Prevalensi Schistosomiasis pada Hewan Ternak Besar dan Keong

3.2. Pentahapan Menuju Eradikasi

Upaya percepatan eradikasi schistosomiasis dari wilayah endemik di Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018-2025 terbagi atas tiga fase sebagaimana dalam Gambar 3.

a. Fase Akselerasi (2018-2019)

Dalam fase ini kegiatan intervensi pada manusia, hewan, keong perantara melalui kolaborasi multisektoral dengan pendekatan One Health diintensifkan dengan tujuan menurunkan prevalensi dari nilai baseline (2017) menuju 0% pada akhir tahun 2019. Penurunan prevalensi infeksi pada manusia dicapai melalui strategi pengobatan massal sebanyak satu kali per tahun didukung upaya promosi kesehatan, peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih, sanitasi dan hygiene (WASH), serta peningkatan peran serta masyarakat dalam program pemberantasan

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Gambar 3. Bagan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Tahun 2018 – 2025

schistosomiasis. Strategi untuk menurunkan prevalensi infeksi pada hewan adalah dengan melakukan pengobatan massal sebanyak dua kali per tahun pada ternak besar (sapi, kerbau, dan kuda) sebagai reservoir yang memberikan kontribusi besar dalam penyebaran telur Schis- tosoma ke lapangan.

Mengingat masih tingginya prevalensi schistosomiasis pada hewan reservoir pada baseline, pengobatan massal pada hewan dilaksanakan selama tiga tahun sampai dengan tahun 2020. Pada fase akselerasi, secara simultan berbagai program modifikasi lingkungan yang menjadi habitat (fokus) O. hupensis lindoensis dilaksanakan dengan sangat intensif untuk menurunkan populasi keong sekaligus prevalensi infeksi pada keong. Keberhasilan tindakan intervensi dalam menurunkan prevalensi dievaluasi melalui kegiatan surveilans terpadu pada manusia, hewan dan keong.

20 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

21

Tabel 6. Daftar Kegiatan Fase Akselerasi (2018 – 2019) beserta Indikator dan Target Hasil

Intervensi Kunci Indikator Capaian Hasil Proporsi jumlah penduduk

minum obat PZ per tahun

Proporsi jumlah ternak besar (sapi, kerbau, kuda) yang diobati PZ per semester

Jumlah desa yang menerima modifikasi lingkungan terpadu

Luas fokus yang menerapkan pemberantasan kimiawi

Kumulatif cakupan KK dengan akses air minum dan sanitasi layak dan berkelanjutan

Kumulatif Jumlah MCK yang sehat dan terawat di areal fokus

Proporsi jumlah ternak besar (sapi, kerbau, kuda) yang terhindar dari kontak dengan fokus

Pengobatan massal pada manusia 1 kali setahun

Pengobatan massal pada hewan 2 kali setahun

Modifikasi lingkungan terpadu lintas sektor

Pemberantasan keong secara kimiawi

Penyediaan air minum, sanitasi, hygiene

Penyediaan MCK Umum di daerah fokus

Pengelolaan hewan ternak (termasuk pembinaan kelompok peternak)

dengan sambungan rumah

• 85% akses

sanitasi layak 172 unit MCK

50%

Target Hasil 2018 100%

• 100% akses dengan

sambungan rumah

• 100% akses sanitasi layak

293 unit MCK

85%

Target Hasil 2019

Pada fase ini, surveilans pada manusia dilakukan secara ‘total screening’/seluruh populasi pada Tahun 2019 untuk mengevaluasi hasil intervensi terpadu pada manusia, hewan dan lingkungan pada Tahun 2018. Pada hewan, surveilans terhadap total populasi dilakukan pada Tahun 2018, dan terhadap desa-desa sentinel dan spot pada 2019. Sedangkan pada keong, surveilans dilakukan terhadap focus-fokus sentinel dan spot pada 2018 dan 2019.

Rangkaian kegiatan Fase Akselarasi ini sangat diharapkan intensif dilakukan mulai Tahun 2018. Sehingga pada Tahun 2019, kegiatan juga akan difokuskan pada yang belum diselesaikan/dicapai pada Tahun 2018, disamping target-target yang memang dirancang untuk dicapai pada Tahun 2019. Daftar kegiatan prioritas untuk Tahun 2018 dan Tahun 2019 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun ringkasannya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Lanjutan Tabel 6 ...............

Target Hasil 2018 Target Hasil 2019 Surveilans pada

Intervensi Kunci

Indikator Capaian Hasil

100% (manusia) manusia, hewan,

Proporsi jumlah sampel

100% (hewan)

27% (hewan) keong perantara

pemeriksaan terhadap jumlah

51% (keong)

populasi (manusia dan hewan)

56% (keong)

dan luas fokus (keong)

28 desa perubahan perilaku

Kampanye

Jumlah desa aktif melakukan

28 desa

kampanye dengan materi dan

dan peningkatan

metoda KIE berbasis

partisipasi

pendekatan one health

masyarakat Kooodinasi multi

100% sektor dan monev

Cakupan kegiatan dengan

capaian sesuai target

terpadu secara intensif

b. Fase Pemeliharaan dan Surveilan Pasca Intervensi (2020-2024)

Prevalensi infeksi S. japonicum pada manusia, hewan, dan keong yang telah berhasil diturunkan sampai dengan 0% pada fase akselerasi akan dipertahankan selama lima tahun, untuk memenuhi prasyarat dilakukannya verifikasi eradikasi schistosomiasis di Indonesia oleh WHO pada tahun 2025. Pada fase ini kegiatan surveilan menggunakan teknik diagnosis dengan sensitivitas tinggi, seperti uji serologis dan LAMP, memegang peranan untuk memastikan tidak ditemukan lagi kasus infeksi schistosomiasis pada manusia, hewan, dan keong. Surveilans pada manusia dilakukan terhadap seluruh populasi/total screening pada Tahun 2020. Pada Tahun 2021-2024, surveilans pada manusia dilakukan pada desa-desa hotspot. Adapun surveilans pada hewan dilakukan terhadap seluruh populasi hewan pada Tahun 2020 dan Tahun 2024, sedangkan terhadap desa-desa sentinel dan spot dilakukan pada Tahun 2021, 2022, dan 2023. Surveilans pada keong tetap dilakukan terhadap focus-fokus sentinel dan spot selama 2020-2024.

Upaya promosi kesehatan untuk memelihara kepedulian dan kewaspadaan masyarakat, termasuk peternak, terhadap kemungkinan kemunculan kembali schistosomiasis pasca intervensi terus diintensifkan di bekas wilayah endemik. Sarana dan prasarana yang telah dibangun sebagai bagian dari program modifikasi lingkungan untuk mengurangi populasi keong perantara pada fase akselerasi akan terus dimanfaatkan serta dipelihara kondisinya. Demikian juga dengan sarana dan prasarana yang ditujukan untuk penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat/PHBS, yaitu sarana air minum, sanitasi, dan hygiene serta MCK di areal focus, akan terus dipelihara/ditingkatkan kualitas layanannya.

22 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 22 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Deklarasi eradikasi schistosomiasis di Indonesia dilakukan setelah verifikasi oleh WHO terhadap hasil surveilans pasca intervensi yang menunjukan tidak ditemukannya lagi infeksi schistoso- miasis pada manusia, hewan dan keong di wilayah endemik selama lima tahun berturut-turut. Kegiatan surveilan harus tetap diteruskan secara berkala pasca deklarasi untuk memastikan schistosomiasis tidak muncul kembali.

Sepanjang periode eradikasi, upaya menerus dilakukan dalam hal pengelolaan hewan ternak, surveilans, kampanye perubahan perilaku dan peningkatan partisipasi masyarakat, serta koordinasi multi sektor yang didukung monitoring dan evaluasi terpadu secara intensif.

Tabel 7. Sasaran dan Tahapan Pencapaian Program Percepatan Eradikasi Schistosomiasis 2018 – 2025

Kriteria Eradikasi

Baseline

Fase Akselarasi Intervensi

Fase Fase

Pemeliharaan Deklarasi Target 2018 Target 2019 & Surveilan

Eradikasi pasca

(2025) intervensi (2020-2024)

Prevalensi pada Manusia (%) 0 0 0 Lindu

0 0 0 Prevalensi pada Hewan (%)

5.56 2.78 0 0 0 Prevalensi pada Keong (%)

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

3.3. Baseline dan Target Setiap Tahapan

Sasaran program percepatan eradikasi schistosomiasis adalah menurunkan prevalensi infeksi S. japonicum dari nilai baseline (2017) menjadi 0% pada tahun 2019 melalui penerapan intensifikasi program intervensi terpadu pada manusia, hewan dan keong di daerah endemik (Tabel 7). Sasaran tersebut dicapai secara bertahap dalam dua tahun dengan berbagai kegiatan intervensi untuk menurunkan prevalensi pada tahun 2018 menjadi sekurang-kurangnya 50 % dari nilai baseline (2017). Prevalensi nol persen yang telah dicapai akan dipertahankan selama periode surveilan pasca intervensi (2020-2024) sampai dengan proses verifikasi eradikasi pada tahun 2025.

