Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove

(1)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

iKUALITAS PEREKAT TANIN

DARI BEBERAPA KULIT KAYU MANGROVE

SKRIPSI

Oleh :

ULI CYNTHIA RAHAYU SIREGAR 041203033 / Teknologi Hasil Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Lembar Pengesahan

Judul Skripsi : Kualitas Perekat Tanin dari Beberapa Kulit Kayu

Mangrove

Nama : Uli Cynthia Rahayu Siregar

NIM : 041203033

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Iwan Risnasari S.Hut, M.Si

NIP : 132 259 571 NIP : 132 303 842

Irawati Azhar, S.Hut

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

NIP : 132 287 853


(3)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

ABSTRAK

ULI CYNTHIA RAHAYU SIREGAR. Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa

Kulit Kayu Mangrove. Dibawah bimbingan Iwan Risnasari S. Hut, M. Si dan

Irawati Azhar, S.Hut.

Perekat tanin merupakan perekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai bahan perekat kayu lapis eksterior. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah kulit kayu sebagai perekat. Metode yang dilakukan dengan dua cara yaitu perendaman dengan air pada suhu 700C dan perendaman dengan aseton selama 12 jam pada kulit kayu Mangrove yaitu Avicennia marina (Forssk.) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam, dan Rhizopohora mucronata Lam. Hasil penelitian menunjukkan metode ekstrak dan jenis kayu berpengaruh nyata pada kadar ekstrak tanin, bilangan stiasny, berat jenis, masa gelatinasi, kandungan padatan tidak menguap, kekentalan perekat tetapi berpengaruh tidak nyata pada derajat keasaman perekat tanin. Secara umum kualitas perekat tanin yang dihasilkan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia, hanya berat jenis dan masa gelatinasi perekat yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.

Kata kunci: perekat tanin, kulit kayu.


(4)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

ABSTRACT

ULI CYNTHIA RAHAYU SIREGAR. The Quality of Tannin Adhesive from

Some Mangrove Barks. Under academic supervision of Iwan Risnasari S. Hut,

M. Si and Irawati Azhar, S.Hut.

The adhesive of tannin was made from barks which used to exterior plywood. The purpose in this results is using waste barks as adhesive produce and knowing the quality adhesive in used. This methods had done two different method, soaking with water in temperature 700C and soaking with acetone until 12 hours. In three various Mangrove trees are Avicennia marina (Forssk.) Vierh,

Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam, dan Rhizopohora mucronata Lam. The result of

research show that exctract tannin and wood kinds significant at extract tannin content, the amount of stiasny, density, gelatin time, non volatile content, viscosity but non significant at acid temperatur. In general quality of the tannin adhesive yielded has not fulfilled Indonesia National Standart, only adhesive density and gelatin time fulfilling qualitification qualitifyed.


(5)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 14 Februari 1985 dari ayahanda M. Siregar dan ibunda Sriani. Penulis merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di Sekolah Dasar Methodist Pematangsiantar pada tahun 1997, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Methodist Pematangsiantar tahun 2000, dan tamat Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Methodist Pematangsiantar tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), tepatnya di Natal dan Sopotinjak.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen untuk Praktikum Inventarisasi Hutan tahun ajaran 2006, Praktikum Pengenalan dan Pengelolaan Hutan tahun ajaran 2007, dan Praktikum Perekat dan Perekatan tahun ajaran 2008. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Arara Abadi pada tahun 2008 selama 2 bulan. Penulis melakukan penelitian di Laboratorium Polimer FMIPA Universitas Sumatera Utara pada bulan Oktober 2008 dengan judul “Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove” di bawah bimbingan Ibu Iwan Risnasari, S.Hut, M. Si, dan Ibu Irawati Azhar, S.Hut.


(6)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini tepat pada waktunya. Penelitian ini disusun sebagai syarat untuk dapat melaksanakan sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian yang telah dilaksanakan adalah Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si dan Ibu Irawati Azhar, S.Hut atas arahan dan bimbingannya dalam penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rasimin yang telah meluangkan waktu untuk pemberian izin dan pengambilan bahan kulit kayu Mangrove. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, adik serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan perhatiannya.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Terima kasih

Medan, Februari 2009


(7)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Perekat ... 3

Jenis-Jenis Perekat ... 3

Keuntungan dan Kerugian Perekat ... 5

Keuntungan Perekat Alami Kayu ... 7

Jenis-Jenis Kayu Mangrove ... 8

Avicennia marina (Forssk.) Vierh ... 8

Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam ... 8

Rhizophora mucronata Lam. ... 8

Kulit Kayu ... 9

Kandungan Kimia Kulit Kayu ... 10

Perekat Tanin Formaldehid ... 10

METODOLOGI PENELITIAN ... 11

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

Alat dan Bahan Penelitian ... 11

Prosedur Penelitian ... 12

Pembuatan Serbuk Kulit ... 12

Ekstraksi Tanin ... 12

Ekstraksi dengan Air ... 12

Ekstraksi dengan Aseton-Air ... 12

Karakteristik Tanin ... 13

Kadar Ekstrak ... 13

Kadar Tanin Terkondensasi ... 13


(8)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Pembuatan Perekat Tanin Formaldehid ... 14

Pengujian Kualitas Perekat ... 15

Berat Jenis ... 15

Masa Gelatinasi ... 15

Kandungan Padatan yang Tidak Menguap ... 16

Kekentalan (Viskositas) ... 16

Derajat Keasaman ... 17

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Kadar Ekstrak ... 20

Rendemen ... 22

Sifat Kimia Tanin ... 22

Kadar Tanin Terkondensasi ... 22

Bilangan Stiasny ... 23

Sifat Perekat Tanin Formaldehida ... 24

Berat Jenis ... 24

Masa Gelatinasi ... 28

Kadar Padatan ... 30

Kekentalan (Viskositas) ... 32

Derajat Keasaman ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39 LAMPIRAN


(9)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Persentase Perbandingan Zat Kimia Pada Kayu ... 8

2. Nilai Rata-Rata Kadar Ekstrak Tanin Kulit Kayu Mangrove (%) ... 20

3. Nilai Rata-Rata Rendemen Kulit Kayu Mangrove (%) ... 22

4. Nilai Tanin Terkondensasi Kulit Kayu Mangrove (dalam %) ... 23

5. Nilai Rata-Rata Sifat Kimia Kulit Kayu Mangrove (%) ... 24


(10)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Grafik Nilai Rata-Rata Bilangan Stiasny ... 26

2. Grafik Nilai Rata-Rata Berat Jenis ... 28

3. Grafik Nilai Rata-Rata Gelatinasi ... 30

4. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Padatan yang Tidak Menguap ... 32

5. Grafik Nilai Rata-Rata Kekentalan ... 33


(11)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan Kadar Ekstraktif ... 41

2. Sidik Ragam Kadar Ekstraktif ... 41

3. Uji Duncan Kadar Ekstraktif ... 41

4. Perhitungan Kadar Tanin Terkondensasi ... 42

5. Sidik Ragam Kadar Tanin Terkondensasi ... 42

6. Perhitungan Bilangan Stiasny ... 42

7. Sidik Ragam Bilangan Stiasny ... 43

8. Uji Duncan Bilangan Stiasny ... 43

9. Perhitungan Bilangan Stiasny Terkoreksi ... 43

10.Sidik Ragam Bilangan Stiasny Terkoreksi ... 43

11.Uji Duncan Bilangan Stiasny Terkoreksi ... 44

12.Perhitungan Unit Poliflavonoid ... 44

13.Sidik Ragam Unit Poliflavonoid ... 44

14.Uji Duncan Unit Poliflavonoid ... 44

15.Perhitungan Berat Jenis ... 45

16.Sidik Ragam Berat Jenis ... 45

17.Uji Duncan Berat Jenis ... 45

18.Perhitungan Masa Gelatinasi ... 46

19.Sidik Ragam Masa Gelatinasi ... 46

20.Uji Duncan Masa Gelatinasi ... 46

21.Perhitungan Kandungan Padatan tidak Menguap ... 47

22.Sidik Ragam Kandungan Padatan tidak Menguap ... 47

23.Uji Duncan Kandungan Padatan tidak Menguap ... 47

24.Perhitungan Kekentalan ... 48

25.Sidik Ragam Kekentalan ... 48

26.Uji Duncan Kekentalan ... 48

27.Perhitungan Derajat Keasaman ... 49


(12)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

29.SNI 06 – 4565 – 1998 ... 49

30.SNI 06 – 4566 – 1998 ... 50

31.SNI 06 – 0060 – 1998 ... 50

32.SNI 06 – 4567 – 1998 ... 51

33.SNI 06 – 0163 – 1998 ... 51


(13)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan produk-produk kayu begitu pesat belakangan ini. Namun, kayu sebagai bahan baku utama saat ini terbatas ketersediaannya di alam. Maka, diupayakan untuk menghasilkan produk yang berasal dari limbah kayu. Papan partikel adalah salah satu produk panel yang dihasilkan dengan memanfaatkan partikel-partikel kayu dan sekaligus mengikatnya dengan suatu perekat. Perekat berfungsi untuk mengikat bahan pengisi papan partikel. Selain itu perekat juga berfungsi untuk melindungi serta mempengaruhi penampilan papan partikel.

