dalam penulisan tesis ini,


(8)

10. Terimakasih kepada kakak dr. Lestari, dr.dita, dr.fatin, drg. Oppi, lenni Amd.Keb atas informasi tentang kesehatan, terimakasih juga untuk kakak Dian Marissa.Amd, Wicky Delia.SH. Ernidawati Spd.Msc.

11. Terimakasih kepada sahabat saya jurnalis sallam,S.ThI. Tengku Fika Kartika, SH, Frederick Tarigan, SH, Nurhayati, Spd. Atas semangat dan bantuan nya. 12. Terimakasih kepada teman seperjuangan dikampus saya Irene Putri Kartika Sari

Siregar.SH, juleata Santi Simorangkir.SH.MH, Kemala Atika.SH, Aisyah.SH.S.sos.MH, Kartina Pakhpahan.SH.MH., Agnes Gulo.SH.MH, Apri Rotin djusfi.SH.,MH. Syafrizal wahyudi.SH, Ansyari Siregar.SH.MH, Hendri Nauli Rambe.SH.MH, terimakasih untu kebersamaan nya selama ini,

13. Teman teman angkatan 2011 Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara khususnya jurusan pidana, terimakasih untuk kebersamaanya

Penulis menyadari akan ketidak sempurnan hasil penelitian tesis ini karena kesempurnaan hanya milik allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak untuk memberikan saran dan kritik yang membangun guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik bagisubtansi maupun penulisannya dimasa akan dating. Semoga tesis ini bermanfaat untuk pembaca dan bernilai ibadah untuk penulis.


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Identitas Pribadi

Nama lengkap : Heni Widiyani

Tempat/tanggal lahir : Teluk Pinang/12 Januari 1987

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jalan. Nurul Huda No 10. Kelurahan Teluk Pinang. Kabupaten Indragiri Hilir. Provinsi Riau

2. Keluarga

Nama ayah : Jamaris.Ama.pd

Nama ibu : Herminah

3. Pendidikan

SD : Tahun 1992-1998 SDN 003 Teluk Pinang

SMP : Tahun 1998-2001 SMPN01 Teluk Pinang

SMA : Tahun 2001-2004 SMAN01 Teluk Pinang

Perguruan Tinggi/ SI : Tahun 2004-2009 Universitas Islam Riau Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2011-2014 Universitas Sumatera Utara


(10)

DAFTARISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsi ... 28

G. Metode Penelitian ... 29

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 29

2. Sumber bahan Penelitian Hukum ... 30

3. Teknik Pengumpulan Data ... 32

4. Analisis Data ... 32

BAB II PENGATURAN TENTANG MALPRAKTEK DOKTER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ... 34

A. Malpraktek dan Jenis Malpraktek ... 34

B. Resiko Medik ... 44 C. Pengaturan Malpraktek Dalam Hukum Positif Indonesia 48


(11)

1. KitabUndang-UndangHukumPidana ... 48

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 TentangKesehatan ... 69

3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. ... 75

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DOKTER DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365K/Pid/2012 .... 81

A. Posisi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/Pid/2012 81 B. Fakta Hukum Pengadilan Negeri Manado ... 84

1. Keterangan Saksi. ... 85

2. Keterangan Ahli ... 90

3. Keterangan Terdakwa ... 93

4. Barang Bukti Surat ... 95

C. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 96

D. Putusan Pengadilan Negeri Manado Dan Mahkamah Agung ... 97

1. Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDN ... 97

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 ... 100

E. Analisis pertanggungjawaban pidana dokter ... 102

1. Pengadilan Negeri Manado ... 102


(12)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 123


(13)

ABSTRAK

Prof. Syafruddin Dr. Marlina, SH, M.Hum2 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum3

Heni Widiyani. SH4

Dokter adalah sebuah profesi yang mengabdikan ilmunya pada kepentingan umum, mempunyai kebebasan nilai-nilai kemanusian dibawah kode etik kedokteran. Hubungan dokter dan pasien yang berawal dari hubungan paternalistik berubah ke horizontal kontrak. Perubahan tersebut menimbulkan banyak terjadi kritikan terhadap kinerja para dokter. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini mengenai aturan tentang malpraktek dalam hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban pidana dokter dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 365k/pid/2012. Permasalahan ini dianalisis dengan teori pertanggungjawaban pidana dan teori kausalitas.

Metode yang digunakan didalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan tekhnik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kulitatif.

Hasil penelitian tesis ini mengenai aturan malpraktek dalam hukum positif Indonesia adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Praktek Kedokteran,malpraktek dibagi menjadi dua, malpraktek yuridis dan malpraktek etik. Pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap dokter oleh Mahkamah Agung tidak sesuai dengan teori kausalitas karena tidak ada kelalaian yang terjadi dalam tindakan yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan matinya korban, sehingga unsur pasal 359 yang didakwakan tidak terpenuhi, dan seharusnya tidak ada pertanggungjawaban pidana dokter terhadap matinya korban, karena akibat matinya dikarenakan emboli yang merupakan resiko medik dalam dunia kedokteran dan termasuk dalam alasan pembenar dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga putusan Mahkamah Agung dalam memberi putusan bersalah tidak tepat dan keliru.

Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk mengatur malpraktik secara eksplisit kedalam hukum positif, sehingga tidak menimbulkan multitafsir, serta aparat penegak hukum untuk lebih teliti dan memahami asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-udang undangan yang berkaitan dengan malpraktik, sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang bijaksana bagi dokter dan pasien yang berkonflik dengan hukum.

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, dokter 1 Ketua Komisi Pembimbing

2 Dosen Pembimbing Kedua 3

Dosen Pembimbing Ketiga

4


(14)

ABSTRACT

Prof. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum5 Dr. Marlina, SH, M.Hum6 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum7

Heni Widiyani. SH8

Doctor is a profession devoted to the science of public interest, to have freedom of humanitarian values under the code of medical ethics. Relationship between doctor and patient that originated from the paternalistic relationship turns into a horizontal contract. The amendment raises a lot going on criticism of the performance of doctors. The formulation of the issues discussed in this study regarding the rules on malpractice in Indonesian positive law and criminal liability of doctors in the Supreme Court decision No. 365k/pid/2012. This problem is analyzed with the theory of criminal responsibility and theories of causality.

Method used in this thesis is a normative research using primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. This study uses library research techniques are further analyzed with qualitative.

Results of this thesis research on the rule of positive law malpractice in Indonesia is in the book of the Criminal Justice Act, Act No. 36 of 2009 on Health, and Law No. 29 of 2004 Practice of Medicine, malpractice is divided into two, judicial malpractice and malpractice etic. Criminal liability imposed on physicians by the Supreme Court is not in accordance with the theory of causality because there are no omissions in the action taken by the doctor that resulted in the death of the victim, so that the elements of Article 359 of the accused are not being met, and there should be no criminal responsibility for the death of the victim to the doctor, as a result of death due to embolism is a medical risk in medicine and included in the justification of criminal responsibility. So the Supreme Court's decision in giving the verdict of guilt was not right and wrong.

Based on this study suggested to regulate malpractice explicitly into positive law, so as not to give rise to multiple interpretations, as well as law enforcement officers to more thoroughly and understand the principles of law and legal theory and laws and regulations related to shrimp malpractice, resulting in a wise decision for the court physicians and patients in conflict with the law.