3.4. Potensi Peningkatan Ekonomi Lokal Pasca Eradikasi Schistosomiasis

Keberhasilan program eradikasi schistosomiasis secara langsung dan tidak langsung akan dapat memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi penduduk yang bermukim di wilayah endemik. Kegiatan intervensi lingkungan dengan mengubah habitat/fokus O. hupensis menjadi lahan sawah melalui pencetakan sawah baru maupun mengaktifkan kembali sawah terlantar akan dapat meningkatkan ketersediaan pangan serta kesejahteraan petani di daerah tersebut. Potensi peningkatan produksi padi dari sekitar 120 hektar lahan sawah yang direncanakan untuk dicetak dan diaktifkan adalah 600 ton gabah kering giling/musim tanam. Peningkatan pendapatan penduduk juga akan didapatkan dari pengaktifan kembali kebun dan penanaman tanaman keras dalam rangka konversi fokus menjadi lahan kering.

Perekonomian penduduk diharapkan juga akan meningkat sebagai dampak dari perbaikan produktivitas ternak, khususnya sapi dan kerbau yang memiliki nilai ekonomis dan sosial budaya tinggi bagi pemiliknya. Berbagai studi di Indonesia menunjukan kecacingan pada ternak ruminansia berkonstribusi terhadap perlambatan pertambahan berat badan 5-20% dan penurunan kemampuan reproduksi ternak (Satrija and Beriajaya 1998). Penerapan program intervensi schistosomiasis terhadap ternak sebagai hewan reservoir dalam bentuk pengobatan dan pemeliharaan yang lebih intensif melalui pembuatan kandang ternak kolektif atau padang gembala bebas cacing, akan menghindarkan kontaminasi telur schistosoma asal ternak di lingkungan dan memperbaiki performance ternak. Pengaktifan kembali dan pembuatan kolam ikan dari lahan-lahan bekas fokus juga akan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Wilayah di sekitar Taman Nasional Lore-Lindu memiliki berbagai obyek wisata yang potensial untuk dikembangkan. Danau Lindu di Kabupaten Sigi dan situs-situs arkeologi peninggalan budaya megalitik yang tersebar di sejumlah lokasi di wilayah dataran tinggi Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten Poso telah menjadi tujuan wisata unggulan bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Hilangnya kekhawatiran akan tertular penyakit demam keong akan mendorong lebih banyak kunjungan wisatawan ke wilayah Lore-Lindu, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat dari berbagai usaha yang terkait dengan pariwisata.

24 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

BAB 4

Pendekatan dan Strategi Eradikasi

Strategi Indonesia dalam mengeradikasi Schistosomiasis meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan, dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang accessible bagi semua yang peduli dan terlibat.

4.1. Pendekatan dan Faktor Kunci Keberhasilan Eradikasi

Skema utama dalam strategi eradikasi schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah adalah pemenuhan kriteria WHO untuk eradikasi schistosomiasis japonicum yaitu tercapainya prevalensi nol persen pada manusia, hewan reservoir, dan keong perantara selama lima tahun berturut-turut. Selain pemenuhan syarat tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melaksanakan tindakan untuk mencapai target tersebut. Beberapa hal ini terkait dengan status legal area target, budaya lokal, dan batasan waktu, yaitu sebagai berikut:

1. beberapa dari area endemik adalah bagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sehingga modifikasi lingkungan harus disesuaikan dengan aturan konservasi lingkungan yang berlaku,

2. baik manusia ataupun hewan ternak tidak dapat direlokasi dari lokasi endemik karena keterikatan adat mereka terhadap daerah tersebut, dan

3. titik awal nol persen prevalensi harus tercapai pada tahun 2019. Dalam rangka mencapai target dan mempertimbangkan ketiga hal di atas, strategi eradikasi

dirinci dalam kelompok kegiatan yang dilakukan untuk mencapai masing-masing target yang ada. Meskipun terdapat perbedaan target acuan untuk setiap kelompok kegiatan, namun saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kegagalan satu kelompok kegiatan merupakan kegagalan seluruh program.

Pendekatan eradikasi schistosomiasis bertumpu pada lima pilar berikut:

1. Kesehatan semesta (One Health); kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan

2. Kerjasama lintas sektor

3. Keterpaduan upaya antara pusat dan daerah

4. Berbasis spasial

5. Pemberdayaan masyarakat Pencegahan atas terjadinya kegagalan dan penjaminan terhadap kesuksesan program dapat

dicapai melalui pemenuhan faktor kunci keberhasilan program lintas sektoral yaitu:

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

1. Kerjasama lintas sektor di pusat dan daerah

2. Kepemimpinan desa dan pemerintah daerah

3. Pemantauan dan evaluasi yang intensif dan terukur

4. Partisipasi masyarakat

5. Sistem surveilans yang efektif dan akurat

6. Kelayakan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dan fasilitas/sarana kerja

4.2. Strategi Eradikasi

4.2.1. Pengobatan Massal pada Manusia dan Hewan

4.2.1.1. Pengobatan Massal pada Manusia

Pengobatan massal menggunakan Praziquantel dengan dosis 40 mg/kgBB pada manusia merupakan upaya pemberantasan fase dewasa cacing S. japonicum yang ada di tubuh manusia. Manusia yang merupakan induk semang definitif S. japonicum dengan gejala klinis paling terlihat di antara induk semang definitif lainnya. Hal ini membuat proses serta hasil penanganan schis- tosomiasis pada manusia menjadi indikator utama kesuksesan program. Dalam rangka mencapai eradikasi schistosomiasis yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019 (0% prevalensi), akan dilakukan perubahan sistem pengobatan massal pada manusia yang terdiri atas 2 tahap. Tahap pertama adalah pengobatan massal pada seluruh populasi akan dilakukan selama 2 tahun berturut-turut untuk menekan prevalensi schistosomiasis di manusia. Setelah periode tersebut, tahap kedua pengobatan hanya akan dilakukan secara selektif pada populasi yang kemungkinan masih terinfeksi sebagai bagian dari sistem tanggap cepat yang terintegrasi dengan sistem surveilans. Pengobatan massal pada manusia akan dilaksanakan oleh tim dari puskemas di area endemik. Setiap tim berasal dari puskesmas di area endemik serta terdiri atas 1 orang dokter, 3 orang paramedik, dan 5 orang kader yang telah dilatih. Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Praziquantel untuk kegiatan ini berasal dari donasi WHO yang disalurkan melalui Kementerian Kesehatan.

4.2.1.2. Pengobatan Massal pada Hewan Reservoir

Pengobatan massal menggunakan Praziquantel dengan dosis 25 mg/kgBB pada hewan reser- voir merupakan upaya pemberantasan fase dewasa cacing S. japonicum yang ada di tubuh hewan reservoir. Hewan reservoir bagi cacing S. japonicum adalah hewan mamalia yang terdiri atas 13 spesies berbeda. Dalam program eradikasi ini hewan reservoir yang akan ditangani adalah mamalia yang memiliki kedekatan dan paparan terus-menerus dengan manusia dan keong perantara, yaitu sapi, kerbau, kuda, anjing, dan babi. Penanganan pada sapi, kerbau, dan kuda dilakukan dalam bentuk pengobatan massal untuk seluruh populasi hewan tersebut. Hal ini dilakukan mengingat seluruh populasi ternak tersebut digembalakan secara bebas tanpa pengawasan. Adapun, penanganan pada anjing dan babi dilakukan dalam bentuk pembatasan pergerakan hewan dan pengandangan ternak dipadukan dengan pengobatan selektif pada

26 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 26 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

3 tahun, tahap kedua dilakukan dalam bentuk pengobatan secara selektif pada populasi yang kemungkinan masih terinfeksi sebagai bagian dari sistem tanggap cepat yang terintegrasi dengan sistem surveilans. Pengobatan massal pada hewan akan dilaksanakan oleh tim dari Puskeswan di area endemik. Setiap tim terdiri atas 1 orang dokter hewan dan 3 orang paramedik veteriner yang berasal dari dinas kabupaten serta 3 orang kader dari desa endemik yang telah dilatih. Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi kesehatan hewan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Masalah mendesak yang harus segera dipecahkan terkait program ini adalah pengadaan praziquantel untuk pengobatan hewan besar. Sampai saat ini belum ada sediaan praziquantel untuk hewan besar yang teregistrasi di Kementerian Pertanian (Ditkeswan 2016). Untuk itu diperlukan upaya pengadaan praziquantel baik melalui donasi FAO dan atau impor yang difasilitasi dengan penerbitan ijin khusus pemasukan obat hewan oleh Kementan untuk mendukung program eradikasi schistosomiasis.

