Biosorpsi Biru Metilena oleh Kulit Buah Kakao
BIOSORPSI BIRU METILENA OLEH KULIT BUAH KAKAO
ZULFIKAR ALAMSYAH
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
ZULFIKAR ALAMSYAH. Biosorpsi Biru Metilena oleh Kulit Buah Kakao. Dibimbing
oleh CHARLENA dan BETTY MARITA SOEBRATA
Kajian tentang biosorben zat warna semakin dikembangkan sejak ditemukannya
kekurangan teknik konvensional dalam penurunan konsentrasi zat warna dari limbah
industri dan penemuan biomassa pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai biosorben.
Penelitian ini memanfaatkan selulosa dan tanin dari kulit buah kakao sebagai biosorben
zat warna. Perlakuan terhadap kulit buah kakao meliputi modifikasi asam terimpregnasi
basa, modifikasi basa, dan tanpa modifikasi. Modifikasi asam menggunakan asam nitrat
0.6 M sedangkan modifikasi basa menggunakan natrium hidroksida 0.1 M.
Adsorpsi dilakukan dengan ragam waktu adsorpsi, bobot biosorben, pengaruh
kuat ion, isoterm, pH, dan diaplikasikan pada limbah industri zat warna. Waktu dan bobot
biosorben optimum adsorpsi untuk biosorben tanpa modifikasi adalah 60 menit dengan
bobot biosorben 2 g, pengaruh kuat ion 0.01 M, dan pH 3.02. Waktu dan bobot biosorben
optimum adsorpsi modifikasi asam terimpregnasi basa adalah 45 menit dengan bobot 1 g,
pengaruh kuat ion 1 M, dan pH 3.04. Biosorben modifikasi basa optimum pada menit 30,
bobot 2 g, pengaruh kuat ion 1 M, dan pH 5.01. Adsorpsi biru metilena oleh biosorben
kulit buah kakao tanpa modifikasi mengikuti tipe isoterm Freundlich dengan nilai n
sebesar 0.3886 dan k sebesar 7.5474, sama halnya dengan biosorben modifikasi asam
impregnasi basa mengikuti tipe isoterm Freundlich dengan nilai n 0.6263 dan nilai k
sebesar 9.3389 dan biosorben modifikasi basa mengikuti tipe isoterm Langmuir dengan
nilai α sebesar 0.0138 dan nilai β sebesar 3.4518. Aplikasi biosorben terhadap limbah
industri zat warna menunjukkan kapasitas adsorpsi sebesar 1069.5697 µg/g biosorben.
Arang aktif digunakan sebagai pembanding menunjukkan kapasitas adsorpsi sebesar
3150.7858 µg/g biosorben.
Berdasarkan penelitian ini kulit buah kakao dapat digunakan sebagai biosorben
alternatif penjerap limbah zat warna bermuatan positif. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa variasi konsentrasi dengan KNO3, tipe biosorben tanpa modifikasi,
biosorben modifikasi asam terimpregnasi basa, biosorben modifikasi basa, dan interaksi
antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas adsorpsi zat warna.
ABSTRAK
ZULFIKAR ALAMSYAH. Biosorption of Methylene Blue by cacao Rind. Supervised by
CHARLENA and BETTY MARITA SOEBRATA
Study of coloring agent biosorbent is developed due to disadvantages in
conventional technique that were found in reduction of coloring agent from industrial
waste and the discovery of agricultural biomass that is potential to be utilized as a
biosorbent. This research made use of cellulose and tannins from cacao rind as coloring
agent biosorbent. Treatments toward cacao rind were base-impregnated acid modification
using nitric acid 0.6 M, base modification using sodium hydroxide 0.1 M, and without
modification.
Adsorption was carried out with variations of adsorption time, biosorbent weight,
activity ion effect, isotherm, pH, and to be applicated wastewater industry of coloring
agent. The optimum adsorption time, biosorbent weight, activity ion effect, and pH for
unmodified biosorbent were 60 minutes, 2 g, 0.01 M, and 3.02, respectively. On the other
hand, for base-impregnated acid modified biosorbent were 45 minutes, 1 g, 1 M, and 3.04
plus for base modified biosorbent were 30 minutes, 2 g, 1 M, and 5.01. The adsorption of
metylene blue by unmodified and base-impregnated acid modified biosorbent was in
accordance with Freundlich isotherm with n and k values of 0.3886 and 7.5474 and also
0.6263 and 9.3389, correspondingly. On the other hand, base modified biosorbent
corresponded to Langmuir isotherm with α and β value of 0.0138 and 3.4518,
respectively. Application of biosorbent toward industrial coloring agent waste showed an
adsorption capacity of 1.069,5697 µg/g biosorbent, whereas charcoal (as a reference)
exhibited a capacity of 3.150,7858 µg/g biosorbent.
This research showed that cacao rind was able to be used as a positive charged
alternative coloring agent waste biosorbent plus variation of consentration KNO3 for each
type of biosorbent gave a significant effect toward coloring agent adsorption capacity.
BIOSORPSI BIRU METILENA OLEH KULIT BUAH KAKAO
ZULFIKAR ALAMSYAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul
Nama
NIM
: Biosorpsi Biru Metilena oleh Kulit Buah Kakao
: Zulfikar Alamsyah
: G44202019
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Charlena, M.Si
NIP 132 088 359
Betty Marita Soebrata, S.Si, M.Si
NIP 131 694 523
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131 473 999
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Biosorpsi Biru
Metilena oleh Kulit Buah Coklat, yang dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai
dengan Mei 2007 bertempat di laboratorium Kimia Fisik dan lingkungan, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Charlena, M.Si. dan Ibu Betty
Marita, S.Si, M.Si. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengarahan
kepada penulis. Ungkapan terima kasih dihaturkan kepada Papa, Mama tercinta, Leni,
Vivi, Mamak Ito, Mamak Iin, Mamak Agus, Tante Rani, Tante Risna, dan nenek saya
tercinta atas doa dan dorongan semangat, dan kasih sayang kepada penulis. Ucapan
terima kasih juga disampaikan Kepada Ibu Tun Tedja, Ibu Suminar, Bapak Zainal Hasan,
Ibu Ai, Bapak Nano, Bapak Mail,Bapak Eman, Bapak Didi, dan Mas Heri. Saya haturkan
banyak terima kasih kepada Lukman, Obie, David, Tri, Angga, Fahrizal, Amar, Rio,
Steven, dan Kak Mamak atas kerjasamanya dan kebaikannya selama ini, dan kepada
teman-teman angkatan 39 atas dukungan dan kenangan manisnya selama ini.
Akhir kata, penulis menyampaikan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
ummat manusia pada umumnya dan dunia pendidikan Indonesia pada khususnya. Amin
Bogor, Mei 2007
Zulfikar Alamsyah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotanopan pada tanggal 21 Desember 1983 sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara, putra dari pasangan Amir Wahni dan Afni Junida.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 3 plus Sipirok YPMHB, Padang
Sidimpuan dan memperoleh kesempatan melanjutkan studi di Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk
IPB (USMI).
Tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di Proses Kontrol
Laboratorium dan Lingkungan PT Dystar Colour Indonesia, Ciwandan-Cilegon dengan
judul Analisis Limbah Cair PT Dystar Colour Indonesia dengan nilai sangat memuaskan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di dalam organisasi kampus di IPB.
Priode kepengurusan 2005/2006 menjadi staf di Departemen Olahraga, Ikatan Mahasiswa
Kimia (Imasika) IPB. Penulis juga sangat aktif dalam mengikuti seminar-seminar baik
yang berbasis IPTEK dan wirausaha selama mengikuti perkuliahan di IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
iv
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman dan Limbah Perkebunan Kakao .......................................................
Modifikasi Biosorben .......................................................................................
Adsorpsi dan Isoterm Adsorpsi ........................................................................
Karbon Aktif ....................................................................................................
Kuat Ion dan pH ..............................................................................................
Zat Warna ........................................................................................................
2
2
3
4
4
4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ................................................................................................
Metode Penelitian ............................................................................................
5
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kondisi Optimum BTM .................................................................
Penentuan Kondisi Optimum BMATB ...........................................................
Penentuan Kondisi Optimum BMB .................................................................
Adsorpsi pada Limbah Industri ........................................................................
Isoterm Adsorpsi ..............................................................................................
7
9
10
12
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ..........................................................................................................
Saran ................................................................................................................
14
14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
14
LAMPIRAN ...............................................................................................................
16
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kondisi optimum BTM ..........................................................................................
9
2 Kondisi optimum BMATB ....................................................................................
10
3 Kondisi optimum BMB ..........................................................................................
12
4 Nilai konstanta n dan k dari persamaan Freundlich ...............................................
13
5 Nilai konstanta α dan β dari persamaan Langmuir..................................................
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Buah kakao..............................................................................................................
2
2 Struktur biru metilena [2,7-bis (diamin tetrametil) .................................................
5
3 Biosorben kulit buah kakao ....................................................................................
7
4 Waktu optimum adsorpsi biru metilena oleh BTM ................................................
8
5 Bobot optimum adsorpsi biru metilena oleh BTM ................................................
8
6 Adsorpsi larutan biru metilena oleh BTM dengan pengaruh kuat ion ..................
8
7 Kapasitas adsorpsi biru metilena pada berbagai variasi pH oleh BTM ..................
9
8 Waktu optimum adsorpsi biru metilena oleh BMATB ..........................................
9
9 Bobot optimum adsorpsi biru metilena oleh BMATB ...........................................
9
10 Adsorpsi larutan biru metilena oleh BMATB dengan pengaruh kuat ion............
10
11 Kapasitas adsorpsi biru metilena pada berbagai variasi pH oleh BMATB...........
10
12 Waktu optimum adsorpsi biru metilena oleh BMB .............................................
10
13 Bobot optimum adsorpsi biru metilena oleh BMB ..............................................
11
14 Adsorpsi larutan biru metilena oleh BMB dengan pengaruh kuat ion.................
11
15 Kapasitas adsorpsi biru metilena pada berbagai variasi pH oleh BMB ................
11
16 Kapasitas adsorpsi limbah industri pada kondisi optimum....................................
12
o
17 Isoterm Langmuir adsorpsi biru metilena oleh BTM pada suhu 28 C..................
12
18 Isoterm Freundlich adsorpsi biru metilena oleh BTM pada suhu 28oC ...............
13
19 Isoterm Langmuir adsorpsi biru metilena oleh BMATB pada suhu 28oC ............
13
o
20 Isoterm Freundlich adsorpsi biru metilena oleh BMATB pada suhu 28 C ...........
o
13
21 Isoterm Langmuir adsorpsi biru metilena oleh BMB pada suhu 28 C .................
13
22 Isoterm Freundlich adsorpsi biru metilena oleh BMB pada suhu 28oC ................
13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian .............................................................................................
17
2 Kadar air kulit buah kakao kering ..........................................................................
18
3 Konsentrasi dan absorbans larutan biru metilena pada pembuatan kurva standar biru
metilena ( maksimum = 665 nm) ........................................................... ............... 18
4 Konsentrasi dan absorbans larutan biru metilena pada pembuatan kurva standar biru
metilena untuk limbah industri ( maksimum = 665 nm) .......................................
18
5 Efektivitas dan kapasitas adsorpsi (Q) biosorben kulit buah coklat tanpa modifikasi
pada penentuan waktu optimum adsorpsi biru metilena ..........................................
19
6 Efektivitas dan kapasitas adsorpsi (Q) biosorben kulit buah coklat modifikasi asam
terimpregnasi basa penentuan waktu optimum adsorpsi biru metilena …................ 19
7 Efektivitas dan kapasitas adsorpsi (Q) biosorben kulit buah coklat modifikasi basa
Penentuan waktu optimum adsorpsi biru metilena ................................................
19
8 Pengaruh bobot biosorben tanpa modifikasi pada kapasitas
adsorpsi biru metilena .............................................................................................
20
9 Pengaruh bobot biosorben modifikasi asam terimpregnasi basa pada kapasitas
adsorpsi biru metilena ............................................................................................
20
10 Pengaruh bobot biosorben modifikasi basa pada kapasitas adsorpsi
biru metilena ......................................................................................................
20
11 Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena
oleh biosorben tanpa modifikasi .. ........................................................................
21
12 Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena oleh biosorben
modifikasi asam terimpregnasi basa ..................................................................
21
13 Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena
oleh biosorben modifikasi basa . . .........................................................................
21
14 Data kuat ion ......................................................................................................
22
15 Statistik uji Duncan .............................................................................................
23
16 Kapasitas adsorpsi (Q) zat warna dalam limbah industri tekstil oleh
biosorben kulit buah kakao pada perlakuan optimum .........................................
26
17 Kapasitas adsorpsi (Q) zat warna biru metilena oleh
biosorben kulit buah kakao pada perlakuan optimum............................................
26
18 Isoterm Langmuir untuk adsorpsi biru metilena dengan
biosorben tanpa modifikasi ..................................................................................
26
19 Isoterm Freundlich untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben
tanpa modifikasi ...................................................................................................
27
20 Isoterm Langmuir untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben modifikasi
asam terimpregnasi basa ......................................................................................
27
21 Isoterm Freundlich untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben modifikasi
asam terimpregnasi basa ......................................................................................
28
22 Isoterm Langmuir untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben
modifikasi basa .. ..................................................................................................
28
23 Isoterm Freundlich untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben
modifikasi basa .....................................................................................................
29
PENDAHULUAN
Usaha tanaman kakao (cokelat) di
Indonesia mempunyai arti penting dalam
aspek sosial ekonomi. Selain merupakan
sumber devisa negara, usaha ini juga
merupakan tempat tersedianya lapangan kerja
bagi penduduk dan sumber penghasilan bagi
para petani kakao, terutama di daerah-daerah
sentral produksi.
Data departemen pertanian sejak awal
tahun 1980-an mengemukakan bahwa
perkebunan kakao di Indonesia mengalami
perkembangan pesat. Tahun 2002 areal
perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas
914,051 ha, sebagian besar (87.4%) dikelola
oleh rakyat dan selebihnya 6.0% merupakan
perkebunan besar pemerintah serta 6.7%
perkebunan besar swasta (BPS 2005).
Prospek pemasaran kakao di luar negeri
dan dalam negeri cukup baik dan terus
meningkat. Banyaknya buah kakao yang
diolah menyebabkan bertambahnya limbah
kulit buah kakao yang dapat menambah
pencemaran lingkungan dan memerlukan
proses lebih lanjut untuk mengatasi limbah
tersebut.
Indonesia berhasil menempatkan diri
sebagai produsen kakao terbesar kedua setelah
Pantai Gading tahun 2002, meskipun tergeser
oleh Ghana pada tahun 2003. Selain itu,
dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif
stabil dan cukup tinggi, maka luas perkebunan
kakao Indonesia diperkirakan akan terus
meningkat, sehingga tahun 2010 produksi
kakao Indonesia akan mencapai 1.1 juta ha
serta menghasilkan produksi 730 ribu
ton/tahun biji kakao (BPS 2005). Prestasi
tersebut selain menimbulkan peluang, juga
menimbulkan masalah bagi pemerintah, yaitu
cara memanfaatkan limbah kulit buah kakao
menjadi bahan yang lebih berguna.
Limbah kulit buah kakao berhasil diproses
menjadi bahan makanan ternak, namun
limbah kulit buah kakao yang ditambahkan
langsung pada ternak tidak sesuai yang
diharapkan, yaitu berat badan ternak menjadi
menurun sehingga pemanfaatan kulit buah
kakao (KBK) untuk pakan ternak sangat
terbatas karena KBK mengandung zat anti
nutrisi yang antara lain dapat menurunkan
secara signifikan nilai nutrisi pakan ternak
(Otchere et al. 1983 dalam Amirroenas 1990).
Selain itu tanin memiliki aktivitas antinutrisi
karena senyawa ini mengikat protein sehingga
protein tidak dapat dicerna. Sekitar 60% dari
total protein pada KBK diikat oleh tanin
(Anonim 2001). Menurut Joseph (1996)
berbagai larutan basa telah digunakan untuk
menurunkan efek antinutrisi pada tumbuhan,
misalnya pada biji gandum. Penggunaan
senyawa alkali NaOH mengakibatkan
kelebihan natrium pada hewan. Kelebihan
natrium dapat mengganggu fungsi ginjal dan
tekanan
osmotik
darah
sehingga
membahayakan kesehatan ternak. Keadaan ini
memunculkan ide adanya pemanfaatan KBK
sebagai suatu adsorben, baik itu limbah zat
warna maupun logam berat. Menurut Gufta
(1998) adsorben dapat menjerap berbagai
polutan baik senyawa organik (zat warna)
maupun anorganik (logam berat), dengan
mekanisme adsorpsi, filtrasi, penukar ion, dan
endapan. Akan tetapi metode tersebut mahal
dan tidak efektif terutama pada konsentrasi
larutan limbah yang tinggi. Oleh karena itu,
metode bioteknologi seperti biosorpsi atau
bioakumulasi menjadi metode alternatif untuk
mengatasi pencemaran logam berat dan zat
warna.
Arus utama dalam penelitian adsorben
ialah pemanfaatan produk samping pertanian
sebagai biosorben logam berat. Marshall &
Mitchell (1996) juga telah melaporkan
beberapa produk samping pertanian yang
berpotensi sebagai biosorben, yaitu tongkol
jagung, gabah padi, gabah kedelai, biji kapas,
jerami, ampas tebu, serta kacang tanah. Hasil
penelitian Wu & Paul (1998) bahwa asam
nitrat telah digunakan untuk memodifikasi
karbon aktif dan hasilnya pun lebih baik
daripada karbon aktif tidak termodifikasi.
Hasil penelitian Dewi (2005) kulit singkong
termodifikasi asam nitrat dapat digunakan
sebagai bioremoval logam Pb(II) dan Cd(II).
Hasil penelitian Rahmawati (2006) bahwa
karbon aktif yang termodifikasi ZnCl2 dapat
digunakan mengadsorpsi senyawa klorin
dengan mengikuti kaidah isoterm Freundlich.
Hasil penelitian Amirullah (2006) bahwa
ganggang cokelat dapat digunakan sebagai
biosorben limbah zat warna. Selain itu,
menurut Sunanto (1992) kulit buah kakao
mempunyai potensi menjadi biosorben karena
mengandung selulosa yang cukup tinggi dan
senyawa lain yang umum terdapat dalam
tumbuhan. Penelitian ini bertujuan membuat
dan memodifikasi adsorben dari kulit buah
kakao, menentukan waktu optimum adsorpsi,
bobot optimum adsorpsi, pengaruh kuat ion,
isoterm, pH, dan mengaplikasikannya
kelimbah zat warna. Hipotesis dari penelitian
ini adalah kulit buah kakao yang mengandung
selulosa dan tanin dapat digunakan sebagai
biosorben zat warna.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman dan Limbah Perkebunan Kakao
Tanaman
kakao
termasuk
famili
Steruliaceae yang banyak diusahakan oleh
perkebunan rakyat, swasta, dan negara.
Tumbuhan kakao diklasifikasikan sebagai
berikut:
divisi
: Spermatophyta
subdivisi
: Angiospermae
kelas
: Dicotyledoneae
ordo
: Dialypetalae
famili
: Sterculiaceae
spesies
: Theobroma cacao L
Tanaman kakao dapat tumbuh subur dan
berbuah banyak di daerah yang mempunyai
ketinggian 1-600 m di atas permukaan laut,
walaupun demikian tanaman kakao dapat
tumbuh sampai ketinggian 800 m di atas
permukaan laut (Gambar 1).
Buah kakao yang matang berisi 30-40 biji
yang diselubungi oleh daging buah dan biji
terdiri atas kulit biji dan kepingan biji.
Kulit limbah pod adalah bagian dinding
buah yang mencakup kulit terluar sampai
dinding buah sebelum kumpulan biji dengan
tekstur kasar, tebal, dan agak keras. Menurut
Devendra (1997) kulit biji kakao mengandung
protein kasar 22.30%. Kulit buah kakao
tersusun oleh selulosa, serat, protein, dan
lemak (Sunanto 1992). Limbah yang
bermanfaat dari kakao adalah kulit dan
plasenta yang mengandung serat, protein,
lemak, dan sejumlah asam organik yang
berpotensi sebagai bahan pakan ternak
kambing (Deptan 2007). Jika produktivitas
limbah kakao per tahun per hektar untuk
varietas landak mencapai 1000-1250 kg, maka
limbah yang dihasilkan cukup untuk
memelihara 4-5 ekor kambing dengan asumsi
kebutuhan pakan kambing 2 kg/ekor/hari
tanpa diberi makanan tambahan. Selain itu
pemanfaatan limbah menjadi bahan baku bagi
proses produksi berikutnya merupakan upaya
memperpanjang rantai nutrisi dan energi yang
dalam kontek ekologi merupakan tindakan
efisien yang sangat bermanfaat terkait dengan
kesesuaian pertanian (Deptan 2007).
Modifikasi Biosorben
Gambar 1 Buah kakao.
Tanaman kakao tumbuh baik di hutan
tropis, sebab pertumbuhan tanaman kakao
sangat dipengaruhi oleh kelembapan yang
cukup, suhu yang tidak terlalu tinggi, dan
angin yang tidak terlalu kencang. Suhu harian
yang baik bagi kakao sekitar 24-28oC dengan
letak di antara 20oLU dan 20oLS serta
kelembapan udara yang konstan dan relatif
tinggi, yaitu sekitar 80% (Sunanto 1992).
Buah kakao terdiri atas 73.37% pod (kulit
buah), 2.00% plasenta, dan 24.20% biji
(Haryati & Hardjosuwito 1984). Adegbola
(1997) menyatakan bahwa 75% bahan kering
keseluruhan buah kakao merupakan pod (kulit
buah) dan kuantitas kulit biji kakao hanya
10% dari bobot biji. Warna buah kakao pada
dasarnya hanya dua macam, yaitu buah muda
berwarna hijau putih dan bila masak menjadi
berwarna kuning, dan buah muda yang
berwarna merah setengah masak menjadi
jingga. Kakao termasuk tanaman kaulifori
yang artinya bunga dan buah tumbuh pada
batang dan cabang tanaman. Biji dibungkus
oleh daging buah atau pulp yang berwarna
putih dan rasanya manis.
Modifikasi
adsorben
bertujuan
meningkatkan kapasitas dan efisiensi adsorpsi
dari adsorben. Modifikasi dapat dilakukan
dengan memberi perlakuan kimia seperti
direaksikan dengan asam dan basa juga
dengan perlakuan fisika seperti pemanasan
dan pencucian (Marshall & Mitchell 1996).
Modifikasi adsorben dengan asam paling
umum dilakukan dan terbukti sangat efektif
dalam meningkatkan kapasitas dan efisiensi
adsorben (Gufta 1998). Asam yang digunakan
pada percobaan ini asam nitrat yang akan
mengaktifkan gugus hidroksi pada selulosa.
Asam nitrat merupakan salah satu asam yang
sering digunakan untuk memodifikasi
biomassa, selain HCl, dan asam fosfat.
Modifikasi basa pada penelitian ini digunakan
NaOH yang bertujuan mengaktifkan gugus
hidroksi pada senyawa fenolik seperti tanin.
Tanin adalah beberapa senyawa fenolik
dengan bobot molekul yag cukup tinggi dan
mengandung gugus hidroksi fenolik dan
gugus lain yang cocok (seperti karboksil)
untuk membentuk kompleks yang stabil
dengan protein dan makromolekul lain secara
efektif dalam kondisi yang sesuai. Tanin tidak
larut dalam pelarut non polar seperti eter,
3
kloroform, dan benzena, tetapi dengan mudah
larut dalam pelarut polar, seperti air, aseton,
alkohol, dan sedikit larut dalam pelarut etil
asetat (Deshpandi et al. 1986). Kristal tanin
berwarna putih-kuning sampai cokelat muda
bila terkena cahaya matahari dan berwarna
cokelat tua apabila teroksidasi.
Adsorpsi dan Isoterm Adsorpsi
Adsorpsi
merupakan
peristiwa
terakumulasinya
partikel
pada
suatu
permukaan (Atkins 1999). Partikel yang
terakumulasi dan diserap oleh permukaan
disebut adsorbat
dan material tempat
terjadinya adsorpsi disebut adsorben (Satake
dan Nagahiro 1990). Adsorben yang terbuat
dari material biomassa disebut sebagai
biosorben.
Ukuran pori dan luas permukaan
biosorben merupakan hal yang sangat penting
dalam adsorpsi (Lynch 1990). Perbesaran luas
permukaan biosorben dapat dilakukan dengan
pengecilan partikelnya. Biosorben polar
cenderung mengadsorpsi adsorbat polar secara
kuat, dan mengadsorpsi adsorbat non polar
secara lemah. Sebaliknya biosorben non polar
cenderung untuk mengadsorpsi secara kuat
adsorbat non polar dan mengadsorpsi adsorbat
polar secara lemah (Bird 1993). Aktivitas
biosorben akan menaikkan energi pada
permukaannya sehingga dapat meningkatkan
tarikan terhadap molekul terlarut (Jason
2004). Koefisien adsorpsi menjadi nilai yang
sangat penting dalam proses penghilangan
kontaminan di dalam air. Jason
(2004)
mendefinisikan koefisien adsorpsi sebagai
nilai saat kontaminan terhilangkan dari fase
cair (adsorbat) menuju fase padat (biosorben).
Proses adsorpsi berlangsung melalui tiga
tahapan, yaitu makrotransport, mikrotransport,
dan
sorpsi.
Makrotransport
meliputi
perpindahan adsorbat melalui air menuju
interfase cair-padat dengan proses pemanasan
dan difusi. Mikrotransport meliputi difusi
adsorbat melalui sistem makropori dan
submikropori. Sorpsi adalah istilah untuk
menjelaskan kontak adsorbat terhadap
adsorben. Istilah ini digunakan karena sulitnya
membedakan proses yang berlangsung,
apakah fisiosorpsi atau kimisorpsi. Kapasitas
adsorpsi suatu biosorben untuk sebuah
kontaminan
dapat
ditentukan
dengan
menghitung
isoterm
adsorpsi
(Tchobanogglous & Franklin 1991).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
adsorpsi antara lain sifat fisis dan kimia
adsorben misalnya luas permukaan, ukuran
partikel, komposisi kimia, sifat fisis, dan
kimia adsorbat, misalnya ukuran molekul dan
komposisi kimia, serta konsentrasi adsorbat
dalam fase cairan. Semakin kecil ukuran
partikel, maka semakin besar luas permukaan
padatan persatuan volume tertentu sehingga
akan semakain banyak zat yang diadsorpsi
(Atkins 1999).
Adsorpsi sering dirangkaikan dengan
istilah isoterm yang menunjukkan hubungan
antara aktivitas (konsentrasi) fase cair dari
adsorbat dan jumlah adsorbat pada suhu
konstan.
Isoterm
menggambarkan
kesetimbangan
yang
tercapai
setelah
permukaan biosorben mengadakan kontak
dengan adsorbat dalam jangka waktu tertentu
dan suhu yang tetap. Persamaan yang biasa
digunakan untuk menjelaskan data percobaan
isoterm dikaji dan dikembangkan oleh
Freundlich dan Langmuir.
Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich disebut juga adsorpsi
fisika terjadi bila gaya intramolekul lebih
besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya
tarik menarik yang relatif lemah antara
adsorbat dengan permukaan adsorben. Gaya
ini disebut gaya van der Waals sehingga
adsorbat dapat bergerak dari satu bagian
permukaan ke bagian permukaan lain dari
adsorben. Isoterm yang paling umum
digunakan adalah isoterm Freundlich (Jason
2004). Menurut Atkins (1999) pada proses
adsorpsi zat terlarut oleh permukaan padatan
diterapkan
isoterm
Freundlich
yang
diturunkan secara empiris dengan persamaan
sebagai berikut:
x
= k C1/n
m
Apabila dilogaritmakan,
menjadi :
Log
persamaan
akan
x
1
= Log k +
Log C
m
n
Keterangan:
x
= jumlah adsorbat teradsorpsi per unit
m
m = bobot biosorben
C = Konsentrasi keseimbangan adsorben
dalam larutan
k, n = konstanta empiris.
Isoterm
Freundlich
tidak
mampu
memperkirakan
adanya
sisi-sisi
pada
permukaan yang mampu mencegah adsorpsi
pada saat keseimbangan tercapai dan hanya
4
ada beberapa sisi aktif saja yang mampu
mengadsorpsi molekul terlarut (Jason 2004).
hidrofilik, keasaman, dan potensial negatif
(Setiadi & Sugiharso 1999).
Isoterm Langmuir
Kuat Ion dan pH
Isoterm Langmuir disebut juga adsorpsi
kimia karena adanya reaksi antara molekulmolekul adsorbat dengan adsorben yang
membentuk ikatan kovalen dan ion. Isoterm
Langmuir diturunkan berdasarkan persamaan
berikut ini:
Suatu permukaan harus mengadsorpsi
pasangan ionnya untuk mempertahankan
kenetralan listriknya. Muatan permukaan dan
pasangan ionnnya ini membentuk lapisan
listrik rangkap. Pasangan ion teradsorpsi
melalui gaya tarik Coulomb atau elektrostatik
pada permukaan karena melawan ion-ion
penentu potensial.
Ionisasi permukaan pada proses adsorpsi
menyebabkan permukaan menjadi bermuatan.
Permukaan ini dinetralkan muatannya dan
diamati sebagai fungsi pH dan kuat ion. Kuat
ion dipengaruhi oleh konsentrasi dari seluruh
spesies yang ada dan muatannya. Makin besar
kuat ion, aktivitas ion makin berbeda.
Ion-ion H+ dan OH- memegang peranan
penting sebagai reaktan dalam proses ionisasi
pusat-pusat permukaan dan dalam pelarut air.
Besarnya muatan permukaan akan meningkat
dan potensial permukaan menurun dengan
meningkatnya kuat ion (Anggraningrum
1996).
pH adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan aktivitas ion hidrogen dari
suatu sistem. Nilai pH mempengaruhi
keefektifan adsorpsi selain kuat ion, aktivitas
adsorben, dan konsentrasi larutan (Wu & Paul
1998). Menurut Wu & Paul (1998) bahwa
semakin tinggi pH maka adsorpsi ion tembaga
oleh karbon aktif juga semakin besar.
Citroreksoso et al. (1994) menyimpulkan
bahwa daya adsorpsi optimum terhadap anion
kromat bergantung pada pH dan jenis
biosorben.
x αβ C
=
m 1 + βC
Isoterm
Langmuir
dibuat
untuk
menggambarkan pembatasaan sisi adsorpsi
dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi
sentuh biosorben ada pada permukaannya dan
semuanya memiliki energi yang sama, serta
bahwa adsorbsi bersifat dapat balik (Atkins
1999).
Konstanta α, β dapat ditentukan dari
C
kurva hubungan
x
persamaan
terhadap C dengan
m
1
C
1 C
=
+
x / m αβ α
Karbon Aktif
Struktur karbon aktif dapat digambarkan
lebih tepat sebagai jaringan yang tumpang
tindih dari dataran lapisan karbon dengan
ikatan silang oleh gugus jembatan alifatik.
Difraksi sinar-X memperlihatkan bahwa
karbon aktif bersifat amorf. Hal ini
memberikan suatu sifat yang unik, yaitu
memiliki struktur pori internal yang mudah
dipenetrasi. Mikropori merupakan jenis pori
yang dianggap penting karena sebagaian besar
adsorpsi terjadi didalamnya. Mikropori adalah
ruang dua dimensi yang terbentuk dari dua
dinding seperti grafit, yaitu bidang planar
kristalit yang disusun oleh gugus aromatik
atom-atom karbon. Karbon aktif memiliki
struktur kristalin yang kurang teratur yang
disebut struktur turbostatik. Mikropori ini
merupakan salah satu kelebihan dari karbon
aktif.
Keistimewaan lain dari karbon aktif
adalah gugus fungsional pada permukaannya.
Gugus komplek oksigen yang terletak di
permukaan membuat permukaan karbon aktif
menjadi reaktif secara kimiawi dan
menentukan
sifat
adsorpsinya
seperti
Zat Warna
Zat warna tekstil merupakan senyawa
organik yang keberadaanya dalam perairan
dapat mengganggu ekosistem di dalamnya
sebelum dibuang ke perairan. Limbah cair
yang berwarna ini akan diproses terlebih
dahulu sampai konsentrasinya cukup aman
jika berada di perairan. Sebagai contoh,
sebuah pabrik tekstil menurunkan kadar zat
warna reaktif dalam limbahnya dari 225 ppm
hingga 0.17 ppm setelah melalui proses
koagulasi.
Biru metilena digunakan sebagai pewarna
dalam bakteriologi, sebagai reagen analitis,
indikator oksidasi-reduksi, antimeteglobin,
antidot sianida, dan sebagai antiseptik. Biru
5
metilena juga dikenal dengan nama
dimetilamino-klorida.
Dosis tinggi dari biru metilena dapat
menyebabkan mual, muntah, nyeri pada perut
dan dada, sakit kepala, keringat berlebihan,
dan hipertensi (RSC 1992). Interaksi biru
metilena dengan air akan menghasilkan ion
dari biru metilena yang bermuatan positif.
Kation yang dihasilkan akan berinteraksi
dengan biosorben sehingga dapat menurunkan
intensitas warna larutan.
CH3
CH3
N
S
N
H3C
CH3
N
dilakukan beberapa kali selama 3 jam sampai
diperoleh bobot tetap. Analisis dilakukan
sebanyak tiga ulangan.
Kadar air dihitung sebagai berikut:
Kadar Air =
a −b
× 100%
c
Keterangan:
a = bobot sampel dan cawan petri sebelum
dikeringkan (g)
b = bobot sampel dan cawan petri sesudah
dikeringkan (g)
c = bobot sampel (g)
Pembuatan Larutan Zat Warna
BAHAN DAN METODE
Larutan stok zat warna sebanyak 100 ppm
dibuat dengan cara melarutkan 100 mg serbuk
biru metilena dalam air destilata dan
diencerkan hingga satu liter. Kemudian dibuat
kurva standar dari larutan biru metilena
dengan konsentrasi 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan
5.0 ppm.
Bahan dan Alat
Modifikasi Basa
Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit
buah kakao, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, HNO3
0.6 M, kristal kalium nitrat, serbuk biru
metilena, campuran limbah industri zat warna,
air deionisasi, dan karbon aktif komersial.
Alat-alat
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer 20D+, pH meter, neraca
analitik, shaker, oven, eksikator, plat
pemanas, dan alat-alat kaca.
Sebanyak 100 g kulit kakao yang telah
dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas piala
4 L lalu ditambahkan 2 L NaOH 0.1 N.
Campuran dikocok selama 20 menit sambil
dipanaskan pada suhu 80oC kemudian disaring
dan airnya dibuang. Setelah itu, dicuci dengan
menggunakan
air
deionisasi
untuk
menghilangkan kelebihan basa. Sampel
dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC
selama 24 jam (Marshall & Mitchell 1996).
Sampel yang dihasilkan selanjutnya disebut
biosorben modifikasi basa (BMB).
Gambar 2 Biru metilena [2,7 bis (diamin
tetrametil) (Raghuvanshi et al.
2004).
Metode Penelitian
Preparasi Sampel
Modifikasi Asam Terimpregnasi Basa
Kulit kakao dicuci dengan air mengalir
sampai bersih, setelah itu dikeringkan di
dalam oven lalu digiling sampai berukuran
100 mesh (Horsfall et al. 2003). Serbuk kulit
buah kakao ini selanjutnya disebut biosorben
tanpa modifikasi (BTM).
Analisis Kadar Air Kulit Buah Kakao
Kulit buah kakao yang kering, ditimbang
sebanyak 2 g. Setelah itu ditempatkan dalam
cawan petri yang dikeringkan di dalam oven
yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan
petri berisi sampel dikeringkan dalam oven
pada suhu 105oC selama 3 hari dan
didinginkan. Setelah dingin, disimpan dalam
eksikator lalu ditimbang. Pengeringan
Sampel dimasukkan dalam gelas piala 1 L
lalu ditambahkan 660 ml asam nitrat 0.6 M.
Campuran dikocok selama 30 menit kemudian
disaring. Sampel dikeringkan dalam oven
pada suhu 50oC selama 24 jam kemudian
suhu dinaikkan menjadi 105oC lalu
didinginkan. Setelah itu, larutan direndam
dalam air panas untuk menghilangkan
kelebihan asam dan dikeringkan pada suhu
50oC selama 24 jam (Marshall & Mitchell
1996). Kemudian sampel ditambahkan 2 L
NaOH 0.1 N. Campuran dikocok selama 20
menit sambil dipanaskan pada suhu 80oC
kemudian disaring dan airnya dibuang.
Setelah itu, dicuci dengan menggunakan air
deionisasi untuk menghilangkan kelebihan
6
basa. Sampel dikeringkan dalam oven pada
suhu 50oC selama 24 jam (Marshall &
Mitchell 1996). Sampel yang dihasilkan
selanjutnya disebut biosorben dengan
biosorben modifikasi asam terimpregnasi basa
(BMATB) .
Penentuan Kondisi Optimum Waktu
Adsorpsi
Sebanyak 1 g biosorben BTM, BMB, dan
BMATB dimasukkan ke dalam 50 ml larutan
biru metilena dengan konsentrasi 4 ppm
kemudian larutan dikocok dengan shaker.
Adsorpsi dilakukan dengan variasi waktu
adsorpsi 0, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 menit
(Raghuvanshi et al. 2004), dilihat perubahan
warna yang terjadi. Waktu optimum
ditentukan dengan menghitung efisiensi dan
kapasitas adsorpsi maksimum.
Penentuan Kondisi Optimum Bobot
Biosorben
Variasi bobot biosorben BTM, BMATB,
dan BMB yang digunakan adalah 1.0, 1.5, 2.0,
2.5 dan 3.0. Masing-masing dimasukkan ke
dalam 100 ml larutan biru metilena 4 ppm
kemudian dikocok dengan shaker. Adsorpsi
dilakukan pada waktu optimum.
Efektivitas (%) =
(Co − Ca ) × 100%
Co
Keterangan :
Co = Konsetrasi awal larutan (ppm)
Ca = Konsentrasi akhir larutan (ppm)
Q=
V (Co − Ca )
m
Keterangan :
Q = Kapasitas adsorpsi per bobot biosorben
(µg/g bioremoval)
V = Volume larutan (ml)
Co = Konsentrasi awal larutan (ppm)
Ca = Konsentrasi akhir larutan (ppm)
m = massa biosorben (g)
Pengaruh Kuat Ion terhadap Adsorpsi
Tiga Erlenmeyer yang berisi masingmasing 100 ml larutan biru metilena
konsentrasi 4 ppm serta 10 ml KNO3 0.01,
0.1, dan 1 M, ditambahkan bobot optimum
biosorben (dalam gram yang diperoleh dari
data penentuan bobot optimum) biosorben
BTM, BMB, dan BMATB. Campuran
dikocok kemudian didiamkan pada waktu
optimum adsorpsi. Campuran disaring lalu
filtrat yang diperoleh diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 665 nm.
Pengaruh pH terhadap Adsorpsi
Bobot optimum biosorben BTM, BMATB,
dan BMB yang diperoleh ditambahkan ke
dalam Erlenmeyer yang berisi 100 ml larutan
biru metilena 4 ppm dengan pH 3.0, 5.0, 7.0,
dan 9.0. Campuran dikocok dan didiamkan
pada waktu optimum adsorpsi kemudian
disaring dan diukur absorbannya pada panjang
gelombang 665 nm.
Penentuan Isoterm Adsorpsi
Erlenmeyer yang berisi bobot optimum
biosorben BTM, BMB, dan BMATB
dilarutkan dalam 100 ml zat warna pada
berbagai konsentrasi, yaitu 0.0, 1.0, 5.0, 10.0,
25.0, 50.0, 100.0 ppm pada kondisi pH
optimum, waktu optimum, dan kuat ion
optimum untuk masing-masing biosorben.
Kemudian diukur kapasitas adsorpsi (Q) dan
konstanta afinitas dihitung dengan model
isoterm Langmuir dan Freundlich (Atkins
1999).
Panjang gelombang maksimum untuk
larutan biru metilena adalah 665 nm. Arang
aktif sebagai pembanding diperlakukan sama
seperti halnya kulit buah kakao.
Penentuan Kapasitas Adsorpsi Limbah
Industri
BTM, BMATB, dan BMB yang didapat
pada perlakuan kondisi optimum dimasukkan
pada limbah zat warna 100 ml yang terlebih
dahulu diketahui konsentrasinya. Campuran
dikocok kemudian didiamkan pada waktu
optimum adsorpsi. Campuran disaring dan
filtrat yang diperoleh diukur absorbannya
pada panjang gelombang 665 nm.
7
asam terimpegnasi basa berwarna kuning, dan
biosorben modifikasi basa berwarna cokelat
tua (Gambar 3a,3b, dan 3c).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kulit buah kakao yang sudah tidak
dimanfaatkan, dibuat sebagai biosorben zat
warna, yaitu biru metilena. Perlakuan terhadap
kulit buah kakao meliputi modifikasi asam
kemudian diimpregnasikan dengan basa,
modifikasi basa, dan tanpa modifikasi. Basa
yang yang digunakan adalah natrium
hidroksida sedangkan asam yang digunakan
adalah asam nitrat. Basa berfungsi untuk
mengaktifkan gugus hidroksi pada senyawa
fenolik sehingga membentuk garam dari asam
lemah yang bermuatan negatif dan dapat
mengikat zat warna yang bermuatan positif.
Asam nitrat berfungsi untuk mengaktifkan
gugus hidroksi pada molekul selulosa.
Menurut Dewi (2005) pencucian asam nitrat
lebih meningkatkan kapasitas adsorpsi
terhadap logam dibandingkan dengan
menggunakan asam fosfat. Impregnasi basa
dan modifikasi asam dilakukan secara
bertahap. Modifikasi dilakukan terlebih
dahulu untuk mengaktifkan gugus hidroksi
pada selulosa, diikuti dengan impregnasi
untuk membuat gugus hidroksi bermuatan
negatif dan juga untuk mengaktifkan sampai
ke dalam pori dan bukan hanya terbatas pada
permukaan. Menurut Wing (1997) asam nitrat
dapat mengaktifkan gugus hidroksi pada
selulosa sehingga dapat mengikat zat warna
dan logam berat. Mekanisme reaksi
modifikasi
biosorben
KBK
dengan
menggunakan asam nitrat dapat dilihat pada
reaksi di bawah ini:
A
B
C
D
Gambar 3 Biosorben kulit buah kakao BTM
(a), BMATB (b), BMB (c), dan
standar arang aktif (d).
Penentuan Kondisi Optimum BTM
BTM dapat mengikat biru metilena,
baik dari larutan tunggal maupun limbah
industri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adsorpsi BTM dalam biru metilena dapat
menurunkan konsentrasi biru metilena dari 4
ppm menjadi 0.8883 ppm (Lampiran 5).
Lamanya
proses
adsorpsi
ditentukan
berdasarkan kapasitas adsorpsinya selama
rentang waktu 0-90 menit. Data selengkapnya
diberikan pada Lampiran 5.
O
O
:
O
:
O
+ O H:
:
H
N
O
N
OH
N
o
150 C
N
O
:
N
OH
S e lu lo sa
OH
O H:
O
S e lu lo s a
N
O
OH
H
n
n
n
-H +
..
..
OH
OH
O :
N
Selulosa
O
Selulosa
O
H
N
OH 2
O
n
N
O
N
O
.. H
O
n
+
O
O
OH
S e lu lo s a
..
O :
N
N
:
..
H+
N
O
O
: OH
O H:
O :
-H 2 O
-
O
N
O
S elulosa
- OH
n
Kulit buah cokelat dengan kadar air kering
berkisar 9.81% (Lampiran 2) yang telah
dikeringkan di dalam oven kemudian
dihaluskan hingga berukuran 100 mesh.
Selama proses modifikasi, biosorben hilang
sekitar 10-20%. Biosorben tanpa modifikasi
berwarna cokelat muda, biosorben modifikasi
N
O
O
N
- OH
O
S e lu lo s a
n
Adsorpsi
biru
metilena
dengan
menggunakan BTM optimum pada menit 60
untuk mencapai kapasitas maksimumnya,
yaitu sebesar 174.8251 µg/g biosorben (Tabel
1). Kondisi ini terjadi akibat tapak aktif dari
biosorben maksimum dalam menjerap
adsorbat. Setelah waktu optimum adsorpsi,
8
Q ( g/gram b ioso rben)
180
175
174.8251
170
165
BTM
167.5994
164.0279
163.7995
160
157.6669
155.5228
155
156.8829
150
0
15
30
45
60
75
90
105
Waktu adsorpsi (menit)
Gambar 4 Waktu optimum adsorpsi biru
metilena oleh BTM.
Bobot biosorben mempengaruhi kapasitas
adsorpsi dan % efektivitas adsorpsi (Lampiran
8). Kapasitas adsorpsi maksimum BTM
terhadap adsorpsi biru metilena 4 ppm
diperlihatkan pada Tabel 1. Pada saat bobot
BTM divariasikan dari 1-2 gram terjadi
kenaikan kapasitas adsorpsi dari 191.3549
µg/g biosorben menjadi 370.3736 µg/g
biosorben dan ketika ditambahkan bobot
biosorben mencapai 3 gram terjadi penurunan
kapasitas adsorpsi yang signifikan menjadi
114.6985 µg/g biosorben (Gambar 5).
Peningkatan kapasitas adsorpsi disebabkan
oleh pembukaan tapak aktif yang lebih besar
sehingga biosorben lebih banyak mengikat
adsorbat. Hal ini menyebabkan kapasitas
adsorpsi
akan
meningkat
sedangkan
penurunan kapasitas adsorpsi disebabkan oleh
adanya sisi aktif biosorben yang belum
semuanya
berikatan
dengan
adsorbat
(Rahmawati 2006).
370.3736
Q ( g/gram biosorben
400
350
300
250
231.2754
BTM
200
191.3549
150
100
141.5971
114.6985
50
0
0
1
2
3
Bobot biosorben (g)
4
Gambar 5 Bobot optimum adsorpsi biru
metilena oleh BTM.
Penambahan ion dapat meningkatkan
jumlah larutan zat warna yang diadsorpsi.
Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi
optimum BTM sebesar 0.01 M dengan
kapasitas adsorpsi 130.6705 µg/g biosorben.
Hal ini disebabkan BTM belum dimodifikasi
dan belum diimpregnasi, sehingga kation biru
metilena hanya sedikit membutuhkan ion-ion
nitrat dari KNO3 untuk berikatan dengan ion
N+ dari biru metilena melalui jembatan garam.
Kenaikan konsentrasi KNO3 menjadi 1 M
menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas
adsorpsi menjadi 126.9213 µg/g biosorben
(Gambar 6) dan data selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 14. Hal ini disebabkan
oleh spesies ionik, baik dari KNO3 dan biru
metilena yang teradsorpsi pada permukaan
biosorben melalui jembatan garam menjadi
berkurang. Hal ini menyebabkan kapasitas
adsorpsi menjadi menurun.
Q ( g/gram biosorben
kapasitas adsorpsi (Q) cenderung menurun
(Gambar 4). Hal ini disebabkan oleh menjadi
jenuhnya tapak aktif biosorben. Pori-pori telah
terisi penuh oleh adsorbat sehingga dapat
terjadi proses desorpsi.
132
130
128
126
124
122
120
118
130.6705
130.263
126.9213
122.9348
Kontrol
0.01 M
0.1 M
1M
Konsentrasi kalium nitrat
Gambar 6 Adsorpsi larutan biru metilena oleh
BTM dengan pengaruh kuat ion.
pH dapat mempengaruhi kapasitas
adsorpsi dan bergantung pada jenis biosorben
yang digunakan (Jason 2004). pH memegang
peranan penting dalam ciri adsorpsi karena pH
yang rendah akan menyediakan jumlah ion H+
yang disukai dalam jumlah besar. Variasi pH
yang diujicobakan pada larutan biru metilena
yang dapat mempengaruhi kapasitas adsorpsi
adalah pH 3, 5, 7, dan 9 (Lampiran 11). pH
optimum dicapai pada pH 3.02 dengan
kapasitas adsorpsi maksimum 150.0945 µg/g
biosorben (Gambar 7). Kondisi ini dicapai
karena adanya sifat kationik dari biru metilena
baru akan tampak pada pH asam, yaitu setelah
banyaknya gugus hidroksi pada senyawa
selulosa dan tanin yang teraktifkan, sehingga
banyak biru metilena yang terikat pada
biosorben.
9
147.5357
150.0945 141.4137
150
126.4375
120.65
100
50
0
pH awal
pH 3
pH 5
pH 7
pH 9
Gambar 7 Kapasitas adsorpsi biru metilena
pada berbagai variasi pH oleh BTM.
Tabel 1 Kondisi optimum BTM.
Parameter
Waktu
Bobot
Kuat ion
pH
Kapasitas
adsorpsi
(µg/g biosorben)
174.8251
370.3736
130.6705
150.0945
Kondisi
optimum
60 menit
2 gram
0.01 M
3.02
Penentuan Kondisi Optimum BMATB
Adsorpsi biru metilena oleh BMATB
hanya memerlukan waktu 45 menit untuk
mencapai kapasitas maksimumnya, yaitu
sebesar 189.4221 µg/g biosorben (Tabel 2).
Data selengkapnya mengenai kapasitas
adsorpsi dengan berbagai variasi waktu dapat
dilihat pada Lampiran 6. Kondisi optimum ini
dicapai akibat adsorbat yang terakumulasi
pada permukaan optimum dalam mengasorpsi
biru metilena. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa makin banyak pori yang dimiliki oleh
biosorben sehingga kecepatan adsorpsi
semakin meningkat (Setiadi & Sugiharso
1999). Setelah waktu optimum adsorpsi
tercapai, kapasitas adsorpsi (Q) cenderung
tetap, setelah itu sedikit menurun (Gambar 8).
Hal ini juga disebabkan pori-pori telah terisi
penuh oleh adsorbat sehingga dapat terjadi
proses desorpsi atau pelepasan kembali
setelah pengocokan.
195
188.5323
Q ( g/gram biosorben)
190
189.4221
186.7063
185
187.2563
187.5837
182.2471
180
175
BMATB
170
169.751
165
0
15
30
45
60
75
Waktu optimum (menit)
90
105
Gambar 8 Waktu optimum adsorpsi biru
metilena oleh BMATB.
Peningkatan bobot BMATB dari 1 hingga
3 gram menyebabkan penurunan kapasitas
adsorpsi secara signifikan (Gambar 9). Hal ini
disebabkan oleh jumlah biosorben yang
berikatan dengan adsorbat sudah dalam
keadaan
jenuhnya
sehingga
apabila
ditambahkan biosorben yang berlebih
menyebabkan terjadinya proses desorpsi atau
pelepasan kembali antara biosorben dan
adsorbat. Kondisi optimum BMATB dicapai
pada bobot 1 gram dengan kapasitas adsorpsi
357.9818 µg/g biosorben. Hal ini disebabkan
oleh bobot 1 gram sudah optimum dalam
mengadsorpsi biru metilena pada permukaan
biosorben. Data selengkapnya mengenai
kapasitas adsorpsi dengan berbagai variasi
bobot oleh BMATB dapat dilihat pada
Lampiran 9.
400
Q ( g /g ram biosorb en
Q ( g/gram biosorben
200
357.9818
350
300
250
224.8667
200
BMATB
155.2744
126.038
150
100
97.0021
50
0
0
1
2
3
4
Bobot biosorben (g)
Gambar 9 Bobot optimum adsorpsi biru
metilena oleh BMATB.
Kuat
ion
pada
BMATB
dapat
meningkatkan kapasitas adsorpsinya dari
224.7136 µg/g menjadi 255,5367 µg/g
biosorben dengan penambahan KNO3 1 M.
Variasi KNO3 yang digunakan adalah 0-1M
(Gambar 10). Kondisi optimum dicapai pada
konsentrasi 1 M dengan kapasitas adsorpsi
255,5367 µg/g biosorben (Tabel 2) dan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.
Hal ini disebabkan semakin banyak ion nitrat
yang diadsorspsi oleh pasangan ion N+dari
biru metilena maka kenetralan lisitrik akan
semakin stabil dan masa desorpsi antara
biosorben dan absorbat dapat diperpanjang
waktunya. Hal ini dapat menyebabkan
kapasitas adsorpsi akan meningkat seiring
dengan penambahan KNO3. Faktor lain yang
dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi adalah
permukaan harus mengadsorpsi pasangan
ionnya untuk mempertahankan kenetralan
listriknya (Anggraningrum 1996 ).
10
Q ( g/g ram b iosorben
Tabel 2 Kondisi optimum BMATB.
300
250
224.7136
249.6224
255.5367
Kondisi
optimum
45 menit
1 gram
1M
3.04
Parameter
Waktu
Bobot
Kuat ion
pH
201.6846
200
150
Kapasitas adsorpsi
(µg/g biosorben)
189.4221
357.9818
255.5367
331.8348
100
50
Penentuan Kondisi Optimum BMB
0
0.01 M
0.1 M
1M
Konsentrasi kalium nitrat
Gambar 10 Adsorpsi larutan biru metilena
oleh BMATB dengan pengaruh kuat ion.
pH yang digunakan pada larutan biru
metilena yang dapat mempengaruhi kapasitas
adsorpsi antara BMATB dan biru metilena
adalah 3, 5, 7, dan 9. pH optimum dicapai
pada pH 3.04 (Tabel 2) dengan kapasitas
adsorpsi 331.8348 µg/g biosorben (Gambar
11) dan data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 12. Hal ini dikarenakan pada pH
3.04 gugus amina terprotonasi dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan pH 5 yang
menyebabkan kondisi menjadi lebih asam dan
tersedianya ion H+ dalam jumlah besar. Hal
tersebut menyebabkan banyaknya gugus
hidroksi dari selulosa yang teraktifkan,
sehingga dimungkinkan lebih banyak adsorbat
yang teradsorpsi pada permukaan. pH basa
tidak dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi
disebabkan gugus amino tidak dapat
diprotonasi,
sehingga
tidak
dapat
menyediakan ion H+ dalam jumlah besar, yang
menyebabkan gugus hidroksi pada selulosa
tidak dapat diaktifkan.
Q ( g/gram biosorben)
350
325.4904
331.8348
299.9206
300
250
262.2835
311.8384
200
150
100
50
0
pH awal
pH 3
pH 5
pH 7
pH 9
Gambar 11 Kapasitas adsorpsi biru metilena
pada berb
ZULFIKAR ALAMSYAH
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
ZULFIKAR ALAMSYAH. Biosorpsi Biru Metilena oleh Kulit Buah Kakao. Dibimbing
oleh CHARLENA dan BETTY MARITA SOEBRATA
Kajian tentang biosorben zat warna semakin dikembangkan sejak ditemukannya
kekurangan teknik konvensional dalam penurunan konsentrasi zat warna dari limbah
industri dan penemuan biomassa pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai biosorben.
Penelitian ini memanfaatkan selulosa dan tanin dari kulit buah kakao sebagai biosorben
zat warna. Perlakuan terhadap kulit buah kakao meliputi modifikasi asam terimpregnasi
basa, modifikasi basa, dan tanpa modifikasi. Modifikasi asam menggunakan asam nitrat
0.6 M sedangkan modifikasi basa menggunakan natrium hidroksida 0.1 M.
Adsorpsi dilakukan dengan ragam waktu adsorpsi, bobot biosorben, pengaruh
kuat ion, isoterm, pH, dan diaplikasikan pada limbah industri zat warna. Waktu dan bobot
biosorben optimum adsorpsi untuk biosorben tanpa modifikasi adalah 60 menit dengan
bobot biosorben 2 g, pengaruh kuat ion 0.01 M, dan pH 3.02. Waktu dan bobot biosorben
optimum adsorpsi modifikasi asam terimpregnasi basa adalah 45 menit dengan bobot 1 g,
pengaruh kuat ion 1 M, dan pH 3.04. Biosorben modifikasi basa optimum pada menit 30,
bobot 2 g, pengaruh kuat ion 1 M, dan pH 5.01. Adsorpsi biru metilena oleh biosorben
kulit buah kakao tanpa modifikasi mengikuti tipe isoterm Freundlich dengan nilai n
sebesar 0.3886 dan k sebesar 7.5474, sama halnya dengan biosorben modifikasi asam
impregnasi basa mengikuti tipe isoterm Freundlich dengan nilai n 0.6263 dan nilai k
sebesar 9.3389 dan biosorben modifikasi basa mengikuti tipe isoterm Langmuir dengan
nilai α sebesar 0.0138 dan nilai β sebesar 3.4518. Aplikasi biosorben terhadap limbah
industri zat warna menunjukkan kapasitas adsorpsi sebesar 1069.5697 µg/g biosorben.
Arang aktif digunakan sebagai pembanding menunjukkan kapasitas adsorpsi sebesar
3150.7858 µg/g biosorben.
Berdasarkan penelitian ini kulit buah kakao dapat digunakan sebagai biosorben
alternatif penjerap limbah zat warna bermuatan positif. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa variasi konsentrasi dengan KNO3, tipe biosorben tanpa modifikasi,
biosorben modifikasi asam terimpregnasi basa, biosorben modifikasi basa, dan interaksi
antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas adsorpsi zat warna.
ABSTRAK
ZULFIKAR ALAMSYAH. Biosorption of Methylene Blue by cacao Rind. Supervised by
CHARLENA and BETTY MARITA SOEBRATA
Study of coloring agent biosorbent is developed due to disadvantages in
conventional technique that were found in reduction of coloring agent from industrial
waste and the discovery of agricultural biomass that is potential to be utilized as a
biosorbent. This research made use of cellulose and tannins from cacao rind as coloring
agent biosorbent. Treatments toward cacao rind were base-impregnated acid modification
using nitric acid 0.6 M, base modification using sodium hydroxide 0.1 M, and without
modification.
Adsorption was carried out with variations of adsorption time, biosorbent weight,
activity ion effect, isotherm, pH, and to be applicated wastewater industry of coloring
agent. The optimum adsorption time, biosorbent weight, activity ion effect, and pH for
unmodified biosorbent were 60 minutes, 2 g, 0.01 M, and 3.02, respectively. On the other
hand, for base-impregnated acid modified biosorbent were 45 minutes, 1 g, 1 M, and 3.04
plus for base modified biosorbent were 30 minutes, 2 g, 1 M, and 5.01. The adsorption of
metylene blue by unmodified and base-impregnated acid modified biosorbent was in
accordance with Freundlich isotherm with n and k values of 0.3886 and 7.5474 and also
0.6263 and 9.3389, correspondingly. On the other hand, base modified biosorbent
corresponded to Langmuir isotherm with α and β value of 0.0138 and 3.4518,
respectively. Application of biosorbent toward industrial coloring agent waste showed an
adsorption capacity of 1.069,5697 µg/g biosorbent, whereas charcoal (as a reference)
exhibited a capacity of 3.150,7858 µg/g biosorbent.
This research showed that cacao rind was able to be used as a positive charged
alternative coloring agent waste biosorbent plus variation of consentration KNO3 for each
type of biosorbent gave a significant effect toward coloring agent adsorption capacity.
BIOSORPSI BIRU METILENA OLEH KULIT BUAH KAKAO
ZULFIKAR ALAMSYAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul
Nama
NIM
: Biosorpsi Biru Metilena oleh Kulit Buah Kakao
: Zulfikar Alamsyah
: G44202019
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Charlena, M.Si
NIP 132 088 359
Betty Marita Soebrata, S.Si, M.Si
NIP 131 694 523
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131 473 999
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Biosorpsi Biru
Metilena oleh Kulit Buah Coklat, yang dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai
dengan Mei 2007 bertempat di laboratorium Kimia Fisik dan lingkungan, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Charlena, M.Si. dan Ibu Betty
Marita, S.Si, M.Si. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengarahan
kepada penulis. Ungkapan terima kasih dihaturkan kepada Papa, Mama tercinta, Leni,
Vivi, Mamak Ito, Mamak Iin, Mamak Agus, Tante Rani, Tante Risna, dan nenek saya
tercinta atas doa dan dorongan semangat, dan kasih sayang kepada penulis. Ucapan
terima kasih juga disampaikan Kepada Ibu Tun Tedja, Ibu Suminar, Bapak Zainal Hasan,
Ibu Ai, Bapak Nano, Bapak Mail,Bapak Eman, Bapak Didi, dan Mas Heri. Saya haturkan
banyak terima kasih kepada Lukman, Obie, David, Tri, Angga, Fahrizal, Amar, Rio,
Steven, dan Kak Mamak atas kerjasamanya dan kebaikannya selama ini, dan kepada
teman-teman angkatan 39 atas dukungan dan kenangan manisnya selama ini.
Akhir kata, penulis menyampaikan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
ummat manusia pada umumnya dan dunia pendidikan Indonesia pada khususnya. Amin
Bogor, Mei 2007
Zulfikar Alamsyah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotanopan pada tanggal 21 Desember 1983 sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara, putra dari pasangan Amir Wahni dan Afni Junida.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 3 plus Sipirok YPMHB, Padang
Sidimpuan dan memperoleh kesempatan melanjutkan studi di Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk
IPB (USMI).
Tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di Proses Kontrol
Laboratorium dan Lingkungan PT Dystar Colour Indonesia, Ciwandan-Cilegon dengan
judul Analisis Limbah Cair PT Dystar Colour Indonesia dengan nilai sangat memuaskan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di dalam organisasi kampus di IPB.
Priode kepengurusan 2005/2006 menjadi staf di Departemen Olahraga, Ikatan Mahasiswa
Kimia (Imasika) IPB. Penulis juga sangat aktif dalam mengikuti seminar-seminar baik
yang berbasis IPTEK dan wirausaha selama mengikuti perkuliahan di IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
iv
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman dan Limbah Perkebunan Kakao .......................................................
Modifikasi Biosorben .......................................................................................
Adsorpsi dan Isoterm Adsorpsi ........................................................................
Karbon Aktif ....................................................................................................
Kuat Ion dan pH ..............................................................................................
Zat Warna ........................................................................................................
2
2
3
4
4
4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ................................................................................................
Metode Penelitian ............................................................................................
5
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kondisi Optimum BTM .................................................................
Penentuan Kondisi Optimum BMATB ...........................................................
Penentuan Kondisi Optimum BMB .................................................................
Adsorpsi pada Limbah Industri ........................................................................
Isoterm Adsorpsi ..............................................................................................
7
9
10
12
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ..........................................................................................................
Saran ................................................................................................................
14
14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
14
LAMPIRAN ...............................................................................................................
16
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kondisi optimum BTM ..........................................................................................
9
2 Kondisi optimum BMATB ....................................................................................
10
3 Kondisi optimum BMB ..........................................................................................
12
4 Nilai konstanta n dan k dari persamaan Freundlich ...............................................
13
5 Nilai konstanta α dan β dari persamaan Langmuir..................................................
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Buah kakao..............................................................................................................
2
2 Struktur biru metilena [2,7-bis (diamin tetrametil) .................................................
5
3 Biosorben kulit buah kakao ....................................................................................
7
4 Waktu optimum adsorpsi biru metilena oleh BTM ................................................
8
5 Bobot optimum adsorpsi biru metilena oleh BTM ................................................
8
6 Adsorpsi larutan biru metilena oleh BTM dengan pengaruh kuat ion ..................
8
7 Kapasitas adsorpsi biru metilena pada berbagai variasi pH oleh BTM ..................
9
8 Waktu optimum adsorpsi biru metilena oleh BMATB ..........................................
9
9 Bobot optimum adsorpsi biru metilena oleh BMATB ...........................................
9
10 Adsorpsi larutan biru metilena oleh BMATB dengan pengaruh kuat ion............
10
11 Kapasitas adsorpsi biru metilena pada berbagai variasi pH oleh BMATB...........
10
12 Waktu optimum adsorpsi biru metilena oleh BMB .............................................
10
13 Bobot optimum adsorpsi biru metilena oleh BMB ..............................................
11
14 Adsorpsi larutan biru metilena oleh BMB dengan pengaruh kuat ion.................
11
15 Kapasitas adsorpsi biru metilena pada berbagai variasi pH oleh BMB ................
11
16 Kapasitas adsorpsi limbah industri pada kondisi optimum....................................
12
o
17 Isoterm Langmuir adsorpsi biru metilena oleh BTM pada suhu 28 C..................
12
18 Isoterm Freundlich adsorpsi biru metilena oleh BTM pada suhu 28oC ...............
13
19 Isoterm Langmuir adsorpsi biru metilena oleh BMATB pada suhu 28oC ............
13
o
20 Isoterm Freundlich adsorpsi biru metilena oleh BMATB pada suhu 28 C ...........
o
13
21 Isoterm Langmuir adsorpsi biru metilena oleh BMB pada suhu 28 C .................
13
22 Isoterm Freundlich adsorpsi biru metilena oleh BMB pada suhu 28oC ................
13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian .............................................................................................
17
2 Kadar air kulit buah kakao kering ..........................................................................
18
3 Konsentrasi dan absorbans larutan biru metilena pada pembuatan kurva standar biru
metilena ( maksimum = 665 nm) ........................................................... ............... 18
4 Konsentrasi dan absorbans larutan biru metilena pada pembuatan kurva standar biru
metilena untuk limbah industri ( maksimum = 665 nm) .......................................
18
5 Efektivitas dan kapasitas adsorpsi (Q) biosorben kulit buah coklat tanpa modifikasi
pada penentuan waktu optimum adsorpsi biru metilena ..........................................
19
6 Efektivitas dan kapasitas adsorpsi (Q) biosorben kulit buah coklat modifikasi asam
terimpregnasi basa penentuan waktu optimum adsorpsi biru metilena …................ 19
7 Efektivitas dan kapasitas adsorpsi (Q) biosorben kulit buah coklat modifikasi basa
Penentuan waktu optimum adsorpsi biru metilena ................................................
19
8 Pengaruh bobot biosorben tanpa modifikasi pada kapasitas
adsorpsi biru metilena .............................................................................................
20
9 Pengaruh bobot biosorben modifikasi asam terimpregnasi basa pada kapasitas
adsorpsi biru metilena ............................................................................................
20
10 Pengaruh bobot biosorben modifikasi basa pada kapasitas adsorpsi
biru metilena ......................................................................................................
20
11 Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena
oleh biosorben tanpa modifikasi .. ........................................................................
21
12 Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena oleh biosorben
modifikasi asam terimpregnasi basa ..................................................................
21
13 Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi biru metilena
oleh biosorben modifikasi basa . . .........................................................................
21
14 Data kuat ion ......................................................................................................
22
15 Statistik uji Duncan .............................................................................................
23
16 Kapasitas adsorpsi (Q) zat warna dalam limbah industri tekstil oleh
biosorben kulit buah kakao pada perlakuan optimum .........................................
26
17 Kapasitas adsorpsi (Q) zat warna biru metilena oleh
biosorben kulit buah kakao pada perlakuan optimum............................................
26
18 Isoterm Langmuir untuk adsorpsi biru metilena dengan
biosorben tanpa modifikasi ..................................................................................
26
19 Isoterm Freundlich untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben
tanpa modifikasi ...................................................................................................
27
20 Isoterm Langmuir untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben modifikasi
asam terimpregnasi basa ......................................................................................
27
21 Isoterm Freundlich untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben modifikasi
asam terimpregnasi basa ......................................................................................
28
22 Isoterm Langmuir untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben
modifikasi basa .. ..................................................................................................
28
23 Isoterm Freundlich untuk adsorpsi biru metilena dengan biosorben
modifikasi basa .....................................................................................................
29
PENDAHULUAN
Usaha tanaman kakao (cokelat) di
Indonesia mempunyai arti penting dalam
aspek sosial ekonomi. Selain merupakan
sumber devisa negara, usaha ini juga
merupakan tempat tersedianya lapangan kerja
bagi penduduk dan sumber penghasilan bagi
para petani kakao, terutama di daerah-daerah
sentral produksi.
Data departemen pertanian sejak awal
tahun 1980-an mengemukakan bahwa
perkebunan kakao di Indonesia mengalami
perkembangan pesat. Tahun 2002 areal
perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas
914,051 ha, sebagian besar (87.4%) dikelola
oleh rakyat dan selebihnya 6.0% merupakan
perkebunan besar pemerintah serta 6.7%
perkebunan besar swasta (BPS 2005).
Prospek pemasaran kakao di luar negeri
dan dalam negeri cukup baik dan terus
meningkat. Banyaknya buah kakao yang
diolah menyebabkan bertambahnya limbah
kulit buah kakao yang dapat menambah
pencemaran lingkungan dan memerlukan
proses lebih lanjut untuk mengatasi limbah
tersebut.
Indonesia berhasil menempatkan diri
sebagai produsen kakao terbesar kedua setelah
Pantai Gading tahun 2002, meskipun tergeser
oleh Ghana pada tahun 2003. Selain itu,
dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif
stabil dan cukup tinggi, maka luas perkebunan
kakao Indonesia diperkirakan akan terus
meningkat, sehingga tahun 2010 produksi
kakao Indonesia akan mencapai 1.1 juta ha
serta menghasilkan produksi 730 ribu
ton/tahun biji kakao (BPS 2005). Prestasi
tersebut selain menimbulkan peluang, juga
menimbulkan masalah bagi pemerintah, yaitu
cara memanfaatkan limbah kulit buah kakao
menjadi bahan yang lebih berguna.
Limbah kulit buah kakao berhasil diproses
menjadi bahan makanan ternak, namun
limbah kulit buah kakao yang ditambahkan
langsung pada ternak tidak sesuai yang
diharapkan, yaitu berat badan ternak menjadi
menurun sehingga pemanfaatan kulit buah
kakao (KBK) untuk pakan ternak sangat
terbatas karena KBK mengandung zat anti
nutrisi yang antara lain dapat menurunkan
secara signifikan nilai nutrisi pakan ternak
(Otchere et al. 1983 dalam Amirroenas 1990).
Selain itu tanin memiliki aktivitas antinutrisi
karena senyawa ini mengikat protein sehingga
protein tidak dapat dicerna. Sekitar 60% dari
total protein pada KBK diikat oleh tanin
(Anonim 2001). Menurut Joseph (1996)
berbagai larutan basa telah digunakan untuk
menurunkan efek antinutrisi pada tumbuhan,
misalnya pada biji gandum. Penggunaan
senyawa alkali NaOH mengakibatkan
kelebihan natrium pada hewan. Kelebihan
natrium dapat mengganggu fungsi ginjal dan
tekanan
osmotik
darah
sehingga
membahayakan kesehatan ternak. Keadaan ini
memunculkan ide adanya pemanfaatan KBK
sebagai suatu adsorben, baik itu limbah zat
warna maupun logam berat. Menurut Gufta
(1998) adsorben dapat menjerap berbagai
polutan baik senyawa organik (zat warna)
maupun anorganik (logam berat), dengan
mekanisme adsorpsi, filtrasi, penukar ion, dan
endapan. Akan tetapi metode tersebut mahal
dan tidak efektif terutama pada konsentrasi
larutan limbah yang tinggi. Oleh karena itu,
metode bioteknologi seperti biosorpsi atau
bioakumulasi menjadi metode alternatif untuk
mengatasi pencemaran logam berat dan zat
warna.
Arus utama dalam penelitian adsorben
ialah pemanfaatan produk samping pertanian
sebagai biosorben logam berat. Marshall &
Mitchell (1996) juga telah melaporkan
beberapa produk samping pertanian yang
berpotensi sebagai biosorben, yaitu tongkol
jagung, gabah padi, gabah kedelai, biji kapas,
jerami, ampas tebu, serta kacang tanah. Hasil
penelitian Wu & Paul (1998) bahwa asam
nitrat telah digunakan untuk memodifikasi
karbon aktif dan hasilnya pun lebih baik
daripada karbon aktif tidak termodifikasi.
Hasil penelitian Dewi (2005) kulit singkong
termodifikasi asam nitrat dapat digunakan
sebagai bioremoval logam Pb(II) dan Cd(II).
Hasil penelitian Rahmawati (2006) bahwa
karbon aktif yang termodifikasi ZnCl2 dapat
digunakan mengadsorpsi senyawa klorin
dengan mengikuti kaidah isoterm Freundlich.
Hasil penelitian Amirullah (2006) bahwa
ganggang cokelat dapat digunakan sebagai
biosorben limbah zat warna. Selain itu,
menurut Sunanto (1992) kulit buah kakao
mempunyai potensi menjadi biosorben karena
mengandung selulosa yang cukup tinggi dan
senyawa lain yang umum terdapat dalam
tumbuhan. Penelitian ini bertujuan membuat
dan memodifikasi adsorben dari kulit buah
kakao, menentukan waktu optimum adsorpsi,
bobot optimum adsorpsi, pengaruh kuat ion,
isoterm, pH, dan mengaplikasikannya
kelimbah zat warna. Hipotesis dari penelitian
ini adalah kulit buah kakao yang mengandung
selulosa dan tanin dapat digunakan sebagai
biosorben zat warna.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman dan Limbah Perkebunan Kakao
Tanaman
kakao
termasuk
famili
Steruliaceae yang banyak diusahakan oleh
perkebunan rakyat, swasta, dan negara.
Tumbuhan kakao diklasifikasikan sebagai
berikut:
divisi
: Spermatophyta
subdivisi
: Angiospermae
kelas
: Dicotyledoneae
ordo
: Dialypetalae
famili
: Sterculiaceae
spesies
: Theobroma cacao L
Tanaman kakao dapat tumbuh subur dan
berbuah banyak di daerah yang mempunyai
ketinggian 1-600 m di atas permukaan laut,
walaupun demikian tanaman kakao dapat
tumbuh sampai ketinggian 800 m di atas
permukaan laut (Gambar 1).
Buah kakao yang matang berisi 30-40 biji
yang diselubungi oleh daging buah dan biji
terdiri atas kulit biji dan kepingan biji.
Kulit limbah pod adalah bagian dinding
buah yang mencakup kulit terluar sampai
dinding buah sebelum kumpulan biji dengan
tekstur kasar, tebal, dan agak keras. Menurut
Devendra (1997) kulit biji kakao mengandung
protein kasar 22.30%. Kulit buah kakao
tersusun oleh selulosa, serat, protein, dan
lemak (Sunanto 1992). Limbah yang
bermanfaat dari kakao adalah kulit dan
plasenta yang mengandung serat, protein,
lemak, dan sejumlah asam organik yang
berpotensi sebagai bahan pakan ternak
kambing (Deptan 2007). Jika produktivitas
limbah kakao per tahun per hektar untuk
varietas landak mencapai 1000-1250 kg, maka
limbah yang dihasilkan cukup untuk
memelihara 4-5 ekor kambing dengan asumsi
kebutuhan pakan kambing 2 kg/ekor/hari
tanpa diberi makanan tambahan. Selain itu
pemanfaatan limbah menjadi bahan baku bagi
proses produksi berikutnya merupakan upaya
memperpanjang rantai nutrisi dan energi yang
dalam kontek ekologi merupakan tindakan
efisien yang sangat bermanfaat terkait dengan
kesesuaian pertanian (Deptan 2007).
Modifikasi Biosorben
Gambar 1 Buah kakao.
Tanaman kakao tumbuh baik di hutan
tropis, sebab pertumbuhan tanaman kakao
sangat dipengaruhi oleh kelembapan yang
cukup, suhu yang tidak terlalu tinggi, dan
angin yang tidak terlalu kencang. Suhu harian
yang baik bagi kakao sekitar 24-28oC dengan
letak di antara 20oLU dan 20oLS serta
kelembapan udara yang konstan dan relatif
tinggi, yaitu sekitar 80% (Sunanto 1992).
Buah kakao terdiri atas 73.37% pod (kulit
buah), 2.00% plasenta, dan 24.20% biji
(Haryati & Hardjosuwito 1984). Adegbola
(1997) menyatakan bahwa 75% bahan kering
keseluruhan buah kakao merupakan pod (kulit
buah) dan kuantitas kulit biji kakao hanya
10% dari bobot biji. Warna buah kakao pada
dasarnya hanya dua macam, yaitu buah muda
berwarna hijau putih dan bila masak menjadi
berwarna kuning, dan buah muda yang
berwarna merah setengah masak menjadi
jingga. Kakao termasuk tanaman kaulifori
yang artinya bunga dan buah tumbuh pada
batang dan cabang tanaman. Biji dibungkus
oleh daging buah atau pulp yang berwarna
putih dan rasanya manis.
Modifikasi
adsorben
bertujuan
meningkatkan kapasitas dan efisiensi adsorpsi
dari adsorben. Modifikasi dapat dilakukan
dengan memberi perlakuan kimia seperti
direaksikan dengan asam dan basa juga
dengan perlakuan fisika seperti pemanasan
dan pencucian (Marshall & Mitchell 1996).
Modifikasi adsorben dengan asam paling
umum dilakukan dan terbukti sangat efektif
dalam meningkatkan kapasitas dan efisiensi
adsorben (Gufta 1998). Asam yang digunakan
pada percobaan ini asam nitrat yang akan
mengaktifkan gugus hidroksi pada selulosa.
Asam nitrat merupakan salah satu asam yang
sering digunakan untuk memodifikasi
biomassa, selain HCl, dan asam fosfat.
Modifikasi basa pada penelitian ini digunakan
NaOH yang bertujuan mengaktifkan gugus
hidroksi pada senyawa fenolik seperti tanin.
Tanin adalah beberapa senyawa fenolik
dengan bobot molekul yag cukup tinggi dan
mengandung gugus hidroksi fenolik dan
gugus lain yang cocok (seperti karboksil)
untuk membentuk kompleks yang stabil
dengan protein dan makromolekul lain secara
efektif dalam kondisi yang sesuai. Tanin tidak
larut dalam pelarut non polar seperti eter,
3
kloroform, dan benzena, tetapi dengan mudah
larut dalam pelarut polar, seperti air, aseton,
alkohol, dan sedikit larut dalam pelarut etil
asetat (Deshpandi et al. 1986). Kristal tanin
berwarna putih-kuning sampai cokelat muda
bila terkena cahaya matahari dan berwarna
cokelat tua apabila teroksidasi.
Adsorpsi dan Isoterm Adsorpsi
Adsorpsi
merupakan
peristiwa
terakumulasinya
partikel
pada
suatu
permukaan (Atkins 1999). Partikel yang
terakumulasi dan diserap oleh permukaan
disebut adsorbat
dan material tempat
terjadinya adsorpsi disebut adsorben (Satake
dan Nagahiro 1990). Adsorben yang terbuat
dari material biomassa disebut sebagai
biosorben.
Ukuran pori dan luas permukaan
biosorben merupakan hal yang sangat penting
dalam adsorpsi (Lynch 1990). Perbesaran luas
permukaan biosorben dapat dilakukan dengan
pengecilan partikelnya. Biosorben polar
cenderung mengadsorpsi adsorbat polar secara
kuat, dan mengadsorpsi adsorbat non polar
secara lemah. Sebaliknya biosorben non polar
cenderung untuk mengadsorpsi secara kuat
adsorbat non polar dan mengadsorpsi adsorbat
polar secara lemah (Bird 1993). Aktivitas
biosorben akan menaikkan energi pada
permukaannya sehingga dapat meningkatkan
tarikan terhadap molekul terlarut (Jason
2004). Koefisien adsorpsi menjadi nilai yang
sangat penting dalam proses penghilangan
kontaminan di dalam air. Jason
(2004)
mendefinisikan koefisien adsorpsi sebagai
nilai saat kontaminan terhilangkan dari fase
cair (adsorbat) menuju fase padat (biosorben).
Proses adsorpsi berlangsung melalui tiga
tahapan, yaitu makrotransport, mikrotransport,
dan
sorpsi.
Makrotransport
meliputi
perpindahan adsorbat melalui air menuju
interfase cair-padat dengan proses pemanasan
dan difusi. Mikrotransport meliputi difusi
adsorbat melalui sistem makropori dan
submikropori. Sorpsi adalah istilah untuk
menjelaskan kontak adsorbat terhadap
adsorben. Istilah ini digunakan karena sulitnya
membedakan proses yang berlangsung,
apakah fisiosorpsi atau kimisorpsi. Kapasitas
adsorpsi suatu biosorben untuk sebuah
kontaminan
dapat
ditentukan
dengan
menghitung
isoterm
adsorpsi
(Tchobanogglous & Franklin 1991).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
adsorpsi antara lain sifat fisis dan kimia
adsorben misalnya luas permukaan, ukuran
partikel, komposisi kimia, sifat fisis, dan
kimia adsorbat, misalnya ukuran molekul dan
komposisi kimia, serta konsentrasi adsorbat
dalam fase cairan. Semakin kecil ukuran
partikel, maka semakin besar luas permukaan
padatan persatuan volume tertentu sehingga
akan semakain banyak zat yang diadsorpsi
(Atkins 1999).
Adsorpsi sering dirangkaikan dengan
istilah isoterm yang menunjukkan hubungan
antara aktivitas (konsentrasi) fase cair dari
adsorbat dan jumlah adsorbat pada suhu
konstan.
Isoterm
menggambarkan
kesetimbangan
yang
tercapai
setelah
permukaan biosorben mengadakan kontak
dengan adsorbat dalam jangka waktu tertentu
dan suhu yang tetap. Persamaan yang biasa
digunakan untuk menjelaskan data percobaan
isoterm dikaji dan dikembangkan oleh
Freundlich dan Langmuir.
Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich disebut juga adsorpsi
fisika terjadi bila gaya intramolekul lebih
besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya
tarik menarik yang relatif lemah antara
adsorbat dengan permukaan adsorben. Gaya
ini disebut gaya van der Waals sehingga
adsorbat dapat bergerak dari satu bagian
permukaan ke bagian permukaan lain dari
adsorben. Isoterm yang paling umum
digunakan adalah isoterm Freundlich (Jason
2004). Menurut Atkins (1999) pada proses
adsorpsi zat terlarut oleh permukaan padatan
diterapkan
isoterm
Freundlich
yang
diturunkan secara empiris dengan persamaan
sebagai berikut:
x
= k C1/n
m
Apabila dilogaritmakan,
menjadi :
Log
persamaan
akan
x
1
= Log k +
Log C
m
n
Keterangan:
x
= jumlah adsorbat teradsorpsi per unit
m
m = bobot biosorben
C = Konsentrasi keseimbangan adsorben
dalam larutan
k, n = konstanta empiris.
Isoterm
Freundlich
tidak
mampu
memperkirakan
adanya
sisi-sisi
pada
permukaan yang mampu mencegah adsorpsi
pada saat keseimbangan tercapai dan hanya
4
ada beberapa sisi aktif saja yang mampu
mengadsorpsi molekul terlarut (Jason 2004).
hidrofilik, keasaman, dan potensial negatif
(Setiadi & Sugiharso 1999).
Isoterm Langmuir
Kuat Ion dan pH
Isoterm Langmuir disebut juga adsorpsi
kimia karena adanya reaksi antara molekulmolekul adsorbat dengan adsorben yang
membentuk ikatan kovalen dan ion. Isoterm
Langmuir diturunkan berdasarkan persamaan
berikut ini:
Suatu permukaan harus mengadsorpsi
pasangan ionnya untuk mempertahankan
kenetralan listriknya. Muatan permukaan dan
pasangan ionnnya ini membentuk lapisan
listrik rangkap. Pasangan ion teradsorpsi
melalui gaya tarik Coulomb atau elektrostatik
pada permukaan karena melawan ion-ion
penentu potensial.
Ionisasi permukaan pada proses adsorpsi
menyebabkan permukaan menjadi bermuatan.
Permukaan ini dinetralkan muatannya dan
diamati sebagai fungsi pH dan kuat ion. Kuat
ion dipengaruhi oleh konsentrasi dari seluruh
spesies yang ada dan muatannya. Makin besar
kuat ion, aktivitas ion makin berbeda.
Ion-ion H+ dan OH- memegang peranan
penting sebagai reaktan dalam proses ionisasi
pusat-pusat permukaan dan dalam pelarut air.
Besarnya muatan permukaan akan meningkat
dan potensial permukaan menurun dengan
meningkatnya kuat ion (Anggraningrum
1996).
pH adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan aktivitas ion hidrogen dari
suatu sistem. Nilai pH mempengaruhi
keefektifan adsorpsi selain kuat ion, aktivitas
adsorben, dan konsentrasi larutan (Wu & Paul
1998). Menurut Wu & Paul (1998) bahwa
semakin tinggi pH maka adsorpsi ion tembaga
oleh karbon aktif juga semakin besar.
Citroreksoso et al. (1994) menyimpulkan
bahwa daya adsorpsi optimum terhadap anion
kromat bergantung pada pH dan jenis
biosorben.
x αβ C
=
m 1 + βC
Isoterm
Langmuir
dibuat
untuk
menggambarkan pembatasaan sisi adsorpsi
dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi
sentuh biosorben ada pada permukaannya dan
semuanya memiliki energi yang sama, serta
bahwa adsorbsi bersifat dapat balik (Atkins
1999).
Konstanta α, β dapat ditentukan dari
C
kurva hubungan
x
persamaan
terhadap C dengan
m
1
C
1 C
=
+
x / m αβ α
Karbon Aktif
Struktur karbon aktif dapat digambarkan
lebih tepat sebagai jaringan yang tumpang
tindih dari dataran lapisan karbon dengan
ikatan silang oleh gugus jembatan alifatik.
Difraksi sinar-X memperlihatkan bahwa
karbon aktif bersifat amorf. Hal ini
memberikan suatu sifat yang unik, yaitu
memiliki struktur pori internal yang mudah
dipenetrasi. Mikropori merupakan jenis pori
yang dianggap penting karena sebagaian besar
adsorpsi terjadi didalamnya. Mikropori adalah
ruang dua dimensi yang terbentuk dari dua
dinding seperti grafit, yaitu bidang planar
kristalit yang disusun oleh gugus aromatik
atom-atom karbon. Karbon aktif memiliki
struktur kristalin yang kurang teratur yang
disebut struktur turbostatik. Mikropori ini
merupakan salah satu kelebihan dari karbon
aktif.
Keistimewaan lain dari karbon aktif
adalah gugus fungsional pada permukaannya.
Gugus komplek oksigen yang terletak di
permukaan membuat permukaan karbon aktif
menjadi reaktif secara kimiawi dan
menentukan
sifat
adsorpsinya
seperti
Zat Warna
Zat warna tekstil merupakan senyawa
organik yang keberadaanya dalam perairan
dapat mengganggu ekosistem di dalamnya
sebelum dibuang ke perairan. Limbah cair
yang berwarna ini akan diproses terlebih
dahulu sampai konsentrasinya cukup aman
jika berada di perairan. Sebagai contoh,
sebuah pabrik tekstil menurunkan kadar zat
warna reaktif dalam limbahnya dari 225 ppm
hingga 0.17 ppm setelah melalui proses
koagulasi.
Biru metilena digunakan sebagai pewarna
dalam bakteriologi, sebagai reagen analitis,
indikator oksidasi-reduksi, antimeteglobin,
antidot sianida, dan sebagai antiseptik. Biru
5
metilena juga dikenal dengan nama
dimetilamino-klorida.
Dosis tinggi dari biru metilena dapat
menyebabkan mual, muntah, nyeri pada perut
dan dada, sakit kepala, keringat berlebihan,
dan hipertensi (RSC 1992). Interaksi biru
metilena dengan air akan menghasilkan ion
dari biru metilena yang bermuatan positif.
Kation yang dihasilkan akan berinteraksi
dengan biosorben sehingga dapat menurunkan
intensitas warna larutan.
CH3
CH3
N
S
N
H3C
CH3
N
dilakukan beberapa kali selama 3 jam sampai
diperoleh bobot tetap. Analisis dilakukan
sebanyak tiga ulangan.
Kadar air dihitung sebagai berikut:
Kadar Air =
a −b
× 100%
c
Keterangan:
a = bobot sampel dan cawan petri sebelum
dikeringkan (g)
b = bobot sampel dan cawan petri sesudah
dikeringkan (g)
c = bobot sampel (g)
Pembuatan Larutan Zat Warna
BAHAN DAN METODE
Larutan stok zat warna sebanyak 100 ppm
dibuat dengan cara melarutkan 100 mg serbuk
biru metilena dalam air destilata dan
diencerkan hingga satu liter. Kemudian dibuat
kurva standar dari larutan biru metilena
dengan konsentrasi 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan
5.0 ppm.
Bahan dan Alat
Modifikasi Basa
Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit
buah kakao, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, HNO3
0.6 M, kristal kalium nitrat, serbuk biru
metilena, campuran limbah industri zat warna,
air deionisasi, dan karbon aktif komersial.
Alat-alat
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer 20D+, pH meter, neraca
analitik, shaker, oven, eksikator, plat
pemanas, dan alat-alat kaca.
Sebanyak 100 g kulit kakao yang telah
dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas piala
4 L lalu ditambahkan 2 L NaOH 0.1 N.
Campuran dikocok selama 20 menit sambil
dipanaskan pada suhu 80oC kemudian disaring
dan airnya dibuang. Setelah itu, dicuci dengan
menggunakan
air
deionisasi
untuk
menghilangkan kelebihan basa. Sampel
dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC
selama 24 jam (Marshall & Mitchell 1996).
Sampel yang dihasilkan selanjutnya disebut
biosorben modifikasi basa (BMB).
Gambar 2 Biru metilena [2,7 bis (diamin
tetrametil) (Raghuvanshi et al.
2004).
Metode Penelitian
Preparasi Sampel
Modifikasi Asam Terimpregnasi Basa
Kulit kakao dicuci dengan air mengalir
sampai bersih, setelah itu dikeringkan di
dalam oven lalu digiling sampai berukuran
100 mesh (Horsfall et al. 2003). Serbuk kulit
buah kakao ini selanjutnya disebut biosorben
tanpa modifikasi (BTM).
Analisis Kadar Air Kulit Buah Kakao
Kulit buah kakao yang kering, ditimbang
sebanyak 2 g. Setelah itu ditempatkan dalam
cawan petri yang dikeringkan di dalam oven
yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan
petri berisi sampel dikeringkan dalam oven
pada suhu 105oC selama 3 hari dan
didinginkan. Setelah dingin, disimpan dalam
eksikator lalu ditimbang. Pengeringan
Sampel dimasukkan dalam gelas piala 1 L
lalu ditambahkan 660 ml asam nitrat 0.6 M.
Campuran dikocok selama 30 menit kemudian
disaring. Sampel dikeringkan dalam oven
pada suhu 50oC selama 24 jam kemudian
suhu dinaikkan menjadi 105oC lalu
didinginkan. Setelah itu, larutan direndam
dalam air panas untuk menghilangkan
kelebihan asam dan dikeringkan pada suhu
50oC selama 24 jam (Marshall & Mitchell
1996). Kemudian sampel ditambahkan 2 L
NaOH 0.1 N. Campuran dikocok selama 20
menit sambil dipanaskan pada suhu 80oC
kemudian disaring dan airnya dibuang.
Setelah itu, dicuci dengan menggunakan air
deionisasi untuk menghilangkan kelebihan
6
basa. Sampel dikeringkan dalam oven pada
suhu 50oC selama 24 jam (Marshall &
Mitchell 1996). Sampel yang dihasilkan
selanjutnya disebut biosorben dengan
biosorben modifikasi asam terimpregnasi basa
(BMATB) .
Penentuan Kondisi Optimum Waktu
Adsorpsi
Sebanyak 1 g biosorben BTM, BMB, dan
BMATB dimasukkan ke dalam 50 ml larutan
biru metilena dengan konsentrasi 4 ppm
kemudian larutan dikocok dengan shaker.
Adsorpsi dilakukan dengan variasi waktu
adsorpsi 0, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 menit
(Raghuvanshi et al. 2004), dilihat perubahan
warna yang terjadi. Waktu optimum
ditentukan dengan menghitung efisiensi dan
kapasitas adsorpsi maksimum.
Penentuan Kondisi Optimum Bobot
Biosorben
Variasi bobot biosorben BTM, BMATB,
dan BMB yang digunakan adalah 1.0, 1.5, 2.0,
2.5 dan 3.0. Masing-masing dimasukkan ke
dalam 100 ml larutan biru metilena 4 ppm
kemudian dikocok dengan shaker. Adsorpsi
dilakukan pada waktu optimum.
Efektivitas (%) =
(Co − Ca ) × 100%
Co
Keterangan :
Co = Konsetrasi awal larutan (ppm)
Ca = Konsentrasi akhir larutan (ppm)
Q=
V (Co − Ca )
m
Keterangan :
Q = Kapasitas adsorpsi per bobot biosorben
(µg/g bioremoval)
V = Volume larutan (ml)
Co = Konsentrasi awal larutan (ppm)
Ca = Konsentrasi akhir larutan (ppm)
m = massa biosorben (g)
Pengaruh Kuat Ion terhadap Adsorpsi
Tiga Erlenmeyer yang berisi masingmasing 100 ml larutan biru metilena
konsentrasi 4 ppm serta 10 ml KNO3 0.01,
0.1, dan 1 M, ditambahkan bobot optimum
biosorben (dalam gram yang diperoleh dari
data penentuan bobot optimum) biosorben
BTM, BMB, dan BMATB. Campuran
dikocok kemudian didiamkan pada waktu
optimum adsorpsi. Campuran disaring lalu
filtrat yang diperoleh diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 665 nm.
Pengaruh pH terhadap Adsorpsi
Bobot optimum biosorben BTM, BMATB,
dan BMB yang diperoleh ditambahkan ke
dalam Erlenmeyer yang berisi 100 ml larutan
biru metilena 4 ppm dengan pH 3.0, 5.0, 7.0,
dan 9.0. Campuran dikocok dan didiamkan
pada waktu optimum adsorpsi kemudian
disaring dan diukur absorbannya pada panjang
gelombang 665 nm.
Penentuan Isoterm Adsorpsi
Erlenmeyer yang berisi bobot optimum
biosorben BTM, BMB, dan BMATB
dilarutkan dalam 100 ml zat warna pada
berbagai konsentrasi, yaitu 0.0, 1.0, 5.0, 10.0,
25.0, 50.0, 100.0 ppm pada kondisi pH
optimum, waktu optimum, dan kuat ion
optimum untuk masing-masing biosorben.
Kemudian diukur kapasitas adsorpsi (Q) dan
konstanta afinitas dihitung dengan model
isoterm Langmuir dan Freundlich (Atkins
1999).
Panjang gelombang maksimum untuk
larutan biru metilena adalah 665 nm. Arang
aktif sebagai pembanding diperlakukan sama
seperti halnya kulit buah kakao.
Penentuan Kapasitas Adsorpsi Limbah
Industri
BTM, BMATB, dan BMB yang didapat
pada perlakuan kondisi optimum dimasukkan
pada limbah zat warna 100 ml yang terlebih
dahulu diketahui konsentrasinya. Campuran
dikocok kemudian didiamkan pada waktu
optimum adsorpsi. Campuran disaring dan
filtrat yang diperoleh diukur absorbannya
pada panjang gelombang 665 nm.
7
asam terimpegnasi basa berwarna kuning, dan
biosorben modifikasi basa berwarna cokelat
tua (Gambar 3a,3b, dan 3c).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kulit buah kakao yang sudah tidak
dimanfaatkan, dibuat sebagai biosorben zat
warna, yaitu biru metilena. Perlakuan terhadap
kulit buah kakao meliputi modifikasi asam
kemudian diimpregnasikan dengan basa,
modifikasi basa, dan tanpa modifikasi. Basa
yang yang digunakan adalah natrium
hidroksida sedangkan asam yang digunakan
adalah asam nitrat. Basa berfungsi untuk
mengaktifkan gugus hidroksi pada senyawa
fenolik sehingga membentuk garam dari asam
lemah yang bermuatan negatif dan dapat
mengikat zat warna yang bermuatan positif.
Asam nitrat berfungsi untuk mengaktifkan
gugus hidroksi pada molekul selulosa.
Menurut Dewi (2005) pencucian asam nitrat
lebih meningkatkan kapasitas adsorpsi
terhadap logam dibandingkan dengan
menggunakan asam fosfat. Impregnasi basa
dan modifikasi asam dilakukan secara
bertahap. Modifikasi dilakukan terlebih
dahulu untuk mengaktifkan gugus hidroksi
pada selulosa, diikuti dengan impregnasi
untuk membuat gugus hidroksi bermuatan
negatif dan juga untuk mengaktifkan sampai
ke dalam pori dan bukan hanya terbatas pada
permukaan. Menurut Wing (1997) asam nitrat
dapat mengaktifkan gugus hidroksi pada
selulosa sehingga dapat mengikat zat warna
dan logam berat. Mekanisme reaksi
modifikasi
biosorben
KBK
dengan
menggunakan asam nitrat dapat dilihat pada
reaksi di bawah ini:
A
B
C
D
Gambar 3 Biosorben kulit buah kakao BTM
(a), BMATB (b), BMB (c), dan
standar arang aktif (d).
Penentuan Kondisi Optimum BTM
BTM dapat mengikat biru metilena,
baik dari larutan tunggal maupun limbah
industri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adsorpsi BTM dalam biru metilena dapat
menurunkan konsentrasi biru metilena dari 4
ppm menjadi 0.8883 ppm (Lampiran 5).
Lamanya
proses
adsorpsi
ditentukan
berdasarkan kapasitas adsorpsinya selama
rentang waktu 0-90 menit. Data selengkapnya
diberikan pada Lampiran 5.
O
O
:
O
:
O
+ O H:
:
H
N
O
N
OH
N
o
150 C
N
O
:
N
OH
S e lu lo sa
OH
O H:
O
S e lu lo s a
N
O
OH
H
n
n
n
-H +
..
..
OH
OH
O :
N
Selulosa
O
Selulosa
O
H
N
OH 2
O
n
N
O
N
O
.. H
O
n
+
O
O
OH
S e lu lo s a
..
O :
N
N
:
..
H+
N
O
O
: OH
O H:
O :
-H 2 O
-
O
N
O
S elulosa
- OH
n
Kulit buah cokelat dengan kadar air kering
berkisar 9.81% (Lampiran 2) yang telah
dikeringkan di dalam oven kemudian
dihaluskan hingga berukuran 100 mesh.
Selama proses modifikasi, biosorben hilang
sekitar 10-20%. Biosorben tanpa modifikasi
berwarna cokelat muda, biosorben modifikasi
N
O
O
N
- OH
O
S e lu lo s a
n
Adsorpsi
biru
metilena
dengan
menggunakan BTM optimum pada menit 60
untuk mencapai kapasitas maksimumnya,
yaitu sebesar 174.8251 µg/g biosorben (Tabel
1). Kondisi ini terjadi akibat tapak aktif dari
biosorben maksimum dalam menjerap
adsorbat. Setelah waktu optimum adsorpsi,
8
Q ( g/gram b ioso rben)
180
175
174.8251
170
165
BTM
167.5994
164.0279
163.7995
160
157.6669
155.5228
155
156.8829
150
0
15
30
45
60
75
90
105
Waktu adsorpsi (menit)
Gambar 4 Waktu optimum adsorpsi biru
metilena oleh BTM.
Bobot biosorben mempengaruhi kapasitas
adsorpsi dan % efektivitas adsorpsi (Lampiran
8). Kapasitas adsorpsi maksimum BTM
terhadap adsorpsi biru metilena 4 ppm
diperlihatkan pada Tabel 1. Pada saat bobot
BTM divariasikan dari 1-2 gram terjadi
kenaikan kapasitas adsorpsi dari 191.3549
µg/g biosorben menjadi 370.3736 µg/g
biosorben dan ketika ditambahkan bobot
biosorben mencapai 3 gram terjadi penurunan
kapasitas adsorpsi yang signifikan menjadi
114.6985 µg/g biosorben (Gambar 5).
Peningkatan kapasitas adsorpsi disebabkan
oleh pembukaan tapak aktif yang lebih besar
sehingga biosorben lebih banyak mengikat
adsorbat. Hal ini menyebabkan kapasitas
adsorpsi
akan
meningkat
sedangkan
penurunan kapasitas adsorpsi disebabkan oleh
adanya sisi aktif biosorben yang belum
semuanya
berikatan
dengan
adsorbat
(Rahmawati 2006).
370.3736
Q ( g/gram biosorben
400
350
300
250
231.2754
BTM
200
191.3549
150
100
141.5971
114.6985
50
0
0
1
2
3
Bobot biosorben (g)
4
Gambar 5 Bobot optimum adsorpsi biru
metilena oleh BTM.
Penambahan ion dapat meningkatkan
jumlah larutan zat warna yang diadsorpsi.
Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi
optimum BTM sebesar 0.01 M dengan
kapasitas adsorpsi 130.6705 µg/g biosorben.
Hal ini disebabkan BTM belum dimodifikasi
dan belum diimpregnasi, sehingga kation biru
metilena hanya sedikit membutuhkan ion-ion
nitrat dari KNO3 untuk berikatan dengan ion
N+ dari biru metilena melalui jembatan garam.
Kenaikan konsentrasi KNO3 menjadi 1 M
menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas
adsorpsi menjadi 126.9213 µg/g biosorben
(Gambar 6) dan data selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 14. Hal ini disebabkan
oleh spesies ionik, baik dari KNO3 dan biru
metilena yang teradsorpsi pada permukaan
biosorben melalui jembatan garam menjadi
berkurang. Hal ini menyebabkan kapasitas
adsorpsi menjadi menurun.
Q ( g/gram biosorben
kapasitas adsorpsi (Q) cenderung menurun
(Gambar 4). Hal ini disebabkan oleh menjadi
jenuhnya tapak aktif biosorben. Pori-pori telah
terisi penuh oleh adsorbat sehingga dapat
terjadi proses desorpsi.
132
130
128
126
124
122
120
118
130.6705
130.263
126.9213
122.9348
Kontrol
0.01 M
0.1 M
1M
Konsentrasi kalium nitrat
Gambar 6 Adsorpsi larutan biru metilena oleh
BTM dengan pengaruh kuat ion.
pH dapat mempengaruhi kapasitas
adsorpsi dan bergantung pada jenis biosorben
yang digunakan (Jason 2004). pH memegang
peranan penting dalam ciri adsorpsi karena pH
yang rendah akan menyediakan jumlah ion H+
yang disukai dalam jumlah besar. Variasi pH
yang diujicobakan pada larutan biru metilena
yang dapat mempengaruhi kapasitas adsorpsi
adalah pH 3, 5, 7, dan 9 (Lampiran 11). pH
optimum dicapai pada pH 3.02 dengan
kapasitas adsorpsi maksimum 150.0945 µg/g
biosorben (Gambar 7). Kondisi ini dicapai
karena adanya sifat kationik dari biru metilena
baru akan tampak pada pH asam, yaitu setelah
banyaknya gugus hidroksi pada senyawa
selulosa dan tanin yang teraktifkan, sehingga
banyak biru metilena yang terikat pada
biosorben.
9
147.5357
150.0945 141.4137
150
126.4375
120.65
100
50
0
pH awal
pH 3
pH 5
pH 7
pH 9
Gambar 7 Kapasitas adsorpsi biru metilena
pada berbagai variasi pH oleh BTM.
Tabel 1 Kondisi optimum BTM.
Parameter
Waktu
Bobot
Kuat ion
pH
Kapasitas
adsorpsi
(µg/g biosorben)
174.8251
370.3736
130.6705
150.0945
Kondisi
optimum
60 menit
2 gram
0.01 M
3.02
Penentuan Kondisi Optimum BMATB
Adsorpsi biru metilena oleh BMATB
hanya memerlukan waktu 45 menit untuk
mencapai kapasitas maksimumnya, yaitu
sebesar 189.4221 µg/g biosorben (Tabel 2).
Data selengkapnya mengenai kapasitas
adsorpsi dengan berbagai variasi waktu dapat
dilihat pada Lampiran 6. Kondisi optimum ini
dicapai akibat adsorbat yang terakumulasi
pada permukaan optimum dalam mengasorpsi
biru metilena. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa makin banyak pori yang dimiliki oleh
biosorben sehingga kecepatan adsorpsi
semakin meningkat (Setiadi & Sugiharso
1999). Setelah waktu optimum adsorpsi
tercapai, kapasitas adsorpsi (Q) cenderung
tetap, setelah itu sedikit menurun (Gambar 8).
Hal ini juga disebabkan pori-pori telah terisi
penuh oleh adsorbat sehingga dapat terjadi
proses desorpsi atau pelepasan kembali
setelah pengocokan.
195
188.5323
Q ( g/gram biosorben)
190
189.4221
186.7063
185
187.2563
187.5837
182.2471
180
175
BMATB
170
169.751
165
0
15
30
45
60
75
Waktu optimum (menit)
90
105
Gambar 8 Waktu optimum adsorpsi biru
metilena oleh BMATB.
Peningkatan bobot BMATB dari 1 hingga
3 gram menyebabkan penurunan kapasitas
adsorpsi secara signifikan (Gambar 9). Hal ini
disebabkan oleh jumlah biosorben yang
berikatan dengan adsorbat sudah dalam
keadaan
jenuhnya
sehingga
apabila
ditambahkan biosorben yang berlebih
menyebabkan terjadinya proses desorpsi atau
pelepasan kembali antara biosorben dan
adsorbat. Kondisi optimum BMATB dicapai
pada bobot 1 gram dengan kapasitas adsorpsi
357.9818 µg/g biosorben. Hal ini disebabkan
oleh bobot 1 gram sudah optimum dalam
mengadsorpsi biru metilena pada permukaan
biosorben. Data selengkapnya mengenai
kapasitas adsorpsi dengan berbagai variasi
bobot oleh BMATB dapat dilihat pada
Lampiran 9.
400
Q ( g /g ram biosorb en
Q ( g/gram biosorben
200
357.9818
350
300
250
224.8667
200
BMATB
155.2744
126.038
150
100
97.0021
50
0
0
1
2
3
4
Bobot biosorben (g)
Gambar 9 Bobot optimum adsorpsi biru
metilena oleh BMATB.
Kuat
ion
pada
BMATB
dapat
meningkatkan kapasitas adsorpsinya dari
224.7136 µg/g menjadi 255,5367 µg/g
biosorben dengan penambahan KNO3 1 M.
Variasi KNO3 yang digunakan adalah 0-1M
(Gambar 10). Kondisi optimum dicapai pada
konsentrasi 1 M dengan kapasitas adsorpsi
255,5367 µg/g biosorben (Tabel 2) dan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.
Hal ini disebabkan semakin banyak ion nitrat
yang diadsorspsi oleh pasangan ion N+dari
biru metilena maka kenetralan lisitrik akan
semakin stabil dan masa desorpsi antara
biosorben dan absorbat dapat diperpanjang
waktunya. Hal ini dapat menyebabkan
kapasitas adsorpsi akan meningkat seiring
dengan penambahan KNO3. Faktor lain yang
dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi adalah
permukaan harus mengadsorpsi pasangan
ionnya untuk mempertahankan kenetralan
listriknya (Anggraningrum 1996 ).
10
Q ( g/g ram b iosorben
Tabel 2 Kondisi optimum BMATB.
300
250
224.7136
249.6224
255.5367
Kondisi
optimum
45 menit
1 gram
1M
3.04
Parameter
Waktu
Bobot
Kuat ion
pH
201.6846
200
150
Kapasitas adsorpsi
(µg/g biosorben)
189.4221
357.9818
255.5367
331.8348
100
50
Penentuan Kondisi Optimum BMB
0
0.01 M
0.1 M
1M
Konsentrasi kalium nitrat
Gambar 10 Adsorpsi larutan biru metilena
oleh BMATB dengan pengaruh kuat ion.
pH yang digunakan pada larutan biru
metilena yang dapat mempengaruhi kapasitas
adsorpsi antara BMATB dan biru metilena
adalah 3, 5, 7, dan 9. pH optimum dicapai
pada pH 3.04 (Tabel 2) dengan kapasitas
adsorpsi 331.8348 µg/g biosorben (Gambar
11) dan data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 12. Hal ini dikarenakan pada pH
3.04 gugus amina terprotonasi dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan pH 5 yang
menyebabkan kondisi menjadi lebih asam dan
tersedianya ion H+ dalam jumlah besar. Hal
tersebut menyebabkan banyaknya gugus
hidroksi dari selulosa yang teraktifkan,
sehingga dimungkinkan lebih banyak adsorbat
yang teradsorpsi pada permukaan. pH basa
tidak dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi
disebabkan gugus amino tidak dapat
diprotonasi,
sehingga
tidak
dapat
menyediakan ion H+ dalam jumlah besar, yang
menyebabkan gugus hidroksi pada selulosa
tidak dapat diaktifkan.
Q ( g/gram biosorben)
350
325.4904
331.8348
299.9206
300
250
262.2835
311.8384
200
150
100
50
0
pH awal
pH 3
pH 5
pH 7
pH 9
Gambar 11 Kapasitas adsorpsi biru metilena
pada berb