Key words: criminal responsibility, doctor

5

Head of lecuture commmittee 6

Second lecture committe 7

The third lecure committe 8


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berdasarkan sejarah ilmu kedokteran, dunia kedokteran adalah profesi yang sudah dianggap mulia dari awal ditemukannya ilmu ini.Profesi kedokteran dibutuhkan disegala bidang kehidupan manusia, profesi menjadikan ilmu kedokteran menjadi suatu kajian ilmu yang sangat dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup didunia ini1.Memiliki berbagai cabang ilmu, dari Pediatri (ilmu kesehatan anak), Ginekologi (ilmu penyakit pada wanita), Neurologi (ilmu penyakit saraf), hingga melingkupi bidang lainnya seperti kedokteran olahraga, dan kesehatan masyarakat, dan dibidang hukum ada jenis ilmu kedokteran yang dikenal dengan sebutan ilmu kedokteran kehakiman2.

Profesi Kedokteranyang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan dan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, serta kode etik yang bersifat melayani masyarakat diatur dalamUU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran3.Persyaratan standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi di atur dalamPasal 26 ayat 1 (satu) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dalam yaitu standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi disahkan oleh konsil kedokteran Indonesia4. Pelaksanaan pendidikan profesi dokter dan dokter gigi diatur oleh asosiasi institusi

1

http://ilmuhukum.umsb.ac.id diunduh Tanggal 9 juni 2013

2

ibid

3

Konsil kedokteran Indonesia.Standard Pendidikan Profesi Dokter.Jakarta,Konsil Kedokteran Indonesia 2006 .Hal.24

4


(16)

pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi, sedangkan untuk profesi dokter specialis atau dokter gigi specialis disusun oleh kologium kedokteran atau dokter gigi 5.

Profesi kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia maka pendidikannya harus mempunyai standar yang sama dalam setiap pelaksanaannya, yang mana standar ini disusun oleh Organisasi Profesi, Kolegium, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.6Adanya standar pendidikan dokter dan dokter gigi ini diharapkan terujud suatu profesi yang bertanggungjawab dan menghasilkan dokter yang mempunyai kemampuan yang bagus.

Dokter sebagai anggota profesi yang mengabadikan ilmunya pada kepentingan umum, mempunyai kebebasan nilai-nilai kemanusiaan di bawah kode etik kedokteran. Adanya kode etik kedokteran bertujuan untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran harus senantiasa dilaksanakan dengan niat yang luhur dan dengan cara yang benar.7 Kode etik profesi kedokteran ini dikenal sejak 1800 tahun sebelum masehi, yang pelaksaaannya dilakukan oleh penguasa, kemudian mucul kode etik dalam bentuk sumpah dokter yang awalmulanya dikenal dengan nama sumpah Hippocrates yang

5

IbidPasal 26 ayat 2 6

Ibid Pasal 26 ayat 3

7

Bahder john nasution.Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter.Jakarta.Pt.Rineka Cipta,2005.Hal 7


(17)

hidup sekitar tahun 460-370 tahun masehi, yang berisikan kewajiban dokter dalam berprilaku dan bersikap 8.

Dokter mempunyai kedudukan yang unik dalam menjalankan kehidupannya di tengah masyarakat yaitu:9

1. Rasa takut sering merupakan latar belakang utama kedatangan pasien kepada dokter. Betapapun ada kalanya keluhan itu sendiri tidak nyata, tetapi rasa takut itu benar – benar nyata.

2. Pasien sepenuhnya berserah diri kepada dokter, bahkan dalam keinginannya bebas dari rasa sakit. Bersedia di sakiti oleh dokternya, melalui berbagai prosedur dianostik ataupun dioperasi.

3. Hubungan antara dokter dan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang dimilikinya akan di bukakan kepada dokter,jika dikehendaki.

4. Dokter bekerja dalam keadaan yang serba tidak pasti, selain tubuh manusia yang sangat berpariasi, dokter tidak dapat membuat seperti hal nya seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi” obyek yang akan di perbaiki” hanya untuk memastikan letak dan macam kelainan yang menimbulkan keluhan.

5. Masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan kepada dokter, tetapi sekaligus juga mencurigai atau bahkan cemburu terhadapnya.

6. Tuntutan fungsi sosial antara dokter dan masyarakat memberikan status yang unik, tetapi juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah akan mudah terbuai oleh status ini dan lupa diri.

Kedudukan yang unik tentu saja memberikan beban yang baru bagi setiap orang yang memilih profesi kedokteran. Beban tersebut atara lain tetap menjaga integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh harus dipertahankan. Harapan masyarakat kepadanya harus di imbangi dengan bukti-bukti dalam bentuk perbuatan yang nyata.

8

Susatyo Herlambang. Etika Profesi Tenaga Kesehatan. Jogjakarta. 2011. Gosyen Publishing. Hal. 55

9

Kartono Muhammad, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran, Makalah Dalam Symposium Kedokteran, Diselengarakan Oleh Bphn, Departemen Kehakiman Kerja Sama Dengan Idi, Jakarta,1983(Dalam Buku,Ninik Mariyanti.SH.,Hal 1


(18)

Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama dokter, memang merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi jasa. Hubungan antara dokter dan pasien pada umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif 10. Artinya medis aktif dalam hal pelaksanaan sedangkan pasien hanya pasif dalam hal tindakan, ini terlihat tidak adil sehingga hubungan seperti ini harus dirubah.

Hubungan terjadi pada saat pasien mendatangi dokter pada saat pasien bertemu dengan dokter dan doktermemberikan pelayanannya maka sejak itulah telah terjadi suatu hubungan hukum11. Hubungan dokter dan pasien dahulunya bersifat hubungan vertical atau hubungan kepercayaan yang bersifat paternalistik, dimana tenaga kesehatan dianggap paling superior, kedudukan dokter pasien tidak sederajat, kurang interaksi antara dokter dan pasien karena pasien bersifat pasif dengan menyerahkan segala kepercayaannya kepada dokter12.Hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dalam ranah moral yaitu etika profesi dan etik kemudian berubah kearah pengaturan normatif yang bersifat memaksa karena adanya keinginan untuk mempertahankan hak dengan perlindungan hukum terhadap pemberian jasa pelayanan kesehatan13.Atas Perubahan ini maka timbul hubungan yang lebih demokratis yaitu hubungan Horizontal

10

Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung. 1996, Hal. 42

11

Safitri Hariyani. Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian antara Dokter dan Pasien, Diadit Media. Jakarta. 2005. Hal. 10.

12

Syahrul Machmud. Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik.Bandung. Karya Putra Darwati 2012. Hal.58

13


(19)

Kontraktual,antara dokter dan pasien mempunyai hubungan hukum yang sederajat segala sesuatunya dikomunikasikan kepada keduabelah pihak, kesepakatan ini disebut juga Informed Consent14.

Hubungan kontraktual muncul akibat kebangkitan kesadaran akan HAM dalam bidang kesehatan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat serta semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan15. Hak-hak pasien berkembang dengan baik, akibat kesadaran akan HAM khususnya terkait hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya sebagaimana tertuang dalam Declaration of Lisbon (1981) dan Patien’sBill of Rights (American HospitalAssociation, 1972) mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan tindakan medik16.Hak ini sesuai dengan asas hukum kesehatan yaitu the right to health care (hak atas pelayanan kesehatn) dan the right of self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri)17.

Hak atas pelayana kesehatan bisa terujud secara baik atau tergantung dari 4 faktor yaitu sarana kesehatan, geografis suatu daerah agar pelayanan kesehatan bisa maksimal, keuangan masyarakat, kualitas sarana maupun sumber daya tenaga kesehatannya. Hak untuk menentukan nasib sendiri atau hak yang berasal dari diri sendiri yaitu hak privacy atas segala sesuatu mengenai keadaan diri atau badannya

14

Syahrul machmud.OpCit.Hal. 57 15

Bidang Peneliti Dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, Dokter, dan Pasien dalam mencegah malpraktek.Jakarta.2008. diunduh tanggal 1 agustus 2013.