4.2.2. Manajemen Pola Penggembalaan Ternak

Pola penggembalaan ternak merupakan salah satu faktor risiko dalam kejadian schistosomia- sis. Pola penggembalaan ternak yang diterapkan di ketiga area endemik adalah pola penggembalaan bebas. Di satu sisi, pola ini mengurangi beban peternak untuk memberikan pakan karena ternak dapat mencari pakan sendiri dengan cara merumput. Di sisi lain, pola ini meningkatkan risiko paparan ternak terhadap fokus keong perantara schistosomiasis mengingat minimnya pengawasan ternak yang digembalakan secara bebas. Dengan mempertimbangkan budaya lokal dan kondisi area endemik tiga solusi manajemen dapat dilakukan untuk memperbaiki pola penggembalaan ternak. Ketiga solusi tersebut antara lain adalah:

1. Pengandangan ternak.

2. Pemagaran area merumput yang aman (safe grazing area).

3. Pemagaran fokus. Pengandangan ternak dilakukan untuk membatasi pergerakan ternak dengan mengurung

mereka dalam kandang. Langkah ini sudah dilakukan pada mayoritas ternak babi oleh penduduk lokal tetapi belum banyak dilakukan untuk ternak lainnya. Pembangunan kandang juga dapat dilakukan untuk memberikan teduhan untuk ternak di area merumput guna mendukung pembuatan safe grazing area. Pembangunan pagar di perimeter safe grazing area dilakukan untuk membatasi pergerakan ternak ke luar area merumput agar terhindar dari paparan fokus keong perantara yang berpotensi membawa larva S. japonicum. Pemagaran fokus keong dilakukan untuk mengendalikan akses ternak serta manusia memasuki area fokus khususnya selama fokus tersebut ditangani. Penerapan ketiga solusi ini tidak terpaku pada satu solusi untuk setiap area melainkan fleksibel disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sebagai contoh,

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Dalam upaya mendapatkan pilihan solusi paling tepat untuk pola manajemen ternak yang akan diterapkan, perlu dilakukan survei pengetahuan, perilaku, dan praktik (knowledge, attitude, practice/KAP). Melalui survei ini, perilaku peternak di setiap area dapat dipetakan sehingga solusi yang tepat dapat ditentukan. Survei KAP juga bermanfaat sebagai acuan dalam penyusunan materi penyuluhan (KIE) bagi peternak dan petugas lapangan. Pelaksanaan kegiatan ini disinergikan dengan kegiatan pengembangan KIE untuk kelompok sasaran lainnya. Persiapan (perencanaan) pelaksanaan KAP ini perlu dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

4.2.3. Pemberantasan Keong Hospes Perantara

4.2.3.1. Penyemprotan Moluskisida

Penyemprotan moluskisida (racun keong) merupakan salah satu metode pengendalian keong perantara schistosomiasis. Upaya ini dilakukan untuk memberantas keong khususnya pada fokus dengan ukuran kecil dan/atau posisi geografis yang terpencil sehingga sulit dijangkau dengan metode pengendalian lainnya. Penggunaan moluskisida harus dibatasi guna mencegah timbulnya resistensi serta kematian organisme lainnya yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan. Sediaan moluskisida pilihan yang digunakan untuk upaya ini adalah Niklosamid. Penggunaan Niklosamid disesuaikan dengan jenis, luas dan kedalaman lahan sebagaimana dijabarkan dalam panduan WHO untuk penggunaan moluskisida (WHO 2017).

Penyemprotan moluskisida akan dilakukan sebanyak 3 – 4 kali per tahun di fokus yang telah ditentukan. Terdapat 17 fokus yang akan dilakukan penyemprotan moluskisida dengan total

luas 330.383 m 2 . Penyemprotan dilakukan oleh kader dengan target 5.000 m /kader/hari. Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi pertanian di Kabupaten

Poso dan Kabupaten Sigi. Pengadaan sediaan Niklosamid menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

4.2.3.2. Modifikasi Lingkungan Fokus

Modifikasi lingkungan dilakukan untuk memperkecil sebaran dan populasi keong perantara. Keong O. hupensis merupakan moluska amfibi yang hidup di area yang basah, dangkal, serta memiliki aliran air yang tenang atau tidak bergerak. Oleh sebab itu, strategi untuk menekan populasi keong ini, secara umum dapat dilakukan dua pilihan tindakan yaitu peningkatan debit

28 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 28 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

1. Pengembangan jaringan irigasi (rehabilitasi, peningkatan, pembangunan) di perkebunan dan persawahan

2. Pengembangan daerah penangkap air (Water Catchment Area)

3. Pembersihan kebun dan lahan bersemak

4. Pengelolaan sawah secara intensif

5. Pencetakan sawah

6. Pengolahan, pemeliharaan, dan pengaktifan kolam

7. Pembuatan kolam

8. Pengadaan alat pembenihan ikan Pengembangan jaringan irigasi bertujuan untuk meningkatkan debit aliran air di saluran irigasi

yang ada serta menjangkau lahan di area perkebunan yang sebelumnya mudah tergenang dan menjadi habitat keong perantara. Jaringan irigasi yang dikembangkan mencakup jaringan irigasi sekunder dan tersier. Jaringan irigasi yang dibuat harus bersifat permanen (dibatasi dinding beton atau batu) serta senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan. Pengembangan saluran irigasi juga mampu membantu meningkatkan produktivitas perkebunan dan persawahan melalui pencegahan kerusakan tanaman kebun akibat lahan yang terlalu basah serta pemerataan air bagi tanaman perkebunan dan persawahan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pengembangan daerah penangkap air (Water Catchment Area) bertujuan untuk meningkatkan kedalaman air di lokasi sumber air warga. Selama ini, banyak dari sumber air warga berasal dari mata air yang tidak memiliki kedalaman yang cukup sehingga menjadi habitat keong perantara. Selain itu, pengaliran air secara langsung dari sumber air yang menjadi fokus positif schistoso- miasis memungkinkan larva infektif (serkaria) S. japonicum untuk masuk ke aliran air warga. Pembuatan daerah penangkap air dengan kedalaman yang cukup mampu menekan perkembangan populasi keong perantara, mematikan serkaria S. japonicum melalui penundaan pengaliran, serta memungkinkan dilakukannya pemeriksaan keamanan air sebelum disalurkan kepada warga sehingga menjamin keamanan air yang akan dikonsumsi/digunakan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pembersihan kebun dan lahan bersemak bertujuan untuk menghilangkan serasah yang menghambat aliran air khususnya di saluran irigasi yang ada di perkebunan tersebut. Keberadaan serasah yang tidak dibersihkan mampu memperdangkal serta menghambat saluran air sehingga saluran yang ada menjadi habitat keong perantara. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi perkebunan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pengelolaan sawah secara intensif bertujuan untuk mengaktifkan kembali sawah yang terbengkalai serta meningkatkan produktivitas sawah yang sudah ada. Kegiatan ini dapat meningkatkan kedalaman air di areal persawahan khususnya di sawah yang ditinggalkan. Selain

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Pencetakan sawah bertujuan untuk mengolah lahan tidur yang menjadi habitat keong perantara menjadi sawah dengan kedalaman serta aliran air yang memadai. Adapun prasayarat lahan yang akan diolah adalah memiliki akses terhadap saluran irigasi teknis serta belum pernah mendapatkan layanan pencetakan sawah sebelumnya. Sawah yang dicetak harus senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan yang justru dapat memperluas habitat keong perantara. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas pertanian padi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Korps Zeni TNI AD dan dikoordinasikan oleh Kementerian Pertanian bersama dengan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pengolahan, pemeliharaan, dan pengaktifan kolam bertujuan untuk meningkatkan kedalaman kolam budidaya ikan yang terbengkalai dan menjadi habitat keong perantara. Kolam ikan yang sudah ada harus dibatasi dengan dinding (beton, batu, atau plastik pelapis khusus) serta senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas perikanan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh yang membidangi perikanan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pembuatan kolam baru bertujuan untuk mengubah lahan tidur khususnya yang senantiasa basah tetapi tidak memiliki akses irigasi menjadi kolam budidaya ikan dengan kedalaman yang memadai. Kolam ikan yang dibuat harus dibatasi dengan dinding (beton, batu, atau plastik pelapis khusus) serta senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas perikanan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh yang membidangi perikanan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Kegiatan pengolahan, pemeliharaan, dan pengaktifan kolam serta pembuatan kolam baru juga didukung dengan pengadaan alat pembenihan ikan. Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan tersedianya benih ikan secara berkelanjutan sehingga kolam ikan yang ada benar-benar menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat setempat dan terus dikelola. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh yang membidangi perikanan di Kabupaten Poso dan Sigi.

Adapun pengeringan lahan dilakukan pada lahan yang cenderung kering sepanjang tahun dan dapat dicapai melalui pilihan kegiatan berikut:

1. Pengembangan saluran tersier/drainase

2. Agroforestry desa penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)

3. Pengelolaan kebun secara intensif

4. Pematangan lahan

30 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Pengembangan saluran tersier/drainase bertujuan untuk menghilangkan genangan dan menjaga tanah tetap kering di area perkebunan. Selain menghilangkan fokus keong perantara, tindakan ini juga mencegah tanah perkebunan terlalu lembab sehingga mencegah terjadinya pembusukan akar tanaman perkebunan dan meningkatkan produktivitas perkebunan tersebut. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Tengah.

