PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi dan modernisasi pada saat ini berdampak negatif pada para remaja yang tidak mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja kurang mampu memilah-milah antara yang patut diterima serta sesuai dengan kepribadian bangsa dan masyarakat maupun yang tidak. Salah satu aspek yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah kebebasan atau hilangnya batas batas normatif yang menyangkut hubungan seksual sebelum memasuki hubungan pernikahan.

Pergaulan bebas di kalangan remaja merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya, di antaranya adalah mudahnya para remaja dalam mengakses media yang bermuatan pornografi baik di internet, majalah maupun VCD porNomor Kurangnya pengetahuan remaja terhadap dampak seks bebas, minimnya pengawasan orang tua dan faktor fisik remaja yang sedang mengalami pubertas, sehingga keingintahuan mereka tentang seks mengalami peningkatan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa fenomena pergaulan remaja yang melampaui batas norma kesusilaan berakibat pada terjadinya kehamilan di luar nikah. Pada perkembangan selanjutnya remaja putri memilih untuk menggugurkan kandungan (aborsi) sebagai jalan keluar untuk mengatasi kehamilan di luar nikah tersebut.

Fenomena gaya hidup seks bebas di kalangan remaja menggambarkan bahwa para remaja cenderung hanya memikirkan kesenangan sesaat tanpa memikirkan sebab-akibat kedepannya. Pada awalnya para anak muda tersebut hanya berpacaran biasa, akan tetapi karena pengaruh dari


(2)

faktor gaya hidup seks bebas tersebut mereka melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka. Ketika hubungan mereka membuahkan janin dalam kandungan, timbul masalah karena mereka belum menikah dan kebanyakan masih harus menyelesaikan sekolah atau kuliahnya. Ditambah adanya rasa takut ketahuan dan rasa malu apabila masalah kehamilan itu ketahuan oleh orang tua dan orang lain, maka ditempuh aborsi untuk menghilangkan janin yang tidak dikehendaki tersebut.

Aborsi (abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin, apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.1Pengertian aborsi lainnya adalah terjadi keguguran janin, melakukan aborsi sebagai melakukan penguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).2

Berbicara mengenai aborsi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena aborsi erat kaitanya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Hal ini dikarenakan aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi di mana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun dilakukan secara ilegal.

Hukum positif di Indonesia mengatur masalah menjelaskan bahwa aborsi ini sebagai salah satu jenis tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai berikut:

1

J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1997. hlm. 66

2


(3)

Pasal 346 KUHP :

"Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat

tahun.”

Pasal 347 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 KUHP:

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Berdasarkan keempat pasal tersebut diatas maka berarti bahwa apapun alasannya diluar alasan medis perempuan tidak boleh melakukan tindakan aborsi. Dengan kata lain paradigma yang digunakan adalah paradigma yang mengedepankan hak anak, sehingga dalam KUHP tindakan aborsi dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Adapun yang dapat dikenai sanksi pidana berkaitan dengan perbuatan aborsi adalah perempuan yang menggugurkan kandungannya itu sendiri dan juga mereka yang terlibat dalam proses terjadinya aborsi seperti dokter, bidan atau juru obat serta orang yang menyuruh melakukan tindak pidana aborsi. Persoalannya adalah


(4)

bagaimana ketentuan-ketentuan tersebut dapat ditegakkan dengan baik sehingga dapat menjerakan dan meminimalisasikan para pelaku kejahatan aborsi tersebut.

Aborsi merupakan fenomena sosial yang memprihatinkan dan keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral suatu kehidupan bangsa. Dalam sistem hukum di Indonesia, perbuatan aborsi dilarang dilakukan dan dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 346 – 349 KUHP, sehingga kepada pelaku dan orang yang membantu melakukannya dikenai hukuman. Oleh karena itu, dibutuhkan penegakan hukum yang sungguh-sungguh dari aparat penegak hukum di Indonesia. Penegakan hukum ini harus diintensifkan mengingat buruknya akibat aborsi yang tidak hanya menyebabkan kematian bayi yang diaborsi, tetapi juga ibu yang melakukan aborsi.