16

ibid

17


(20)

sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain (rahasia kedokteran), kecuali dokter yang memeriksa dirinya, dan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan terhadap diri pasien (informed consen)18.

Menurut Szaza dan Molander hubungan dokter pasien ada 3 (tiga) tipe19: 1. Hubungan aktif – pasif.

2. Hubungan pemberian petunjuk-koperatif. 3. Hubungan partisipasif.

Dokter dan dokter gigi melakukan komunikasi dengan baik dan rinci sehingga pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-hak nya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum.Sehingga menguntungkan pasien karena telah mengetahui tingkat kesehatan atau keparahannya penyakit serta kemampuan dokter dalam melakukan tindakan untuk membantu masalah sesuai dengan kondisi yang ada pada saat itu20.

Hubungan antara dokter dan pasien dapat dilihat pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Mukadimah KODEKI dijelaskan bahwa, sejak permulaan sejarah mengenai umat manusia sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu sang pengobat dan penderita (pasien) dalam zaman modern, hubungan itu disebut sebagai hubungan (transaksi) terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai serta senantiasa diliputi

18

Ibid. Hal. 38-40

19

www.slide share.Com. Hubungan dokter-perawat dan pasien.oleh Luqman Effendi,di unduh tgl 2juni 2013.

20

Desritza Rahman. Mediasi non litigasi terhadap sengketa medic dengan konsep win-win solution.Jakarta: Pt. Elek Media Komputindo2012.Hal.3


(21)

oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani21. Hubungan terapeutik adalah perjanjian yang termasuk dalam inspaningsverbintenis yaitu perjanjian upaya, yang mana dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kewajiban dengan kesungguhan, dengan mengerahkan kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan standar operasional tanpa menjanjikan hasil dari yang telah diperjanjikan.Upaya memenuhi kewajiban menimbulkan suatu kesalahan yang berujud suatu perbuatan yang diatur oleh hukum pidana, maka masalah bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya 22.

Hubungan antara dokter dan pasien juga diatur dalam Bab II Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, khususnya Pasal 2 yang menegaskan Praktikkedokteran dilaksanakan berasaskanPancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,manfaat, keadilan, kemanusiaan,keseimbangan serta perlindungan dankeselamatan pasien”23.

Dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan yang cukup kepada pasien, yaitu sekurang-kurangnya24:

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis

2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan

21

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia.Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta. Tahun 2002

22

Bahder john.Op Cit. Hal.13-17 23

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 2.

24

Koeswadi,Hermein Hadiati. Hukum dan masalah medic.Surabaya :Airlangga University Press.1984. Hal.14


(22)

3. Alternatif tindakan lain dan resikonya

4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

Setelah dokter dan dokter gigi memberikan penjelasan, kemudian akan melakukan tindakan yang mana bahwa tindakan dokter atau dokter gigi harus mendapat persetujuan25 dari keluarga terdekat atau ahli waris.

Hukum kedokteran yang berkembang dan malpraktek yang baru dikenal konsepnya berbanding terbalik dengan banyaknya sorotan masyarakat terhadap hukum kesehatan, khususnya kepada dokter dan rumah sakit. Kondisi ini dipicu oleh pemberitaan mengenai malpraktek yang marak semakin memperjelas adanya peningkatan dugaan malpraktek medis.26

Malpraktek sendiri di Indonesia pertama kali digunakan dalam majalah tempo edisi 25 oktober 1986.27Malpraktek belum mempunyai batasan yang jelas pengertiannya pun berbeda-beda, veronica mengatakan malpraktek berasal dari kata malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.28J. guwandi mengatakan malpraktek adalah memiliki konotasi buruk, bersifat stigmatis, dan menyalahkan29.

25

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Kesehatan pasal 45 ayat 1

26

J. guwandi.Hukum Medik. Fakultas kedokteran Indonesia. 2004. Jakarta. Hal.9

27

Oemar Seno Adji. Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.Erlangga. 1991. Jakarta. Hal 58

28

Veronica Komalawati. Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter. Pustaka Sinar Harapan.1089. Jakarta. Hal 87

29


(23)

Dulu etika profesi mampu menjaga citra dan tingkahlaku para dokter dalam menjalankan profesi, denganbeberapa perubahan dalam perkembangan profesi kedokteran, dan menurut H.R. Hariadi antara lain30:

1. Perubahan sikap hidup dari idealis mengarah ke materialisme. Dalam hal ini, ada dokter yang lebih mementingkan materi daripada kehormatan profesi dokter.

2. Masuknya dokter asing dan dokter lulusan luar negeri yang mempunyai latar belakang dan budaya yang berbeda, sehingga menambah ketatnya kompetisi antar dokter.

3. Berbagai kemajuan dan perkembangan masyarakat sebagai pengguna jasa kesehatan dan kedokteran.

4. Tingkat kesejahteraan dan daya kritis masyarakat yang meningkat memungkinkan mereka menuntut dokter yang lebih baik lagi atau jika mereka tidak puas dengan dokter yang ada di Indonesia, mereka mencarinya di luar negeri.

5. Kesenjangan antara kaya dan miskin makin melebar, menyebabkan adanya dokter/rumah sakit yang hanya melayani mereka yang mampu dan kaya saja. 6. Teknologi komunikasi dan informasi makin canggih, teknologi banyak

digunakan manusia, sehingga masyarakat dapat menggunakan jasa internet dan telemedicine, yang memungkinkan pasien menjadi lebih

30

Rinanto Suryadhimirtha.Hukum Malapraktik Kedokteran Disertai Kasus dan Penyelesaiannya.Yogyakarta. 2011. Totalmedia. Hal. 1.


(24)

7. Meningkatnya kesadaran masyarakat menggunakan jasa pengacara untuk memperoleh dan membela hak-haknya dalam bidang kesehatan.

8. Industri farmasi, laboratorium medis dan industri peralatan kedokteran secara efektif dan efisien memanfaatkan para dokter sebagai perantara (makelar) yang potensial untuk menjual jasa dan produknya kepada pasien sebagai konsumen. Kerja sama antara dokter dan industri farmasi, laboratorium medis dan industri peralatan dokter mengabaikan berbagai perilaku yang dahulu dianggap tidak etik, sekarang diabaikan.

Banyaknya perubahan-perubah diatas sehingga memaksa pemerintah untuk lebih menjamin hak kesehatan yang baik, maka di atur sanksi pidana dalam etika kedokteran.

Media massa banyak memberitakan kasus dugaan malpraktek , salah satu kasus malpraktek yang membuat para dokter se Indonesia melakukan demonstrasi dikarenakan mereka merasa dikriminalisasi adalah putusan oleh Mahkamah Agung dengan nomor 365 K/pid/2012. Tentang kelalaian yang dilakukan oleh dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, dokter Hendry Simanjuntak, dokter Hendy Siagian dalam tindakan operasi Cito Secsio Sesoria yang mengakibatkan kematian terhadap pasien nya. Terhadap tindakan kelalaian ini banyak menimbulkan pertanyaan apakah ini kelalaian dokter atau bukan.


(25)

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik menulis tesis dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktek (studi putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/pid/2012).

