Buku Roadmap Eradikasi Penyakit Demam Ke

Januari 2018

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Kata Sambutan

Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan merupakan salah satu arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan dan merupakan komitmen pada SDGs yang akan menjadi kebijakan dalam pembangunan kesehatan ke depan. Pada Tahun 2018 pengendalian penyakit tropis terabaikan khususnya schistosomiasis merupakan salah satu proyek prioritas pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Pengendalian schistosomiasis atau demam keong dilakukan di 28 desa endemis yang terletak di Kabupaten Poso dan Sigi. Upaya pengendalian penyakit ini telah berjalan selama 35 tahun terakhir dan memberikan pembelajaran bahwa eradikasi penyakit ini harus melalui pendekatan lintas sektor, kerjasama pusat-daerah, dan dilakukan secara serentak dengan lokasi di desa-desa endemis tersebut.

Dalam rangka mempercepat dan mensinergikan upaya eradikasi schistosomiasis, Kementerian PPN/ Bappenas bersama dengan Kementerian Kesehatan telah mengkoordinasikan penyusunan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rangkaian proses penyusunan roadmap eradikasi schistosomiasis ini meliputi pemetaan kegiatan strategis, pemetaan kebutuhan penganggaran (bersumber APBN, Dana Alokasi Khusus, dan APBD), dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 ini agar menjadi salah satu masukan penting pada proses perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, roadmap ini dapat menjadi acuan bagi setiap kementerian/lembaga terkait (Kementerian PPN/Bappenas, KemenkoPMK, Kemendagri, Kemkes, KemPU&PR, Kemtan, KLHK, KemendesPDTT, KKP, Kemenpar, Kementerian ATR/BPN, TNI, POLRI) dan pemerintah daerah utamanya bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso, dan Kabupaten Sigi untuk mengambil langkah-langkah penting dan perlu segera dilakukan dalam mendukung eradikasi schistosomiasis. Mari wujudkan Indonesia bebas schistosomiasis demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Jakarta, Januari 2018 MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia iii

Kata Pengantar

Saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih menjadi lokasi endemis Schistosomiasis atau penyakit demam keong. Penyakit yang disebabkan oleh cacing darah Schistosoma japonicum ini, pertama kali ditemukan di Lindu pada Tahun 1937, di Napu pada Tahun 1974, dan di Bada pada Tahun 2008. Schistosomiasis, yang hanya ada di 28 desa yang tersebar di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah ini, menyerang manusia serta berdampak buruk pada kesehatan dan produktivitas masyarakat. Penyakit ini dapat menyebabkan anemia, sehingga memicu kekerdilan (stunting) dan berkurangnya kemampuan belajar pada anak-anak. Pada orang dewasa, schistosomiasis kronis berakibat pada menurunnya kemampuan untuk bekerja dan jika tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan kematian. Cacing Schistosoma japonicum menular melalui keong perantara Oncomelania hupensis lindoensis dan mampu menginfeksi hewan mamalia, selain manusia, yang akan menjadi reservoir penularan.

Sampai dengan pertengahan 2017, tingkat kejadian penyakit pada manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak dalam upaya pencegahan resiko penyakit. Selain itu, kondisi ini juga dipengaruhi belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.

Pembelajaran penting dari upaya pengendalian Schistosomiasis di Indonesia selama kurang lebih 35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini merupakan cara yang tepat untuk menurunkan dan meniadakan schistosomiasis pada manusia, hewan, dan keong perantara. Dalam konteks tersebut, peran lintas sektor dan masyarakat desa mutlak diperlukan dalam mencegah penularan schistosomiasis melalui pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong perantara.

Dengan ditetapkannya eradikasi Schistosomiasis pada 2019, Kementerian Kesehatan menggagas penyusunan Peta Jalan (Roadmap) Eradikasi Schistosomiasis untuk menjadi acuan rencana aksi bersama lintas sektor, pusat-daerah, dan masyarakat.

Saya harapkan, Para Menteri, Pimpinan Lembaga, Gubernur, dan Bupati agar menggunakan Roadmap ini untuk memfokuskan seluruh kegiatan dan anggaran untuk mewujudkan komitmen bersama menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia.

Jakarta, Januari 2018 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

ttd

NILA FARID MOELOEK

Ringkasan Eksekutif

Schistosomiasis atau penyakit demam keong merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Disease). Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing darah Schistosoma japonicum ini telah mendera 28 desa endemik di dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih dari 80 tahun.

Sampai dengan pertengahan 2017, tingkat kejadian (prevalensi) penyakit pada manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak dalam upaya pencegahan resiko penyakit, dan belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.

Dengan komitmen Indonesia untuk mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustain- able Development Goals/SDGs) sebagaimana tertuang dalam Agenda 2030, maka schistoso- miasis menjadi salah satu penyakit yang akan dieradikasi di Indonesia.

Roadmap ini disusun sebagai rencana aksi bersama lintas sektor dan masyarakat dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Roadmap ini ditujukan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, dan evaluasi capaian tahunan bagi setiap institusi yang terlibat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa, sebagai wujud komitmen bersama mengentaskan schistoso- miasis di Indonesia.

Dalam Roadmap ini, pentahapan menuju eradikasi mengenal 3 (tiga) fase yaitu fase akselerasi (2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), dan fase verifikasi dan deklarasi eradikasi (2025). Setiap tahapan/fase memiliki target tertentu dan intervensi kunci. Target dan intervensi kunci di setiap fase ini selanjutnya menjadi panduan formulasi paket kegiatan tahunan berikut target hasil yang terukur.

Strategi eradikasi Schistosomiasis meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan, dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang mudah diakses bagi semua yang peduli dan terlibat.

Setiap kegiatan dalam program eradikasi schistosomiasis memiliki indikator dan target hasil yang terukur berdasarkan data baseline 2017. Estimasi biaya kegiatan per tahun disusun sesuai target hasil dan satuan biaya kegiatan. Satuan biaya kegiatan sangat dipengaruhi metodologi/ cara kegiatan dilaksanakan, lokasi, waktu, serta regulasi/mekanisme yang berlaku. Sehingga, untuk penganggaran kegiatan per tahun, tetap diperlukan validasi kebutuhan biaya kegiatan untuk tahun berkenaan. Penyesuaian target hasil setiap kegiatan dapat dilakukan tanpa mengurangi target yang ditetapkan Roadmap ini dan didukung rekomendasi dari hasil pemantauan dan evaluasi.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Daftar Singkatan

APBD Kab : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten APBD Prov

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

APB Desa

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

APBN

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Balai Litbang P2B2 : Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber

Binatang

Bappeda

: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Bappenas

: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BPMD

: Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

BPN

: Badan Pertanahan Nasional

Din. Pertanian

: Dinas Pertanian

Dinas PU/CK

: Dinas Pekerjaan Umum/Cipta Karya

Dinkes

: Dinas Kesehatan

Dinkeswan

: Dinas Kesehatan Hewan

Kemen PUPR : Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat Kemendesa & PDTT : Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Kemenkes

: Kementerian Kesehatan

Kementan

: Kementerian Pertanian

KLHK

: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kemenko PMK : Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan

OPT

: Organisme Pengganggu Tanaman

POLRI

: Polisi Republik Indonesia

Posyandu

: Pos Pelayanan Terpadu

Puskesmas

: Pusat Kesehatan Masyarakat

RAPBN

: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Renja

: Rencana Kerja

RKP

: Rencana Kerja Pemerintah

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional TNI

: Tentara Nasional Indonesia

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

BAB 1

Pendahuluan

Roadmap ini disusun sebagai rencana aksi bersama lintas sektor dan masyarakat yang merupakan pelaku kunci dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Roadmap ini ditujukan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi capaian tahunan bagi setiap institusi yang terlibat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa, sebagai wujud komitmen bersama mengentaskan schistosomiasis di Indonesia.

1.1. Latar Belakang

Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan merupakan salah satu arah kebijakan dalam RPJMN 2015-2019 termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan dan merupakan komitmen pada SDGs yang akan menjadi kebijakan dalam pembangunan kesehatan ke depan. Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan dan merupakan proyek prioritas nasional pada RKP 2018.

Data WHO menunjukkan pada tahun 2015, jumlah penduduk yang memerlukan pengobatan terhadap schistosomiasis akibat infeksi schistosomiasis mansoni, schistosomiasis hematobium, schistosomiasis japonicum dan tiga spesies Schistosoma lain adalah sebanyak 218,7 juta orang yang tersebar di 52 negara. Dari jumlah tersebut 118,5 juta merupakan anak usia sekolah dan sisanya (110.2 juta) adalah orang dewasa (WHO 2016). Di Asia, Schistosomiasis japonica masih ditemukan di tiga negara, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Filipina, dan Indonesia. Di antara ketiga negara tersebut, penyebaran penyakit paling luas ditemukan di RRT dengan jumlah penderita sebanyak 11,6 juta yang tersebar di 12 provinsi dan 454 county (setara kabupaten/ kota) (Zhou et al. 2005). Pada Tahun 2011, melalui program pengendalian intensif, jumlah penderita berhasil diturunkan menjadi kurang lebih 286,8 ribu dan 13 penderita akut (Xu et al. 2015). Di Filipina, penyebaran penyakit ini terjadi di 28 provinsi, 14 kota, dan 189 municipality dengan jumlah warga yang berisiko terinfeksi sebanyak 12 juta orang, termasuk 2,5 juta diantaranya mengalami paparan langsung (Palasi 2017). Belajar dari pengalaman Jepang yang berhasil memberantas penyakit ini pada Tahun 1996, eradikasi schistosomiasis adalah sesuatu yang bisa dicapai, dan tetap harus didukung kegiatan surveilans guna memastikan schistoso- miasis japonica tidak muncul kembali di bekas wilayah endemic (Kajihara and Hirayama 2011).

Di Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh cacing darah Schistosoma japonicum (cacing darah yang pertama sekali teridentifikasi di Jepang pada 1903) pertama kali ditemukan di Lindu pada Tahun 1937, di Napu pada Tahun 1974, dan di Bada pada Tahun 2008. Schistosomiasis menyerang manusia serta berdampak buruk pada ekonomi dan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya anemia pada penderita penyakit ini sehingga memicu kekerdilan (stunting) dan berkurangnya kemampuan belajar khususnya pada anak-anak. Selain itu, schistosomiasis kronis berakibat menurunnya kemampuan orang untuk bekerja dan dalam beberapa kasus mengakibatkan kematian. Cacing Schistosoma japonicum menular melalui keong perantara

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Oncomelania hupensis lindoensis dan mampu menginfeksi hewan mamalia yang akan menjadi reservoir bagi infeksi pada manusia.

Di Indonesia penyakit Schistosomiasis Japonicum hanya terdapat di dataran tinggi Bada, Napu, dan Lindu di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyakit Schistosomiasis terdapat di 28 desa yang tersebar di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk eradikasi penyakit ini Tahun 2019 dan mempertahankannya sehingga Indonesia dapat mendeklarasikan eradikasi schistosomiasis secara internasional pada Tahun 2025.

Gambar 1. Lokasi Area Endemik Schistosomiasis Japonicum di Provinsi Sulawesi Tengah

Pembelajaran penting dari upaya pengendalian penyakit ini di Bada, Napu, Lindu Provinsi Sulawesi Tengah selama kurang lebih 35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan masyarakat untuk menurunkan dan selanjutnya meniadakan infeksi parasit pada manusia, hewan, dan keong perantara. Dalam konteks tersebut, peran lintas sektor dan masyarakat desa mutlak diperlukan terutama dalam pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong perantara.

2 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

1.2. Tujuan Penyusunan Roadmap

Peta jalan (roadmap) ini ditujukan untuk memandu arah dan fokus upaya terpadu lintas sektor menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia. Roadmap yang memuat baseline/kondisi terkini desa-desa endemik, pentahapan, target setiap tahapan, dan intervensi kunci di setiap tahapan ini, dilengkapi dengan matriks program dan kegiatan untuk periode 2018-2025 serta mekanisme pemantauan dan evaluasi kemajuan implementasi. Roadmap ini selanjutnya menjadi acuan bersama lintas-sektor dan pusat-daerah dalam perencanaan, penganggaran, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan tahunan guna mendukung pencapaian target yang ditetapkan di setiap tahapan menuju eradikasi schistosomiasis.

1.3. Proses Penyusunan Roadmap

Penyusunan roadmap eradikasi schistosomiasis di Indonesia ini melalui serangkaian kegiatan sebagai berikut:

1. Kunjungan lapangan ke desa endemik untuk mengkonfirmasi kondisi terkini atas:

a. Prevalensi pada manusia dan hewan.

b. Populasi dan perilaku manusia dan hewan reservoir

c. Akses air minum dan sanitasi layak serta perilaku hidup sehat dan higienis.

d. Distribusi habitat keong.

e. Pola pertanian dan peternakan masyarakat.

f. Tingkat partisipasi masyarakat.

g. Kebutuhan peningkatan kapasitas teknis dan pengelolaan program pengendalian Schis- tosomiasis di tingkat desa, Puskesmas, kabupaten, dan provinsi.

h. Kemajuan dan tantangan pelaksanaan program pengendalian Schistosomiasis. Kegiatan yang berlangsung pada 3-7 Juli 2017 ini menghasilkan data/informasi tingkat desa/

area bagi perumusan baseline/kondisi terkini. Temuan hasil lapangan ini selanjutnya telah dibahas dengan Pemerintah Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi, dan Provinsi Sulawesi Tengah pada 20-21 Juli 2017.

2. Focus Group Discussion (FGD) dengan Tim Terpadu Provinsi untuk identifikasi rencana kegiatan daerah (Provinsi dan Kabupaten) terkait Schistosomiasis. Kegiatan ini dilaksanakan pada 7 Juli 2017 bertempat di Kantor Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah. Pertemuan tersebut termasuk membahas rencana aksi pengendalian schistosomiasis lintas sektor untuk Tahun 2018 dan 2019 dengan titik berat upaya penanganan habitat tempat hidup (fokus) keong hasil pemetaan ulang oleh Balai Litbang P2B2 Donggala. Selanjutnya, dilakukan review terhadap daftar kegiatan yang diusulkan dalam rencana aksi tersebut, khususnya terhadap indikator hasil dan target output setiap usulan kegiatan yang digunakan dalam menyusun rancangan strategi dan program eradikasi schistosomiasis pada Roadmap.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

3. Studi banding pengendalian schistosomiasis di Cina yang dilaksanakan pada 30 Juli – 5 Agustus 2017, diikuti 20 peserta yang merupakan para pengambil kebijakan dan pengelola program dari pemerintah pusat dan daerah. Dari pemerintah pusat diikuti perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Bappenas, serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Dari pemerintah provinsi diikuti Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Pertanian. Sedangkan dari pemerintah kabupaten diikuti Bupati Poso, Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Peternakan. Hasil yang diperoleh antara lain: pembelajaran bagaimana pendekatan, strategi, dan contoh program yang dilaksanakan untuk mengeliminasi schistosmiasis, pemahaman tentang peran masing- masing sektor yang mempengaruhi keberhasilan eliminasi di Cina, dan gagasan pengembangan program setelah melihat langsung model intervensi lingkungan terintegrasi di salah satu lokasi endemis.

4. Workshop Konsultasi Rancangan Roadmap dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Workshop yang dilaksanakan pada 20-21 Juli 2017 ini menghasilkan konfirmasi baseline, target prevalensi, dan klarifikasi kegiatan bersama lintas sektor di tingkat kabupaten dan provinsi. Hasil yang diperoleh melalui work- shop tersebut selanjutnya digunakan dalam finalisasi matriks program, kegiatan, target out- put, dan perkiraan anggaran untuk setiap lokasi (desa, kecamatan, area, kabupaten, dan provinsi) berikut indikasi sumber pembiayaannya.

5. Konsultasi matriks program dengan Kementerian/Lembaga terkait. Konsultasi yang dilaksanakan pada 22 dan 23 Agustus 2017 ini ditujukan untuk mendapatkan masukan atas rancangan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis dan menyediakan informasi yang dibutuhkan sektor terkait dalam merumuskan dukungan tindak lanjut untuk akselerasi implementasi mulai Tahun 2018. Konsultasi difokuskan pada kegiatan pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong perantara serta kegiatan pemberdayaan masyarakat dan desa.

Hasil konsultasi kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini telah digunakan untuk (a) menyempurnakan substansi program dan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis, (b) memperjelas alternatif/opsi sumber pembiayaan yang sesuai untuk kegiatan dimaksud, (c) mengidentifikasi kebutuhan kebijakan pendukung pelaksanaan kegiatan.

6 Koordinasi lintas sektor di tingkat pusat dan daerah dengan melibatkan Kementerian PPN/ Bappenas. Serial pertemuan dilaksanakan dengan melibatkan K/L terkait dan pemerintah daerah untuk koordinasi dan konfirmasi dukungan APBN dan DAK, serta APBD dalam pengendalian schistosomiasis.

4 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

1.4. Kedudukan Roadmap dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran di Tingkat

Pusat dan Daerah

Roadmap ini merupakan salah satu referensi dalam proses perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Keterkaitan roadmap dalam konstelasi kebijakan perencanaan dan penganggaran pusat dan daerah (secara tahunan) digambarkan pada Gambar

2 berikut ini.

Keterangan :

menjadi acuan sebagai salah satu masukan

Gambar 2. Bagan Kedudukan Roadmap dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah

Keterkaitan roadmap dengan perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah adalah sebagai berikut:

1. Roadmap menjadi salah satu masukan bagi proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran dan masukan bagi program dan kegiatan yang akan dilaksanakan setiap institusi yang terlibat, dan setiap tingkatan pemerintahan dalam pengembangan program dan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis.

2. Roadmap berperan sebagai instrument sinkronisasi program dan kegiatan lintas sektor dari

berbagai sumber pembiayaan untuk pencapaian target tahunan yang telah ditetapkan.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

3. Estimasi biaya dalam roadmap bersifat indikatif yang harus disesuaikan/divalidasi setiap tahun.

4. Penyesuaian terhadap program dan kegiatan dan/atau target kinerja kegiatan dalam Roadmap dapat dilakukan sesuai rekomendasi yang dihasilkan pemantauan dan evaluasi terpadu.

6 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

BAB 2

Kondisi Saat Ini, Tantangan, dan Peluang Eradikasi Schistosomiasis

Sampai dengan medio 2017, tingkat kejadian penyakit pada manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak dalam upaya pencegahan resiko penyakit, dan belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.

2.1. Kondisi Terkini Lokasi Endemik

2.1.1. Prevalensi pada Manusia, Hewan, dan Keong Perantara

Lokasi endemik schistosomiasis japonica tersebar di 28 desa dengan total penduduk rentan terinfeksi (berumur diatas 2 tahun) mencapai 28.451 jiwa dan total hewan ternak besar rentan terinfeksi sebanyak 3.809 ekor. Dari 28 desa endemik tersebut, 23 diantaranya berada di Kabupaten Poso yang tersebar di 5 kecamatan, dan 5 desa lainnya berada di Kabupaten Sigi yang terkonsentrasi di Kecamatan Lindu. Sebanyak 21 dari 28 desa ini merupakan desa penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), suatu kawasan konservasi penting karena berfungsi sebagai salah satu cagar biosfer dunia dan juga menjadi tujuan wisata. Penyebaran penyakit yang hanya terbatas di 28 desa ini disebabkan oleh terbatasnya sebaran keong perantara yaitu keong Oncomelania hupensis lindoensis.

Dalam lima tahun terakhir, prevalensi schistosomiasis pada manusia mengalami fluktuasi (Tabel 1). Prevalensi tertinggi di ketiga wilayah endemik tercatat pada tahun 2015. Prevalensi tersebut menurun kembali setelah dilaksanakan pengobatan massal dengan praziquantel, dimana penurunan prevalensi di Bada dan Napu cenderung lebih besar dibandingkan Lindu. Terjadinya fluktuasi prevalensi infeksi meskipun program pengobatan terus dilakukan menandakan ada reinfeksi akibat siklus penularan yang terus berlangsung pada manusia, hewan dan keong perantara.

Tabel 1 . Rata-rata Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia

Wilayah Jumlah Desa Jumlah Penduduk Rataan Prevalensi (%)

2015 2016 2017 Bada

Rentan (jiwa)

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dan Hasil Olah Data Puskesmas

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Prevalensi pada manusia Tahun 2017 di masing-masing desa endemik ditampilkan Tabel 2 berikut. Data tersebut menunjukkan bahwa Desa Dodolo (dataran tinggi Napu) dan Desa Puroo (dataran tinggi Lindu) memiliki prevalensi di atas 2%. Desa-desa yang prevalensi-nya masih di atas 1% berjumlah 5 desa yaitu Desa Tamadue (Dataran tinggi Napu), Tomehipi (Dataran tinggi Bada), Winowanga (dataran tinggi Napu), Banyusari (dataran tinggi Napu), dan Sedoa (dataran tinggi Napu). Di samping itu terdapat 10 desa lainnya dengan prevalensi kurang dari 1%., serta

3 desa di dataran tinggi Napu yang prevalensinya 0% yaitu Wuasa, Siliwanga, dan Betue.

Tabel 2. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017

Prevalensi (%) Lindu

Area

Desa

Total Populasi

Populasi Berisiko

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dan Hasil Olah Data Puskesmas

Data schistosomiasis pada pada hewan reservoir dan keong perantara masih sangat terbatas karena terkendala pembiayaan untuk surveilans terhadap hewan dan keong perantara ini. Studi schistosomiasis pada hewan di Dataran tinggi Lindu pada tahun 2013 menunjukan prevalensi yang tinggi (24.66%) pada berbagai hewan. Berdasarkan jenis hewan, prevalensi tertinggi

8 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 8 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Prevalensi infeksi Schistosoma pada keong O. hupensis lindoensis memiliki kisaran sangat lebar antar fokus dengan prevalensi terendah 0.4 % dan tertinggi 40.7% yang ditemukan di wilayah Napu (Tabel 4). Prevalensi tertinggi infeksi keong perantara di wilayah Lindu dan Banda tercatat masing-masing 14.5 dan 22.9%.

Tabel 3. Prevalensi Schistosomiasis pada Hewan ReservoirTahun 2013 di Dataran tinggi Lindu

Jenis Hewan

Prevalensi (%) Kerbau

Jumlah Sample

Jumlah Positif

Sumber: Gunawan et al. (2014)

Tabel 4. Prevalensi Schistosomiasis pada Hewan Ternak Besar dan Keong

Perantara Tahun 2016

Wilayah

Jumlah ternak

Prevalensi

Prevalensi Keong besar (ekor) 1 Hewan (%) 2 (%) 3

Sumber: 1 Dinas PKH Kab. Sigi dan Dinas Pertanian Kab. Poso; 2 Fakultas Kedokteran Hewan IPB

dan Dinas PKH Provinsi Sulteng (2016); 3 Balai Litbang P2B2 Donggala (2017)

2.1.2. Populasi dan Perilaku Manusia dan Hewan Reservoir

Populasi manusia dan hewan reservoir di ketiga wilayah endemik schistosomiasis memiliki perilaku yang tipikal dan menjadi salah satu faktor terjadinya schistosomiasis di wilayah ini. Mayoritas penduduk di ketiga wilayah endemik memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, atau pekerja kebun. Komoditas pertanian utama yang ditanam adalah padi. Penanaman padi dilakukan menggunakan sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan ladang berpindah. Sawah-sawah ini, khususnya yang menggunakan ladang berpindah, terkadang tidak

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Komoditas peternakan utama yang dikembangkan adalah babi, kerbau, dan sapi potong. Hasil utama usaha peternakan ini adalah daging untuk konsumsi sehari-hari dan upacara adat. Adapun metode pemeliharaan yang digunakan adalah penggembalaan bebas dan terikat ternak untuk kerbau dan sapi. Ternak babi umumnya dipelihara dalam kandang, meskipun terdapat sejumlah kecil yang dipelihara dengan diumbar atau diikat dengan tali di halaman. Penggembalaan bebas merupakan salah satu faktor risiko terpaparnya hewan terhadap fokus keong perantara. Hal ini memicu terjadinya kontaminasi telur S. japonicum dari ternak terinfeksi ke fokus dan sebaliknya yaitu cercaria S. japonicum dari fokus keong perantara ke ternak. Penggembalaan terikat juga berpotensi membuat ternak terpapar infeksi karena area gembala tidak dapat dipastikan bebas dari fokus keong perantara serta rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap risiko ternak mereka sebagai hewan reservoir S. japonicum.

Komoditas perkebunan utama yang ditanam di daerah ini adalah cokelat dan kopi. Perkebunan coklat dan kopi umumnya terletak di daerah lereng dataran tinggi dan merupakan daerah yang banyak dialiri aliran-aliran kecil air dari dataran yang lebih tinggi. Aliran air ini seringkali tertutup oleh daun-daun yang gugur dari tanaman kebun dan mengalami pendangkalan sehingga menjadi situs potensial bagi berkembanganya fokus keong perantara O. hupensis. Dengan aktivitas masyarakat yang cukup intensif di lahan pertanian, maka risiko terpaparnya masyarakat dengan fokus keong perantara yang berpotensi mengandung cercaria S. japonicum cukup besar.

Mayoritas masyarakat di ketiga wilayah endemik telah memiliki jamban sehat permanen dan semi-permanen di rumah mereka. Namun, terdapat kebiasaan mereka untuk pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu cukup lama (1 – 2 minggu) untuk mengelola ladang pertanian mereka yang terkadang terletak cukup jauh dari rumah. Hal ini mengurangi akses masyarakat terhadap jamban sehat mengingat tidak tersedianya fasilitas tersebut di ladang mereka. Ketiadaan akses ini memicu terjadinya defekasi terbuka di ladang yang berisiko terjadinya kontaminasi telur S. japonicum dari individu terinfeksi ke fokus yang ada di ladang; Sebaliknya dapat pula terjadi infeksi cercaria S. japonicum dari fokus keong perantara tersebut ke individu lainnya.

Hasil pengamatan ini menguatkan temuan dari Rosmini et al. (2016) pada masyarakat Dataran tinggi Bada yang menunjukan bahwa perilaku positif dengan membuang air besar di jamban keluarga dan menggunakan alat pelindung diri bila ke daerah fokus menurunkan secara signifikan kejadian schistosomiasis. Sebaliknya tingkat kejadian schistosomiasis semakin tinggi pada masyarakat semakin sering mandi/mencuci di sungai serta menggunakan mata air sebagai sumber air.

2.1.3. Distribusi Habitat (Fokus) Keong Perantara

Habitat (fokus) keong perantara O. hupensis dapat berkembang di area yang tergenang air tenang, dangkal (kedalaman <0.5 meter), dan dikelilingi banyak vegetasi yang mencegah

10 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 10 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Dataran tinggi Bada sebanyak 26 fokus. Luas fokus bervariasi antara 187 m 2 hingga 487.546 m 2 . Adapun distribusi fokus keong perantara setiap desa dijelaskan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017

Luas Fokus (m 2 ) Lindu

Area

Desa

Jumlah Fokus

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

2.1.4. Penggunaan Air Minum dan Sanitasi Layak serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Populasi penduduk pada 28 desa endemik berjumlah 7,194 Kepala Keluarga (KK). Berdasarkan data Program Pamsimas (www.pamsimas.org), sampai dengan Juli 2017, cakupan penduduk yang telah memiliki akses terhadap air minum yang layak baru mencapai 67% (4,804 KK) dengan cakupan terendah di Desa Tamadue (9%). Akses air minum ini belum semuanya melalui sambungan rumah (SR) sehingga menjadi salah satu tantangan dalam keberlanjutan layanan. Selanjutnya berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (www.stbm-indonesia.org), sampai dengan Juli 2017, cakupan penduduk yang telah memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak baru mencapai 29% dengan cakupan terendah di Desa Olu (5%). Praktek Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) baru mencakup sekitar 58% penduduk.

Praktek Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di kalangan petani/peladang/peternak di tempat bekerja, meskipun di rumahnya sudah ada jamban sehat, serta praktek BABS di kalangan masyarakat pada umumnya, menjadi tantangan tersendiri bagi para sanitarian, bidan desa, kader, dan para natural leader di desa-desa endemik. Terlebih ketika ketika proses pemicuan dan pasca pemicuan untuk membebaskan warga desa dari praktek BABS ini dihadapkan pada:

1. Variasi kapasitas para sanitarian dalam melakukan pemicuan dan pasca pemicuan yang terintegrasi dengan kampanye eradikasi schisto

2. Keterbatasan/ketiadaan alat bantu/media pendukung

3. Keterbatasan dukungan pendanaan dalam menjangkau masyarakat desa

4. Ketiadaan fasilitas jamban sehat permanen dan sarana CTPS di areal pertanian/perkebunan peternakan yang teridentifikasi sebagai habitat keong perantara.

Tinjauan terhadap sumber air yang digunakan penduduk menemukan bahwa tidak ada pemantauan kualitas air yang dilakukan secara berkala/reguler terhadap sumber-sumber air minum di desa-desa endemik. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengamanan sumber air di desa-desa ini masih lemah dan meningkatkan resiko penularan penyakit schistosomiasis.

Menyadari bahwa penularan penyakit ini adalah melalui air yang tercemar oleh tinja manusia dan hewan yang mengandung serkaria, maka untuk memutus rantai penularan, seluruh penduduk harus memiliki akses terhadap air minum yang aman, harus menggunakan jamban sehat permanen dimanapun berada, dan menerapkan Cuci Tangan Pakai Sabun, terutama pada

5 waktu kritis. Sumber air yang digunakan harus dapat dipastikan tidak mengandung keong perantara ataupun serkaria yang dibuktikan dari hasil uji kualitas air dan pemeriksaan laboratorium.

Sejalan dengan agenda Universal Akses Air Minum dan Sanitasi yang ditargetkan terwujud pada Tahun 2019, pemenuhan akses air minum dan sanitasi perdesaan yang layak dan berkelanjutan di 28 desa endemik ini perlu diprioritaskan sehingga dapat dituntaskan selambat-lambatnya pada 2019. Baseline jumlah penduduk dengan akses air minum dan sanitasi yang layak dan

12 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia 12 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

2.1.5. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan eradikasi suatu penyakit. Partisipasi masyarakat yang diperkuat dengan edukasi dan informasi yang tepat, jelas, menarik, dan mudah dipahami akan memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam pencegahan, deteksi cepat penyakit, dan kesigapan melapor ke Puskesmas.

Saat ini pemahaman masyarakat tentang penularan schistosomiasis masih terbatas, bahwa penularan hanya melalui tinja manusia dan keong. Belum banyak masyarakat bahkan tim Puskesmas yang paham bahwa penularannya juga melalui tinja hewan ternak/peliharaan. Masyarakat mengakui bahwa pengumpulan tinja terhambat oleh perasaan jijik dan bosan karena masyarakat berusia di atas 5 tahun tetap harus minum obat dua kali setahun meskipun telah melakukan pemeriksaan tinja. Perasaan bosan dan tidak nyaman juga menjadi salah satu alasan rendahnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) oleh masyarakat dan anak-anak ketika berada/ melintas di area fokus keong perantara. Minimnya edukasi dan advokasi bagi masyarakat telah menjadi salah satu penghalang bagi masyarakat untuk mau mengelola lahannya supaya tidak menjadi habitat keong perantara dan mau mengelola ternaknya supaya tidak menjadi hewan reservoir.

Edukasi dan advokasi bagi masyarakat yang ada saat ini perlu diperkuat dengan materi dan metoda komunikasi/kampanye pencegahan schistosomiasis yang terpadu dan menyeluruh pada manusia, hewan, dan keong perantara. Pilihan bentuk media komunikasi dan penempatannya juga perlu ditinjau kembali agar mampu menjangkau masyarakat sasaran dengan efektif dan tepat waktu.

2.2. Peran Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Schistosomiasis

Di tingkat desa, Kepala Desa/Pemerintah Desa berkomitmen untuk berperan dalam melindungi seluruh warganya dari ancaman penyakit ini. Informasi tentang bagaimana pencegahan penyakit ini pada manusia, hewan, dan keong perantara diperlukan oleh Pemerintah Desa untuk dapat mendukung upaya eradikasi schistosomiasis ini sesuai kewenangan dan kebutuhan desa. Tinjauan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa), saat ini desa-desa memiliki sejumlah kegiatan yang dapat disinergikan dengan upaya pencegahan Schistosomia- sis, seperti kegiatan air bersih dan penyediaan jamban sehat, pembangunan saluran air di a- real pertanian, dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan kader. Tinjauan terhadap APB Desa di desa-desa Lindu menunjukkan rata-rata porsi biaya kegiatan APB Desa yang juga dapat digunakan untuk upaya eradikasi Schistosomiasis mencapai 12% pada 2016 dan 14% pada 2017, atau rata-rata berkisar antara 123 juta sd 166 juta. Data ini menunjukkan potensi pembiayaan APB Desa untuk kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Di tingkat kecamatan, belum tersedia forum/media koordinasi untuk memastikan adanya koordinasi kegiatan lintas sektor yang dilaksanakan Puskesmas, laboratorium, unit pelaksana dinas terkait, dan Pemerintah Desa. Di tingkat kabupaten, diperlukan tim koordinasi lintas sektor dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring hasil kegiatan terpadu eradikasi schistoso- miasis. Selain itu, diperlukan dukungan dari Peraturan Bupati Poso dan Bupati Sigi perihal Pemanfaatan Dana Desa untuk memperkuat prioritas pemanfaatan dana desa di desa-desa endemik bagi kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk percepatan eradikasi Schistosomiasis.

Di tingkat provinsi, komitmen yang kuat pada pengendalian schistosomiasis ditunjukkan oleh terbentuknya tim terpadu. Namun, tim tersebut memerlukan dukungan sebagai berikut:

1. Sistem pemantauan dan evaluasi kegiatan terpadu eradikasi Schistosomiasis yang dilengkapi sistem data dan informasi yang accessible bagi semua pihak.

2. Tim advisory pengelolaan program dan kegiatan terpadu eradikasi Schistosomiasis.

2.3. Pelajaran Penting dari Pengalaman dalam Pengendalian Schistosomiasis

Upaya pengendalian schistosomiasis di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 1975 dengan berbagai kegiatan penelitian dan pengendalian, diantaranya melalui pilot control project Schis- tosomiasis di dataran tinggi Lindu dan Napu yang diinisiasi oleh Balai P2B2 Litbangkes. Kegiatan ini berhasil menurunkan secara signifikan prevalensi infeksi pada penduduk dari 75% menjadi 25%. Pada tahun 1982, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, melaksanakan program pengendalian schis- tosomiasis yang lebih terkoordinasi dan intensif. Program ini dibagi menjadi lima tahap masing- masing 3-5 tahun (Sudomo, 2000; Izhar et al., 2002). Program pengendalian pada tahap pertama (1982-1986), meliputi pengobatan massal (Mass Drugs Administration) dengan praziquantel, survei tinja, tikus dan keong, serta didukung penyediaan air bersih dan jamban. Sambutan dan partisipasi masyarakat terhadap berbagai program pengendalian sangat baik selama tahap ini, sehingga prevalensi schistosomiasis menurun secara signifikan dari 33.8% menjadi 1.2%.

Strategi pengendalian yang diterapkan pada tahap kedua (1986-1990) meliputi pengobatan selektif, praktik pertanian intensif untuk menghilangkan fokus keong, relokasi penduduk lokal dari daerah endemik ke daerah non-endemik dan mobilisasi organisasi PKK untuk mendukung pencegahan dan pengendalian penyakit di tengah masyarakat. Dalam tahap ini kerjasama lintas sektor mulai dilaksanakan dengan melibatkan Departemen Pertanian, Transmigrasi dan Sosial. Pendekatan antar sektor ini diperkuat pada tahap program pengendalian tahan ketiga (1990- 1993) dan keempat (1993-1998) program dimana koordinator pelaksanaan program dialihkan dari sektor kesehatan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Tengah. Pada akhir fase keempat, rata-rata prevalensi tingkat desa berkisar antara 0.7% sampai 0.8% di dataran tinggi Napu dan 0.4% sampai 0.7% di dataran tinggi Lindu (Izhar et al., 2002; Garjito et al., 2008).

14 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Selanjutnya selama 7 tahun (1999-2005), program pengendalian schistosomiasis mendapat dukungan pendanaan dari ADB (Asian Development Bank) - loan melalui Central Sulawesi Inte- grated Area Development and Conservation Project (CSIADC-P) yang bertujuan memperbaiki kondisi sosio-ekonomi daerah endemik schistosomiasis, serta melindungi Taman Nasional Napu- Besoa, yang terletak di antara Dataran tinggi Lindu dan Napu. Strategi pengendalian yang diterapkan pada program ini adalah pemetaan habitat keong, survei hewan reservoir, modifikasi lingkungan melalui rekayasa pertanian, partisipasi masyarakat, penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi, serta pendidikan kesehatan untuk masyarakat yang terkena dampak (Izhar et al., 2002; Garjito et al. , 2008). Berdasarkan pengamatan dengan survei tinja dan keong yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, prevalensi schistosomiasis manusia di dataran tinggi Napu menurun dari 1.2% (2001) menjadi 1.0% (2004), sedangkan prevalensi di dataran tinggi Lindu berfluktuasi pada tingkat rendah (0.2-0.6%). Tingkat infeksi keong selama periode ini juga menurun dari 7.7% menjadi 2.4% di dataran tinggi Napu dan dari 1.79% sampai 1.1% di dataran tinggi Lindu (Sudomo dan Pretty, 2007).

Berakhirnya Proyek CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conserva- tion Project) menyebabkan ketersediaan dana dan sumber daya manusia untuk pelaksanaan program pengendalian schistosomiasis di Sulawesi Tengah menurun secara signifikan. Kondisi ini berdampak pada melemahnya pelaksanaan berbagai kegiatan pengendalian dan surveilan (Garjito et al. 2008). Hal ini ditandai antara lain dengan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam survei tinja dan coverage dari pengobatan massal (WHO Technical Support Mission 2017). Prevalensi schistomiasis yang telah berhasil ditekan ke tingkat rendah pada akhir periode CSIADCP menyebabkan kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap penyakit ini cenderung menurun karena sudah tidak lagi menjadi masalah. Imbas dari situasi tersebut adalah terjadinya peningkatan kembali prevalensi infeksi pada periode 2008-2010 (Satrija et al. 2015).

Dalam upaya mengintensifkan kembali program pengendalian dan menuntaskan penyelesain masalah schistosomiasis melalui pendekatan lintas sektor dibentuk Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis Provinsi Sulawesi Tengah dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No.443.2/201/DINKESDA-GST/2012 yang kemudian terakhir diperbaharui dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No.440/271/BAPPEDA-G.ST/2017 tentang Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2016-2021. Tim yang diketuai oleh Kepala Bappeda Provinsi beranggotakan dinas-dinas lintas sektor Provinsi, Kabupaten Sigi, Kabupaten Poso, DPRD Kabupaten Sigi, DPRD Kabupaten Poso, sejumlah pakar, Camat, Kepala Puskesmas, dan Kepala Desa dari 28 desa endemik schistosomiasis, serta Tim Penggerak PKK masing-masing jenjang. Tim ini bertugas mensinergikan dan mengakselerasi pelaksanaan pro- gram pengendalian schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah.

2.4. Kebutuhan, Tantangan, dan Peluang

Berdasarkan analisis situasi saat ini dan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya, kebutuhan, tantangan, dan peluang bagi eradikasi Schistosomiasis di 28 desa endemik dapat diuraikan sebagai berikut:

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

2.4.1. Kebutuhan

Pengembangan strategi, program, dan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis perlu mempertimbangkan sejumlah kebutuhan sebagai berikut: • Penyesuaian metoda dan jangka waktu pengobatan massal pada manusia dan hewan. • Penyesuaian metoda surveilans dan penyempurnaan mekanisme pengawasan pelaksanaan

dan tindak lanjut hasil pelaksanaan surveilans pada manusia, hewan, dan keong perantara. • Opsi-opsi pengelolaan penggembalaan ternak.

• Opsi-opsi modifikasi lingkungan sesuai tipologi lahan/area/kawasan. • Peningkatan kapasitas para pelaku yang mempengaruhi keberhasilan upaya eradikasi di

berbagai tingkatan: desa, kecamatan, Puskesmas, kabupaten, dan provinsi. • Peningkatan kapasitas laboratorium bagi diagnosis hewan dan manusia, Pusat Kesehatan

Hewan, beserta kelengkapannya sesuai standar, guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan diagnosis.

• Percepatan penyediaan akses air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan yang sejalan dengan agenda Universal Akses Air Minum dan Sanitasi 2019, baik di tingkat rumah

tangga maupun di areal pertanian/peternakan yang telah teridentifikasi sebagai fokus keong perantara.

• Pembaharuan penyelenggaraan kampanye perubahan perilaku yang terintegrasi antara kebutuhan eradikasi schistosomiasis dengan kebutuhan pencapaian target kinerja lintas sektor.

• Pemantauan dan evaluasi kegiatan terpadu yang intensif dan terukur.

2.4.2. Tantangan

Pembelajaran penting dari upaya pengendalian penyakit ini di Indonesia selama kurang lebih

35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan masyarakat. Tantangan utama dalam eradikasi schistosomiasis ini adalah menggerakkan peran kunci lintas sektor di berbagai tingkatan.

Peran kunci lintas sektor di setiap tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

Desa:

• Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan, deteksi dini, pengobatan massal, dan pemeriksaan tinja dengan mobilisasi kader desa/posyandu/kader lainnya.

• Bekerjasama dengan unsur dinas teknis kabupaten dalam menyediakan pengetahuan dan informasi penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pengelolaan ternak, dan lahan

pertanian/perkebunan. • Mengalokasikan kegiatan skala desa untuk penanganan lokasi keong perantara, air minum,

dan sanitasi.

16 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Kabupaten:

• Melakukan pendampingan dan supervisi pemanfaatan dana desa/APBDesa untuk mendukung eradikasi schistosomiasis (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa)

• Mengalokasikan kegiatan pembinaan/pendukung pengelolaan ternak dan lahan pertanian/ perkebunan penduduk (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan).

• Menyediakan/memelihara infrastruktur bagi penanganan lokasi keong perantara: drainase, irigasi, akses jalan, jaringan catchment area (Dinas Pekerjaan Umum).

• Mendampingi dan menyediakan dukungan mentoring kegiatan kampanye perubahan perilaku (Dinas Kesehatan). • Mempercepat pemenuhan 100% akses air minum dan sanitasi (Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Cipta Karya, Dinas Kesehatan). • Menerapkan kebijakan penanganan hewan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan dalam rangka eradikasi Schistosomiasis (Sekretariat Daerah, Bappeda).

• Mempercepat penyediaan tenaga kesehatan, tenaga kesehatan hewan, tim lab-schisto, petugas lapangan dalam jumlah, kualifikasi, dan masa tugas yang sesuai (Badan Kepegawaian

Daerah). • Mereview kelayakan dan kewajaran kegiatan penanganan ternak dan lokasi keong perantara

(Bappeda). • Memastikan status kepemilikan lahan fokus untuk kepastian pelaksanaan modifikasi

lingkungan (Bupati dan Kantor BPN Daerah). • Menjamin pembiayaan rujukan kasus klinis schistosomiasis (BPJS/JamKesDa).

Provinsi:

• Menyiapkan kebijakan yang memastikan tersedianya tenaga dokter, analis, paramedis, serta dokter hewan dan paramedik veteriner dalam jumlah, kualifikasi, dan masa tugas yang sesuai

di dataran tinggi Lindu, Napu, dan Bada (Gubernur). • Menjamin ketersediaan obat Praziquantel untuk pengobatan hewan (Dinas Peternakan).

• Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan pengelolaan ternak dan penanganan lokasi keong perantara yang layak dan berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan,

Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum). • Membantu percepatan pemenuhan 100% akses air minum dan sanitasi (Dinas Pekerjaan

Umum, Dinas Kesehatan). • Mereview kelayakan dan kewajaran kegiatan penanganan ternak dan lokasi keong perantara

(Bappeda). • Mengembalikan fungsi wilayah konservasi yang berada pada desa-desa endemik (KLHK-

BTNLL).

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

Pusat:

• Memastikan berbagai kegiatan lintas sektor dialokasikan di desa endemik Schistosomiasis, khususnya di lokasi ternak dan keong perantara (Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian PPN/Bappenas).

• Mengalokasikan obat Praziquantel bagi hewan di lokasi endemik (Kementerian Pertanian cq Ditjen PKH, Direktorat Kesehatan Hewan). • Mengalokasikan kegiatan penanganan ternak dan lokasi keong perantara (Kementerian/ Lembaga terkait). • Memastikan/mengawasi penerapan pedoman tata kelola pengendalian schistosomiasis terpadu (Kementerian/Lembaga terkait). • Menyediakan obat Praziquantel bagi penduduk peserta pengobatan masal (Kementerian Kesehatan). • Membina dan mengawasi pelaksanaan surveilans pada manusia, hewan, dan keong perantara (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian). • Membina dan mengawasi pemanfaatan dana desa bagi kegiatan terpadu skala desa untuk percepatan eradikasi Schistosomiasis (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

• Menyediakan dukungan TNI dan POLRI bagi pelaksanaan dan pemantauan kegiatan eradikasi Schistosomiasis.

2.4.3. Peluang

Adapun peluang utama yang perlu dipelihara sehingga memberikan daya dorong dalam upaya terpadu eradikasi schistosomiasis ini adalah sebagai berikut: • Dukungan komitmen dari para pengambil keputusan di berbagai tingkat pemerintahan • Sumber pembiayaan dari APB Desa. • Daya tarik wisata dataran tinggi Bada, Napu, dan Lindu menjadi salah satu penggerak utama

bagi ekonomi lokal apabila ancaman schistosomiasis ini dapat dihilangkan. • Peluang peningkatan perekonomian penduduk setelah dilakukannya modifikasi lingkungan habitat keong perantara yang didukung pembinaan kelompok petani/peternak untuk

penerapan pola pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang terkelola dengan baik dan berkelanjutan.

18 Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia

BAB 3

Pentahapan dan Target Upaya Eradikasi Schistsomiasis

Pentahapan menuju eradikasi mengenal 3 (tiga) fase, fase akselerasi (2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), dan fase verifikasi dan deklarasi eradikasi (2025). Setiap tahapan/fase memiliki target tertentu dan intervensi kunci. Target dan intervensi kunci di setiap fase ini selanjutnya menjadi panduan formulasi paket kegiatan tahunan berikut target hasil yang terukur.

3.1. Kriteria Eradikasi Schistosomiasis

Dalam rangka mempercepat upaya eliminasi/eradikasi schistosomiasis japonica, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyelenggarakan the Expert Consultation to Accelerate Elimi- nation of Asian Schistosomiasis, pada tanggal 22-23 Mei 2017 di Shanghai, Tiongkok. Pertemuan tersebut merekomendasikan kriteria eliminasi/eradikasi schistosomiasis japonica yang harus dipenuhi oleh suatu negara/wilayah, yaitu sebagai berikut:

1. Pengurangan tingkat kejadian infeksi pada manusia menjadi nol;