Pemanfaatan Isolat Bakteri Asam Laktat Indigenous Sebagai Starter Untuk Fermentasi Sagu.

PEMANFAATAN ISOLAT BAKTERI ASAM LAKTAT
INDIGENOUS SEBAGAI STARTER UNTUK
FERMENTASI SAGU

DEDY SUSENO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Isolat
Bakteri Asam Laktat Indigenous Sebagai Starter Untuk Fermentasi Sagu adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Dedy Suseno
NIM P051110011

iii

RINGKASAN
DEDY SUSENO. Pemanfaatan Isolat Bakteri Asam Laktat Indigenous Sebagai
Starter Untuk Fermentasi Sagu. Dibawah bimbingan ANJA MERYANDINI dan
TITI CANDRA SUNARTI.
Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat di wilayah Indonesia
Timur. Proses pembuatan pati sagu di sebagian besar wilayah Indonesia masih
dilakukan secara tradisional dan menggunakan air dengan kualitas yang buruk
untuk proses ekstraksi; dan pati sagu disimpan dalam bentuk pati basah. Hal ini
mengakibatkan sagu terfermentasi secara spontan sehingga terbentuk sagu asam

dan tepung sagu terkontaminasi oleh mikroba pathogen, hal ini mengakibatkan
tepung tidak layak dikonsumsi oleh manusia dan menyebabkan umur simpan
produk menjadi pendek.
Bakteri asam laktat (BAL) adalah salah satu mikroba penting selama
proses fermentasi spontan pati sagu dan penambahan starter BAL selama proses
fermentasi dapat memacu pertumbuhan BAL dan menghambat mikroba yang
tidak diinginkan. Hal ini juga akan meningkatkan kualitas dan kemanan pangan
pada tepung serta memperbaiki sifat fungsional tepung.
Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan isolat unggul indigenous BAL
sebagai starter untuk fermentasi sagu. Sumber isolat yang digunakan berasal dari
air rendaman ekstraksi pati sagu. Dari 7 isolat, isolat 5.2 dipilih karena
kemampuan isolat tersebut menghasilkan total asam organik. Pati sagu
difermentasi selama 0 sampai 35 hari menggunakan starter cair dan starter padat
serta membandingkannya dengan fermentasi spontan. Starter padat dibuat dari
enkapsulasi dan freeze drying dengan bakteri asam laktat di dalam pati
nanoporous matriks, sehingga viabilitas sel yang didapatkan hanya 41% dari
starter cair.
Dibandingkan dengan starter padat, perlakuan dengan starter cair
memperlihatkan adaptasi yang tinggi dan kemampuannya tumbuh selama
fermentasi serta mampu mengakumulasi asam yang tinggi pada cairan fermentasi

dan pati sagu kering. Proses fermentasi mampu meningkatkan kualitas tepung
sagu tetapi sifat viskoamilografi pati cenderung menurun khususnya pada
parameter viskositas maksimum dan viskositas akhir. Sagu asam memiliki
kualitas yang baik karena dapat meminimalkan kontaminasi mikroba khususnya
mikroba patogen.
Kata kunci

:

bakteri asam laktat, fermentasi, nanoporous sagu, sagu asam,
starter padat

iv

SUMMARY
DEDY SUSENO. Utilization of Indigenous Isolates of Lactic Acid Bacteria as
Starter for Sago Fermentation. Under supervision from ANJA MERYANDINI
and TITI CANDRA SUNARTI.
In Eastern part of Indonesia, sago starch is usually used as staple food.
Most of sago starch produced from traditional processing unit which not used

clean potable water for its starch extraction, and the starch was kept as wet starch.
This causes the spontaneous fermentation of starch to become sour sago starch
and contaminated by pathogenic microorganisms; which made the starch not
suitable for human consumption and has short product self-life.
Lactic Acid Bacteria (LAB) is one of microorganisms which plays
important role in spontaneous fermentation of sago starch; and introduction of
LAB starter during fermentation can promote the LAB growth and inhibit the
undesired microorganism. It can also effect to improve the quality and the food
safety of the starch; and improving the functional properties of the starch.
This research aims to utilize indigenous isolates of LAB as fermentation
starter for sour sago starch production. Fruit water from settling process of starch
slurry was used as isolates source. From seven isolates, Isolate 5.2 was selected
based on its capability to produce total organic acid. Sago starch was fermented
for 0-35 days by using liquid starter and solid starch, and compared to
spontaneous fermentation. Solid starter was produced from encapsulated and
freeze-dried of LAB in nanoporous starch matrix, and its viability only 41% of
liquid starter.
Compared to solid starter, liquid starter showed high adaptation and ability
to grow during fermentation, and it caused high acid accumulation in fermentation
broth and dried sago starch. Fermentation process can improve the quality of sago

starch, but its viscoamylography characteristic was tent to reduce on peak
viscosity and end viscosity lower. Sour sago has good quality since it can
minimize the microbial contamination, especially pathogenic microorganisms.

Keywords :

fermentation, lactic acid bacteria, sago nanoporous, solid starter,
sour sago.

v

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi

PEMANFAATAN ISOLAT BAKTERI ASAM LAKTAT
INDIGENOUS SEBAGAI STARTER UNTUK
FERMENTASI SAGU

DEDY SUSENO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


vii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi

viii

Judul Tesis
Nama
NIM

: Pemanfaatan Isolat Bakteri Asam Laktat Indigenous Sebagai
Starter Untuk Fermentasi Sagu
: Dedy Suseno
: P051110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Anggota

Prof Dr Anja Meryandini, MS
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Januari 2015

Tanggal Lulus:


ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan
dari bulan Februari 2013 sampai Juni 2014 dengan judul Pemanfaatan Isolat
Bakteri Asam Laktat Indigenous Sebagai Starter Untuk Fermentasi Sagu.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai oleh program
KKP3N Badan Litbang Dikti.
Selama pelaksanaan penelitian dan tesis ini tentunya tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Prof Dr Anja Meryandini, MS dan Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia memberikan arahan dan bimbingannya selama
pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis.
2. Dr Ir Mulyorini Rayahuningsih, MSi selaku dosen penguji dalam ujian tesis.
3. Ayah, ibu, adik, istri dan anak tercinta, serta seluruh keluarga besar atas segala
doa dan dukungannya.
4. Ibu Dewi, staff bioteknologi dan teman-teman satu penelitian di laboratorium

PPSHB IPB yang telah membantu dalam kelancaran penelitian dan
penyelesaian studi penulis.
5. BTK2011 yang senantiasa memberi dukungan dan memberikan banyak
bantuan hingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan tesis ini.
6. Seluruh pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan oleh penulis, yang
senantiasa membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun
agar tesis ini menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kami
dan pembaca dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2015

Dedy Suseno

x

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Bahan
Alat
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Seleksi Bakteri Asam Laktat Indigenous
Kurva Pertumbuhan BAL
Penyiapan Starter Padat BAL
Karakteristik Cairan Fermentasi
Nilai pH
Total Asam
TSC
Populasi Mikroorganisme
Karakteristik Mutu Sagu Asam
Kadar Air
Nilai pH
Total Asam
Populasi Mikroorganisme
Sifat Amilografi Tepung Sagu Terfermentasi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

xi

xii
xii
xii
1
1
2
2
3
3
3
3
3
3
6
6
8
9
11
11
12
13
14
17
17
18
19
19
21
24
24
24
25
38

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Hasil identifikasi isolat BAL
Perubahan pH cairan pati sagu terfermentasi
Konsentrasi total asam pada cairan sagu terfermentasi
Konsentrasi TSC pada cairan sagu terfermentasi
Populasi mikroba pada cairan fermentasi
Hasil analisis kadar air
Perubahan pH pada tepung sagu terfermentasi
Konsentrasi total asam pada tepung sagu terfermentasi
Populasi mikroba pada tepung sagu terfermentasi
Hasil analisis RVA pati sagu

7
12
13
13
16
17
18
19
20
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Zona bening BAL
Kromatogram produksi asam-asam organik isolat 5.2 pada
media MRS broth pada suhu ruang
Kromatogram produksi asam-asam organik isolat 5.6 pada
media MRS broth pada suhu ruang
Kurva pertumbuhan isolat 5.2 pada media MRS broth
Penurunan viabilitas starter padat BAL yang disimpan pada
suhu ruang pada media MRS agar
Pengaruh fermentasi pada hari ke-35 terhadap sifat amilografi
pati sagu pada berbagai perlakuan
Kurva standar fenol-sulfat

6
8
8
9
10
22
32

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Identifikasi bakteri asam laktat dan pemilihan isolat unggul
Proses pembuatan nanoporous sagu
Karakterisasi cairan fermentasi
Karakterisasi mutu sagu asam
Analisa statistik karakterisasi cairan pati sagu terfermentasi
Analisa statistik karakterisasi mutu sagu asam

xii

30
30
31
32
34
35

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman sagu merupakan penghasil karbohidrat (energi) yang cukup
potensial di Indonesia terutama di Kawasan Timur Indonesia dan belum
dimanfaatkan secara optimal (Bamualim 2002). Sagu mempunyai peranan sosial,
ekonomi, dan budaya yang cukup penting di Propinsi Papua karena merupakan
bahan makanan pokok bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah
pesisir. Luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha,
yang tersebar pada beberapa daerah (Melliawati 2006).
Batang merupakan komponen hasil utama tanaman sagu. Batang sagu
yang sudah ditebang selanjutnya dikuliti untuk mendapatkan empulur yang
mengandung tepung. Selanjutnya, empulur yang dihasilkan diparut agar
memudahkan peremasan (pengepresan). Peremasan dilakukan dengan
menggunakan alat pres untuk mengeluarkan pati dari parutan empulur. Setelah
selesai peremasan, dilakukan penyaringan untuk membuang serat-serat kasar dari
empulur. Suspensi pati yang didapatkan kemudian diendapkan untuk memisahkan
tepung sagu dari air. Langkah selanjutnya adalah pengeringan, pengepakan dan
penyimpanan (Kanro et al. 2003).
Sejauh ini proses pembuatan tepung sagu masih dilakukan secara
tradisional sehingga kurang memperhatikan kebersihan dan sanitasi produknya.
Greenhill et al. (2009) menyebutkan bahwa banyak masyarakat di Papua New
Guinea mengalami diare setelah mengonsumsi sagu. Sagu tersebut diolah secara
tradisional menggunakan air yang tak bersih yang berasal dari air sisa buangan
rumah tangga sehingga jumlah bakteri patogen seperti Escherichia coli dan
Salmonella sp pada sagu hasil fermentasi selama 21 hari masih cukup banyak.
Masyarakat di Papua New Guinea juga terbiasa menyimpan sagu basah yang
dihasilkan dalam wadah (tumang) dan dibiarkan dalam waktu yang lama. Hal ini
juga yang membuat pati sagu yang dihasilkan masih banyak mengandung bakteri
patogen karena pati sagu memiliki kadar air yang tinggi dan sumber air yang
digunakan tidak bersih. Penggunaan air bersih dalam industri pembuatan sagu
diharapkan mampu menekan pertumbuhan mikroba khususnya bakteri patogen.
Hal ini dikarenakan air yang digunakan tidak mengandung bakteri patogen
sehingga diharapkan produk sagu yang dihasilkan lebih aman untuk dikonsumsi.
Salah satu bakteri yang berperan dalam fermentasi bahan hasil pertanian
adalah bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat bermanfaat untuk meningkatkan
kualitas dan keamanan bahan pangan melalui penghambatan secara alami
terhadap mikroba yang bersifat patogen. Bakteri asam laktat menghasilkan
beberapa komponen antimikroba yaitu asam organik, karbondioksida, hidrogen
peroksida, diasetil, reuterin, dan bakteriosin (Rachmawati 2005). Bakteri asam
laktat mampu memfermentasi gula-gula seperti laktosa ataupun glukosa untuk
memproduksi sejumlah besar asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan dengan
cara tersebut akan menurunkan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya dan
menimbulkan rasa asam (Anggraeni 2014). Proses fermentasi bahan pangan
dengan menambahkan starter berupa BAL bertujuan untuk mengurangi jumlah
bakteri patogen, mengawetkan bahan pangan serta meningkatkan kualitas tepung
yang dihasilkan (Helmi 2011). Adanya asam pada bahan pangan yang terbentuk

2

selama proses fermentasi dapat menjadikan bahan pangan tersebut tidak mudah
terkontaminasi mikroba khususnya bakteri patogen.
Pemanfaatan BAL indigenous sebagai starter selama proses fermentasi
pati sagu dimaksudkan agar BAL tersebut mampu tumbuh optimum selama proses
fermentasi sagu. Hal ini dikarenakan BAL tersebut tidak memerlukan adaptasi
selama proses fermentasi karena BAL tersebut sudah terbiasa dengan lingkungan
asli hidupnya seperti kondisi lingkungan yang asam dan sumber karbon yang
berasal dari pati sagu. Starter BAL yang digunakan dapat berupa starter cair
maupun starter padat. Salah satu kelebihan menggunakan starter padat yaitu dapat
mempertahankan viabilitas sel lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan
starter cair.
Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan (coating) suatu bahan inti
dengan menggunakan bahan enkapsulasi tertentu. Teknik ini dilakukan dengan
menambahkan bahan pembungkus (contohnya maltodekstrin, gum, protein dan
sebagainya) untuk membungkus BAL. Wu et al. (2000) menyatakan bahwa proses
enkapsulasi bermanfaat untuk mempertahankan viabilitas dan melindungi BAL
dari kerusakan akibat kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Penggunaan
nanoporous sagu yang digunakan sebagai pelindung diharapkan mampu
mempertahankan viabilitas sel selama proses penyimpanan pada suhu ruang.
Ukuran partikel nanoporous sagu yang kecil (nm) menjadikannya memiliki luas
permukaan yang besar sehingga sehingga diharapkan nanoporous sagu mampu
membungkus BAL dengan baik.
Perumusan masalah
Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat di wilayah Indonesia
Timur. Proses pembuatan tepung sagu di sebagian besar wilayah Indonesia masih
dilakukan secara tradisional dan menggunakan air dengan kualitas yang buruk.
Hal ini mengakibatkan sagu terfermentasi secara spontan dan menyebabkan
terbentuknya sagu asam. Selain perubahan menjadi sagu asam, tepung sagu juga
tercemar bakteri patogen seperti Escherichia coli dan Salmonella sp. Adanya
bakteri patogen pada tepung sagu dapat menyebabkan penyakit diare bagi
seseorang yang memakannya dengan proses pemasakan yang tidak sempurna.
Oleh sebab itu, proses penambahan starter bakteri asam laktat (BAL) pada
fermentasi sagu diharapkan mampu menekan jumlah bakteri patogen karena BAL
mampu menghasilkan asam laktat yang mampu menekan jumlah bakteri patogen.
Selain itu pada proses fermentasi sagu asam, terjadi perubahan karakteristik
sebagian sagu dari polisakarida menjadi oligosakarida sehingga menjadikan sagu
asam memiliki viskositas yang berkurang karena terhidrolisisnya ikatan α-1,4
pada amilosa dan α-1,6 pada amilopektin. Berkurangnya kekenyalan pada sagu
asam ini menjadikan sagu lebih disukai karena mudah saat mengonsumsinya dan
meningkatkan aplikasinya dalam industri.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan isolat unggul bakteri asam
laktat indigenous untuk fermentasi sagu serta mengamati karakteristik mutu sagu
asam yang dihasilkan.

3

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan keamanan pangan pada
proses pembuatan pati sagu dengan menambahkan starter bakteri asam laktat.
Selain itu dengan adanya proses fermentasi diharapkan pati sagu terfermentasi
memiliki tekstur yang lebih baik sehingga dapat diaplikasikan lebih luas dalam
industri pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi isolasi bakteri asam laktat indigenous
unggul yang berasal dari air rendaman ekstraksi pati sagu. Isolat unggul yang
didapatkan akan dimanfaatkan sebagai starter cair dan padat yang akan digunakan
dalam fermentasi pati sagu. Dalam pembuatan starter padat matriks nanoporous
sagu akan digunakan sebagai bahan pelindung.

METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan yaitu isolat BAL indigenous yang diisolasi
dari air rendaman ekstraksi pati sagu, pati sagu yang berasal dari pabrik sagu di
Tanah Baru Bogor, air minum dalam kemasan (AMDK), nanoporous sagu,
akuades steril, bufer fosfat pH 4 dan 7, media PDA, media SSA, media EMB,
media PCA, media MRS, agar-agar, larutan NaCl fisiologis, larutan stok gula,
indikator fenolftalein, NaOH 0.1 N, fenol 5%, H2SO4 pekat, aquades steril, media
GYP, CaCO3, etanol 95%, etanol 70%, dan HCl 2.2 N.
Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu RVA (Rapid Visco Analysis) untuk
menganalisis sifat amilografi tepung, autoklaf, labu takar, gelas ukur, inkubator
bersuhu 370C, pH meter, buret berbagai volume, pipet tetes, ose, labu Erlenmeyer,
gelas piala, cawan petri, spektrofotometer, tabung eppendof, oven, mikroskop,
vorteks, freeze dryer dan bunsen.
Metode penelitian
Isolasi bakteri asam laktat dan pemilihan isolat unggul
Proses isolasi BAL dilakukan dengan mengambil sebanyak 1 mL sampel
air rendaman ekstraksi pati sagu di pabrik sagu Tanah Baru. Sampel air ini
kemudian diencerkan sampai pengenceran 10 -7. Sebanyak 100 µL cairan pada dua
pengenceran terakhir lalu disebar di dalam media MRS padat dan diinkubasi pada
suhu ruang selama ±48 jam. Kelompok isolat BAL memiliki ciri-ciri koloni
berwarna putih susu namun untuk lebih memastikan bahwa koloni tersebut adalah
BAL maka akan diseleksi dan diidentifikasi lebih lanjut.
Sebanyak 24 koloni berwarna putih susu yang didapatkan diseleksi
kemampuan menghasilkan asam organik menggunakan media GYP yang telah
ditambah CaCO3. Adanya zona bening pada sekitar bakteri menandakan bahwa
koloni mampu menghasilkan asam organik. Isolat bakteri yang mampu

4

menghasilkan asam organik diidentifikasi dengan menggunakan uji katalase, uji
pewarnaan Gram serta uji morfologi sel menggunakan mikroskop. Prosedur uji
katalase, uji pewarnaan Gram serta uji morfologi sel menggunakan mikroskop ada
pada Lampiran 1.
Dari 24 isolat yang telah diseleksi dan diidentifikasi maka didapatkan 7
isolat BAL. Dari isolat-isolat BAL tersebut dipilih satu isolat unggul dalam hal
kemampuan menghasilkan total asam organik yang tertinggi. Total asam organik
yang dihasilkan diukur menggunakan metode modifikasi Moore et al. (2011).
Prosedur modifikasi Moore et al. (2011) ada pada Lampiran 1.
Satu isolat unggul BAL yang didapatkan diuji jenis asam-asam organik
yang dihasilkan selama fermentasi menggunakan HPLC. Sebanyak 1 ose koloni
BAL unggul berumur 24 jam diambil dan diinokulasikan ke dalam media MRS
broth. Media tersebut lalu diinkubasi pada suhu ruang selama ±48 jam. Media
MRS broth hasil fermentasi selanjutkan akan diuji komponen asam-asam organik
menggunakan HPLC. Data HPLC tersebut akan menunjukkan isolat unggul BAL
termasuk jenis bakteri homofermentatif atau heterofermentatif.
Penyiapan starter cair BAL
Isolat unggul BAL yang digunakan memiliki kemampuan menghasilkan
total asam tertinggi setelah diukur menggunakan metode modifikasi Moore et al.
(2011). Pembuatan starter cair BAL diawali dengan menentukan waktu
pertumbuhan optimum. Waktu optimum menggambarkan fase logaritmik dimana
bakteri secara cepat melakukan pembelahan sel. Pembuatan kurva tumbuh diawali
dengan mengambil sebanyak 1 ose koloni BAL berusia 24 jam. Koloni tersebut
dimasukkan ke dalam 10 mL media MRS broth selama 48 jam hingga OD nya
mencapai 0,8 – 1. Sebanyak 1 mL kultur BAL dipipet lalu dimasukkan ke dalam 9
mL media MRS broth kemudian diukur OD nya selama 48 jam dengan selang
waktu 3 jam pada suhu ruang.
Starter cair BAL dibuat dengan mengambil sebanyak 1 ose koloni BAL
berumur 24 jam lalu dimasukkan ke dalam 10 mL MRS broth pada tabung ulir.
Tabung ulir ini lalu disimpan pada anaerobik jar selama 48 jam pada suhu ruang.
Setelah 48 jam, kultur cair ini dipipet sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan ke
dalam 9 mL media MRS broth dan diinkubasi selama waktu optimumnya pada
suhu ruang.
Penyiapan starter padat BAL
Starter padat BAL dibuat dengan menggabungkan BAL dengan bahan
pelindung berupa nanoporous sagu. Nanoporous sagu dibuat dengan 2 tahap yaitu
lintnerisasi pati (metode Faridah et al. 2010 serta Jayakodi dan Hoover 2002) dan
presipitasi dengan etanol (metode Winarti et al. 2014). Prosedur pembuatan
nanoporous sagu dapat dilihat pada Lampiran 2.
Nanoporous sagu yang dihasilkan lalu ditambahkan 10 mL (v/v) kultur
cair BAL berumur 48 jam dan aquades steril dengan perbandingan tepung :
aquades yaitu 1 : 10 (b/v : v/v). Suspensi ini lalu dikeringkan dengan metode
frezee drying. Uji viabilitas BAL dilakukan pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 35
menggunakan media MRS agar.

5

Fermentasi pati sagu
Proses fermentasi sagu dilakukan dengan menambahkan sebanyak 300 g
pati sagu dengan 100 mL air minum dalam kemasan. Penelitian dilakukan dengan
tiga perlakuan yaitu fermentasi dengan starter cair, fermentasi dengan starter padat
serta fermentasi spontan/tanpa penambahan starter dengan tiga kali ulangan.
Perlakuan menggunakan starter padat dilakukan dengan menambahkan 1 g starter
padat yang setara dengan 2.0 x 104 CFU/g ke dalam sampel. Perlakuan
menggunakan starter cair dilakukan dengan menambahkan 1 mL starter cair yang
setara dengan 2.0 x 107 CFU/mL ke dalam sampel. Hasil fermentasi diamati pada
pengamatan hari ke- 0, 7, 14, 21, 28 dan 35 hari.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak
lengkap dengan 2 faktor yaitu pengaruh penambahan starter cair, starter padat dan
tanpa starter (faktor A) dan lama fermentasi (faktor B). Model linier rancangan
percobaannya yaitu :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk
Yijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan
ke-k
αi = Pengaruh utama faktor A
βj = Pengaruh utama faktor B
(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari faktor A dengan faktor B
ε ijk = Pengaruh acak yang menyebar normal
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis ragam (SAS). Jika pengujian
ragam menghasilkan penolakan terhadap H0 maka dilakukan uji lanjut. Uji lanjut
yang digunakan adalah Least Squares Means pada taraf 5%.
Karakterisasi cairan fermentasi dan pati sagu terfermentasi
Karakterisasi cairan fermentasi yang dilakukan meliputi uji total asam
(modifikasi metode Moore et al. 2011), uji TSC (Total Soluble Carbohydrate)
(metode Dubois et al. 1956), uji pH (AOAC 1994) dan perhitungan jumlah
mikroorganisme yang meliputi total mikroorganisme menggunakan media PCA,
total BAL menggunakan media MRS, total kapang dan khamir menggunakan
media PDA, total bakteri coliform menggunakan media EMB, serta total bakteri
Salmonella sp dan Shigella sp menggunakan media SSA. Prosedur uji
karakterisasi cairan fermentasi disajikan pada Lampiran 3.
Pati sagu hasil fermentasi dijemur 7 sampai 8 jam dibawah sinar matahari.
Setelah itu, pati sagu dikeringkan dalam oven pada suhu 50 0C selama 48 jam lalu
diuji kadar air (SNI 3729:2008), uji total asam (modifikasi metode Moore et al.
2011), uji pH (AOAC 1994), uji sifat amilografi dan perhitungan jumlah
mikroorganisme yang meliputi total mikroorganisme menggunakan media PCA,
total BAL menggunakan media MRS, total kapang dan khamir menggunakan
media PDA, total bakteri Coliform menggunakan media EMB, serta total bakteri
Salmonella sp dan Shigella sp menggunakan media SSA. Prosedur uji
karakterisasi pati sagu terfermentasi disajikan pada Lampiran 4.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Seleksi Bakteri Asam Laktat Indigenous

Isolat BAL didapatkan dari air rendaman ekstraksi sagu yang telah
didiamkan selama 2 hari. Untuk mengisolasi BAL digunakan media MRS
sehingga diharapkan hanya BAL saja yang bisa tumbuh di media tersebut. Adanya
koloni bulat berwarna putih susu menunjukkan bahwa koloni tersebut adalah
BAL. Seleksi BAL dilakukan dengan menumbuhkan isolat dalam media GYP
yang telah ditambahkan CaCO3. Adanya zona bening pada media GYP yang telah
ditambahkan CaCO3 mengindikasikan bahwa isolat yang diseleksi mampu
menghasilkan asam organik dan memperkuat dugaan bahwa isolat tersebut adalah
BAL. Bakteri asam laktat menghasilkan asam-asam organik dari hasil
metabolismenya terutama asam laktat. Nuryadi et al. (2013) menyatakan bahwa
asam laktat hasil metabolisme glukosa pada media GYP oleh BAL akan bereaksi
dengan CaCO3 menghasilkan Ca-laktat, air dan karbondioksida. Kalsium-laktat
bersifat larut dalam air sehingga akan menimbulkan zona bening pada media GYP
yang telah ditambahkan CaCO3 (Gambar 1).

(a)

(b)

Gambar 1 Zona bening BAL (a) isolat 5.1, 5.2, 5.3, 5.4, 5.5 dan 5.6 (b) isolat 6.1, 6.2,
6.3, 3.1, 3.2, 3.3 pada media GYP yang telah ditambah CaCO3 setelah

diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang
Identifikasi isolat BAL dilakukan dengan uji pewarnaan Gram, uji
morfologi serta uji katalase. Suardana et al. (2007) menyatakan bahwa isolat BAL
memiliki ciri-ciri Gram positif, morfologi sel berbentuk bulat atau batang,
katalase negatif serta mampu menghasilkan asam pada media MRS. Dua belas
isolat BAL didapatkan dari hasil identifikasi namun dari dua belas isolat hanya
tujuh isolat yang berhasil hidup karena sisa isolat yang lain telah terkontaminasi
(Tabel 1) Isolat BAL 5.2 menghasilkan konsentrasi total asam yang lebih besar
dibandingkan dengan isolat yang lain (Tabel 1). Semakin banyak menghasilkan
konsentrasi total asam maka isolat BAL tersebut akan semakin banyak
menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Selain itu dapat dipastikan bahwa
isolat 5.2 sudah terbiasa hidup pada kondisi lingkungan yang asam. Hal ini
merupakan suatu keuntungan karena isolat 5.2 dapat lebih bertahan hidup lebih
lama jika dibandingkan dengan isolat lain pada kondisi lingkungan yang semakin
asam selama proses fermentasi pati sagu. Kedua hal ini menjadikan dasar

7

pemilihan isolat 5.2 sebagai isolat unggul BAL dan akan digunakan untuk
pembuatan starter cair maupun starter padat.
Tabel 1 Hasil identifikasi isolat BAL
Nomor
isolat
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
6.1
6.2

Hasil pewarnaan
Gram
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif

Morfologi sel
batang
batang
batang
batang
batang
batang
batang

Uji katalase
(+/-)
-

[Total asam]
mg/mL
6.12
5.63
4.37
5.34
6.08
5.09
5.18

Bakteri asam laktat dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu bakteri
homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri yang bersifat heterofermentatif
akan menghasilkan asam laktat, alkohol dan CO2 sedangkan bakteri
homofermentatif hanya akan menghasilkan asam laktat saja. Berdasarkan hasil
analisis komponen asam dengan HPLC didapatkan bahwa isolat 5.2 menghasilkan
asam-asam organik diantaranya asam laktat dan asam asetat (Gambar 2).
Konsentrasi asam laktat dan asam asetat yang dihasilkan yaitu 4319.58 mg/L dan
230.55 mg/L. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat 5.2 termasuk jenis bakteri
asam laktat heterofermentatif. Isolat 5.6 menghasilkan konsentrasi total asam
yang hampir sama dengan isolat 5.2. Berdasarkan hasil analisis komponen asam
dengan HPLC didapatkan bahwa isolat 5.6 menghasilkan asam-asam organik
diantaranya asam laktat dan asam asetat (Gambar 3). Konsentrasi asam laktat dan
asam yang dihasilkan oleh isolat 5.6 berbeda dengan isolat 5.2 yaitu 4079.81
mg/L untuk asam laktat dan 289.97 mg/L untuk asam asetat.
Isolat BAL dengan ciri-ciri Gram positif, uji katalase negatif,
heterofermentatif (menghasilkan asam laktat, asam asetat serta CO 2) , dan bentuk
morfologi sel batang termasuk ke dalam genus Lactobacillus (Suryani 2010 dan
Wikandari 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa isolat 5.2 yang diisolasi dari air
rendaman pati sagu adalah jenis Lactobacillus sp. Bakteri Lactobacillus
plantarum dan Lactobacillus fermentum merupakan bakteri endogen pada proses
fermentasi bahan pangan berupa tepung jagung, singkong dan beras (Putri 2008).
Rahmawati (2013) menyatakan bahwa bakteri asam laktat merupakan bakteri
yang dominan selama proses fermentasi tepung jagung dan berhasil mengisolasi 5
bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus plantarum 1a, Lactobacillus brevis1,
Lactobacillus plantarum 1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3, dan
Pediococcus pentaneous. Hasil yang sama juga dijelaskan oleh Savic (2007)
dimana bakteri asam laktat Lactobacillus sp merupakan bakteri yang dominan
dibandingkan jenis bakteri asam laktat lain selama fermentasi tepung roti asam.
Beberapa spesies Lactobacillus memiliki ukuran sel yang berbeda-beda. Salminen
(1998) menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum berbentuk batang dengan
ukuran 0.6-0.8 µm x 1.2-6.0 µm. Berbeda dengan ukuran sel Lactobacillus
plantarum, Tamime (1999) menyatakan bahwa ukuran bakteri L. bulgaricus dan
L. delbrueckki berturut-turut yaitu 0.5-0.8 x 2-9 μm dan 0.6-0.9 x 1.5-6 μm.

8

Gambar 2 Kromatogram produksi asam-asam organik isolat 5.2 pada media MRS broth
pada suhu ruang.

Gambar 3 Kromatogram produksi asam-asam organik isolat 5.6 pada media MRS broth
pada suhu ruang.

Kurva Pertumbuhan BAL

Pembuatan kurva pertumbuhan BAL dimaksudkan agar diketahui waktu
pertumbuhan optimum isolat 5.2. Pada waktu optimum pertumbuhan terjadi
proses pembelahan sel dengan sangat cepat sehingga jumlah sel BAL akan
mencapai puncaknya. Hal ini sangat penting karena untuk membuat starter cair
diharapkan jumlah BAL yang hidup banyak dan sel berusia muda. Isolat 5.2
memiliki laju pertumbuhan spesifik (µ) sebesar 0.187/jam pada jam ke-3 dengan
jumlah sel BAL yang hidup yaitu 2.0 x 107 CFU/mL. Yuliana (2008) telah
mengisolasi BAL dari tempoyak dan mendapatkan waktu pertumbuhan optimum
pada waktu yang sama dengan laju pertumbuhan spesifik (µ) sebesar 0.0598/jam
(Gambar 4). Perbedaan laju pertumbuhan dengan isolat 5.2 mungkin dapat
disebabkan karena isolat yang digunakan berbeda spesies dan sumber isolatnya.
Tidak adanya fase lag/adaptasi isolat 5.2 dapat disebabkan karena pada
saat isolasi sampai penyegaran isolat 5.2 menggunakan media yang sama yaitu
MRS. Hal ini menyebabkan isolat 5.2 tidak perlu beradaptasi lagi terhadap kondisi
media seperti kandungan nutrient serta pH. Fase stasioner isolat 5.2 terjadi pada

9

jam ke 9 sampai jam ke 15. Pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah
sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Banyaknya sel yang mati
dapat disebabkan karena semakin berkurangnya jumlah mineral yang dibutuhkan
sel maupun akumulasi dari hasil metabolisme bakteri. Asam organik yang
dihasilkan oleh BAL seperti asam laktat, asam asetat, atau asam piruvat
mengakibatkan akumulasi produk akhir asam dan turunnya pH yang
menyebabkan penghambatan pertumbuhan. Bakteri asam laktat jenis
Lactobacillus sp dilaporkan oleh Hardiningsih (2007) mengalami pertumbuhan
yang stabil pada jam ke-24 sampai jam ke-96 saat kondisi lingkungannya
memiliki pH 3 namun akan terjadi peningkatan saat pH lingkungannya menjadi
6.5. Produk-produk yang mungkin dapat menghambat pertumbuhan selain asam
laktat, dapat berupa karbondioksida, dan komponen-komponen netral lainnya
(Yuliana 2008).

2,5

OD

2
1,5
1
0,5
0
0

3

6

9

12

15

18

21

24

30

36

48

Waktu pertumbuhan (Jam)

Gambar 4 Kurva pertumbuhan isolat 5.2 pada media MRS broth

Penyiapan Starter Padat BAL
Bahan matriks enkapsulasi bisa berasal dari berbagai jenis polimer
contohnya pati. Pati mempunyai beberapa kelebihan diantaranya murah,
ketersediaan melimpah, sangat mudah terdegradasi dan mudah dimodifikasi. Pati
termodifikasi bisa berfungsi sebagai matriks karena struktur kristalin pati
memungkinkan bahan aktif terperangkap di dalamnya. Selain itu modifikasi pati
akan memperbaiki karakteristik pati sebagai matriks, diantaranya kemampuan
pengembangan atau kemampuan menyerap air, kelarutan, viskositas, rheology,
ketahanan terhadap panas, asam atau enzim serta kompatibilitasnya terhadap
polimer lain (Winarti 2013). Penggunaan nanoporous sagu sebagai bahan
pelindung dilakukan karena selain mampu melindungi BAL, bahan dasar
pembuatannya juga melimpah dan murah harganya. Selain itu pati sagu
merupakan salah satu sumber karbon bagi BAL indigenous tersebut sehingga
BAL tidak perlu beradaptasi terhadap sumber karbon yang tersedia selama proses
freeze drying dan fermentasi sagu. Zuidam (2010) menyatakan bahwa bahan
pelindung yang digunakan harus mampu melindungi senyawa aktif dan aman
dikonsumsi jika produk enkapsulasi tersebut digunakan dalam bahan pangan.

10

Nanoporous sagu yang digunakan berbahan dasar pati sagu sehingga produk yang
dihasilkan nantinya akan aman dikonsumsi.
Penyiapan starter padat diawali dengan menyiapkan matriks pelindung
berupa nanoporous sagu. Nanoporous sagu yang dihasilkan ditambahkan kultur
cair BAL kemudian di-freeze drying sehingga didapatkan starter padat BAL. Hasil
TPC (Total plate count) starter padat yang disimpan pada suhu ruang
menunjukkan penurunan sebesar 41.10% setelah freeze drying (hari ke-0) dan
63.01% pada hari ke-7, sedangkan pada hari ke-14 sampai hari ke-35 tidak
menunjukkan adanya bakteri yang hidup pada media MRS (Gambar 5).
Penurunan ketahanan sel setelah freeze drying kemungkinan disebabkan oleh
proses pembekuan dan dehidrasi. Proses pembekuan menyebabkan sel kehilangan
kestabilannya sehingga menjadi mudah rusak selama pengeringan. Faktor utama
penyebab kerusakan akibat pengeringan sel bakteri karena shock osmotik dengan
kerusakan membran dan perpindahan ikatan hidrogen yang berpengaruh terhadap
sifat-sifat makromolekul hidrofilik dalam sel (Puspawati 2010).
8
7

log CFU/g

6
5
4
3
2
1
0
kultur
cair

0

7

14

21

28

35

viabilitas sel hari ke-

Gambar 5. Penurunan viabilitas starter padat BAL yang disimpan pada suhu ruang
Faktor lain yang dapat menyebabkan menurunnya jumlah viabilitas sel
karena bahan pelindung yang digunakan. Penggunaan bahan pelindung yang tepat
dapat mempertahankan viabilitas sel selama proses freeze drying maupun setelah
penyimpanan pada suhu ruang. Puspawati (2010) menyatakan bahwa penggunaan
pelindung (cryoprotectant) berupa susu skim mampu menjaga menurunnya
viabilitas sel BAL setelah proses freeze drying bila dibandingkan dengan sukrosa,
laktosa, dan maltodekstrin. Sri et al. (2012) menyatakan bahwa pengelompokkan
mikroenkapsulasi berdasarkan ukurannya yaitu mikrokapsul berukuran 10-6 m
(µm) sedangkan nanokapsul berukuran 10 -9 m (nm). Mikrokapsul secara garis
besar ada 3 tipe yaitu berinti tunggal, berinti banyak dan tipe matriks (Winarti
2013). Nanoporous yang digunakan memiliki ukuran partikel 10-9 m (nm)
sedangkan BAL yang akan dienkapsulasi memiliki ukuran sel yang lebih besar
dari nanoporous berkisar 10-6 m (µm). Berdasarkan perbedaan ukuran partikelnya,
diduga tipe mikrokapsul yang dihasilkan berinti satu dimana satu sel BAL
terbungkus oleh banyak partikel nanoporous sagu. Proses enkapsulasi akan

11

berjalan baik jika bahan pelindung yang digunakan mampu melindungi seluruh
permukaan BAL sehingga selama proses freeze drying, BAL mampu bertahan dari
kondisi lingkungan yang ekstrim. Penurunan viabilitas sel yang besar setelah
proses freeze drying dapat dikatakan bahwa BAL tidak terlindungi dengan baik
oleh nanoporous sagu ataupun proses enkapsulasi tidak berjalan baik sehingga
tidak semua BAL terbungkus oleh nanoporous sagu. Hal ini mengakibatkan BAL
yang tidak terbungkus bahan pelindung akan mati selama proses freeze drying.
Berkurangnya viabilitas sel selama proses penyimpanan juga dapat
disebabkan karena tidak adanya sumber nutrisi pada bahan pelindung yang
digunakan sehingga lambat laun akan menyebabkan kematian pada bakteri itu
sendiri. Shima (2012) menyatakan bahwa penambahan bahan pelindung berupa
nanoporous matriks (12% b/v) mampu mempertahankan viabilitas BAL yang
lebih baik bila dibandingkan dengan penambahan inulin pada fermentasi yogurt
selama 24 jam setelah disimpan pada suhu ruang. Sumber karbon pada Sago
starch oligosaccharides dinilai lebih efektif dimanfaatkan BAL dibandingkan
dengan inulin karena BAL lebih mudah memetabolisme Sago starch
oligosaccharides. Hal ini menggambarkan bahwa pemilihan bahan pelindung
harus memiliki kualitas yang baik dalam hal melindungi sel dari kerusakan selama
proses freeze drying maupun mencukupi sel sebagai nutrisi selama proses
penyimpanan pada suhu ruang. Hasil penelitian menggambarkan bahwa
nanoporous sagu yang digunakan ternyata tidak mampu melindungi viabilitas sel
BAL dengan maksimal baik selama proses freeze drying maupun setelah
penyimpanan pada suhu ruang.

Karakteristik Cairan Fermentasi
Salah satu tujuan fermentasi bahan pangan yaitu meningkatkan keamanan
bahan pangan dari kontaminasi mikroba khususnya mikroba patogen. Sejauh ini
proses pembuatan tepung sagu masih tradisional dan kurang memperhatikan
kebersihan lingkungan maupun produk yang dihasilkan. Adanya aktivitas mikroba
selama proses pembuatan tepung sagu sampai penyimpanan menyebabkan
terjadinya fermentasi spontan. Greenhill et al. (2009) menyatakan bahwa
masyarakat Papua New Guinea biasa menyimpan tepung sagu dalam keadaan
basah sampai 6 minggu dan hal ini memungkinkan terjadinya fermentasi spontan
tepung sagu. Akibat hal tersebut pH tepung sagu menjadi lebih asam dan tepung
sagu masih tercemar bakteri patogen seperti E.coli. Penelitian dilakukan dengan 3
perlakuan yaitu fermentasi dengan menggunakan starter cair, menggunakan starter
padat dan fermentasi spontan/tanpa starter dengan waktu fermentasi selama 35
hari. Proses fermentasi dengan menambahkan starter cair dan padat BAL
diharapkan mampu menurunkan jumlah bakteri patogen pada tepung sagu.
Nilai pH
Nilai pH pada cairan fermentasi baik yang menggunakan starter padat, cair
dan tanpa starter rata-rata mengalami penurunan setiap minggu. Adanya
penurunan pH dapat disebabkan karena bakteri dalam starter padat ataupun cair
dan bakteri asam laktat dalam tepung sagu itu sendiri menghasilkan asam-asam
organik berupa asam laktat, asam asetat maupun alkohol. Semakin lama proses

12

fermentasi, maka nilai pH pada bahan yang difermentasi akan semakin menurun.
Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi terjadi aktivitas mikroba yang
menghasilkan asam-asam organik terutama asam laktat (Sari 2012, Anggraeni
2014 ).
Tabel 2 Perubahan pH cairan pati sagu terfermentasi

nilai pH cairan hari ke-

Perlakuan
Starter cair
Starter padat
Tanpa starter

0
3.61a
4.10 a
3.61 a

7
3.27 a
3.29 a
3.51 a

14
3.17 a
3.23 a
3.11 a

21
3.20 a
3.16 a
3.13 a

28
3.12 a
3.26 a
3.04 a

35
3.08 a
3.14 a
2.98 a

Angka yang memiliki huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada analisis uji
Least Squares Means pada taraf 5%

Penelitian Pratama (2013) menyatakan juga bahwa terjadi penurunan pH
pada cairan fermentasi singkong menggunakan ragi tempe, ragi roti dan
Lactobacillus plantarum dari pH 7 sampai 3. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
penurunan pH pada cairan fermentasi dari pH 4.097 sampai pH 2.98. Hasil
statistik (Lampiran 5.1) menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan dengan
waktu fermentasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan pH
cairan fermentasi (0.0998 > 0.05). Hal ini dikarenakan penurunan nilai pH tidak
besar selama proses fermentasi selama 35 hari pada ketiga perlakuan.
Total Asam
Nisa (2008) menyatakan bahwa yang terukur dalam total asam tertitrasi
adalah total asam yang terdisosiasi maupun yang tidak terdisosiasi sehingga dapat
diketahui secara total semua asam yang dapat terikat oleh NaOH. Berdasarkan
data yang diperoleh, terjadi peningkatan konsentrasi total asam dari hari ke-0
sampai hari ke-35 pada semua perlakuan (Tabel 3). Hal ini sebanding dengan
penurunan nilai pH akibat adanya asam-asam organik hasil metabolisme bakteri
selama proses fermentasi. Pada hari ke-0 terjadi perbedaan total asam pada ke-3
perlakuan walaupun proses pengambilan sampel pada tempat dan waktu yang
sama. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan jumlah mikroba pada pati sagu.
Pada Tabel 5 menunjukkan data bahwa jumlah total mikrob pada perlakuan
menggunakan starter padat jumlahnya lebih sedikit dibandingkan perlakuan
lainnya sehingga konsentrasi total asam pada hari ke-0 jumlahnya lebih sedikit.
Konsentrasi total asam tertinggi pada perlakuan menggunakan starter cair, starter
padat dan tanpa starter berturut-turut yaitu 13.80 mg/mL, 11.47 mg/mL dan 11.10
mg/mL. Bakteri asam laktat (BAL) adalah mikroba yang mendominasi selama
proses fermentasi. Bakteri ini akan menggunakan gula-gula sederhana pada cairan
fermentasi yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan asamasam organik, terutama asam laktat (Anggraeni 2014).
Proses fermentasi dengan menambahkan starter cair dan padat
menghasilkan konsentrasi total asam yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan
tanpa starter pada hari ke-35. Hal ini menggambarkan bahwa bakteri asam laktat
yang ditambahkan mempengaruhi konsentrasi total asam pada cairan fermentasi.
Uji statistik (Lampiran 5.2) menunjukkan bahwa interaksi pengaruh waktu dengan

13

perlakuan berpengaruh nyata terhadap konsentrasi total asam (nilai uji 0.0304 <
0.05).
Tabel 3 Konsentrasi total asam pada cairan sagu terfermentasi
Konsentrasi total asam (mg/mL) hari kePerlakuan
Starter cair
Starter padat

0

7
bcd

9.45
0.20 h

14
ef

6.00
3.10 g

21
ef

6.00
5.03 f

bcde

9.30
7.90 de

28

35
ab

11.40
8.67 cde

a

13.80
11.47 ab

7.20 def
6.00 ef
6.00 ef
9.60bcd
10.50 bc
11.10 bc
Tanpa starter
Angka yang memiliki huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada analisis uji
Least Squares Means pada taraf 5%

Total Soluble Carbohydrate (TSC)
Gula adalah nutrisi yang dimanfaatkan oleh BAL untuk menghasilkan
asam laktat. Penurunan kadar gula pada fermentasi susu kedelai menggunakan
bakteri asam laktat diduga akibat pemanfaatkan gula sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan dan perbanyakan sel serta pembentukan metabolit oleh bakteri
selama proses fermentasi (Nisa 2008). Hasil penelitian memperlihatkan penurunan
konsentrasi TSC dalam cairan fermentasi dari hari ke-0 sampai hari ke-21 namun
saat hari ke-28 sampai ke-35 terjadi peningkatan konsentrasi TSC baik pada
perlakuan tanpa starter, penggunaan starter padat dan starter cair. Hal ini
menandakan sampai hari ke-21 terjadi penggunaan TSC oleh mikroba sampai
pada batas konsentrasi minimum. Semakin berkurangnya konsentrasi TSC pada
cairan menyebabkan mikroba yang hanya mampu menggunakan gula-gula
sederhana akan berkurang jumlahnya. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya
jumlah total mikroba pada uji TPC pada hari ke-21 pada perlakuan menggunakan
starter cair, padat dan tanpa starter (Tabel 4).
Tabel 4 Konsentrasi TSC pada cairan sagu terfermentasi
Total Soluble Carbohydrate (TSC) (mg/mL) hari ke-

Perlakuan
0
Starter cair

131.20

7
a

123.00

14
a

67.00

21
d

50.87

28
de

63.70

35
d

108.80 a

Starter padat
64.10 d
53.33 de
32.60 e
30.63 e
49.47 de
88.20 abcd
Tanpa starter 121.60 ab 124.93 a
80.77 c
53.40 de
91.13 abc
105.57 abc
Angka yang memiliki huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada analisis uji
Least Squares Means pada taraf 5%

Semakin lama proses fermentasi maka mikrob yang hidup pada
lingkungan fermentasi akan semakin selektif karena terjadi perubahan lingkungan
menjadi semakin asam. Hal ini memungkinkan semakin berkurangnya jumlah
mikrob kecuali mikrob yang toleran pada lingkungan asam. Bakteri asam laktat
merupakan salah satu jenis mikrob yang mampu hidup pada lingkungan asam.
Penelitian Lacerda et al. (2005) menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah
bakteri amilolitik pada fermentasi tepung singkong yang telah difermentasi selama
14 hari. Bakteri amilolitik tersebut diduga yaitu jenis bakteri asam laktat. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi TSC pada hari 28 sampai hari ke-35

14

karena meningkatnya jumlah BAL amilolitik. Meningkatnya konsentrasi TSC
dikarenakan semakin meningkatnya aktivitas BAL menghidrolisis polisakarida
menjadi gula-gula sederhana yang akan digunakan sebagai sumber karbon. Hasil
penelitian menunjukkan terjadi peningkatan jumlah BAL pada perlakuan
menggunakan starter padat dari hari ke-21 sampai hari ke-28 namun pada
perlakuan menggunakan starter cair dan tanpa starter pertumbuhan BAL
cenderung tetap. Selain pengaruh peningkatan jumlah BAL, adanya pengaruh
penurunan pH akan mempengaruhi konsentrasi TSC. Semakin menurunnya nilai
pH maka akan semakin banyak polisakarida yang terhidrolisis. Hal ini dapat
dilihat pada fermentasi pati sagu pada hari ke-21 (Tabel 2) dimana pada nilai pH
tersebut mulai terjadi peningkatan TSC. Uji statistik (Lampiran 5.3) menunjukkan
bahwa pengaruh interaksi waktu dan perlakuan berpengaruh nyata terhadap
konsentrasi TSC (nilai uji 0.0232 < 0.05).
Populasi Mikroorganisme
Penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) selama proses fermentasi
mempresentasikan air bersih sebagai bahan baku industri, sehingga dapat
menekan populasi mikroba khususnya mikroba patogen seperti E.coli. Namun
sampel sagu basah diperoleh dari industri yang menggunakan air sungai sebagai
air untuk ekstraksi. Hal ini dikarenakan jika menggunakan air yang berasal dari
rendaman ekstrak pati sagu dapat dipastikan bahwa jumlah bakteri patogen sangat
banyak karena air tersebut awalnya berasal dari air limbah rumah tangga. Jika
jumlah bakteri patogen jumlahnya banyak maka dikhawatirkan bakteri patogen
tersebut akan mencemari pati sagu yang dihasilkan.
Jumlah BAL pada starter cair maupun padat yang ditambahkan berbeda
pada proses fermentasi pati sagu. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan viabilitas
sel yang besar selama proses freeze drying. Untuk menyamakan jumlah sel pada
starter padat ke starter cair maka dibutuhkan 1000 g starter padat. Hal ini akan
berdampak pada sisi ekonomis pembuatan starter padat. Jumlah BAL pada hari
ke-0 tidak berbeda nyata antara perlakuan menggunakan starter cair, padat
maupun tanpa starter. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada starter padat, BAL
belum keluar dari nanoporous sagu sedangkan pada starter cair diduga BAL
langsung menempel pada sagu atau terencerkan oleh AMDK pada cairan
fermentasi.
Semakin menurunnya nilai pH dari cairan fermentasi mengindikasikan
bahwa semakin banyak konsentrasi asam laktat pada cairan tersebut (Tabel 2). Hal
ini dikarenakan semakin meningkatnya jumlah BAL selama proses fermentasi
sampai waktu tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
jumlah BAL sampai hari ke-7 baik pada perlakuan menggunakan sterter cair,
padat atau tanpa starter. Penelitian Edema (2008) menyatakan bahwa terjadi
peningkatan jumlah BAL (L. plantarum, L. brevis, L. fermentum, L. acidophilus,
L. acidilactici, L. mesenteroides, dan L. dextranicum) dan khamir (Saccaromyces
cerevisiae) selama fermentasi spontan tepung jagung selama 48 jam. Hasil yang
sama diperlihatkan oleh Nurani (2012) yang menyebutkan terjadi peningkatan
jumlah bakteri asam laktat sampai jam ke-72.
Semakin menurunnya nilai pH cairan, menyebabkan BAL harus
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang asam. Hardiningsih et al.
(2005) melaporkan bahwa isolat bakteri Lactobacillus sp mampu tumbuh

15

optimum pada pH 6 sedangkan pada pH 2 sampai 3 cenderung tetap
pertumbuhannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah hari ke-7 sampai
hari ke-35 terjadi penurunan jumlah BAL, hal ini dapat disebabkan karena
semakin sedikitnya konsentrasi gula-gula terlarut (Tabel 3) dalam cairan
fermentasi sampai hari ke-21 dan kondisi pH yang semakin asam dari hari ke hari.
Hasil statistik (Lampiran 5.4) menunjukkan bahwa pengaruh interaksi waktu dan
perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL (nilai uji 0.0282 < 0.05 ).
Adanya asam laktat dalam cairan hasil fermentasi dapat menekan jumlah
bakteri patogen seperti E. coli. Jumlah bakteri E.coli dari hari ke-7 sampai hari ke35 pada penambahan starter cair terjadi penurunan. Pada fermentasi pati sagu
tanpa menggunakan starter, jumlah bakteri E.coli terjadi peningkatan dari hari ke0 sampai hari ke-14 namun setelah itu terjadi penurunan sampai hari ke-35.
Sedangkan pada penggunaan starter padat jumlah bakteri E.coli terjadi penurunan
mulai hari ke-7 sampai hari ke-35. Penelitian Edema (2008) menyatakan bahwa
BAL jenis Lactobacillus plantarum mampu menghasilkan asam organik,
peroksida dan diacetyl dalam konsentrasi yang besar. Hal ini berguna untuk
menghambat mikrob patogen seperti Escherichia coli, Salmonella typhi,
Staphylococcus aureus dan Aspergillus flavus. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jumlah E.coli pada hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan hari ke-35 pada
ke-3 perlakuan walau terjadi penurunan. Hal ini dapat dijelaskan karena jumlah
E.coli pada hari ke-0 jumlahnya sudah banyak sedangkan jumlah starter padat
maupun starter cair yang ditambahkan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
jumlah E.coli. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya persaingan dalam hal
mendapatkan makanan selama proses fermentasi. Jika jumlah BAL dalam starter
maupun dalam pati sagu mampu tumbuh dengan baik maka BAL akan menekan
pertumbuhan jumlah E.coli. Hasil statistik (Lampiran 5.5) menunjukkan bahwa
interaksi pengaruh waktu dengan perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah E.
coli (nilai uji 0.0015 < 0.05 ). Hal ini menggambarkan bahwa proses fermentasi
dapat mengurangi jumlah bakteri patogen pada bahan makanan.
Rahmawati (2005) menyatakan ku