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas dapatlah dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan di bahas dalam penulisan tesis ini, adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana peraturan tentang malpraktik dokter dalam hukum positif indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dokter terhadap kasus malpraktek dalam Putusan Mahakamah Agung Nomor 365 K/pid/2012?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah disampaikan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Untuk mengetahui peraturan tentang malpraktik dokter dalam hukum positif indonesia

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dokter terhadap kasus malpraktek dalam Putusan Mahakamah Agung Nomor 365 K/pid/2012


(26)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan memberi manfaat baik kegunaan dalam pengembangan ilmu atau manfaat dibidang teoritis dan manfaat bidang praktis antara lain:

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan masukan bagi para akedemisi sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya.

b. Untuk memperkaya literatur kepustakaan. 2. Secara Praktis

Manfaat praktis dari penulisan ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak, bagi pihak dokter agar lebih mengetahui dan menyadari akan kewajiban dalam menangani pasien dan bertanggung jawab secara penuh apabila terbukti melakukan kesengajaan atau kelalaian malpraktik medis, selanjutnya bagi pihak pasien sendiri untuk memahami secara jelas apa saja yang menjadi haknya sehingga pasien tidak lagi bertindak pasif dan bersikap pasrah ketika mengalami malpraktik melainkan mampu mengajukan tuntutan atas hak-haknya sebagai pemakai jasa kesehatan, juga bagi para penegak hukum untuk lebih tanggap dalam meninjau terjadinya tindakan malpraktik, sehingga penanganan kasus dapat dilakukan tanpa adanya banyak proses yang menyulitkan yang membuat dokter bisa menutupi kelalaiannya dengan alasan kode etik kedokteran.


(27)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktek (studi putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/pid/2012). Penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu,jujur, rasional, dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenaran nya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Tesis ini menggunakan teori pertanggungjawaban pidana pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana, atau yang lebih sering dikenal sebagai asas “geen straf zonder schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan). Pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan dalam diri si pelaku tindak pidana maka disebut dengan leer van het materiele feit. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memberikan sebuah penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan asas “geen straf zonder schuld”, akan tetapi asas ini dapat dikatakan sebagai asas yang tidak tertulis dan berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terdapat dua hal yakni tindak pidana (daad strafrecht), pelaku tindak pidana (dader straftrecht).31

31


(28)

Pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif (kesalahan dalam arti luas).32Teori dualistis memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana, menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari tindak pidana dan ditempatkan sebagai penentu dalam pertanggungjawaban pidana.Tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana,33 Moeljatno menyebut dengan istilah perbuatan pidana yaitu “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.34

Orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka akan dipidana. Manakala tidak mempunyai kesalahan walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tidak dipidana.Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.35artinya Perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu di pertanggung Jawabkan pada si pembuatnya. Artinya celaan yang obyektif terhadap perbuat itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa.Menjadi soal selanjutnya, apakah si terdakwa juga di cela dengan dilakukannya perbuatan itu, kenapa perbuatan yang

32

H.M. Hamdan. Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP danKUHAP. Usu Press. Medan.Hal.59.

33

Chairul HudaDari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawabanpidana tanpa kesalahan.Kencana. 2006. Jakarta Halm. 15.

34

Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara,1982 Jakarta.,Hal.59.

35

Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983,hal 75


(29)

obyektif tercela, secara subyektif dipertanggungjawabkan kepadanya, oleh sebab itu perbuatan tersebut adalah pada diri si pembuat.36

Dapat dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.37Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana.Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.38Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain39.Tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat

36

Djoko Prakoso. Hukum Panitensir Indonesia.Libety. 1998. Yogyakarta. Hal105

37

Ibid

38

Chirul Huda. Op Cit. Hal 4 39Ibid


(30)

dipertanggungjawabkan.Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.40

Vos, yang memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu :41

a) Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukanperbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader).

b) Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.

c) Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungan jawab bagi si pembuat atas perbuatannya itu.

Sejalan dengan pengertian kesalahan, pandangan E.Mezger yang dapat disimpulkan pengertian kesalahan terdiri atas :

a) Kemampuan bertanggungjawab (zurechnungstahing ist)

b) Adanya bentuk kesalahan (schuldform) yang berupa kesengajaan (vorzatz) dan culpa (tahrlassigkeit).

c) Tidakadadalampenghapuskesalahan(keine schuldansshiesungsgrummade). Kemampuan bertanggungjawab harus terdapat kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum,atau biasa disebut faktor akal, kemampuan untuk menentukan kehendak menurut keinsyafan tentang baik atau buruk perbuatan atau disebut faktor perasaan.42Seseorang yang tidak bisa mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik-buruk suatu perbuatan dia tidak mempunyai kesalahan dan

jika melakukan tindak pidana maka tidak bisa dimintakan

40

Ibid. Hal 6

41

Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana.Graha Indonesia, 1994.Jakarta Hal.136 137

42


(31)

pertanggungjawaban.Sesuai dengan pasal 44 KUHP, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya43

Kesengajaan memiliki dua teori , yaitu teori kehendak yang bearti sengaja menghendaki dan melakukan atau menimbulkan suatu akibat, teori membayangkan tindakan membayangkan sebagai maksud tindakan itu dan oleh karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan banyangan yang terlebih dahulu telah dibuat tersebut.44Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan hasil yang signifikan dalam penerapan ke dua teori tersebut kecuali perbedaan istilah yang karena sebenarnya perbedaan diantara keduanya bukan terdapat pada aspek yuridis, melainkan pada aspek psikologis semata, dimana dapat disimpulkan bahwa apakah akibat dari tindakan itu benar-benar dikehendaki atau hanya dibayangkan oleh pelaku.45

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana itu, ada dua aliran yang selama ini dianut, yaitu aliran indeterminisme dan alirandeterminisme.Kedua aliran tersebut membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan.

1. Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya 19 Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan). Lihat juga Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Lokakarya MasalahPembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional Buku I, BPHN Departeman Kehakiman, Jakarta, 13-15 Desember 1982 18 berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan;

43

Ibid. Hal 179

44

Leden Marpaung. Unsur-Unsur Pebuatan Yang Dapat Dihukum.Sinar Grafika.1991. Jakarta. Hal 12

45


(32)

apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.

2. Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif, ialah perangsang-perangsang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.46

Menentukan kesengajaan dalam suatu tindak pidana bisa dilihat dari bentuk kesengajaan itu, yaitu kesengajan dengan maksud (Opzet Als Oogmerk), sengaja dengan keinsafaan pasti (Opzet Bij Zekerheidsbewustzijn), serta kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids Bewustzijn)47.

Kealpaan terdapat kekeliruan dalam perbuatan lahir dan menunjuk kepada adanya keadaan batin tertentu dan dilain pihak keadaan batinnya itu sendiri, jadi culpa mencakup semua kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan.48kealpaan yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalain, karena kurang hati-hati dan tidak karena kesengajaan.49

Kealpaan dianggap sebagai suatu kesalahan yang lebih ringan dibandingkan karena sengaja.Vos membagi kealpaan menjadi dua, yaitu mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi sipembuat, dan tidak mengadakan penghati-hatian mengenai apa

46

Sudarto,Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip. 1990. Semarang, hlm.87

47

Ledeng Marpaung. Op. Cit.Hal 14

48

Moeljatno.Azas-Azas Hukum Pidana.Op. Cit. Hal. 134

49


(33)

yang dibuat dan atau tidak diperbuat.50 Unsur-unsur kealpaan yang tersebut menunjukan bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat, bahwa kurang memperhatikan akan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.