Pengembangan agroforestry di desa penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) bertujuan untuk mengeringkan fokus yang berada di area penyangga TNLL melalui penanaman tanaman keras. Hal ini juga mencegah pergerakan masyarakat yang mencari hasil tanaman keras di area TNLL untuk kebutuhan hidupnya. Pergerakan masyarakat ke dalam area TNLL dapat meningkatkan risiko paparan masyarakat terhadap fokus yang ada di dalam area TNLL serta merusak kelestarian biota TNLL. Dengan dilaksanakannya kegiatan ini, maka permasalahan faktor risiko schistosomiasis dan ekonomi masyarakat dapat ditangani. Kegiatan pengembangan agroforestry memiliki sejumlah kegiatan pendukung antara lain adalah pemeliharaan hasil kegiatan, supervisi lapangan, dan dukungan advokasi untuk penyadaran masyarakat. Kegiatan yang dikoordinasikan oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) ini sejalan dengan tiga prioritas agenda BBTNLL yang meliputi:

1. Intervensi agroengineering daerah buffer TN Lore Lindu

2. Pengamanan kawasan TN Lore Lindu, dan

3. Restorasi ekosistem pengendalian penyebaran keong Pengelolaan kebun secara intensif bertujuan untuk mengeringkan area di lahan perkebunan

yang belum tergarap melalui penanaman tanaman kebun di area tersebut. Kegiatan ini berjalan secara terintegrasi dengan kegiatan lainnya khususnya pengembangan serta pengelolaan saluran irigasi untuk menjamin terbentuknya lingkungan perkebunan yang menghambat perkembangan populai keong perantara. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu meningkatkan produktivitas perkebunan yang ada sehingga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi perkebunan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pematangan lahan (pengurukan) bertujuan untuk mengeringkan lahan melalui penutupan area dangkal yang rentan tergenang menggunakan tanah dari tempat lain. Kegiatan ini dilakukan di area terbatas khususnya yang sulit diolah menjadi bentuk lainnya. Setelah ditutup, area ini dapat ditanami dengan tanaman keras untuk menjaganya tetap kering dan mencegah erosi. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso.

Selain kegiatan utama yang bertujuan untuk peningkatan debit air dan pengeringan lahan, juga dilakukan kegiatan pengembangan infrastruktur jalan. Kegiatan pengembangan infrastruktur jalan sangat penting dilakukan khususnya di dataran tinggi Lindu mengingat minimnya infrastruktur di daerah tersebut sehingga menghambat pelaksanaan program lainnya. Selain mendukung kegiatan eradikasi schistosomiasis, kegiatan ini juga mampu membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di dataran tinggi Lindu khususnya melalui peningkatan

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

4.2.4. Sistem Surveilans

Sistem surveilans schistosomiasis merupakan kegiatan kunci untuk memantau perkembangan dan status penyakit ini di lapangan. Sistem ini juga sangat penting untuk menentukan langkah yang diambil seiring berjalannya perkembangan penyakit. Dalam upaya eradikasi schistoso- miasis, akurasi sistem surveilans merupakan komponen penentu kesuksesan intervensi yang dilakukan. Oleh sebab itu, metode dan cakupan populasi dari sistem surveilans yang diterapkan harus sesuai dan mampu mewakili seluruh populasi berisiko. Sistem surveilans diterapkan pada populasi manusia, hewan reservoir, dan fokus keong perantara.

Sistem surveilans yang digunakan adalah sistem total screening dan sentinel-spot, di mana populasi sentinel merupakan populasi yang diamati secara tetap dan populasi spot merupakan populasi yang diamati secara acak bergantian. Populasi sentinel diamati untuk mengetahui gambaran umum perkembangan penyakit sedangkan populasi spot diamati untuk mengetahui gambaran perkembangan penyakit pasca intervensi. Jumlah populasi minimal yang menjadi cakupan survei sentinel-spot adalah 20% populasi total. Adapun pemilihan populasi sentinel dilakukan berdasarkan ukuran, prevalensi dasar, serta kondisi geografis desa yang mewakili tipologi situasi penyakit di area endemik. Dari 28 desa di area endemik, akan dipilih 5 desa sentinel tetap (2 di dataran tinggi Lindu,

2 di Dataran tinggi Napu, dan 1 di dataran tinggi Bada) yang diperiksa setiap tahun, serta 23 desa spot yang diperiksa bergantian 2-3 desa setiap tahun hingga seluruh desa terperiksa pada tahun 2025. Disamping itu dalam rangka mengevaluasi capaian hasil intervensi intensif dan mempersiapkan verifikasi oleh WHO pada tahun 2025, surveilan yang mencakup seluruh desa endemik akan dilakukan pada tahun 2020 dan 2024. Selain perubahan pola pemeriksaan dan cakupan, perubahan lain yang diberlakukan dalam sistem surveilans yang baru adalah adanya pelatihan rutin dan sistem pemeriksaan silang (cross-reference system) untuk memastikan akurasi dari hasil surveilans yang dihasilkan.

4.2.4.1. Sistem Surveilans Manusia

Sistem surveilans manusia dilakukan dengan cara pemeriksaan tinja yang dilaksanakan setahun sekali. Adapun metode uji tinja yang digunakan adalah metode Kato-Katz. Pada Tahun 2019 dan 2020, pemeriksaan tinja dilakukan pada seluruh populasi daerah endemik untuk mengevaluasi hasil intervensi terpadu yang dilakukan. Selanjutnya, dimulai pada tahun 2021, pemeriksaan tinja dilakukan terhadap populasi hotspot untuk memantau dan menjaga prevalensi schistosomiasis tetap pada tingkat 0%. Sistem surveilans manusia akan dilaksanakan oleh Laboratorium Schistosomiasis yang berada di ketiga area endemik dan menjadi tanggung

32 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 32 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

4.2.4.2. Sistem Surveilans Hewan Reservoir

Sistem surveilans hewan reservoir terdiri atas pemeriksaan tinja yang dilakukan setahun sekali pada seluruh populasi sentinel dan populasi spot. Pemeriksaan tinja pada hewan dilakukan menggunakan uji filtrasi bertingkat. Mengingat masih terbatasnya data dasar yang tersedia untuk prevalensi schistosomiasis pada hewan reservoir khususnya di Kabupaten Poso, maka diperlukan penguatan data dasar melalui survei di semua desa pada tahun 2018. Survei di seluruh desa akan kembali dilakukan pada tahun 2020 dan 2024 untuk mengevaluasi capaian hasil intervensi intensif dan mempersiapkan verifikasi WHO pada tahun 2025. Sistem surveilans hewan akan dilaksanakan secara terintegrasi oleh Laboratorium Schistosomiasis Hewan di tingkat kabupaten milik dinas yang membidangi kesehatan hewan, Lab Diagnostik Veteriner Dinas Kehutanan dan Peternakan Provinsi Sulteng serta Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros. Setiap Lab Diagnostik Kabupaten bertanggung jawab terhadap pelaksanaan surveilan di desa sentinel di wilayah masing-masing. Dengan mempertimbangkan luasnya cakupan wilayah surveilans dan keterbatasan sumberdaya di tingkat kabupaten, pemeriksaan desa spot dan kegiatan survei baseline (2018) dan evaluasi capaian pengendalian (2020 dan 2024) akan dilaksanakan oleh Lab Diagnostik Keswan Provinsi Sulawesi Tengah dan BBVet Maros. Rancangan kerjasama institusi dalam surveilans hewan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Rancangan Kerjasama Institusi dalam Rangka Pelaksanaan Surveilan Pada Hewan di Wilayah Endemik

Tahapan Kegiatan

Wilayah Kerja Surveilans

Pelaksana

Dinas Kabupaten

· Desa Sentinel sebanyak 5 desa per tahun

(PJ)Dinas Provinsi

(2 desa Kab Sigi, dan 3 desa Kab Poso)

Dinas Provinsi (PJ)Dinas

· Desa spot check 1-2 desa per tahun

Kabupaten

Pengambilan Sampel

BBVet Maros (PJ)Dinas

· Desa spot check 1-2 desa per tahun

ProvinsiDinas

· Penguatan baseline data schistomiasis

Kabupaten

pada hewan (2018): 28 desa · Evaluasi capaian intervensi (2020 & 2024):

28 desa

Supervisi proses

· Desa sentinel dan spot check (8 desa) pengambilan

Dinas Provinsi

setiap tahun

sampel, serta validasi lokasi dan kecukupan Sampel

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjutan Tabel 8 .............

Tahapan Kegiatan

Wilayah Kerja Surveilans

Pelaksana

BBVet Maros

· Desa spot check · Penguatan baseline data (2018): 28 desa · Evaluasi capaian intervensi (2020 &

2024): 28 desa

Dinas Kab

· Desa Sentinel sebanyak 5 desa per tahun (2 desa Kab Sigi, dan 3 desa Kab Poso)

· Desa spot check 1-2 desa per tahun Laboratorium

Diagnosis

Dinas Provinsi

BBVet Maros

· Desa spot check 1-2 desa per tahun · Penguatan baseline data (2018): 28 desa · Evaluasi capaian intervensi (2020 &

2024): 28 desa

Dinas Kab

· Desa Sentinel sebanyak 5 desa per tahun (2 desa Kab Sigi, dan 3 desa Kab Poso)

· Desa spot check 1-2 desa per tahun Penyusunan Laporan

Dinas Provinsi

Hasil Diagnosis

BBVet Maros

· Desa spot check 1-2 desa per tahun · Penguatan baseline data (2018): 28 desa · Evaluasi capaian intervensi (2020 &

2024): 28 desa

Dinas Provinsi

· Desa sentinel dan spot check (8 desa)

setiap tahun

Verifikasi Laporan Hasil Diagnosis

BBVet Maros

· Penguatan baseline data (2018): 28 desa · Evaluasi capaian intervensi (2020 &

2024): 28 desa

Keterangan: PJ adalah singkatan dari Penanggung Jawab

4.2.4.3. Sistem Surveilans Keong Perantara

Sistem surveilans keong perantara dilakukan setahun dua kali pada seluruh fokus di desa sen- tinel dan desa spot. Pemeriksaan keong perantara dilakukan menggunakan pemeriksaan mikroskopis untuk melihat keberadaan serkaria pada keong yang digerus (crushing). Penyesuaian metode pemeriksaan untuk mendapatkan sensitivitas pemeriksaan yang lebih tinggi juga harus dilakukan dalam mendeteksi infeksi pada keong ketika prevalensi infeksi sudah sangat rendah dengan metode crushing. Metode LAMP (Loop-mediated isothermal amplification) yang berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction), merupakan salah satu metode alternatif yang mampu

34 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 34 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Guna mendukung penanganan keong perantara, pada tahun 2018 dilakukan pemetaan untuk memastikan keberadaan habitat keong O. hupensis lindoensis di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Kegiatan pemetaan ini dilaksanaan bersama antara BTNLL dengan Litbang P2B2 Donggala.

4.2.5. Peningkatan Kapasitas Teknis

Program peningkatan kapasitas teknis bertujuan untuk meningkatkan kualitas kerja berbagai institusi dan personel lapangan yang terlibat dalam program eradikasi schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan hasil tinjauan lapangan, banyak dari komponen fisik dan kapabilitas kerja institusi dan personel yang belum memenuhi standar dan dapat menghambat tercapainya target nol persen prevalensi pada tahun 2019. Oleh sebab itu, dirumuskanlah pro- gram peningkatan kapasitas teknis yang terdiri atas:

a. Workshop penyusunan sistem surveilans schistomiasis

b. Pelatihan surveilan schistosomiasis pada manusia, hewan dan keong

c. Pelatihan diagnosa dan penanganan penderita schistosomiasis untuk dokter

d. Pelatihan pengenalan penyakit dan penanganan penderita schistosomiasis untuk paramedik petugas Puskesmas dan bidan desa

e. Pelatihan dokter hewan untuk diagnosa dan pengendalian schistosomiasis pada hewan

f. Pelatihan diagnosa schistosomiasis untuk tenaga laboratorium

g. Pelatihan pengenalan penyakit dan pengendalian schistosomiasis untuk petugas lapangan kesehatan hewan

h. Pelatihan teknik pemberantasan keong hospes perantara untuk kader pemantau keong

i. Pelatihan penyuluh peternakan dan perikanan di wilayah endemik schistosomiasis j. Pelatihan STBM-Schistosomiasis bagi sanitarian, petugas Promkes, dan petugas schistoso- miasis k. Refreshment training untuk uji kualitas air di desa endemik

Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan.

4.2.6. Peningkatan Kapasitas Laboratorium dan Infrastruktur Diagnosis

Laboratorium diagnostik merupakan komponen penting yang sangat menentukan keberhasilan program ini khususnya dari sisi surveillans dan respon tanggap cepat. Saat ini, laboratorium diagnostik yang ada masih memiliki keterbatasan tenaga kerja ahli dan peralatan pendukung diagnostik. Hal ini berimbas kepada terbatasnya kapasitas dan kualitas kerja dari laboratorium tersebut. Program peningkatan kapasitas diagnostik bertujuan untuk segera menyelesaikan

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

a. Rehabilitasi lab-diagnostik manusia

b. Rehabilitasi lab-diagnostik hewan

c. Penyediaan kelengkapan lab-diagnostik manusia

d. Penyediaan kelengkapan lab-diagnostik hewan

e. Operasional dan perawatan lab-diagnostik manusia

f. Operasional dan perawatan lab-diagnostik hewan

g. Penyediaan kandang jepit untuk pengobatan massal hewan

h. Penyediaan timbangan untuk pengobatan massal hewan

i. Penyediaan backpack mistblower untuk pengendalian keong secara kimiawi j. Penyediaan app untuk tenaga pelaksana pengendalian keong secara kimiawi k. Penyediaan mesin paras untuk pengelolaan sawah yang dicetak atau diintensifikasi l. Pengadaan kendaraan sepeda motor operasional untuk mobilisasi petugas laboratorium m. Penguatan layanan kesehatan hewan melalui pembangunan Puskeswan di wilayah endemik

schistosomiasis Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian.

4.2.7. Peningkatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi yang Layak dan Berkelanjutan

Penyediaan air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan merupakan komponen penting dalam penurunan prevalensi schistosomiasis. Air merupakan medium pembawa serkaria dari cacing S. japonicum setelah keluar dari keong perantara. Hal ini membuat usaha untuk menghilangkan cacing ini dari air serta mencegahnya berkontak dengan manusia dan hewan sangat penting untuk dilakukan. Permasalahan utama berkaitan dengan air di daerah endemik schistosomiasis japonica adalah terbatasnya akses air bersih yang memenuhi kriteria 4K (kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan keterjangkauan) dan masih tingginya tingkat defekasi terbuka (praktek Buang Air Besar Sembarangan, khususnya di kalangan petani/peladang/ pekebun). Program penyediaan akses air minum dan sanitasi layak berkelanjutan bertujuan untuk segera menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan melakukan kegiatan- kegiatan berikut:

a. Pemicuan dan pasca pemicuan

b. Penyediaan akses air minum

c. Uji kualitas air

d. Penyediaan akses jamban sehat permanen

e. Penyediaan dan perawatan MCK di areal fokus Pemicuan dan pasca pemicuan dilakukan untuk mendorong perubahan perilaku menuju stop

buang air besar sembarangan, penggunaan air minum layak, dan kedisiplinan cuci tangan pakai sabun pada 5 waktu kritis. Pemicuan dan pasca pemicuan harus dilakukan sesuai standar dan petunjuk pelaksanaan yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan. Dalam konteks

36 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 36 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Penyediaan akses air minum dilakukan sehingga setiap rumah tangga memiliki sambungan rumah sesuai standar teknis pada Tahun 2018 dan 2019. Guna memenuhi standar tersebut, di desa-desa endemik ini, akses air minum dengan sambungan rumah dilakukan melalui sistem penyediaan air minum (SPAM) perdesaan yang dilengkapi dengan badan pengelola. Badan pengelola ini bertugas untuk mengoperasikan dan memelihara SPAM desa sehingga keberlanjutan layanan kepada masyarakat pengguna dapat diwujudkan. Sumber utama biaya operasi dan pemeliharaan SPAM ini adalah dari pengelolaan tarif layanan air minum oleh badan pengelola.

Pengembangan SPAM perdesaan dilakukan dengan pendekatan berbasis masyarakat maupun non berbasis masyarakat yang memungkinkan kolaborasi berbagai program dan sumber pendanaan untuk percepatan 100% akses air minum dan sanitasi skala desa.

Uji kualitas air dilakukan untuk memastikan/membuktikan bahwa air yang dikonsumsi penduduk layak, termasuk terbukti tidak tercemar oleh keong perantara ataupun serkaria. Uji kualitas air harus disiplin dilakukan di seluruh sarana air minum berikut sumber air-nya, baik pada saat pembangunan sarana maupun pada masa pengoperasian sarana. Untuk itu, penyesuaian terhadap prosedur uji kualitas air di desa-desa endemik ini harus dilakukan dan dilatihkan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten perlu memastikan kecukupan anggaran pelaksanaan uji kualitas air ini melalui APBD masing-masing.

Penyediaan akses jamban sehat permanen dilakukan secara bertahap selama 2018-2019 melalui pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Pada 2018 ditargetkan 85% penduduk memiliki akses terhadap jamban sehat permanen, dan sisanya (15%) dipenuhi pada 2019. Untuk percepatan penyediaan akses ini, insentif dari APBDesa dalam bentuk ‘sharing biaya’ pembangunan jamban sehat permanen dengan masyarakat menjadi salah satu cara yang perlu dilakukan. Sharing biaya tidak dianjurkan dalam bentuk pembagian dana tunai, melainkan melalui bantuan material ataupun kupon pembelian material di tempat-tempat yang telah menjadi mitra kegiatan percepatan jamban sehat ini, atau dapat juga dalam bentuk penggantian biaya setelah masyarakat selesai membangun jamban sehat permanen di rumahnya masing- masing.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Penyediaan dan perawatan MCK di areal fokus dilakukan untuk merespons situasi dimana fasilitas umum ini tidak tersedia di areal pertanian/perkebunan yang telah diidentifikasi sebagai fokus/habitat keong perantara. Menyadari bahwa sebagai fasilitas umum, fungsi perawatan harus dipastikan berjalan, maka peran desa untuk membiayai perawatan dan pengoperasian MCK ini sangat diharapkan pasca penyediaan MCK oleh Pemerintah Daerah.

4.2.8. Kampanye-Komunikasi Perubahan Perilaku

Sebagaimana dijabarkan dalam Faktor Kunci Keberhasilan, partisipasi masyarakat di setiap kegiatan dalam program eradikasi schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan hal yang sangat krusial. Semua program, kegiatan, dan infrastruktur yang dibuat akan sangat percuma jika tidak diiringi dengan partisipasi masyarakat yang aktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat, diperlukan strategi yang sesuai dengan konteks lokal sehingga kampanye- komunikasi perubahan perilaku (KIE) yang dilakukan mampu memupuk kesadaran dan menggerakkan masyarakat sebagai pelaku kunci upaya eradikasi schistosomiasis ini. Adapun rangkaian kegiatan dalam program KIE ini adalah:

a. Pengembangan Materi KIE

b. Distribusi Materi KIE dan Penempatan pada Media Lokal

c. Kegiatan Kader dalam Kampanye Eradikasi Schisto

d. Mini-loka Kader Kesehatan/Posyandu untuk Kampanye Eradikasi Schistosomiasis Strategi kampanye perubahan perilaku ini sendiri harus melibatkan semua sektor dan tidak

terbatas pada upaya pencegahan penyakit, namun juga termasuk pada kampanye pengelolaan penggembalaan ternak, pengelolaan lahan pertanian/perkebunan. Sehingga kampanye perubahan perilaku ini juga berkontribusi pada peningkatan produktivitas kegiatan pertanian/ peternakan di desa-desa endemik tersebut. Pengembangan konsep kampanye-komunikasi perubahan perilaku dalam upaya pemberdayaan masyarakat akan dilakukan Kementerian Kesehatan Bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

4.2.9. Koordinasi Kegiatan Terpadu

Koordinasi kegiatan terpadu dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi kemajuan pelaksanaan kegiatan secara intensif di semua tingkatan pemerintahan. Dukungan sistem/aplikasi pemantauan dan evaluasi akan dikembangkan guna memudahkan koordinasi upaya eradikasi schistosomiasis karena didukung data/informasi yang cepat dan terkini. Selain itu, koordinasi kegiatan terpadu juga dapat dilakukan dengan lebih efisien, karena informasi kemajuan pelaksanaan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis ini dapat diakses kapan saja dan darimana saja oleh setiap pelaku yang berkepentingan.

38 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

4.2.10. Keterpaduan Peran Lintas Sektor dan Setiap Jenjang Pemerintahan

Pembagian peran lintas sektor di setiap jenjang pemerintahan dalam upaya terpadu eradikasi schistosomiasis ini dikemukakan dalam Tabel 9 berikut. Peran yang dimaksud dalam table tersebut bersifat minimal, sehingga tetap dapat dikembangkan sesuai kebutuhan pelaksanaan.

Tabel 9. Peran Setiap Sektor dalam Upaya Terpadu Eradikasi Schistosomiasis

Lembaga

Peran

A. Pemerintah Pusat

• Kementerian PPN/ • Perumusan kebijakan perencanaan dan penganggaran nasional yang Bappenas

mendukung eradikasi schistosomiasis

• Kementerian Dalam • Perumusan pedoman penyusunan RKPD dan APBD (memastikan Negeri

roadmap terintegrasi ke dalam perencanaan dan penganggaran daerah) • Pemantauan progress capaian kinerja pemerintahan Kab.Poso, Kab.Sigi, dan Prov. Sulteng dalam upaya eradikasi schistosomiasis

• Kementerian • Pemantauan progress capaian eradikasi schistosomiasis Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

• Kementerian Desa, • Perumusan dukungan kebijakan dan pemantauan pemanfaatan dana Pembangunan Daerah

desa bagi kegiatan terpadu skala desa untuk percepatan eradikasi Tertinggal, dan

Schisto.

Transmigrasi • Kementerian Kesehatan • Penyediaan dan pemberian obat pencegahan massal Schistosomiasis

• Penyediaan sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian schistosomiasis termasuk penyemprotan moluskisida • Surveillans Schistosomiasis pada manusia dan keong • Penelitian mengenai schistosomiasis

• Kementerian Pekerjaan • Rehabilitasi irigasi primer

Umum dan Perumahan • Pembinaan, Pengawasan, dan Dukungan Penyediaan SPAM Perdesaan Rakyat

• Pembinaan, Pengawasan, dan Dukungan Penyediaan sarana sanitasi

dasar

• Kementerian Pertanian Pembinaan dan dukungan pelaksanaan

• Revitalisasi lahan tidur • Intensifikasi sawah • Pengobatan pada hewan

• Kementerian

Melalui Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu

Lingkungan Hidup dan • Intervensi agroengineering daerah buffer Taman Nasional (TN) Lore Kehutanan

Lindu

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lembaga

Peran

• Restorasi ekosistem pengendalian penyebaran keong • Pengamanan kawasan TN Lore Lindu

• Kementerian Kelautan Pembinaan dan dukungan pelaksanaan dan Perikanan

• Revitalisasi kolam ikan masyarakat • Pembuatan kolam

B. Pemerintah Daerah

• Provinsi • Menyiapkan kebijakan provinsi dan pelaksanaan kegiatan yang

mendukung pengendalian schistosomiasis • Gubernur :

- Menyiapkan kebijakan yang memastikan tersedianya tenaga dokter, analis, paramedis, serta dokter hewan dan paramedik veteriner dalam jumlah, kualifikasi, dan masa tugas yang sesuai di dataran tinggi Lindu, Napu, dan Bada

• Bappeda :

- Mereview kelayakan & kewajaran usulan kegiatan eradikasi schisto somiasis melalui penanganan ternak dan lokasi keong perantara, serta PHBS

• Dinas Kesehatan

- Membantu percepatan pemenuhan 100% akses air minum dan

sanitasi • Dinas Peternakan

- Menjamin ketersediaan obat Praziquantel untuk pengobatan hewan - Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan

pengelolaan ternak yang layak dan berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN

• Dinas Pertanian

- Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan terkait pertanian untuk penanganan lokasi keong perantara yang layak dan berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN

• Dinas Perkebunan

- Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan terkait perkebunan untuk penanganan lokasi keong perantara yang layak dan berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN

• Dinas Pekerjaan Umum

- Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan pengembangan infrastruktur bagi penanganan lokasi keong perantara yang layak dan berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN

- Membantu percepatan pemenuhan 100% akses air minum dan

sanitasi • Dinas Lingkungan Hidup

- Mengembalikan fungsi wilayah konservasi Taman Nasional Lore

Lindu yang berada pada desa-desa endemik

40 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lembaga

Peran

• Dinas Kelautan dan Perikanan - Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan

terkait perikanan yang berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN

• Kabupaten • Menyiapkan kebijakan kabupaten dan pelaksanaan kegiatan yang

mendukung pengendalian schistosomiasis • Bappeda

- Menerapkan kebijakan penanganan hewan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan dalam rangka eradikasi Schistosomiasis - Mereview kelayakan dan kewajaran usulan kegiatan eradikasi schistosomiasis melalui penanganan ternak dan lokasi keong perantara, serta PHBS

• Dinas Kesehatan

- Mendampingi dan menyediakan dukungan mentoring kegiatan

kampanye perubahan perilaku - Mempercepat pemenuhan 100% akses air minum dan sanitasi - Menjamin pembiayaan rujukan kasus klinis schistosomiasis (melalui

BPJS/Jamkesda) • Dinas Peternakan

- Mengalokasikan kegiatan pembinaan/pendukung pengelolaan

ternak penduduk • Dinas Pertanian/Perkebunan

- Mengalokasikan kegiatan pembinaan/pendukung pengelolaan lahan pertanian/perkebunan penduduk untuk penanganan habitat keong perantara/fokus

• Dinas Pekerjaan Umum

- Menyediakan/memelihara infrastruktur bagi penanganan lokasi keong perantara: drainase, irigasi, akses jalan, jaringan catchment area - Mempercepat pemenuhan 100% akses air minum dan sanitasi • Dinas Kelautan dan Perikanan

