Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak)

BAB II
PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
BERUPA UANG PENGGANTI

A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang
Pengganti
Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan
legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep
rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut Barda Nawawi
Arief, strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi
baru

harus

memperhatikan

hakekat

permasalahannya.

Bila


hakekat

permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah dibidang hukum
perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana
denda atau semacamnya.46
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa selain dapat dijatuhi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14,
terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Sehubungan dengan adanya kalimat “dapat dijatuhi pidana tambahan” dalam
Pasal 17 tersebut, maka penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana
korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya bahwa hakim tidak selalu harus
menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan

46

Efi Laila Kholis, Loc.Cit. hal. 16

Universitas Sumatera Utara


terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok,
hakim juga bermaksud menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak.47
Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana dengan
seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan memberi efek takut kepada
orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lainnya adalah untuk
mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi.
Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut UndangUndang, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang “merugikan
negara”. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan
menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar
apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan yang tertuang dalam
Undang-Undang dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang
akibat tindak pidana korupsi.48
Penjatuhan pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas.
Dalam arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana
menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Dilihat dalam arti
luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat
yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai putusan pidana
yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksanaan pidana.
Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti

dicantumkan dalam putusan hakim.49

47

P.A.F. Lamintang, Loc.Cit, hal. 84
Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal. 17
49
Ibid., hal 17-18

48

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa pengumuman putusan hakim yang
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan merupakan pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.3 KUHP, kecuali dalam putusan
hakim tersebut terdapat perintah kepada Jaksa agar putusan hakim diumumkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHP.50
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tersebut di atas, maka Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa
pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang
pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka
perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam
Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan
berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana
korupsi yang dilakukannya. Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak
pidana korupsi.51
Adapun yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut menurut R. Wiyono tidak
hanya ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi

50

R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hal. 126

51
Ibid., hal. 129

Universitas Sumatera Utara

yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan
putusannya, tetapi ditafsirkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil
tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya,
harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan penguasaannya kepada orang
lain.52
Sehubungan dengan adanya kalimat “selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan
adalah …..dst” dalam perumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka
dapat diketahui bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa
dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana tambahan yang ditentukan
dalam :
1.

Pasal 10 huruf b KUHP, yang meliputi :

a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1)
KUHP terdiri dari :
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
2) Hak memasuki angkatan bersenjata
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum
4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengawas atas orang yang bukan anak sendiri
5) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP
ditentukan bahwa dapat dirampas atas :
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan
2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan.
3) Pengumuman keputusan hakim.
2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yang terdiri dari :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi.
52

Ibid., hal. 130

Universitas Sumatera Utara

b. Pembayaran uang pengganti
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.53
B. Penetapan Uang Pengganti
Penetapan jumlah uang pengganti yang lebih memenuhi rasa keadilan,
bahwa penetapan dan penghitungan dari jumlah Uang Pengganti kepada
Terdakwa tindak pidana korupsi adalah sejumlah uang negara yang telah
dirugikan setelah diperiksa dan diselidiki oleh pihak Kejaksaan.54
Sedangkan menurut R. Wiyono adalah dengan cara menghitung seperti
terdapat di dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 Mei 1955 Nomor 26

K/Sip/1955 dan tanggal 15 Januari 1958 Nomor 11 K/Sip/1957, meskipun cara
menghitung yang terdapat didalam kedua putusan Mahkamah Agung RI tersebut
adalah cara menghitung uang tebusan yang berkaitan dengan gadai tanah.55
Dengan berpedoman pada kedua putusan Mahkamah Agung RI tersebut,
cara menghitung jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah
sebagai berikut : negara yang dirugikan dan terpidana, masing-masing memikul
setengah dari perubahan nilai mata uang, diukur dari harga emas pada waktu
tindak pidana korupsi dilakukan dan pada waktu pengadilan menjatuhkan
putusannya, misalnya : Sebagai akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan
terpidana, negara telah menderita kerugian uang sebesar Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah). Harga emas pada saat tindak pidana korupsi dilakukan
terpidana Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per gram, sedang harga emas pada
saat pengadilan menjatuhkan putusannya Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu
rupiah) per gram. Uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah ½ x
Rp. 45.000,-/Rp. 15.000,- x Rp.60.000.000,- = Rp. 90.000.000,-. Dengan cara
perhitungan seperti di atas, terpidana tidak akan sampai dapat mengambil
keuntungan dari adanya penurunan nilai mata uang.56

53


Ibid., hal. 131
Wawancara dengan Bapak Arfan, Loc.Cit.
55
R.Wiyono., Loc.Cit., hal 134
56
Ibid., hal. 134
54

Universitas Sumatera Utara

Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan : “….. undang-undang ini
memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat
membayarkan pidana tambahan berupa uang pengganti keuangan negara”.
Penjelasan tersebut berkaitan dengan ketentuan yang terdapat didalam
Pasal 18 ayat (3) yang merupakan ketentuan lanjutan dari ketentuan yang terdapat
di dalam Pasal 18 ayat (2). Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3)
tersebut, dapat diketahui adanya beberapa syarat agar terpidana yang dijatuhi
pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dapat dipidana dengan pidana penjara, yaitu :

1. Oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “terpidana tidak mempunyai harta benda
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b”, artinya dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata disamping
terpidana sudah tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang
pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana yang telah
disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak
mencukupi untuk membayar uang pengganti;
2. Lamanya pidana penjara oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini”, artinya pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana
karena tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana penjara dari
ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana;
3. Lamanya pidana penjara tersebut oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan”, artinya pada waktu pengadilan
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, di dalam putusan
pengadilan tersebut sudah ditentukan atau dicantumkan lamanya pidana
penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana jika sampai
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar

uang pengganti.57
Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut,
untuk waktu yang akan datang, terdapat kecenderungan bahwa pengadilan pada
waktu menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
57

Ibid., hal. 134-135.

Universitas Sumatera Utara

kepada pelaku tindak pidana korupsi didalam putusannya akan selalu
mencantumkan pula pidana penjara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3). Jika di dalam putusan pengadilan tidak sampai dicantumkan pidana
penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), akan timbul masalah
seandainya uang pengganti tidak dapat dibayar seluruhnya atau sebagian oleh
terpidana.
Pasal 34 huruf c undang-undang Nomor 3 / 1971 dan pasal 18 ayat (1)
huruf b hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti
yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi,
maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai
harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang di dakwakan.
Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus
secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang
berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang
bukan. Setelah melakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan
perhitungan berapa besaran uang pengganti yang akan dibebani. Kedua,
perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa
yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan
sifatnya mempunyai nilai fluktuatif, yang nilainya terus berubah. Salah seorang
pejabat kejagung.
Yoseph Suardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata
mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam undang-undang
korupsi yang berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik
menggunakan pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan

Universitas Sumatera Utara

kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti
sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari
kerepotan hakim dalam memilah dan menghitung aset terpidana karena
besarannya sudah jelas serta memudahkannya pengembalian keuangan negara
yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi. 58
Pada prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan
dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilahmilah mana aset yang berasal dari korupsi dan mana yang bukan, karena pada
perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat.
Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan
informasi yang lengkap. Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya
tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri
sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan
memakan waktu.59
Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman
pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai
petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah
satu diantara petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu :
1. Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan
kepada instansi yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi.
Amar surat tuntutan : “membayar uang pengganti kepada Negara (institusi
yang dirugikan) sebesar ....dst.
2. Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang
pengganti tetapi hanya sebagian (tidak penuh) dari pidana dalam putusan,
maka didalam amar tuntutan supaya ditambahkan klausul: “apabila terdakwa /
terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang
dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan
berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang
pengganti.
3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari
satu orang supaya di dalam Amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti
58
59

Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal. 18
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

4.

5.

jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara
jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh
disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian
hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang
terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh
masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak
membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus
menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang
pengganti tersebut.
Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang
dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan
digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan
kualifikasi “turut serta” dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya
dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggung
jawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai
bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan Negara oleh
Kejaksaan Agung.60

C. Prosedur Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti
Jika pengadilan sudah menjatuhkan putusannya mengenai pembayaran
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, kepada
terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti seperti yang
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu “paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan
pengadilan (Pasal 270 KUHAP), tidak dapat memperpanjang tenggang waktu
pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang
tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat
(2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran
denda.

60

Ibid, hal. 20-21.

Universitas Sumatera Utara

Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang
pengganti maka terpidana diberi tenggang waktu satu bulan sesudah putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk melunasinya, jika dalam waktru yang
ditentukan tersebut telah habis maka jaksa sebagai eksekutor Negara dapat
menyita dan melelang harta benda terdakwa (Pasal 18 ayat (2) Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi).61
Pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan, sedangkan
denda merupakan pidana pokok, sehingga akibatnya ketentuan-ketentuan
mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat (2)
KUHAP, tidak dapat demikian saja diberlakukan untuk pembayaran uang
pengganti. Meskipun jaksa tidak dapat memperpanjang tenggang waktu
pembayaran uang pengganti, tetapi mengingat perumusan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) menggunakan kalimat “paling lama dalam waktu
1 (satu) bulan”, maka menurut R. Wiyono, jaksa masih dapat menentukan tahaptahap pembayaran uang pengganti, tetapi dengan syarat tahap-tahap tersebut tidak
dapat melebihi tenggang waktu 1 (satu) bulan.62
Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan
terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutan adalah seperti
yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu “…maka harta bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.63
Ketentuan yang merupakan tindak lanjut dari akibat terpidana tidak membayar

61

R.Wiyono, Loc.Cit, hal. 22
Ibid., hal. 132
63
Ibid.
62

Universitas Sumatera Utara

uang pengganti tersebut, perlu diberikan penjelasan, yaitu mengenai apa yang
dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dan kalimat “dapat disita” dalam
Pasal 18 ayat (2) tersebut.
Penyitaan dan pelelangan bersifat fakultatif, yaitu baru dilakukan dalam
hal terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti sejumlah yang
ditentukan dalam putusan dalam waktu yang telah ditentukan seperti diatas.
Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tidak perlu terlebih dahulu
mendapat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat karena penyitaan ini bukan
dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan.64
Menurut R. Wiyono yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya”
dalam Pasal 18 ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan
merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda
kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda
kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil tindak pidana korupsi
dan/atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, maka pengadilan
sudah tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barangbarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP atau Pasal 18 ayat
(1) huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap
barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.65
Dengan dipergunakannya kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2),
maka menurut hemat penulis, penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta
64
65

Efi Laila Kholis, Loc.Cit., hal 23
Ibid, hal. 133

Universitas Sumatera Utara

benda kepunyaan terpidana tersebut sifatnya adalah fakultatif. Penyitaan terhadap
harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang,
baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270
KUHP) jika ternyata terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti yang
jumlahnya seperti yang dimuat pada putusan pengadilan dalam tenggang waktu
yang ditentukan.
Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu
terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk
mendapatkan persetujuan karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka
penyidikan tetapi dalam rnagka pelaksanaan putusan pengadilan. Jaksa dalam
melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus
dapat memperkirakan harga dari benda yang disita, yang jika dilelang sudah dapat
menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan.
Diharapkan jangan sampai terjadi beberapa kali dilakukan penyitaan harta benda
kepunyaan terpidana, karena salah memperkirakan harga dari harta benda yang
disita, yang setelah dilelang ternyata tidak dapat menutupi jumlah uang pengganti
yang harus dibayar.
Jika diperhatikan perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18
ayat (1) huruf a, tidak salah kalau semua ada yang mempunyai pendapat bahwa
cara menghitung jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana
disamakan saja dengna harta benda yang diperoleh terpidana pada waktu atau
selama melakukan tindak pidana korupsi.
Pendapat tersebut dapat diikuti, jika seandainya pada waktu terpidana
mulai melakukan tindak pidana korupsi sampai dengan pada waktu pengadilan

Universitas Sumatera Utara

menjatuhkan putusannya, nilai mata uang tetap stabil, tetapi jika seandainya pada
waktu terpidana mulai melakukan tindak pidana korupsi sampai pada waktu
pengadilan menjatuhkan putusannya, terjadi penurunan bahkan kemerosotan nilai
mata uang, maka menurut hemat penulis pendapat itu perlu dipikirkan kembali.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bahwa pembayaran
uang pengganti harus dilaksanakan oleh terpidana paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan tersebut selanjutnya jaksa selaku pelaksana putusan
pengadilan (Pasal 270 KUHAP) akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut
:
1. Terpidana akan dipanggil untuk membicarakan masalah pembayaran uang
pengganti.
2. Melakukan negosiasi mengenai kesanggupan pembayaran uang pengganti
dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh terpidana secara bertahap
3. Melakukan penelusuran dan penyelidikan terhadap harta benda milik
terpidana yang diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi.
4. Apabila dalam waktu yang telah disepakati antara jaksa dan terpidana,
pembayaran uang pengganti tidak dilaksanakan oleh terpidana, maka jaksa
akan melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terpidana dan
mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang
Negara (KP2LN) untuk melakukan lelang eksekusi terhadap barang yang
disita tersebut.
5. Uang pengganti yang telah dibayarkan oleh terpidana atau hasil dari lelang
eksekusi selanjutnya oleh jaksa disetorkan kepada Kantor Kas Negara atau
Bank yang telah ditunjuk oleh negara sebagai penerimaan negara dari
pembayaran uang pengganti.
6. Setelah semua penyelesaian pembayaran uang pengganti telah dilaksanakan
oleh jaksa, maka kemudian jaksa membuat laporan tentang penyelesaian
pembayaran uang pengganti yang disampaikan kepada pengadilan.66
Apabila dalam praktiknya Uang Pengganti tersebut yang telah ditetapkan dan
diputuskan pihak pengadilan tetapi terdakwa tidak dapat melaksanakan
pembayaran Uang Pengganti sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka
akan dikenakan hukuman pengganti yaitu penambahan hukuman penjara sesuai
dengan perhitungan pengganti sesuai dengan jumlah Uang Pengganti yang belum
dibayarkan. Apabila si terpidana meninggal dunia sebelum Uang Pengganti

66

Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

dibayarkan maka pihak keluarga dan ahli waris terpidana tersebut bertanggung
jawab atas pengembalian Uang Pengganti terpidana apabila terbukti bahwa ada
harta dari keluarga atau ahli waris yang ternyata merupakan hasil dari Tindak
Pidana Korupsi.67

67

Ibid.

Universitas Sumatera Utara