Kealpaan dapat dua jenis, culpa lata (merkelijke schuld) yaitu alpa yang hebat, alpa berat dan menurut pakar adanya culpa lata ini dapat dikatakan kejahatan karena alpa. Misalkan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan culpa levvisima yaitu culpa ringan, adanya dalam pelanggaran , pasal 490 sub 1 dan 4 Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi suatu delik adalah culpa lata.51

Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain disebut juga culpa lata yang diatur dalam pasal 359 KUHP yang di dakwakan kepada terdakwa dalam kasus malpraktek dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/pid/2012, yang mana dimaksud membuat mati orang lain menurut pasal 359 itu sendiri adalah akibat dari kelalaian pembuat, dengan tidak menyebutkan bentuk perbuatan pembuat tetapi kesalahan dan tidak menyebut kematian yang disebabkan oleh pembuat tetapi kematian yang dapat dicelakan kepadanya.52

Alasan penghapus pidana secara umum dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam bab III buku kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

50

Bambang Poerrnomo. Asas-Asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia. 1983. Yogyakarta. Hal. 183

51

Martiman Prodjohamidjojo. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal 53

52

J. E. Sahetapy. Hukum Pidana. Konsorium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta. Hal 114


(34)

yang terdiri dari pasal 44, pasal 48 sampai pasal 51 (pasal 45 sampai 47 KUHP telah dicabut berdasarkan pasal 67 undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan anak) alasan secara khusus yaitu pasal 110, pasal 166, pasal 186 ayat 1, pasal 221 ayat 2, pasal 310 ayat 3, pasal 314 ayat 1, pasal 351 ayat 5 dan pasal 352 ayat 2.53 1. Apabila pelaku sakit atau terganggu jiwanya.54

Sakit jiwa atau kurang sempurna akal yang ada pada diri sipelaku memang sesuatu yang ada atau yang dialaminya sejak dia lahir atau timbul kemudian (pada seseorang yang tadinya normal).Ada hubungan kausal (sebab akibat) antara penyakit jiwa pelaku dengan perbuatan yang dilakukan.Jadi bukan gangguan jiwa setelah pelaku melakukan tindak pidana.

2. Keadaan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.55

Tidak dirumuskan apa yang dimaksud paksaan dalam pasal ini, menurut memorie van toelichting yang dimaksud dengan paksaan adalah suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan, yang tidak dapat dilawan, tidak dapat ditahan. Apabila dipaksa dalam keadaan jiwanya tertekan juga dapat dijadikan alasan penghapus pidana.

3. Perbuatan yang dilakukan untuk membela diri.56

Alasan pembelaan yang dapat menghapus pidana yaitu membela badan atau tubuh, melakukan pembelaan atas serangan saat itu juga atau mengancam, pembelaan

53

H.M. Hamdan. Op.CitHal.63

54

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 55

ibid Pasal 48 56


(35)

yang dialkukan itu benar-benar terpaksa atau dalm keadan darurat, tidak ada pilihan lain.

4. Pembelaan diri yang melampaui batas57

Alasan penghapus dapat di terjadai apabila pembelaan yang dilakukan itu tetap terhadap perbuatan yang melawan hukum, keadaan jiwa yang tergoncang, dan ada hubungan kausal jiwa tergoncang dengan perbuatan yang dilakukan.

5. Melaksanakan peraturan per undang-undangan58

Perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana tetapi karena dilakukan berdasarkan undang-undang maka sipelaku tidak boleh dihukum, dan dilakukan untuk kepentingan pribadi bukan umum.

6. Melakukan perintah jabatan yang syah59

Melakukan perintah pemerintah meskipun perbuatan itu merupakan tindak pidana, maka tidak bisa dihukum.Antara yang merintah dan diperintah ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup kewenangan.

7. Melakukan perintah jabatan yang syah tapi tidak syah.60

Dihapuskannya pidana apabila memenuhi syarat, perintah itu dipandang sebagai perintah yang syah, dilakukan dengan itikad baik, dan pelaksanaan yang memang dalam ruang lingkup tugas-tugasnya.

57

Ibid Pasal 49 ayat 2 58

Ibid Pasal 50 59

IbidPasal 51 ayat 1 60


(36)

Alasan- alasan khusus penghapus pidana yaitu:

1. Bermaksud menyediakan atau memudahkan perubahan ketatanegaraan61

Perbuatan pidana yang dijelaskan dalam pasal 110 ayat 2 jika tujuan nya sesuai yang dijelaskan pasal 110 ayat 4 ini maka akan menghapuskan pidana, karena takutnya warga Negara akan merasa terlalu tertekan dalam kemerdekaannya untuk berfikir dan berbuat secara politis yang menyangkut tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Apabila mendatangkan bahaya bagi dirinya, bagi keluarganya, keluarga karena perkawinannya dalam keturunan lurus atau derajad ke dua atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi suaminya (isterinya) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi seseorang lain yang kalau dituntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberiketerangan sebagai saksi berhubungan dengan jabatan dan pekerjaannya.62

Alasan ini bisa menghapus pidana sebagai mana dijelaskan oleh pasal 164 dan 165, yang mana pasal 164 mengenai pemufakatan antara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana dari pasal-pasal 104, pasal, pasal 106, pasal 107, pasal 108, pasal 113, pasal 115, pasal 124, pasal 113, pasal 115, pasal 124, pasal187, atau pasal l87 bis.

61

Ibid Pasal 110 ayat 4 62


(37)

3. Saksi atau tabib yang menghadiri perkelahian tanding satu lawan satu, tidak dapat dihukum.63

Alasan penghapus pidana ini berlaku untuk pasal 182 sampai 186 tentang perkelahian satu lawan satu.Pertandingan olah raga karate, tinju, tenaga medis dan saksi-saksi juga tidak bisa di hukum berdasarkan pasal ini.

4. Perbuatan yang menghindarkan atau meluputkan bahaya penuntutan terhadap salah seorang kaum keluarga atau sanak keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat yang kedua atau yang ketiga dari keturunan yang menyimpang atau terhadap suami(isterinya atau jandanya).64

Alasan ini menghapus pidana terhadap tindak pidana yang dijelaskan oleh pasal 221 ayat 1 yaitu, menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan atau dituntut karena suatu kejahatan, dan merusak atau membinasakan benda-benda tempat melakukan atau yang diketahui untuk melakukan kejahatan.

5. Melakukan demi kepentingan umum atau terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.65

Alasan ini menghapus pidana terhadap tindak pidana dipasal 310 ayat 1 dan 2 yaitu, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang baik secara lisan maupun tulisan.

6. Tidak bisa dijatuhkan hukuman karena memfitnah karena hal di tuduhkan itu telah medapat putusan hakim yang tetap.66

63

Ibid Pasal 186 ayat 1

64

Ibid Pasal 221ayat2

65


(38)

7. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dapat dihukum.67

Alasan penghapus pidana terhadap pasal pasal 351 tentang penganiayaan biasa.

8. Percobaan melakukan kejahatan tidak dapat dihukum.68

Sudut pandang hukum pidana alasan penghapus pidana ini dibagi menjadi dua alasan pemaaf dan alasan pembenar, yang dimaksud alasan pemaaf adalah alasan untuk menghapus kesalahan dari pelaku atau terdakwa, dan berlaku hanya bagi diri pribadi sipelaku atau terdakwa.Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berlaku untuk semua orang yang melakukan perbuatan.69

Sudut pandang doktrin mengenal alasan penghapus pidana yang dibagi menjadi dua yaitu, alasan pembenar dan alasan pemaaf.70

1. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari dalam diri pribadi pelaku itu sendiri (unsur subyektif), jika hal ini terjadi maka hakim akan menjatuhkan putusanlepas (Onslag).

2. Alasan pembenar yaitu menghapuskan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan pelaku (unsur obyektif), jika hal ini terjadi maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas (Vrisjpraak).