- Mengalokasikan kegiatan pembinaan/pendukung pengelolaan kegiatan perikanan yang sesuai untuk penanganan fokus • Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

- Mendampingi dan men-supervisi pemanfaatan dana desa/APBDesa

untuk mendukung eradikasi schistosomiasis • Badan Kepegawaian Daerah

- Mempercepat penyediaan/merekrut tenaga kesehatan, tenaga kesehatan hewan, tim lab-schisto, petugas lapangan dalam jumlah, kualifikasi, dan masa tugas yang sesuai

• Badan Pertanahan Nasional tingkat Kabupaten

- Memastikan status kepemilikan lahan fokus untuk kepastian

pelaksanaan modifikasi lingkungan

C. Desa

• Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan, deteksi dini,

pengobatan masal, pemeriksaan tinja • Berkoordinasi dan berkonsultasi dengan unsur dinas teknis kab dalam

pelaksanaan kegiatan eradikasi schistosomiasis

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lembaga

Peran

• Mengalokasikan kegiatan skala desa untuk air minum dan sanitasi

(jambanisasi, MCK, sanitasi lingkungan) • Mengalokasikan kegiatan yang dapat dibiayai Dana Desa/APBDesa yang sejalan dengan upaya penanganan lokasi keong perantara: - Pengelolaan sawah secara intensif dengan dukungan pengadaan/

perbaikan selokan, bendungan berskala kecil, embung, irigasi desa - Pencetakan lahan pertanian - Pengolahan, Pemeliharaan, dan Pengaktifan Kolam (kolam ikan,

pembenihan ikan air tawar) - Pengelolaan penggembalaan ternak (termasuk kandang ternak dan pengolahan limbah peternakan untuk energi biogas/pupuk) • Membina kegiatan kader melalui pelatihan dan dukungan

operasional kegiatan kader

D. Masyarakat

Berpartisipasi aktif dalam • Mencegah diri, keluarga, dan lingkungan dari penyakit schistosomia-

sis dengan cara: - Menggunakan alat pelindung diri ketika melintas focus positif - Menggunakan air minum/bersih perpipaan ataupun sumber air

minum aman/tidak tercemar - Tidak BABS dimanapun berada - Menggunakan jamban sehat yang dilengkapi septic tank aman - Aktif Cuci Tangan Pakai Sabun - Mengelola lahan/pekarangan agar tidak menjadi habitat keong

perantara - Mengelola ternak dan limbah ternak agar tidak menjadi media

penularan penyakit • Deteksi dini dengan cara rajin mencari informasi dan konsultasi dengan petugas kesehatan jika diri, keluarga, tetangga menunjukkan gejala terjangkit schistosomiasis

• Pengobatan masal • Pemeriksaan tinja

42 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

BAB 5

Program dan Kegiatan

Bagian ini akan mengemukakan seluruh program dan kegiatan dalam rangka eradikasi schisto- somiasis. Setiap kegiatan memiliki indikator dan target hasil yang terukur berdasarkan data baseline 2017. Estimasi biaya kegiatan per tahun disusun sesuai target hasil dan satuan biaya kegiatan. Satuan biaya kegiatan sangat dipengaruhi metodologi/cara kegiatan dilaksanakan, lokasi, waktu, serta regulasi/mekanisme yang berlaku. Sehingga, untuk penganggaran kegiatan per tahun, tetap diperlukan validasi kebutuhan biaya kegiatan untuk tahun berkenaan. Adapun penyesuaian target hasil setiap kegiatan dapat dilakukan tanpa mengurangi target yang ditetapkan Roadmap ini dan didukung rekomendasi dari hasil pemantauan dan evaluasi.

5.1. Program dan Kegiatan Terpadu

Program eradikasi schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan program kerja lintas sektoral yang melibatkan kementerian/lembaga berikut ini:

1. Kementerian Kesehatan,

2. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,

3. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,

4. Kementerian Pertanian,

5. Kementerian Kelautan dan Perikanan

6. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

7. Kementerian Pariwisata

8. Kementerian PPN/Bappenas

9. Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

10. Kementerian Dalam Negeri

11. Tentara Nasional Indonesia (TNI)

12. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)

13. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Beserta organisasi perangkat daerah yang menangani sektor-sektor tersebut. Dukungan TNI dan POLRI sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan dan pemantauan kegiatan di

lapangan. Terkait kepemilikan lahan yang kondisi/lingkungannya akan dimodifikasi, eradikasi schistosomiasis juga membutuhkan dukungan BPN dalam hal klarifikasi kepemilikan lahan dan mediasi pemanfaatan lahan. Selanjutnya, sektor pariwisata dibutuhkan untuk mempersiapkan desa-desa endemik yang memiliki potensi untuk mengembangkan obyek wisatanya secara bertahap, termasuk pembentukan citra/brand. Mengingat eradikasi schistosomiasis ini merupakan prioritas nasional, maka peran Kementerian Dalam Negeri sangat dibutuhkan untuk memastikan roadmap terintegrasi ke dalam perencanaan dan penganggaran daerah, serta

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Adapun program pokok eradikasi schistosomiasis ini sebagai berikut: pengobatan massal pada manusia, pengobatan massal pada hewan reservoir, pemberantasan keong hospes perantara melalui modifikasi lingkungan, sistem surveillans, peningkatan kapasitas teknis sumber daya manusia, peningkatan kapasitas laboratorium dan infrastruktur diagnosis, penyediaan akses air minum dan sanitasi layak berkelanjutan, kampanye-komunikasi perubahan perilaku, dan koordinasi lintas sektor.

5.2. Estimasi Kebutuhan Biaya dan Sumber Pembiayaan

Estimasi kebutuhan biaya program eradikasi schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah selama delapan tahun (2018-2025) setidaknya mencapai Rp 387 Milyar. Pada fase akselerasi (2018- 2019) tersebut dibutuhkan alokasi anggaran yang cukup besar untuk mendanai upaya pengendalian ternak dan keong perantara melalui modifikasi lingkungan dan percepatan penyediaan akses air minum dan sanitasi yang terintegrasi dengan pencegahan pencemaran air oleh serkaria, penanganan kotoran hewan reservoir, dan kampanye perubahan perilaku dan partisipasi masyarakat. Gambaran kebutuhan biaya kegiatan terpadu per tahun dapat dilihat pada Gambar 4.

Adapun sumber pembiayaan untuk kebutuhan ini terbagi atas dana masyarakat, APBDesa, APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN. Sumber pembiayaan melalui APBD Kabupaten dan/atau Provinsi termasuk Dana Alokasi Khusus untuk infrastruktur/fisik dan non fisik di bawah pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kementerian terkait, antara lain Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kesehatan. Gambaran proporsi pembiayaan tahunan dari setiap sumber pembiayaan dapat dilihat di Gambar 5. Rincian pendanaan setiap kegiatan dapat dilihat dalam Lampiran 2.

Gambar 4. Estimasi Kebutuhan Biaya (dalam Rp juta) Kegiatan Terpadu Eradikasi Schistosomiasis Per Tahun

44 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Gambar 5. Porsi Setiap Sumber Pembiayaan Terhadap Estimasi Kebutuhan Biaya Kegiatan Terpadu Eradikasi Schistosomiasis Per Tahun

Sepanjang periode upaya eradikasi, pembiayaan utama kegiatan terpadu bersumber dari APBD Kabupaten. Mulai 2020, estimasi kebutuhan biaya mengalami penurunan dan porsi pembiayaan APBN mengalami kenaikan. Kenaikan porsi ini pada periode 2020-2025 ditujukan untuk surveilans pada manusia, hewan, dan keong perantara, selain pemeliharaan dan perawatan sarana/prasarana dan kampanye perubahan perilaku dan peningkatan partisipasi masyarakat yang didanai dengan APBD Kabupaten.

Gambar 6. Porsi Kebutuhan Biaya (Estimasi) Kegiatan Terpadu Eradikasi Schistosomiasis Berdasarkan Kelompok Program Per Tahun

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

5.3. Matriks Program dan Kegiatan

Kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis disusun dalam matriks program dan kegiatan yang diharapkan memudahkan pengintegrasiannya ke dalam penyusunan rencana dan anggaran setiap lembaga/institusi. Adapun rincian kegiatan dan anggaran di setiap tingkatan wilayah berdasarkan tahun pelaksanaannya dapat dilihat di Lampiran 3.

46 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

BAB 6

Pemantauan dan Evaluasi

Pemantauan dan evaluasi terpadu dilakukan di setiap tingkatan berdasarkan data/informasi kemajuan capaian yang terukur, tepat waktu, dan transparan. Pembahasan data hasil pemantauan dan evaluasi ini menjadi salah satu agenda utama kegiatan koordinasi terpadu lintas sektor.

Kegiatan pemantauan dan evaluasi (Monev) merupakan salah satu elemen penting dalam proses untuk menilai sejauh mana kemajuan pelaksanaan dan pencapaian tujuan program eradikasi schistosomiasis di Sulawesi Tengah. Pemantuan dan evaluasi bertujuan untuk:

a. Menyediakan data/informasi progress kegiatan dan tingkat pencapaian target tahunan

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis secara real time atau sesuai periode yang ditetapkan

b. Mendukung proses koordinasi lintas sektor di berbagai tingkatan

c. Mendukung proses perbaikan program, penyesuaian target, dan alokasi dana, dan rancangan kebijakan pelaksanaannya

Kegiatan pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan Pemerintah Pusat dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen (SIM/Management Information System) berbasis data online dan offline yang akan dikembangkan untuk program eradikasi schistosomiasis.

6.1. Informasi Kunci Hasil Pemantauan dan Evaluasi

Berbagai informasi kunci akan dikumpulkan melalui SIM untuk diolah dan dianalisis guna menilai kemajuan dan capaian program. Informasi kunci tersebut meliputi :

a. Baseline, target, dan capaian tahunan untuk indikator prevalensi manusia, hewan, keong perantara, pada tingkat nasional/provinsi dan daerah (desa, kecamatan, kabupaten).

b. Daftar kegiatan per tahun berdasarkan tingkatan daerah (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi) dan berdasarkan pembagian sektor.

c. Status aktual (quick status) realisasi setiap kegiatan berdasarkan tingkatan daerah (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi), berdasarkan sumber dana, atau berdasarkan pembagian sektor (guna memantau status pelaksanaan kegiatan dalam roadmap).

d. Tingkat pencapaian target output dan realisasi anggaran setiap kegiatan (membandingkan antara rencana dan pelaksanaan).

e. Benchmarking desa/kecamatan/kabupaten berdasarkan capaian indikator prevalensi manusia, hewan, dan keong.

f. Benchmarking desa/kecamatan/kabupaten berdasarkan kemajuan pelaksanaan kegiatan.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

6.2. Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Terpadu

Kegiatan Monev dilakukan melalui mekanisme berikut ini: • Mengikuti mekanisme pemantauan dan evaluasi kinerja pemerintahan daerah dan nasional

yang berlaku • Menggunakan aplikasi yang didukung data online dan offline - Data offline dilakukan pada tingkat desa dan kecamatan - Data online dilakukan mulai tingkat kabupaten

• Database dan informasi dalam Sistem Informasi Manajemen dikembangkan berdasarkan data baseline dan matriks program dan kegiatan dalam roadmap • Sistem Informasi Manajemen terintegrasi dengan website schistosomiasis yang dikelola Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah (http://schisto.sultengprov.go.id/) dan website Kementerian Kesehatan.

6.3. Peran Institusi dalam Pemantauan dan Evaluasi Terpadu

Peran institusi dari tingkat desa sampai dengan Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi diilustrasikan dalam Gambar 7. Data yang harus dikumpulkan dalam rangka kegiatan Monev dan pelaksana/pengelola SIM di setiap tingkatan adalah sebagai berikut: • Desa: Kepala Desa (dibantu staf/perangkat desa yang ditugaskan) untuk menyediakan/

mengirimkan data kemajuan dan hasil kegiatan tingkat desa. • Kecamatan: Camat dan Kepala Puskesmas untuk data kemajuan dan hasil kegiatan yang dilaksanakan tingkat kecamatan dan Puskesmas • Kabupaten: - Dinas/Perangkat Daerah Kabupaten untuk data kemajuan dan hasil kegiatan yang dilaksanakan tingkat kabupaten - Manager Data Kabupaten untuk pengelolaan database: memastikan data terkumpul, valid, dan dapat digunakan • Provinsi: - Dinas/Perangkat Daerah Provinsi untuk data kemajuan dan hasil kegiatan yang dilaksanakan tingkat provinsi - Manager Data Provinsi untuk pengelolaan database dan analisis data yang dikumpulkan secara berjenjang dari tingkat desa-Kabupaten-Provisi - Web designer untuk pengelolaan sistem dan desain tampilan hasil analisis data • Pemerintah Pusat: - Kementerian Kesehatan merupakan leading sector pada pengendalian schistosomiasis termasuk dalam pemantauan dan evaluasi. - Kementerian PPN/Bappenas melakukan pemantauan dan evaluasi sektoral secara berkala. - Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap capaian kinerja

pemerintah daerah. - Kemenko PMK melakukan pengendalian pelaksanaan kegiatan secara tematik.

48 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Pv.C = preventive chemotherapy Gambar 7. Alur Kerja dan Peran Lintas Sektoral di Setiap Tingkatan Pemerintahan dalam Sistem Pemantauan dan Evaluasi

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi X. Jakarta: Kementerian Pertanian RI.

Garjito TA, Sudomo M, Dahlan MA, Nurwidayati A. 2008. Schistosomiasis in Indonesia: past and present. Parasitol. Int. 57: 277–280.

Gunawan G, Anastasia H, Risti R. 2014. Kontribusi hewan mamalia sapi, kerbau, kuda, babi dan anjing dalam penularan schistosomiasis di kecamatan lindu kabupaten sigi propinsi sulawesi tengah tahun 2013. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 24: 209–214.

Izhar A, Sinaga RM, Sudomo M, Wardiyo ND. 2002. Recent situation of schistosomiasis in Indo- nesia. Acta Trop. 82: 283–288.

Kajihara N, Hirayama K. 2011. The war against a regional disease in Japan: A history of the eradication of schistosomiasis japonica. Tropical Medicine and Health 39 (1) Suppl.: 3-44.

Palasi WA. 2017. Updates on the Progress of Elimination of Asian Schistosomiasis in the Phillipines. Presentation at the Expert Consultation to Accelerate Elimination of Asian Schistosomiasis, WHO-WPRO 22-23 May 2017 in Shanghai, PR China.

Putrali J, Dazo BC, Hardjawidjaja L, Sudomo M, Barodji A. 1980. A schistosomiasis pilot control project in Lindu valley, Central Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health 11: 480–486.

Rosmini, Jastal, Ningsih. 2016. Faktor resiko kejadian schistosomiasis di dataran tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Vektora 8(1): 1-6.

Satrija F, Beriajaya. 1998. The epidemiology and control of gastrointestinal nematodes of rumi- nants in Indonesia, with special reference of small ruminants in West Java. In Bio- logical Control of gastro-intestinal nematodes of ruminants using predacious fungi (FAO Animal Health and Production Paper 141). pp.66-71.

Satrija F, Ridwan Y, Jastal, Samarang, Rauf A. 2015. Current status of schistosomiasis in Indone- sia. Acta Tropica 141: 349–353.

50 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Sudomo M. 2000. Schistosomiasis control in Indonesia. Majalah Parasitol. Indones. 13: 1–10. Sudomo M, Pretty MDS. 2007. Schistosomiasis control in Indonesia. Bul. Penelitian Kesehatan

35: 36–45. WHO.2016. Schistosomiasis and other soil-transmitted helminthiases: number of people treated

in 2015. Geneva: World Health Organization (http://apps.who.int/iris/ bitstream/ 10665/251908/1/WER9149_50.pdf?ua=1).

WHO. 2017. Field Use of Molluscicdes in Schistosomiasis Control Programmes: An Operational Manual for Programme Managers. Geneva: World Health Organization (http:// apps.who.int/iris/bitstream/10665/254641/1/9789241511995-eng.pdf).

Xu J, Xu FJ, Li SZ, Zhang LJ, Wang Q, Zhu HH, Zhou XN. 2015. Integrated control programmes for schistosomiasis and other helminth infections in P.R. China. Acta Tropica 141: 332- 341.

Zhou XN, Wang LY, Chen MC, Wu XH, Jiang QW, Chen XY, Zheng J, Utzinger J. 2005. The public health significance and control of schistosomiasis in China-then and now. Acta Tropica

96: 97-105.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lampiran 1 Daftar Kegiatan Tahun 2018 dan Tahun 2019

Daftar Kegiatan Tahun 2018

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an .

Tahun 2018 ......................

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an .

Tahun 2018 ......................

54 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an .

Tahun 2018 ......................

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daftar Kegiatan Tahun 2019 yang Memuat Rencana DAK yang Kemungkinan Tidak/Kurang Teralokasi pada 2018

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjutan Daftar Kegiatan Tahun 2019 yang Memuat Rencana ......................

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjutan Daftar Kegiatan Tahun 2019 yang Memuat Rencana ......................

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Da ftar K

egia tan T ahun 2019

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 2

60 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lampiran 2

Daftar Kegiatan Tahun 2020 sd 2025

Daftar Kegiatan Tahun 2020

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 20

64 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daft ar K

egia tan T ahun 20

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 20

66 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daft ar K egia tan T ahun 20

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 20

68 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daft ar K egia tan T ahun 20

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 20

70 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daft ar K egia tan T ahun 20

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 20

72 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daft ar K

egia tan T ahun 20

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lanjut an T

ahun 20

74 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lampiran 3

Matriks kegiatan dengan rincian lokasi selengkapnya dalam soft

file Matriks Program 2018-2025

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Lampiran 4 PETA KEGIATAN TERPADU PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS 2018 - 2019

76 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia