Pelaksanaan Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi

PELAKSANAAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi di Lingkungan Kejaksaan Negeri Medan)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum
Oleh
MARIO F GULTOM
Nim: 070200099
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara

PELAKSANAAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS
TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
(Studi di Lingkungan Kejaksaan Negeri Medan)

Oleh :
MARIO F GULTOM
NIM : 070200099
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan, SH.MH
Nip 195703261986011001

Telah diperiksa dan disetujui oleh :
Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

LIZA ERWINA, S.H.M.Hum


BERLIN NAINGGOLAN,SH.M.Hum

NIP : 19611024 198903 2 002

NIP :19581205 198601 1 002

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun
judul dari skripsi ini adalah “PELAKSANAAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM
PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, MH selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak M. Husni, S.H, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Dr. Hamdan, S.H, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.
6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana dan
selaku Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk memberikan
saran dan petunjuk serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Berlin Nainggolan, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang juga
telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.
8. Ibu Suria Ningsih, S.H,M.Hum selaku Dosen Wali penulis selama mengikuti
masa perkuliahan.
9. Bapak dan Ibu dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi
penulis selama mengikuti perkuliahan.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada:
1. Orang Tua penulis yang tercinta : Ayahanda Jusren Gultom dan Ibunda ku
tercinta Sinur Sijabat, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian
dan bimbingan yang tulus kepada penulis.
2. Kakakku tercinta Mika Lidya Gultom, yang telah memberikan kasih sayang
yang tulus dan dukungan moril kepada penulis.
3. Bapak Iqbal, SH, Kasubagbin Kejaksaan Negeri Medan yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Bagian Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Sumatera.
4. Bapak Suheri Pernanda,SH, MH, Kasi Penyidikan Kejaksaan Negeri Medan
yang telah memberikan waktu untuk menjadi responden dalam penelitian skripsi
ini.
5. Rekan-rekan stambuk 2007, terima kasih atas dukungannya kepada penulis.


Universitas Sumatera Utara

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu
penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah sesuatu yang dapat
dibanggakan sebagai sebuah tulisan yang sempurna dikarenakan waktu yang singkat
dan kesibukan-kesibukan penulis lainnya. Akan tetapi penulis tetap berharap kelak
skripsi dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Terima kasih.
Medan , September 2011
Penulis,

MARIO F GULTOM
070200099

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….

i

DAFTAR ISI……………………………………………………………....

iv

ABSTRAKSI………………………………………………………………

vi

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang.................................................................

1

B.Permasalahan................................................................................


6

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan.....................................................

7

D.Keaslian Penulis...........................................................................

8

E.Tinjauan Pustaka..........................................................................

8

1.Pengertian Peranan dan Penyelesaian.....................................

8

2.Pengertian Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan..


8

3.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum....................................

9

4..Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi................................

10

5.Ruang Lingkup Penyelesaian Penyidikan oleh Kejaksaan.....
E.Metode Penelitian........................................................................

20

F.Sistematika Penulisan...................................................................

22


BAB II KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS
TINDAK PIDANA KORUPSI.......................................................... 24
A. Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. 26
B. Kewenangan Kejaksaan dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi..39
C. Kewenangan Kejaksaan dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan......61

Universitas Sumatera Utara

BAB III PELAKSANAAN PERANAN JAKSA DALAM PENYELESAIAN
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI.................................................63
A. Pelaksanaan Penyidikan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana
Korupsi.................................................................................................... 63
B. Pelaksanaan Penuntutan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana
Korupsi......................................................................................................

82

C. Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam Penyelesaian Kasus Tindak
Pidana Korupsi.........................................................................................


89

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................

97

A. KESIMPULAN...............................................................................

97

B. SARAN...........................................................................................

99

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................

vii

LAMPIRAN......................................................................................................... vii


Universitas Sumatera Utara

*Mario F Gultom
**Liza Erwina, SH.M.Hum
**Berlin Nainggolan, SH.M.Hum

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan bertitik tolak dari tugas kejaksaan sebagai
lembaga penuntutan yang dapat dipandang sebagai lembaga yang mengendalikan
pola-pola kehidupan sosial serta menjamin nilai-nilai sosial yang dihayati oleh
anggota masyarakat. Di dalam menjalankan tugas tersebut,kejaksaaan senantiasa
berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya,
salah satunya dalam penanganan perkara korupsi. Praktek korupsi yang
cenderung meningkat, merupakan hal yang serius bagi upaya penanganan hukum
di Indonesia, terutama pihak kejaksaan.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
kewenangan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di
Kejaksaan Negeri Medan, serta untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
kewenangan tersebut di Kejaksaan Negeri Medan.
Untuk mengetahui bagaimana peranan dan tanggung jawab kejaksaan
dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan
dilakukan pendekatan yuridis normatif melalui kajian KUHAP, UU No.116 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI beserta dengan peraturan pelaksanaannya.
Jadi, kejaksaan mempunyai tiga kewenangan dalam penyelesaian tindak
pidana korupsi, yaitu kewenangan dalam penyidikan, penuntutan dan
kewenangan dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Ketiga kewenangan
kejaksaan ini mempunyai prosedur maupu tahapan-tahapan dalam penyelesaian
tindak pidana korupsi

Universitas Sumatera Utara

*Mario F Gultom
**Liza Erwina, SH.M.Hum
**Berlin Nainggolan, SH.M.Hum

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan bertitik tolak dari tugas kejaksaan sebagai
lembaga penuntutan yang dapat dipandang sebagai lembaga yang mengendalikan
pola-pola kehidupan sosial serta menjamin nilai-nilai sosial yang dihayati oleh
anggota masyarakat. Di dalam menjalankan tugas tersebut,kejaksaaan senantiasa
berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya,
salah satunya dalam penanganan perkara korupsi. Praktek korupsi yang
cenderung meningkat, merupakan hal yang serius bagi upaya penanganan hukum
di Indonesia, terutama pihak kejaksaan.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
kewenangan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di
Kejaksaan Negeri Medan, serta untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
kewenangan tersebut di Kejaksaan Negeri Medan.
Untuk mengetahui bagaimana peranan dan tanggung jawab kejaksaan
dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan
dilakukan pendekatan yuridis normatif melalui kajian KUHAP, UU No.116 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI beserta dengan peraturan pelaksanaannya.
Jadi, kejaksaan mempunyai tiga kewenangan dalam penyelesaian tindak
pidana korupsi, yaitu kewenangan dalam penyidikan, penuntutan dan
kewenangan dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Ketiga kewenangan
kejaksaan ini mempunyai prosedur maupu tahapan-tahapan dalam penyelesaian
tindak pidana korupsi

Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini
membuktikan bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum yang Demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan
menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak kecuali.
(Undang-Undang Dasar 1945)
Untuk mewujudkan / merealisasikan keinginan tersebut, dalam Repelita nasional
III dan dalam keterangan pemerintah tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun 1981 dicantumkan usaha mewujudkan pemerataan kesempatan
memperoleh keadilan hukum yaitu dengan melakukan penertiban pada alat-alat penegak
hukum dan keadilan.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan,
serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju tidak hanya orang melakukan
perbuatan melawan hukum, tetapi juga perbuatan hukum yang akan terjadi serta kepada
alat perlengkapan negara diharapkan bertindak menurut hukum. Sistem kerja yang
demikian adalah salah satu bentuk penegak hukum.
Proses pembangunan

dapat

menimbulkan

kemajuan

dalam kehidupan

masyarakat, selain itu juga menimbulkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang
memiliki dampak negatif termasuk peningkatan tindak pidana yang meresahkan
masyarakat. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah mengenai masalah

Universitas Sumatera Utara

tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Di berbagai dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibanding
dengan tindak pidana lainnya karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan dampak
negatif bagi negara. Dampak perbuatan korupsi juga menyentuh berbagai bidang
kehidupan.
Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil makmur
untuk tercapainya tahap lepas landas (take off) ekonomi menurut Rostow diperlukan
pertumbuhan ekonomi (pertambahan GNP) lebih cepat dari pertambahan penduduk.
Untuk itu diperlukan melakukan pengumpulan modal yaitu dengan melakukan sistem
pajak progresif, yang artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi
pajak yang harus dibayar. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana korupsi ini
dapat

membahayakan

stabilitas

dan

keamanan

masyarakat,

membahayakan

pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi
dan merusak moralitas. Korupsi juga merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat yang adil dan makmur.
Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat, sama dengan jenis
kejahatan lain, seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia ada diatas muka bumi
ini. Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi meningkat seiring dengan kemajuan,
kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan
suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan hidup dan mendorong orang untuk
melakukan berbagai kejahatan, termasuk korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan yakni di bidang
eksekutif, di bidang legislatif dan bidang yudikatif. Daniel Kaufman dalam laporan
mengenai bureaucratic and jidicial bribery menyatakan praktek penyuapan di peradilan
di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang. Dikatakan
bahwa tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan korupsi.
Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari ini, menyebabkan banyak
putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan
masyarakat.
Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya
menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu
orang dalam keadaaan yang terselubung dan terorganisir. Oleh karena itu, kejahatan ini
sering disebut sebagai white collar crime atau kejahatan kerah putih.
Di era reformasi selama lima tahun terakhir ini, tidak ada upaya pemberantasan
korupsi yang efektif. Ini merupakan hal yang sangat ironis, karena mengingat tujuan
reformasi adalah pemberantasan KKN. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah yang
lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi. Kegagalan elit politik Indonesia
melakukan upaya serius dalam memberantas korupsi jelas akan membahayakan
demokrasi. Rakyat akan menyalahgunakan demokrasi atas kesulitan yang sedang
dihadapi yang disebabkan korupsi.
Defenisi korupsi salah satunya tercantum dalam pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut yang dimaksud
dengan tindak pidana korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum

Universitas Sumatera Utara

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Perilaku koruptif sesuai dengan defenisi diatas dalam birokrasi pemerintahan
Indonesia semakin merajalela. Bangsa Indonesia jelas akan memasuki gerbang masa
kritis bahkan dapat menuju kepada gejala kelabilan dalam segala aspek kehidupan
termasuk perekonomian sebagai aspek yang terpenting, apabila pemberantasan korupsi
di Indonesia tidak segera dilaksanakan dengan efektif. Sudah banyak ancaman pidana
yang akan dijatuhkan kepada pelaku korupsi, contohnya pengesahan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, INPRES No. 5 Tahun 2004
tentang percepatan Pemberantasan korupsi dan Undang-Undang No 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (konvensi
perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, 2003). Namun, ternyata regulasi-regulasi
tersebut tidak memberikan dampak. Sebagai bukti, menurut laporan The Political &
Economic Risk Consultancy (2006), birokrasi negeri kita menduduki peringkat pertama
sebagai birokrasi terkorup di Asia 1.
Selain pembenahan dari segi perundangan-udangan (substansi hukum), maka
pembenahan guna mengatasi tindak pidana korupsi juga dilakukan pada struktur
hukumnya. Struktur hukum yang dimaksud berkaitan dengan sistem peradilan pidana
yang merupakan terjemahan dari “Criminal Justice System” sebagai suatu sistem yang
mencakup perangkat atau komponen dalam upaya penegakan hukum yang tercermin
dalam hukum acara pidana Indonesia yang berpatokan kepada KUHAP atau UU Nomor
1

Dewi Lestari Djalal, Korupsi Ancam Daya Saing Global Indonesia, KOMPAS, Rabu,25 Juli 2007

Universitas Sumatera Utara

8 Tahun 1981, yang dalam hal ini dibutuhkan peran dan kerjasama dari aparat penegak
hukum untuk memberantas korupsi2,salah satunya adalah Kejaksaan yang merupakan
lembaga negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang
menjalankan tugas dan wakil pemerintahan dalam menegakkan hukum negara yang
bersifat publik.
Praktek korupsi yang cenderung meningkat merupakan pekerjaan serius bagi
upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama pihak kejaksaan. Ketentuan yang
terdapat dalam pasal 2 UU Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 jo. UU No 5 Tahun
1991 jo. UU No. 16 Tahun 2004 merumuskan tugas kejaksaan di bidang yustisial, yaitu
melakukan pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi : penyidikan, penyidikan lanjutan
dan mengadakan pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidikan lainnya. Hadirnya
undang-undang ini telah memperkokoh landasan hukum bagi lembaga kejaksaan untuk
terus menyidik tindak pidana korupsi. Bahkan, Kewenangan penuntutan dan penyidikan
tersebut telah berada di tangan satu lembaga. Kondisi ini merupakan tantangan
tersendiri bagi kejaksaan,sehingga hampir semua kasus korupsi yang disidangkan oleh
Pengadilan adalah merupakan hasil dari penyidikan dan penuntutan lembaga Kejaksaan.
Kejaksaan dalam bidang penyidikan mendapat porsi sebagai penyidik tindak
pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak
pidana ekonomi. Khusus berkaitan dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan
dalam tindak pidana korupsi, selain menjalankan tugas diatas Kejaksaan selalu
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain UU No.31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

2

O.C.Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusu dalam
Pemberantasan Korupsi.Bandung :P.T. Alumni, 2006, halaman 6-7.

Universitas Sumatera Utara

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.8 Tahun 1991
tentang Hukum Acara Pidana dan Yurisprudensi yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi.
Kenyataan masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap, hal ini
mengakibatkan masyarakat menjadi skeptis dengan kesungguhan Kejaksaan dalam
mengungkap berbagai dugaan korupsi. Hal ini disebabkan karena banyak kasus korupsi
yang diajukan ke Kejaksaan belum/tidak dapat diselesaikan dengan tuntas, bahkan
justru dibebaskan. Anggapan merosotnya kinerja Kejaksaan ini sebenarnya tidak berdiri
sendiri, tetapi terkait dengan sistem politik yang berlaku.
Dengan gambaran berbagai hal mengenai korupsi, selanjutnya akan dicoba
memberikan penjelasan mengenai Tindak Pidana Korupsi serta Kewenangan dan
Peranan Jaksa dalam melakukan Penyelesaian Penyidikan kasus Korupsi. Terakhir
sebagai lampiran, yaitu beberapa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
B.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Kewenangan Kejaksaan dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Korupsi?
2. Bagaimana Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak
Pidana Korupsi?

Universitas Sumatera Utara

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.Tujuan Penulisan
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan
penulisan yang dilakukan adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Jaksa dalam Penyelesaian tindak
pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Medan.
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur dan praktik Pelaksaan Peranan Jaksa
dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi.
2.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain:
a) Secara Teoritis
1. Penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para
akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan.
2. Menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana,
serta menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan
kasus korupsi
b) Secara praktis
1. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan untuk membantu penegak hukum
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kedudukan dan peranan Kejaksaan
dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi.

Universitas Sumatera Utara

3. Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan ilmu terutama
dalam bidang tindak pidana korupsi.
D.Keaslian penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) adalah
merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang mana setelah penulis membaca dan
melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak terjadi kasus korupsi dan bagaimana
peranan dan kedudukan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi, maka penulis
merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Kemudian
setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Fakultas Hukum, belum ada
yang mengangkat tulisan dengan pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan
diatas,karena sudut pembahasan masing-masing tulisan pasti berbeda,dengan demikian
penulis skripsi ini adalah asli.
E.Tinjauan Pustaka
1.Pengertian Peranan dan Penyelesaian
Peranan adalah aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu
peranan. Sedangkan, Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, dan menyelesaikan
berbagai-bagai arti seperti pemecahan.
2.Pengertian Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan Dalam Hukum Acara
Pidana
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

Universitas Sumatera Utara

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya 3.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara umum terdapat dua
pejabat penyidik yang berhak melakukan penyidikan. Pejabat penyidik terdiri dari:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimukakan bahwa yang dimaksud
dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undangundang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata
penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik, menyelidik; mengamat-amati4.
Penuntutan tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan 5.
Putusan pengadilan adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde).
3.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan II, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta,
1989, halaman 837.
5
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)
4

Universitas Sumatera Utara

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
4.Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Tindak Pidana korupsi dan
Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Tentang ruang
lingkup tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seda ngkan
ruang lingkup tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur
dalam Bab II Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Ruang lingkup tindak pidana korupsi terdiri dari :
1. Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa :
“ 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara;
2. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”
Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,
dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :
a. Setiap orang
Pada dasarnya, kata setiap orang menujukkan kepada siapa orangnya yang harus
bertanggungjawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan itu atau setidak-tidaknya
mengenai siapa orangnya yang harus dijadikan terdakwa. Tegasnya, kata setiap orang

Universitas Sumatera Utara

identik dengan terminologi kata barang siapa menurut Buku Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Buku II, Edisi Revisi Tahun 2005, Halaman 209 dari
Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1398 K/Pid/1994 tanggal
30 Januari 1995 kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus
dijadikan terdakwa atau orang sebagai subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban)
yang dapat diminta pertanggungjawaban dalam segala tindakannya sehingga secara
historis kronologis manusia sebagai subyek hukum telah dengan sendirinya ada
kemampuan bertanggungjawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain.
Oleh karena itu, konsekuensi logisnya, kemampuan bertanggungjawab tidak perlu
dibuktikan lagi karena setiap subyek hukum melekat erat dengan kemampuan
bertanggungjawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie Van Toelichting (MvT).
b. Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Sebenarnya, terminologi “memperkaya” dalam konteks tindak pidana korupsi ini
telah dikenal melalui ketentuan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Penguasa Perang Pusat
Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo.
Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April
1958, Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960, Pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada
dasarnya, maksud dari memperkaya diri sendiri disini dapat ditafsirkan suatu perbuatan
bahwa si pelaku bertambah kekayaannya atau menjadi lebih kaya karena perbuatan
tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya diri dapat dilakukan dengan berbagai
cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening,
menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah

Universitas Sumatera Utara

keyaannya. 6 Sedangkan pengertian memperkaya orang lain menurut Darwan Prints
maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang
menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. 7
c. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum
Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara
melawan hukum sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal
maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak teratur dalam peraturan
perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
perbuatan tersebut dapat dipidana. Pada dasarnya perbuatan melawan hukum formal dan
perbuatan melawan hukum materil telah lama dianut dalam praktik peradilan Indonesia.
Kemudian, dalam praktik peradilan terhadap tindak pidana korupsi khusus terhadap
perbuatan melawan hukum materil melalui yurisprudensi, Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah memberikan nuansa baru dan melakukan pergeseran perbuatan melawan
hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana
guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang
oleh hukum pidana, tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya
melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil ke arah positif melalui
kriteria limitatif dan kausistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan
delik telah dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata

6

Lilik mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif Teoritis Praktik dan Masalahnya,
Alumni, Bandung, 2007, hlm.81 (selanjutnya disebut Buku I)
7
Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm. 31

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan
dengan perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.8
2. Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”
Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas apabila ditarik unsur-unsurnya maka
terdapat beberapa unsur-unsur yang sama dengan Pasal 3 yaitu :
a. Setiap orang;
b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
Menurut Andi Hamzah, pengertian menguntungkan diri sendiri suatu unsur yang
biasa dalam hukum pidana, seperti tercantum juga dalam Pasal 378 dan Pasal 423
KUHP. 9 Sedangkan menurut Sudarto, perkataan menguntungkan suatu badan
(korporasi) disitu tidak hanya badan swasta, misalnya PT, yayasan dan sebagainya,
tetapi juga badan pemerintahan, misalnya kantor, jawatan/dinas, dan sebagainya. 10
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan;
d. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan :
1. Setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya; atau
8

Lilik Mulyadi (Buku I), Op.cit. Hlm. 83
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.106
10
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm.141
9

Universitas Sumatera Utara

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Jadi berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) diketahui bahwa baik orang
yang memberi janji pegawai negeri atau penyelenggara negara maupun pegawai
negeri atau penyelenggara negara, dihukum dengan hukuman yang sama dan
merupakan tindak pidana korupsi.
4. Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 :
Setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri
sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
Dalam ayat (2) dinyatakan :
“Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).”
Sama halnya dengan Pasal 5, baik orang yang memberikan janji maupun hakim yang
menerima pemberian, dihukum dengan hukuman yang sama.
5. Pasal 7 menyatakan :
1. Dihukum dengan tindak pidana korupsi :
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan

Universitas Sumatera Utara

perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
6. Pasal 8, lingkup tindak pidana korupsi meliputi :
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut”.
7. Dalam Pasal 9 dinyatakan :
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.”
8. Pasal 10 menyatakan :
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

Universitas Sumatera Utara

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.”
9. Dalam Pasal 11 dinyatakan :
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya”.
10. Dalam Pasal 12 ruang lingkup tindak pidana korupsi meliputi :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

Universitas Sumatera Utara

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
11. Pasal 13 merumuskan tindak pidana korupsi dengan :
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.”
Selain tindak pidana korupsi, ruang lingkup tindak pidana korupsi juga
melingkupi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tindak
Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21-24
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi terdiri dari:
1. Dalam Pasal 21 dinyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.”
2. Pasal 22 menyatakan;
“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar.”
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 28 yaitu :
Tersangka yang untuk kepentingan penyidikan wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap

Universitas Sumatera Utara

orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 29 yaitu:
Gubernur Bank Indonesia apabila tidak memenuhi permintaan Penyidik untuk
kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim
untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, tentang keterangan keuangan
tersangka atau terdakwa.
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 35 yaitu:
Saksi atau ahli yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan
keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 yaitu:
Mereka yang dengan sengaja tidak memberikan atau keterangan yang tidak benar pada
saat pemeriksaan di sidang pengadilan, kecuali petugas agama yang menurut
keyakinannya harus menyimpan rahasia, mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan
martabat atau pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia.
3. Pasal 23 menyatakan:
“Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana”
Yang dimaksud dalam Pasal ini adalah:
Jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal
421, Pasal 422, Pasal 429, atau Pasal 430 KUHP adalah pelaku tindak pidana dalam
perkara yang bukan perkara tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana adalah pidana yang dicantumkan dalam masing-masing
ketentuan tersebut dalam KUHP.

Universitas Sumatera Utara

Namun jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan
KUHP tersebut adalah pelaku tindak pidana dalam perkara tindak pidana korupsi, maka
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah pidana yang dicantumkan dalam
Pasal 23.
4. Pasal 24 menyatakan:
“Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31”
Yang dimaksud dalam Pasal 31 yaitu:
saksi dalam tindak pidana korupsi dilarang:
1. Menyebut nama atau alamat pelapor;
2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
Orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana korupsi dilarang:
1. Menyebut nama atau alamat pelapor;
2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
5.Ruang Lingkup penyelesaian Penyidikan oleh Kejaksaan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
KUHAP, pada Pasal 17 disebutkan :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal284 ayat 1 KUHAP
dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Dengan berlakunya KUHAP dimana ditetapkan bahwa tugas tugas penyidikan
diserahkan sepenuhnya kepada pajabat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 284
KUHAP, maka Kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan tertentu

Universitas Sumatera Utara

perkara-perkara tindak pidana umum. Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat
(2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, jaksa berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Tertentu ( Tindak Pidana
Khusus).
F.Metode penelitian
Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh
sesuatu.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara teratur
yang digunakan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan
yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan 11. Soerjono Soekanto berpendapat
menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai
berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;
2. Suatu teknik yang uum bagi ilmu pengetahuan;
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur12.
1.Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara yuridis
normatif dan studi lapangan. Secara yuridis normatif yakni dengan melakukan
pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yaitu dengan meneliti data
sekunder yang mencakup bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan sebagai literature dan referensi
dalam penyusunan materi yang antara lain berupa sejumlah buku, himpunan peraturan

11
12

Departemen Pendidikan Nasional
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,UII Press,Jakarta, 1986, halaman 5.

Universitas Sumatera Utara

perundang-undangan yang berkaitan dengan objek pembahasan skripsi ini. Disamping
itu, penulis juga memanfaatkan artikel, koran dan majalah serta media elektronik untuk
mendukung keakuratan tulisan yang disampaikan. Studi lapangan yakni dengan
melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara dari informan yang
secara langsung ikut terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, yaitu
dengan pedoman wawancara dengan Jaksa yang menangani perkara secara langsung
ataupun Jaksa-Jaksa yang menguasai dan mendalami bidang tindak pidana korupsi di
Kejaksaan Negeri Medan yang menjadi lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini.
2.Sumber dan Pengumpulan Data
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini, Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana dan keputusan jaksa agung republik Indonesia;
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum. Data primer yang
digunakan dalam penulisan ini yaitu hasil wawancara penulis di Kejaksaan Negeri
Medan.

Universitas Sumatera Utara

3.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Library research (penelitian kepustakaan)
Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, bukubuku, berbagai literatur peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pelaksanaan penyitaan barang bukti oleh jaksa terhadap kekayaan tersangka
dalam tindak pidana korupsi.
b. Field research (penelitian lapangan)
Yaitu

dengan

meneliti

langsung

ke

lapangan

mengenai

pelaksanaan

penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dengan melakukan wawancara.
4.Analisis Data
Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber-sumber, bahan-bahan hukum
primer dan sekunder untuk kemudian akan dianalisis secara kualitatif dengan
mempelajari data yang diperoleh. Semua data yang dikumpulkan, diseleksi serta
dianalisis, serta data yang diperoleh dari penelitian lapangan akan diedit sesuai dengan
kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap
permasalahan yang ingin dijawab.
G.Sistematika Penulisan
Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin
disampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi
ini.Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat ) bab, yaitu :
BAB I. Pendahuluan ; Dalam bab ini akan diuraikan tentang latarbelakang pemikiran
penulis sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat

Universitas Sumatera Utara

yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan ini.
BAB II. Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam
Bab ini diuraikan tentang pelaksanaan hukum dan kedudukan jaksa dalam penyelesaian
kasus tindak pidana korupsi serta kewenangan dan peranan kejaksaan dalam
penyelesaian kasus tindak pidana korupsi.
BAB III. Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana
Korupsi ; Dalam Bab ini membahas tentang Prosedur dan praktik melakukan
penyelesaian kasus tindak pidana korupsi oleh pihak kejaksaan, Pemberkasan Berita
acara dan penyerahan hasil penyidikan oleh jaksa serta berakhirnya penyidikan oleh
jaksa dalam tindak pidana korupsi secara umum di Indonesia dan secara khusus di
Medan, sehubungan dengan dilakukannya penelitian di Kejaksaan Negeri Medan.
BAB IV. Kesimpulan dan Saran ; Dalam Bab ini merupakan bagian terakhir yang
memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.

Universitas Sumatera Utara

BAB II
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK
PIDANA KORUPSI

Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kejaksaan diatur Undang-Undang No.
16 Tahun 2004 dan KUHAP. Pada asasnya lembaga kejaksaan dipimpin oleh seorang
Jaksa Agung Republik Indonesia dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagaimana Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9
Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi diinstruksikan untuk
mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan
sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut
Umum dalam rangka penegakan hukum, dan meningkatkan kerja sama dengan Instansi
atau lembaga lain.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari situs resmi Kejaksaan RI, lembaga
Kejaksaan mempunyai fungsi, yaitu 13 :
1. Perumusan