66

Ibid Pasal 314ayat 1

67

Ibid Pasal 351ayat 5

68

Ibid Pasal 352 ayat 2

69

H.M.Hamdan. Op Cit. Hal 52

70


(39)

Teori yang digunakan kedua adalah teori kausalitas atau teori sebab akibat, hubungan logis antara sebab dengan akibat, setiap peristiwa memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab dari sejumlah peristiwa lain71, dalam hukum pidana maka dikenal delik formil dan delik materil hal ini penting dalam teori sebab akibat. Delik formil adalah delik dinyatakan terpenuhi jika telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, delik materil adalah delik telah terpenuhi apabila terjadi suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang kegunaan teori ini untuk mencari kebenaran dari delik materil dan formil ini, tujuan dari teori ini adalah guna menentukan hubungan antara sebab dan akibat, bilamana akibat dapat ditentutan oleh sebab.72.Hukum Pidana terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab yang menimbulkan akibat pada suatu delik yaitu:

1. Teori Condition Sine Qua Non atau Teori Ekuavalensi

Teori ini di pelopori oleh Von Buri (1873) suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dipikirkan terlepas dari tindakan pertama tersebut, suatu tindakan merupakan syarat mutlak bagi keberadaan akibat tertentu, semua syarat harus dipandang setara73. Van Hamel sebagai salah satu yang menganut ajaran Von Buri , yang mangatakan dalam hukum pidana masih ada jalan untuk mempermasalahkan seseorang untuk menetukan

71

Jan Remmelink. Hukum pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidan Indonesia.Gramedia Pustaka Utama Jakarta.2003. Hal.126

72

Satochid Kartanegara. Hukum Pidana 1. Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta. Hal. 213-214

73


(40)

kesalahan, pertanggungjawaban seseorang tidak harus ditentukan terhadap perbuatan akan tetapi harus ada kesalahan74.

Kebaikan teori ini ialah mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan konsekuensinya semua yang terlibat harus dimintakan pertanggungjawaban pidana.Kelemahan teori ini hubungan sebab akibat atau kausal itu terbentang jauh ke belakang tanpa akhir (Regress Ad infinitum), karena tiap-tiap sebab merupakan akibat terjadi delik75.

2. Teori Individualisasi

Teori ini berpatokan pada keadaan setelah peristiwa terjadi ( Post Factum ). Artinya faktor-faktor aktif atau pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari kasus, sedangkan faktor lain hanya syarat saja (tidak dianggap menentukan timbul akibat)76. Ada tiga pakar yang mengajurkan teori individualisasi yaitu pertamaBirkmayer yang mengatakan sebab adalah yang dalam concreto yang paling memberikan akibat, umpama dua ekor kuda yang menarik kereta yang paling kuat adalah yang terlebih dahulu menyebabkan bergeraknya kereta itu. Kedua Bidingsyarat adalah sebab yang merupakan pokok dari pada syarat positif (yang menyebabkan suatu akibat) diatas negatif (yang menahan akibat), umpama peluru terakhir bukanlah sebabakan tetapi setiap peluru ikut diperhitungkan juga. Dan ketiga Kohier syarat adalah sebab yang menentukan bagi die arts the wardens (kepekaan yang berlebihan) umpanya bila menanam benih dan tumbuh bunga, maka bagi

74

Satochid kartanegara.Opcit.Hal 223.

75

Jan Remmilng. Opcit. Hal.128

76


(41)

tumbuhan ini hujan ikut menjadi syarat, begitu pula kehangatan tanahnya, akan tetapi sebab adalah menanam benih itu karena ini menentukan apa yang akan tumbuh.77 3. Teori Generalisasi

Teori ini di lihat dari sebelum terjadi kasus.Syarat adalah perbuatan manusia yang dalam pandangan umum dapat menimbulkan akibat terjadinya delik.Hanya sebab yang kuat dianggap sebab yang menimbulkan akibat. Teori generalisasi memakai 2 pandangan yaitu pandangan subyektif yang dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa sebab menimbulkan akibat ialah apa yang oleh pembuat diperkirakan dapat menimbulkan akibat. Kedua patokan obyektif yang dipelopori oleh Rummelink yang menyatakan bahwa dasar penentuan suatu perbutan dapat menimbulkan akibat ialah keadaan yang secara obyektif kemudian diketahui, tidak terletak pada pembuat delik tapi ditentukan oleh hakim.Akan tetapi factor ini setelah delik terjadi.78

4. Teori Adequate

Teori ini tidak mempermasalahkan tindakan mana tau kejadian mana yang in concreto memberikan pengaruh (fisik atau psikis) yang paling menentukan, melainkan mempersoalkan apakah suatu syarat yang secara umum dapat dipandang dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan untuk ditemukan dalam rangkaian kausalitas yang ada79.

77

Satochid Kartanegara. Opcit. Hal 227 78

Ibid. Hal 128 79


(42)

Teori kausalitas ini dipakai dalam yurispredensi yaitu.Kesatu putusan Raad Van Justitie Batavia 23 juli 1937, sebuah mobil menabrak sepeda motor, pengendara sepeda motor terpental ke rel kreta api dan tergilas oleh kereta api, dengan mati karena tergilas kereta api menurut pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil, maka pengendara mobil harus pertanggungjawabannya. Kedua yurisprudensi putusan pengadilan negeri Pontianak 7 mei 1951, terdakwa sebagai krani bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal yang disebabkan oleh kelebihan beban muatan yang mengakibatkan meninggalnya 7 orang. Pengadilan memberikan alasan karena terdakwa sebagai krani tidak memperdulikan peringatan bahwa tidak boleh operload muatan kapal, jadi mempunyai hubungan erat dengan kecelakaan yang tenggelam.80

Yurisprudensi Indonesia mengikuti aliran Johanes Van Kries yang lazim dinamakan teori adequate subyektif, karena yang diberi nilai dan harus diperhatikan hakim adalah perbuatan yang menimbulkan akibat sebelumnya dapat diketahui atau dapat diramalkan dengan kepastian yang kuat oleh pembuat delik.81

2.Kerangka Konsepsi

1. Pertanggungjawaban pidana adalah merupakan unsur kesalahan yang terdapat dalam diri seseorang.82

2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter specialis dokter gigi dan specialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran baik di dalam

80

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990. Hal 73

81

Utrech. Hukum Pidana 1. Penerbit Universitas. Jakarta. 1960. Hal.390

82


(43)

maupun luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan per undang –undangan.83

3. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi orang yang melanggar larangan tersebut.84

4. Malpraktek medis adalah peraktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi undang-undang atau kode etik85

G. Metode Penelitian 1.Jenis Dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriftif analitis yaitu penelitian ini hanya mengambarkan situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori86.

Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan jenis penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada

83

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,Pasal 1.A Ketentuan Umum

84

Moljatno.Asas-Asas Hukum Pidana.Cetakan kedua. Bina Aksara. 1982. Jakarta. Hal 54 85

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dekdikbud, Jakarta.1990 cetakan ke 3 Hal.551

86

Alvin Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan Pemukiman Berkelanjutan,Medan,Pustaka Bangsa Press,2003 Hal.17


(44)

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik.

Penelitian seperti ini menurut Ronal Dwokin disebut dengan istilah penelitian doctrinal ( doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku ( law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan ( law as it is decided by the judge through judicial process).87

2. Sumber Bahan Penelitian

Adapun data sekunder yang diperoleh dari peneliti kepustakaan ( library research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dari informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahuluan baik berupa

87

Ronal Dworkin Sebagaimana Dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normative Dan Perbandingan Hukum, Makalah Ini Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum Usu,18 Februari 2003,Hal1.


(45)

peraturan perundangan-perundangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari;

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar. b. Peraturan dasar.

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan malpraktek, KUHPidana ,Undang- Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009, dan Undang-Undang No 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Peraturan berkaitan dengan malpraktek medis antara lain:peraturan menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.