Perekat yang umum digunakan untuk pembuatan produk-produk kayu berasal dari bahan sintesis. Perekat yang terbuat dari bahan sintesis cenderung tidak ramah lingkungan. Jika dilihat dari segi biaya pun perekat dari bahan sintesis membutuhkan biaya yang mahal karena bahan-bahan yang diperlukan sangat mahal. Perekat sintesis juga mengakibatkan dampak emisi bagi lingkungan dan kebanyakan perekat sintesis di Indonesia masih diimpor dari negara-negara lain.

Untuk mengurangi dampak negatif lingkungan dan mengurangi biaya produksi dari penggunaan perekat sintesis perlu dilakukan upaya untuk menghasilkan perekat yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang memungkinkan adalah menghasilkan perekat alami.


(14)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Hal ini dikarenakan perekat alami ramah lingkungan dan mudah didapatkan bahan bakunya. Misalnya saja perekat tanin yang dibuat dari bahan-bahan kulit kayu bahkan ada yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu.

Tanin banyak dihasilkan dari kayu maupun kulit pohon. Ekstrak tanin murni dari tumbuhan jumlahnya bervariasi tergantung pada jenis maupun tempat tumbuh. Salah satu penghasil tanin berasal dari kulit kayu Mangrove. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan Mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar). Indonesia memiliki hutan Mangrove seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8% dari total luas hutan secara keseluruhan (Amri, 2007)

Berdasarkan latar belakang yang ada maka penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bahwa kulit kayu yang berasal dari Mangrove dapat dijadikan sebagai bahan perekat alami sehingga kemungkinan dapat dijadikan salah satu alternatif pengganti bahan perekat sintesis.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memanfaatkan limbah kulit kayu Mangrove sebagai bahan baku perekat. 2. Mengetahui kualitas perekat yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Tersedianya data perekat tanin yang terbuat dari kulit kayu.

2. Sebagai informasi untuk pihak-pihak yang membutuhkan untuk


(15)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah: jenis pelarut, jenis kayu dan interaksi keduanya diduga mempengaruhi kualitas perekat tanin.

TINJAUAN PUSTAKA

Perekat

Pengetahuan mengenai perekat dan tipe perekat perlu diketahui, sebab pemahaman yang lebih baik tentang perekat dapat membantu kualitas produk yang sekaligus mengidentifikasikan bahan yang nyata dan potensial untuk menentukan perumusan dari produk–produk yang berbeda dan merupakan pemahaman konsep–konsep tentang struktur kimia materi perekat (Tano, 1997)

Penelitian untuk mengembangkan perekat–perekat yang memuaskan dari bermacam–macam bahan organik alami telah mempertunjukkan kemampuan untuk menggantikan petrokemikalia. Dua sumber alami yang mungkin dari resin tipe eksterior adalah kulit kayu (sebenarnya tanin dari kulit kayu) dan senyawa-senyawa lignin yang diperoleh dalam pembuatan pulp kayu (Haygreen, 1996)

Perekat adalah penyambungan antara dua atau lebih pada permukaan benda yang berbeda maupun sejenis untuk dijadikan satu. Keadaan suatu perekat ditentukan oleh metode aplikasinya. Perekat cair pada umumnya lebih mudah digunakan, secara mekanis penyebarannya pada permukaan benda yang halus dan rata akan tercapai, sedangkan untuk permukaan yang tak rata sebaiknya memakai sapuan (kuas) atau semprot (spray) (Hartomo, 1992)


(16)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Jenis-Jenis Perekat

Perekat berfungsi untuk mengikat bahan pengisi papan partikel. Selain itu perekat juga berfungsi untuk melindungi serta mempengaruhi penampilan papan partikel. Menurut Feldman dan Anton (1995) dalam Linggawati (2007), pada dasarnya jenis perekat dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu perekat alami dan perekat sintetik.

Perekat alami adalah yang diperoleh dari alam secara alami tanpa mengalami penggabungan dengan senyawa-senyawa kimia lain. Perekat alami terdiri atas tiga jenis, yaitu:

1. Perekat hewani, merupakan perekat yang berasal dari binatang, seperti albumin dan kasein.

2. Perekat nabati, merupakan perekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti tepung ubi dan getah karet.

3. Perekat mineral, merupakan perekat yang berasal dari bahan tambang, seperti parapin, silikat, fosfat, belerang, gypsum, magnesia dan lain-lain. Perekat sintetik merupakan perekat buatan hasil perpaduan dari dua atau lebih senyawa kimia. Perekat sintetik terdiri dari dua jenis yaitu:

1. Perekat thermoplastik, merupakan perekat yang mudah lunak atau meleleh apabila diberikan panas karena mempunyai sifat tidak tahan terhadap panas dan mengeras apabila didinginkan, seperti polivinilasetat, polivinilolkohol, polivinilasetal, aklirik dan lain-lain.


(17)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

panas yang cenderung mengeluarkan panas, dan dipercepat dengan penambahan katalis dan sinar ultraviolet, seperti resin phenolic, plastik amino, poliepoksida, poliaromatic dan lain-lain.

Feldman dan Anton (1995) dalam Linggawati (2007), juga menyatakan, perekat nabati dan hewani sudah lama dikenal sebagai perekat, produk ini memberikan rekatan kuat bila kering, tetapi sambungannya lepas bila lembab. Perekatannya pun hanya bagus untuk bahan tertentu, misalnya kayu dan kertas. Kemudian dikenal perekat alamiah lain seperti kasein dan darah binatang (kak) yang mempunyai daya rekat sangat kuat, namun mudah berjamur dan tidak tahan air.

Sekarang berkembang serat buatan yang sering disebut dengan perekat polimer. Perekat polimer mempunyai daya rekat yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan jenis perekat lainnya. Namun, perekat polimer ini kurang ramah terhadap lingkungan. (Linggawati, 2007)

Keuntungan dan Kerugian Perekat

Menurut Feldman dan Anton (1995) dalam Linggawati (2007), keunggulan perekat adalah lebih baik dibandingkan sambungan lainnya yakni mampu menyebarkan tegangan ke segala sisi bahkan konsentrasi teganganya relatif lebih kecil. Selain itu perekat mampu menyambung dan menggabungkan dua bahan atau lebih yang tidak sejenis. Perekat juga punya daya tahan leleh relatif lebih baik serta tahan lembab juga sering dipakai untuk isolasi listrik. Kelebihan lain dari perekat adalah dapat digunakan untuk penyambungan kecil, tipis dan dan bahan–bahan lembut yang tidak mudah disambung dengan metode


(18)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

lain.

Perekat juga memungkinkan terjadinya produk akhir dengan penampilan memuaskan, permukaan dan kontur bagus, tak ada rongga-rongga, tak ada bagian menonjol seperti sekrup dan sebagainya. Perekat juga mudah dan cepat dipakai, di samping sekaligus menyambungkan banyak komponen. Kekuatan perekat sering amat tinggi, biayanya ekonomis dibandingkan cara-cara lain (Linggawati, 2007)

Mempergunakan perekat memperingan berat barangnya (bukan sekrup atau belt), juga menyeragamkan distribusi stress pada segenap bagian benda yang disambungkan. Bahan yang tak tahan panas dapat disambungkan dengan baik oleh perekat yang sesuai. Sifat isolasi dan penambalan perekat cukup bagus, tidak ada kebocoran, tahan lembab dan bahan kimia, bahkan dapat tahan dan kedap listrik, panas serta suara (Amri, 2007)

Penggunaan perekat juga merugikan dalam hal tertentu. Proses perekatannya terkadang rumit agar hasilnya baik, karena perlu persiapan, permukaan yang hendak disambungkan (kimia/mekanis), kondisi suhu, tekanan dan kelembabannya perlu optimal, waktu curing dapat lama (bahkan suhu tinggi), juga memerlukan berbagai alat dan asesori lain (Linggawati, 2007)

Perekat juga tidak seratus persen tahan panas, dingin/beku, kerusakan oleh organisme, bahan kimia, radiasi dan kondisi pemakaian ekstrim. Apabila tidak sesuai dengan barang yang disambungkan pun dapat menyebabkan korosi dan sebagainya. Begitu pula, terutama sehubungan perekat basis-pelarut, ada bahaya racun atau mudah terbakar (Linggawati, 2007)


(19)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

cermat di tiap tahap proses perekatannya. Sambungan harus sudah didesain memadai menngakibatkan perekatan lemah dan mudah retak/patah. Ada dan besarnya stress, jenis dan ukuran sambungan, prasyarat kekuatan, semuanya itu menentukan perekat mana yang sesuai (Amri, 2007)

Keuntungan Perekat Alami Kayu

Pada dasarnya perekat dapat dibuat dari protein nabati, hewani, kulit serta tulang hewan, dan sintetik. Dengan memisahkan bagian tertentu, memperbaiki bahan dasar atau mengubah bentuk atau besarnya partikel bahan, mengubah struktur zat, mengurangi atau menambah struktur zat, untuk mencapai tujuan ini dapat ditempuh melalui beberapa cara antara lain: mekanis, kimiawi, dan pengkombinasian (Tano, 1997)

Dahulu perekat dibuat dari satu macam bahan saja. Dewasa ini, kebanyakan perekat terdiri atas campuran berbagai bahan kompleks, baik organik, anorganik atau gabungan keduanya. Komponen dasarnya adalah zat perekatnya, yang menghasilkan kekuatan adhesif dan kohesif pada ikatannya. Ini biasanya merupakan resin organik, atau dapat pula karet, senyawa anorganik atau bahan alam lain (Hartomo, 1992)

Menurut Arief (2003) sejarah pemanfaatan Mangrove secara tradisional oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bangunan telah lama berlangsung. Bahkan pemanfaatan Mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu. Kulit (untuk tanin) dan arang juga memiliki sejarah penting. Sehingga dirasa perlu untuk mengetahui pembuatan perekat yang berasal dari kayu Mangrove.


(20)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Berdasarkan pengamatan laboratorium, tanin dari pepagan bakau dapat digunakan untuk menghasilkan perekat untuk pabrik plywood dan papan partikel. Sebagai contoh pepagan kering Bruguiera gymnorhiza Lam. mengandung sampai 35% zat-zat tanin (Noor, 1999)

Jenis-Jenis Kayu Mangrove

Avicennia marina (Forssk.) Vierh

Kulit kayu Mangrove secara umum mengandung kadar zat ekstraktif 20– 30%. Avicennia marina (Forssk.) Vierh Merupakan salah satu spesies dari famili Avicennieceae, tingginya dapat mencapai 12 m, kulit kayu halus, kelabu, dan hijau loreng (mengelupas pada bercak. Akarnya akar nafas, seperti pensil (Kitamura, dkk, 1997).

Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam

Merupakan salah satu dari spesies dari famili Rhizophoraceae, tingginya mencapai 20 m, abu-abu gelap, kasar, memiliki mulut kulit kayu. Daun berbentuk elips dengan ujung meruncing, serta susunannya tunggal bersilangan dan memiliki akar lutut (Kitamura, dkk, 1997). Bruguiera gymnorrhiza memiliki kandungan tanin 41 % (Damanik, 1987)

Rhizophora mucronata Lam.

Merupakan salah satu dari spesies dari famili Rhizophoraceae, tingginya mencapai 25 m dengan perakaran tunjang. Susunan daunnya tunggal, bersilangan dengan kulit kayu kasar abu-abu hingga hitam, beralur (Kitamura, dkk, 1997). Kulit batang Rhizophora memiliki kandungan tanin 27% (Damanik, 1987)


(21)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Tabel 1. Persentase Perbandingan Zat Kimia Pada Kayu

Persentase Kayu Lunak (%) Kayu Keras (%)

Kayu Kulit Kayu Kulit

Lignin 25-30 40-55 18-25 40-50

Polisakarida 66-72 30-48 74-80 32-42

Ekstraktif 2-9 2-25 2-5 5-10

Sumber: Haygreen dan Bowyer (1996)

Kulit Kayu

Batang mempunyai penutup bahagian luar, yaitu kulit kayu yang melindungi kayu daripada suhu, kemarau dan kecederaan mekanikal yang melampau. Lapisan dalam kulit kayu mengalirkan makanan yang dihasilkan dalam daun-daun kepada bahagian aktif tumbesarannya. Kulit kayu bertindak sebagai pengalir bahan makanan biasanya kaya dengan bahan-bahan kimia seperti tanin dan pewarna yang diperoleh daripada metabolisme tumbuhan (Saleh, 2007)

Kulit adalah lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang, dan akar yang jumlahnya sekitar 10-15% dari berat pohon. Kulit tersusun atas beberapa tipe sel dan strukturnya kompleks bila dibandingkan dengan kayu. Kulit secara kasar dapat dibagi menjadi kulit bagian dalam yang hidup atau floem dan kulit bagian luar yang mati atau ritidoma (Sjostrom, 1981)

Menurut Haygreen (1996) perbedaan utama antara struktur kayu dan kulit ialah bahwa trakeid longitudinal yang menyusun sekitar 95 % volume xylem kayu lunak sama sekali tidak terdapat floem. Sebaliknya di sana banyak terdapat unsur-unsur yang dikenal sebagai sel tapisan, dan dalam kebanyakan spesies, serabut-serabut floem dan sel-sel batu.


(22)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Kandungan Kimia Kulit Kayu

Komposisi kimia kulit sangat kompleks, bervariasi diantara berbagai spesies pohon dan juga tergantung pada unsur-unsur morfologi yang bersangkutan. Kekhasan kulit adalah tingginya kandungan konstituen-konstituen tertentu (ekstraktif) yang dapat larut seperti pektin dan senyawa-senyawa fenol maupun suberin (Sjostrom, 1981)

Kandungan ekstraktif (berdasar atas ekstraksi yang berurutan dengan benzene alkohol 95% dan air panas) kulit adalah tinggi dibandingkan dengan kayu, umumnya sebanyak 15-26% nya berat kulit yang belum diekstraksikan dibandingkan dengan 2-9% untuk kayu (Haygreen, 1996)

Perekat Tanin Formaldehida

Menurut Pizzi (1983) dalam (Citraningtyas, 2002), kadar tanin dalam kayu (batang dan kulit batang) berkisar 50-60%. Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tanin akan dapat berkondensasi dengan formaldehida.

Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi, berguna untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan panas. Tanin diharapkan mampu mensubtitusi gugus fenol dari resin fenol formaldehid guna mangurangi pemakaian fenol sebagai sumber daya alam tak terbaharukan. Penelitian mengemukakan tanin dapat digunakan sebagai bahan


(23)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

perekat (Pizzi, 1983) dalam (Citraningtyas, 2002). Santoso dan Sutigno (1995) menyimpulkan bahwa tanin formaldehida dapat digunakan sebagai bahan perekat kayu lapis eksterior.

Perekat tanin formaldehid sebagai perekat kayu telah digunakan sejak tahun 1970-an sebagai perekat eksterior untuk kayu maupun produk-prduk kayu seperti papan partikel, kayu lapis maupun glulam. Perekat tanin formaldehid dibuat melalui polikondensasi dengan formaldehid (Ruhendi, dkk, 2007)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan, Laboratorium Kimia Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara serta Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2008.

Alat dan Bahan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, mesin penggiling kulit kayu, oven, neraca analitik, waterbath, desikator, penangas air, penjepit tabung, tabung reaksi, pipet tetes, tabung erlenmeyer, wadah gelap, labu ukur,


(24)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

tabung reaksi, stop watch, piknometer, cawan petri, pengaduk, pH meter,

viscometer dan saringan 60 mesh. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kulit kayu Avicennia

marina (Forssk.) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam, Rhizophora mucronata

Lam. dari Bandar Khalifah Kecamatan Serdang Bedagai, Aquades, Formaldehid, HCL, NaOH, Etanol, Aseton dan kertas saring.

Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Serbuk Kulit

Kulit kayu bagian dalam dan luar, tanpa dipisahkan, dipotong kecil-kecil dan dikeringkan hingga kering udara. Kemudian digiling dan disaring. Serbuk yang digunakan adalah serbuk yang lolos pada saringan 60 mesh.

2. Ekstraksi Tanin

Ekstraksi dilakukan dengan 2 metode, pertama dilakukan dengan menggunakan perendaman dalam air bersuhu 700C dan metode kedua adalah dengan perendaman dalam wadah gelap dengan pelarut aseton.

2.1 Ekstraksi dengan air

Serbuk kulit direndam dalam air 700C dengan perbandingan 1:5 dilakukan selama 8 jam. Kemudian serbuk diekstraksi, ekstrak yang diperoleh disaring dengan menggunakan kain bersih dan kertas saring selanjutnya dievaporasi kemudian diuapkan pada suhu 60oC dalam oven sampai terbentuk kristal tanin.


(25)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

2.2 Ekstraksi dengan aseton-air

Serbuk direndam dengan larutan aseton-air dalam wadah gelap dengan perbandingan 1:3. Konsentrasi aseton yang digunakan adalah 80% selama 12 jam. Ekstrak yang diperoleh disaring dengan menggunakan kain bersih. Selanjutnya dievaporasi hingga larutan ekstrak lebih pekat kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 400C untuk memperoleh kristal tanin.

3. Karakteristik Tanin Kadar Ekstrak

Kadar ekstrak tanin ditentukan berdasarkan bubuk serbuk kering oven yaitu dengan menentukan kadar air serbuk kering udara. Serbuk kering oven dihitung dengan menggunakan persamaan:

Bobot Serbuk Kering Oven =

(1 + % KA serbuk kering udara) Bobot serbuk kering udara

Ekstrak kering oven yang diperoleh ditimbang sebagai bobot ekstrak, kemudian kadar ekstrak dihitung dengan menggunakan persamaan:

Kadar Ekstrak = Bobot ekstrak Bobot serbuk kering oven

x 100 %

Kadar Tanin Terkondensasi (Kusmayadi, 1989 dalam Citraningtyas, 2002)


(26)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Penentuan kadar tanin terkondensasi ditentukan dengan menggunakan serbuk ekstrak kering oven. Adapun prosedur pengujian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Masukkan 5 gr ekstrak tanin ke dalam gelas piala yang telah berisi 175 gr air, kemudian aduk hingga homogen.

b. Tambahkan 28,5 ml HCl (0,2801 N) dan 1 ml larutan formaldehid (37%) ke dalam larutan tersebut, lalu diaduk selama kurang lebih 5 menit.

c. Diamkan larutan selama kurang lebih 5 jam, hingga terbentuk endapan. d. Saring endapan dengan menggunakan corong, kemudian bilas dengan air. e. Keringkan endapan dalam oven dan timbang bobotnya.

f. Hitung kadar tanin terkondensasi dengan persamaan berikut: Kadar Tanin Terkondensasi (%) = Bobot endapan

Bobot ekstrak

x 100%

Bilangan Stiasny (Sujanto, 1995)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui reaktifitas tanin terhadap formaldehid. Pengujian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Ekstrak kering sebanyak 0,12 gr dilarutkan dalam 10 ml air kemudian dipanaskan pada suhu 1000C selama 15 menit.

b. Larutan disaring, kemudian filtrate direaksikan dengan 2 ml formaldehid 35% dan katalis 1 ml HCl 10 M.

c. Campuran dipanaskan dalam penangas air pada suhu 1000C selama 30 menit. d. Endapan disaring, diuapkan dan ditimbang.

Bilangan Stiasny diperoleh melalui persamaan:


(27)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Bobot awal Bilangan Stiasny Terkoreksi (%) =

1,090

Bilangan Stiasny pada persamaan 1

Dimana pembagi 1,090 dipilih bila nilai bilangan Stiasny yang digunakan sebagai standar sebesar 109,0% (Yazaki, 1998)

Unit Poliflavonoid (%) = Kadar Ekstrak Tanin x Bilangan Stiasny Terkoreksi 100

4. Pembuatan Perekat Tanin Formaldehid

Pembuatan perekat tanin formaldehid dilakukan dengan cara:

a. Campur 50 gr ekstrak tanin dengan etanol 95% hingga larutan menjadi 100ml. b. Tambahkan formaldehid sebanyak 1% dari berat perekat sambil diaduk.

c. Tambahkan larutan NaOH 50% sebagai katalis sebanyak 1% dari berat

perekat.

5. Pengujian Kualitas Perekat Berat Jenis

Prosedur pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Timbang piknometer kosong (W1)

b. Masukkan air suling ke dalam piknometer hingga penuh, kemudian tutup, jangan sampai ada gelembung udara didalamnya.

c. Bersih dan keringkan bagian luar piknometer yang berisi air suling tersebut, kemudian timbang (W2).


(28)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

e. Masukkan contoh uji perekat ke dalam piknometer hingga penuh dan tutup, jangan sampai ada gelembung udara.

f. Bersih dan keringkan bagian luar piknometer yang berisi contoh uji tersebut, kemudian timbang (W3).

g. Hitung bobot jenis dengan persamaan : Bobot Jenis =

(W2-W1) (W3-W1)

Masa Gelatinasi

Prosedur pengujian masa gelatinasi adalah sebagai berikut:

a. Timbang ±10 gr contoh uji dan masukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian tutup.

b. Panaskan di atas penangas air pada suhu 1000C, permukaan contoh diletakkan 2 cm di bawah permukaan air.

c. Amati waktu yang dibutuhkan contoh uji dalam tabung tergelatin dengan cara memiringkan tabung reaksi dan terlihat contoh uji tidak mengalir lagi

Kandungan Padatan yang Tidak Menguap

Pengujian kadar kandungan padatan yang tidak menguap dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Timbang contoh sebanyak 1,5 gr dan masukkan ke dalam cawan (W1)

b. Kemudian keringkan selama 3 jam pada suhu (105 ± 2)0C, dinginkan dalam desikator dan timbang (W2)

c. Hitung sisa penguapan dengan persamaan: Sisa penguapan (%) = (W2/W1) x 100 %


(29)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Kekentalan (Viskositas)

Kekentalan perekat diukur dengan menggunakan viskometer, dengan tahapan sebagai berikut:

a. Timbang ±6 gr contoh uji dipipet ke dalam viskometer kemudian cairan dihisap melalui labu pengukur dari viskometer.

b. Cairan perekat dibandingkan dengan air kemudian dihitung dengan menggunakan rumus: η1=ρ1t1

η2=ρ2t2

....(Bird, 1993)

η1 = kekentalan perekat (poice) η2 = kekentalan air (poice) ρ1 = massa jenis perekat (gr/cm3) ρ2 = massa jenis perekat (gr/cm3) t1 = waktu perekat (detik)

t2 = waktu air (detik)

Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH dilakukan dengan pHmeter, melalui tahapan sebagai berikut:

a. Standardisasikan pHmeter dengan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 10.

b. Tuangkan contoh ke dalam piala 200 ml secukupnya dan lakukan pengukuran terhadap pH contoh.


(30)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktorial yaitu faktor a (jenis kayu) dan factor b (pelarut) dengan ulangan sebanyak tiga kali.

Yijk = u + ai + bj + (ab)ij + ∑ijk

Dimana : Yijk = angka pengamatan percobaan u = nilai rataan

ai = efek pada 3 jenis kayu

bj = efek pada larutan air dan aseton

(ab)ij = interaksi antara 3 jenis kayu dengan perlakuan pada larutan air dan aseton

∑ijk = efek kesalahan percobaan 3 kali ulangan

Selanjutnya dilakukan analisis data dengan uji F. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : perlakuan tidak berpengaruh nyata pada kualitas perekat H1 : perlakuan berpengaruh nyata pada kualitas perekat

Sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah: F hitung ≤ F tabel, maka perlakuan tidak berpengaruh nyata pada kualitas perekat F hitung > F tabel, maka perlakuan berpengaruh nyata pada kualitas perekat

Setelah itu, jika uji F nyata untuk mengetahui kombinasi perlakuan maka dilakukan pengujian Uji Duncan 5% (Gomez, A dan Gomez, A., 1995)


(31)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi Kulit Kayu Mangrove

Ekstraktif adalah salah satu komponen kimia yang mudah larut larut dalam air dan dapat mempengaruhi keawetan suatu kayu serta dapat digunakan untuk berbagai kepentingan industri (Achmadi, 1990). Kadar ekstraktif kayu digunakan untuk menghitung seberapa besar kadar ekstrak yang terdapat di dalam kulit kayu. Nilai rata-rata kadar ekstrak tanin yang diperoleh melalui metode perendaman yang menggunakan air dan aseton dengan tiga kali ulangan disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai Rata-Rata Kadar Ekstrak Kulit Kayu Mangrove (%)

Jenis Pelarut Jenis Kayu


(32)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Air 700C 11,986 15,854 21,22

Aseton 80%-air 14,221 20,419 34,667

Nilai rata-rata kadar ekstrak tanin berkisar antara 11,986% sampai dengan 34,667%. Nilai tertinggi diperoleh pada perendaman dengan menggunakan aseton pada kayu Rhizophora, sedangkan nilai yang terendah diperoleh pada kayu

Avicennia dengan perendaman air. Perbedaan kuantitatif ini disebabkan adanya

perbedaan jenis pelarut yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robinson (1995) bahwa aseton lebih memungkinkan untuk melarutkan senyawa polimer yang tidak larut oleh air. Oleh sebab itu larutan aseton-air memungkinkan lebih banyak melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam kulit kayu.

Metode ekstrak menggunakan aseton berpengaruh nyata pada kadar ekstrak yang diperoleh pada penelitian. Perendaman dalam aseton meningkatkan kadar ekstrak dibandingkan dengan perendaman dalam air. Hal ini disebabkan adanya tingkat kepolaran suatu senyawa, dimana makin polar molekul pelarut, konstanta dielektriknya semakin naik (Cotton dan Wilkinson, 1989). Adapun nilai konstanta dielektrik air sebesar 80,2 sedangkan aseton 20,7 (Furniss et al, 1978).

Jenis kayu juga berpengaruh nyata pada kadar ekstrak pada penelitian ini.

Rhizophora memiliki kandungan zat ekstrakstif yang lebih tinggi dibandingkan

dengan jenis kayu Avicennia dan Bruguiera (lampiran 1). Hal ini disebabkan perbedaan jenis kayu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pizzi (1983) ekstrak tanin murni dari tumbuhan jumlahnya bervariasi tergantung pada jenis maupun tempat tumbuhnya.

Hasil analisis sidik ragam pada lampiran 2 menunjukkan bahwa metode ekstraksi menggunakan aseton dan jenis kayu Rhizophora yang digunakan


(33)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

signifikan pada nilai kadar ekstraktif bahan pembuatan perekat tanin. Penambahan zat pelarut aseton yang digunakan akan meningkatkan nilai kadar ekstrak kulit kayu. Penggunaan pelarut air hanya menghasilkan peningkatan jumlah karbohidrat saja sedangkan presentase tanin dalam ekstrak tidak berubah, bahkan lebih rendah (Pizzi, 1983 dalam Citraningtyas, 2002)

Hasil perhitungan uji Duncan disajikan pada lampiran 3 juga menunjukkan perlakuan Rhizophora-aseton juga berpengaruh nyata pada kadar ekstraktif. Semakin tinggi kadar ekstraktif kulit kayu maka semakin baik kualitas perekat karena kadar tanin murni yang dihasilkan akan semakin tinggi.

Rendemen

Rendemen dinyatakan dalam persen bobot akhir (gram) per bobot awal (gram) (Santoso, 1995 dalam Ruhendi, 2007). Rendemen yang diperoleh disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Nilai Rata-Rata Rendemen Kulit Kayu Mangrove (%)

Jenis Pelarut Jenis Kayu

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Air 700C 15,385 18,18 22,22

Aseton 80%-air 16,6 20 25

Umur ketiga jenis kayu pada penelitian ini adalah 7 tahun. Nilai rendemen menggunakan pelarut aseton 80%-air lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pelarut air, hal ini dikarenakan aseton dapat melarutkan lebih banyak zat ekstraktif sehingga tanin yang diperoleh juga tinggi. Semakin tinggi


(34)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

rendemen tanin (kadar ekstrak) maka akan semakin semakin banyak tanin yang dapat bereaksi dengan formaldehid sehingga semakin baik kualitas perekat yang dihasilkan.

B. Sifat Kimia Tanin

B.1. Kadar Tanin Terkondensasi

Nilai kadar tanin terkondensasi dengan perlakuan rendaman air dan perendaman aseton disajikan pada tabel 4. Tujuan pengujian kadar tanin terkondensasi adalah untuk menduga banyaknya tanin murni yang dapat digunakan sebagai pembuatan perekat alami. Nilai ini dapat berbeda tergantung pada sumber bahan, lokasi, umur, metode, dan kondisi ekstraksi serta letak bahan ekstraksi pada pohon (Pizzi, 1983). Dalam penelitian ini, perbedaan lebih difokuskan pada sumber bahan dan metode ekstraksi.

Tabel 4. Nilai Tanin Terkondensasi Kulit Kayu Mangrove (%)

Jenis Pelarut Jenis Kayu

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Air 700C 46,333 52,667 60

Aseton 80%-air 67,333 78,467 82,667

Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh nyata pada nilai tanin terkondensasi. Hal ini disebabkan aseton lebih baik dalam melarutkan senyawa-senyawa polimer yang tidak larut dalam air (Robinson,1995). Jenis kayu

Rhizophora pada penelitian ini berpengaruh pada nilai kadar terkondensasi. Hal

ini disebabkan jenis kayu Rhizophora pada penelitian ini memiliki kadar ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran 1).

Hasil analisis sidik ragam kadar tanin terkondensasi menunjukkan interaksi antara jenis kayu dengan metode ekstrak tidak berpengaruh nyata. Hal


(35)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

ini disebabkan adanya zat-zat lain yang masih terkandung dalam ketiga jenis kulit kayu. Hal ini sesuai dengan penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) bahwa kemungkinan selain tanin terkondensasi juga masih ada komponen lain dalam tanin yaitu tanin terhidrolisis, lignan, stilbena dan tropolon.

B.2.Bilangan Stiasny

Menurut Sujanto (1995) dalam Citraningtyas (2002) bilangan stiasny dapat digunakan untuk menduga banyaknya unit plavonoid di dalam ekstrak tanin yang dapat bereaksi dengan formaldehida. Semakin tinggi nilai bilangan stiasny berarti semakin tinggi reaktifitas tanin tersebut. Oleh karena itu bilangan stiasny merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk menilai kualitas ekstrak tanin (Citraningtyas, 2002)

Nilai bilangan stiasny dan kadar poliflavonoid dari tanin yang diperoleh dari seluruh perlakuan dengan metode perendaman air dan aseton disajikan pada tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Nilai Rata-Rata Sifat Kimia Kulit Kayu Mangrove (%) Kombinasi

Perlakuan

Sifat Kimia Kadar

Ekstrak (%)

Bil. Stiasny* (%)

Bil. Stiasny Terkoreksi

(%)

Unit Poliflavonoid

(%)

Avicennia-Air 11,986 40,278 36,952 10,808

Bruguiera-Air 52,667 56,961 52,255 8,296

Rhizophora-Air 60 66,389 60,907 12,928

Avicennia-Aseton 67,333 82,778 75,943 10,808

Bruguiera-Aseton 78,467 91,667 84,107 17,206

Rhizophora-Aseton 82,667 166,933 153,15 53,183

Bilangan stiasny ditentukan oleh kadar tanin terkondensasi. Semakin tinggi kadar tanin terkondensasi maka bilangan stiasny semakin besar


(36)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

(Citraningtyas, 2002). Dari seluruh nilai bilangan stiasny terkoreksi yang diperoleh hanya satu nilai yang mencapai angka 109,0 seperti bilangan stiasny standar yang digunakan yaitu pada perlakuan menggunakan pelarut aseton pada kombinasi perlakuan Rhizophora-aseton. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tanin yang dihasilkan pada seluruh kombinasi perlakuan tidak seluruhnya mengandung poliflavonoid yang murni.

Metode ekstrak menggunakan aseton berpengaruh pada nilai bilangan stiasny. Hal ini disebabkan aseton dapat melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam kulit kayu (Robinson, 1995 dalam Citraningtyas, 2002) dibandingkan air yang umumnya tidak menjamin jumlah senyawa polifenol yang dihasilkan tinggi (Hathway, 1962 dalam Citraningtyas, 2002). Jenis kayu juga berpengaruh pada nilai bilangan stiasny (gambar 1) hal ini disebabkan perbedaan dari kandungan poliflavonoid yang terdapat pada masing-masing ekstrak tanin sehingga mengakibatkan perbedaan reaktifitas formaldehid yang terjadi pada perekat yang akan dihasilkan. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kandungan polifalvonoid yang terdapat pada ekstrak tanin maka kualitas perekat tanin yang dihasilkan juga semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pizzi (1983)

dalam Ruhendi (2007) formaldehida bereaksi dengan tanin untuk menghasilkan

polimerisasi melalui ikatan metylene dengan posisi reaktif molekul-molekul flavonoid.

Dari hasil analisis sidik ragam pada lampiran 7 menunjukkan bahwa interaksi metode ekstrak menggunakan aseton dengan jenis kayu Rhizophora yang digunakan signifikan pada nilai bilangan stiasny bahan pembuatan perekat tanin. Hal ini disebabkan ekstraksi dengan menggunakan aseton dapat memutuskan


(37)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

ikatan-ikatan hidrogen yang bisa terjadi di alam antara tanin dan protein tumbuhan atau polisakarida, sehingga bilangan stiasnynya menjadi lebih tinggi (Wise, 1946 dalam Citraningtyas, 2002)

Hal ini juga ditunjukkan dari hasil uji Duncan (lampiran 8) yang menunjukkan bahwa perlakuan Rhizophora-aseton berpengaruh nyata pada nilai bilangan stiasny hal ini disebabkan zat pelarut aseton yang digunakan lebih baik dalam memutuskan ikatan tanin pada kayu Rhizophora. Pada penelitian ini kulit kayu Rhizophora memiliki kadar ekstrak tanin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis kulit kayu lainnya (Tabel 2). Kadar ekstraktif kulit kayu sangat berhubungan dengan unit poliflavonoid. Hal ini sesuai dengan literatur Citraningtyas (2002) bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif yang terdapat pada kulit kayu maka kualitas tanin sebagai bahan dasar perekat semakin baik, karena mempunyai hubungan yang linier dengan unit poliflavonoid.

40,278 59,961 66,389 82,778 91,667 166,933 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Jenis Kayu B il an gan S ti as n y ( %) Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

D* E* C* B* C* A*

*Nilai Uji Duncan

Gambar 1. Grafik Nilai Rata-Rata Bilangan Stiasny

C. Sifat Perekat Tanin Formaldehida C.1. Berat Jenis


(38)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung di dalam perekat (Meda, 2006 dalam Ruhendi, 2007). Seluruh nilai berat jenis perekat tanin formaldehida pada penelitian ini yang dibuat dengan menggunakan binder tanin hasil ekstraksi dengan perendaman dalam aseton, lebih tinggi bila dibandingkan dengan perekat tanin dari metode perendaman air (Gambar 2).

Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh nyata pada nilai berat jenis. Hal ini disebabkan pelarut aseton dapat memutuskan ikatan-ikatan hidrogen yang terjadi antara tanin dengan protein tumbuhan dan membentuk polimerisasi tanin dengan formaldehid sehingga membentuk tanin formaldehid (Wise,1946

dalam Citraningtyas,2002). Menurut Susanti et al (2000) dalam Ruhendi (2007)

bahwa semakin sempurna tingkat polimerisasi membentuk ikatan di antara komponen-komponen perekat, semakin panjang polimer yang terbentuk sehingga bobot molekul semakin besar. Bobot molekul yang besar menyebabkan berat jenis menjadi besar.

Kulit kayu Rhizophora berpengaruh nyata pada nilai berat jenis perekat tanin formaldehid. Pada penelitian ini kulit kayu Rhizophora memiliki kadar tanin terkondensasi yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran 4), pada kondisi tersebut tanin dan formaldehida dapat bereaksi dengan baik membentuk perekat tanin formaldehida sehingga berat molekul dan derajat polimerisasi perekat menjadi lebih tinggi. Maka berat jenis komponen perekat yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Meda (2006)

dalam Ruhendi (2007) semakin banyak komponen perekat yang berat jenisnya

tinggi, maka berat jenis perekat akan semakin tinggi juga. Dari hasil penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) yang menggunakan ekstrak tanin kulit kayu


(39)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Rhizophora mucronata diperoleh nilai berat jenis perekat 1,38 (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).

Dari hasil analisis sidik ragam diperoleh bahwa interaksi metode ekstraksi menggunakan aseton dan kulit kayu Rhizophora yang digunakan signifikan terhadap berat jenis perekat tanin. Hal ini disebabkan kulit kayu Rhizophora pada penelitian ini memiliki kadar tanin terkondensasi lebih tinggi dibandingkan

Avicennia dan Bruguiera karena pada kondisi tersebut tanin dan formaldehida

dapat bereaksi dengan baik membentuk perekat tanin formaldehida sehingga berat molekul dan derajat polimerisasi perekat menjadi lebih tinggi (Wise,1946 dalam Citraningtyas,2002). Hasil perhitungan uji Duncan (Lampiran 17) juga menunjukkan bahwa bahwa perlakuan Rhizophora-aseton berpengaruh nyata pada nilai berat jenis perekat tanin.

Menurut SNI 06-4566-1998 (lampiran 30), berat jenis berkisar antara 1,260-1,290. Nilai berat jenis perekat Rhizophora-aseton pada penelitian ini 1,286 masih termasuk dalam kisaran SNI 06-4566-1998 dan digunakan untuk

pengerjaan kayu. Nilai rata-rata berat jenis perekat yang diperoleh dalam penelitian ini dapat


(40)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

0,331 0,258 1,148 1,004 0,921 1,286 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Jenis Kayu B era t J en is Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

E* C* E* D* B* A*

*Nilai Uji Duncan

Gambar 2. Grafik Nilai Rata-Rata Berat Jenis

C.2 Masa Gelatinasi

Masa gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau menjadi gel sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan (Solomon, 1967 dalam Meda, 2006 dalam Ruhendi, 2007). Masa gelatinasi perekat lebih banyak dipengaruhi oleh kuantitas kadar tanin terkondensasi dan kadar poliflavonoid. Semakin tinggi kedua karakteristik tersebut, maka semakin banyak pula tanin yang bereaksi dengan formaldehid dan pada suhu yang tinggi (1000C) reaksi tanin dengan formaldehida terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sehingga perekat pun lebih mudah tergelatinasi (Citraningtyas, 2002)

Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh pada nilai masa gelatinasi. Hal ini disebabkan aseton dapat meningkatkan kadar nilai tanin terkondensasi dan kadar poliflavonoid dibandingkan ekstraksi menggunakan air (lampiran 4 dan 12).


(41)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Jenis kayu juga berpengaruh pada nilai masa gelatinasi perekat tanin. Kulit kayu Rhizophora pada penelitian ini memiliki kandungan tanin murni yang lebih tinggi dibandingkan pada jenis kulit kayu Avicennia dan Bruguiera. Kadar terkondensasi yang tertinggi didapatkan pada kulit kayu Rhizophora sehingga banyaknya kandungan poliflavonoid yang dikandung oleh Rhizophora juga lebih tinggi dibandingkan jenis kulit kayu Avicennia dan Bruguiera sehingga menyebabkan kulit kayu Rhizophora berpengaruh pada nilai gelatinasi.

Hasil perhitungan sidik ragam masa gelatinasi menunjukkan bahwa pada interaksi pada metode ekstraksi aseton dan kulit kayu Rhizophora yang digunakan berpengaruh nyata pada nilai masa gelatinasi perekat. Hal ini disebabkan zat pelarut aseton yang dapat melarutkan kulit kayu lebih baik dibandingkan air sehingga dihasilkan kadar ekstrak tanin yang tinggi sehingga kadar tanin terkondensasi tinggi dan unit poliflavonoid. Semakin lama gelatinasi yang dihasilkan maka umur simpan perekat lama karena perekat tidak mudah mengental (Ruhendi, 2007). Dari hasil perhitungan uji Duncan juga menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan menggunakan aseton berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan air yaitu pada perlakuan (Rhizophora-aseton).


(42)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

66,2203 60,854 56,986 79,667 65,4196 55,906 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Jenis Kayu Ma sa G e la tin a si ( Me n it ) Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

*Nilai Uji Duncan

B* B*

D* E* C* A*

Gambar 3. Grafik Nilai Rata-Rata Gelatinasi (Menit)

Menurut SNI 06-4566-1998 (lampiran 30), masa gelatinasi minimal 60 menit. Nilai masa gelatinasi perekat Rhizophora-aseton pada penelitian ini 79,667 masih termasuk dalam kisaran SNI 06-4566-1998 dan digunakan untuk

pengerjaan kayu.

C.3 Kadar Padatan

Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul sirekat. Menurut Vick (1999) dalam Ruhendi (2007) bahwa semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan.

Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh nyata pada nilai kadar padatan. Hal ini disebabkan aseton dapat menghasilkan kandungan padat yang lebih tinggi dibandingkan air (gambar 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Achmadi et al. (1998) dalam Susanti (2000) dalam Citraningtyas (2002) bahwa


(43)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

tanin yang diperoleh dari ekstraksi dengan menggunakan air panas, hanya 42-75% yang berupa polimer tanin, sisanya berupa campuran gula pektin, hemiselulosa, dan polifenol lain yang mempunyai berat molekul yang rendah (< 300) dibandingkan aseton yang lebih banyak melarutkan senyawa polimer yang tidak larut dalam air dan etil asetat (Robinson, 1995 dalam Citraningtyas, 2002)

Jenis kulit kayu Rhizophora yang digunakan juga berpengaruh pada nilai kadar padatan perekat tanin formaldehid. Hal ini disebabkan jenis kulit kayu

Rhizophora pada penelitian ini memiliki bilangan stiasny dan kadar poliflavoid

(lampiran 6 dan 12) yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera. Hasil perhitungan sidik ragam kandungan padatan yang tidak menguap menunjukkan bahwa pada metode ekstraksi aseton dan jenis kayu Rhizophora yang digunakan signifikan. Hal ini disebabkan dalam metode ekstrak tanin indikator yang berpengaruh adalah zat pelarut dari metode ekstrak. Zat pelarut aseton dapat menghasilkan kadar padatan yang menguap lebih tinggi sehingga kualitas perekat yang akan dihasilkan semakin baik. Hasil uji Duncan (lampiran 23) juga menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan menggunakan aseton berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan air yaitu pada perlakuan (Rhizophora-aseton).

Dalam aplikasi perekatan keteguhan rekat papan akan semakin meningkat jika kadar padatan yang menguap semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Meda (2006) dalam Ruhendi (2007) bahwa semakin tinggi kadar padatan maka keteguhan rekat semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan. Dari hasil penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) yang menggunakan ekstrak tanin


(44)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai kadar padatan tidak menguap 35,82% (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).

Nilai rata-rata kadar padatan perekat tanin formaldehida yang tidak menguap dapat dilihat pada gambar 4.

29,317 24,12 26,635 31,206 26,032 38,166 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Jenis Kayu K a da r P a da ta n T ida k M e ng ua p (%) Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

C* B* E* D* D* A*

* Nilai Uji Duncan

Gambar 4. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Padatan yang Tidak Menguap (%)

C.4. Kekentalan

Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada permukaan yang direkat (Prasetyo, 2006 dalam Ruhendi, 2007). Menurut Citraningtyas (2002) kekentalan perekat cenderung berkaitan dengan kadar tanin terkondensasi dan kadar poliflavonoidnya. Dengan lebih tingginya nilai tanin terkondensasi dan kadar poliflavonoidnya berarti jumlah tanin yang bereaksi dengan formaldehida juga lebih banyak sehingga komponen perekat akan terpolimerisasi dengan lebih baik, yang menyebabkan berat molekul, derajat polimerisasi, dan kerapatan perekat menjadi lebih tinggi. Histogram yang menunjukkan nilai rata-rata kekentalan perekat tanin formaldehida yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.


(45)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

44,3949 37,867 37,7304 44,5418 40,8475 45,0147 34 36 38 40 42 44 46

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Jenis Kayu K eke nt al an ( C ps ) Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

B* B* D* C* E* A*

*Nilai Uji Duncan

Gambar 5. Grafik Nilai Rata-Rata Kekentalan (Cps)

Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh pada nilai kekentalan perekat. Hal ini disebabkan aseton dapat meningkatkan jumlah tanin yang bereaksi dengan formaldehid lebih banyak sehingga komponen perekat akan terpolimerisasi dengan lebih baik. Namun tidak demikian dengan menggunakan ekstraksi air perekat ini lebih kental karena pada taninnya lebih banyak karbohidrat yang lebih mudah larut dalam etanol saat pembuatan perekat. Jenis kayu Rhizophora juga berpengaruh pada nilai kekentalan perekat. Hal ini disebabkan Rhizophora memiliki kadar tanin terkondensasi dan kadar poliflavonoid yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran 4 dan 12).

Hasil sidik ragam menunjukkan interaksi metode ekstraksi menggunakan aseton dan jenis kayu Rhizophora juga berpengaruh nyata pada nilai kekentalan perekat (lampiran 25). Aseton dapat melarutkan zat-zat ekstraktif pada ketiga jenis kayu, walaupun zat-zat lain masih terkandung dalam ketiga jenis kulit kayu.


(46)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran 1) sehingga nilai kekentalan tinggi yang dapat menghasilkan perekat dengan kualitas yang lebih baik. Dari hasil perhitungan uji Duncan (lampiran 26) juga menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan menggunakan aseton berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan air yaitu pada perlakuan (Rhizophora-aseton). Dari hasil penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) yang menggunakan ekstrak tanin kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai kekentalan perekat 6 poise (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).

C.5. Derajat Keasaman

Menurut Meda (2006) dalam Ruhendi (2007), secara umum semakin tinggi pH perekat semakin baik dalam penyimpanan. Nilai rata-rata pH perekat tanin formaldehida dari seluruh perlakuan pada penelitian ini disajikan pada gambar 6.

Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh pada nilai derajat keasaman perekat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan dalam pembuatan perekat tanin formaldehida ini juga ditambahkan NaOH yang berfungsi sebagai katalis untuk mempercepat reaksi antara tanin dengan formaldehida. Sesuai literatur Pizzi (1983) dalam Citraningtyas (2002) bahwa peningkatan alkalinitas dari katalis akan menyebabkan pengaktifan fenol secara progresif, khususnya pada kondisi pH diatas 3 sehingga reaksi antara tanin dengan formaldehida menjadi lebih cepat.

Nilai derajat keasaman yang dihasilkan pada ketiga jenis kayu tidak berbeda jauh namun berpengaruh nyata pada jenis kayu Rhizophora. Hal ini disebabkan perekat yang dihasilkan berasal dari tanin yang memiliki kandungan


(47)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

ekstraktif yang cukup tinggi dan pada penelitian ini Rhizophora memiliki kadar ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan jenis kayu Avicennia dan Bruguiera. Hal ini juga dikatakan Ruhendi (2007) bahwa kandungan ekstraktif membuat kadar keasaman juga tinggi terutama tanin.

Hasil analisis sidik ragam derajat keasaman menunjukkan interaksi yang tidak nyata antara jenis kayu dan kedua metode ekstrak. Hal ini disebabkan adanya penambahan zat lain yaitu NaOH yang dapat meningkatkan alkalinitas keasaman pada perekat yang dihasilkan. Karena pH perekat tergantung reaksi yang berlangsung antara tanin dan formaldehida dalam membentuk polimer tanin-formaldehida (Pizzi, 1983 dalam Tan, 1992 dalam Citraningtyas, 2002)

5,387 5,43 5,487 5,523 5,55 5,657 5,25 5,3 5,35 5,4 5,45 5,5 5,55 5,6 5,65 5,7

Avicennia Bruguiera Rhizophora

Jenis Kayu p H P erek a t Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

Gambar 6. Nilai Rata-Rata pH Perekat Tanin Formaldehida

Nilai tertinggi pH perekat diperoleh dari perendaman dengan aseton 80% selama 12 jam yaitu sebesar 5,657 dan pH perekat dari perendaman dengan air yaitu 5,847. Dari penelitian Tan (1992) yang menggunakan ekstrak kulit kayu

Rhizophora mucronata diperoleh nilai rata-rata pH perekat tanin formaldehida


(48)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

sumber tanin, ataupun formulasi pembuatan perekat tanin formaldehida (Citraningtyas, 2002). Dari hasil penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) yang menggunakan ekstrak tanin kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai derajat keasaman perekat 6,32 (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perekat tanin formaldehida yang diperoleh dari penelitian ini secara umum berada di luar kisaran nilai kualifikasi pada Standar Nasional Indonesia. Namun, pada pengujian kualitas berat jenis perekat dengan perlakuan Rhizophora-aseton dapat memenuhi. Menurut SNI 06– 4566-1998, berat jenis berkisar antara 1,260–1,290 berat jenis perekat

Rhizophora-aseton dapat digunakan untuk pengerjaan kayu. Tanin dan urea

maupun melamine memang berbeda. Sebagai produk alam tanin sudah memiliki sifat-sifat bawaan yang sulit diubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Browning (1956) dalam Citraningtyas (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanin antara lain kondisi kulit, jenis pelarut yang digunakan, kemungkinan adanya logam besi, dan temperatur selama ekstraksi. Selain itu tanin yang diperoleh dari hasil ekstraksi mengalami penurunan kualitas tanin murni.

Faktor lain yang diduga sebagai penyebab perbedaan kualitas perekat tanin formaldehida dari nilai standar antara lain belum adanya pengkhususan peruntukan perekat tersebut. Hal ini menyebabkan secara fisik perekat tanin formaldehida berbeda dari perekat lain. Contohnya pada nilai derajat keasaman. Tanin formaldehida pada penelitian ini memiliki derajat keasaman yang jauh lebih rendah karena perekat ini belum diputuskan peruntukkannya. Karena pada kondisi asam, kayu akan menjadi lebih cepat rusak (Ruhendi, et al, 2000 dalam Ruhendi,


(49)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

2007). Lain halnya dengan perekat lain yang akan digunakan sebagai perekat pada produk papan partikel, kayu lapis ataupun pengerjaan kayu. Pada produk-produk panel ini, aplikasi perekat yang dibutuhkan perekat dengan pH yang tinggi sehingga kayu dapat lebih mudah direkatkan.


(50)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:

1. Limbah kulit kayu Mangrove dapat dijadikan sebagai perekat tanin dimana pada sebagian besar kriteria yang diujikan, metode perendaman dalam larutan aseton-air memberikan hasil yang lebih baik daripada sistem perendaman dalam air suhu 700C, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Berdasarkan beberapa pedoman standarisasi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional, perekat tanin formaldehida yang dihasilkan dari penelitian ini, hanya berat jenis dan masa gelatinasi yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.

B. Saran

Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan kualitas tanin dengan mempertimbangkan kondisi optimum yang diperlukan dalam reaksi tanin sebagai bahan perekat.


(51)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Amri. 2007. Jenis-Jenis Kayu.

Arief, Arifin. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Bird, T. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Citraningtyas, E. R. 2002. Kualitas Tanin Kulit Akasia (Acacia mangium Willd) dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Perekat. Jurusan THH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi. (tidak diterbitkan)

Damanik, S. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haygreen, J. G. dan Bowyer, J. L. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Ukur Kayu. Suatu Pengantar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hartomo, A. J, dkk. 1992. Memahami Polimer dan Perekat. Andi Offset Yogyakarta. Yogyakarta.

Hermawan, R. W. 1989. Penggunaan Tanin Kulit Kayu Tusam (Pinus merkusii Jungh et de Vriest) Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Jurusan THH. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi (tidak diterbitkan)

Furniss, B.S. ; A. J. Hannaford; V. Rogers; P. W. G. Smith; A.R. Tatchell. 1978. Vogel’s: Textbook of Practical Organic Chemistry. Including Qualitative Organic Analysis. 4th Edition. Longman Group. Longman House, Burnt, Mill, Harlow, England

Gomez, A. K dan Gomez, A.A. 1995. Prosedur Stastistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Kitamura, Shozo. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jaya Abadi. Bali.

Kusmayadi, Y. 1989. Pengaruh Suhu dan Ekstraksi Pinus Merkusii Jungh et de Vries, Acacia decurens Willd dan Rhizophora mucronata Terhadap Kualitas Tanin Sebagai Bahan Penolong Papan Serat. Jurusan THH. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi. (tidak diterbitkan)


(52)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Linggawati, Amilia, dkk. 2007. Pemanfaatan Tanin.:Jurnal Natur Indonesia S(1):84-94 (2002).www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol5(1)

/amilia.pdf+perekat+dari+tanin&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id

Noor, dkk. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International. Bogor.

Meda, A.A. 2006. Kualitas Komposit dan Likuida Limbah Sabut Kelapa dengan Fortifikasi Poliuretan. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan.

Pizzi, A. 1983. Tanin-based wood adhesive. Di dalam: Pizzi, A (ed). Wood

Adhesive Chemistry and Technology. New York: Marcell Deller.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.

Ruhendi, Surdiding, dkk. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Insitut Pertanian Bogor.Bogor.

Santoso, A. & Sutigno, P. 1995. The effect of glue spread and percentage of filler of tannin formaldehyde resin on plywood bonding strenght. Forest

Product Journal 13: 87-92.

Sjostrom, E. 1981. Wood Chemistry: Fundamentals and Aplications. Academic Press. London. New York.

Sujanto. 1995. Evaluasi Tanin Mangium, Mimosa dan Quebracho sebagai Campuran Perekat Kayu Lapis. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Skripsi (tidak diterbitkan)

Susanti, C. M. E. 2000. Autokondesat Tanin sebagai Perekat Kayu Lamina. Jurusan IPK. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan).

Tan, L. 1992. Ekstraksi dan Identifikasi Tanin Kulit Kayu Beberapa Jenis Pohon Serta Penggunaannya Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Jurusan IPK. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan).

Tano, Eddy. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintesis. Rineka Cipta. Jakarta. Yazaki, Y And P.J. Collins. 1998. Potensial Use of Acacia mangium Bark for

Water Proof Wood Adhesive. Proceeding Symposium in The Forth Pacific Rim Bio Based Composites. Bogor.


(1)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

ekstraktif yang cukup tinggi dan pada penelitian ini Rhizophora memiliki kadar ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan jenis kayu Avicennia dan Bruguiera. Hal ini juga dikatakan Ruhendi (2007) bahwa kandungan ekstraktif membuat kadar keasaman juga tinggi terutama tanin.

Hasil analisis sidik ragam derajat keasaman menunjukkan interaksi yang tidak nyata antara jenis kayu dan kedua metode ekstrak. Hal ini disebabkan adanya penambahan zat lain yaitu NaOH yang dapat meningkatkan alkalinitas keasaman pada perekat yang dihasilkan. Karena pH perekat tergantung reaksi yang berlangsung antara tanin dan formaldehida dalam membentuk polimer tanin-formaldehida (Pizzi, 1983 dalam Tan, 1992 dalam Citraningtyas, 2002)

5,387 5,43 5,487 5,523 5,55 5,657 5,25 5,3 5,35 5,4 5,45 5,5 5,55 5,6 5,65 5,7

Avicennia Bruguiera Rhizophora Jenis Kayu p H P erek a t Pelarut Air Pelarut Aseton-Air

Gambar 6. Nilai Rata-Rata pH Perekat Tanin Formaldehida

Nilai tertinggi pH perekat diperoleh dari perendaman dengan aseton 80% selama 12 jam yaitu sebesar 5,657 dan pH perekat dari perendaman dengan air yaitu 5,847. Dari penelitian Tan (1992) yang menggunakan ekstrak kulit kayu

Rhizophora mucronata diperoleh nilai rata-rata pH perekat tanin formaldehida


(2)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

sumber tanin, ataupun formulasi pembuatan perekat tanin formaldehida (Citraningtyas, 2002). Dari hasil penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) yang menggunakan ekstrak tanin kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai derajat keasaman perekat 6,32 (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perekat tanin formaldehida yang diperoleh dari penelitian ini secara umum berada di luar kisaran nilai kualifikasi pada Standar Nasional Indonesia. Namun, pada pengujian kualitas berat jenis perekat dengan perlakuan Rhizophora-aseton dapat memenuhi. Menurut SNI 06– 4566-1998, berat jenis berkisar antara 1,260–1,290 berat jenis perekat

Rhizophora-aseton dapat digunakan untuk pengerjaan kayu. Tanin dan urea

maupun melamine memang berbeda. Sebagai produk alam tanin sudah memiliki sifat-sifat bawaan yang sulit diubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Browning (1956) dalam Citraningtyas (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanin antara lain kondisi kulit, jenis pelarut yang digunakan, kemungkinan adanya logam besi, dan temperatur selama ekstraksi. Selain itu tanin yang diperoleh dari hasil ekstraksi mengalami penurunan kualitas tanin murni.

Faktor lain yang diduga sebagai penyebab perbedaan kualitas perekat tanin formaldehida dari nilai standar antara lain belum adanya pengkhususan peruntukan perekat tersebut. Hal ini menyebabkan secara fisik perekat tanin formaldehida berbeda dari perekat lain. Contohnya pada nilai derajat keasaman. Tanin formaldehida pada penelitian ini memiliki derajat keasaman yang jauh lebih rendah karena perekat ini belum diputuskan peruntukkannya. Karena pada kondisi asam, kayu akan menjadi lebih cepat rusak (Ruhendi, et al, 2000 dalam Ruhendi,


(3)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

2007). Lain halnya dengan perekat lain yang akan digunakan sebagai perekat pada produk papan partikel, kayu lapis ataupun pengerjaan kayu. Pada produk-produk panel ini, aplikasi perekat yang dibutuhkan perekat dengan pH yang tinggi sehingga kayu dapat lebih mudah direkatkan.


(4)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:

1. Limbah kulit kayu Mangrove dapat dijadikan sebagai perekat tanin dimana pada sebagian besar kriteria yang diujikan, metode perendaman dalam larutan aseton-air memberikan hasil yang lebih baik daripada sistem perendaman dalam air suhu 700C, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Berdasarkan beberapa pedoman standarisasi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional, perekat tanin formaldehida yang dihasilkan dari penelitian ini, hanya berat jenis dan masa gelatinasi yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.

B. Saran

Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan kualitas tanin dengan mempertimbangkan kondisi optimum yang diperlukan dalam reaksi tanin sebagai bahan perekat.


(5)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Amri. 2007. Jenis-Jenis Kayu.

Arief, Arifin. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Bird, T. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Citraningtyas, E. R. 2002. Kualitas Tanin Kulit Akasia (Acacia mangium Willd) dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Perekat. Jurusan THH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi. (tidak diterbitkan)

Damanik, S. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haygreen, J. G. dan Bowyer, J. L. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Ukur Kayu. Suatu Pengantar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hartomo, A. J, dkk. 1992. Memahami Polimer dan Perekat. Andi Offset Yogyakarta. Yogyakarta.

Hermawan, R. W. 1989. Penggunaan Tanin Kulit Kayu Tusam (Pinus merkusii Jungh et de Vriest) Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Jurusan THH. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi (tidak diterbitkan)

Furniss, B.S. ; A. J. Hannaford; V. Rogers; P. W. G. Smith; A.R. Tatchell. 1978. Vogel’s: Textbook of Practical Organic Chemistry. Including Qualitative Organic Analysis. 4th Edition. Longman Group. Longman House, Burnt, Mill, Harlow, England

Gomez, A. K dan Gomez, A.A. 1995. Prosedur Stastistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Kitamura, Shozo. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jaya Abadi. Bali.

Kusmayadi, Y. 1989. Pengaruh Suhu dan Ekstraksi Pinus Merkusii Jungh et de Vries, Acacia decurens Willd dan Rhizophora mucronata Terhadap Kualitas Tanin Sebagai Bahan Penolong Papan Serat. Jurusan THH. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi. (tidak diterbitkan)


(6)

Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009

Linggawati, Amilia, dkk. 2007. Pemanfaatan Tanin.:Jurnal Natur Indonesia S(1):84-94 (2002).www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol5(1)

/amilia.pdf+perekat+dari+tanin&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id

Noor, dkk. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International. Bogor.

Meda, A.A. 2006. Kualitas Komposit dan Likuida Limbah Sabut Kelapa dengan Fortifikasi Poliuretan. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan.

Pizzi, A. 1983. Tanin-based wood adhesive. Di dalam: Pizzi, A (ed). Wood

Adhesive Chemistry and Technology. New York: Marcell Deller.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.

Ruhendi, Surdiding, dkk. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Insitut Pertanian Bogor.Bogor.

Santoso, A. & Sutigno, P. 1995. The effect of glue spread and percentage of filler of tannin formaldehyde resin on plywood bonding strenght. Forest

Product Journal 13: 87-92.

Sjostrom, E. 1981. Wood Chemistry: Fundamentals and Aplications. Academic Press. London. New York.

Sujanto. 1995. Evaluasi Tanin Mangium, Mimosa dan Quebracho sebagai Campuran Perekat Kayu Lapis. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Skripsi (tidak diterbitkan)

Susanti, C. M. E. 2000. Autokondesat Tanin sebagai Perekat Kayu Lamina. Jurusan IPK. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan).

Tan, L. 1992. Ekstraksi dan Identifikasi Tanin Kulit Kayu Beberapa Jenis Pohon Serta Penggunaannya Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Jurusan IPK. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan).

Tano, Eddy. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintesis. Rineka Cipta. Jakarta. Yazaki, Y And P.J. Collins. 1998. Potensial Use of Acacia mangium Bark for

Water Proof Wood Adhesive. Proceeding Symposium in The Forth Pacific Rim Bio Based Composites. Bogor.