Menurut Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. Ada beberapa hal yang dapat dicermati dari jenis aborsi ini yaitu bahwa ternyata aborsi dapat dibenarkan secara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga kesehatan mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan menggunakan pertimbangan demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, tindakan medis (aborsi) sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli.


(5)

Aborsi tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya. Hal tersebut berarti bahwa apabila prosedur tersebut telah terpenuhi maka aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Dengan kata lain vonis medis oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan tindak pidana atau kejahatan.

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menjelaskan dengan jelas bahwa pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang dilakukan dengan ilegal atau yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berbeda halnya dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis sebagaimana diatur Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, aborsi jenis ini disebut dengan aborsi provokatus kriminalis. Artinya bahwa tindakan aborsi seperti ini dikatakan tindakan ilegal atau tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tindakan aborsi merupakan tindakan pidana atau kejahatan, yang oleh KUHP dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.

Kasus tindak pidana aborsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Fitriana dalam Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK yang telah dijatuhkan hukuman bersalah oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang, karena Fitriana melanggar Pasal 346 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). Fitriana tertangkap ketika hendak menguburkan anaknya (janin hasil aborsi), namun ditolak oleh masyarakat setempat lalu masyarakat ada yang menelpon polisi. Terdakwa Fitriana dijatuhkan hukuman 2 (dua) tahun atas perbuatan tindak pidana aborsi yang telah dilakukannya.


(6)

Permasalahan dalam putusan tersebut adanya kesenjangan antara pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa aborsi dalam Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK yaitu selama dua tahun penjara dengan ketentuan pada Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/2009/PNTK?

b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/2009/PNTK?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini adalah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi di Bandar Lampung dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 169/Pid/B/2009/PNTK.


(7)

Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2012 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/2009/PNTK

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/2009/PNTK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi.

b. Kegunaan Praktis

1. Untuk dapat memberikan informasi yang benar tentang tindak pidana aborsi dan peran Kejaksaan Bandar Lampung serta polresta Bandar Lampung dalam menangani kasus Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung.


(8)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan untuk mangadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Penelitian suatu teori sangat diperlukan sebagai suatu dasar pemikiran dan landasan dalam penulisan suatu karya ilmiah, di mana suatu tindak pidana aborsi merupakan fenomena sosial yang memprihatinkan. Dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat atau tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

a. Kemampuan untuk bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan.

b. Hubungan batin orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, berupa kesengajaan(dolus)atau kealpaan.

c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.4

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa didasarkan pada Pasal 183 Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan seorang hakim dalam hal

3

Soerjono Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum.UI Press. Jakarta. 1986. hlm. 124

4


(9)

menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu5:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.6

Teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

5

Ahmad Rifai..Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 2010. hlm. 103

6


(10)

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifatrasional a priori.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empirisa pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena kepentingan umum untuk melayani masyarakat terpenuhi.7

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.8 Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep sesuai dengan pokok pembahasan, yaitu sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau

7

Lilik Mulyadi.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.2007. hlm. 42

8


(11)

tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.9 2. Penegakan Hukum Pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup dalam suatu tindak pidana.10

3. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku11

4. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum12.

5. Aborsi adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin atau terjadi keguguran janin. Melakukan aborsi sebagai melakukan penguguran dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu.13

9

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

10

Soerjono Soekanto.Op Cit.1983. hlm.70

11

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 54

12

Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 82.

13

J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1997. hlm. 66


(12)

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mempermudah untuk memahaminya, maka penulis menyajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang tersebut dapat ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai tentang pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan yang terdapat dalam praktek. Adapun garis besar penjelasan dalam bab ini adalah menjelaskan mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi Di Bandar Lampung (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK).

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang pendekatan masalah, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap terakhirnya yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan tentang hasil dari penelitian dan hasil pembahasan dilapangan, terhadap permasalahan dalam penelitian yang akan menjelaskan mengenai Pertanggungjawaban Pidana


(13)

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi Di Bandar Lampung (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK).

V. PENUTUP

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas dalam penelitian skripsi ini.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan1

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Dengan adanya

1

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.