2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan malpraktek,hasil-hasil penelitian, artikel, hasil seminar atau pertemuan yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, skunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah,.88

88

Soerjono Soekanto Dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Press, 1990 Jakarta :. Hal.41


(46)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penulusuran kepustakaan berupa sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan obyek penelitian.Untuk melengkapi data pustaka, juga dilakukan penelusuran situs internet yang berkaitan pertanggungjawaban pidana dokter dalam malpraktek. Kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat atau tulisan para ahli berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan landasan teoritis

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan di telaah dan dianalisis dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar89. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang malpraktek kedokteran dibidang kesehatan kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam tesisi ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang

89

Lexy J..Moleong.Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Cetakan ke 10.1999 Bandung. Hal.103


(47)

sistematis dengan menjelaskan hubungan untuk berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisa secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.90

90


(48)

BAB II

PENGATURAN MALPRAKTEK DOKTER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Malpratek medis dan Jenis-Jenis Malpraktek medis

Malpraktek medis merupakan perbuatan dokter atau dokter gigi yang buruk dalam melakukan pelayanan medik, tidak memenuhi persyaratan-persyaratan atau standar-standar yang telah ditetapkan seperti dalam kode etik kedokteran, standar profesi, standar pelayanan medik maupun dalam standar operasional prosedur.91

Malpraktek medis menurut J.Guwandi meliputi tindakan-tindakan92:

1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.

2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melakukan kewajiban. 3. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.

J. guwandi memberikan pengertian bahwa malpraktek dalam arti luas antara tindakan yang dilakukan93;

1. Dengan sengaja (dolus, vorstatz, intentional) yang dilarang oleh perundang-undangan

2. Tidak dengan sengaja(negligence, culpa) atau karena kelalaian

Perbedaaan antara malpraktek murni dengan kelalain akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya, malpraktek murni dilakukan dengan sadar dan tujuan

91

Syahrul Machmud.Op.Cit.Hal.263 92

J. guwandi.Op. Cit. Hal.24

93


(49)

dari tindakan memang sudah terarah pada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengatahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan kelalaian tindakannya tidak mempunyai motif atau tujuan untuk menimbulkan akibat. Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendaknya.Kelalain yang di hukum dalam malpraktek adalah kelalaian berat.Dengan demikian didalam malprkatek medis terkandung unsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan dalam hukum pidana, yaitu kesengajan atau kelalaian.94

Pengertian diatas maka hakekat profesi menurut D Veronica komalasari adalah panggilan untuk hidup mengabadikan diri pada kemanusian yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggung jawab penuh, berapa ciri profesi antara lain:95

1. Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistimatis.

2. Mempunyai kompetensi secara ekslusif terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu.

3. Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu.

4. Mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, serta mempertahankan kehormatan.

5. Mempunyai etik tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaannya. 6. Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat atau individu

7. Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan organisasi professional lainnya, terutama dari segi pengakuan.

94

Syahrul Machmud.Op.Cit.Hal.266 95

D Veronika komalasari, hukum dan etika dalam praktek kedokteran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.1989.Hal.19-20


(50)

Menurut Guwandi hubungan kepercayaan dokter dan pasien adalah Ketika pasien percaya bahwa dokter mmpunyai ilmu pengetahuan, mampu dan terampil, bertindak dengan hati-hati dan teliti dan dokter akan melakukan pekerjaannya berdasarkan standar profesi medik yang telah ditentukan 96.

Sementara itu Parson sebagaimana dikutip oleh D Veronika komalasari mengemukakan beberapa ciri khusus profesi sebagai berikut .97

1. Disinterestedness artinya tidak mengacu pada pamrih, nilai ini harus dijadikan patokan normatif bagi pengemban profesi.

2. Rasionalitas artinya melakukan usaha mencari yang terbaik dengan berpedoman pada pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan sacara ilmiah. Perujudan system pekerjaan profesi dilaksanakan berbasis rasionalitas yang merupakan salah satu ciri yang dominan dari ilmu.

3. Spesifitas funsional artinya para profesional mempunyai kewibawaan (otoritas) didalam masyarakat dengan strutur sosiologikal yang khas yang bertumpu pada kompetensi tekhnikal yang superior yang hanya dimiliki oleh pengemban profesi yang bersangkutan saja. Oleh karena itu, seorang professional dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas hanya dalam bidangnya.

4. Universsalitas artinya dasar pengambilan keputusan bukan pada siapanya ataupun keuntungan pribadi yang dapat diperoleh pengambilan keputusan, tetapi berdasarkan kepada apa yang menjadi masalahnya

Seorang dokter atau dokter gigi adalah seorang profesional dalam bidang pengobatan atau kedokteran, karena mereka bekerja berdasarkan keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan yang berjenjang, mandiri dan bertanggungjawab atas pelayanan kesehatan yang dilakukakan. Dokter atau dokter gigi bekerja berdasarkan ketentuan pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun

96

J.Guwandi, misdiagnosis atau malpraktek, Jurnal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia,2003

97


(51)

2009 tentang Hukum Kesehatan yaitu kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.98

Tidak memenuhi Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) bisa dikenakan sanksi pidana dan sanksi administrasi, didalam KODEKI ada empat (4) kewajiban yang harus di penuhi oleh dokter yaitu kewajiban umum, kewajiban dokter atau dokter gigi terhadap pasien, kewajiban dokter atau dokter gigi terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri99. KODEKI dibuat berdasarkan etika kedokteran yang apabila dilanggar akan mengakibatkan suatu perbuatan dokter atau dokter gigi yang merugikan pasien, asas-asas dari etika itu sendiri adalah tidak merugikan (non maleficenc), membawa kebaikan (benevicence), menjaga kerahasian (confidencsialitas), otonomi pasien (informed consent), berkata benar (veracity), berlaku adil (justice), menghormati (privacy.)100

Standar profesi adalah batasan kemampuan ( knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalisme pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi 101. Kemampuan minimal yang dimaksud diatas adalah kamampuan rata-rata dari keilmuan dokter atau dokter gigi.Maka dokter dapat dipersalahkan apabila dia tahu bahwa penyakit pasien diluar batas kemampuannya

98

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 24 ayat 1

99

Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2002

100

Syahrul machmud.Op.Cit.

101


(52)

dan dia tidak merujuk kepada dokter specialis yang kompeten terhadap penyakit pasien.

Menurut Oemar Seno Adji standar profesi medis dibagi tiga (3) yaitu 102: 1. Dokter rata-rata ( gemiddeld, durchschnitt, moyen,average) yaitu tidak bisa

dikatakan sama keadaan antara dokter specialis dan dokter umum, dokter puskesmas dan dokter rumah sakit modern. Yang jadi ukuran ialah seorang dokter yang punya kemampuan rata-rata, sehingga tidak dapat diharapkan dari seorang dokter atau dokter gigi, bahwa ia harus memenuhi norma-norma tertinggi ataupun ia dibawah ukuran rata-rata tersebut, maka dokter atau dokter gigi diharapkan berbuat menurut ketelitian dan kecermatan. 2. Kategori atau keadaan yang sama yaitu adalah keadaan yang tidak bisa

disamakan antara dokter atau dokter gigi, dimana jika terjadi suatu kasus malpraktek maka antara dokter atau dokter gigi specialis dimintakan syarat yang lebih berat dari pada dokter umum.

3. Azas proporsionalitas-susidaritas yaitu keseimbangan antara perbuatan medis dan tujuan yang hendak dicapai.

Apabila dokter atau dokter gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional, maka dokter atau dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum103.D Veronika komalawati memberi batasan tetang standar profesi yaitu pedoman yang harus digunakan untuk petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pada proses tindakan medik104.

