PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)

(1)

OF ARBITRATION (BANI)

By Novia Octavia

Indonesia National Board of Arbitration (BANI) is one of institutional arbitration which is having an authority to commit dispute settlement in trading area. As arbitration institutional, BANI existence is regulated by Law Number 30 of 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution. BANI can be worked as a forum of choice in trading dispute settlement with written contract that already agreed by the parties. BANI has own arbitration procedural that can be used as a choice of law for the parties which is regulated within BANI rules and procedures. This research inspected and discussed about trade dispute settlement by Indonesian National Board of Arbitration (BANI) with purposed to get completely, specifically, clearly and systematically description of settlement procedure by BANI.

The kind of research used applied normative law research with descriptive type. Problem approach that used is applied law approach with non judicial case study type. The data as used in this research were primary data which was obtained from written interview inBANI’s secretariat centerand secondary data consist of primary law material, secondary law material and tertiary law material. The data were processed by editing, coding and systematizing data. Then, entire data were analyzed by using qualitative analysis.

The result of research show that trade dispute settlement by BANI can be done

according to BANI’s arbitration rules and procedures, which is started by registration requirement such as the parties point to BANI as a settlement dispute forum by arbitration clause in written agreement and the settlement include in trading area scope. Settlement procedures of trade dispute by BANI is committed according to provision within BANI’s arbitration rules and procedures and Law Number 30 of 1999, which consist of some phase, such as registration phase, investigation and assembly phase, and decision taking and perusal phase by arbitrationcommittee. BANI’s arbitration decision is final, binding and vonnis by judgement. Therefore, the decision is enforceable by the parties after the decision


(2)

Novia Octavia

is registered in the district court, either voluntarily or forcible. Decision execution is bringing upon legal consequences to the parties such as arbitration costs and compensation loading accord with decision earning which is set by arbiter or arbitration committee.

Key words: Arbitration Rules and Procedures, Trade Dispute, Arbitration, BANI


(3)

ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)

Oleh Novia Octavia

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan salah satu lembaga arbitrase yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelesaian sengketa di bidang perdagangan. Keberadaan BANI sebagai lembaga arbitrase diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. BANI dapat dijadikan sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa perdagangan dengan perjanjian tertulis yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. BANI memiliki hukum acara arbitrase sendiri yang dapat dijadikan sebagai pilihan hukum bagi para pihak yang diatur dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI. Penelitian ini mengkaji dan membahas mengenai penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis mengenai penyelesaian sengketa perdagangan yang dilakukan melalui BANI.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan dengan tipe non judicial case study. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari sekretariat BANI pusat melalui wawancara tertulis kepada pihak BANI dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengolahan dilakukan melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data dan sistematisasi data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan analisis data secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa penyelesaian sengketa perdagangan melalui BANI dilakukan berdasarkan Peraturan Prosedur Arbitrase BANI, yang dimulai dengan syarat pendaftaran yaitu adanya klausula arbitrase dalam suatu perjanjian tertulis yang menunjuk BANI sebagai forum penyelesaian sengketa dan sengketa yang terjadi termasuk ke dalam ruang lingkup bidang perdagangan. Prosedur penyelesaian sengketa perdagangan oleh BANI dilakukan


(4)

Novia Octavia

sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI dan UU No. 30 Tahun 1999, yang terdiri atas beberapa tahapan yaitu tahap pendaftaran, tahap pemeriksaan dan persidangan serta tahap pengambilan dan pembacaan putusan oleh majelis arbitrase. Putusan arbitrase BANI bersifat final, binding dan berkekuatan hukum tetap sehingga putusan tersebut harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak setelah didaftarkannya putusan ke Pengadilan Negeri, baik secara sukarela maupun secara paksa. Pelaksanaan putusan arbitrase BANI menimbulkan akibat hukum bagi para pihak berupa pembebanan biaya arbitrase dan ganti kerugian sesuai dengan putusan arbitrase yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Kata kunci : Peraturan Prosedur Arbitrase, Sengketa Perdagangan, Arbitrase, BANI


(5)

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian pada era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang melibatkan pihak-pihak tertentu dalam suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan merupakan salah satu bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dalam masyarakat dan juga memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Selain itu, perdagangan memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan pemerataan pembangunan termasuk hasil-hasilnya serta memelihara kemantapan stabilitas nasional.

Kegiatan perdagangan merupakan salah satu bentuk hubungan hukum perikatan yang diikat oleh perjanjian. Perjanjian tersebut diawali melalui negosiasi

(bargaining process) para pihak sehingga menghasilkan kesepakatan yang tertuang secara tertulis dalam kontrak perdagangan atau dalam suatu sales contract. Sales contract dapat dikatakan sah menurut hukum hanya apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu


(6)

2

perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.1Sales contract tersebut berlaku sebagai alas hukum bagi para pihak yang mengikatkan dirinya sesuai dengan asasPacta Sund Servanda.

Sales contractpada dasarnya tidak hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, tetapi juga mengatur mengenai cara penyelesaian sengketa yang timbul baik saat masa kontrak maupun pada akhir masa kontrak tersebut. Setiap pihak yang telah mengikatkan diri dalam suatu kontrak perdagangan wajib memenuhi hak dan kewajiban masing-masing yang telah disepakati. Apabila terdapat hak maupun kewajiban yang tidak dapat terpenuhi oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, maka kemungkinan akan timbul suatu sengketa akibat dari adanya wanprestasi, perbedaan kepentingan dan perbedaan interpretasi antara pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya, baik individu maupun badan hukum.

Sengketa perdagangan dapat timbul kapan saja dan dimana saja di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis atau perdagangan. Dalam hal telah timbulnya sengketa dalam kegiatan perdagangan, maka para pihak yang bersengketa dapat menuntut pemecahan dan penyelesaian sengketa (solution)

yang cepat dan tepat. Para pihak yang terlibat dalam sengketa perdagangan dapat secara bebas memilih cara penyelesaian dan hukum yang akan dipergunakan

(choice of law)sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam kontrak.

Penyelesaian sengketa dalam kegiatan perdagangan tidak hanya dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) tetapi juga dapat dilakukan melalui alternatif

1


(7)

penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Namun pada saat ini, penyelesaian sengketa di pengadilan tidak lagi menjadi pilihan utama karena dianggap tidak cukup efektif dan efisien untuk menyelesaikan suatu sengketa perdagangan serta dianggap kurang dapat menciptakan suasana yang kondusif karena cenderung mempersulit para pencari keadilan. Selain itu, penyelesaian sengketa perdagangan di pengadilan tidak sesuai dengan semboyan masyarakat bisnis yang menyatakan bahwa “time is money” dan dianggap hanya memakan waktu berlarut-larut tanpa memberikan keputusan yang final dan mengikat sehingga dapat berpengaruh terhadap kelancaran dan produktivitas perusahaan.

Kehadiran Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999) pada tanggal 12 Agustus 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138), menjadikan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya sebagai pilihan penyelesaian sengketa perdagangan di luar pengadilan bagi para pelaku usaha. Tujuan utama UU No. 30 Tahun 1999 ialah menyediakan payung hukum bagi penyelesaian sengketa bisnis nasional maupun yang bersifat internasional, di luar forum pengadilan yang hasilnya dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Pembentukan UU No. 30 Tahun 1999 diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam hal penyelesaian sengketa komersial, serta memperbaiki ambiguitas sistem hukum acara penyelesaian sengketa yang semenjak diterbitkannya Keppres No. 34 Tahun 1981 masih menggunakan hukum acara perdata dan Perma No. 1 Tahun 1990. UU No. 30 Tahun 1999 telah menggunakan asas resiprositas (reciprocity) yang terdiri atas 82 pasal, dimana pasal-pasal tersebut telah mengatur hal-hal terkait dengan arbitrase serta berusaha


(8)

4

mengatur seluruh aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional.

UU No. 30 Tahun 1999 sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan pada dasarnya tidak hanya mengenal arbitrase, tetapi juga alternatif penyelesaian sengketa lainnya yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, penilaian ahli dan konsiliasi. Akan tetapi secara keseluruhan UU No. 30 Tahun 1999 lebih memfokuskan diri kepada pengaturan mengenai arbitrase karena perkembangan perdagangan tanpa batas (borderless trading) pada saat ini menempatkan arbitrase menjadi salah satu lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang paling popular dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan lembaga penyelesaian alternatif lainnya.

Arbitrase dianggap lebih efektif dan efesien karena arbitrase memiliki karakteristik yang berbeda dengan lainnya yaitu putusannya bersifat final dan

binding. Arbitrase memiliki banyak keuntungan jika dibandingkan dengan pengadilan dan penyelesaian sengketa alternatif lainnya, yaitu dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil, para pihak dapat menentukan pilihan hukum (choice of law) untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan putusan


(9)

arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.2

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.3 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan apabila terdapat perjanjian arbitrase yang telah diperjanjikan oleh para pihak, baik berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum de Compromittendo), maupun suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa(Acta Compromise).4

Apabila di dalam kontrak perdagangan yang telah disepakati para pihak terdapat klausula arbitrase yang menunjuk lembaga arbitrase tertentu sebagai forum penyelesaian sengketa, maka UU No. 30 Tahun 1999 secara otomatis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri tempat dimana tergugat berkedudukan. Pengadilan Negeri kehilangan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa perdagangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999,5serta memiliki kewajiban untuk menolak sengketa perdagangan yang berklausula arbitrase.

2

Lihat penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

3

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

4

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 44

5

Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Cetakan ke-III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 191


(10)

6

Para pihak yang bersepakat menyelesaikan sengketa dalam kegiatan perdagangan melalui arbitrase dapat menggunakan prosedur beracara dan peraturan arbitrase sesuai dengan pilihan hukum yang disepakati dalam kontrak perdagangan maupun kontrak arbitrase. Para pihak dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, baik lembaga arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase institusional. Pada saat ini Indonesia memiliki 4 (empat) lembaga arbitrase institusional, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia (BAKTI).6 Seluruh lembaga arbitrase di Indonesia memiliki kewenangan masing-masing untuk menyelesaikan sengketa pada bidang yang telah ditentukan.

Salah satu lembaga arbitrase yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata dalam bidang perdagangan, perindustrian dan keuangan di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI merupakan suatu lembaga arbitrase di Indonesia yang didirikan pada 3 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN).7 BANI merupakan lembaga independen yang terbentuk sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999. Pembentukan BANI secara institusional pada tahun 1977 merupakan momentum awal dari sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia.8

6

N.Krisnawenda, 2009, Managing an Arbitration/ Mediation Service in Relation to Small Medium Enterprise in Indonesia, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 7 Tahun 2009, Published by: BANI Arbitration Center,Jakarta, hlm. 25, diunduh pada www.bani-arb.org pada tanggal 1 Oktober 2012

7

Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 171

8 Ibid


(11)

Kehadiran UU No. 30 Tahun 1999 sekaligus memberikan dampak yang signifikan terhadap jumlah perkara yang didaftarkan ke BANI. Sebelum diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999, jumlah perkara yang masuk untuk ditangani BANI tidak terlalu banyak. Hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang tidak mengetahui keberadaan arbitrase di Indonesia. Namun setelah disahkannya UU No. 30 Tahun 1999, maka jumlah perkara yang masuk untuk ditangani BANI meningkat hingga mencapai 300%.9 Peningkatan perkara yang masuk ke BANI tidak hanya disebabkan oleh kenyataan bahwa UU No. 30 Tahun 1999 memberikan kepastian hukum dalam arbitrase, tetapi juga sejalan dengan meningkatnya kegiatan bisnis di dunia.

BANI memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hanya apabila terdapat perjanjian arbitrase dan klausula arbitrase yang menunjuk BANI sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan. BANI memiliki model klausula arbitrase sendiri, yaitu :

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan dan prosedur BANI oleh arbiter-arbiter yang ditunjuk oleh atau menurut peraturan BANI tersebut”.10 Dengan adanya model klausula arbitrase yang menunjuk BANI sebagai lembaga penyelesaian sengketa perdagangan, maka secara otomatis segala hal yang berhubungan dengan sengketa perdagangan tersebut menjadi kewenangan BANI dan tidak dapat dialihkan kepada lembaga arbitrase maupun lembaga pengadilan lainnya.

9

N. Krisnawenda, 2009,32 Tahun Arbitrase BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 8 Tahun 2009,Published by: BANI Arbitration Center,Jakarta, hlm. 30, diunduh pada www.bani-arb.org pada tanggal 31 Maret 2012

10


(12)

8

Sebagai suatu lembaga arbitrase, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri dalam melakukan penyelesaian sengketa yang menjadi kewenangannya. BANI memiliki anggaran dasar dan peraturan/ prosedur arbitrase (hukum acara arbitrase) yang dapat dijadikan pilihan untuk digunakan dalam melakukan penyelesaian sengketa di bidang perdagangan sesuai dengan pilihan hukum yang telah disepakati kedua belah pihak yang bersengketa. Jika dibandingkan dengan Pengadilan Negeri yang menangani sengketa perdata di Indonesia, BANI memiliki keunggulan yaitu cepat dalam menyelesaikan sengketa dan bersifat konfidensial dalam menjaga nama baik dan kepentingan-kepentingan perdagangan dari pihak-pihak yang bersengketa. Selain itu, para arbiter yang berada dalam daftar arbiter di BANI merupakan arbiter-arbiter yang terakreditasi dan pakar di bidang hukum bisnis.

BANI telah menetapkan hukum acara arbitrase sendiri dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang diberlakukan sejak tanggal 3 Desember 1977 dan telah disesuaikan dengan UU No. 30 Tahun 1999, yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian sengketa perdagangan yang masuk ke BANI. Untuk itu penelitian ini mengkaji tentang penyelesaian sengketa perdagangan yang dilakukan oleh lembaga arbitrase BANI dengan penulisan skripsi yang berjudul : “Penyelesaian Sengketa Perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)”.


(13)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)? Untuk itu, yang menjadi pokok bahasan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi :

1. Syarat pendaftaran sengketa perdagangan pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

2. Prosedur penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

3. Akibat hukum penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

C. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas maka ruang lingkup penelitian ini meliputi lingkup materi berupa ketentuan normatif mengenai arbitrase yang berdasar atas perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan empiris (terapan) berkenaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh suatu lembaga arbitrase institusional di Indonesia, dalam hal ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam penyelesaian sengketa di bidang perdagangan. Sedangkan ruang lingkup bidang ilmu adalah bidang ilmu hukum keperdataan (hukum ekonomi) dalam kajian hukum lembaga penyelesaian sengketa non litigasi, khususnya hukum arbitrase.


(14)

10

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah serta pokok bahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian adalah untuk memperoleh gambaran secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis mengenai :

1. Syarat pendaftaran sengketa perdagangan pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

2. Prosedur penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

3. Akibat hukum penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi 2 (dua) aspek, yaitu: 1. Secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :

a. Upaya pengembangan wawasan keilmuan peneliti, khususnya pemahaman pada bidang ilmu pengetahuan hukum arbitrase.

b. Upaya pengembangan teori ilmu hukum, khususnya di bidang hukum arbitrase.

c. Upaya pengembangan keahlian dalam meneliti dan meningkatkan keterampilan menulis karya tulis ilmiah (skripsi).


(15)

2. Secara praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai : a. Sumbangan pemikiran mengenai hukum arbitrase.

b. Bahan sosialisasi bagi masyarakat pada umumnya dan pengusaha pada khususnya mengenai lembaga arbitrase BANI. Dengan demikian apabila terjadi suatu permasalahan hukum maka masyarakat dan pengusaha dapat menjadikan BANI sebagai pilihan alternatif untuk melakukan penyelesaian sengketa di bidang perdagangan.

c. Bahan referensi bagi pendidikan hukum, peneliti lanjutan, praktisi hukum yang mengemban tugas profesi hukum, pengusaha yang menjalankan kegiatan bisnisnya. Referensi ini dikhususkan pada hal-hal yang berkenaan dengan penyelesaian sengketa alternatif berupa arbitrase dalam penyelesaian sengketa perdagangan pada khususnya.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Ruang Lingkup Arbitrase 1. Istilah dan Definisi Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dari bahasa Belanda “arbitrate” dan bahasa Inggris

“arbitration”. Kata arbitrase juga berasal dari bahasa Latin, yaitu “arbitrare”

yang mana dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kekuasaan untuk

menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”. Istilah arbitrase dikaitkan dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup berdasarkan kebijaksanaan.1

Penyelesaian sengketa pada arbitrase dilakukan berdasarkan persetujuan bahwa pihak bersengketa akan tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk secara langsung. Oleh karena itu arbitrase disebut sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan

1


(17)

diadili oleh hakim yang adil yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih, serta menghasilkan keputusan yang mengikat bagi kedua belah pihak.2

Arbitrase menurut Sudargo Gautama didefinisikan sebagai :

“Cara-cara penyelesaian hakim partikelir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”3

M. N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase, dimana yang dimaksud arbitrase adalah sebagai berikut :

“Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak”.4

Batasan arbitrase yang lebih rinci kemudian juga diberikan oleh Abdulkadir Muhammad :

“Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah terjadinya sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata”.5

2

M.Yahya Harahap, 2003, Arbitrase : Ditinjau dari RV, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, UNCITRAL, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60

3

Sudargo Gautama, 1979,Arbitrase Dagang Internasional, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 5 4

A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 67-68

5

Rachmadi Usman, 2003,Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 108


(18)

14

Secara yuridis, Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan definisi arbitrase yaitu sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

2. Dasar Hukum Arbitrase

Arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Arbitrase bukan merupakan hal yang baru karena keberadaan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Belanda di Indonesia yaitu RV (Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering) sampai dengan keluarnya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

a. Pasal 615 s/d Pasal 651 RV(Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering)

Ketentuan yang mengatur tentang arbitrase terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (RV). RV merupakan Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Eropa saja.

Pasal-pasal pada RV yang mengatur tentang arbitrase adalah meliputi lima bagian sebagai berikut :6

(1) Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 mengatur tentang Persetujuan Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter.

(2) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan Perkara di depan Arbitrase.

6

Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 27-28


(19)

(3) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan Arbitrase. (4) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang Upaya-upaya

Hukum terhadap Putusan Arbitrase.

(5) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya Perkara Arbitrase.

b. Pasal 377 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan Pasal 705 RBG

(Reglement Buiten Govesten)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan bumiputra, adalah HIR (untuk Jawa dan Madura) dan RBG (untuk Luar Jawa dan Madura). Arbitrase sebenarnya tidak diatur secara langsung di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata untuk golongan bumiputera, baik di dalam HIR maupun RBG.7Hanya saja lewat Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG, yang menyatakan sebagai berikut bilamana orang Bumiputera dan Timur Asing menghendaki perselisihan tersebut diputuskan oleh arbitrase, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan untuk perkara yang berlaku bagi orang Eropa. Dengan adanya pasal tersebut, maka sebenarnya telah terdapat landasan hukum bagi golongan bumiputra untuk dapat menggunakan sistem pemeriksaan perkara lewat arbitrase secara prosedural.8

c. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa semua peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Demikian pula halnya dengan HIR yang diundangkan pada

7

Munir Fuady,loc. cit. 8Ibid


(20)

16

zaman kolonial Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan penggantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.

d. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan tentang lembaga arbitrase dapat ditemukan dalam memori pada penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.

e. Keppres No. 34 Tahun 1981

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention on the Recognition

and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” yang kemudian disingkat menjadiNew York Convention(1958), yaitu Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New York, yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

f. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap

Dengan disahkannya Konvensi New York oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Keppres No. 34 Tahun 1981, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, pada


(21)

tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya Perma tersebut.

g. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam perjalanan sejarah hukum selanjutnya, maka ketentuan dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG telah dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang sejak disahkan dan diundang-undangkannya UU No. 30 Tahun 1999, pada tanggal 12 Agustus 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sebagaimana disebutkan dalam bab XI ketentuan penutup pada Pasal 81, sebagai berikut :

“Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847 : 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad1941 : 44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 : 227), dinyatakan tidak berlaku.”

Dengan keluarnya UU No. 30 Tahun 1999 ini, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat.9

3. Objek Sengketa Arbitrase

Objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa-sengketa tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan

9Ibid, hlm. 39


(22)

18

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.

a. Definisi Perdagangan

Perdagangan menurut kamus hukum, yang berasal dari kata “dagang”, berarti perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Barang yang menjadi objek perdagangan pada umumnya adalah barang bergerak berwujud dan tidak berwujud. Barang bergerak berwujud dapat berupa barang keperluan perusahaan, kantor, sekolah, rumah tangga dan rumah sakit. Barang bergerak tidak berwujud dapat berupa surat-surat berharga yang dijualbelikan di pasar modal, hak kekayaan intelektual, dan piutang-piutang lainnya.10Pada pokoknya perdagangan mempunyai tugas untuk : 1) Membawa/memindahkan barang-barang dari tempat yang berkelebihan

(surplus) ke tempat yang berkekurangan (defisit);

2) Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen;

3) Menimbun dan menyimpan barang-barang tersebut dalam masa yang berkelebihan sampai mengancam bahaya kekurangan.11

b. Definisi dan Ruang Lingkup Sengketa Perdagangan

Sengketa perdagangan merupakan sengketa yang berasal akibat adanya cidera janji atau kesalahpahaman dalam suatu hubungan perdagangan antara pedagang yang satu dengan pedagang lainnya. Secara yuridis, ruang lingkup sengketa perdagangan yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase menurut 10Ibid

, hlm. 18-19 11

C.S.T Kansil, 1985, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 3


(23)

Penjelasan dalam Pasal 66 huruf (b) UU No. 30 Tahun 1999 adalah kegiatan-kegiatan di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.

B. Perjanjian Arbitrase 1. Perjanjian pada Umumnya

Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu persetujuan diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Namun para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan terlalu luas.12 Tidak lengkap karena hanya berkenaan dengan perjanjian sepihak saja dan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam hukum keluarga yang merupakan perjanjian juga namun memiliki sifat yang berbeda.

Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila memenuhi empat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan sebagai syarat subyektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.13

12

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 65

13


(24)

20

2. Arbitrase sebagai Perjanjian

Mengacu pada rumusan definisi arbitrase yang telah dijabarkan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999, maka dapat dikatakan bahwa arbitrase lahir atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak, yang berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata melalui arbitrase. Di dalam UU No. 30 Tahun 1999 sendiri, perjanjian arbitrase menurut Pasal 1 angka 3 didefinisikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Arbitrase merupakan kesepakatan secara tertulis dari para pihak, yang fokusnya ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase merupakan pacta sund servanda yang mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang sah (legal agreement) mengikat para pihak atau agreement or promise must be kept, oleh karena itu para pihak harus mentaatinya.14 Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

14


(25)

Sifat dari perjanjian arbitrase sendiri merupakan perjanjian accesoir bukan

perjanjian “bersyarat” atau voorwaardelijke verbentenis. Perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian ketentuan pada Pasal 1253-1267 KUH Perdata.15 Oleh karena itu, fokus dari perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian bukan pada masalah pelaksanaan dari perjanjian. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa arbitrase berasal dari adanya suatu perjanjian. Dimana atas perjanjian tersebut, para pihak harus mengikatkan diri dengan didasari atas mutual consent

atau “kesepakatan bersama” untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan peradilan.

Dengan adanya perjanjian arbitrase secara tertulis maka dengan sendirinya Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat di dalam suatu perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri juga wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No. 30 Tahun 1999.16

3. Klausula Arbitrase

Jika dilihat dari rumusan Pasal 1 Ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu kesepakatan berupa17:

15Ibid

, hlm. 61 16

Rachmadi Usman,op.cit., hlm. 119-120 17


(26)

22

a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.

Klausula arbitrase (arbitration clause) merupakan persetujuan yang biasanya disepakati oleh kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian. Dalam praktek dan penulisannya, persetujuan arbitrase selalu disebut klausula arbitrase. Jenis klausula perjanjian arbitrase dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula arbitrase yang berbentukacta compromise.18

a. Pactum de Compromittendo

Bentuk klausula arbitrase pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan terjadi di kemudian hari kepada lembaga arbitrase atau arbitrasead-hoc. Klausula arbitrase ini dapat dimuat dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri.19 Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendoterdapat pada Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

18

Salim H. S, 2004, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 146

19


(27)

b. Acta Compromise

Bentuk klausula arbitrase acta compromise merupakan akta yang dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok.20 Dalam perjanjian pokok, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase. Klausula arbitrase baru dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi. Dalam hal ini, para pihak bersengketa bersepakat untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Persyaratan pembuatan akta kompromis diatur dalam Pasal 9 Ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999, yaitu :

“Perjanjian akta kompromis harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase, tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, dan pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.”

Jika akta kompromis tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam UU No. 30 Tahun 1999, maka akta kompromis menjadi batal demi hukum.21

C. Jenis-Jenis Arbitrase

Arbitrase sebagai salah satu instrumen penyelesaian sengketa para pihak di luar lembaga pengadilan telah berkembang sangat baik. Dalam prakteknya terdapat 2 (dua) macam arbitrase, yaitu arbitrase ad-hoc dan arbitrase institusional. Kedua jenis arbitrase tersebut diatur dalam RV dan UU No. 30 Tahun 1999. Di Indonesia, definisi lembaga arbitrase dijabarkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8

20Ibid

, hlm. 123 21Ibid


(28)

24

UU No. 30 Tahun 1999 yaitu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

a. ArbitraseAd-hoc

Arbitrase ad-hoc disebut juga sebagai arbitrase volunteer atau arbitrase perorangan. Arbitrasead-hocadalah arbitrase yang tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga. Arbitrase ad-hoc dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula.22 Pembentukan arbitrasead-hoc dilakukan setelah sengketa terjadi. Ciri pokok arbitrasead-hocadalah penunjukan para arbiternya secara perorangan oleh masing-masing pihak yang bersengketa sesuai dengan kesepakatan para pihak. Arbitrase ad-hoc tidak memiliki aturan tata cara sendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa karena tidak terikat dan terkait dengan badan arbitrase manapun.23 Oleh karena itu, arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya dan mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan yang berlaku.24

b. Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional (institutional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”. Arbitrase institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga 22Ibid

, hlm. 127 23

Rachmadi Usman,loc. cit. 24


(29)

(institution) tertentu. Menurut M. Yahya Harahap, arbitrase institusional sengaja didirikan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.25 Pada umumnya arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga institusional sendiri.

Pada saat ini di Indonesia terdapat 4 (tiga) lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan memberikan jasa administrasi arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) dan Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia (BAKTI).26

D. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 1. Sejarah dan Tujuan Pembentukan

Dengan melihat kebutuhan para pengusaha Indonesia, maka pada tahun 1977 Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) sebagai wadah himpunan pengusaha Indonesia yang dibentuk oleh Pemerintah Orde Baru melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 49 Tahun 1973 memprakarsai pendirian lembaga arbitrase melalui akta pendirian yang dibuat di muka notaris. Lembaga

25

A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino,op. cit., hlm. 87 26

N. Krisnawenda, 2009, Managing an Arbitration/ Mediation Service In Relation To Small Medium Enterprise in Indonesia, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 7 Tahun 2009, Published by: BANI Arbitration Center,Jakarta, hlm. 25, diunduh pada www.bani-arb.org pada tanggal 1 Oktober 2012


(30)

26

arbitrase yang didirikan oleh Kadin tersebut bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat BANI. BANI merupakan lembaga swasta yang otonom dan independen, dimana keputusan-keputusan yang diambil oleh arbiter di BANI tidak dapat dicampuri oleh kekuasaan manapun. Pendirian BANI pada dasarnya diprakarsai oleh tiga pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H., Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, yang dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis.27 Selain itu, pendirian BANI memperoleh dukungan dan persetujuan dari Menteri Kehakiman, Menteri Negara Ekuin/Ketua Bappenas, Ketua Mahkamah Agung, dan Presiden Republik Indonesia.28

BANI merupakan salah satu lembaga arbitrase yang bersifat nasional dan merupakan lembaga independen yang memberikan jasa beragam tidak hanya berkenaan dengan arbitrase, tetapi juga bentuk-bentuk lain dari penyelesaian di luar pengadilan. BANI juga merupakan suatu badan yang berdirinya bebas (otonom) serta untuk menjamin integritas dinyatakan bahwa BANI tidak dapat dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain.29 Prakarsa pendirian BANI oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri Indonesia, yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kadin dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk pemberian surat keterangan,

27

http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html diakses tanggal 6 Mei 2012 pukul 11.23 WIB 28

Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 625

29


(31)

arbitrase dan rekomendasi mengenai bisnis pengusaha Indonesia termasuk legalisasi surat-surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya.30

BANI telah mengeluarkan suatu peraturan prosedur arbitrase yang mulai diberlakukan pada tanggal 3 Desember 1977. BANI berpusat di Jakarta dan cabang-cabang lainnya yang tersebar di Indonesia dimana cabang BANI didirikan di tempat yang dianggap memerlukan suatu lembaga arbitrase, yaitu kota-kota besar yang memiliki lintas perdagangan yang besar. BANI memiliki perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia yaitu Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam. Untuk dapat mengajukan suatu persoalan arbitrase melalui BANI, suatu persetujuan atau suatu klausula yang tertulis dalam perjanjian kedua belah pihak harus menyatakan bahwa “menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada BANI” atau kepada suatu prosedur arbitrasedengan “menundukan diri kepada peraturan prosedur BANI”.

Dengan dibentuknya BANI sebagai lembaga arbitrase institusional, maka terdapat tujuan atas berdirinya BANI yaitu sebagai berikut :31

a. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, franchise, konstruksi, pelayaran/maritim, lingkungan

30

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 99

31

Jimmy Joses Sembiring, 2011,Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Visimedia, Jakarta, hlm. 99


(32)

28

hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.

b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan peraturan prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.

c. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.

d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

2. Tugas BANI

Sesuai dengan anggaran dasar BANI yang dibuat pada tahun 1985, BANI berwenang menyelesaikan sengketa perdata antara pengusaha Indonesia atau asing. BANI juga berwenang untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat ataubinded advices.32

Lingkup tugas BANI adalah penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian mengenai soal perdagangan, industri dan keuangan (business contract). Lebih rinci dapat disimpulkan bahwa seperti yang terlihat dalam naskah-naskah yang dikeluarkan oleh BANI, maka yang menjadi ruang lingkup tugas arbiter mencakupi kasus-kasus, yaitu korporasi, asuransi, finance, paten,

32

Firoz Gaffar dan Ifdahl Kasim, 1999, Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum Proyek Bank Dunia, Terjemahan Niar Reksodiputro, CYBERconsult, Jakarta, hlm. 99


(33)

hak cipta, penerbangan, telekomunikasi, ruang angkasa, kerja sama, pertambangan, angkutan laut dan udara, lingkungan hidup, fabrikasi, industri, perdagangan, lisensi, keagenan, hak milik intelektual, design, konsultasi, distribusi, maritim, konstruksi, perkapalan dan penginderaan jauh.

BANI telah mengadakan kesepakatan kerjasama dengan berbagai lembaga di negara-negara, sebagai berikut :33

1) The Japan Commercial Arbitration Association

2) The Netherlands Arbitration Institute

3) The Korean Commercial Arbitration Board

4) Australian Centre for International Commercial Arbitration

5) The Philippines Dispute Resolution Centre

6) Hong Kong International Arbitration Centre

7) The Foundation for International Commercial Arbitration and Alternative Dispute Resolution (SICA-FICA).

3. Susunan Pengurus Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

Sebagai sebuah organisasi atau badan, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas ketua, wakil ketua dan beberapa orang anggota tetap, beberapa anggota tidak tetap dan sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, wakil ketua dan para anggota tetap dan sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan atas usulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Untuk pertama kali mereka diangkat atas pengusulan Tim

33


(34)

30

Inti pendiri Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Jangka waktu pengangkatan jabatan tersebut adalah untuk waktu 5 (lima) tahun, setelah itu mereka dapat diangkat kembali.34

Ketua, wakil ketua dan para anggota merupakan pengurus (board of managing directors) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan sekaligus menjadi arbiter, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia adalah ex officio penasihat. Untuk menjalankan fungsi ex officio penasihat, Ketua Umum Kadin dapat dibantu oleh anggota-anggota Dewan Pengurus Harian Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).35

Adapun susunan kepengurusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada saat ini adalah sebagai berikut :

Ketua : H. Priyatna Abdurrasyid Wakil Ketua : H. Husseyn Umar Wakil Ketua : Harianto Sunidja Sekretaris Jenderal: N. Krisnawenda

Sedangkan yang menjalankan fungsiex officio (terkait dengan jabatan) penasihat dalam Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), adalah :

1. Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja, S.H., LL.M. 2. Prof. Dr. I. H. Ph. Diederiks-Verschoor

3. Prof. Dr. Karl-Heinz Bockstiegel 4. Prof. Dr. Colin Yee Cheng Ong

34

A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, dkk,op.cit., hlm. 94 35


(35)

E. Kerangka Pikir

Keterangan :

Kegiatan perdagangan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang didalamnya terdapat salah satu bentuk hubungan hukum perikatan yang berupa perjanjian perdagangan atau perjanjian penjualan (sales contract) yang dibuat dan disepakati antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lainnya. Hubungan

Pelaku Usaha A Sengketa

Perdagangan

Pelaku Usaha B

Compromise Akte

(Setelah timbul sengketa)

Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI)

Syarat Pendaftaran Sengketa

Prosedur Penyelesaian

Sengketa

Akibat Hukum Penyelesaian

Sengketa

Pactum de Comprommintendo

(Sebelum timbul sengketa)


(36)

32

hukum tersebut merupakan hubungan yang terjadi antara subjek hukum menurut ketentuan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang harus terpenuhi satu sama lain. Suatu kontrak perdagangan tidak hanya terbatas pada aturan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, tetapi juga terdapat pengaturan mengenai cara penyelesaian sengketa yang timbul didalamnya. Apabila di dalam perjanjian kedua belah pihak telah bersepakat untuk melakukan penyelesaian melalui arbitrase, maka Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk menolak perkara yang masuk dan kehilangan haknya untuk turut campur dalam sengketa perdagangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999. Dalam perjanjian perdagangan yang dibuat kedua belah pihak tersebut harus memuat klausula arbitrase yang menunjuk suatu lembaga arbitrase untuk menyelesaikan perkara yang mungkin timbul di kemudian hari (pactum de comprommitendo)atau para pihak membuat perjanjian arbitrase tersendiri yang terpisah dari perjanjian perdagangan setelah timbul sengketa(acta compromise).

Salah satu lembaga arbitrase institusional yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI memiliki tata cara sendiri yang diatur dalam peraturan prosedur arbitrase atau lebih dikenal sebagai rules and procedure BANI. Peraturan prosedur arbitrase BANI dapat dijadikan sebagai pilihan hukum

(choice of law) bagi para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan melalui BANI apabila memenuhi persyaratan yang diatur oleh BANI. Setelah persyaratan yang dimaksud telah terpenuhi, maka suatu prosedur penyelesaian sengketa akan dilaksanakan sesuai dengan prosedur


(37)

arbitrase BANI. Dengan pelaksanaan prosedur penyelesaian sengketa tersebut, maka timbullah suatu putusan arbitrase yang pada akhirnya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak.


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstracto) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concerto). Dalam penelitian ini aspek hukum yang dikaji adalah kajian yang berkenaan dengan kelembagaan hukum dan subjek hukum. Kelembagaan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Penelitian ini meneliti peraturan tertulis(in abstracto) dan implementasi dari peraturan tertulis arbitrase yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa terhadap peraturan pelaksana Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga arbitrase dalam rangka penyelesaian sengketa. Dengan demikian, penelitian ini akan meneliti mengenai penyelesaian sengketa perdagangan melalui BANI sebagai lembaga arbitrase, yang juga telah diatur dalam hukum positif tertulis di Indonesia.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif. Penelitian hukum deskriptif adalah penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan


(39)

memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu. Tujuan penelitian hukum deskriptif ini adalah untuk memberikan gambaran secara lengkap, jelas, rinci dan sistematis tentang syarat, prosedur dan akibat hukum dari penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh suatu lembaga arbitrase, dalam hal ini BANI, dalam melakukan penyelesaian sengketa perdagangan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan hukum yang berlaku.

C. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan (applied law approach), yaitu penerapan ketentuan normatif pada peristiwa hukum dengan menggunakan tipe non judicial case study. Tipe

non judicial case studymerupakan pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik. Kalaupun terjadi suatu konflik, pengakhiran konflik kepentingan yang timbul diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri tanpa campur tangan pengadilan. Pendekatan dilakukan dengan melihat penerapan hukum normatif dalam suatu proses penyelesaian sengketa perdagangan di luar pengadilan yang dilakukan oleh lembaga arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

D. Data dan Sumber Data

Sebagai suatu penelitian hukum normatif-empiris, maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer.


(40)

36

1. Data Sekunder

Data sekunder di bidang hukum dibedakan atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer (primary law material) yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan mengikat, yaitu :

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(3) Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia. (4) Anggaran Dasar Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer berupa artikel ilmiah, buku-buku, hasil penelitian hukum yang ditulis para ahli atau bahan-bahan yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier (tertiary law material), yaitu bahan-bahan penunjang lain yang ada relevansinya dengan pokok permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain kamus, jurnal, majalah, surat kabar dan internet.1

2. Data Primer

Data primer meliputi data perilaku terapan dari ketentuan normatif terhadap peristiwa hukumin concerto.2Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui

1

Abdulkadir Muhammad, 2004,Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 121

2Ibid


(41)

wawancara tertulis dengan pihak BANI yang bertujuan untuk mengetahui secara rinci dan jelas mengenai penyelesaian sengketa perdagangan melalui BANI. Wawancara tertulis tersebut dilakukan di Kantor Pusat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang berkedudukan di Gedung Wahana Graha Lt. 2, Jl. Mampang Prapatan No. 2, Jakarta Selatan 12760 dan jawaban diberikan oleh Sekretaris Jenderal BANI yaitu Dr. N. Krisnawenda, M.Si., M.H., FCBArb.

E. Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris, maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui metode studi pustaka (bibliography study), metode wawancara dan metode studi dokumen (document study). Studi pustaka dilakukan melalui identifikasi atas sumber hukum dan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang dibutuhkan seperti buku/literature, perundang-undangan serta sumber lainnya yang relevan dengan pokok bahasan. Wawancara dilakukan melalui pengajuan pertanyaan secara tertulis kepada sekretariat BANI Pusat di Jakarta, yang digunakan sebagai bahan pendukung dalam pembahasan. Sedangkan studi dokumen dilakukan melalui pengkajian informasi hukum tertulis yang tidak dipublikasikan secara umum. Studi dokumen dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Menentukan sumber data sekunder yaitu berupa perundang-undangan,

dokumen hukum, catatan hukum, dan literature bidang ilmu pengetahuan hukum.


(42)

38

3. Menginventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara membaca, mempelajari, mengutip/ mencatat dan memahami maknanya. 4. Pengkajian data yang sudah terkumpul dengan cara menelaah

literature-literature dan bahan kepustakaan lainnya agar mempermudah pembahasan penelitian ini serta guna menentukan relevansinya dengan rumusan masalah dan pokok bahasan.

F. Pengolahan Data

Setelah data primer dan data sekunder terkumpul, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut :

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu untuk menentukan apakah data yang terkumpul sudah lengkap, masih ada kesalahan, dan apakah sudah sesuai/relevan dengan pokok bahasan.

2. Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data seperti perundang-undangan, buku/literature, atau dokumen.

3. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menyusun dan menempatkan data yang diperoleh secara sistematis dan disesuaikan dengan kerangka pokok bahasan, sehingga mempermudah untuk dilakukannya analisis data.

G. Analisis Data

Baik data primer maupun data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah, selanjutnya kedua bahan tersebut akan dianalisis dan dibahas secara kualitatif yaitu dengan menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat


(43)

yang teratur, runtun, logis, tidak tumpak tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada dan dapat menarik kesimpulan.3

3Ibid


(44)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Syarat pendaftaran sengketa perdagangan pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yaitu adanya model klausula arbitrase BANI atau klausula arbitrase yang menunjuk BANI dalam suatu perjanjian tertulis dan sengketa perdagangan yang terjadi termasuk ke dalam kegiatan-kegiatan di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Apabila forum penyelesaian telah diperjanjikan sebelum timbul sengketa, maka pihak yang memohonkan arbitrase wajib melakukan pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase kepada pihak termohon dan sekretariat BANI. Sebaliknya, jika forum penyelesaian diperjanjikan setelah timbul sengketa maka para pihak dapat membuat pernyataan yang berisi persetujuan penyerahan sengketa pada BANI dengan dihadiri ketua BANI dan saksi-saksi.

2. Prosedur penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dimulai dengan tahap pendaftaran dan pengajuan permohonan arbitrase pada sekretariat BANI dengan membayar biaya arbitrase yang ditentukan oleh BANI. Setelah permohonan diterima oleh


(45)

Ketua BANI, tahap berikutnya adalah penyampaian jawaban oleh termohon atas permohonan pemohon, penunjukan arbiter atau majelis arbitrase yang akan memeriksa dan memutus perkara, pemanggilan para pihak oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemeriksaan sengketa dan persidangan yang terdiri dari upaya penyelesaian damai, replik dan duplik, pembuktian, kesimpulan, dan penutupan persidangan. Prosedur arbitrase BANI diakhiri dengan pengambilan dan pembacaan putusan atas sengketa perdagangan tersebut.

3. Akibat hukum dari penyelesaian sengketa perdagangan melalui BANI timbul bersamaan dengan dikeluarkannya putusan arbitrase BANI yang bersifatfinal

dan binding. Putusan arbitrase BANI memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak setelah putusan didaftarkan ke Pengadilan Negeri, baik secara sukarela maupun paksa. Pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase BANI menimbulkan akibat hukum yaitu akibat hukum bagi para pihak sesuai dengan putusan yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase dan akibat hukum bagi arbiter yaitu berakhirnya tugas arbiter dan memperoleh hak atas honorarium arbiter dari masing-masing pihak.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah apabila terdapat suatu sengketa di bidang perdagangan akan lebih baik untuk dilakukan penyelesaiannya melalui BANI daripada pengadilan Negeri. Selain prosesnya yang cepat dan konfidensial, penyelesaian melalui BANI dapat membantu mengurangi beban perkara yang menumpuk di Pengadilan Negeri.


(46)

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)

(Skripsi)

Oleh

NOVIA OCTAVIA (0912011219)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(47)

(48)

(49)

A. BUKU/LITERATUR

Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Arbitration Alternative Dispute Resolution ADR) Suatu Pengantar. PT. Fikahati Aneska dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Jakarta

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Fuady, Munir. 2003. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Gaffar, Firoz dan Ifdahl Kasim. 1999. Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum Proyek Bank Dunia. Terjemahan Niar Reksodiputro. CYBERconsult. Jakarta

Gautama, Sudargo. 1979. Arbitrase Dagang Internasional. Penerbit Alumni. Bandung

---. 1999.Undang-Undang Arbitrase Baru 1999. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

H. S, Salim. 2004. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Sinar Grafika. Jakarta

Harahap, M. Yahya. 2003. Arbitrase : Ditinjau dari RV, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, UNCITRAL, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Sinar Grafika. Jakarta

Hendra Winarta, Frans. 2012.Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. Sinar Grafika. Jakarta

Joses Sembiring, Jimmy. 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase). Visimedia. Jakarta


(50)

Kaligis, O.C. 2004.Arbitrase dalam Praktek. O.C Kaligis & Associates. Jakarta Kansil, C.S.T. 1985. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia.

Aksara Baru. Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

---. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

---. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Rahmat, A. Rosyadi dan Ngatino. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Sasongko, Wahyu. 2010. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung

Subekti, R. 1981.Arbitrase Perdagangan. Penerbit Bina Cipta. Bandung ---. 2002.Hukum Perjanjian. Intermasa. Jakarta

Sudiarto, H dan Asyhadie, Zaeni. 2004.Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta

Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan. PT. Tatanusa. Jakarta

Syahrani, Riduan. 2004.Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Cetakan ke-III. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Usman, Rachmadi. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta

B. JURNAL

Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 7 Tahun 2009. Juli 2009.Published by : BANI Arbitration Center. Jakarta

Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 8 Tahun 2009. Oktober 2009.


(51)

C. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Anggaran Dasar Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

D. WEBSITE


(52)

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)

Oleh

NOVIA OCTAVIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Jurusan Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(53)

(BANI)

Nama Mahasiswa : Novia Octavia

Nomor Pokok Mahasiswa : 0912011219

Bagian : Hukum Keperdataan

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Rilda Murniati, S.H., M.Hum. Ahmad Zazili, S.H., M.H. NIP 19700925 199403 2 002 NIP 19740413 200501 1 001

2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum. NIP 19580527 198403 1 001


(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Rilda Murniati, S.H., M.Hum. ...

Sekretaris :Ahmad Zazili, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S NIP 19621109 198703 1 003


(55)

“Let go of the past and go for future, go confidently in the direction of your dreams. Live the life you imagined”

(Henry David Thoreau)

“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan

untuk berhasil” (Mario Teguh)

“Every great dream begins with a dreamer. Always remember, you have within you the strength, the patience, and the passion to reach for the stars to change

the world”

(Harriet Tubman)

“Tuhan menaruhmu di tempatmu yang sekarang, bukan karena kebetulan. Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan.

Mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan dan air mata” (Dahlan Iskan)

“A hurdle is something to be overcome and not to stop you from progressing”


(56)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1991 yang merupakan anak ketiga dari pasangan Bapak Anthonie Lapian (Alm.) dan Ibu Eka Meylinda.

Penulis mengawali pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Islam Amaryllis pada tahun 1997, dilanjutkan di SDN Mekar Jaya VIII dan diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan pada tahun 2006 di SMP Yapemri, dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Sejahtera 1 Depok yang diselesaikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2009, penulis diterima di Fakultas Hukum, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa yaitu UKM-U English Society dan HIMA Perdata. Penulis pernah menjabat sebagai Head of Public Relations Department pada UKM-U ESo dan Sekretaris Umum HIMA Perdata. Penulis juga aktif mengadakan berbagai perlombaan berbahasa Inggris, baik tingkat nasional maupun provinsi. Pada tahun 2012, penulis mewakili Universitas Lampung dalam kompetisi news casting tingkat Asia “the 2012 Asian English Olympics (AEO) di Jakarta dan Kompetisi news castingtingkat nasional oleh Binus Internasional pada tahun 2011.


(57)

1. Nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan kedua belah pihak).

(Kalau surat permohonan diajukan juru kuasa, maka surat kuasa khusus ybs. Harus dilampirkan)

Pemohon :

Termohon :

2. Dasar Permohonan

3. Uraian singkat tentang perkara yang jadi sengketa : dan apa yang dituntut.


(58)

4. Yang bertanda tangan dibawah ini menghendaki dengan sungguh-sungguh agar sengketa tsb. Diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir oleh BANI menurut peraturan Prosedur BANI.

………,……….

Pemohon


(59)

Atas Berkah dan Ridho Allah SWT, Ku persembahkan karya sederhana ini kepada :

Semua pihak yang selalu mendukung, mengasihi dan menyayangiku..

Mama, Papa,Sidi dan Siti yang selalu berdo’a atas keberhasilan, kesuksesan dan

kebahagiaanku, semoga suatu saat nanti aku dapat mengukir rasa bangga dan mempersembahkan impian-impian terbaikku..

Keluarga Besar H. Badrul Hadi dan sanak saudara yang telah memberikan motivasi, kepercayaan dan perhatiannya..

dan


(60)

ii

SANWACANA

Puji serta syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan berkah, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul :

“Penyelesaian Sengketa Perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI)”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata I dan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Lampung. Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bimbingan, saran, motivasi dan kritik membangun dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. sebagai Dekan Fakultas Hukum Unila.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum. sebagai Ketua Bagian Hukum Keperdataan.

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan. 4. Ibu Elly Nurlaili, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik.

5. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum. sebagai Pembimbing I yang senantiasa memberikan waktu, saran, masukan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat selama proses perbaikan dan penyelesaian penulisan skripsi ini.


(61)

6. Bapak Ahmad Zazili, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II yang telah memberikan waktu, saran, masukan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat selama perbaikan dan penyelesaian penulisan skripsi ini.

7. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum. sebagai Pembahas I yang telah memberikan waktu, saran dan bimbingannya guna perbaikan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum. sebagai Pembahas II yang telah memberikan waktu, saran dan bimbingannya guna perbaikan dan penyelesaian skripsi ini. 9. Ibu Rohaini, S.H., M.H. yang sempat menjadi Pembimbing II yang telah

memberikan waktu, saran, masukan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat guna perbaikan skripsi ini.

10. Seluruh dosen Fakultas Hukum Unila, terima kasih atas setiap ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan di Fakultas Hukum Unila.

11. Tim Sekretariat BANI di Jakarta yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya.

12. Bapak Sutarno, Ibu Siti dan Pak Tris terima kasih atas arahan dan bantuan yang diberikan selama ini.

13. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Unila atas segala bantuan dan kemudahan selama proses pendidikan.

14. Mama, Papa, Sidi dan Siti yang senantiasa menyayangi dengan tulus, memberikan waktu dan tenaga untuk memotivasi dan mendoakan keberhasilan dan kesuksesan. Semoga kelak dapat membahagiakan dan mempersembahkan sebuah kebanggaan untuk kalian. Aamiin.


(62)

iv

15. Keluarga besar H. Badrul Hadi yang telah mendukung, memberikan motivasi, perhatian dan menciptakan suasana yang kondusif sehingga akhirnya penulisan skripsi dapat terselesaikan.

16. Keluarga besar UKM-U English Society (ESo) Unila (ESoers) atas kebersamaan, kekeluargaan, motivasi, semangat berkompetisi dan pengalaman-pengalaman berharga yang tidak terlupakan yang telah diberikan selama ini. Semoga ESo tetap menjadi English Club yang produktif dan kompak sehingga dapat terus mencetak mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi.

17. Teman-teman HIMA Perdata 2009 Jasmine Hanafi, Rini Rima Anggraeni, Vina Ruzikna Royyen, Lia Anggraini, Tyas Hartanti M, Adenty Novalia, Chandra Evita, Clara Novianti, Indah Puspitarani, Cicha Deswari, Citra Ratu dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas kekompakan dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini. Semoga teman-teman HIMA Perdata tetap dapat terus menjaga kekompakan dan menjalin hubungan yang baik sampai waktu yang tidak ditentukan.

18. Teman-teman seperjuangan selama proses perkuliahan Renti Fifiyanti Bujung, Rintar Zahrina Ali, Sri Sunarti, Ferlyani Gustia, Fitri Aprilia, Elvira Lieshanty, Roberta Ratri dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Tetaplah menjalin komunikasi dan berjuanglah untuk menggapai semua impian.

19. Teman-teman kos yang telah menemani dan menghabiskan waktu bersama selama 3 (tiga) tahun atas kekeluargaan, kebersamaan dan dukungan yang diberikan.


(63)

20. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung atas dukungan dan semangat yang diberikan.

21. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kec. Margo Mulyo Kab. Tulang Bawang Barat (Tubaba) atas semua kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

22. Semua pihak yang telah memberikan dukungan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah membalas kebaikan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Bandarlampung, Februari 2013 Penulis


(64)

vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRACT ABSTRAK HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP MOTTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL Halaman

I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………….……….……… 1

B. Rumusan Masalah….……..……….…. 9

C. Ruang Lingkup Penelitian ...……….………. 9

D. Tujuan Penelitian ………..……… 10

E. Kegunaan Penelitian .….………... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA………. 12

A. Definisi dan Ruang Lingkup Arbitrase ……..………... 12

1. Istilah dan Definisi Arbitrase…….……… 12

2. Dasar Hukum Arbitrase………..….……... 14

3. Objek Sengketa Arbitrase………. 17

a. Definisi Perdagangan……….…. 18

b. Definisi dan RuangLingkup Sengketa Perdagangan….. 18

B. Perjanjian Arbitrase……..……….………...………. 19

1. Perjanjianpada Umumnya ……… 19

2. Arbitrase sebagai Perjanjian .………. 20

3. Klausula Arbitrase ….……….... 21

C. Jenis-Jenis Arbitrase….……….……… 23

D. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ….………….….. 25

1. Sejarah dan Tujuan Pembentukan ….……….………... 25

2. Tugas BANI ….……….……….... 28

3. Susunan Pengurus BANI ….……….……….... 29


(65)

III. METODE PENELITIAN………... 34

A. Jenis Penelitian ………... 34

B. Tipe Penelitian……..………..… 34

C. Pendekatan Masalah………... 35

D. Data dan Sumber Data ……….... 35

E. Pengumpulan Data…..…….……….…. 37

F. Pengolahan Data …..………….………. 38

G. Analisis Data …..……… 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 40

A. Syarat Pendaftaran Sengketa Perdagangan pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia(BANI)….………... 40

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia(BANI) ………... 45

C. Akibat Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)……… 73

V. PENUTUP ……….... 79

A. Simpulan …….……….... 79

B. Saran ………….……….…. 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(1)

6. Bapak Ahmad Zazili, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II yang telah memberikan waktu, saran, masukan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat selama perbaikan dan penyelesaian penulisan skripsi ini.

7. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum. sebagai Pembahas I yang telah memberikan waktu, saran dan bimbingannya guna perbaikan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum. sebagai Pembahas II yang telah memberikan waktu, saran dan bimbingannya guna perbaikan dan penyelesaian skripsi ini. 9. Ibu Rohaini, S.H., M.H. yang sempat menjadi Pembimbing II yang telah

memberikan waktu, saran, masukan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat guna perbaikan skripsi ini.

10. Seluruh dosen Fakultas Hukum Unila, terima kasih atas setiap ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan di Fakultas Hukum Unila.

11. Tim Sekretariat BANI di Jakarta yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya.

12. Bapak Sutarno, Ibu Siti dan Pak Tris terima kasih atas arahan dan bantuan yang diberikan selama ini.

13. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Unila atas segala bantuan dan kemudahan selama proses pendidikan.

14. Mama, Papa, Sidi dan Siti yang senantiasa menyayangi dengan tulus, memberikan waktu dan tenaga untuk memotivasi dan mendoakan keberhasilan dan kesuksesan. Semoga kelak dapat membahagiakan dan mempersembahkan sebuah kebanggaan untuk kalian. Aamiin.


(2)

15. Keluarga besar H. Badrul Hadi yang telah mendukung, memberikan motivasi, perhatian dan menciptakan suasana yang kondusif sehingga akhirnya penulisan skripsi dapat terselesaikan.

16. Keluarga besar UKM-U English Society (ESo) Unila (ESoers) atas kebersamaan, kekeluargaan, motivasi, semangat berkompetisi dan pengalaman-pengalaman berharga yang tidak terlupakan yang telah diberikan selama ini. Semoga ESo tetap menjadi English Club yang produktif dan kompak sehingga dapat terus mencetak mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi.

17. Teman-teman HIMA Perdata 2009 Jasmine Hanafi, Rini Rima Anggraeni, Vina Ruzikna Royyen, Lia Anggraini, Tyas Hartanti M, Adenty Novalia, Chandra Evita, Clara Novianti, Indah Puspitarani, Cicha Deswari, Citra Ratu dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas kekompakan dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini. Semoga teman-teman HIMA Perdata tetap dapat terus menjaga kekompakan dan menjalin hubungan yang baik sampai waktu yang tidak ditentukan.

18. Teman-teman seperjuangan selama proses perkuliahan Renti Fifiyanti Bujung, Rintar Zahrina Ali, Sri Sunarti, Ferlyani Gustia, Fitri Aprilia, Elvira Lieshanty, Roberta Ratri dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Tetaplah menjalin komunikasi dan berjuanglah untuk menggapai semua impian.

19. Teman-teman kos yang telah menemani dan menghabiskan waktu bersama selama 3 (tiga) tahun atas kekeluargaan, kebersamaan dan dukungan yang diberikan.


(3)

20. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung atas dukungan dan semangat yang diberikan.

21. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kec. Margo Mulyo Kab. Tulang Bawang Barat (Tubaba) atas semua kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

22. Semua pihak yang telah memberikan dukungan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah membalas kebaikan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Bandarlampung, Februari 2013 Penulis


(4)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRACT ABSTRAK HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP MOTTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL Halaman

I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………….……….……… 1

B. Rumusan Masalah….……..……….…. 9

C. Ruang Lingkup Penelitian ...……….………. 9

D. Tujuan Penelitian ………..……… 10

E. Kegunaan Penelitian .….………... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA………. 12

A. Definisi dan Ruang Lingkup Arbitrase ……..………... 12

1. Istilah dan Definisi Arbitrase…….……… 12

2. Dasar Hukum Arbitrase………..….……... 14

3. Objek Sengketa Arbitrase………. 17

a. Definisi Perdagangan……….…. 18

b. Definisi dan RuangLingkup Sengketa Perdagangan….. 18

B. Perjanjian Arbitrase……..……….………...………. 19

1. Perjanjianpada Umumnya ……… 19

2. Arbitrase sebagai Perjanjian .………. 20

3. Klausula Arbitrase ….……….... 21

C. Jenis-Jenis Arbitrase….……….……… 23

D. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ….………….….. 25

1. Sejarah dan Tujuan Pembentukan ….……….………... 25

2. Tugas BANI ….……….……….... 28

3. Susunan Pengurus BANI ….……….……….... 29


(5)

III. METODE PENELITIAN………... 34

A. Jenis Penelitian ………... 34

B. Tipe Penelitian……..………..… 34

C. Pendekatan Masalah………... 35

D. Data dan Sumber Data ……….... 35

E. Pengumpulan Data…..…….……….…. 37

F. Pengolahan Data …..………….………. 38

G. Analisis Data …..……… 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 40

A. Syarat Pendaftaran Sengketa Perdagangan pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia(BANI)….………... 40

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia(BANI) ………... 45

C. Akibat Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)……… 73

V. PENUTUP ……….... 79

A. Simpulan …….……….... 79

B. Saran ………….……….…. 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penetapan Biaya ArbitraseBANI………. 50 2. Daftar Arbiter BANI………. 55