Pengembangan Perekat Likuida dari Limbah Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.)

(1)

PENGEMBANGAN PEREKAT LIKUIDA DARI LIMBAH

KULIT BUAH KAKAO (

Theobroma cacao L.

)

SKRIPSI

Oleh : Marcelila Medynda

081203006 Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(2)

Marcelila Medynda. Development of Wood Liquid Adhesive from waste of cocoa fruit skin (Theobroma cacao.L). Supervised by Tito Sucipto and Luthfi Hakim

ABSTRACT

Increased need for adhesive in the wood processing industry require alternative to meet the needs. Cocoa is one of natural resource that contains lignocelluloses and potential to be alternative adhesive through liquefaction process. This research aim to determine adhesive quality such as visible, degree of acidity (pH), viscosity, density, solid content, gelatin time, ash content , free formaldehyde, and crystalline degree, compare the adhesive quality of cocoa fruit outer skin (CFOS/ KBKL) and inner skin (CFIS/ KBKD), and compare them with SNI 06-4567-1998. Mixed cocoa fruit skin, H2SO4, technical crystal phenol,

NaOH and formalin with 90ºC temperature for 2 hours. Result of research showed that cocoa fruit skin adhesive is phenolic group with CFOS was liquid adhesive characteristic, brown colored, waste free, degree of acidity was 10, viscosity was 0,8355 cps, density was 1,156, degree of solid content was 42,33%, gelatin time was 89 minutes 37 seconds, ash content was 9,2%, free formaldehyde was 0,8% and crystalline degree was 35,19% and CFIS characteristic was liquid, reddish brown colored, waste free, degree of acidity was 10, viscosity was 31,202 cps, density was 1,262, degree of solid content was 44,66%, gelatin time was 73 minutes 45 seconds, ash content was 13,8%, free formaldehyde was 0,48% and crystalline degree was 37,28%. CFIS better than CFOS because it has fit with the standards well and also almost standard approach although not according to standard. Cocoa fruit skin liquid adhesive quality were gotten fulfilled SNI 06-4567-1998 enough such as appearance, degree of acidity, degree of solid content and gelatin time. Free formaldehyde characteristic also fulfill of SNI 06-4565-1998 was ≤2% .

Key word: waste, cocoa fruit outer and inner skin, liquiefaction, wood liquid adhesive


(3)

Marcelila Medynda. Pengembangan Perekat Likuida dari Limbah Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.). Dibimbing oleh Tito Sucipto dan Luthfi Hakim

ABSTRAK

Peningkatan kebutuhan perekat di industri pengolahan kayu memerlukan perekat alternatif untuk memenuhinya. Kakao merupakan salah satu sumber daya alam berlignoselulosa yang berpotensi menjadi perekat alternatif melalui proses likuifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi kualitas perekat yaitu sifat kenampakan, derajat keasaman (pH), viskositas, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu, derajat kristalinitas dan formaldehida bebas, membandingkan kualitas perekat kulit buah kakao bagian luar (KBKL) dan dalam (KBKD) dan membandingkan keduanya dengan standar SNI 06-4567-1998. Pencampuran serbuk kulit buah kakao dengan H2SO4, phenol kristal teknis, NaOH, dan formalin dengan suhu 90ºC selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perekat likuida kulit buah kakao merupakan golongan perekat phenolik dengan karakteristik KBKL bentuk cair, berwarna coklat , bebas kotoran, pH 10, kekentalan 0,8355 cps, berat jenis 1,156 , kadar padatan 42,33%, waktu gelatinasi 89 menit 37 detik, kadar abu 9,2%, formaldehida bebas 0,8%, derajat kristalinitas 35,19% dan KBKD bentuk cair, berwarna coklat kemerahan, bebas kotoran, pH 10, kekentalan 31,202 cps, berat jenis 1,262 , kadar padatan 44,66%, waktu gelatinasi 73 menit 45 detik, kadar abu 13,8%, formaldehida bebas 0,48% dan derajat kristalinitas 37,28%. KBKD lebih baik karena memiliki hasil yang sesuai standar dan juga mendekati standar dibanding KBKL walaupun tidak sesuai standar. Kualitas perekat likuida kulit buah kakao yang memenuhi standar SNI 06-4567-1998 yaitu karakteristik kenampakan, keasaman, kadar padatan dan waktu gelatinasi . Untuk karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi standar SNI 06-4565-1998 yaitu ≤2%.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Marcelila Medynda, lahir pada tanggal 13 Juni 1990 di Medan. Anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Dody A. Lukito Tarigan, Ibu Dra. Rosmenda Ginting (Alm.). Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Percobaan Negeri Medan pada tahun 2002, lulus dari SMP Negeri 1 Medan pada tahun 2005 dan lulus dari SMA Negeri 17 Medan pada tahun 2008. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Penelusuran Minat dan Prestasi (PMP) di Universitas Sumatera Utara (USU), Fakultas Pertanian, Program Studi Kehutanan (Teknologi Hasil Hutan).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Danau Lau Kawar, Kabupaten Karo pada tahun 2010. Pada bulan Januari-Februari 2012 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Baluran, Surabaya. Pada tahun 2010 dan 2011 penulis menjadi asisten praktikum Geodesi dan Kartografi dan Inventarisasi Hutan di Program Studi Kehutanan pada tahun 2010. Pada tahun 2012 penulis juga melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengembangan Perekat Likuida dari Limbah Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.)”, di bawah bimbingan Bapak Tito Sucipto, S.Hut, M.Si dan Bapak Luthfi Hakim S.Hut, M.Si.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkah dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengembangan Perekat Likuida dari Limbah Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.)” untuk melengkapi syarat memperoleh gelar kesarjanaan di Program Studi kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini merupakan penelitian tentang perekat likuida alternatif yang berbahan baku kulit buah kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi kelarutan zat ekstraktif partikel kulit, mendeterminasi dan membandingkan kualitas perekat likuida kulit buah kakao dalam dan luar, serta membandingkannya dengan SNI 06-4567-1998. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Tito Sucipto, S.Hut, M.Si dan Bapak Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si sebagai komisi pembimbing yang telah banyak mendukung, membimbing dan memberi masukan serta saran dalam penelitian selama ini.

2. Orang tua tercinta Bapak Dody A Lukito Tarigan, Ibu Dra. Rosmenda Ginting (Alm.) yang selalu memberi dukungan materi, doa, dan kasih sayang serta memberi motivasi untuk tetap semangat dalam mewujudkan penelitian ini. Terimakasih juga untuk abang saya Denny Anggara, ST dan istri Oliviana G, adik-adikku tercinta Kartika Casella, dan Maya Lukita dan keponakan saya yang manis Quinta, Sharesa, dan Darriel yang turut membantu dalam do, dukungan dan semangat. I LOVE MY FAMILY.

3. Sahabat-sahabat tercintaku MUF yaitu Margaretha US Sitanggang (Atha) dan Febrina H Tarigan (Ebby) dan BEBEBz (Friska Evalina, Risdalia, Nova,


(6)

Bulan, dan Chendy), Jendro, Eri Tarigan, Bernad, Faujiah, Maya, dan teman-teman THH-08 (TeHaHA Satu BUS!) tersayang yang telah memberi banyak kenangan yang tak terlupakan pada masa perkuliahan hingga detik-detik terakhir di kampus serta dukungan dan doanya.

4. Sahabat-sahabatku Anju Benni Saragih, Iqbal, Decha, Kristiana, Bang Nuel dan Bayu Kasogi Ginting, asisten-asisten Lab. Kimia Organik MIPA USU yang memberi perhatian, doa, dukungan dan kebersamaan yang tidak terlupakan. Tidak lupa pada doggies Mixymocyku tersayang yang selalu setia menemani.

5. Staf pegawai Kehutanan yang membantu dalam proses administrasi dan seluruh dosen Kehutanan yang membimbing selama kuliah.

6. Para senior dan junior keluarga Kehutanan yang telah membantu baik dari segi doa, semangat dan dukungan.

Penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat menjadi panduan belajar dan bacaan yang bermanfaat bagi mahasiswa/i kehutanan secara khusus dan masyarakat secara umum. Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih.

Medan, Agustus 2012


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR. ... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kakao ... 4

Kegunaan dan Kandungan Kimia Kakao ... 4

Perekat ... 7

Perekat Likuida ... 8

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat... 14

Alat dan Bahan... 14

Prosedur Penelitian a. Pembuatan Partikel Kulit Buah Kakao ... 14

b. Pembuatan Perekat Likuida ... 15

c. Determinasi Kelarutan Zat Ekstraktif Partikel Kulit Buah Kakao ... 16

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Dingin ... 16

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Panas ... 17

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam NaOH 1%... 17

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Etanol-Benzena (1:2) ... 18

d. Determinasi Kualitas Perekat Likuida Kulit Buah Kakao ... 19

Kenampakan ... 19

Keasaman (pH) ... 19

Kekentalan (viskositas)... 20

Berat Jenis ... 20

Sisa Penguapan (Kadar Padatan)... 20

Waktu Gelatinasi. ... 21

Kadar Abu... 21

Formaldehida Bebas... 22


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Determinasi Kelarutan Partikel Kulit Buah Kakao ... 26

Kelarutan Air Dingin ... 26

Kelarutan Air Panas ... 27

Kelarutan dalam NaOH 1% ... 28

Kelarutan dalam Etanol-Benzena (1:2) ... 28

Determinasi Kualitas Perekat Likuida Kulit Buah Kakao ... 29

Kenampakan ... 30

Keasaman ... 32

Kekentalan ... 34

Berat Jenis ... 34

Sisa Penguapan (Kadar Padatan)... 35

Waktu Gelatinasi. ... 37

Kadar Abu. ... 39

Formaldehida Bebas. ... 40

Derajat Kristalinitas. ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. ... 43

Saran. ... 44 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir pembuatan perekat likuida ... 24

2. Perekat likuida kulit buah kakao luar dan dalam ... 25

3. Grafik kelarutan zat ekstraktif partikel kulit buah kakao ... 26

4. Kenampakan perekat likuida KBKD dan KBKL ... 31

5. Pengujian viskositas perekat likuida KBKL dan KBKD... 33

6. Pengukuran berat jenis perekat likuida dari KBKL dan KBKD ... 35

7. Perekat likuida sebelum dan sesudah diovenkan ... 36

8. Perekat dipanaskan di penangas air dan perekat yang menjadi gel ... 38


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Hasil analisis derajat kristalinitas dengan XRD ... 50

2. Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin ... 52

3. Kelarutan zat ekstraktif dalam air panas... 52

4. Kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1% ... 52

5. Kelarutan zat ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2) ... 52

6. Kekentalan (viskositas) ... 53

7. Berat Jenis ... 53

8. Kadar padatan / sisa penguapan ... 53

9. Waktu gelatinasi ... 54

10. Kadar abu... 54


(12)

Marcelila Medynda. Development of Wood Liquid Adhesive from waste of cocoa fruit skin (Theobroma cacao.L). Supervised by Tito Sucipto and Luthfi Hakim

ABSTRACT

Increased need for adhesive in the wood processing industry require alternative to meet the needs. Cocoa is one of natural resource that contains lignocelluloses and potential to be alternative adhesive through liquefaction process. This research aim to determine adhesive quality such as visible, degree of acidity (pH), viscosity, density, solid content, gelatin time, ash content , free formaldehyde, and crystalline degree, compare the adhesive quality of cocoa fruit outer skin (CFOS/ KBKL) and inner skin (CFIS/ KBKD), and compare them with SNI 06-4567-1998. Mixed cocoa fruit skin, H2SO4, technical crystal phenol,

NaOH and formalin with 90ºC temperature for 2 hours. Result of research showed that cocoa fruit skin adhesive is phenolic group with CFOS was liquid adhesive characteristic, brown colored, waste free, degree of acidity was 10, viscosity was 0,8355 cps, density was 1,156, degree of solid content was 42,33%, gelatin time was 89 minutes 37 seconds, ash content was 9,2%, free formaldehyde was 0,8% and crystalline degree was 35,19% and CFIS characteristic was liquid, reddish brown colored, waste free, degree of acidity was 10, viscosity was 31,202 cps, density was 1,262, degree of solid content was 44,66%, gelatin time was 73 minutes 45 seconds, ash content was 13,8%, free formaldehyde was 0,48% and crystalline degree was 37,28%. CFIS better than CFOS because it has fit with the standards well and also almost standard approach although not according to standard. Cocoa fruit skin liquid adhesive quality were gotten fulfilled SNI 06-4567-1998 enough such as appearance, degree of acidity, degree of solid content and gelatin time. Free formaldehyde characteristic also fulfill of SNI 06-4565-1998 was ≤2% .

Key word: waste, cocoa fruit outer and inner skin, liquiefaction, wood liquid adhesive


(13)

Marcelila Medynda. Pengembangan Perekat Likuida dari Limbah Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.). Dibimbing oleh Tito Sucipto dan Luthfi Hakim

ABSTRAK

Peningkatan kebutuhan perekat di industri pengolahan kayu memerlukan perekat alternatif untuk memenuhinya. Kakao merupakan salah satu sumber daya alam berlignoselulosa yang berpotensi menjadi perekat alternatif melalui proses likuifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi kualitas perekat yaitu sifat kenampakan, derajat keasaman (pH), viskositas, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu, derajat kristalinitas dan formaldehida bebas, membandingkan kualitas perekat kulit buah kakao bagian luar (KBKL) dan dalam (KBKD) dan membandingkan keduanya dengan standar SNI 06-4567-1998. Pencampuran serbuk kulit buah kakao dengan H2SO4, phenol kristal teknis, NaOH, dan formalin dengan suhu 90ºC selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perekat likuida kulit buah kakao merupakan golongan perekat phenolik dengan karakteristik KBKL bentuk cair, berwarna coklat , bebas kotoran, pH 10, kekentalan 0,8355 cps, berat jenis 1,156 , kadar padatan 42,33%, waktu gelatinasi 89 menit 37 detik, kadar abu 9,2%, formaldehida bebas 0,8%, derajat kristalinitas 35,19% dan KBKD bentuk cair, berwarna coklat kemerahan, bebas kotoran, pH 10, kekentalan 31,202 cps, berat jenis 1,262 , kadar padatan 44,66%, waktu gelatinasi 73 menit 45 detik, kadar abu 13,8%, formaldehida bebas 0,48% dan derajat kristalinitas 37,28%. KBKD lebih baik karena memiliki hasil yang sesuai standar dan juga mendekati standar dibanding KBKL walaupun tidak sesuai standar. Kualitas perekat likuida kulit buah kakao yang memenuhi standar SNI 06-4567-1998 yaitu karakteristik kenampakan, keasaman, kadar padatan dan waktu gelatinasi . Untuk karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi standar SNI 06-4565-1998 yaitu ≤2%.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan perekat di industri pengolahan kayu semakin meningkat. Namun, perekat yang berada di pasaran kebanyakan perekat sintetis. Perekat sintetis memiliki ketersediaan sumber bahan baku perekat yang semakin berkurang dan sebagian jenis perekat menimbulkan emisi formaldehida terhadap lingkungan dari produk material hasil perekatan. Emisi tersebut memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia. Maka perlu eksplorasi perekat alami sebagai alternatif pengganti perekat sintetis yang ada. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya untuk dapat menghasilkan perekat alternatif yang dapat menggantikan perekat sintetis yang ada saat ini.

Perekat alami merupakan alternatif pengganti perekat sintetis, tetapi perekat alami memiliki sifat perekatan yang masih kurang baik. Studi tentang perekat alami perlu dilakukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas perekatan. Kebutuhan perekat akan semakin meningkat. Namun industri perekatan di Indonesia saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk dapat menghasilkan perekat alternatif yang dapat menggantikan perekat sintetis yang ada saat ini (Risnasari, 2008).

Kandungan lignin dalam tumbuhan berlignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat lignin dan perekat likuida melalui proses likuifikasi (Sucipto, 2009a). Lignin dapat diperoleh dari kayu atau semua sumberdaya alam berlignoselulosa (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Salah satu alternatifnya


(15)

Tanaman kakaomerupakan salah satu tanaman perkebunan yang luas areal penanamannya terus mengalami peningkatan. Luas areal tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.473.259 hektar dengan total produksi 792.791 ton (Deptan 2009). Peningkatan luas areal tanam dan produksi kakao, diikuti juga dengan peningkatan jumlah hasil ikutan pengolahan buah kakao. Selama ini dari buah kakao, hanya keping biji yang dimanfaatkan sebagai komoditi ekspor, sedangkan bagian lain belum dimanfaatkan secara optimal. Kulit buah kakao merupakan hasil ikutan yang proporsinya paling besar dihasilkan. Produksi satu ton biji kakao kering menghasilkan sekitar 10 ton kulit buah kakao segar (Figueira et al. 1993). Artinya pada tahun 2008 limbah kulit buah kakao hasil produksi mencapai 7.927.910 ton.

Bahan baku limbah kulit buah kakao diharapkan dapat menjadi bahan perekat alami alternatif. Untuk itu dari uraian di atas peneliti perlu melakukan penelitian apakah kulit buah kakao dapat dijadikan perekat likuida, dengan metode likuifikasi menggunakan H2SO4, formaldehida, dan phenol kristal sesuai dengan Pu et al., (1991) sebagai alternatif perekat sintesis. Pada penelitian ini kulit buah kakao dibagi menjadi kulit buah bagian dalam dan kulit buah bagian luar. Hal ini ditujukan untuk membandingkan kualitas perekat kulit buah kakao bagian dalam dan kulit buah kakao bagian luar.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeterminasi kualitas perekat yaitu sifat kenampakan, derajat keasaman (pH), viskositas, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, formaldehida bebas dan derajat kristalinitas.


(16)

2. Membandingkan kualitas perekat kulit buah kakao bagian dalam dan kulit buah kakao bagian luar

3. Membandingkan kualitas perekat likuida kulit buah kakao dengan standar SNI 06-4567-1998.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kakao

Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) tata nama tanaman ini sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Anak kelas : Dialypetalae Bangsa : Malvales Suku : Sterculiaceae Marga : Theobroma

Jenis : Theobroma cacao L

Kegunaan dan Kandungan Kimia Kakao

Salah satu tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai antioksidan dan antimikroba alami adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L.). Biji kakao kaya akan komponen-komponen senyawa fenolik, antara lain: katekin, epikatekin, proantosianidin, asam fenolat, tanin dan flavonoid lainnya. Biji kakao mempunyai potensi sebagai bahan antioksidan alami, antara lain : mempunyai kemampuan untuk memodulasi sistem ketahanan tubuh, efek kemopreventif untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan kanker (Othman et al, 2007), selain itu polifenol kakao bersifat antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen dan bakteri


(18)

karsinogenik (Osawal et al, 2000). Kakao juga mempunyai kapasitas antioksidan lebih tinggi dibanding teh dan anggur merah (Lee et al, 2003)

Disamping menghasilkan biji, dalam proses penanganannya juga menghasilkan produk ikutan (limbah) berupa kulit buah kakao sekitar 73,77% dari berat buah secara keseluruhan. Adanya komponen-komponen polifenol dalam biji kakao, tidak menutup kemungkinan juga terdapat dalam kulit buah kakao dengan khasiat yang sama. Menurut Figuera et al (1993), kulit buah kakao mengandung campuran flavonoid atau tanin terkondensasi atau terpolimerisasi, seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang kadang-kadang terikat dengan glukosa. Tanin yang terikat dengan gula umumnya mudah larut dalam pelarut hidroalkohol, sedangkan tanin terkondensasi atau tanin lebih mudah terekstraksi dengan pelarut aseton 70% .

Sampai saat ini kulit buah kakao belum dimanfaatkan secara optimal. Kulit buah kakao merupakan limbah lignoselulosa yang mengandung komponen utama berupa lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ashadi (1988), mengenai pembuatan gula cair dari kulit kakao didapatkan data mengenai komposisi buah kakao dan kandungan kimia kulit kakao. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kulit kakao mengandung 20,11% lignin, 31,25% selulosa, dan 48,64% hemiselulosa. Kandugan selulosa pada kulit kakao cukup potensial untuk diolah lebih lanjut.

Pod kakao merupakan bagian mesokarp atau dinding buah kakao yang mencakup kulit terluar sampai daging buah sebelum kumpulan biji. Pod buah kakao merupakan bagian terbesar dari buah kakao. Kulit kakao merupakan limbah lignoselulosa. Lignoselulosa merupakan komponen berenergi terbesar yang


(19)

dimiliki oleh limbah. Limbah lignoselulosia dapat digunakan sebagai bahan baku perekat organik. Lignoselulosa terdiri atas tiga penyusun utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang saling terikat erat membentuk satu kesatuan (Ashadi, 1988).

Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat (Sun dan Cheng, 2002). Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin

terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2008).

Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β-1,4-glikosidik. Molekul selulosa merupakan mikrofibil dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya membentuk rantai polimer yang sangat panjang. Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan et al., 1982). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol.

Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa. Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap air, bersifat plastis, dan mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih luas dari selulosa (Oshima, 1965). Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula. Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula.


(20)

Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis daripada selulosa, tetapi gula C-5 lebih sulit difermentasi menjadi etanol daripada gula C-6 (Perez et al., 2002).

Perekat

Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan

untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Forest Product Society, 1999 dalam Ruhendi et al., 2007). Berdasarkan unsur

kimia utama, Blomquist et al. (1983) dalam Sucipto (2009a) membagi perekat menjadi dua kategori yaitu:

1. Perekat alami

a. Berasal dari tumbuhan, seperti pati, dextrins (turunan pati) dan getah tumbuh-tumbuhan.

b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, albumin, darah, susu dan soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian).

c. Berasal dari material lain, seperti aspal, shellac (lak), karet, sodium silikat, magnesium oksikloridadanbahan anorganik lainnya.

2. Perekat sintetis

a. Perekat thermoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya polivinil alkohol (PVA), polivinil asetat (PVAc), kopolimer, ester dan eter selulosa, poliamida, polistirena, polivinil butiral dan polivinil formal.

b. Perekat thermoset yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultraviolet, dan tidak dapat kembali ke


(21)

bentuk semula. Contohnya urea, melamin, phenol, resorsinol, furfuril alkohol, epoksi, poliurethan, poliester tidak jenuh. Urea, melamin, phenol dan resorsinol akan menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida (HCHO).

c. Synthetic elastomers adalah perekat yang pada suhu kamar bisa diregangkan seperti neoprena, nitril dan polisulfida.

Perekat likuida

Salah satu teknologi pembuatan perekat dengan memanfaatkan sumberdaya alam adalah teknologi yang telah dikembangkan oleh Pu et al. (1991), yaitu dengan mengkonversi serbuk kayu dengan proses kimia sederhana yang disebut proses likuifikasi. Perekat alternatif ini dapat mengatasi kebutuhan perekat yang akan semakin meningkat saat ini, selain itu juga dapat mengurangi biaya produksi, karena perekat sintesis saat ini relatif mahal (Risnasari, 2008).

Menurut Tano (1997), keadaan suatu perekat ditentukan oleh metode aplikasinya. Perekat cair pada umumnya lebih mudah dipergunakan, secara mekanis penyebarannya pada permukaan benda yang halus dan rata akan tercapai, sedangkan untuk permukaan yang tak rata sebaiknya memakai sapuan (kuas) atau semprot (spray).

Perekat likuida dari limbah kulit buah kakao diuji dengan metoda SNI 06-4567-1998 dalam hal: kenampakan, pH, kekentalan, berat jenis, kadar padatan dan waktu gelatinasi.

1. Kenampakan


(22)

kehitaman yang disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya. Menurut Pu et al. (1991), perlakuan panas dan kimia pada lignin kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat likuida berwarna hitam.

2. Derajat keasaman

Keasaman perekat likuiada berkisar 8,04-8,40 yang berarti bersifat basa karena adanya penambahan NaOH 40% ke dalam perekat setelah pemasakan dan pendinginan sesaat. Sifat demikian diperlukan untuk memperpanjang waktu simpan perekat, karena pH tinggi akan memperlambat proses curing (pengerasan) perekat tersebut. Selain itu kesesuaian antara perekat likuida dengan kayu akan lebih baik, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat rusak (Ruhendi et al.,

2007). Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat berkisar 10-13. 3. Kekentalan (viskositas)

Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam permukaan kayu akan semakin sulit. Namun jika kekentalan terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi yang berlebihan dan menyebabkan minimnya garis rekat yang terbentuk. Menurut SNI 06-4567-1998, viskositas perekat berkisar 130-300 cps.

Kekentalan perekat likuida dari kenaf (Wulansari,2006) dan bambu (Widiyanto, 2002) masih memenuhi standar, sedangkan perekat likuida dari sabut kelapa (Meda 2006, dan Pamungkas 2006) didapatkan berbentuk pasta. Bentuk pasta dari perekat likuida ini akan menyulitkan aplikasi perekat pada saat pencampuran perekat dengan sabut kelapa. Menurut Pu et al. (1991), tingginya


(23)

kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan yang terlalu tinggi dapat dikurangi dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan.

4. Berat jenis

Berat jenis semua perekat likuida dari limbah non kayu lebih rendah dari berat jenis perekat fenol formaldehid menurut SNI 06-4567-1998, yaitu sebesar 1,165-1,200. Berat jenis perekat likuida sabut kelapa (Meda 2006, dan Pamungkas 2006) mengalami penurunan setelah diencerkan dengan air distilat.

5. Kadar padatan

Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu pada saat proses perekatan. Kadar padatan perekat likuida kenaf Wulansari (2006), bambu Widiyanto (2002) dan sabut kelapa Meda (2006) dan Pamungkas (2006) lebih rendah dari SNI 06-4567-1998 yaitu 40-45%. Ketiga bahan tersebut memiliki kerapatan yang rendah, sehingga menghasilkan likuida dengan kadar padatan yang rendah juga.

6. Waktu Gelatinasi

Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental/mengeras atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan. Waktu gelatinasi perekat likuida kenaf Wulansaro (2006) dan bambu Widiyanto (2002) adalah >60 menit, sedangkan waktu gelatinasi perekat likuida sabut kelapa Meda (2006) dan


(24)

Pamungkas (2006) adalah >30 menit. Waktu gelatinasi dari ketiga perekat tersebut sesuai dengan SNI 06-4567-1998 yaitu ≥30 menit. Dengan semakin lamanya waktu gelatinasi, perekat tidak mudah untuk menggumpal sehingga umur simpan perekat akan semakin lama.

Pu et al., (1991) menyatakan bahwa tingginya kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan perekat yang terlalu tinggi ini dapat dikurangi dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan.

Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat likuida melalui proses likuifikasi karena mengandung bahan lignoselulosa. Menurut Yoshioka et al. (1992), likuifikasi lignoselulosa adalah suatu prosedur untuk memproduksi minyak dari biomass dalam kondisi konversi tertentu. Likuifikasi lignoselulosa juga dapat dilakukan pada suhu 240~270oC tanpa katalis, 80~150oC dengan katalis asam, bahkan pada suhu ruang (kayu termodifikasi kimia).

Likuifikasi kayu tanpa perlakuan pendahuluan dapat terjadi dengan cara: a. Perlakuan pada suhu di atas 250oC selama 15-180 menit, dalam pelarut fenol,

bisfenol, alkohol, polihidrik alkohol, oksieter, dietilena glikol, triethilena glikol, polietilena glikol, 1,4-dioksana, cicloheksanone, dietil keton, etil n-propil keton (Yoshioka etal., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

b. Perlakuan pada suhu 150oC, tekanan atmosfir, dengan katalis asam fenolsulfonik dan asam sulfur (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).


(25)

Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut fenol, bisphenol dan polihidrik alkohol, serta dikombinasikan dengan penggunaan

croos-linking agent atau hardeners, menghasilkan resin (resin fenol formaldehida, resin poliuretan, resin epoksi dan lain-lain) dengan daya rekat yang baik (Yoshioka etal., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

Menurut Ruhendi et al. (2007), likuifikasi kayu termodifikasi kimia, dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

a. Likuifikasi dari kayu teresterifikasi

Berikut adalah dua penelitian mengenai likuifikasi kayu teresterifikasi:

1. Kayu yang diesterifikasi dengan serangkaian asam alifatik, dapat dilikuifikasi dalam benzil eter, stiren oksida, phenol resorsinol, benzaldehida, larutan phenol, campuran kloroform-dioksan dan campuran benzene-aseton setelah perlakuan pada suhu 200-270oC selama 20-150 menit (Yoshioka et al., 1992, dalam Ruhendi et al., 2007).

2. Carboxymethylated wood, allylated wood dan hydroxyethylated wood

dapat dilikuifikasi dalam phenol (atau larutannya), resorsinol (atau larutannya) dan formalin, setelah perendaman atau pengadukan pada suhu 170oC selama 30-60 menit (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

b. Penggunaan pelarut polihidrat alkohol (solvolisis)

Allylated wood, methylated wood, ethylated wood, hydroxyethylated wood

dan acetylated wood dapat dilarutkan dalam polihidrat alkohol seperti 1,6 hexanediol, 1,4-butanediol, 1,2-ethanediol, 1,2,3-propantriol (glycerol), dengan adanya katalis yang sesuai pada suhu 80oC selama 30-150 menit. Tiap


(26)

reaksi tersebut menyebabkan lepasnya fraksi alkohol (alkoholisis) dari makromolekul lignin (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi, 2007).

c. Post-chlorination dari kayu termodifikasi kimia

Kayu termodifikasi kimia yang diklorinasi akan meningkat kelarutannya dalam pelarut. Pada suhu ruang, hanya 9,25% cyanoethylated wood dapat dilarutkan dalam o-cresol. Namun setelah reaksi klorinasi, hampir seluruh

cyanoethylated wood tersebut dapat larut dalam o-cresol, pada suhu ruang (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007)


(27)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2012 sampai Juni 2012. Penelitian bertempat di Laboratorium Kimia Organik untuk pembuatan partikel kulit buah kakao dan pembuatan perekat likuida. Untuk determinasi kelarutan perekat dan determinasi kualitas perekat dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor untuk uji derajat kristalinitas.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan adalah alat penggiling, blender, pisau, saringan serbuk ukuran 20~40 mesh, oven, desikator, timbangan, penangas air, pengaduk, kaca datar, cawan abu, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, pH–meter, kertas pH, viscometer, piknometer, thermometer, kertas saring, alumunium foil, tisu, botol kaca, x–ray diffractometer untuk determinasi derajat kekristalan, alat tulis, alat hitung dan tally sheet. Bahan yang digunakan adalah kulit buah kakao, phenol kristal, larutan H2SO4 98%, formalin, NaOH 40%, NH4OH10%, NaOH 1 N, NaOH 0,1 N, HCl 1 N, HCl 0,1 N, indikator metil merah dan metilen biru, air destilata atau aquades.

Prosedur Penelitian


(28)

1. Kulit buah kakao terlebih dahulu dibagi menjadi kulit buah bagian dalam (KBKD) dan kulit buah bagian luar (KBKL), lalu masing-masing kulit buah kakao dicacah menjadi serpihan kecil menggunakan pisau.

2. Masing-masing serpihan kulit buah kakao dikeringkan dengan cara dijemur dan dikeringkan dalam oven sampai kadar air sekitar 15%.

3. Serpihan kulit buah kakao digiling dengan menggunakan alat penggiling dan

blender, lalu disaring sampai diperoleh serbuk ukuran 20~40 mesh.

4. Partikel berupa serbuk kulit buah kakao dalam dan luar disimpan di tempat yang sejuk dan kering.

5. Masing-masing partikel kulit buah kakao diberi perlakuan perendaman dalam air panas di atas penangas air pada suhu 80~90oC selama 3 jam untuk menurunkan kadar ekstraktifnya. Perbandingan serbuk kulit buah kakao: air adalah 1 : 15.

6. Setelah perlakuan perendaman, serbuk tersebut dikeringkan dalam oven sampai kadar air sekitar 5% dan disimpan dalam kantong plastik yang tertutup rapat.

b. Pembuatan Perekat Likuida

Pembuatan perekat likuida kulit buah kakao mengacu kepada Sucipto (2009b) yaitu:

1. Masing-masing serbuk kulit buah kakao sebanyak 100 g berukuran 20~40 mesh dan kadar air sekitar 5% dimasukkan ke dalam gelas piala.

2. Tambahkan larutan H2SO4 98% sebanyak 25 ml (5% dari berat phenol) dan diaduk sampai rata sekitar 30 menit. Gelas piala ditutup rapat dan diamkan selama 24 jam.


(29)

3. Phenol kristal teknis dipanaskan dalam penangas air pada suhu 600C agar berubah menjadi larutan. Larutan phenol sebanyak 500 ml (lima kali berat serbuk kulit buah kakao) dimasukkan ke dalam gelas piala yang sudah berisi serbuk kulit buah kakao dan larutan H2SO4 98%. Ketiga bahan tersebut diaduk dalam gelas piala sampai larutan menjadi homogen.

4. Selanjutnya tambahkan NaOH 50% sambil diaduk sampai mencapai pH 11. 5. Larutan formaldehida 37% (formalin) ditambahkan dengan perbandingan

molar phenol : formalin adalah 1 : 1,2. Larutan diaduk sampai homogen. 6. Larutan disaring menggunakan kertas saring.

7. Panaskan larutan yang sudah disaring dalam penangas air pada suhu 900C selama 2 jam sambil diaduk sampai larutan menjadi homogen. Lalu, perekat disimpan dalam botol kaca.

c. Pengujian Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Dingin

Prosedur pengujian kelarutan zat ekstraktif larut dalam air dingin dilakukan berdasarkan TAPPI T 207 om-88. Masing-masing sebanyak 2 g serbuk kulit buah dalam (KBKD) dan luar (KBKL) dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 300 ml dan aduk secara perlahan-lahan. Ekstraksi pada suhu 103±2 ºC. Cuci dengan 200 ml air destilata dingin dan keringka hingga beratnya konstan pada suhu 103±2 ºC, dinginkan dan ditimbang. Kelarutan zat ektraktif larut dalam air dihitung dengan menggunakan rumus :

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Dingin = BA-BB BKO

x 100 Keterangan :


(30)

BB = Berat kering tetap (g) BKO = Berat kering oven (g)

Pengujian Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Panas

Prosedur pengujian kelarutan zat ekstraktif dalam air panas dilakukan berdasarkan TAPPI T 207 om-88. Masing-masing serbuk KBKD dan KBKL sebanyak 2 g serbuk dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 ml air destilata panas dan dipanaskan pada waterbath selama 3 jam dengan suhu 80ºC. Kertas saring dikeringkan dalam oven dan ditimbang beratnya. Sampel dipindahkan kedalam kertas saring kemudian dicuci dengan air panas hingga larutan bening lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 ºC hingga beratnya konstan dan ditimbang beratnya. Kelarutan zat ekstraktif dalam air panas dihitung menggunakan rumus :

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Panas = BA-BB BKO

x 100 Keterangan :

BA = Berat awal partikel (g) BB = Berat kering tetap (g) BKO = Berat kering oven (g)

Pengujian Kelarutan Zat Ekstraktif dalam NaOH 1%

Prosedur pengujian zat ekstraktif dalam NaOH 1% dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 4 m-59. Masing-masing serbuk sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 500 ml. Masukkan air sebanyak 100 ml ke dalam piala sambil diaduk. Panaskan di atas penangas air pada suhu 100 ºC selama 1 jam,


(31)

dengan tiga kali pengadukan yaitu pada menit ke- 10, 15, dan 20. Saring menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya . Serbuk dicuci dengan air panas, asam asetat 10% dan air panas sampai fitrat tidak berwarna. Serbuk dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 ºC selama 4 jam. Dinginkan dalam desikator kemudian timbang beratnya. Pengeringan dan penimbangan serbuk kulit buah kakao terus dilakukan sampai diperoleh berat tetap. Kelarutan NaOH 1% ditentukan dengan rumus:

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam NaOH 1% = BA-BB BKO

x 100 Keterangan :

BA = Berat awal partikel (g) BB = Berat kering tetap (g) BKO = Berat kering oven (g)

Pengujian Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Etanol-Benzena (1:2)

Prosedur pengujian kelarutan dalam etanol-benzena dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 204 om-88. Masing-masing serbuk sebanyak 10 g serbuk dimasukkan ke dalam kertas saring yang telah diketahui berat kering tanurnya kemudian dibentuk seperti timbel. Timbel dimasukkan ke dalam soxhlet dan diekstraksi dengan 300 ml larutan etanol-benzena selama 6-8 jam. Setelah diekstraksi, timbel dicuci dengan etanol hingga larutan menjadi bening dan dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 ºC hingga beratnya konstan. Kelarutan zat ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2) dihitung menggunakan rumus:

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2) = BA-BB BKO

x 100


(32)

BA = Berat awal partikel (g) BB = Berat kering tetap (g) BKO = Berat kering oven (g)

d. Determinasi Kualitas Perekat

Determinasi kualitas perekat kulit buah kakao dalam dan luar dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan, hasil yang digunakan dari determinasi kualitas ini adalah hasil rata-rata dari ulangan yang ada. Determinasi kualitas perekat mengacu pada SNI 06–4567–1998 mengenai phenol formaldehida cair untuk perekat kayu lapis, yang terdiri atas:

Kenampakan

Prinsip uji kenampakan adalah pengamatan secara visual mengenai warna dan adanya benda asing dalam perekat. Cara determinasi kenampakan perekat adalah: contoh perekat dituangkan di atas permukaan gelas datar, lalu dialirkan sampai membentuk lapisan film tipis. Dilakukan pengamatan visual tentang warna, dan keberadaan benda asing berupa butiran padat, debu dan benda lain.

Keasaman (pH)

Pengukuran pH adalah pengukuran banyaknya konsentrasi ion H+ pada suatu larutan. Cara determinasi pH perekat adalah: contoh perekat dituangkan secukupnya ke dalam gelas piala 200 ml dan diukur keasamannya pada suhu 25oC menggunakan pH-meter. Sebelum dilakukan pengujian pH perekat, terlebih dahulu dilakukan standardisasi pH-meter dengan larutan buffer pH 7 dan pH 10 pada suhu 25 oC.


(33)

Kekentalan (viskositas)

Prinsip pengukuran kekentalan adalah pengukuran gesekan internal yang disebabkan oleh kohesi molekul dalam suatu aliran. Cara determinasi kekentalan perekat adalah: contoh perekat dituangkan secukupnya ke dalam gelas. Jenis rotor yang sesuai dengan perekat dipasang pada viskometer dan bagian rotor dicelupkan ke dalam perekat. Rotor akan berputar dengan kecepatan putar yang sesuai sampai menunjukkan angka konstan yang menyatakan nilai kekentalan perekat. Berat jenis

Berat jenis adalah perbandingan berat contoh terhadap berat air pada volume dan suhu yang sama. Cara determinasi berat jenis perekat adalah: piknometer kosong yang bersih dan kering ditimbang (W1). Kemudian piknometer diisi air dengan suhu 25 oC sampai penuh dan ditutup tanpa ada gelembung udara. Bagian luar piknometer dibersihkan dan dikeringkan dengan tisu, lalu ditimbang (W2). Air dalam piknometer dibuang sampai bersih dan keringkan. Selanjutnya piknometer diisi dengan contoh perekat sampai penuh dan ditutup tanpa ada gelembung udara. Bagian luar piknometer dibersihkan dan dikeringkan dengan tisu, lalu ditimbang (W3). Berat jenis perekat dihitung dengan rumus:

Berat jenis = (W3 – W1) / (W2 – W1) Sisa penguapan/ kadar padatan

Sisa penguapan/ kadar padatan adalah perbandingan antara berat contoh sebelum dipanaskan dengan berat contoh sesudah dipanaskan pada suhu 150±2oC sampai berat tetap. Cara determinasi kadar padatan perekat adalah: contoh perekat sebanyak 1,5 gram dimasukkan ke cawan (W1). Selanjutnya perekat


(34)

dalam cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 150±2oC selama satu jam. Dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang. Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh berat tetap (W2). Kadar padatan ditentukan dengan rumus:

Kadar padatan (%) = (W2 / W1) x 100 Waktu gelatinasi

Waktu gelatinasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh contoh perekat untuk membentuk gelatin pada suhu tertentu. Cara determinasi waktu gelatinasi perekat adalah: contoh perekat sebanyak ±10 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya dipanaskan di atas penangas air pada suhu 100oC dengan posisi permukaan perekat berada 2 cm di bawah permukaan air. Amati waktu yang dibutuhkan perekat tersebut untuk berubah wujud menjadi gel (gelatinasi) dengan cara memiringkan tabung reaksi. Perekat yang sudah tergelatinasi ditandai dengan tidak mengalirnya perekat ketika tabung reaksi dimiringkan.

Kadar abu

Pengujian kadar abu perekat menggunakan standar ASTM D 1102–84. Cara determinasi kadar abu perekat adalah: cawan porselen kosong dipanaskan dalam tanur pada suhu 600oC selama satu jam, kemudian cawan tersebut dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang. Sebanyak ±2 g contoh perekat masukkan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang, kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 103±2oC selama satu jam. Dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang. Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh berat tetap (W1). Selanjutnya contoh perekat dalam cawan dikeringkan dalam tanur dengan suhu


(35)

600oC selama satu jam. Dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang. Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh berat tetap (W2). Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%) = (W2 / W1) x 100 Formaldehida bebas

Pengujian formaldehida bebas mengacu pada SNI 06–4565–1998 tentang urea formaldehda cair untuk perekat papan partikel atau SNI 06–0163–1998 tentang melamin formaldehida cair untuk perekat kayu lapis. Pada pengujian ini dilakukan perlakuan pendahuluan berupa karbonisasi menggunakan arang aktif untuk memudahkan pengamatan perubahan warna perekat saat titrasi.

Cara determinasi formaldehida bebas perekat adalah: contoh perekat sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml, tambahkan air sebanyak 50 ml dan aduk sampai merata. Indikator metil merah dan metilen biru diteteskan sebanyak 2~3 tetes, lalu campuran dinetralkan dengan HCl 0,1 N atau NaOH 1 N. Setelah netral, campuran ditambahkan dengan NH4OH 10% sebanyak 10 ml dan NaOH 1 N sebanyak 10 ml. Erlenmeyer tersebut ditutup, dikocok dan diletakkan di atas penangas air pada suhu 30oC selama 30 menit.

Selanjutnya campuran dititrasi dengan HCl 1 N sehingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi biru kelabu dan kemudian merah ungu. Dengan menggunakan prosedur yang sama dengan larutan contoh, dibuat juga larutan blanko tanpa penambahan perekat. Formaldehida bebas perekat dapat ditentukan dengan rumus:

(V1 – V2) x N x 30,03

FB (%) = x 100 W x 1000


(36)

Keterangan:

FB = formaldehida bebas (%)

V1 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) V2 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi contoh (ml) N = normalitas HCl

30,03 = bobot molekul formaldehida W = berat contoh (g)

Derajat kristalinitas

Derajat kristalinitas menunjukkan banyaknya bagian kristalin (non amorf) terhadap keseluruhan bagian contoh dengan menggunakan XRD-7000 (x-ray diffractometer). Cara determinasinya contoh partikel dimasukkan ke dalam tempat contoh (sample hodler) dan diratakan dengan cara ditekan menggunakan kaca sampai rata dan padat. Selanjutnya tempat contoh dimasukkan pada alat dan XRD menembakkan sinar-x pada contoh perekat dengan sudut theta-2theta selama 40 menit. Sinar x akan diserap dan dipantulkan oleh contoh perekat akan ditangkap oleh bagian penerima (receiver). Hasilnya adalah berupa grafik yang dapat ditentukan derajat kristalinitasnya.


(37)

Bagan alir prosedur pembuatan perekat likuida yang akan dilakukan disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir pembuatan perekat likuida Perendaman dalam air panas

suhu 80-90 oC, 3 jam Dicacah,dikeringkan, digiling,

dan disaring 20-40 mesh

Determinasi kelarutan zat ekstraktif

Determinasi kualitas perekat: kenampakan, pH, viskositas, BJ, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu, formaldehida bebas, derajat kristalinitas. Likuifikasi dengan fenol dan

H2SO4 pada 90oC, 2 jam

Kulit buah kakao

Partikel serbuk kulit kakao bagian dalam dan luar

Partikel serbuk kulit buah kakao dengan kadar ekstraktif rendah

Bahan perekat likuida

Perekat likuida kulit buah kakao

Kelarutan air panas dan air dingin Kelarutan dalam NaOH 1% dan

etanol-benzena (1:2) Kulit buah kakao

bagian dalam (KBKD) Kulit buah kakao


(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan perekat likuida memanfaatkan sumber daya alam berlignoselulosa dengan membuat serbuk kulit buah kakao menjadi perekat likuida. Pembuatan perekat likuida disebut likuifikasi kayu dengan proses kimia sederhana. Perekat likuida yang dihasilkan berasal dari pembagian kulit buah kakao yaitu perekat kulit buah kakao bagian luar (KBKL) dan perekat kulit buah kakao bagian dalam (KBKD).

Pengujian perekat likuida menggunakan parameter seperti kelarutan dalam air dingin dan air panas, kelarutan dalam NaOH 1% dan etanol-benzena (1:2), kenampakan, keasaman, kekentalan, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu dan formaldehida bebas. Pengujian kualitas perekat likuida dari kulit buah kakao bagian dalam dan luar yang dihasilkan mengacu pada SNI 06-4567-1998 (kenampakan, keasaman, kekentalan, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi), SNI 06-4565-1998 (formaldehida bebas), dan ASTM D 1102-84 (kadar abu). Perekat likuida yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2.

A B


(39)

11.73 11.11 14.94 5.82 9.29 13.63 12.99 6.38 0 5 10 15 20

air dingin air panas NaOH 1% etanol-benzena (1:2) k e lar u tan za t e k str a k ti f ( % ) KBKL KBKD

Determinasi Kelarutan Zat Ekstraktif Partikel Kulit Kakao

Zat ekstraktif meliputi sejumlah besar senyawa yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam istilah sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik. Perhitungan kelarutan zat ekstraktif bertujuan untuk mengetahui besarnya zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin, air panas, NaOH 1% dan etanol-benzena (1:2) yang terkandung dalam kulit buah kakao (KBKL dan KBKD). Zat ekstraktif dapat berpengaruh bagi kualitas perekat. Determinasi kelarutan zat ekstraktif partikel kulit kakao (KBKL dan KBKD) yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Grafik kelarutan zat ekstraktif partikel kakao Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin

Zat ekstraktif bukan merupakan bagian dari struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Zat yang terlarut dalam air dingin menurut Batubara (2009) adalah zat warna, gula, dan pati. Jumlah dan jenis dan zat ekstraktif


(40)

terdapat tergantung tanaman pada letaknya dan jenis dan tanaman. Zat ekstraktif dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan.

Kelarutan zat ekstraktif partikel KBKL dalam air dingin adalah 11,73% sedangkan pada KBKD adalah 9,29%. Persentase kelarutan zat ekstraktif KBKL lebih besar dibandingkan KBKD. Hal ini menunjukkan zat ekstraktif yang terlarut pada KBKL lebih tinggi daripada KBKD. Pada kelarutan dalam air dingin zat yang terlarut adalah zat warna, gula dan pati. Kulit luar pada Kulit buah kakao memiliki tekstur yang lebih keras dibanding dengan kulit dalam yang lunak dan basah atau berlendir. Warna pada KBKL berbeda dengan KBKD yaitu kuning, merah atau perpaduan keduanya sedangkan KBKD memiliki warna putih atau kekuningan. Diduga perbedaan ini yang membuat adanya perbedaan kelarutan zat ekstraktif pada keduanya.

Kelarutan zat ekstraktif dalam air panas

Menurut Batubara (2009), zat ekstraktif yang larut dalam air panas adalah lemak, zat warna, tanin, damar, dan plobatanin. Kelarutan partikel KBKL dalam air panas adalah 11,11% sedangkan pada KBKD adalah 13,63%. Persentase kelarutan KBKD lebih besar dari KBKL. Kelarutan zat ektraktif dalam air panas pada KBKL dan KBKD lebih rendah dibandingkan kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin. Pengaruh suhu tidak meningkatkan hasil ekstraksi. Hal ini karena senyawa yang terlarut dalam air dingin berbeda dengan senyawa yang terlarut dalam air panas.

Perbedaan zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas pada KBKL dan KBKD diduga karena perbedaan pada pembagian kulit tersebut yang dikemukakan sebelumnya. KBKD yang lunak dan berwarna putih diduga


(41)

memiliki zat ektraktif yang lebih banyak larut di dalam air panas, sedangkan pada air dingin KBKL lebih memiliki zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dibanding air panas.

Kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1%

Kelarutan partikel KBKL dalam NaOH 1% adalah 14,94% sedangkan pada KBKD adalah 12,99%. KBKL memiliki persentase kelarutan NaOH 1% lebih tinggi daripada KBKD. Kelarutan partikel dalam NaOH 1% menunjukkan kerusakan bahan partikel tersebut oleh organisme perusak kayu. KBKL memiliki persentase yang lebih besar diduga karena KBKL memiliki potensi yang lebih besar rusak akibat organisme perusak kayu, baik berupa hama maupun penyakit dari tanaman kakao sedangkan KBKD yang terletak di dalam akan dilindungi oleh KBKL yang mungkin terserang organisme perusak terlebih dahulu.

Menurut Batubara (2009) tingginya zat ekstraktif kulit kayu yang larut dalam NaOH 1% diduga selain zat ekstraktif ada kemungkinan juga sebagian hemiselulosa ikut terlarut khususnya pada bagian kulit yang mengalami kerusakan baik secara mekanis maupun biologis. Tingginya persentase kelarutan dalam NaOH 1% pada partikel kulit buah kakao dapat diduga juga terdapat hemiselulosa yang terlarut.

Kelarutan zat ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2)

Kelarutan partikel KBKL dalam etanol-benzena (1:2) adalah 5,82% sedangkan pada KBKD adalah 6,38%. Persentase kelarutan KBKD lebih tinggi disbanding dengan KBKL. Determinasi kelarutan ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2) bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif golongan lemak, resin dan gum di dalam partikel kulit buah kakao. Dalam kelarutan etanol-benzena (1:2)


(42)

KBKD memiliki persentase zat ekstraktif yang lebih banyak terlarut diduga karena bentuk dari KBKD yang bertekstur lebih lunak, berlendir dan berwarna putih yang mungkin memiliki lemak, resin atau gum yang lebih tinggi dari KBKL, karena seperti yang diketahui bahwa lemak, resin atau gum adalah zat yang terlarut pada etanol-benzena (1:2).

Determinasi Kualitas Perekat

Determinasi kualitas perekat untuk karakteristik kenampakan, keasaman, kekentalan, berat jenis, kadar padatan dan waktu gelatinasi mengacu pada SNI 06–4567–1998 mengenai Phenol Formaldehida Cair untuk Perekat Kayu Lapis karena standar yang sesuai untuk perekat likuida dengan kandungan phenolik dan formalin adalah SNI 06-4567-1998, dan tidak ada standar yang secara khusus membahas tentang perekat likuida. Sementara untuk pengujian formaldehida bebas mengacu pada SNI 06-4565-1998 karena SNI 06-4567-1998 tidak mempunyai persyaratan mengenai pengujian formaldehida bebas perekat, dan pengujian kadar abu mengacu pada ASTM D 1102-84 karena SNI 06-4567-1998 dan SNI 06-4565-1998 juga tidak mempunyai persyaratan mengenai kadar abu perekat.

Perekat likuida yang dihasilkan dari kulit buah kakao luar (KBKL) dan dalam (KBKD) dengan campuran H2SO4, formalin, NaOH dan phenol kristal memiliki karakteristik kenampakan, keasaman, kekentalan, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu dan formaldehida bebas seperti pada Tabel 1.


(43)

Tabel 1. Karakteristik perekat likuida dari KBKL dan KBKD Parameter Satuan Kualitas Perekat Kulit Buah Kakao Dalam (KBKD) Kualitas Perekat Kulit Buah Kakao Luar (KBKL) Kualitas Perekat PF (SNI

06-4567-1998) Kenampakan -Warna coklat kemerahan dan bebas dari kotoran

Warna coklat dan bebas dari

kotoran

Warna merah kehitaman dan bebas dari kotoran

Keasaman (pH) - 10*** 10*** 10,0- 13,0

Kekentalan Cps 31,20 0,84 130-300

Berat jenis - 1,156 1,262 1,165-1,200

Kadar padatan % 44,66*** 42,33*** 40-45

Waktu gelatinasi

Menit 73 menit 45 detik***

89 menit 37 detik***

≥ 30 menit

Kadar abu % 13,80 9,20 0,16- 0,84*

Formaldehida

bebas % 0,48*** 0,8***

≤ 2**

Derajat

Kristalinitas % 37,28 35,19

-Keterangan:

*mengacu pada ASTM D 1102-84 **mengacu pada SNI 06-4565-1998

***parameter kualitas yang memenuhi standar

Kenampakan

Warna perekat likuida dari KBKL yang dihasilkan berwarna coklat dan berbentuk cair, sedangkan warna perekat yang dihasilkan KBKD berwarna coklat kemerahan dan berbentuk cair. Warna yang dihasilkan KBKD lebih gelap dibandingkan dengan KBKL.

Pada perekat KBKL dan KBKD tidak terdapat kotoran maupun benda asing karena pada proses pembuatan dilakukan penyaringan larutan perekat dengan kertas saring. Hasil yang diperoleh memenuhi persyaratan SNI 06-4567-1998, yaitu bebas dari kotoran sedangkan warnanya tidak memenuhi. Perbedaan


(44)

warna pada kedua perekat diduga karena perbedaan warna serbuk partikelnya. KBKD memiliki warna yang lebih gelap dibanding dengan warna partikel KBKL maka hasil yang diperoleh KBKL memiliki warna yang lebih gelap dan kemerahan. Kenampakan perekat KBKD dan KBKL dapat dilihat pada Gambar 4.

A B

Gambar 4. Kenampakan perekat likuida KBKD (A) dan KBKL (B)

Menurut Pu et al (1991), perekat yang berwarna merah kehitaman disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya. Perlakuan panas dan kimia pada lignin kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat likuida berwarna hitam. Pada penelitian Prasetyo (2006) warna perekat likuida dari bambu adalah cokelat kehitaman dengan penambahan melamin formaldehida dan terkesan kasar karena adanya butiran yang disebabkan oleh proses konversi serat bambu yang banyak mengandung silika berlangsung tidak sempurna sedangkan pada penelitian Masri (2005) dan Prihantini (2008) mendapatkan perekat tandan kosong sawit


(45)

yang masih mengandung kotoran atau serabut butiran halus. Warnanya lebih gelap karena adanya senyawa karbon dan tanpa proses penyaringan perekat.

Keasaman (pH)

Keasaman likuida KBKL dan keasaman likuida KBKD adalah 10 yang berarti likuida KBKL dan KBKD bersifat basa dan memenuhi SNI 06-4567-1998 yaitu pH antara 10-13. pH perekat akan lebih baik apabila pH tinggi (basa) agar kesesuaian antara perekat dan kayu akan lebih baik. Sifat basa yang terdapat pada perekat ini sebabkan karena adanya penambahan NaOH 50% ke dalam larutan perekat. Sifat basa diperlukan untuk kesesuaian perekat dan kayu dan agar tidak merusak struktur kayu yang direkat.

Keasaman pada perekat likuida KBKL dan KBKD sama. Hal ini diduga karena kandungan dan pH dari kulit kakao sama atau tidak jauh berbeda. pH yang diperoleh sama juga dikarenakan pada pembuatan perekat telah ditambah NaOH 50% agar memperoleh pH 10 yang bersifat basa dan sesuai standar. Pada penelitian ini dipakai kertas pH universal, akan lebih baik digunakan pH meter. Apabila digunakan pH meter akan memperoleh hasil yang lebih detail, bahkan tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan pada kedua perekat.

Menurut Kollman et al (1975) dalam Ruhendi et al (2000), pH perekat yang sangat rendah dapat menyebabkan kerusakan pada kayu. Selain itu derajat keasaman tinggi pada perekat mempunyai dua fungsi, yaitu untuk membersihkan permukaan kayu yang akan direkat dengan cara melarutkan kontaminan yang ada dan untuk mengembangkan zat kayu serta membuka struktur dinding sel sehingga akan memperbaiki penetrasi dari perekat.


(46)

Kekentalan (viskositas)

Kekentalan perekat likuida KBKL yang dihasilkan adalah 0,84 cps dan kekentalan likuida KBKD adalah 31,20, kedua perekat lukuida ini tidak memenuhi SNI 4567-1998. Kekentalan yang disyaratkan menurut SNI 06-4567-1998 adalah 130-300 cps. Perekat likuida KBKD lebih kental dibanding KBKL.

Pada viskositas KBKD dan KBKL memiliki perbedaan yang jauh. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan KBKD yang lebih kental dibanding KBKL. Hal tersebut terjadi karena partikel KBKD lebih banyak terlarut pada saat pembuatan perekat likuida. Pada saat proses akhir penyaringan larutan perekat dengan kertas saring, terlihat bahwa hasil saringan akhir KBKD lebih sedikit dari KBKL. Berarti KBKL memiliki partikel yang lebih sulit dilarutkan atau partikelnya lebih besar dibanding dengan KBKD dan partikel KBKD lebih larut dibanding KBKL. Pengukuran viskositas dapat dilihat pada Gambar 5.

A B


(47)

Kekentalan sangat penting dalam perekatan karena dapat mempengaruhi kemampuan penetrasi perekat dan pembasahan oleh perekat. Perekat likuida kulit buah kakao memiliki berat molekul komponen perekat yang rendah sehingga memiliki kekentalan perekat yang rendah pula. Pada penelitian ini memakai phenol yang memerlukan tambahan formaldehida dengan perbandingan molar P:F= 1: 1,2. Tingkat keasaman pada perekat juga memerlukan penambahan NaOH (bersifat basa) lebih banyak.

Pu et al. (1991) menyatakan kekentalan perekat meningkat seiring waktu likuifikasi, yang meningkatkan jumlah phenol yang terikat pada komponen kayu. Menurut Ruhendi (2008), semakin kecil viskositas perekat, maka semakin besar kemampuan perekat untuk mengalir, berpindah, dan mengadakan penetrasi dan pembasahan. Dengan demikian maka kualitas perekatan akan meningkat sampai pada batas keenceran tertentu, karena perekat yang terlalu encer justru akan menurunkan nilai keteguhan rekat. Sebaliknya, semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam permukaan yang direkat akan semakin sulit.

Menurut Maloney (1993), perekat yang nilai viskositasnya sesuai akan membuat perekat mampu menembus pori kayu dengan baik dan membentuk ikatan yang optimum. Perekat tersebut menghasilkan daya rekat yang baik.

Berat jenis

Berat jenis perekat likuida KBKL yang dihasilkan adalah 1,262 dan KBKD adalah 1,156. Berat jenis yang dihasilkan tidak memenuhi SNI 06-4567-1998. Berat jenis yang seharusnya disyaratkan adalah 1,165-1,200.


(48)

Berat jenis KBKL lebih besar dibanding dengan KBKD walaupun keduanya tidak memenuhi standar. Rendahnya nilai berat jenis perekat diduga disebabkan karena serbuk bahan pembuat likuida adalah serbuk dari kulit buah kakao yang memiliki berat jenis yang rendah. Hasil penelitian Nuralexa (2009) berat jenis sengon bagian dalam sebesar 0,34 dan bagian luar sebesar 0,36. Berat jenis gmelina bagian dalam sebesar 0,49 dan bagian luar sebesar 0,53. KBKL memiliki berat jenis yang lebih tinggi dari KBKD bahkan melebihi SNI, diduga karena KBKL memiliki sifat yang lebih keras dan tidak lunak seperti KBKD. Pada saat proses penggilingan, KBKL lebih sukar digiling karena kulitnya yang lebih keras dan lebih menyatu.

Menurut Setiawan (2004), berat jenis perekat menunjukkan berat jenis masing-masing komponen yang menyusun perekat tersebut, semakin banyak komponen perekat yang berat jenisnya tinggi maka berat jenis perekat tersebut juga semakin tinggi. Pengukuran berat jenis perekat likuida KBKL dan KBKD dapat dilihat pada Gambar 6.


(49)

Sisa penguapan (kadar padatan)

Sisa penguapan atau kadar padatan merupakan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul sirekat. Sisa penguapan (kadar padatan) dari perekat likuida KBKL adalah 42,33% dan KBKD adalah 44,66%. Hasil sisa penguapan dari kedua perekat ini memenuhi SNI 06-4567-1998 yaitu kadar padatan yang disyaratkan adalah 40%-45%. Kadar padatan menunjukkan kandungan resin padat yang tidak menguap selama proses pemanasan, jumlah resin padat tersebut mempengaruhi kekuatan papan partikel.

Kadar padatan pada KBKD lebih tinggi dari kadar padatan KBKL, hal ini dapat dilihat dari wujud KBKD yang lebih padat atau kental dibanding KBKL sehingga persentasi kadar KBKD lebih tinggi. KBKD yang lebih kental dan lebih padat akan menghasilkan kadar padatan yang lebih tinggi karena larutannya menguap lebih sedikit pada saat pemanasan. Justru karena kekentalan pada KBKD membuat sisa padatan menjadi lebih banyak dibanding KBKL yang lebih cair.

KBKD dapat menjadi perekat likuida yang lebih baik dari KBKL karena kadar padatannya yang lebih tinggi. Kadar padatan yang tinggi dalam batasan tertentu dapat meningkatkan kualitas perekat dan keteguhan rekatnya. Gambar 7 merupakan gambar perekat likuida KBKL dan KBKD sebelum dan sesudah dikeringkan dalam oven.


(50)

A

B

Gambar 7. Perekat likuida KBKL dan KBKD sebelum (A) dan sesudah dikeringkan dalam oven (B)

Ikatan rekat maksimum dapat terjadi jika perekat dapat membasahi semua permukaan kayu sehingga terjadi kontak antara molekul perekat dan molekul kayu yang pada akhirnya akan mempunyai daya tarik intermolekul lebih baik. Dengan demikian peningkatan kadar padatan akan meningkatkan kualitas perekat yang dihasilkan.

Menurut Vick (1999) dalam Ruhendi et al (2007), semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan. Maka dengan hasil kadar padatan yang didapat akan dapat menciptakan keteguhan rekat yang baik karena sesuai dengan standar yang disyaratkan.

Waktu gelatinasi

Masa gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau menjadi gel sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan


(51)

diperoleh adalah 89 menit 37 detik sedangkan likuida KBKD adalah 73 menit 45 detik. Waktu yang dihasilkan tersebut memenuhi SNI 06-4567-1998 yaitu ≥30 menit. KBKL memiliki waktu gelatinasi yang lebih lama dibandingkan dengan KBKD.

Perbedaan waktu gelatinasi dapat dihubungkan dengan pH atau keasaman perekat. Menurut Sucipto (2009) semakin asam perekat maka waktu gelatinasi perekat semakin rendah (cepat). Penambahan resorsinol yang bersifat asam akan meningkatkan waktu gelatinasi. Penurunan waktu gelatinasi dapat dilakukan dengan memodifikasi keasaman perekat likuida, yaitu dengan meningkatkan keasaman perekat, seperti penambahan senyawa kimia basa pada larutan perekat tersebut.

Diduga perbedaan waktu gelatinasi antara KBKL dan KBKL terdapat pada perbedaan kekentalan keduanya. KBKD yang lebih kental dibanding KBKL akan lebih cepat menjadi gel. Apabila disinggung dari keasaman, keduanya memiliki pH yang sama. Namun, apabila keduanya memiliki sedikit perbedaan pada pH (yang lebih akurat) maka dapat diduga KBKD sedikit lebih asam dari KBKL.

Sesuai dengan pernyataan Ruhendi et al., (2007), semakin lama waktu gelatinasi yang dihasilkan maka umur simpan perekat juga lama karena perekat tidak mudah mengental. Santoso (1995) juga menambahkan waktu gelatinasi yang tinggi juga mengakibatkan proses aplikasi pada sirekat memerlukan proses pengempaan yang lebih lama dengan suhu yang lebih tinggi agar perekat cepat mengeras.


(52)

A B

Gambar 8. Perekat dipanaskan di penangas air (A) dan perekat yang membentuk gel (B)

Kadar abu

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam perekat likuida kulit buah kakao. Menurut Sudarmadji et. al. (2003), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.

Kadar abu perekat likuida yang didapat pada perekat likuida KBKL adalah 9,2% sedangkan pada perekat likuida KBKD adalah 13,8%. Artinya kedua perekat likuida kulit buah kakao memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi. KBKD memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibanding KBKL, yang berarti kandungan mineral pada KBKD lebih tinggi dibanding KBKL. Kadar abu yang tinggi dari kedua perekat likuida berpengaruh pada kualitas perekat. Hal ini diduga karena KBKD yang lebih pekat atau kental dibanding KBKL dan juga memiliki kadar padatan yang tinggi, maka kadar abunya juga lebih tinggi.


(53)

Endapan mineral semakin besar terdiri dari kalsium karbonat, kalsium oksalat, dan silika. Tingginya kadar abu dalam perekat likuida KBKL dan KBKD dipengaruhi silika sebagai komponen abu pada bahan baku partikel kulit buah kakao. Kadar abu yang terlalu tinggi dapat menghambat reaksi antara gugus phenolik partikel kulit buah kakao dengan phenol kristal, sehingga kualitas perekat tidak maksimal.

Menurut Misdarti (2004), semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah proses pelunakan dari perekat, dengan kata lain nilai keteguhan rekatnya akan semakin rendah. Hasil yang didapat tidak memenuhi standar pada ASTM D 1102-84 yang mensyaratkan kisaran kadar abu adalah 0,16%-0,1102-84% untuk pegujian kadar abu perekat likuida.

Formaldehida bebas

Emisi formaldehida merupakan pengeluaran sebagian formaldehida bebas dari perekat yang mengandung formaldehida. Pengertian formaldehida bebas adalah kelebihan formaldehida yang tidak bereaksi dalam pembentukan polimer perekat. Pada produk panel kayu yang dipakai di dalam ruangan, emisi formaldehida dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan gangguan kesehatan pada selaput lendir mata, saluran pernafasan, dan menurunkan daya penciuman.

Menurut Roffael (1993) faktor tipe perekat yang berpengaruh terhadap emisi formaldehida berasal dari adanya kelebihan formaldehida yang tidak bereaksi dalam pembuatan perekat tersebut. Formaldehida bebas yang diperoleh dari perekat likuida KBKL adalah 0,8% dan KBKD adalah 0,48%. Kadar formaldehida bebas pada likuida KBKL dan KBKL memenuhi SNI


(54)

06-4567-1998. Menurut SNI 06-4567-1998, formaldehida bebas yang disyaratkan adalah ≤ 2%.

Kedua perekat ini memiliki tingkat formaldehida rendah (emisi rendah). KBKD memiliki kadar formaldehida bebas yang lebih rendah yang berarti KBKD lebih ramah lingkungan dengan tingkat emisi yang rendah. Adanya formaldehida bebas yang terkandung dalam perekat mengindikasikan bahwa sebagian formaldehida tidak bereaksi dengan phenol. Dari hasil yang diperoleh dapat diduga KBKD formaldehida bereaksi dengan phenol dengan bantuan organic dari kulit kakao yang menghasilkan emisi rendah. KBKD lebih kecil emisinya diduga karena larutan perekat KBKD lebih menyatu dibanding KBKL. Hal ini dapat dihubungkan dengan sisa penyaringan larutan perekat KBKD yang sedikit menandakan bahan baku perekat dan bahan kimianya terlarut dengan baik.

Derajat Kristalinitas

Derajat kristalinitas menunjukkan banyaknya bagian kristalin (non amorf) terhadap keseluruhan bagian contoh dengan menggunakan XRD-7000 (x-ray diffractometer). Derajat kristalinitas pada perekat likuida KBKL adalah 35,19% dan KBKD adalah 37,28%. KBKD memiliki derajat kristalinitas yang lebih tinggi dibanding dengan KBKL. Derajat kristalinitas perekat likuida menunjukkan persentase bagian kristalin terhadap seluruh bagian perekat likuida. Derajat kristalinitas merupakan derajat kristalinitas komponen penyusunnya yaitu phenol dan komponen abu.

Derajat kristalinitas pada perekat likuida KBKL dan KBKD lebih tinggi dibanding dengan derajat kristalinitas perekat PF sebesar 16,08% yang


(55)

dikemukakan oleh Sucipto (2009). Derajat kristalinitas diduga berhubungan dengan kadar abu masing-masing perekat. Kadar abu yang tinggi maka derajat kristalinitasnya tinggi begitu juga sebaliknya. Kadar abu pada KBKD (13,8%) lebih tinggi dibanding dengan KBKL (9,2%) berhubungan dengan derajat kristalinitas KBKD (37,28%) yang lebih tinggi dibanding KBKL (35,19%). Derajat kristalinitas perekat likuida KBKL dan KBKD disajikan pada gambar 9.

Gambar 9. Grafik derajat kristalinitas hasil analisis XRD perekat likuida KBKD (A) dan KBKL (B)

i n n e r

o u t e r

A


(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perekat likuida kulit buah kakao merupakan golongan perekat phenolik. Perekat likuida KBKL (kulit kuah kakao bagian luar) memiliki karakteristik bentuk cair, berwarna coklat, bebas kotoran, pH 11, kekentalan 0,8355 cps, berat jenis 1,156, kadar padatan 42,33%, waktu gelatinasi 89 menit 37 detik, kadar abu 9,2%, formaldehida bebas 0,8% dan derajat kristalitas 35,19%. Perekat likuida KBKD (kulit buah kakao bagian dalam) memiliki karakteristik bentuk cair, berwarna coklat kemerahan, bebas kotoran, pH 10, kekentalan 31,202 cps, berat jenis 1,262, kadar padatan 44,66%, waktu gelatinasi 73 menit 45 detik, kadar abu 13,8%, formaldehida bebas 0,48% dan derajat kristalinitas 37,28%. 2. Karakteristik perekat likuida KBKL dan KBKD yang memenuhi

karakteristik perekat phenol formaldehida (PF) untuk kayu lapis (SNI 06-4567-1998) yaitu karakteristik kenampakan, keasaman (pH), kadar padatan, waktu gelatinasi. Karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi persyaratan SNI 06-4565-1998.

3. Dari kedua perekat yang diteliti, KBKD lebih baik dibanding dengan KBKL. Karena dari nilai yang dimiliki KBKD sebagian memenuhi dan sebagian karakteristik perekat lebih mendekati SNI 06-4567-1998.


(57)

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut untuk peningkatan kualitas perekat kulit buah kakao sehingga karakteristik yang dihasilkan dapat memenuhi standar dalam hal warna, kekentalan, berat jenis dan kadar abu. Perlu penelitian lanjutan juga untuk mengaplikasikan perekat likuida kulit buah kakao ini pada pembuatan papan komposit, sehingga dapat diketahui kualitas hasil perekatannya.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

American Society for Testing and Materials (ASTM). (1989d) Standard Test Method for Ash in Wood, ASTM. D 1102-84, Philadelphia, Pa.Standards,Philadelphia

Ashadi, R. W. 1988. Pembuatan Gula Cair dari Pod Coklat dengan Menggunakan Asam Sulfat, Enzim, serta Kombinasi Kedua. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor

Batubara, 2009. Nilai pH dan Analisis Kandungan Kimia Zat Ekstraktif Beberapa Kulit Kayu yang Tumbuh di Kampus USU. Karya Tulis. Medan.

Blomquist, R.F. 1983. Fundamentals of Adhesion. In : Blomquist, R.F., Christiansen, A.W., Gillespie, R.H. and Myers, G.E. (Eds.) ; Adhesive Bonding of Wood and Other Structural Materials. Forest Product Technology USDA Forest Service and The University of Wisconsin. Chap. 1.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 06–4565–1998 tentang Urea Formaldehida Cair untuk Perekat Papan PArtikel. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 06–4567–1998 tentang Fenol Formaldehida Cair untuk Perekat Kayu Lapis. Jakarta: BSN

Borchers, A. T., Keen, C. L., 2000, Cocoa and Chocolate: Composition,

Bioavailability, and Health Implication. Journal of Medicinal Food., 3(2): 77-105.

[Departemen Pertanian]. 2009. Kakao. Departemen Pertanian. Jakarta. Fan, L.T., Y.H. Lee, dan M.M.Gharpuray. 1982. The Nature of Lignocellulosics and Their Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis. Adv. Bichem. Eng. 23: 158 – 187.

Figuiera, A., J. Janick, and J.N. BeMiller. 1993. New Product from Theobroma cacao: Seed pulp and pod gum. P.475-478. In J. Janick and J.E. Simon (eds.). New Crops. Wiley. New York.

Lamuela-Raventos, R. M., Romero-Perez, A. I., Andres-Lacueva, C. and Tornero, A., 2005, Review: Health Effects of Cocoa Flavonoids . Food Science and Technology International ., 11(3): 159- 176

Lee, K.W., Kim,Y.J., Lee, H.J., Lee, C.Y., 2003, Cocoa has More Phenolic Phytochemical and Higher Antioxidant Capacity than Teas and Red Wine.


(59)

Maloney, T.M. 1993. Modern Particle Board an dry Proces Fiberboard Manufacturing. San Fransisco: Miller Freeman Inc.

Masri, A.Y. 2005. Kualitas perekat likuida tandan kosong kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada berbagai ukuran serbuk, keasaman, dan rasio molar formaldehida dengan fenol [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Meda, A.A 2006. Kualitas Komposit dan Likuida Limbah Sabut Kelapa dengan Fortifikasi Poliuretan. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Misdarti. 2004. Peningkatan Kualitas Bambu dengan Teknik Laminasi. Balai

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi dan Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nuralexa, F. D. 2009. Karakteristik Sifat Anatomi dan fisis Small Diameter Log Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Niesen) dan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Osawal, K., Miyazakil, K. , Shimura, I., Okuda,J., Matsumoto, M and

Ooshima, T., 2001,Identification of Cariostatic Substances in the Cacao Bean Husk: Their Antiglucosyltransferase and Antibacterial Activities.

Dent. Res., 80(11):2000-2004

Oshima, M. 1965. Wood Chemistry Process Engineering Aspect. Noyes Develop. Corp. New York.

Othman, A ., Ismail, A ., Ghani, N. A ., Adenan, I., 2007, Antioxidant Capacity and Phenolic Content of Cocoa Bean. FoodChemistry.,1523-1530. Pamungkas, E. A. 2006. Kualitas Papan Partikel Limbah dan Likuida Sabut

Kulit Kelapa dengan Fortifikasi Melamin Formaldehida. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Perez, J., Munoz-Dorado, J., de la Rubia, R.T., and Martinez, J. 2002.

Biodegradation and Biolgical Treatments of Cellulose, Hemicellulose, and Lignin: An Overview. Int Microbiol, Vol. 5, pp. 53-63.

Pizzi, A. 1983. Wood Adhesives, Chemistry and Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Prasetyo, A. 2006. Perekat Likuida Bambu untuk Papan Partikel Bambu. [Skripsi] Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor

Prihantini AI. 2008. Kualitas Tandan Kosong Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) dengan Perlakuan Perendaman Bahan Baku dalam Air Panas [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.


(60)

Pu, S., Yoshioka, M., Tanihara, Y., Shiraishi, N. 1991. Liquefaction of Wood in Phenol and Its Application to Adhesives. Kyoto: Kyoto University.

Risnasari, I. 2008. Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa untuk Bahan Baku Perekat Likuida sebagai Substitusi Alternatif Perekat Sintetis. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Roffael, E. 1993. Formaldehyde Release From Particleboard and Other Wood Based Panels. Forest Research Institute Malaysia. Kuala Lumpur

Ruhendi, S.,F. Febrianto dan N. Sahriawati. 2000. Likuida Kayu Untuk Perekat Kayu Lapis Eksterior. Bogor : Jurnal Pertanian Indonesia.

Ruhendi, S., Koroh D.N., Syamani F.A., Yanti H., Nurhaida, Saad S., Sucipto T. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Ruhendi, S. 2008. Kualitas Papan Partikel Kenaf Menggunakan Perekat Likuida dengan Fortifikasi Melamin Formaldehid. Jurnal Ilmu dan Teknologi hasil Hutan 1(1): 34-44

Setiawan, C.B.N. 2004. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Sebagai Bahan Baku Perekat Likuida Kayu dan Papan Partikel Berkerapatan Sedang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sucipto, T. 2009a. Perekat Lignin. Karya Tulis. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sucipto, T. 2009b. Karakterisasi Partikel dan Likuida Tandan Kosong Sawit. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudarmadji, Slamet, H.Bambang, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta

Sun, Y. and Cheng, J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: A Review. Bioresource Technology, Vol. 83, pp. 1-11.

Taherzadeh, M.J and Karimi, K. 2008. Pretreatment of Lignocellulosic Waste to Improve Bioethanol and Biogas Production. Int. J. Mol. Sci 9, pp. 1621-1651.

Tano, E. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintetis. PT Rineka Cipta. Jakarta. Tjitrosoepomo, Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta),


(61)

Vick, C.B. 1999. Adhesive Bonding of Wood Material. In: Wood Handbook: Wood as an Engineering Material. Forest Product Technology. USDA Forest Service. Wisconsin.

Widiyanto, A. 2002. Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg) dan Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurtz) dengan Perekat Likuida Kayu. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Yoshioka, M., Aranishi, Y and Shiraishi, N. 1992. Liquefaction of Wood and Its Applications. Rotorua. New Zealand: Forest Research Institute Bulletin.


(62)

(63)

1. Hasil analisis derajat kristalinitas dengan XRD Inner 1 (KBKD)

Inner 2


(64)

Outer 2

2. Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin (%) KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,79

1,79

x 100 =

2-1,83

1,83

x 100

= 11,73% = 9,29%


(65)

KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,80

1,80

x 100 =

2-1,76

1,76

x 100

= 11,11% = 13,63%

4. Kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1% KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,74

1,74

x 100 =

2-1,77

1,77

x 100

= 14,94% = 12,99%

5. Kelarutan zat ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2) KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,89

1,89

x 100 =

2-1,88

1,88

x 100

= 5,82% = 6,38%

6. Kekentalan (viskositas)

ηp = {(dp x tp) / (da x ta)} ηa

Jenis Perekat Kerapatan perekat (dp) Waktu perekat (dp) Kerapatan air (da) Waktu air (ta) η air

(ηa) perekat η (ηp)

Rera

ta η

KBKL 1,156

1,156 72,6 72 1,06 1,06 56 56 0,5936 0,5936 0,839 0,832 0,84

KBKD 1,262 2541,6 1,06 57 0,6042 32,075 31,20


(66)

7. Berat jenis (BJ)

BJ = (W3 – W1) / (W2 – W1)

Jenis Perekat Berat picno (W1) Berat picno + air

(W2)

Berat picno + perekat (W3) BJ air D perekat (g/cm2)

Rerata KBKL KBKD 11,10 11,10 11,10 11,10 16,40 16,40 16,40 16,40 17,41 17,41 16,88 16,88

1,06 1,262 1,262 1,06 1,262 1,262 1, 06 1,156 1,156 1,06 1,156 1,156

8. Kadar padatan (solid content) Kadar padatan (%) = W2

W1 x 100

Jenis perekat Berat cawan BA cawan + perekat BA perekat BKO cawan + perekat BKO perekat SC (%) Rerata (%) KBKD KBKL 49,4 34,1 29,2 35,0 50,9 35,6 30,7 36,5 1,5 1,5 1,5 1,5 50,19 34,97 30,04 35,89 0,71 0,63 0,66 0,61 47,33 42 44 40,66 44,66 42,33

9. Waktu gelatinasi

Jenis perekat Waktu gelatinasi Rerata

KBKL KBKD

89 menit 90 menit 14 detik 74 menit 30 detik

73 menit

89 menit 37 detik 73 menit 45 detik


(67)

10.Kadar abu

Kadar abu (%) = W2 W1 x 100 Jenis perekat Berat Cawan Berat tetap pertama (W1) Berat tetap kedua (W2) Kadar abu Rerata KBKD KBKL 25,20 25,20 22,60 22,60 27,20 27,20 24,60 24,60 25,476 25,476 22,784 22,784 13,8 13,8 9,2 9,2 13,8% 9,2%

11.Formaldehida bebas KBKL = �V1-V2� x N x 30,03

W x 1000 x 100 KBKD =

�V1-V2� x N x 30,03 W x 1000 x 100

= �60,4-55,1� x 1 x 30,03

20 x 1000 x 100 =

�60,4-57,2� x 1 x 30,03 20 x 1000 x 100


(1)

(2)

1. Hasil analisis derajat kristalinitas dengan XRD

Inner 1 (KBKD)

Inner 2


(3)

Outer 2

2. Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin (%)

KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,79

1,79

x 100 =

2-1,83

1,83

x 100

= 11,73% = 9,29%


(4)

KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,80

1,80

x 100 =

2-1,76

1,76

x 100

= 11,11% = 13,63%

4. Kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1%

KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,74

1,74

x 100 =

2-1,77

1,77

x 100

= 14,94% = 12,99%

5. Kelarutan zat ekstraktif dalam etanol-benzena (1:2)

KBKL = BA-BB

BKO x 100 KBKD =

BA-BB BKO x 100 =

2-1,89

1,89

x 100 =

2-1,88

1,88

x 100

= 5,82% = 6,38%

6. Kekentalan (viskositas)

ηp = {(dp x tp) / (da x ta)} ηa Jenis Perekat Kerapatan perekat (dp) Waktu perekat (dp) Kerapatan air (da) Waktu air (ta) η air

(ηa) perekat η (ηp)

Rera ta η KBKL 1,156

1,156 72,6 72 1,06 1,06 56 56 0,5936 0,5936 0,839 0,832 0,84 KBKD 1,262 2541,6 1,06 57 0,6042 32,075 31,20


(5)

7. Berat jenis (BJ)

BJ = (W3 – W1) / (W2 – W1)

Jenis Perekat Berat picno (W1) Berat picno + air

(W2)

Berat picno + perekat (W3) BJ air D perekat (g/cm2)

Rerata KBKL KBKD 11,10 11,10 11,10 11,10 16,40 16,40 16,40 16,40 17,41 17,41 16,88 16,88

1,06 1,262 1,262 1,06 1,262 1,262 1, 06 1,156 1,156 1,06 1,156 1,156

8. Kadar padatan (solid content)

Kadar padatan (%) = W2 W1 x 100 Jenis perekat Berat cawan BA cawan + perekat BA perekat BKO cawan + perekat BKO perekat SC (%) Rerata (%) KBKD KBKL 49,4 34,1 29,2 35,0 50,9 35,6 30,7 36,5 1,5 1,5 1,5 1,5 50,19 34,97 30,04 35,89 0,71 0,63 0,66 0,61 47,33 42 44 40,66 44,66 42,33

9. Waktu gelatinasi

Jenis perekat Waktu gelatinasi Rerata

KBKL KBKD

89 menit 90 menit 14 detik 74 menit 30 detik

73 menit

89 menit 37 detik 73 menit 45 detik


(6)

10.Kadar abu

Kadar abu (%) = W2 W1 x 100

Jenis perekat

Berat Cawan

Berat tetap pertama

(W1)

Berat tetap kedua

(W2)

Kadar abu

Rerata

KBKD KBKL

25,20 25,20 22,60 22,60

27,20 27,20 24,60 24,60

25,476 25,476 22,784 22,784

13,8 13,8 9,2 9,2

13,8% 9,2%

11.Formaldehida bebas

KBKL = �V1-V2� x N x 30,03

W x 1000 x 100 KBKD =

�V1-V2� x N x 30,03 W x 1000 x 100

= �60,4-55,1� x 1 x 30,03

20 x 1000 x 100 =

�60,4-57,2� x 1 x 30,03 20 x 1000 x 100