Wila Candrawila supriadi dengan mengutip pendapat Van Der Mijn mengemukakan dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran umum yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan

102

Oemar Seno Adji. Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.Erlangga.1991. Jakarta. Hal.159

103

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Penjelasan Pasal 50. 104


(53)

ketelitian umum105. Danny Wiradharma meyebutkan manfaat diadakannya standar profesi medis adalah adanya indikasi medis atau petunjuk menurut kedokteran, kearah tujuan pengobatan atau perawatan yang konkrit, dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini, tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati tanpa kelalaian, yang tolok ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter lain dari bidang keahlian yang sama berhadapan dengan kasus seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.106

Standar Pelayana Medis mencakup, standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana dan standar hasil yang diharapkan. Standar pelayanan medis ini terbagi menjadi dua (2) bagian yaitu:memuat tentang standar penyakit dengan dua belas (12) specialisasi kasus-kasus yang penting terdiri dari bagian bedah, bagian ortopedi, jiwa, kardiologi, kulit dan kelamin, obstetric dan ginekologi, paru, panyakit dalam,penyakit anak, saraf mata,THT dan standar pelayanan penunjang dengan tiga (3) specialisasi masing-masingnya anestessi, patologi, anatomi, forensic, klinik dan radiologi.107

Standar pelayanan medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran.yang dimaksud dengan sarana pelayanan adalah, tingkatkan pelayanan yang standar tenaga dan peralatan nya sesuai dengan kemampuan yang diberikan. Standar pelayanan ini sebagai mana perintah undang-undang praktek kedokteran seharunya di atur melalui

105

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung,2001.Hal52 106

Danny Wiradharma,Op.Cit..Hal.80 107


(1)

sehingga para dokter tidak merasa dikriminalisi perbuatannya, dan dokter yang berbuat salah bisa dihukum.

2. Diharapkan kedepannya setiap mahasiswa kedokteran diberi pembelajaran tentang hukum kesehatan lebih rinci, agar mereka dalam melakukan tindakan kedokterannya bisa lebih berhati-hati dan penuh tanggungjawab, jika terjadi malpraktek mereka bisa mempertanggungjawabkan nya.

3. Diharapkan pada masyarakat sebagai obyek dalam tindakan dan pelayanan kesehatan agar lebih hati-hati dalam memilih dan memutuskan sesuatu dalam hal pengambilan tindakan dalam kesehatan. karena jika terjadi malpraktek proses mencari kebenaran nya agak sedikit sulit dan memakan waktu lama. Jika terjadi malpraktek untuk segara melaporkan kepada aparat penegak hukum yang berwenang.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter, buku 1,2006. Adami Chowazi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada.2001.

Jakarta.Hal. 117

Amri Amir.Bunga rampai hukum kesehatan. Widya Medika. Jakarta 1997.

Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Widya Medika,Jakarta. 1996

Alvin Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan Pemukiman Berkelanjutan,Medan,Pustaka Bangsa Press,2003 .


(2)

Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Graha Indonesia, Jakarta1994. Bhekti suryani.Panduan Yuridis Penyelenggaraan Praktik Kedokteran. Dunia

cerdasa. 2013. Jakarta

Chairul HudaDari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.Kencana. 2006

Djoko Prakoso. Hukum Panitensir Indonesia.Libety.Yogyakarta. 1998 Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 1996,

………, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara,

Jakarta.1996.

Daldiyono, Pasien Pintar dan Dokter Bijak, Buku Wajib Bagi Pasien dan Dokter, Jakarta: Penerbit PT Buana Ilmu Populer, 2007

Desritza Rahman. Mediasi non litigasi terhadap sengketa medic dengan konsep win-win solution.Jakarta: Pt. Elek Media Komputindo 2012 .

D Veronika komalasari, hukum dan etika dalam praktek kedokteran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.1989.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka1997

Gerhard Martius. Bedah kebidanan.Buku Kedokteran.1986. Jakarta.

H.M. Hamdan. Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP danKUHAP. Usu Press. Medan

J. E. Sahetapy. Hukum Pidana. Konsorium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

J, guwandi.Hukum medic .Balai Penerbit . FKUI,2007

Jan Remmelink. Hukum pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidan Indonesia.Gramedia Pustaka Utama Jakarta.2003.


(3)

Koeswadi,Hermein Hadiati. Hukum dan masalah medic.Surabaya :Airlangga University Press.1984.

Kartono Muhammad. Teknologi Kedokteran Dan Tantangannya Terhadap Biotika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 1992. .

Leden marpaung.unsur-unsur perbuatan yang dapat dihukum. Sinar Grafika.1991 Jakarta.Hal.6-7.

Lamintang.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung. 1984. Lexy.J.Moleong. Metode Penelitian Hukum. Remaja Rosdakarya. Bandung. 1999 M.Yahya Harahap. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP.Edisi ke

dua.Sinar grafika 2008. Jakarta.

Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta., 1982 ---Asas-Asas Hukum Pidana. Reinika Cipta. Jakarta.2008

Mudakir iskandariah.Tuntutan Pidana Dan Perdata Malpraktek.Permata Aksara.2011 Jakarta.

…………..Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,

Semarang 1995. ,

Oemar Seno Adji. Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.Erlangga.Jakarta 1991.

Pujiyono.,Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2007

Satochid kartanegara.Hukum pidana bagian ke dua.Balai Lektur Mahasiswa.Jakarta.

Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983

R. Sugandhi. Kitab undang-undang hukum pidana dan penjelasannya.Usaha Nasional. 1998. Surabaya.

Roni Wiyanto. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Mandar Maju. 2012. Bandung.


(4)

Ronny Hanitijo Soemitro.Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1982

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medical Malpraktek, Bandung :Karya Putra Darwati, 2012 ,

Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian antara Dokter dan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005,.

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.

---Kapita Selekta Hukum Pidana .Bandung ,Alumni.1981.

Sofyan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Undip, Semarang 1999.

Soerjono Soekanto Dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. 1990 .

Satochid kartanegara.Hukum pidana bagian ke dua.Balai Lektur Mahasiswa.Jakarta.

Utrech.Hukum Pidana 1. Penerbit universitas.. Jakarta. 1960

Wila Chandrawila Supriadi, hukum kedokteran, Mandar Maju, Bandung,2001. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Ajtara Indonesia,Djakarta,.

B. Internet

Konsil kedokteran Indonesia, Standard Pendidikan Profesi Dokter ,Jakarta,Konsil Kedokteran Indonesia 2006 .Hal.24 di unduh tgl 5 september 2013

Bidang Peneliti Dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, Dokter, dan Pasien dalam mencegah malpraktek, Jakarta.2008.diunduh tangal 1 agustus 2013


(5)

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.Penelitian Hukum Tentang Tenaga Medi, Rumah Sakit Dan Pasien. 2010. Jakarta. Diunduh tangal 2 september 2013

Henry Campbell Black, et.al.,ed., Black’s Law Dictionary, 3 Edition, St. PaulminnWest Publicing C.O., 1979, Hal 1374, diunduh tgl 2 september

http://ilmuhukum.umsb.ac.id diunduh Tanggal 9 juni 2

www.slide share. Com. Hubungan dokter-perawat dan pasien,oleh luqman effendi,di unduh tgl 2juni 2013.

.

C. Disertasi,Makalah Dan Jurnal

Kartono Muhammad, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran, Makalah Dalam Symposium Kedokteran, Diselengarakan Oleh Bphn, Departemen Kehakiman Kerja Sama Dengan Idi, Jakarta,1983

Muladi.Fungsionalisasi hukum pidana dalam tindak pidana lingkungan hidup. Ronal Dworkin Sebagaimana Dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum

Normative Dan Perbandingan Hukum, Makalah Ini Disampaikan Pada Suprapto.Hukum pidana ekonomi ditinjau dalam rangka pembangunan

nasional.Disertasi. Jakarta. 1963.

Ayu Kusuma Dewi. Laserasi Jalan Lahir Post Vakum Ekstraksi Atas Indikasi Peb, Gemelli (Preskep-Preskep), Kpd 10 Jam Potential Infected Pada Primigravida Hamil Preterm Dengan Hipoalbuminemia. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan Dan Kandungan Fakultas Kedokteran Uns/Rsud Dr Moewardi Surakarta 2007


(6)

D. Peraturan Perundang-Undangan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit