Pemanfaatan Tanin dari Kulit Kayu Bakau

Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”
Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia
Yogyakarta, 22 Februari 2011

ISSN 1693 – 4393

Pemanfaatan Tanin dari Kulit Kayu Bakau sebagai Pengganti
Gugus Fenol pada Resin Fenol Formaldehid
YC Danarto1*, Stefanus Ajie Prihananto2, Zery Anjas Pamungkas2
1

Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia FT UNS, Jl. Ir. Sutami No.36 A Surakarta
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia FT UNS, Jl. Ir. Sutami No.36 A Surakarta

2)

Abstract

The increasing of wood production will increase the consumption of resin phenol formaldehyde for adhesive. In
order to overcome the phenol limitation in resources , it is necessary to offer phenol substitution by tannin which
has the same OH configuration. Mangrove bark contains about 26 % tannin. The objection of this research was

to study the effect of ethanol concentration upon tannin extraction and to study the effect of ratio tannin : phenol
: formaldehyde upon the adhesive quality. There were two step in this research, tannin extraction and phenolformaldehyde modification by tannin. Tannin extraction from mangrove bark by ethanol solution was carried in
stirred flask on 70 oC for 3 hours. The result showed that ethanol concentration had proportional effect on
tannin yield. Modification phenol-formaldehyde resin was carried by adding tannin in different ratios (10%,
20%, or 40% of the phenol weight) with NaOH catalyst (pH 9) and mixed in stirred flask on 85 oC for 2.5 hours.
The modificated adhesive was tested by shear test and tensile test. The result showed that modificated adhesive
had better shear test compare to non-modificated adhesive for adding tannin not more than 20 % wt phenol but
there was an opposite result for tensile test. The optimum result was shown on adding tannin 20 % of phenol
weight.( shear test 46.305 kg/cm2 and tensile test 13.582 kg/cm2). It was concluded that tannin can be used as
phenol substitution for phenol-formaldehyde adhesive.
Keywords: mangrove bark, tannin, phenol-formaldehyde adhesive

Pendahuluan
Produksi kayu lapis di Indonesia dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan. Kementerian
Kehutanan RI (2009) mencatat produksi kayu lapis di
Indonesia pada tahun 2008 mencapai 3.353.479 m3.
Produksi kayu lapis yang besar akan meningkatkan
konsumsi bahan perekat seperti resin fenol
formaldehid. Untuk mengurangi ketergantungan

fenol sebagai bahan baku tidak terbarukan maka
perlu dicari sumber bahan baku alternatif yang
terbarukan.
Salah satu bahan baku alternatif yang menjanjikan
adalah tanin. Tanin dapat diperoleh dari hampir
semua jenis tumbuhan hijau baik tumbuhan tingkat
rendah maupun tingkat tinggi dengan kadar dan
kualitas yang bervariasi. Tanin merupakan senyawa
polifenol yang sangat kompleks. Oleh karena adanya
gugus fenol, maka tanin dapat bereaksi dengan
formaldehid (polimerisasi kondensasi) membentuk
produk thermosetting yang dapat digunakan sebagai
bahan perekat.
Pohon bakau (Rhizopora sp.) merupakan salah
satu tanaman yang memiliki kandungan tanin yang
besar terutama di bagian kulitnya. Berdasarkan hasil
analisis colorimetric, kandungan tanin dalam kulit

kayu
bakau

mencapai
sekitar
5,4
%
(www.poultryindonesia.com)
Tujuan penelitian ini mempelajari pengaruh
konsentrasi pelarut terhadap ekstraksi tanin pada kulit
kayu pohon bakau dan mempelajari pengaruh ratio
tanin dalam resin fenol-formaldehid terhadap kualitas
perekat fenol-formaldehid.
Tinjauan Pustaka
Pohon Bakau. Pohon bakau merupakan salah
satu vegetasi yang banyak ditemukan di pantai-pantai
teluk dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai
terlindung dan masih dipengaruhi oleh pasang surut.
Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang mencolok
berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk
yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta
buah yang berkecambah serta berakar ketika masih
di pohon (vivipar). Pohon bakau yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu jenis Rhizopora
mucronata. Jenis pohon bakau ini mempunyai tajuk
yang padat dan hijau. Rhizopora mucronata tumbuh
di tanah berlumpur lembek dengan kadar garam yang
rendah. Perakaran tanaman ini tetap terendam selama
air laut pasang.

D02-1

Hutan bakau di Indonesia memiliki luas sekitar
42.550 km2 dengan lebih kurang 45 spesies. Manfaat
pohon bakau secara umum adalah mencegah abrasi
pantai, menyediakan hasil hutan seperti kayu bakar,
bahan kimia seperti tanin, bahan obat-obatan, dan
sebagai
tempat
berkembangbiaknya
ikan.
(Purnobasuki, 2004)
Menurut Paridah dan Musgrave (1999),

kandungan tanin pada kulit kayu bakau mencapai 26
%.
Tanin. Tanin secara ilmiah didefinisikan sebagai
senyawa polipenol yang mempunyai berat molekul
tinggi dan mempunyai gugus hidroksil dan gugus
lainnya (seperti karboksil) sehingga dapat
membentuk kompleks dengan protein dan
makromolekul lainnya di bawah kondisi lingkungan
tertentu
Tanin dikelompokkan menjadi 2 kelompok
polimer :
a. Hydrolysable tannin
Hysrolysable tannin merupakan turunan
asam galat yang mudah dihidrolisis dalam
suasana asam. Stuktur hydrolysable tannin dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul hydrolysable tannin

b. Condensed tannin

Condensed
tannin
merupakan
polimer
polyflavanoid. Berdasarkan analisis HPLC, tanin
bakau (Rhizophora spp.) sebagian besar terdiri dari
empat flavanoid monomer, yaitu catechin,
epicatechin, epigallocatechin, dan epicathecin gallate.
Struktur monomer-monomer di atas dapat dilihat
pada gambar 2. ( Rahim et.al, 2007 ).

Gambar 2. Struktur monomer pada tanin bakau

Tanin merupakan senyawa yang dapat larut dalam
air, gliserol, alkohol, dan hidroalkohol, tetapi tidak
larut dalam petroleum eter, benzene dan eter ,
terdekomposisi pada suhu 210 oC, titik nyala 210 oC,
dan terbakar pada suhu 526 oC (Jayalaksmi and
Mathew (1982), Sax and Lewis, (1989))
Tanin banyak digunakan sebagai penyamak kulit

karena kemampuannya untuk mengendapkan protein
tanpa mengubah sifat fisika dan kimia kulit. Selain
itu, tanin digunakan sebagai zat pewarna, bahan
pengawet minuman, bahan baku pembuatan obatobatan seperti obat kumur dan obat cacing (Majundar
et.al, 1979), ramuan pembuatan sabun, pasta gigi, dan
kosmetik (Lutony, 1993).
Dewasa ini banyak penelitian-penelitian yang
berusaha mengembangkan manfaat tanin. Li dan
Maplesden (1998), Seller dan George (2004), Amilia
dkk. (2002) meneliti manfaat tanin sebagai bahan
perekat kayu. Rahim et.al. (2007 dan 2008)
menggunakan tanin sebagai bahan penghambat
korosi logam.
Pengambilan tanin dilakukan dengan proses
ekstraksi. Pansera et.al. (2004) mengambil tanin dari
Acacia mearnsii dengan estraksi menggunakan
pelarut fluida superkritis. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi pelarut
maka makin banyak tanin yang dapat diambil.
Yuliani dkk. (2003) mengambil tanin dari daun

jambu biji (Psidium quajava) menggunakan pelarut
aseton pada suhu 70 oC selama 30 menit. Sudrajat,
et.al. (2008) mengekstrak tanin dari Bruguiera
sexangula menggunakan pelarut aseton 50% (v/v)
selama 3 hari. Danarto dkk. (2010) mengambil tanin
dari kulit kayu bakau dengan ekstraksi menggunakan
pelarut etanol 70 % dan dimanfaatkan sebagai
adsorben limbah logam berat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar tanin terbanyak diperoleh
pada proses ekstraksi dengan suhu 70 oC selama 3
jam.
Modifikasi Resin Fenol-Formaldehid. Polimer
kondensasi fenol-formaldehid sering dinyatakan
sebagai resin fenol-formaldehid (FF). Resin FF
biasanya dipreparasi melalui dua metode yang
berbeda. Metode pertama melibatkan katalis basa
dengan formaldehid yang berlebih terhadap fenol.

D02-2


Produk yang mula-mula terbentuk (resol) dengan
mudah dapat dimatangkan menjadi polimer termoset
melalui pemanasan. Metode kedua adalah
menggunakan fenol berlebih terhadap formaldehid
dengan katalis asam. Dalam hal ini produk awalnya
(novolak) membutuhkan penambahan lebih banyak
formaldehid
untuk
mengefektifkan
proses
pematangan. Resin FF dipakai secara luas sebagai lak
dan pernis, senyawa cetakan bahan laminating dan
bahan perekat. (Stevens, 2001 ).
Resin FF merupakan resin sintetis yang pertama
kali digunakan secara komersial baik dalam industri
plastik maupun cat (surface coating). Di samping itu,
fenol formaldehid juga banyak di aplikasikan sebagai
vernis ataupun perekat pada kayu lapis, karena dapat
membentuk lapisan film yang kering dan bersifat
gloss. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tanin

akan dapat berkondensasi dengan formaldehid. Tanin
terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehida
dan mampu membentuk produk kondensasi, berguna
untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan
panas.
Linggawati, dkk. (2002) memanfaatkan tanin dari
serbuk kayu lapis untuk memodifikasi resin FF
menjadi resin tanin-fenol-formaldehid (TFF). Proses
modifikasi terbaik diperoleh pada kadar tanin 30%
berat fenol dengan pH 9 dan menggunakan katalis
NaOH.
Sellers dan George (2004) mengunakan tanin dari
kulit pohon pinus sebagai memodifikasi resin FF.
Proses modifikasi dilakukan pada pH 10,1 – 10,4 dan
penelitian menunjukkan bahwa produk hasil
modifikasi tersebut dapat digunakan sebagai perekat
kayu.
Ekstrak tanin dari kulit kayu dapat digunakan
secara komersial untuk pengganti fenol dalam resin
fenol formaldehid. Adapun resin yang berasal dari

tanin bersifat kurang reaktif. Komposisi tanin sebagai
pensubtitusi fenol dalam zat perekat kurang lebih
33%. Ini menunjukkan bahwa tanin dapat segera di
kembangkan secara luas di industri pembuatan zat
perekat karena lebih tanin relatif lebih ekonomis.
(Santana, 1996)

Keterangan :
1. Motor pengaduk
2. Termometer
3. Labu Leher tiga

4. Pemanas mantel
5. Pendingin bola

Gambar 3. Rangkaian alat untuk ekstraksi tanin dan
modifikasi resin fenol-formaldehid

Tahapan Penelitian. Penelitian ini dibagai
menjadi dua tahap :
1. Ekstraksi tanin dari kulit kayu bakau
Kulit kayu bakau yang telah dibersihkan dan
dihancurkan sebanyak 40 g dimasukkan dalam labu
leher tiga yang berisi larutan etanol sebanyak 160 g
pada berbagai macam konsentrasi (60 %, 70 %, 80%
dan 90%). Ekstraksi dijalankan pada suhu 70 oC
selama 3 jam. Larutan kemudian dipisahkan dari sisa
serbuk kulit kayu bakau dan dilanjutkan proses
distilasi untuk menghilangkan etanol. Larutan tanin
pekat yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada
suhu 70oC-80oC sampai diperoleh tanin kering.

Metodologi

2. Modifikasi resin FF membentuk resin TFF
Serbuk tanin kering dengan jumlah tertentu ( 10
%, 20%, dan 40 % berat fenol) dicampur dengan
fenol dan formaldehid. Perbandingan mol fenol :
formaldehid adalah 1:2. Proses modifikasi dijalankan
pada suhu 80 oC selama 3 jam dan pH dijaga dengan
larutan NaOH 0,1 N (katalisator). Resin TFF yang
diperoleh didinginkan selama 15 menit, kemudian
diuji daya rekatnya.

Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kulit kayu bakau, etanol, NaOH,
fenol dan formaldehid. Rangkaian alat untuk
ekstraksi tanin dari kulit kayu bakau dan untuk proses
modifikasi resin fenol formaldehid dengan tanin
dapat dilihat pada gambar 3.

Analisis Daya Rekat pada Balok Kayu. Resin
TFF dioleskan pada balok kayu, balok kayu
dirapatkan satu sama lain. Balok kayu ditekan selama
6 jam dan kemudian dimasukkan ke dalam oven
selama 1 hari. Balok kayu tersebut kemudian diuji
daya rekatnya menggunakan uji tarik dan uji geser.
Hasil dan Pembahasan
Tahap I penelitian ini adalah estraksi tanin dari
kulit kayu bakau dengan pelarut etanol pada suhu 70
o
C selama 3 jam. Pengaruh konsentrasi etanol
terhadap jumlah tanin yang dapat diekstrak dapat
dilihat pada gambar 4.
Pada gambar 2 terlihat bahwa makin besar
konsentrasi etanol yang digunakan maka jumlah tanin

D02-3

yang diperoleh juga semakin besar. Hal ini berkaitan
dengan tingkat polaritas larutan etanol, semakin
tinggi konsentrasi etanol maka tingkat polaritas
pelarut semakin berkurang dan mendekati tingkat
polaritas tanin sehingga meningkatkan kemampuan
pelarut dalam mengekstrak tanin dari kulit kayu
bakau.
25

yield tanin (%)

20
15

panambahan tanin yang lebih besar hasil perekat
lebih cepat bangkar. Sehingga saat diperlakukan pada
suhu yang sama, perekat akan lebih cepat mengeras
sebelum partikel perekat masuk ke venir-venir. Hal
ini berakibat kerekatannya akan semakin berkurang.
Kekuatan perekat resin TFF optimal jika dilihat
dari kuat gesernya, diperoleh pada penambahan tanin
20 % berat fenol yaitu sebesar 46,305 kg/cm2 (kuat
geser resin FF tanpa penambahan tanin sebesar
13,674 kg/cm2).
Hasil analisis uji kuat tarik resin TFF pada
berbagai prosentase penambahan tanin (terhadap
fenol) dapat dilihat pada gambar 4.

10
5

kuat tarik (kg/cm2)

18

0
50

60

70
80
90
konsentrasi etanol (%)

100

Gambar 4. Hubungan konsentrasi etanol (%) dengan
yield tanin (%) yang dapat diekstrak

Tahap II penelitian ini berupa modifikasi resin
fenol-formaldehid dengan tanin. Proses modifikasi
dijalankan pada suhu 80 oC selama 3 jam
menggunakan katalis NaOH (pH 9). Hasil resin
modifikasi tanin-fenol-formaldehid kemudian diuji
kekuatan rekatnya menggunakan uji kuat geser dan
uji kuat tarik.
Hasil analisis uji kuat geser resin tanin-fenolformaldehid dapat dilihat pada gambar 3 pada
berbagai prosentase penambahan tanin (terhadap
fenol)

kuat geser (kg/cm2)

50
40
30
20
10
0
0

10

20

30

40

50

penambahan tanin (% berat fenol)

Gambar 5. Hubungan prosentase penambahan tanin
terhadap kuat geser resin TFF

Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin besar
penambahan tanin dalam resin FF, beban maksimum
yang dapat ditahan resin TFF semakin besar (jauh
lebih besar jika dibandingkan dengan resin FF murni
tanpa penambahan tanin). Dalam hal ini beban
maksimum berkaitan erat dengan kekuatan geser dari
perekat. Dari data tersebut didapatkan bahwa adanya
penambahan tanin dapat memperbaiki kekuatan geser
dari perekat. Namun pada penambahan tanin
mencapai 40% dalam resin, kekuatan geser akan
cenderung menurun. Hal ini dikarenakan dengan

16
14
12
10
0

10

20

30

40

50

penambahan tanin ( % berat fenol )

Gambar 6. Grafik Hubungan Antara Komposisi Resin
dengan Kuat Tarik

Gambar
6
menunjukkan
bahwa
jika
dibandingkan dengan resin FF murni (tanpa
penambahan tanin) maka kuat tarik TFF pada
penambahan tanin 10 % tidak berbeda jauh.
Tetapi pada penambahan tanin yang lebih besar
akan mengakibatkan penurunan kuat tarik resin TFF.
Hal ini kemungkinan berkaitan dengan semakin
besarnya viskositas resin TFF akibat penambahan
tanin. Viskositas TFF yang semakin besar akan
menyebabkan proses pelapisan resin TFF pada balok
kayu menjadi tidak sempurna.
Kesimpulan
Larutan etanol dapat digunakan untuk mengambi
tanin dari kulit pohon bakau melalui proses ekstraksi.
Jumlah tanin yang dapat diekstrak berbanding lurus
dengan konsentrasi larutan etanol dan mencapai yield
22,01 % pada konsentrasi etanol 90 %.
Modifikasi tanin pada resin FF membentuk resin
TFF akan memperbaiki kuat geser resin tersebut pada
prosentase penambahan tanin tidak lebih 20 % berat
tetapi tidak memperbaik kuat tarik resin tersebut.
Resin TFF optimal diperoleh pada penambahan tanin
20 % berat etanol dengan kuat geser 46,305 kg/cm2
dan kuat tarik 13,582 kg/cm2. Berdasarkan hal di atas
maka tanin dapat digunakan sebagai bahan pengganti
fenol pada resin fenol-formaldehid.

D02-4

Daftar Pustaka
Amilia, L., Muhdarina, Erman, Azman, Midiarty,
2002, Pemanfaatan Tanin Limbah Kayu untuk
Modifikasi Resin Fenol Formaldehid, Jurnal
Natur Indonesia, 5(1), 84 – 94
Danarto, Y.C., Muljadi, Kartikaningsih, D., dan
Arwan, M., 2010, Pengambilan Tanin dari Kulit
Kayu Bakau dan Pemanfaatannya sebagai
Adsoben Logam Berat Timbal (Pb) dan
Tembaga (Cu), Prosiding RAPI IX, UMS
Surakarta
Kemenhut RI. 2009. Bina Produksi Kehutanan
Linggawati. A., 2002, Pemanfaatan Tanin Limbah
Kayu Industri Kayu Lapis untuk Modifikasi
Resin Fenol Formaldehid,
Jurnal Natur
Indonesia 5(1), 84-94
Santana, M. A. E., 1996, Journal of Wood Chemistry
and Technology”. BrasilliaDF. Brazil.
Jayalaksmi, A and Mathew, A.G., 1982, Chemical
Composition and Processing The Arecanut
Palm (Areca catechu L) , CPCRI Kasaragod,
India
Li, J. and Maplesden, F., 1998, Commercial
Production of Tannins from Radiata Pine Bark
for Wood Adhesives, IPENZ Transactions, Vol.
25, No. 1, 46 - 52
Lutony, K, 1993, Pinang Sirih, Kanisius, Yogyakarta
Mujumdar, A.M., Kapandi, A.H., and Pendse, G.S.,
1979, Chemistry and Pharmacology of Betel
Nut Areca Catechu LINN, Journal of
Plantation Crops, 7
Markham, K. R., 1988, Cara Mengidentifikasi
Flavonoid, Terjemahan, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

Paridah, M.T. and Musgrave, O.C., 2006, Alkaline
Treatment of Sulfited Tannin-Based Adhesive
from Mangrove to Increase Bond Integrity of
Beech Slips, Journal of Tropical Forest
Science, 18(2), 137 - 143
Pizzi, A, 1983, Tanin-based wood adhesive, Di
dalam: Pizzi, A (ed), Wood Adhesive Chemistry
and Technology, Marcell Deller, New York
Purnobasuki, H., 2004, Potensi Mangrove sebagai
Tanaman Obat, Biota, IX(2), 125 -126
Rahim, A.A, Rocca, E., Steinmetz, J., and Kassim,
M.J, 2008, Inhibitive Action of Mangrove
Tannins and Phosphoric Acid on Pre-rusted
Steel via Electrochemical Methods, Corrosion
Science, 50, 1546 - 1550
Rahim, A.A, Rocca, E., Steinmetz, J., Kassim, M.J.,
Adnan, R., and Ibrahim, M.S., 2007, Mangrove
Tannins and Their Flavanoid Monomers as
Alternative Steel Corrosion Inhibitors in Acidic
Medium, Corrosion Science, 49, 402 – 417
Sax, I. And Lewis, R.J., 1989, Condensed Chemical
Dictionary, 11th ed., pp. 36, Van Nostrad
Reinhold Companya, New York
Seller,T,Jr. and George, D.M., Jr, 2004, Laboratory
Manufacture of High Moisture Southtern Pine
Strandboard Bonded with Three Tannin
Adhesive Type, Forest Product Journal, Vol.
54, No. 12, 296 – 301
Stevens, M. P., 2001, Kimia Polimer, Cetakan
Pertama. Pradnya Paramita. Jakarta.
Sudrajat, H., Bang, N.D., and Trung, P.X., 2008,
Removal of Cd(II) from Aqueous Solutions by
Bruguiera Sexangula Poir Tannin-Based
Adsorbent, Journal of Applied Science in
Environmental Sanition, 3(2), 91 - 100

D02-5