(15)

kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya2

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha

2

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46


(16)

pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.3

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan4

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat. b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan

dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat5

3

Moeljatno.Ibid.hlm. 49

4

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

5


(17)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang

berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak

dipidana”. Bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman6

6


(18)

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)

yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada


(19)

artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum.7

Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.8

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

7

Ahmad Rifai.Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.2010. hlm.103

8


(20)

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di siding pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya9

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan10

Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan epadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?

9

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 76

10


(21)

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?11

Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat keputusan. Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum karena kurang pertimbangan hukum.12

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

C. Tindak Pidana Aborsi

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

11

Ibid. hlm. 43

12

Edi Setiadi.Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung 2001. hlm.28


(22)

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.13

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan14

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian

tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar

bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten)

dan tindak pidana materil(Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

13

P.A.F. LamintangDasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

14

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22


(23)

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal15

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.16

Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan

15

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

16


(24)

pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

2. Aborsi

Aborsi bahasa Latin: abortus adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur. Pengertian Aborsi menurut kamus umum Bahasa Indonesia aborsi didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin, melakukan aborsi sebagai melakukan penguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).17

Pengertian Aborsi menurut info Kit on Woman’s Health, aborsi didefinisikan sebagai

penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim sebelum usia janin mencapai 20 minggu.

Pengertian aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:

a. Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu)

b. Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (berat kurang dari 500gram atau kurang dari 20minggu). Dari segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran dan kelahiran premature mempunyai arti yang sama dan menunjukkan pengeluaran janin sebelum usia kehamilan yang cukup.

Pengertian aborsi menurut Undang-Undang Kesehatan aborsi dibahas secara tersirat pada Pasal 15 (1) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan

17


(25)

tindakan medis tertentu. Maksud dari kalimat tindakan medis tertentu salah satu nya adalah aborsi.

Pengertian Aborsi menurut Ilmu Kedokteran adalah kehamilan berhenti sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran premature.18

Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah aborsi. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Didalam dunia kedokteran ada berbagai jenis aborsi, diantaranya aborsi spontan atau alamiah, berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Aborsi buatan atau sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Aborsi Terapeutik atau Medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.19

Aborsi bisa dikatakan legal apabila dilaksanakan dengan sepengetahuan pihak yang berwenang, yaitu dari pihak keluwarga, dokter yang ahli dalam bidangnya dan kepolisian. Prinsip aborsi itu sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu, untuk aborsi karena alasan medis menggunakan

18

http://www.anneahira.com/pengertian-aborsi.htm, jumat jam 9.10

19


(26)

obat atau melalui kuret. Teknik-teknik aborsi yang bisa dilakukan secara legal atau diperbolehkan karena ada alasan medis yaitu:

1. Menggunakan obat

Obat ini biasanya digunakan sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu dan harus dokter yang melakukan, karena jika dilakukan sembarangan bisa menimbulkan komplikasi dan bahkan dapat membahayakan ibunya. Kalau tidak ada pengawasan bisa berbahaya bisa menyebabkan ibunya meninggal, karena itu biasanya diobservasi terlebih dahulu di rumah sakit dan dilihat selama 24 jam. Umumnya obat yang diberikan pada ibu yang akan aborsi ini berfungsi untuk merangsang timbulnya kontraksi. Meski begitu pemberian obat ini berdasarkan resep dokter dan harus dibawah pengawasan.

2. Menggunakan teknik kuret

Untuk melakukan teknik ini dokter biasanya akan memberikan bius pada pasien, setelah itu hasil dari konsepsi antara sel telur dan sperma ini dikerok atau disedot, dan ini termasuk tindakan operasi kecil. Meski begitu tindakan ini juga memiliki komplikasi seperti risiko dari bius itu sendiri, infeksi, pendarahan, cedera organ seperti robek jika dilakukan dengan tidak tepat. Kalau dilakukan dengan dokter maka kondisinya bisa terkontrol dan efek sampingnya bisa menjadi minimal. Untuk itu teknik ini harus dilakukan oleh orang yang memang berkompeten, karena jika dilakukan sembarangan atau orangnya tidak kompeten bisa menyebabkan infeksi yang paling banyak, mandul serta kerusakan organ.

Aborsi dalam pelaksanaan prakteknya jarang sekali yang melakukan secara legal dikarenakan berbagai alasan. Sebagian besar perempuan melakukan aborsi secara ilegal dengan mengonsumsi jamu atau alat tertentu yang berbahaya. Aborsi menurut definisinya adalah pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Bagi


(27)

wanita yang melakukan aborsi dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur medis, maka dampaknya dapat sangat mengerikan. Bahkan kadang menimbulkan kematian atau juga rusaknya fungsialat reproduksiwanita secara permanen. Itu tentu adalah kerugian yang sangat besar bagi pihak wanita. Mereka yang memilih aborsi dengan cara ilegal ini biasanya tidak menginginkan kehamilannya dengan alasan malu sebab belum menikah, atau alasan ekonomi, karena telah memiliki banyak anak.Diantara dampak mengerikan aborsi ilegal itu adalah: 1. Jika dilakukan menggunakan alat-alat tidak standart dan tajam misalnya lidi, ranting pohon,

atau yang lainnya, maka resiko rahim robek atau luka besar sekali.

2. Rahim yang lebih dari 3 kali diaborsi berisiko jadi kering, infeksi, atau bahkan memicu tumbuhnya tumor.

3. Aborsi ilegal yang dilakukan oleh orang yang tidak ahli, dapat menyebabkan proses kuretasi tidak bersih, hingga terjadi perdarahan hebat.

4. Peralatan yang tak steril akan memicu munculnya infeksi di alat reproduksi wanita, bahkan sampai ke usus.

5. Bagi pelaku, rasa berdosa yang timbul karena aborsi dapat menyebabkan mereka menderita depresi, berubah kepribadiannya jadi introvert, serta sering tak bisa menikmati hubungan seksual jika telah menikah.

6. Jika pelaku aborsi kelak hamil kembali dengan kehamilan yang diinginkan, maka kehamilan tersebut ada kemungkinan besar akan bermasalah, atau janin dapat mengalami masalah pada mata, otak atau alat pencernaannya.

Tiga fakta utama tentang aborsi yang mengangkat aborsi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang harus mendapatkan perhatian adalah20:

20


(28)

1. Aborsi yang dilaksanakan secara tidak aman merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian wanita.

2. Kebutuhan akan induksi aborsi merupakan kenyataan yang sering dan terus menerus dijumpai. 3. Wanita tidak perlu meninggal akibat aborsi tidak aman, oleh karena apabila induksi

dilaksanakan secara benar dan higienis, tindakan aborsi sangatlah aman.

D. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi

Peraturan mengenai tindak pidana aborsi diatur dalam berbagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 53 tentang Hak Anak menyatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Pasal 15 tentang Kesehatan Keluarga

1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1(satu) hanya dapat dilakukan: a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.

b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.


(29)

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya. d. Pada sarana kesehatan tertentu.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 75 tentang Aborsi

1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu atau janin, yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan.

b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korbanperkosaan.

3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dan ayat 3 (tiga) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76 tentang Aborsi


(30)

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan dan dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.

d. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri

Pasal 77 tentang Aborsi

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat 2 (dua) dan ayat 3 (tiga) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299 KUHP

1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.

2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.


(31)

3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 341 KUHP

Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342 KUHP

Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 343 KUHP

Kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.

Pasal 346 KUHP

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.


(32)

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 348 KUHP

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara

paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 KUHP

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 350 KUHP

Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 Nomor 1- 5.


(33)

1

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum dengan menggunakan data sekunder, diantaranya asas, kaidah, norma dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian yang dibahas dalam skripsi ini.1

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kondifikasi, Undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.2

B. Sumber Data dan Jenis Data

1

Abdulkdir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004. hlm. 134

2


(34)

2

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.

Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu: 1. Data Primer

Data Primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian pada objek penelitian, yakni data yang didapat dari keterangan atau penjelasan yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi di Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dianggap menunjang dalam penelitian ini, yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya.3

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.4 c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan lain yang berguna untuk

memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, buletin, majalah,

artikel-3

Ibid.hlm. 135

4


(35)

3

artikel diinternet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.5

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.6 Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, yaitu aparat kepolisian Polresta Bandar Lampung, jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.

2. Sampel

Penentuan sampel pada penulisan skripsi ini menjadi sasaran penelitian yang mewakili dari keseluruhan populasi. Dalam menentukan sampel dan populasi yang akan diteliti digunakan metode pengambilan sample secara purposive sampling,yaitu suatu metode dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili populasi.

Sampel dalam penelitian ini diambil dari responden sebanyak 4 (empat) orang, yaitu:

1. Polisi pada Polresta Bandar Lampung : 1 Orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang 3. Hakim pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang 4. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 Orang +

Jumlah : 4 Orang

5

Ibid.hlm. 136

6


(36)

4

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh prosedur sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi Kepustakaan adalah mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, mencatat dan memahami berbagai literatur yang ada hubungannya dengan materi penelitian, berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah-majalah serta dokumen lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

b. Studi Lapangan (field research)

Studi Lapangan adalah mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian langsung pada tempat atau objek penelitian. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara yang dilakukan terhadap informan. Data diperoleh dengan melakukan tanya jawab langsung pada pihak-pihak yang berkaitan dengan tindak pidana aborsi di Bandar Lampung.7

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang terkumpul, diolah melalui pengolahan data dengan tahap-tahap berikut: a. Identifikasi

Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi di Bandar Lampung.

7


(37)

5

b. Editing

Editing yaitu meneliti kembali data yang diperoleh dari keterangan para responden maupun dari kepustakaan, hal ini perlu untuk mengetahui apakah data tersebut sudah cukup dan dapat dilanjutkan untuk proses selanjutnya. c. Klasifikasi Data

Klasifikasi Data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis. d. Sistematisasi Data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat

e. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dari datum yang bersifat khusus.8

E. Analisis Data

Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode berpikir induktif yaitu metode berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus untuk ditarik kesimpulan secara umum.

8


(38)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi di Banadar Lampung dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/ 2009/PNTK, dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa pelaku sebagai subjek hukum telah cakap atau mampu dalam melakukan perbuatan hukum. Pelaku harus mempertanggung jawabkan tindak pidana aborsi karena unsur kesengajaan (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya menggugurkan kandungan bersifat melanggar hukum dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut sehingga mengakibatkan janinnya meninggal dunia maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di depan hukum yang berlaku, yaitu melanggar Pasal Pasal 346 KUHP dan sebagai bentuk pertanggungjawabannya adalah terdakwa Fitriana Bin Asmui dipidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan meninggalnya janin. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas perbuatannya dan sopan dalam persidangan


(39)

42

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Disarankan pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi warga yang baik, tidak melakukan pergaulan dan seks bebas serta tidak mengulangi tindak pidana aborsi.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana aborsi hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar mereka menyadari kesalahan yang dilakukannya dan tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.


(40)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 15

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara ... 20

C. Tindak Pidana Aborsi... 23

D. Saksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi ... 30

III METODE PENELITIAN... 36

A. Pendekatan Masalah... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

E. Analisis Data ... 40

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Gambaran Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/2009/PNTK... 42

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung... 44


(41)

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana pada

Pelaku Tindak Pidana Aborsi... 59

V PENUTUP... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2005.Asas-asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.Bandar Lampung: CV. Sinar Sakti.

_____________.2010.Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP.Bandar Lampung:Universitas Lampung.

_____________. 2011.Delik Tertentu Dalam KUHP.Bandar Lampung:Universitas Lampung. Arief, Barda Nawawi. 2001.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Lamintang, P.A.F. 1984.Hukum Penitensier Indonesia,Bandung: Armico. Moeljatno. 1987.Azas-azas Hukum Pidana.Jakarta:BI na Aksara.

Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian hukum.Bandung:Citra Aditya Poernomo, Bambang. 1981.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta:Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro, Wirjono. 1986.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.Bandung:Eresco.

Rifai, Ahmad. 2010.Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 2005.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Sudarto. 1990.Hukum Pidana L.Semarang:Yayasan Sudarto Syarifudin, Amir. 2008.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana

Ustman, Sabian. 2008.Menuju Penegakan Hukum Responsif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Utarini, Adi. 1996.Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global.Yogyakarta:Universitas Gajah Mada


(43)

Peraturan-Peraturan Perundangan Undang Undang Hak Asasi Manusia Undang Undang Kesehatan

Kitab Undang Hukum Pidana

Sumber Lain

http://www.aborsi.org/definisi.htm. Diakses tanggal 12 oktober 2012 jam 11.24


(44)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG

(Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK) Oleh

BAGUS SADDAMYEKTI

Aborsi dalam tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk ke dalam kejahatan atau tindak pidana terhadap nyawa janin yang dikandung oleh seorang perempuan. Pelaku tindak pidana aborsi yang dengan sengaja melakukan penguguran kandungan karena tak menginginkan janin yang dikandung itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum yang berlaku, dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/ 2009/PNTK (2) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/ 2009/PNTK.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Responden penelitian terdiri dari Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Data penelitian dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi di Bandar

Lampung dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/ 2009/PNTK, dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa pelaku sebagai subjek hukum telah cakap atau mampu dalam melakukan perbuatan hukum. Pelaku harus mempertanggung jawabkan tindak pidana aborsi karena unsur kesengajaan (dolus) yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya menggugurkan kandungan bersifat melanggar hukum dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut sehingga mengakibatkan janinnya meninggal dunia maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di depan hukum yang berlaku, yaitu melanggar Pasal Pasal 346 KUHP dan sebagai bentuk pertanggungjawabannya adalah terdakwa Fitriana Bin Asmui dipidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.


(45)

(2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan meninggalnya janin. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas perbuatannya dan sopan dalam persidangan

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi warga yang baik, tidak melakukan pergaulan dan seks bebas serta tidak mengulangi tindak pidana aborsi. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana aborsi hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar mereka menyadari kesalahan yang dilakukannya dan tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.


(46)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG

(Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

Oleh

BAGUS SADDAMYEKTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(47)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG

(Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

(Skripsi)

Oleh

BAGUS SADDAMYEKTI 0912011303

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 12 Januari 1991, merupakan putra kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Drs. Haryanto, M.Si dan Ibu Supriyati, S.Pd.

Penulis menempuh pendidikan TK Al-Azhar selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) Al-Azhar diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 16 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(49)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 15

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara ... 20

C. Tindak Pidana Aborsi... 23

D. Saksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi ... 30

III METODE PENELITIAN... 36

A. Pendekatan Masalah... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

E. Analisis Data ... 40

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Gambaran Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/2009/PNTK... 42

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung... 44


(50)

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana pada

Pelaku Tindak Pidana Aborsi... 59

V PENUTUP... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2005.Asas-asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.Bandar Lampung: CV. Sinar Sakti.

_____________.2010.Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP.Bandar Lampung:Universitas Lampung.

_____________. 2011.Delik Tertentu Dalam KUHP.Bandar Lampung:Universitas Lampung. Arief, Barda Nawawi. 2001.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Lamintang, P.A.F. 1984.Hukum Penitensier Indonesia,Bandung: Armico. Moeljatno. 1987.Azas-azas Hukum Pidana.Jakarta:BI na Aksara.

Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian hukum.Bandung:Citra Aditya Poernomo, Bambang. 1981.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta:Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro, Wirjono. 1986.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.Bandung:Eresco.

Rifai, Ahmad. 2010.Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 2005.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Sudarto. 1990.Hukum Pidana L.Semarang:Yayasan Sudarto Syarifudin, Amir. 2008.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana

Ustman, Sabian. 2008.Menuju Penegakan Hukum Responsif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Utarini, Adi. 1996.Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global.Yogyakarta:Universitas Gajah Mada


(52)

Peraturan-Peraturan Perundangan Undang Undang Hak Asasi Manusia Undang Undang Kesehatan

Kitab Undang Hukum Pidana

Sumber Lain

http://www.aborsi.org/definisi.htm. Diakses tanggal 12 oktober 2012 jam 11.24


(53)

MOTTO

Dan siapa yang menempuh suatu jalan yang padanya dia dapatkan ilmu, maka allah akan

memudahkan baginya jalan menuju surga

(HR Muslim)

Kerja dan fungsi memecahkan manusia, sujud sembah yang mengutuhkannya.

Ego dan nafsu menumpas kehidupan, oleh cinta nyawa dikembalikan.

(Emha Ainun Nadjib)

Keputusan yang kita ambil hari ini adalah kehidupan yang akan kita jalani

di masa depan


(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota :Deni Achmad, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(55)

PERSEMBAHAN

Teriri

ng Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan Hidayah

-Nya

Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayahanda dan Ibunda, sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik,

membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan

kasih sayang yang tulus dan memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Kakak ku Yugo beserta adik-adik ku Yogi, Anggun, dan Tata

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan

yang jauh lebih baik dari sekarang.

Sepupuku Siwi, Makruf, Firda, Tyas, Nisa, Devi, Nining, dan Dian

Keluarga besarku atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku

Maya Utari yang selalu memberikan motivasi serta semangat kepada penulis

demi terselesaikannya skripsi ini

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung


(56)

Judul Skripsi : Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

Nama Mahasiswa : Bagus Saddamyekti No. Pokok Mahasiswa : 0912011303

Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19611231 198903 1 023

Deni Achmad. S.H., M.H. NIP. 198103152008011014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(57)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung” (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung 2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung, sekaligus Pembahas I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang penuh dengan kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

4. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H., selaku Pembimbing II dan Pembimbing Akademik, atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

5. Bapak A. Irzal F, S.H., M.H., selaku Pembahas II, masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi


(58)

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

8. Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah memberikan izin penelitian, saran serta masukan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini

9. Tim Percetakan Mitra Mandiri yang selalu memberikan doa dan dukungan pada penulis 10.Teman-teman seperjuanganku: Bro_Kum (Feri, Rifki, Soleh, Yoga, Sena, Aci, Ciendy,

Tari, Yoga Pc, Welin, Ami, Anand, Acil, Andri, Tody dan Ridho)

11.Teman-teman Gombal (Arham, Tanjung, Wahyu, Iqbal, Alfi, Dys, Danang, Rifki, Mandala dan Kamal)

12.Sahabat-sahabatku (Evan, Alden dan Zulhak), terima kasih atas semangat yang selalu diberikan kepada penulis

13.Teman-teman KKN Tematik Unila 2009 Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribawono Kabupaten Lampung Timur

14.Seluruh angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya. 16.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis


(59)

(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Deni Achmad, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003


(2)

PERSEMBAHAN

Teriri

ng Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan Hidayah

-Nya

Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayahanda dan Ibunda, sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik,

membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan

kasih sayang yang tulus dan memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Kakak ku Yugo beserta adik-adik ku Yogi, Anggun, dan Tata

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan

yang jauh lebih baik dari sekarang.

Sepupuku Siwi, Makruf, Firda, Tyas, Nisa, Devi, Nining, dan Dian

Keluarga besarku atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku

Maya Utari yang selalu memberikan motivasi serta semangat kepada penulis

demi terselesaikannya skripsi ini

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung


(3)

Judul Skripsi : Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

Nama Mahasiswa : Bagus Saddamyekti

No. Pokok Mahasiswa : 0912011303

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023

Deni Achmad. S.H., M.H.

NIP. 198103152008011014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H.


(4)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Aborsi di Bandar Lampung” (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung 2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung, sekaligus Pembahas I yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang penuh dengan kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

4. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H., selaku Pembimbing II dan Pembimbing Akademik, atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

5. Bapak A. Irzal F, S.H., M.H., selaku Pembahas II, masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi


(5)

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

8. Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah memberikan izin penelitian, saran serta masukan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini

9. Tim Percetakan Mitra Mandiri yang selalu memberikan doa dan dukungan pada penulis 10.Teman-teman seperjuanganku: Bro_Kum (Feri, Rifki, Soleh, Yoga, Sena, Aci, Ciendy,

Tari, Yoga Pc, Welin, Ami, Anand, Acil, Andri, Tody dan Ridho)

11.Teman-teman Gombal (Arham, Tanjung, Wahyu, Iqbal, Alfi, Dys, Danang, Rifki, Mandala dan Kamal)

12.Sahabat-sahabatku (Evan, Alden dan Zulhak), terima kasih atas semangat yang selalu diberikan kepada penulis

13.Teman-teman KKN Tematik Unila 2009 Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribawono Kabupaten Lampung Timur

14.Seluruh angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya. 16.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis


(6)