Seleksi Bakteri Asam Laktat dan Pemanfaatannya sebagai Starter Kering Menggunakan Matriks Tapioka Asam
SELEKSI BAKTERI ASAM LAKTAT DAN
PEMANFAATANNYA SEBAGAI STARTER KERING
MENGGUNAKAN MATRIKS TAPIOKA ASAM
IRA ERDIANDINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Seleksi Bakteri Asam
Laktat dan Pemanfaatannya sebagai Starter Kering Menggunakan Matriks
Tapioka Asam” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Ira Erdiandini
NIM G351120081
RINGKASAN
IRA ERDIANDINI. Seleksi Bakteri Asam Laktat dan Pemanfaatannya sebagai
Starter Kering Menggunakan Matriks Tapioka Asam. Dibimbing oleh ANJA
MERYANDINI dan TITI CANDRA SUNARTI.
Starter merupakan sediaan mikroorganisme yang akan ditambahkan ke
dalam bahan baku untuk menghasilkan produk pangan fermentasi. Starter
digunakan untuk mempercepat proses fermentasi dan mereduksi resiko kegagalan
selama proses fermentasi. Kultur starter dapat berbentuk cair maupun kering,
namun penggunaan kultur kering lebih menguntungkan karena dapat disimpan
dalam waktu yang lama tanpa perlu diregenerasi ulang. Bakteri yang paling
banyak digunakan untuk produksi kultur starter ialah bakteri asam laktat (BAL).
BAL yang digunakan sebagai starter harus aman bagi mikroorganisme lain dalam
tubuh dan memiliki produktivitas fermentasi yang tinggi, oleh karena itu seleksi
terhadap galur BAL yang digunakan sebagai starter penting dilakukan. Dua
kriteria penting yang digunakan untuk seleksi yaitu kemampuan produksi asam
laktat dan sensitivitas terhadap antibiotik. BAL yang digunakan untuk produksi
kultur starter juga harus memiliki viabilitas sel yang tinggi setelah proses
pengeringan dan selama penyimpanan, oleh karena itu teknik pengeringan dan
penggunaan matriks yang tepat juga merupakan faktor penting untuk
menghasilkan kultur starter yang baik. Tapioka asam merupakan pati
termodifikasi dari tapioka alami yang dihasilkan melalui proses fermentasi.
Tapioka asam berpotensi untuk digunakan sebagai matriks enkapsulasi BAL
karena diproduksi melalui proses fermentasi oleh BAL, tidak mengandung bahan
tambahan pangan (BTP) dan mengandung monosakarida hasil fermentasi yang
dapat berperan sebagai pelindung (protectant) selama proses pengeringan dan
penyimpanan. Bahan baku tapioka asam juga tersedia luas, ekonomis dan dapat
diperbaharui sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai matriks enkapsulasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi starter kering BAL menggunakan
matriks tapioka asam dan mengkaji viabilitasnya selama penyimpanan.
Sebelas isolat BAL lokal yang berasal dari fermentasi spontan komoditas
karbohidrat pada penelitian sebelumnya, diseleksi berdasarkan kemampuan
produksi asam dan sensitivitas antibiotik. Seleksi awal terhadap kemampuan
produksi asam dilakukan dengan menghitung total asam tertitrasi dan pengukuran
pH media kultur. Sensitivitas isolat terhadap antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan
kloramfenikol juga diuji dengan metode difusi cakram. Dari hasil seleksi awal
kemudian dipilih isolat yang memiliki total asam tinggi dan tidak resisten
terhadap antibiotik yang diujikan untuk diukur kemampuan produksi asam
laktatnya menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC). Isolat
hasil seleksi yang dipilih ialah isolat yang memiliki kemampuan produksi asam
laktat lebih tinggi. Isolat tersebut kemudian dikarakterisasi karakter morfologinya
dan diamati kurva pertumbuhannya. Pengamatan karakter morfologi dilakukan
menggunakan mikroskop cahaya meliputi pewarnaan Gram dan bentuk sel. Kurva
tumbuh diamati dengan melakukan perhitungan jumlah sel (log CFU/mL) dan
pengukuran terhadap optical density (OD) menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang ( ) 620 nm. Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode
total plate count (TPC) pada media de Man Rogosa Sharpe agar (MRSA) yang
diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Pengamatan dilakukan setiap jam
hingga sel mencapai tingkat pertumbuhan spesifik maksimal (µ m, h-1).
Produksi starter kering dari isolat terpilih dilakukan menggunakan freeze
dryer (-50oC) dan spray dryer (suhu inlet 170oC, suhu outlet 70oC). Matriks yang
digunakan ialah tapioka asam, sedangkan tapioka asam dengan penambahan 10%
susu skim digunakan sebagai kontrol positif. Starter kering yang dihasilkan
kemudian disimpan di dalam alumunium foil kedap udara untuk diukur kadar air
(%), viabilitas sel (CFU/g) sekaligus tingkat ketahanan sel (%) setelah
pengeringan. Pengujian stabilitas penyimpanan dilakukan terhadap hasil starter
kering terbaik dengan menyimpannya selama empat minggu pada suhu dingin
(4oC) dan suhu ruang (28oC). Parameter yang diukur yaitu viabilitas sel pada hari
ke-0, 7, 14, 21 dan 28 setelah penyimpanan. Pengukuran viabilitas sel dilakukan
dengan metode sebar (spread-plate method) pada media MRSA dan diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 48 jam.
Hasil seleksi awal terhadap total asam tertitrasi dan sensitivitas terhadap
antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol menunjukkan bahwa isolat
E1222 dan D4 tidak resisten terhadap ketiga antibiotik yang diujikan serta
memiliki total asam tertitrasi yang lebih tinggi. Hasil seleksi selanjutnya
menggunakan HPLC menunjukkan bahwa isolat E1222 memproduksi asam laktat
lebih tinggi (16581.88 mg/L) dibandingkan dengan isolat D4 (14609.24 mg/L).
Isolat E1222 yang menunjukkan hasil terbaik tersebut telah teridentifikasi sebagai
Pediococcus pentosaceus. Hasil karakterisasi morfologi menunjukkan bahwa
isolat E1222 termasuk kelompok Gram positif dan berbentuk kokus. Isolat E1222
mencapai laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ m = 0.027 h-1) pada jam ke-6,
sehingga kultur isolat E1222 yang dikeringkan menggunakan freeze dryer dan
spray dryer ialah kultur berumur enam jam. Hasil pengeringan menunjukkan
bahwa starter kering hasil pengeringan beku (freeze drying) mampu
mempertahankan viabilitas sel lebih tinggi dibandingkan starter kering hasil
pengeringan semprot (spray drying), yaitu masing-masing 10.34 log CFU/g dan
8.91 log CFU/g. Penggunaan matriks tapioka asam juga mampu mempertahankan
viabilitas sel selama pengeringan mencapai 89% setelah pengeringan beku dan
76% setelah pengeringan semprot. Hasil uji stabilitas penyimpanan starter kering
hasil pengeringan beku menunjukkan bahwa selama penyimpanan empat minggu,
viabilitas sel mampu dipertahankan hingga 89.38% pada suhu dingin (4oC) dan
mencapai 0% pada suhu ruang (28oC). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
starter kering isolat E1222 baik diproduksi menggunakan freeze dryer dan
disimpan pada suhu dingin (4oC).
Kata kunci: starter kering, bakteri asam laktat, tapioka asam, pengeringan beku,
pengeringan semprot
SUMMARY
IRA ERDIANDINI. Selection of Lactic Acid Bacteria and Its Application as
Dried Starter using Sour Cassava Starch as Matrix. Supervised by ANJA
MERYANDINI and TITI CANDRA SUNARTI.
Starter is a microbial preparation that will be added to the raw materials in
production of fermented food products. It is used to accelerate the fermentation
process and reduce the risk of failure during the fermentation. Although starter
cultures could be in the liquid or dry forms, the dried culture is more
advantageous due to its long stability without regenerated. The most widely used
bacteria for starter cultures production is lactic acid bacteria (LAB). LAB as a
starter should be safe for other natural microorganisms in human body and has a
high fermentation productivity. Therefore, the strains selection of LAB which
would be used as a starter is important to do. The important criterias for LAB
selection are the ability of producing lactic acid and antibiotic sensitivity. LAB
should also have a high cell viability after the drying process and during storage,
meaning that drying techniques and proper matrix are also pivotal factors to
produce a desirable starter cultures. Sour cassava starch is a modified starch which
is produced from fermented tapioca. This material has promising properties for
LAB encapsulation matrix because it is prepared using LAB-induced
fermentation, and does not contain food chemical additives as well as contain
fermented monosaccharides which can act as a protective agent (protectant)
during drying and storage. Raw materials of sour cassava starch are widely
available, economical and renewable. The aims this study were to produce LAB
dried starter using sour cassava starch matrix and to study its viability after
storage.
Eleven local LAB isolates obtained from spontaneous fermentation of
carbohydrate commodity were selected based on their acid production ability and
antibiotic sensitivity. The initial selection of the acid production ability was
conducted by measuring the total acid and pH level of culture media. The isolate
sensitivity to antibiotics tetracycline, erythromycin and chloramphenicol were
tested by disc diffusion method. The isolate that produce high level of acid and is
vulnerable to antiobiotics was selected and subsequently evaluated its lactic acid
production using high performance liquid chromatography (HPLC). The isolate
that have a higher production of lactic acid was choosen for this study.
Furthermore, its morphological character and growth curve were observed.
Morphological characters have been observed using a light microscope including
Gram staining and cell shape observation. Growth curve was observed by
calculation of cell numbers (log CFU/mL) while the optical density (OD) using a
spectrophotometer at a wavelength ( ) 620 nm. Cell numbers was calculated using
total plate count (TPC) on de Man Rogosa Sharpe agar (MRSA) medium were
incubated at 37°C for 48 hours. Observation was conducted every hour until the
cells reached a maximum specific growth rate ( m,h-1).
Dried starter of selected isolate was produced using freeze dryer (-50oC) and
spray dryer (inlet 170°C, outlet 70°C). The matrix used was sour cassava starch
and sour cassava starch enriched with 10 % skim milk were used as the positive
control. Starter has been stored in an airtight aluminum foil for water content
analysis (%), cell viability (log CFU/g) and survival rate (%) after drying. Storage
stability of the best starter was evaluated in four weeks storage at a cold
temperature (4°C) and room temperature (28°C). Cell viability was measured at 0,
7, 14, 21 and 28 days after storage. Cell viability was measured using spread-plate
method on MRSA medium and incubated at 37°C for 48 hours. Results from the
initial selection of the total acid titrated and sensitivity to antibiotics tetracycline,
erythromycin and chloramphenicol showed that isolates E1222 and D4 were not
resistant to all antibiotics tested and had higher total acid titrated. The selection
result using HPLC showed that E1222 isolate produced higher lactic acid
(16581.88 mg/L) than D4 isolate (14609.24 mg/L). E1222 isolate that showed the
best result was identified as Pediococcus pentosaceus. Morphological
characterization showed that E1222 isolate was Gram-positive and cocci. E1222
isolate achieved the maximum specific growth rate ( m = 0.027 h-1) at the 6th hour,
thus E1222 isolate culture which was processed using spray dryer and freeze dryer
was sixth hours culture. The results showed that freeze dried starter resulted in
higher cell viability (10.34 log CFU/g) than spray dried starter (8.91 log CFU/g).
Sour cassava starch matrix was also able to maintain cell viability during drying
reaches 89% after freeze drying and 76% after spray drying. Tested result of
storage stability of freeze dried starter showed that during the four weeks of
storage, cell viability could be maintained up to 89.38% at cold temperature (4°C)
and reaches 0% at room temperature (28°C). The results suggested that the dried
starter E1222 isolate was best produced using freeze dryer and stored at cold
temperature (4°C).
Key word: dried starter, lactic acid bacteria, sour cassava starch, freeze drying,
spray drying
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SELEKSI BAKTERI ASAM LAKTAT DAN
PEMANFAATANNYA SEBAGAI STARTER KERING
MENGGUNAKAN MATRIKS TAPIOKA ASAM
IRA ERDIANDINI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Suryani, SP MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan
sejak Juli 2013 hingga Oktober 2014 di Laboratorium PPSHB IPB. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah starter kering, dengan judul Seleksi Bakteri
Asam Laktat dan Pemanfaatannya sebagai Starter Kering Menggunakan Matriks
Tapioka Asam.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Anja Meryandini MS sebagai
ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Titi Candra Sunarti MSi sebagai anggota
komisi pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, nasehat, waktu
konsultasi dan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini, serta terima kasih
kepada penguji luar komisi Dr Suryani MSc dan Dr Nisa Rachmania Mubarik
MSi sebagai perwakilan dari ketua jurusan yang telah memberikan saran dan
nasehat untuk perbaikan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada DIKTI melalui Beasiswa Unggulan selama menempuh pendidikan
pascasarjana di IPB dan hibah penelitian tahun 2014 a.n. Dr Ir Titi Candra Sunarti
MSi sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat terlaksana dengan baik.
Penghargaan penulis sampaikan kepada staf dan laboran di laboratorium
Bioteknologi Hewan dan Biomedis, PPSHB IPB Ibu Dewi, Fitri, Fathin, Hamtini,
Anik, Novianti, Lia, Ika, Rahmi, Debi, Wahyu serta seluruh teman-teman
laboratorium Mikrobiologi IPB atas dukungan, motivasi dan bantuannya selama
penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan di Pascasarjana
Mikrobiologi IPB angkatan 2012 yang telah memberikan kebersamaan yang
harmonis, bantuan, dukungan dan motivasi selama studi di IPB. Terima kasih
penulis ucapkan kepada rekan-rekan HIMMPAS IPB Henny, Khusnul, Zahra, Ega,
Utez, Rusdah dan lainnya, serta rekan-rekan BSC IPB Efa, Nadhirah, Retno, Nia,
Edwin, Evan dan Dewi. Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Murniandy
SE, ibu Erna Achjani SH (alm), ibu Atiek, mas Arie Erdiandani ST, mbak Retno
Maulida ST, Rio Erdiantono SE, si kecil Rakha dan Naura, mas Edi Miarso ST
serta keluarga besar Djafar Ani atas doa, dukungan, kasih sayang, motivasi dan
semangat yang diberikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Sumarsih dan
anaknya Siti Kulsum serta seluruh pihak yang telah memberikan doa dan
dukungan kepada penulis selama studi di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi amal sholeh.
Bogor,
Juli 2015
Ira Erdiandini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
xvi
xvi
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Bakteri Asam Laktat
3
Enkapsulasi
4
Matriks
6
Tapioka Asam
7
METODOLOGI PENELITIAN
7
Tempat dan Waktu
7
Bahan dan Alat
7
Seleksi Isolat BAL
7
Karakterisasi Isolat Terpilih
8
Enkapsulasi BAL
8
Stabilitas Penyimpanan
9
Analisis Statistik
9
HASIL PEMBAHASAN
Isolat BAL Lokal Terbaik
9
9
Karakteristik Isolat Terpilih
12
Karakteristik BAL Terenkapsulasi
14
Stabilitas Starter selama Penyimpanan
17
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
24
DAFTAR TABEL
1 Interpretasi diameter zona hambat antibiotik
2 Sensitivitas antibiotik isolat BAL
3 Kemampuan produksi asam isolat BAL yang dikulturkan pada media
MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam
4 Viabilitas sel bakteri dan kadar air kultur kering setelah enkapsulasi
5 Tingkat ketahanan sel (%) bakteri kultur kering setelah enkapsulasi
8
10
11
15
16
DAFTAR GAMBAR
1 Tipe bahan enkapsulan
2 Kromatogram hasil HPLC produksi asam laktat isolat E1222 dan D4
pada media MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam
3 Kurva tumbuh isolat E1222 pada media MRSB, suhu 37 oC
4 Stabilitas starter selama penyimpanan suhu 28 oC dan 4 oC serta
persentasenya
6
12
13
17
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur pengukuran total asam tertitrasi dan uji sensitivitas antibiotik
2 Prosedur pengukuran viabilitas sel dan kadar air
3 Starter kering hasil pengeringan beku dan pengeringan semprot
menggunakan matriks tapioka asam
4 Analisis statistik data viabilitas sel dan kadar air starter kering setelah
enkapsulasi
5 Analisis statistik data ketahanan sel bakteri (%) starter kering setelah
enkapsulasi
24
24
25
26
28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri Gram positif yang banyak
digunakan sebagai starter fermentasi. BAL memproduksi asam laktat sebagai
produk utama fermentasi yang berperan sebagai preservasi bahan makanan
(Schnurer dan Magnusson 2005). Pemanfaatan BAL sebagai starter telah
dilakukan dalam berbagai bentuk produk makanan terfermentasi seperti keju
(Gomez-Ruiz et al. 2008), susu (Wang et al. 2012), daging (Liu et al. 2010) dan
tepung (Putri et al. 2011). Seleksi terhadap galur BAL yang digunakan sebagai
starter penting dilakukan untuk mengefektifkan proses fermentasi dan
meningkatkan kualitas produk akhir (Stanbury dan Whitaker 1984). BAL yang
digunakan sebagai starter harus memiliki produktivitas fermentasi yang tinggi dan
tidak resisten terhadap antibiotik (Hummel et al. 2007). Kriteria tersebut dapat
diketahui melalui kemampuan produksi asam laktat dan sensitivitas antibiotik.
Beberapa dekade terakhir, BAL yang digunakan sebagai starter fermentasi
diketahui dapat membawa gen resisten antibiotik (Mathur dan Singh 2005;
Hummel et al. 2007). Toomey et al. (2010) menemukan bahwa sebelas galur
Enterococci, Lactobacilli dan Streptococci resisten eritromisin terdeteksi
membawa gen erm(B) dan msrA/B. Kastner et al. (2006) menemukan adanya gen
resisten tetrasiklin tet(W) pada galur yang digunakan sebagai kultur starter
fermentasi daging. BAL resisten antibiotik dapat mentransfer gen resistennya
pada bakteri patogen maupun bakteri asam laktat lain (Ammor et al. 2007;
Toomey et al. 2010). Penggunaan BAL yang tidak resisten antibiotik sebagai
starter fermentasi diharapkan dapat mengurangi penyebaran resistensi antibiotik
terutama terhadap bakteri patogen.
Produksi starter BAL dalam bentuk kering dapat dilakukan dengan metode
enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan metode jerapan suatu substansi ke dalam
substansi lain, menghasilkan partikel dalam ukuran nanometer (nm), mikrometer
(µm) atau dalam skala millimeter (mm) (Lakkis 2007; Burgain et al. 2011).
Enkapsulasi yang menghasilkan partikel dalam ukuran mikrometer juga dikenal
sebagai mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi dapat meliputi pengeringan sel
bakteri yang bertujuan untuk memperpanjang waktu simpan (Nazzaro et al. 2012;
Nupoor dan Rathore 2012). Teknik pengeringan yang digunakan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi kualitas starter kering yang dihasilkan. Starter
kering BAL harus memiliki viabilitas sel yang tinggi setelah proses pengeringan
dan relatif stabil selama proses penyimpanan (Carvalho et al. 2004;
Peighambardoust et al. 2011). Teknik pengeringan kultur bakteri yang sering
digunakan yaitu pengeringan beku dan pengeringan semprot (Morgan et al. 2006;
Peighambardoust et al. 2011). Yao et al. (2009) memproduksi kultur starter
fermentasi Gari menggunakan metode pengeringan beku dan mampu
mempertahankan tingkat ketahanan sel (survival rate) Lactobacillus plantarum
G2/25 hingga mencapai 93.1%. Lian et al. (2002) mampu mempertahankan
tingkat ketahanan sel Bifidobacteria setelah pengeringan semprot sebesar 82.6%.
Keberhasilan proses enkapsulasi juga dipengaruhi oleh jenis matriks yang
digunakan. Matriks merupakan bahan enkapsulan yang digunakan untuk menyalut
BAL selama proses enkapsulasi (Lakkis 2007). Matriks harus mampu berperan
2
sebagai pelindung bagi BAL, aman dikonsumsi dan harganya murah sehingga
harga produk akhir menjadi ekonomis. Salah satu bahan baku matriks yang
harganya ekonomis, tersedia melimpah, dapat diperbaharui, mudah terdegradasi
dan non toksik ialah pati (De Vos et al. 2010, Winarti et al. 2013). Pati
merupakan makromolekul organik yang terdiri atas rantai-rantai monomer yang
dihubungkan oleh ikatan kovalen. Struktur kimia dan konformasi rantai monomer
menjadikan pati memiliki kemampuan membentuk gel sehingga dapat digunakan
sebagai matriks dalam proses enkapsulasi mikroorganisme (Gbassi dan
Vandamme 2012). Tapioka asam merupakan pati termodifikasi dari tapioka alami
yang diproduksi melalui proses fermentasi. Tapioka asam berpotensi untuk
digunakan sebagai matriks enkapsulasi BAL karena memiliki beberapa kelebihan.
Pertama, tapioka asam diproduksi melalui proses fermentasi oleh BAL sehingga
dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan yang baik juga bagi BAL. Kedua, cara
produksi yang alami pada tapioka asam menyebabkan tidak adanya kandungan
bahan tambahan pangan (BTP) yang berbahaya bagi mikroorganisme. Ketiga,
proses fermentasi pada tapioka asam menyebabkan pemutusan polisakarida
menjadi monosakarida yang bermanfaat sebagai protektan selama proses
pengeringan dan penyimpanan. Keempat, tapioka asam memiliki kelarutan lebih
tinggi dibandingkan tapioka alami. Hal ini menyebabkan starter fermentasi yang
menggunakan matriks tapioka asam lebih mudah larut pada bahan baku
fermentasi sehingga mempercepat proses aktivasi bakteri yang terperangkap.
Berbagai kelebihan tapioka asam tersebut, sekaligus ketersediaan bahan baku
yang melimpah menyebabkan tapioka asam potensial untuk digunakan sebagai
matriks enkapsulasi, namun penelitian mengenai produksi starter kering BAL
menggunakan matriks tapioka asam belum banyak dilakukan. Produksi starter
kering BAL menggunakan matriks tapioka asam diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan starter BAL yang ekonomis untuk fermentasi makanan.
Perumusan Masalah
Starter fermentasi yang digunakan dapat dalam bentuk kultur cair maupun
kultur kering. Penggunaan kultur kering lebih menguntungkan karena dapat
disimpan lebih lama dan tidak perlu peremajaan kultur berulang. Namun, produksi
kultur kering sebagai starter sering terkendala oleh penurunan viabilitas sel selama
proses pengeringan dan penyimpanan. Pengeringan beku dan pengeringan
semprot merupakan dua teknik dehidrasi yang sering digunakan untuk produksi
kultur kering bakteri asam laktat. Pengeringan dilakukan dengan tambahan bahan
enkapsulan (matrix) yang berperan sebagai pelindung bagi bakteri asam laktat
selama proses pengeringan. Tapioka asam merupakan pati termodifikasi yang
ketersediaan bahan bakunya melimpah. Pati termodifikasi memiliki struktur
kristalin yang dapat menjerap bakteri asam laktat sehingga dapat digunakan
sebagai matriks. Penggunaan metode pengeringan dan matriks yang tepat
diharapkan mampu mempertahankan viabilitas sel kultur kering setelah
pengeringan dan selama penyimpanan.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan seleksi BAL lokal untuk diproduksi
sebagai starter kering menggunakan matriks tapioka asam.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai BAL lokal yang
berpotensi dimanfaatkan untuk produksi starter kering menggunakan matriks
tapioka asam, sekaligus metode dan suhu penyimpanan yang dapat digunakan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Seleksi isolat BAL lokal berdasarkan kemampuan produksi asam dan
sensitivitas terhadap antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol.
2. Pembuatan kultur kering isolat terpilih menggunakan matriks tapioka asam
dengan metode pengeringan beku dan pengeringan semprot.
3. Pengujian viabilitas sel setelah pengeringan dan stabilitas penyimpanan
selama empat minggu pada suhu 28 oC dan 4 oC.
TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok mikroorganisme yang
terdistribusi luas di alam dan berasosiasi dengan produk susu, sayuran dan daging
(Carr et al. 2002). BAL bersifat Gram positif dan mampu memproduksi asam
laktat sebagai produk utama hasil fermentasi. BAL secara taksonomi dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan “GC”. Kelompok dengan
kandungan “GC rendah” diantaranya yaitu genus Enterococcus, Lactobacillus,
Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus. Kelompok dengan
kandungan “GC tinggi” yaitu genus Bifidobacteria (Schleifer dan Ludwig 1995).
Berdasarkan jenis asam yang dihasilkan selama fermentasi, BAL dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu BAL homofermentatif dan BAL heterofermentatif. BAL
homofermentatif hanya memproduksi asam laktat sebagai produk utama
fermentasi, sedangkan BAL heterofermentatif mampu memproduksi produk
tambahan lain seperti karbondioksida, etanol dan asetat (Carr et al. 2002).
BAL merupakan kelompok bakteri yang paling banyak digunakan sebagai
starter fermentasi. Penambahan starter bertujuan untuk mengontrol proses
fermentasi (Stanbury dan Whitaker 1984). Fermentasi asam laktat juga memiliki
peranan positif bagi kualitas makanan yang terfermentasi diantaranya yaitu
menambahkan aroma (Kam et al. 2011), meningkatkan nutrisi (Nout 2009;
Chelule et al. 2010), mengawetkan makanan (Schnurer dan Magnusson 2005) dan
mampu menurunkan konsentrasi toksin pada makanan (Mokoena et al. 2006).
BAL dapat menyimpan gen resisten antibiotik dan mentransfernya pada
bakteri patogen manusia selama proses fermentasi makanan maupun selama
4
melalui saluran pencernaan manusia. Hal ini menyebabkan penggunaan BAL
resisten antibiotik sebagai starter fermentasi dapat meningkatkan penyebaran
bakteri resisten antibiotik, terutama pada bakteri patogen manusia. Penyebaran
resistensi antibiotik ini pada bakteri patogen manusia dapat menyebabkan
penurunan efektivitas penggunaan antibiotik dalam pengobatan. Hal ini
menyebabkan pengujian resistensi galur BAL yang digunakan sebagai starter
menjadi sangat penting (Mathur dan Singh 2005; Ammor et al. 2007).
Penyebaran resistensi antibiotik pada BAL dapat terjadi melalui dua cara
yaitu melalui plasmid konjugasi pada BAL yang membawa kode gen resisten
antibiotik dan melalui transposon konjugatif pada BAL. Plasmid konjugatif umum
ditemukan pada Lactococci, Pediococci dan beberapa spesies Lactobacillus. Gen
resisten antibiotik secara alami tidak terdapat pada plasmid konjugatif pada BAL.
Gen resisten antibiotik diapit oleh elemen insertion sequence (IS) pada plasmid
konjugatif yang umumnya berasal dari spesies Enterococcal dan Staphylococcal
(Ammor et al. 2007). Transposon merupakan elemen loncat yang membawa kode
genetik dari satu DNA ke bagian DNA yang lain (Snyder dan Champness 2009).
Transposon Enterococcal Tn916-Tn1545 yang membawa gen resistensi terhadap
tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol telah tertransfer secara luas pada bakteri
Gram positif melalui konjugasi, diantaranya yaitu Lactococcus lactis subsp. lactis
dan Leuconostoc mesenteroides (Perreten et al. 1997).
Enkapsulasi
Penyimpanan kultur BAL untuk fermentasi dapat dilakukan dalam bentuk
kering melalui metode enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan metode jerapan suatu
substansi ke dalam substansi lain, menghasilkan partikel dalam ukuran nanometer
(nanoenkapsulasi), mikrometer (mikroenkapsulasi) atau dalam skala milimeter
(Lakkis 2007; Burgain et al. 2011). Mikroenkapsulasi dapat meliputi pengeringan
substansi aktif biologi (DNA atau sel) yang secara umum bertujuan untuk
memperpanjang waktu penyimpanan (Nupoor dan Rathore 2012). Teknik
pengeringan sel mikroorganisme yang sering digunakan yaitu pengeringan beku
dan pengeringan semprot (Morgan et al. 2006; Peighambardoust et al. 2011).
Pengeringan beku pertama kali digunakan di industri pada tahun 1950.
Proses pengeringan beku terdiri atas tiga tahap, yaitu (a) pembekuan bahan baku,
(b) sublimasi es (pengeringan primer) dan (c) menghilangkan sisa air hingga
membentuk padatan (pengeringan sekunder atau desorption). Kelebihan metode
pengeringan beku dibandingkan dengan metode pengeringan yang lain ialah pada
kualitas produk hasil pengeringan, diantaranya yaitu (1) bahan tidak mengalami
penyusutan, (2) produk hasil pengeringan memiliki struktur pori tipis yang dapat
memfasilitasi rehidrasi, (3) suhu yang digunakan lebih rendah dibandingkan
dengan metode lain sehingga dapat mengurangi kerusakan produk akibat paparan
suhu dan (4) penyimpanan yang baik bagi senyawa yang mudah menguap selama
proses pengeringan beku. Produk hasil pengeringan beku biasanya higroskopis,
mudah teroksidasi dan rapuh sehingga biaya pengemasan lebih tinggi
dibandingkan dengan produk hasil pengeringan dengan metode lain. Penggunaan
metode ini membutuhkan biaya paling tinggi dibandingkan dengan metode lain
(Brennan et al. 2006).
5
Pengeringan semprot pertama kali dipatenkan oleh Samuel Percy pada tahun
1872. Pengeringan semprot melibatkan atomisasi materi yang akan dienkapsulasi
menjadi tetesan yang akan dihubungkan dengan ruangan yang dialirkan air panas.
Proses pembentukan partikel dan pengeringan menggunakan teknik pengeringan
semprot terjadi pada waktu yang bersamaan sehingga prosesnya lebih efektif dan
efisien untuk produksi berkelanjutan (Peighambardoust et al. 2011). Teknik ini
memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) ekonomis karena hanya membutuhkan
waktu singkat untuk kontak dengan alat pengering (Nupoor dan Rathore 2012);
(2) efektif untuk produksi kultur starter dalam jumlah besar karena proses
pengeringan cepat dan mampu memproduksi secara berkelanjutan
(Peighambardoust et al. 2011); (3) fleksibel terhadap variasi matriks yang
digunakan (Desai dan Park 2005) dan (4) partikel hasil produksi memiliki kualitas
yang bagus dan dapat disimpan dalam waktu yang lama (Desai dan Park 2005;
Peighambardoust et al. 2011).
Viabilitas sel yang dapat dipertahankan setelah proses enkapsulasi
merupakan faktor penting yang menentukan kualitas starter kering bakteri.
Standar minimal kultur bakteri yang digunakan sebagai starter dalam produk
fermentasi ialah 107 CFU/g (Kaliasapathy dan Chin 2000). Faktor-faktor yang
mempengaruhi viabilitas sel mikroorganisme setelah pengeringan beku meliputi
faktor intrinsik, faktor pertumbuhan, perlakuan sub-letal, media pengeringan serta
kondisi penyimpanan dan rehidrasi. Faktor intrinsik merupakan faktor genetis
mikroorganisme yang menentukan perbedaan fenotip sel, perbedaan susunan
dinding dan membran sel dengan titik leleh fosfolipid yang berbeda antara galur
yang satu dengan yang lain. Faktor pertumbuhan meliputi akumulasi senyawa
terlarut yang sesuai yaitu ketersediaan substrat gula pada media pertumbuhan,
produksi eksopolisakarida dan perubahan profil membran. Faktor perlakuan
subletal merupakan pemberian perlakuan panas atau dingin untuk meningkatkan
resistensi sel dengan melakukan perubahan membran dan sintesis protein stres.
Faktor media pengeringan meliputi bahan pelindung yang digunakan diantaranya
yaitu gula dan susu skim. Susu skim dipilih sebagai media pengeringan karena
dapat mencegah kerusakan sel dengan menstabilisasi membran sel, dapat
membentuk struktur berpori pada produk hasil pengeringan beku sehingga
memudahkan proses dehidrasi dan terdiri atas protein-protein yang berperan
sebagai mantel pelindung sel. Faktor penyimpanan dan dehidrasi meliputi
penggunaan suhu yang digunakan (Carvalho et al. 2004). Faktor yang
mempengaruhi viabilitas sel mikroorganisme setelah pengeringan suhu tinggi
(pengeringan semprot) terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi toleransi stres intrinsik mikroorganisme dan
tingkat kerusakan subseluler mikroorganisme. Faktor ekstrinsik meliputi proses
selama persiapan adaptasi mikroorganisme, proses selama pengeringan dan
setelah proses pengeringan. Proses selama persiapan adaptasi mikroorganisme
meliputi fase kultur yang digunakan, bahan pelindung yang digunakan untuk
meningkatkan kemampuan bertahan hidup mikroorganisme dan pengaruh
terhadap perlakuan sebelum pengeringan terhadap viabilitas sel. Proses selama
pengeringan meliputi kondisi pengeringan dan suhu outlet yang digunakan. Proses
setelah pengeringan meliputi kondisi penyimpanan sel (Fu dan Chen 2011).
6
Matriks
Substansi yang digunakan sebagai bahan enkapsulan biasa disebut membran
mantel, kapsul, bahan penyalut, fase eksternal atau matriks. Bahan enkapsulan
yang digunakan dalam produk makanan harus aman dikonsumsi dan harus dapat
melindungi agen aktif dari lingkungannya. Bahan enkapsulan memiliki tiga tipe,
yaitu tipe penyimpanan (reservoir), tipe matriks dan tipe matriks berlapis
(Gambar 1). Tipe penyimpanan memiliki lapisan yang menyelimuti bahan inti
yang disebut kapsul. Pada tipe matriks, agen aktif tersebar di bahan pembawa dan
juga dapat ditemukan pada permukaan. Kombinasi dari kedua tipe tersebut ialah
matriks berlapis, yaitu keberadaan agen aktif seperti berada di dalam kapsul yang
dilindungi oleh lapisan tambahan (Zuidam dan Nedovic 2010).
(a)
Gambar 1
(b)
(c)
Tipe bahan enkapsulan (Zuidan dan Nedovic 2010) (a) tipe
penyimpanan, (b) tipe matriks dan (c) tipe matriks berlapis.
Bahan enkapsulan yang digunakan antara lain yaitu polisakarida, ekstrak
tanaman, ekstrak hasil laut, protein, lemak serta polisakarida yang berasal dari
mikroorganisme dan hewan. Polisakarida yang dapat digunakan sebagai bahan
enkapsulan yaitu pati dan turunannya seperti amilosa, amilopektin, dekstrin,
maltodekstrin, polidekstrosa, sirup serta selulosa dan turunannya (O’Riordan et al.
2001; Semyonov et al. 2010). Ekstrak tanaman yang dapat digunakan sebagai
bahan enkapsulan yaitu gum Arab, galaktomanan, pektin dan polikasarida terlarut
yang terdapat dalam kedelai (Desmond et al. 2002). Ekstrak hasil laut yang dapat
digunakan sebagai bahan enkapsulan yaitu karagenan dan alginat (Gbassi et al.
2010; Fu et al. 2011). Protein yang dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan
yaitu susu dan protein limbah tahu seperti kasein, gelatin dan gluten (Picot dan
Lacroix 2004; Doherty et al. 2011; Khoramnia et al. 2011). Lemak yang dapat
digunakan sebagai bahan enkapsulan yaitu asam lemak, gliserida dan fosfolipid
(Hou et al. 2003). Polisakarida yang berasal dari mikroorganisme dan hewan yang
dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan yaitu dekstran dan kitosan (Hubalek
2003; Krasaekoopt et al. 2006). Pati merupakan salah satu bahan enkapsulan yang
direkomendasikan karena harganya murah sehingga dapat menekan biaya
produksi (De Vos et al. 2010).
Pati merupakan polimer alami yang diproduksi oleh tanaman sebagai
sumber cadangan energi. Pati merupakan biomassa yang kelimpahannya tinggi di
alam. Pati tersusun atas dua makromolekul glukosidik, yaitu amilosa dan
amilopektin. Granula pati terdiri atas lapisan amorf dan kristalin yang berselangseling membentuk cincin sehingga dapat berperan sebagai matriks yang menjerap
agen aktif selama proses enkapsulasi (Le Corre et al. 2010; Winarti et al. 2013).
7
Tapioka Asam
Tapioka asam (sour cassava starch) merupakan produk pati termodifikasi
yang dihasilkan melalui fermentasi tapioka (native cassava starch) dan diikuti
dengan pengeringan di bawah sinar matahari (Cardenas dan Buckle 1980).
Fermentasi mampu meningkatkan kualitas tapioka alami sekaligus merubah
struktur dan sifat fisiko-kimia pada tapioka asam. Perubahan struktural pati
termodifikasi berpotensi untuk diaplikasikan sebagai matriks selama proses
enkapsulasi (Winarti et al. 2013).
Pati yang baik digunakan sebagai matrik ialah pati yang memiliki kelarutan
tinggi dan viskositas yang rendah. Modifikasi pada pati tapioka asam melalui
proses fermentasi mampu meningkatkan kelarutan sekitar 10-30% dibandingkan
tapioka alami (Putri et al. 2011), serta penurunan viskositas dibandingkan dengan
tapioka alami (Putri et al. 2012). Dua faktor ini menyebabkan tapioka asam
berpotensi untuk dijadikan matriks enkapsulasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan
Biomedis PPSHB LPPM IPB pada bulan Juli 2013 – Oktober 2014.
Bahan dan Alat
Isolat bakteri asam laktat lokal yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Sebelas isolat BAL lokal tersebut
telah diisolasi dari fermentasi spontan jagung (E1212, E1211, E2211, E2113.5,
E2112, E1222, E2121) oleh Rosyidah (2013) dan fermentasi spontan tepung sagu
(D3, D4, D5, D7) oleh Suseno (2015). Matriks yang digunakan untuk enkapsulasi
ialah tepung tapioka asam. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
freeze dryer, spray dryer, high performance liquid chromatography (HPLC),
spektrofotometer, pH meter dan inkubator.
Seleksi Isolat BAL
Seleksi BAL lokal dilakukan terhadap kemampuan produksi asam dan
sensitivitas terhadap antibiotik. Kemampuan isolat BAL dalam memproduksi
asam dilakukan dengan menghitung total asam tertitrasi (AOAC 1995) dan
pengukuran pH menggunakan pH meter. Uji sensitivitas antibiotik dilakukan
dengan metode difusi cakram terhadap antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan
kloramfenikol. Interpretasi sensitivitas isolat terhadap antibiotik yang diujikan
dilakukan menggunakan standar Johnson dan Case (2007) (Tabel 1). Isolat yang
mampu memproduksi total asam tinggi dan tidak resisten terhadap antibiotik yang
diujikan kemudian diukur kemampuan produksi asam laktatnya menggunakan
HPLC. Isolat terpilih merupakan isolat yang memproduksi asam laktat paling
8
tinggi, yang kemudian digunakan untuk uji selanjutnya. Prosedur pengukuran
total asam tertitrasi dan uji sensitivitas antibiotik selengkapnya disajikan pada
Lampiran 1.
Tabel 1 Interpretasi diameter zona hambat (Ø) antibiotik
Interpretasi
Sensitif (S)
Intermediet (I)
Resisten (R)
a
Tetrasiklin (30 µg)
Eritromisin (15 µg)
Kloramfenikol (30 µg)
Ø ≥ 19 mm
Ø ≥ 23 mm
Ø ≥ 18 mm
18 mm ≥ Ø ≥ 15 mm
22 mm ≥ Ø ≥ 14 mm
Ø ≤ 14 mm
Ø ≤ 13 mm
16 mm ≥ Ø ≥ 14 mm
Ø ≤ 12 mm
Sumber : Johnson dan Case (2007).
Karakterisasi Isolat Terpilih
Karakterisasi isolat terpilih meliputi morfologi dan pembuatan kurva
tumbuh. Pengamatan morfologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya
meliputi pewarnaan Gram dan bentuk sel. Pembuatan kurva tumbuh dilakukan
dengan menginokulasikan kultur bakteri berumur 24 jam pada media de Man
Rogosa Sharpe broth (MRSB). Kurva tumbuh diamati dengan melakukan
perhitungan jumlah sel (log CFU/mL) dan pengukuran terhadap optical density
(OD) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang ( ) 620 nm.
Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode total plate count (TPC) pada
media de Man Rogosa Sharpe agar (MRSA) yang diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 48 jam. Pengamatan dilakukan setiap satu jam hingga sel bakteri mencapai
tingkat pertumbuhan spesifik maksimal (µ m, h-1) yang dihitung berdasarkan
persamaan berikut (Soro-Yao et al. 2014):
µ m = ( ln Nt - ln N0 )
tt - t0
Nt merupakan jumlah sel pada waktu ke-t (CFU/mL). N0 merupakan jumlah
sel awal. tt merupakan waktu ke-t dan t0 merupakan waktu awal.
Enkapsulasi BAL
Kultur kering isolat terpilih dienkapsulasi dengan teknik pengeringan
pengeringan beku dan pengeringan semprot. Matriks yang digunakan ialah
tapioka asam dan tapioka asam dengan penambahan 10% susu skim digunakan
sebagai kontrol positif. Larutan matriks disiapkan dengan melarutkan 1% (b/v)
tapioka asam ke dalam akuades. Sebanyak 500 mL sampel starter disiapkan
dengan mencampurkan 450 mL larutan matriks steril dengan 50 mL kultur BAL
dalam MRSB pada tahap pertumbuhan optimum. Susu skim yang digunakan
sebelumnya dilarutkan ke dalam 50 mL akuades steril dan disterilisasi pada suhu
115 oC selama 10 menit (Pyar dan Peh 2014). Sampel dengan komposisi yang
sama kemudian dikeringkan menggunakan alat freeze dryer pada suhu -50 oC dan
spray dryer pada suhu inlet 170 oC dan outlet 70 oC. Kultur kering yang
9
dihasilkan kemudian disimpan di dalam alumunium foil kedap udara untuk diukur
kadar air dan dihitung jumlah sel bakterinya.
Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode sebar (spread-plate
method). Kultur kering disuspensikan dengan larutan garam fisiologis steril dan
dihomogenkan dengan vortex selama 30 menit sebelum dibuat beberapa seri
pengenceran. Seri pengenceran tersebut kemudian disebar sebanyak 100 µL pada
media MRSA dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Jumlah koloni
dihitung dan dinyatakan dalam log CFU/g. Pengukuran kadar air kultur kering
dilakukan pada hari ke-0 setelah enkapsulasi. Kadar air sampel diukur setelah
pengeringan pada suhu konstan 105 oC (AOAC 1995). Prosedur pengukuran
viabilitas sel dan kadar air selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
Tingkat ketahanan BAL (%) setelah pengeringan dihitung menggunakan
persamaan (N/No) x 100% (Leja et al. 2009). No merupakan jumlah sel (CFU/g)
sebelum proses pengeringan. N merupakan jumlah sel (CFU/g) setelah
pengeringan.
Stabilitas Penyimpanan
Kultur kering hasil pengeringan terpilih dikemas di dalam alumunium foil
kedap udara kemudian disimpan pada suhu dingin (4 oC) dan suhu ruang (28 oC)
selama empat minggu. Viabilitas sel pada kultur kering dihitung pada hari ke-0, 7,
14, 21 dan 28 setelah penyimpanan. Jumlah koloni dinyatakan dalam log CFU/g.
Analisis Data
Data ditampilkan dalam bentuk rataan ± standar deviasi dari tiga ulangan
perlakuan. Analisis statistik dihitung dengan analisis rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial menggunakan software statistical analytic software version 9.1
(SAS). Uji Duncan dilakukan sebagai uji lanjut untuk mengidentifikasi secara
statistik perbedaan yang signifikan dalam percobaan (α = 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat BAL Lokal Terbaik
Hasil seleksi sensitivitas antibiotik isolat BAL lokal menunjukkan bahwa
3 dari 11 isolat tidak resisten terhadap tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol
(Tabel 2). Ketiga isolat tersebut yaitu E1211, E1222 dan D4. Ketiga isolat
tersebut bersifat sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol namun bersifat
intermediet terhadap antibiotik tetrasiklin dan eritromisin. Resistensi terhadap
tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol juga telah ditemukan pada BAL yang
digunakan sebagai starter fermentasi produk makanan (Ammor et al. 2007;
Hummel et al. 2007; Toomey et al. 2010). Penggunaan isolat yang tidak resisten
terhadap ketiga antibiotik tersebut sebagai starter fermentasi diharapkan dapat
mengurangi penyebaran sifat resisten ketiga antibiotik tersebut terhadap bakteri
lain.
10
Beberapa mikroorganisme secara alami resisten terhadap antibiotik
tertentu. Resistensi terhadap antibiotik tersebut dapat terjadi karena beberapa
alasan. Pertama, organisme tidak memiliki struktur yang dihambat oleh
antibiotik, sehingga resisten terhadap antibiotik tersebut. Hal ini terjadi pada
mikoplasma yang tidak memiliki dinding sel sehingga secara alami resisten
terhadap antibiotik yang menghancurkan dinding sel. Kedua, organisme tidak
dapat ditembus (impermeable) oleh antibiotik. Hal ini terjadi pada mayoritas
bakteri Gram negatif terhadap antibiotik penisilin G dan pletensimisin. Ketiga,
organisme dapat mengubah antibiotik ke bentuk inaktiv. Hal ini terjadi pada
staphylococci yang memiliki enzim β-laktamase untuk memotong cincin βlaktam pada mayoritas penisilin. Keempat, organisme mampu memodifikasi
target dari antibiotik. Resistensi seperti ini biasanya terjadi karena adanya mutasi
pada gen kromosomal. Kelima, organisme mampu membangun jalur biokimia
resisten. Hal ini terjadi pada mayoritas patogen yang dihambat produksi asam
folatnya oleh antibiotik. Bakteri resisten mampu memodifikasi metabolismenya
untuk mengambil bahan baku asam folat dari lingkungan untuk menghindari
terhalangnya jalur produksi asam folat oleh antibiotik. Keenam, organisme
mampu memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel. Proses ini juga
disebut efflux (Madigan et al. 2012).
Tabel 2 Sensitivitas antibiotik isolat BAL yang ditumbuhkan pada media
MRSA pada suhu 37 oC selama 48 jam
Kode
Isolat
E1212
E1211
E2211
E2113
E2112
E1222
E2121
D3
D4
D5
D7
a
Tetrasiklin
Ø
(mm)
0
17
15
0
0
15
0
0
17
0
0
Inta
R
I
I
R
R
I
R
R
I
R
R
Eritromisin
Ø
(mm)
0
15
12
0
0
15
0
0
15
0
0
Inta
R
I
R
R
R
I
R
R
I
R
R
Kloramfenikol
Ø
(mm)
0
20
20
0
0
20
0
0
18
0
0
Inta
R
S
S
R
R
S
R
R
S
R
R
Isolat
Terpilih
√
√
√
-
Sumber: Johnson dan Case (2007); Int: interpretasi, S: sensitif, I: intermediet, R: resisten
merujuk pada Tabel 1.
Resistensi antibiotik dikodekan secara genetik pada kromosom bakteri
atau plasmid yang disebut plasmid R (resistance). Namun mayoritas bakteri
resisten antibiotik yang diisolasi dari pasien memiliki gen resisten yang terdapat
pada plasmid R dibandingkan pada kromosom. Resistensi antibiotik dicirikan
dengan adanya gen pada plasmid R yang mengkode enzim yang dapat
memodifikasi antibiotik, menginaktivkan antibiotik, mencegah masuknya
11
antibiotik ke dalam sel atau memompa antibiotik keluar sel. Gen resisten
antibiotik umumnya terdapat pada tranposon yang terinsersi ke dalam plasmid
maupun gen kromosomal (Mathur dan Singh 2005). Resistensi kloramfenikol
terjadi melalui mekanisme inaktivasi antibiotik dan memompa antibiotik keluar
sel (efflux) (Madigan et al. 2012). Gen resisten kloramfenikol dikenal sebagai
gen cat yang mensintesis enzim asetilase (Mathur dan Singh 2005). Gen cat
telah ditemukan keberadaannya pada plasmid pRE25 Enterococcus faecalis
RE25 (Schwatz et al. 2001). Resistensi eritromisin terjadi dengan mengubah
target antibiotik dan memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al.
2012). Gen erm merupakan gen resisten eritromisin (Mathur dan Singh 2005).
Gen erm telah diketahui keberadaannya pada plasmid yang dibawa oleh
Lactobacillus fermentum (Fons et al. 1997). Resistensi tetrasiklin terjadi dengan
memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al. 2012). Gen tet
merupakan gen resisten tetrasiklin yang berperan untuk melindungi ribosom
(Mathur dan Singh 2005). Plasmid yang membawa gen tet(M) telah diketahui
keberadaannya pada Lactobacillus yang diisolasi dari fermentasi sosis (Gevers et
al. 2002).
Transmisi gen resisten antibiotik dapat terjadi secara konjugasi diantara
sesama BAL. Perreten et al. (1997) menyatakan bahwa transposon TnFO1 pada E.
faecalis yang membawa gen tet(M) ditransfer secara konjugasi pada bakteri Gram
positif lain. Toomey et al. (2010) juga menemukan bahwa gen tet(M) dari
Lactobacillus plantarum berhasil ditransfer kepada Lactococcus lactis BU-2-60
dan E. faecalis JH2-2 secara konjugasi.
Tabel 3 Kemampuan produksi asam isolat BAL yang dikulturkan pada media
MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam
Kode Isolat
E1212
E1211
E2211
E2113
E2112
E1222
E2121
D3
D4
D5
D7
Total Asam (mg/mL)
pH
24.96 ± 0.00
21.12 ± 0.00
22.08 ± 1.36
21.12 ± 0.00
22.08 ± 1.36
25.92 ± 1.36
23.04 ± 0.00
25.92 ± 1.36
29.76 ± 1.36
28.80 ± 0.00
1.92 ± 0.00
4.46 ± 0.04
4.26 ± 0.02
4.43 ± 0.05
4.51 ± 0.03
4.51 ± 0.08
4.47 ± 0.00
4.43 ± 0.00
4.40 ± 0.01
4.32 ± 0.03
4.33 ± 0.02
5.89 ± 0.00
Seleksi BAL lokal juga dilakukan dengan menyeleksi isolat yang memiliki
produktivitas fermentasi yang tinggi. Produktivitas tersebut dapat diketahui dari
kemampuan BAL memproduksi asam laktat selama proses fermentasi. Asam
laktat merupakan produk utama hasil fermentasi oleh BAL. Dua dari tiga isolat
hasil seleksi sensitivitas antibiotik yang memiliki total asam yang tinggi (isolat
E1222 dan D4), kemudian diukur produksi asam laktatnya pada media MRSB
12
menggunakan HPLC. Hasil HPLC menunjukkan bahwa isolat E1222
memproduksi asam laktat lebih tinggi (16581.88 mg/L) dibandingkan dengan
isolat D4 (14609.24 mg/L) (Gambar 2). Isolat E1222 kemudian dipilih untuk uji
selanjutnya. Hasil identifikasi oleh Meryandini dan Wiryawan (2013)
menunjukkan bahwa isolat E1222 ialah Pediococcus pentosaceus. Produksi asam
laktat selama proses fermentasi dilakukan BAL dengan mengubah glukosa
menghasilkan asam laktat sebagai produk utamanya. Fermentasi merupakan
proses pembentukan energi melalui transfer elektron di sitoplasma (fosforilasi
tingkat substrat) (White 2007). Fermentasi dapat terjadi pada kondisi tidak adanya
akseptor elektron respiratif. Hal ini menyebabkan proses fermentasi harus
memproduksi akseptor elektron (electron sinks) yang digunakan untuk
menangkap elektron dari NADH selama proses oksidasi.
(a)
(b)
Gambar 2 Kromatogram hasil HPLC produksi asam laktat isolat (a) E1222 dan
(b) D4 pada media MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam.
Karakteristik Isolat Terpilih
Hasil pengamatan mikroskopis dan pewarnaan Gram menunjukkan bahwa
isolat E1222 bersifat Gram positif dan berbentuk kokus. Isolat E1222 mencapai
laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ m = 0.027 h-1) pada jam ke-6 (Gambar 3).
Pertumbuhan spesifik merupakan nilai kemiringan (slope) logaritma dari kurva
pertumbuhan pada fase exponensial. Soro-Yao et al. (2014) menyatakan bahwa
13
Jumlah sel (log CFU/ml)
parameter laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ m) BAL dan viabilitas sel setelah
perlakuan stres dapat digunakan untuk memprediksi BAL potensial yang dapat
digunakan sebagai kultur starter kering. Hal ini didukung dengan penelitiannya
bahwa Lactobacillus fermentum yang memiliki laju pertumbuhan spesifik
tertinggi (µ m = 1.14 h-1) dibandingkan galur lain yang diujikan, memiliki tingkat
ketahanan sel (%) tertinggi setelah pengeringan beku yaitu
PEMANFAATANNYA SEBAGAI STARTER KERING
MENGGUNAKAN MATRIKS TAPIOKA ASAM
IRA ERDIANDINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Seleksi Bakteri Asam
Laktat dan Pemanfaatannya sebagai Starter Kering Menggunakan Matriks
Tapioka Asam” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Ira Erdiandini
NIM G351120081
RINGKASAN
IRA ERDIANDINI. Seleksi Bakteri Asam Laktat dan Pemanfaatannya sebagai
Starter Kering Menggunakan Matriks Tapioka Asam. Dibimbing oleh ANJA
MERYANDINI dan TITI CANDRA SUNARTI.
Starter merupakan sediaan mikroorganisme yang akan ditambahkan ke
dalam bahan baku untuk menghasilkan produk pangan fermentasi. Starter
digunakan untuk mempercepat proses fermentasi dan mereduksi resiko kegagalan
selama proses fermentasi. Kultur starter dapat berbentuk cair maupun kering,
namun penggunaan kultur kering lebih menguntungkan karena dapat disimpan
dalam waktu yang lama tanpa perlu diregenerasi ulang. Bakteri yang paling
banyak digunakan untuk produksi kultur starter ialah bakteri asam laktat (BAL).
BAL yang digunakan sebagai starter harus aman bagi mikroorganisme lain dalam
tubuh dan memiliki produktivitas fermentasi yang tinggi, oleh karena itu seleksi
terhadap galur BAL yang digunakan sebagai starter penting dilakukan. Dua
kriteria penting yang digunakan untuk seleksi yaitu kemampuan produksi asam
laktat dan sensitivitas terhadap antibiotik. BAL yang digunakan untuk produksi
kultur starter juga harus memiliki viabilitas sel yang tinggi setelah proses
pengeringan dan selama penyimpanan, oleh karena itu teknik pengeringan dan
penggunaan matriks yang tepat juga merupakan faktor penting untuk
menghasilkan kultur starter yang baik. Tapioka asam merupakan pati
termodifikasi dari tapioka alami yang dihasilkan melalui proses fermentasi.
Tapioka asam berpotensi untuk digunakan sebagai matriks enkapsulasi BAL
karena diproduksi melalui proses fermentasi oleh BAL, tidak mengandung bahan
tambahan pangan (BTP) dan mengandung monosakarida hasil fermentasi yang
dapat berperan sebagai pelindung (protectant) selama proses pengeringan dan
penyimpanan. Bahan baku tapioka asam juga tersedia luas, ekonomis dan dapat
diperbaharui sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai matriks enkapsulasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi starter kering BAL menggunakan
matriks tapioka asam dan mengkaji viabilitasnya selama penyimpanan.
Sebelas isolat BAL lokal yang berasal dari fermentasi spontan komoditas
karbohidrat pada penelitian sebelumnya, diseleksi berdasarkan kemampuan
produksi asam dan sensitivitas antibiotik. Seleksi awal terhadap kemampuan
produksi asam dilakukan dengan menghitung total asam tertitrasi dan pengukuran
pH media kultur. Sensitivitas isolat terhadap antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan
kloramfenikol juga diuji dengan metode difusi cakram. Dari hasil seleksi awal
kemudian dipilih isolat yang memiliki total asam tinggi dan tidak resisten
terhadap antibiotik yang diujikan untuk diukur kemampuan produksi asam
laktatnya menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC). Isolat
hasil seleksi yang dipilih ialah isolat yang memiliki kemampuan produksi asam
laktat lebih tinggi. Isolat tersebut kemudian dikarakterisasi karakter morfologinya
dan diamati kurva pertumbuhannya. Pengamatan karakter morfologi dilakukan
menggunakan mikroskop cahaya meliputi pewarnaan Gram dan bentuk sel. Kurva
tumbuh diamati dengan melakukan perhitungan jumlah sel (log CFU/mL) dan
pengukuran terhadap optical density (OD) menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang ( ) 620 nm. Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode
total plate count (TPC) pada media de Man Rogosa Sharpe agar (MRSA) yang
diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Pengamatan dilakukan setiap jam
hingga sel mencapai tingkat pertumbuhan spesifik maksimal (µ m, h-1).
Produksi starter kering dari isolat terpilih dilakukan menggunakan freeze
dryer (-50oC) dan spray dryer (suhu inlet 170oC, suhu outlet 70oC). Matriks yang
digunakan ialah tapioka asam, sedangkan tapioka asam dengan penambahan 10%
susu skim digunakan sebagai kontrol positif. Starter kering yang dihasilkan
kemudian disimpan di dalam alumunium foil kedap udara untuk diukur kadar air
(%), viabilitas sel (CFU/g) sekaligus tingkat ketahanan sel (%) setelah
pengeringan. Pengujian stabilitas penyimpanan dilakukan terhadap hasil starter
kering terbaik dengan menyimpannya selama empat minggu pada suhu dingin
(4oC) dan suhu ruang (28oC). Parameter yang diukur yaitu viabilitas sel pada hari
ke-0, 7, 14, 21 dan 28 setelah penyimpanan. Pengukuran viabilitas sel dilakukan
dengan metode sebar (spread-plate method) pada media MRSA dan diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 48 jam.
Hasil seleksi awal terhadap total asam tertitrasi dan sensitivitas terhadap
antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol menunjukkan bahwa isolat
E1222 dan D4 tidak resisten terhadap ketiga antibiotik yang diujikan serta
memiliki total asam tertitrasi yang lebih tinggi. Hasil seleksi selanjutnya
menggunakan HPLC menunjukkan bahwa isolat E1222 memproduksi asam laktat
lebih tinggi (16581.88 mg/L) dibandingkan dengan isolat D4 (14609.24 mg/L).
Isolat E1222 yang menunjukkan hasil terbaik tersebut telah teridentifikasi sebagai
Pediococcus pentosaceus. Hasil karakterisasi morfologi menunjukkan bahwa
isolat E1222 termasuk kelompok Gram positif dan berbentuk kokus. Isolat E1222
mencapai laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ m = 0.027 h-1) pada jam ke-6,
sehingga kultur isolat E1222 yang dikeringkan menggunakan freeze dryer dan
spray dryer ialah kultur berumur enam jam. Hasil pengeringan menunjukkan
bahwa starter kering hasil pengeringan beku (freeze drying) mampu
mempertahankan viabilitas sel lebih tinggi dibandingkan starter kering hasil
pengeringan semprot (spray drying), yaitu masing-masing 10.34 log CFU/g dan
8.91 log CFU/g. Penggunaan matriks tapioka asam juga mampu mempertahankan
viabilitas sel selama pengeringan mencapai 89% setelah pengeringan beku dan
76% setelah pengeringan semprot. Hasil uji stabilitas penyimpanan starter kering
hasil pengeringan beku menunjukkan bahwa selama penyimpanan empat minggu,
viabilitas sel mampu dipertahankan hingga 89.38% pada suhu dingin (4oC) dan
mencapai 0% pada suhu ruang (28oC). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
starter kering isolat E1222 baik diproduksi menggunakan freeze dryer dan
disimpan pada suhu dingin (4oC).
Kata kunci: starter kering, bakteri asam laktat, tapioka asam, pengeringan beku,
pengeringan semprot
SUMMARY
IRA ERDIANDINI. Selection of Lactic Acid Bacteria and Its Application as
Dried Starter using Sour Cassava Starch as Matrix. Supervised by ANJA
MERYANDINI and TITI CANDRA SUNARTI.
Starter is a microbial preparation that will be added to the raw materials in
production of fermented food products. It is used to accelerate the fermentation
process and reduce the risk of failure during the fermentation. Although starter
cultures could be in the liquid or dry forms, the dried culture is more
advantageous due to its long stability without regenerated. The most widely used
bacteria for starter cultures production is lactic acid bacteria (LAB). LAB as a
starter should be safe for other natural microorganisms in human body and has a
high fermentation productivity. Therefore, the strains selection of LAB which
would be used as a starter is important to do. The important criterias for LAB
selection are the ability of producing lactic acid and antibiotic sensitivity. LAB
should also have a high cell viability after the drying process and during storage,
meaning that drying techniques and proper matrix are also pivotal factors to
produce a desirable starter cultures. Sour cassava starch is a modified starch which
is produced from fermented tapioca. This material has promising properties for
LAB encapsulation matrix because it is prepared using LAB-induced
fermentation, and does not contain food chemical additives as well as contain
fermented monosaccharides which can act as a protective agent (protectant)
during drying and storage. Raw materials of sour cassava starch are widely
available, economical and renewable. The aims this study were to produce LAB
dried starter using sour cassava starch matrix and to study its viability after
storage.
Eleven local LAB isolates obtained from spontaneous fermentation of
carbohydrate commodity were selected based on their acid production ability and
antibiotic sensitivity. The initial selection of the acid production ability was
conducted by measuring the total acid and pH level of culture media. The isolate
sensitivity to antibiotics tetracycline, erythromycin and chloramphenicol were
tested by disc diffusion method. The isolate that produce high level of acid and is
vulnerable to antiobiotics was selected and subsequently evaluated its lactic acid
production using high performance liquid chromatography (HPLC). The isolate
that have a higher production of lactic acid was choosen for this study.
Furthermore, its morphological character and growth curve were observed.
Morphological characters have been observed using a light microscope including
Gram staining and cell shape observation. Growth curve was observed by
calculation of cell numbers (log CFU/mL) while the optical density (OD) using a
spectrophotometer at a wavelength ( ) 620 nm. Cell numbers was calculated using
total plate count (TPC) on de Man Rogosa Sharpe agar (MRSA) medium were
incubated at 37°C for 48 hours. Observation was conducted every hour until the
cells reached a maximum specific growth rate ( m,h-1).
Dried starter of selected isolate was produced using freeze dryer (-50oC) and
spray dryer (inlet 170°C, outlet 70°C). The matrix used was sour cassava starch
and sour cassava starch enriched with 10 % skim milk were used as the positive
control. Starter has been stored in an airtight aluminum foil for water content
analysis (%), cell viability (log CFU/g) and survival rate (%) after drying. Storage
stability of the best starter was evaluated in four weeks storage at a cold
temperature (4°C) and room temperature (28°C). Cell viability was measured at 0,
7, 14, 21 and 28 days after storage. Cell viability was measured using spread-plate
method on MRSA medium and incubated at 37°C for 48 hours. Results from the
initial selection of the total acid titrated and sensitivity to antibiotics tetracycline,
erythromycin and chloramphenicol showed that isolates E1222 and D4 were not
resistant to all antibiotics tested and had higher total acid titrated. The selection
result using HPLC showed that E1222 isolate produced higher lactic acid
(16581.88 mg/L) than D4 isolate (14609.24 mg/L). E1222 isolate that showed the
best result was identified as Pediococcus pentosaceus. Morphological
characterization showed that E1222 isolate was Gram-positive and cocci. E1222
isolate achieved the maximum specific growth rate ( m = 0.027 h-1) at the 6th hour,
thus E1222 isolate culture which was processed using spray dryer and freeze dryer
was sixth hours culture. The results showed that freeze dried starter resulted in
higher cell viability (10.34 log CFU/g) than spray dried starter (8.91 log CFU/g).
Sour cassava starch matrix was also able to maintain cell viability during drying
reaches 89% after freeze drying and 76% after spray drying. Tested result of
storage stability of freeze dried starter showed that during the four weeks of
storage, cell viability could be maintained up to 89.38% at cold temperature (4°C)
and reaches 0% at room temperature (28°C). The results suggested that the dried
starter E1222 isolate was best produced using freeze dryer and stored at cold
temperature (4°C).
Key word: dried starter, lactic acid bacteria, sour cassava starch, freeze drying,
spray drying
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SELEKSI BAKTERI ASAM LAKTAT DAN
PEMANFAATANNYA SEBAGAI STARTER KERING
MENGGUNAKAN MATRIKS TAPIOKA ASAM
IRA ERDIANDINI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Suryani, SP MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan
sejak Juli 2013 hingga Oktober 2014 di Laboratorium PPSHB IPB. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah starter kering, dengan judul Seleksi Bakteri
Asam Laktat dan Pemanfaatannya sebagai Starter Kering Menggunakan Matriks
Tapioka Asam.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Anja Meryandini MS sebagai
ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Titi Candra Sunarti MSi sebagai anggota
komisi pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, nasehat, waktu
konsultasi dan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini, serta terima kasih
kepada penguji luar komisi Dr Suryani MSc dan Dr Nisa Rachmania Mubarik
MSi sebagai perwakilan dari ketua jurusan yang telah memberikan saran dan
nasehat untuk perbaikan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada DIKTI melalui Beasiswa Unggulan selama menempuh pendidikan
pascasarjana di IPB dan hibah penelitian tahun 2014 a.n. Dr Ir Titi Candra Sunarti
MSi sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat terlaksana dengan baik.
Penghargaan penulis sampaikan kepada staf dan laboran di laboratorium
Bioteknologi Hewan dan Biomedis, PPSHB IPB Ibu Dewi, Fitri, Fathin, Hamtini,
Anik, Novianti, Lia, Ika, Rahmi, Debi, Wahyu serta seluruh teman-teman
laboratorium Mikrobiologi IPB atas dukungan, motivasi dan bantuannya selama
penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan di Pascasarjana
Mikrobiologi IPB angkatan 2012 yang telah memberikan kebersamaan yang
harmonis, bantuan, dukungan dan motivasi selama studi di IPB. Terima kasih
penulis ucapkan kepada rekan-rekan HIMMPAS IPB Henny, Khusnul, Zahra, Ega,
Utez, Rusdah dan lainnya, serta rekan-rekan BSC IPB Efa, Nadhirah, Retno, Nia,
Edwin, Evan dan Dewi. Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Murniandy
SE, ibu Erna Achjani SH (alm), ibu Atiek, mas Arie Erdiandani ST, mbak Retno
Maulida ST, Rio Erdiantono SE, si kecil Rakha dan Naura, mas Edi Miarso ST
serta keluarga besar Djafar Ani atas doa, dukungan, kasih sayang, motivasi dan
semangat yang diberikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Sumarsih dan
anaknya Siti Kulsum serta seluruh pihak yang telah memberikan doa dan
dukungan kepada penulis selama studi di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi amal sholeh.
Bogor,
Juli 2015
Ira Erdiandini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
xvi
xvi
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Bakteri Asam Laktat
3
Enkapsulasi
4
Matriks
6
Tapioka Asam
7
METODOLOGI PENELITIAN
7
Tempat dan Waktu
7
Bahan dan Alat
7
Seleksi Isolat BAL
7
Karakterisasi Isolat Terpilih
8
Enkapsulasi BAL
8
Stabilitas Penyimpanan
9
Analisis Statistik
9
HASIL PEMBAHASAN
Isolat BAL Lokal Terbaik
9
9
Karakteristik Isolat Terpilih
12
Karakteristik BAL Terenkapsulasi
14
Stabilitas Starter selama Penyimpanan
17
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
24
DAFTAR TABEL
1 Interpretasi diameter zona hambat antibiotik
2 Sensitivitas antibiotik isolat BAL
3 Kemampuan produksi asam isolat BAL yang dikulturkan pada media
MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam
4 Viabilitas sel bakteri dan kadar air kultur kering setelah enkapsulasi
5 Tingkat ketahanan sel (%) bakteri kultur kering setelah enkapsulasi
8
10
11
15
16
DAFTAR GAMBAR
1 Tipe bahan enkapsulan
2 Kromatogram hasil HPLC produksi asam laktat isolat E1222 dan D4
pada media MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam
3 Kurva tumbuh isolat E1222 pada media MRSB, suhu 37 oC
4 Stabilitas starter selama penyimpanan suhu 28 oC dan 4 oC serta
persentasenya
6
12
13
17
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur pengukuran total asam tertitrasi dan uji sensitivitas antibiotik
2 Prosedur pengukuran viabilitas sel dan kadar air
3 Starter kering hasil pengeringan beku dan pengeringan semprot
menggunakan matriks tapioka asam
4 Analisis statistik data viabilitas sel dan kadar air starter kering setelah
enkapsulasi
5 Analisis statistik data ketahanan sel bakteri (%) starter kering setelah
enkapsulasi
24
24
25
26
28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri Gram positif yang banyak
digunakan sebagai starter fermentasi. BAL memproduksi asam laktat sebagai
produk utama fermentasi yang berperan sebagai preservasi bahan makanan
(Schnurer dan Magnusson 2005). Pemanfaatan BAL sebagai starter telah
dilakukan dalam berbagai bentuk produk makanan terfermentasi seperti keju
(Gomez-Ruiz et al. 2008), susu (Wang et al. 2012), daging (Liu et al. 2010) dan
tepung (Putri et al. 2011). Seleksi terhadap galur BAL yang digunakan sebagai
starter penting dilakukan untuk mengefektifkan proses fermentasi dan
meningkatkan kualitas produk akhir (Stanbury dan Whitaker 1984). BAL yang
digunakan sebagai starter harus memiliki produktivitas fermentasi yang tinggi dan
tidak resisten terhadap antibiotik (Hummel et al. 2007). Kriteria tersebut dapat
diketahui melalui kemampuan produksi asam laktat dan sensitivitas antibiotik.
Beberapa dekade terakhir, BAL yang digunakan sebagai starter fermentasi
diketahui dapat membawa gen resisten antibiotik (Mathur dan Singh 2005;
Hummel et al. 2007). Toomey et al. (2010) menemukan bahwa sebelas galur
Enterococci, Lactobacilli dan Streptococci resisten eritromisin terdeteksi
membawa gen erm(B) dan msrA/B. Kastner et al. (2006) menemukan adanya gen
resisten tetrasiklin tet(W) pada galur yang digunakan sebagai kultur starter
fermentasi daging. BAL resisten antibiotik dapat mentransfer gen resistennya
pada bakteri patogen maupun bakteri asam laktat lain (Ammor et al. 2007;
Toomey et al. 2010). Penggunaan BAL yang tidak resisten antibiotik sebagai
starter fermentasi diharapkan dapat mengurangi penyebaran resistensi antibiotik
terutama terhadap bakteri patogen.
Produksi starter BAL dalam bentuk kering dapat dilakukan dengan metode
enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan metode jerapan suatu substansi ke dalam
substansi lain, menghasilkan partikel dalam ukuran nanometer (nm), mikrometer
(µm) atau dalam skala millimeter (mm) (Lakkis 2007; Burgain et al. 2011).
Enkapsulasi yang menghasilkan partikel dalam ukuran mikrometer juga dikenal
sebagai mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi dapat meliputi pengeringan sel
bakteri yang bertujuan untuk memperpanjang waktu simpan (Nazzaro et al. 2012;
Nupoor dan Rathore 2012). Teknik pengeringan yang digunakan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi kualitas starter kering yang dihasilkan. Starter
kering BAL harus memiliki viabilitas sel yang tinggi setelah proses pengeringan
dan relatif stabil selama proses penyimpanan (Carvalho et al. 2004;
Peighambardoust et al. 2011). Teknik pengeringan kultur bakteri yang sering
digunakan yaitu pengeringan beku dan pengeringan semprot (Morgan et al. 2006;
Peighambardoust et al. 2011). Yao et al. (2009) memproduksi kultur starter
fermentasi Gari menggunakan metode pengeringan beku dan mampu
mempertahankan tingkat ketahanan sel (survival rate) Lactobacillus plantarum
G2/25 hingga mencapai 93.1%. Lian et al. (2002) mampu mempertahankan
tingkat ketahanan sel Bifidobacteria setelah pengeringan semprot sebesar 82.6%.
Keberhasilan proses enkapsulasi juga dipengaruhi oleh jenis matriks yang
digunakan. Matriks merupakan bahan enkapsulan yang digunakan untuk menyalut
BAL selama proses enkapsulasi (Lakkis 2007). Matriks harus mampu berperan
2
sebagai pelindung bagi BAL, aman dikonsumsi dan harganya murah sehingga
harga produk akhir menjadi ekonomis. Salah satu bahan baku matriks yang
harganya ekonomis, tersedia melimpah, dapat diperbaharui, mudah terdegradasi
dan non toksik ialah pati (De Vos et al. 2010, Winarti et al. 2013). Pati
merupakan makromolekul organik yang terdiri atas rantai-rantai monomer yang
dihubungkan oleh ikatan kovalen. Struktur kimia dan konformasi rantai monomer
menjadikan pati memiliki kemampuan membentuk gel sehingga dapat digunakan
sebagai matriks dalam proses enkapsulasi mikroorganisme (Gbassi dan
Vandamme 2012). Tapioka asam merupakan pati termodifikasi dari tapioka alami
yang diproduksi melalui proses fermentasi. Tapioka asam berpotensi untuk
digunakan sebagai matriks enkapsulasi BAL karena memiliki beberapa kelebihan.
Pertama, tapioka asam diproduksi melalui proses fermentasi oleh BAL sehingga
dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan yang baik juga bagi BAL. Kedua, cara
produksi yang alami pada tapioka asam menyebabkan tidak adanya kandungan
bahan tambahan pangan (BTP) yang berbahaya bagi mikroorganisme. Ketiga,
proses fermentasi pada tapioka asam menyebabkan pemutusan polisakarida
menjadi monosakarida yang bermanfaat sebagai protektan selama proses
pengeringan dan penyimpanan. Keempat, tapioka asam memiliki kelarutan lebih
tinggi dibandingkan tapioka alami. Hal ini menyebabkan starter fermentasi yang
menggunakan matriks tapioka asam lebih mudah larut pada bahan baku
fermentasi sehingga mempercepat proses aktivasi bakteri yang terperangkap.
Berbagai kelebihan tapioka asam tersebut, sekaligus ketersediaan bahan baku
yang melimpah menyebabkan tapioka asam potensial untuk digunakan sebagai
matriks enkapsulasi, namun penelitian mengenai produksi starter kering BAL
menggunakan matriks tapioka asam belum banyak dilakukan. Produksi starter
kering BAL menggunakan matriks tapioka asam diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan starter BAL yang ekonomis untuk fermentasi makanan.
Perumusan Masalah
Starter fermentasi yang digunakan dapat dalam bentuk kultur cair maupun
kultur kering. Penggunaan kultur kering lebih menguntungkan karena dapat
disimpan lebih lama dan tidak perlu peremajaan kultur berulang. Namun, produksi
kultur kering sebagai starter sering terkendala oleh penurunan viabilitas sel selama
proses pengeringan dan penyimpanan. Pengeringan beku dan pengeringan
semprot merupakan dua teknik dehidrasi yang sering digunakan untuk produksi
kultur kering bakteri asam laktat. Pengeringan dilakukan dengan tambahan bahan
enkapsulan (matrix) yang berperan sebagai pelindung bagi bakteri asam laktat
selama proses pengeringan. Tapioka asam merupakan pati termodifikasi yang
ketersediaan bahan bakunya melimpah. Pati termodifikasi memiliki struktur
kristalin yang dapat menjerap bakteri asam laktat sehingga dapat digunakan
sebagai matriks. Penggunaan metode pengeringan dan matriks yang tepat
diharapkan mampu mempertahankan viabilitas sel kultur kering setelah
pengeringan dan selama penyimpanan.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan seleksi BAL lokal untuk diproduksi
sebagai starter kering menggunakan matriks tapioka asam.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai BAL lokal yang
berpotensi dimanfaatkan untuk produksi starter kering menggunakan matriks
tapioka asam, sekaligus metode dan suhu penyimpanan yang dapat digunakan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Seleksi isolat BAL lokal berdasarkan kemampuan produksi asam dan
sensitivitas terhadap antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol.
2. Pembuatan kultur kering isolat terpilih menggunakan matriks tapioka asam
dengan metode pengeringan beku dan pengeringan semprot.
3. Pengujian viabilitas sel setelah pengeringan dan stabilitas penyimpanan
selama empat minggu pada suhu 28 oC dan 4 oC.
TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok mikroorganisme yang
terdistribusi luas di alam dan berasosiasi dengan produk susu, sayuran dan daging
(Carr et al. 2002). BAL bersifat Gram positif dan mampu memproduksi asam
laktat sebagai produk utama hasil fermentasi. BAL secara taksonomi dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan “GC”. Kelompok dengan
kandungan “GC rendah” diantaranya yaitu genus Enterococcus, Lactobacillus,
Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus. Kelompok dengan
kandungan “GC tinggi” yaitu genus Bifidobacteria (Schleifer dan Ludwig 1995).
Berdasarkan jenis asam yang dihasilkan selama fermentasi, BAL dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu BAL homofermentatif dan BAL heterofermentatif. BAL
homofermentatif hanya memproduksi asam laktat sebagai produk utama
fermentasi, sedangkan BAL heterofermentatif mampu memproduksi produk
tambahan lain seperti karbondioksida, etanol dan asetat (Carr et al. 2002).
BAL merupakan kelompok bakteri yang paling banyak digunakan sebagai
starter fermentasi. Penambahan starter bertujuan untuk mengontrol proses
fermentasi (Stanbury dan Whitaker 1984). Fermentasi asam laktat juga memiliki
peranan positif bagi kualitas makanan yang terfermentasi diantaranya yaitu
menambahkan aroma (Kam et al. 2011), meningkatkan nutrisi (Nout 2009;
Chelule et al. 2010), mengawetkan makanan (Schnurer dan Magnusson 2005) dan
mampu menurunkan konsentrasi toksin pada makanan (Mokoena et al. 2006).
BAL dapat menyimpan gen resisten antibiotik dan mentransfernya pada
bakteri patogen manusia selama proses fermentasi makanan maupun selama
4
melalui saluran pencernaan manusia. Hal ini menyebabkan penggunaan BAL
resisten antibiotik sebagai starter fermentasi dapat meningkatkan penyebaran
bakteri resisten antibiotik, terutama pada bakteri patogen manusia. Penyebaran
resistensi antibiotik ini pada bakteri patogen manusia dapat menyebabkan
penurunan efektivitas penggunaan antibiotik dalam pengobatan. Hal ini
menyebabkan pengujian resistensi galur BAL yang digunakan sebagai starter
menjadi sangat penting (Mathur dan Singh 2005; Ammor et al. 2007).
Penyebaran resistensi antibiotik pada BAL dapat terjadi melalui dua cara
yaitu melalui plasmid konjugasi pada BAL yang membawa kode gen resisten
antibiotik dan melalui transposon konjugatif pada BAL. Plasmid konjugatif umum
ditemukan pada Lactococci, Pediococci dan beberapa spesies Lactobacillus. Gen
resisten antibiotik secara alami tidak terdapat pada plasmid konjugatif pada BAL.
Gen resisten antibiotik diapit oleh elemen insertion sequence (IS) pada plasmid
konjugatif yang umumnya berasal dari spesies Enterococcal dan Staphylococcal
(Ammor et al. 2007). Transposon merupakan elemen loncat yang membawa kode
genetik dari satu DNA ke bagian DNA yang lain (Snyder dan Champness 2009).
Transposon Enterococcal Tn916-Tn1545 yang membawa gen resistensi terhadap
tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol telah tertransfer secara luas pada bakteri
Gram positif melalui konjugasi, diantaranya yaitu Lactococcus lactis subsp. lactis
dan Leuconostoc mesenteroides (Perreten et al. 1997).
Enkapsulasi
Penyimpanan kultur BAL untuk fermentasi dapat dilakukan dalam bentuk
kering melalui metode enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan metode jerapan suatu
substansi ke dalam substansi lain, menghasilkan partikel dalam ukuran nanometer
(nanoenkapsulasi), mikrometer (mikroenkapsulasi) atau dalam skala milimeter
(Lakkis 2007; Burgain et al. 2011). Mikroenkapsulasi dapat meliputi pengeringan
substansi aktif biologi (DNA atau sel) yang secara umum bertujuan untuk
memperpanjang waktu penyimpanan (Nupoor dan Rathore 2012). Teknik
pengeringan sel mikroorganisme yang sering digunakan yaitu pengeringan beku
dan pengeringan semprot (Morgan et al. 2006; Peighambardoust et al. 2011).
Pengeringan beku pertama kali digunakan di industri pada tahun 1950.
Proses pengeringan beku terdiri atas tiga tahap, yaitu (a) pembekuan bahan baku,
(b) sublimasi es (pengeringan primer) dan (c) menghilangkan sisa air hingga
membentuk padatan (pengeringan sekunder atau desorption). Kelebihan metode
pengeringan beku dibandingkan dengan metode pengeringan yang lain ialah pada
kualitas produk hasil pengeringan, diantaranya yaitu (1) bahan tidak mengalami
penyusutan, (2) produk hasil pengeringan memiliki struktur pori tipis yang dapat
memfasilitasi rehidrasi, (3) suhu yang digunakan lebih rendah dibandingkan
dengan metode lain sehingga dapat mengurangi kerusakan produk akibat paparan
suhu dan (4) penyimpanan yang baik bagi senyawa yang mudah menguap selama
proses pengeringan beku. Produk hasil pengeringan beku biasanya higroskopis,
mudah teroksidasi dan rapuh sehingga biaya pengemasan lebih tinggi
dibandingkan dengan produk hasil pengeringan dengan metode lain. Penggunaan
metode ini membutuhkan biaya paling tinggi dibandingkan dengan metode lain
(Brennan et al. 2006).
5
Pengeringan semprot pertama kali dipatenkan oleh Samuel Percy pada tahun
1872. Pengeringan semprot melibatkan atomisasi materi yang akan dienkapsulasi
menjadi tetesan yang akan dihubungkan dengan ruangan yang dialirkan air panas.
Proses pembentukan partikel dan pengeringan menggunakan teknik pengeringan
semprot terjadi pada waktu yang bersamaan sehingga prosesnya lebih efektif dan
efisien untuk produksi berkelanjutan (Peighambardoust et al. 2011). Teknik ini
memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) ekonomis karena hanya membutuhkan
waktu singkat untuk kontak dengan alat pengering (Nupoor dan Rathore 2012);
(2) efektif untuk produksi kultur starter dalam jumlah besar karena proses
pengeringan cepat dan mampu memproduksi secara berkelanjutan
(Peighambardoust et al. 2011); (3) fleksibel terhadap variasi matriks yang
digunakan (Desai dan Park 2005) dan (4) partikel hasil produksi memiliki kualitas
yang bagus dan dapat disimpan dalam waktu yang lama (Desai dan Park 2005;
Peighambardoust et al. 2011).
Viabilitas sel yang dapat dipertahankan setelah proses enkapsulasi
merupakan faktor penting yang menentukan kualitas starter kering bakteri.
Standar minimal kultur bakteri yang digunakan sebagai starter dalam produk
fermentasi ialah 107 CFU/g (Kaliasapathy dan Chin 2000). Faktor-faktor yang
mempengaruhi viabilitas sel mikroorganisme setelah pengeringan beku meliputi
faktor intrinsik, faktor pertumbuhan, perlakuan sub-letal, media pengeringan serta
kondisi penyimpanan dan rehidrasi. Faktor intrinsik merupakan faktor genetis
mikroorganisme yang menentukan perbedaan fenotip sel, perbedaan susunan
dinding dan membran sel dengan titik leleh fosfolipid yang berbeda antara galur
yang satu dengan yang lain. Faktor pertumbuhan meliputi akumulasi senyawa
terlarut yang sesuai yaitu ketersediaan substrat gula pada media pertumbuhan,
produksi eksopolisakarida dan perubahan profil membran. Faktor perlakuan
subletal merupakan pemberian perlakuan panas atau dingin untuk meningkatkan
resistensi sel dengan melakukan perubahan membran dan sintesis protein stres.
Faktor media pengeringan meliputi bahan pelindung yang digunakan diantaranya
yaitu gula dan susu skim. Susu skim dipilih sebagai media pengeringan karena
dapat mencegah kerusakan sel dengan menstabilisasi membran sel, dapat
membentuk struktur berpori pada produk hasil pengeringan beku sehingga
memudahkan proses dehidrasi dan terdiri atas protein-protein yang berperan
sebagai mantel pelindung sel. Faktor penyimpanan dan dehidrasi meliputi
penggunaan suhu yang digunakan (Carvalho et al. 2004). Faktor yang
mempengaruhi viabilitas sel mikroorganisme setelah pengeringan suhu tinggi
(pengeringan semprot) terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi toleransi stres intrinsik mikroorganisme dan
tingkat kerusakan subseluler mikroorganisme. Faktor ekstrinsik meliputi proses
selama persiapan adaptasi mikroorganisme, proses selama pengeringan dan
setelah proses pengeringan. Proses selama persiapan adaptasi mikroorganisme
meliputi fase kultur yang digunakan, bahan pelindung yang digunakan untuk
meningkatkan kemampuan bertahan hidup mikroorganisme dan pengaruh
terhadap perlakuan sebelum pengeringan terhadap viabilitas sel. Proses selama
pengeringan meliputi kondisi pengeringan dan suhu outlet yang digunakan. Proses
setelah pengeringan meliputi kondisi penyimpanan sel (Fu dan Chen 2011).
6
Matriks
Substansi yang digunakan sebagai bahan enkapsulan biasa disebut membran
mantel, kapsul, bahan penyalut, fase eksternal atau matriks. Bahan enkapsulan
yang digunakan dalam produk makanan harus aman dikonsumsi dan harus dapat
melindungi agen aktif dari lingkungannya. Bahan enkapsulan memiliki tiga tipe,
yaitu tipe penyimpanan (reservoir), tipe matriks dan tipe matriks berlapis
(Gambar 1). Tipe penyimpanan memiliki lapisan yang menyelimuti bahan inti
yang disebut kapsul. Pada tipe matriks, agen aktif tersebar di bahan pembawa dan
juga dapat ditemukan pada permukaan. Kombinasi dari kedua tipe tersebut ialah
matriks berlapis, yaitu keberadaan agen aktif seperti berada di dalam kapsul yang
dilindungi oleh lapisan tambahan (Zuidam dan Nedovic 2010).
(a)
Gambar 1
(b)
(c)
Tipe bahan enkapsulan (Zuidan dan Nedovic 2010) (a) tipe
penyimpanan, (b) tipe matriks dan (c) tipe matriks berlapis.
Bahan enkapsulan yang digunakan antara lain yaitu polisakarida, ekstrak
tanaman, ekstrak hasil laut, protein, lemak serta polisakarida yang berasal dari
mikroorganisme dan hewan. Polisakarida yang dapat digunakan sebagai bahan
enkapsulan yaitu pati dan turunannya seperti amilosa, amilopektin, dekstrin,
maltodekstrin, polidekstrosa, sirup serta selulosa dan turunannya (O’Riordan et al.
2001; Semyonov et al. 2010). Ekstrak tanaman yang dapat digunakan sebagai
bahan enkapsulan yaitu gum Arab, galaktomanan, pektin dan polikasarida terlarut
yang terdapat dalam kedelai (Desmond et al. 2002). Ekstrak hasil laut yang dapat
digunakan sebagai bahan enkapsulan yaitu karagenan dan alginat (Gbassi et al.
2010; Fu et al. 2011). Protein yang dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan
yaitu susu dan protein limbah tahu seperti kasein, gelatin dan gluten (Picot dan
Lacroix 2004; Doherty et al. 2011; Khoramnia et al. 2011). Lemak yang dapat
digunakan sebagai bahan enkapsulan yaitu asam lemak, gliserida dan fosfolipid
(Hou et al. 2003). Polisakarida yang berasal dari mikroorganisme dan hewan yang
dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan yaitu dekstran dan kitosan (Hubalek
2003; Krasaekoopt et al. 2006). Pati merupakan salah satu bahan enkapsulan yang
direkomendasikan karena harganya murah sehingga dapat menekan biaya
produksi (De Vos et al. 2010).
Pati merupakan polimer alami yang diproduksi oleh tanaman sebagai
sumber cadangan energi. Pati merupakan biomassa yang kelimpahannya tinggi di
alam. Pati tersusun atas dua makromolekul glukosidik, yaitu amilosa dan
amilopektin. Granula pati terdiri atas lapisan amorf dan kristalin yang berselangseling membentuk cincin sehingga dapat berperan sebagai matriks yang menjerap
agen aktif selama proses enkapsulasi (Le Corre et al. 2010; Winarti et al. 2013).
7
Tapioka Asam
Tapioka asam (sour cassava starch) merupakan produk pati termodifikasi
yang dihasilkan melalui fermentasi tapioka (native cassava starch) dan diikuti
dengan pengeringan di bawah sinar matahari (Cardenas dan Buckle 1980).
Fermentasi mampu meningkatkan kualitas tapioka alami sekaligus merubah
struktur dan sifat fisiko-kimia pada tapioka asam. Perubahan struktural pati
termodifikasi berpotensi untuk diaplikasikan sebagai matriks selama proses
enkapsulasi (Winarti et al. 2013).
Pati yang baik digunakan sebagai matrik ialah pati yang memiliki kelarutan
tinggi dan viskositas yang rendah. Modifikasi pada pati tapioka asam melalui
proses fermentasi mampu meningkatkan kelarutan sekitar 10-30% dibandingkan
tapioka alami (Putri et al. 2011), serta penurunan viskositas dibandingkan dengan
tapioka alami (Putri et al. 2012). Dua faktor ini menyebabkan tapioka asam
berpotensi untuk dijadikan matriks enkapsulasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan
Biomedis PPSHB LPPM IPB pada bulan Juli 2013 – Oktober 2014.
Bahan dan Alat
Isolat bakteri asam laktat lokal yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Sebelas isolat BAL lokal tersebut
telah diisolasi dari fermentasi spontan jagung (E1212, E1211, E2211, E2113.5,
E2112, E1222, E2121) oleh Rosyidah (2013) dan fermentasi spontan tepung sagu
(D3, D4, D5, D7) oleh Suseno (2015). Matriks yang digunakan untuk enkapsulasi
ialah tepung tapioka asam. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
freeze dryer, spray dryer, high performance liquid chromatography (HPLC),
spektrofotometer, pH meter dan inkubator.
Seleksi Isolat BAL
Seleksi BAL lokal dilakukan terhadap kemampuan produksi asam dan
sensitivitas terhadap antibiotik. Kemampuan isolat BAL dalam memproduksi
asam dilakukan dengan menghitung total asam tertitrasi (AOAC 1995) dan
pengukuran pH menggunakan pH meter. Uji sensitivitas antibiotik dilakukan
dengan metode difusi cakram terhadap antibiotik tetrasiklin, eritromisin dan
kloramfenikol. Interpretasi sensitivitas isolat terhadap antibiotik yang diujikan
dilakukan menggunakan standar Johnson dan Case (2007) (Tabel 1). Isolat yang
mampu memproduksi total asam tinggi dan tidak resisten terhadap antibiotik yang
diujikan kemudian diukur kemampuan produksi asam laktatnya menggunakan
HPLC. Isolat terpilih merupakan isolat yang memproduksi asam laktat paling
8
tinggi, yang kemudian digunakan untuk uji selanjutnya. Prosedur pengukuran
total asam tertitrasi dan uji sensitivitas antibiotik selengkapnya disajikan pada
Lampiran 1.
Tabel 1 Interpretasi diameter zona hambat (Ø) antibiotik
Interpretasi
Sensitif (S)
Intermediet (I)
Resisten (R)
a
Tetrasiklin (30 µg)
Eritromisin (15 µg)
Kloramfenikol (30 µg)
Ø ≥ 19 mm
Ø ≥ 23 mm
Ø ≥ 18 mm
18 mm ≥ Ø ≥ 15 mm
22 mm ≥ Ø ≥ 14 mm
Ø ≤ 14 mm
Ø ≤ 13 mm
16 mm ≥ Ø ≥ 14 mm
Ø ≤ 12 mm
Sumber : Johnson dan Case (2007).
Karakterisasi Isolat Terpilih
Karakterisasi isolat terpilih meliputi morfologi dan pembuatan kurva
tumbuh. Pengamatan morfologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya
meliputi pewarnaan Gram dan bentuk sel. Pembuatan kurva tumbuh dilakukan
dengan menginokulasikan kultur bakteri berumur 24 jam pada media de Man
Rogosa Sharpe broth (MRSB). Kurva tumbuh diamati dengan melakukan
perhitungan jumlah sel (log CFU/mL) dan pengukuran terhadap optical density
(OD) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang ( ) 620 nm.
Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode total plate count (TPC) pada
media de Man Rogosa Sharpe agar (MRSA) yang diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 48 jam. Pengamatan dilakukan setiap satu jam hingga sel bakteri mencapai
tingkat pertumbuhan spesifik maksimal (µ m, h-1) yang dihitung berdasarkan
persamaan berikut (Soro-Yao et al. 2014):
µ m = ( ln Nt - ln N0 )
tt - t0
Nt merupakan jumlah sel pada waktu ke-t (CFU/mL). N0 merupakan jumlah
sel awal. tt merupakan waktu ke-t dan t0 merupakan waktu awal.
Enkapsulasi BAL
Kultur kering isolat terpilih dienkapsulasi dengan teknik pengeringan
pengeringan beku dan pengeringan semprot. Matriks yang digunakan ialah
tapioka asam dan tapioka asam dengan penambahan 10% susu skim digunakan
sebagai kontrol positif. Larutan matriks disiapkan dengan melarutkan 1% (b/v)
tapioka asam ke dalam akuades. Sebanyak 500 mL sampel starter disiapkan
dengan mencampurkan 450 mL larutan matriks steril dengan 50 mL kultur BAL
dalam MRSB pada tahap pertumbuhan optimum. Susu skim yang digunakan
sebelumnya dilarutkan ke dalam 50 mL akuades steril dan disterilisasi pada suhu
115 oC selama 10 menit (Pyar dan Peh 2014). Sampel dengan komposisi yang
sama kemudian dikeringkan menggunakan alat freeze dryer pada suhu -50 oC dan
spray dryer pada suhu inlet 170 oC dan outlet 70 oC. Kultur kering yang
9
dihasilkan kemudian disimpan di dalam alumunium foil kedap udara untuk diukur
kadar air dan dihitung jumlah sel bakterinya.
Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode sebar (spread-plate
method). Kultur kering disuspensikan dengan larutan garam fisiologis steril dan
dihomogenkan dengan vortex selama 30 menit sebelum dibuat beberapa seri
pengenceran. Seri pengenceran tersebut kemudian disebar sebanyak 100 µL pada
media MRSA dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Jumlah koloni
dihitung dan dinyatakan dalam log CFU/g. Pengukuran kadar air kultur kering
dilakukan pada hari ke-0 setelah enkapsulasi. Kadar air sampel diukur setelah
pengeringan pada suhu konstan 105 oC (AOAC 1995). Prosedur pengukuran
viabilitas sel dan kadar air selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
Tingkat ketahanan BAL (%) setelah pengeringan dihitung menggunakan
persamaan (N/No) x 100% (Leja et al. 2009). No merupakan jumlah sel (CFU/g)
sebelum proses pengeringan. N merupakan jumlah sel (CFU/g) setelah
pengeringan.
Stabilitas Penyimpanan
Kultur kering hasil pengeringan terpilih dikemas di dalam alumunium foil
kedap udara kemudian disimpan pada suhu dingin (4 oC) dan suhu ruang (28 oC)
selama empat minggu. Viabilitas sel pada kultur kering dihitung pada hari ke-0, 7,
14, 21 dan 28 setelah penyimpanan. Jumlah koloni dinyatakan dalam log CFU/g.
Analisis Data
Data ditampilkan dalam bentuk rataan ± standar deviasi dari tiga ulangan
perlakuan. Analisis statistik dihitung dengan analisis rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial menggunakan software statistical analytic software version 9.1
(SAS). Uji Duncan dilakukan sebagai uji lanjut untuk mengidentifikasi secara
statistik perbedaan yang signifikan dalam percobaan (α = 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat BAL Lokal Terbaik
Hasil seleksi sensitivitas antibiotik isolat BAL lokal menunjukkan bahwa
3 dari 11 isolat tidak resisten terhadap tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol
(Tabel 2). Ketiga isolat tersebut yaitu E1211, E1222 dan D4. Ketiga isolat
tersebut bersifat sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol namun bersifat
intermediet terhadap antibiotik tetrasiklin dan eritromisin. Resistensi terhadap
tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol juga telah ditemukan pada BAL yang
digunakan sebagai starter fermentasi produk makanan (Ammor et al. 2007;
Hummel et al. 2007; Toomey et al. 2010). Penggunaan isolat yang tidak resisten
terhadap ketiga antibiotik tersebut sebagai starter fermentasi diharapkan dapat
mengurangi penyebaran sifat resisten ketiga antibiotik tersebut terhadap bakteri
lain.
10
Beberapa mikroorganisme secara alami resisten terhadap antibiotik
tertentu. Resistensi terhadap antibiotik tersebut dapat terjadi karena beberapa
alasan. Pertama, organisme tidak memiliki struktur yang dihambat oleh
antibiotik, sehingga resisten terhadap antibiotik tersebut. Hal ini terjadi pada
mikoplasma yang tidak memiliki dinding sel sehingga secara alami resisten
terhadap antibiotik yang menghancurkan dinding sel. Kedua, organisme tidak
dapat ditembus (impermeable) oleh antibiotik. Hal ini terjadi pada mayoritas
bakteri Gram negatif terhadap antibiotik penisilin G dan pletensimisin. Ketiga,
organisme dapat mengubah antibiotik ke bentuk inaktiv. Hal ini terjadi pada
staphylococci yang memiliki enzim β-laktamase untuk memotong cincin βlaktam pada mayoritas penisilin. Keempat, organisme mampu memodifikasi
target dari antibiotik. Resistensi seperti ini biasanya terjadi karena adanya mutasi
pada gen kromosomal. Kelima, organisme mampu membangun jalur biokimia
resisten. Hal ini terjadi pada mayoritas patogen yang dihambat produksi asam
folatnya oleh antibiotik. Bakteri resisten mampu memodifikasi metabolismenya
untuk mengambil bahan baku asam folat dari lingkungan untuk menghindari
terhalangnya jalur produksi asam folat oleh antibiotik. Keenam, organisme
mampu memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel. Proses ini juga
disebut efflux (Madigan et al. 2012).
Tabel 2 Sensitivitas antibiotik isolat BAL yang ditumbuhkan pada media
MRSA pada suhu 37 oC selama 48 jam
Kode
Isolat
E1212
E1211
E2211
E2113
E2112
E1222
E2121
D3
D4
D5
D7
a
Tetrasiklin
Ø
(mm)
0
17
15
0
0
15
0
0
17
0
0
Inta
R
I
I
R
R
I
R
R
I
R
R
Eritromisin
Ø
(mm)
0
15
12
0
0
15
0
0
15
0
0
Inta
R
I
R
R
R
I
R
R
I
R
R
Kloramfenikol
Ø
(mm)
0
20
20
0
0
20
0
0
18
0
0
Inta
R
S
S
R
R
S
R
R
S
R
R
Isolat
Terpilih
√
√
√
-
Sumber: Johnson dan Case (2007); Int: interpretasi, S: sensitif, I: intermediet, R: resisten
merujuk pada Tabel 1.
Resistensi antibiotik dikodekan secara genetik pada kromosom bakteri
atau plasmid yang disebut plasmid R (resistance). Namun mayoritas bakteri
resisten antibiotik yang diisolasi dari pasien memiliki gen resisten yang terdapat
pada plasmid R dibandingkan pada kromosom. Resistensi antibiotik dicirikan
dengan adanya gen pada plasmid R yang mengkode enzim yang dapat
memodifikasi antibiotik, menginaktivkan antibiotik, mencegah masuknya
11
antibiotik ke dalam sel atau memompa antibiotik keluar sel. Gen resisten
antibiotik umumnya terdapat pada tranposon yang terinsersi ke dalam plasmid
maupun gen kromosomal (Mathur dan Singh 2005). Resistensi kloramfenikol
terjadi melalui mekanisme inaktivasi antibiotik dan memompa antibiotik keluar
sel (efflux) (Madigan et al. 2012). Gen resisten kloramfenikol dikenal sebagai
gen cat yang mensintesis enzim asetilase (Mathur dan Singh 2005). Gen cat
telah ditemukan keberadaannya pada plasmid pRE25 Enterococcus faecalis
RE25 (Schwatz et al. 2001). Resistensi eritromisin terjadi dengan mengubah
target antibiotik dan memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al.
2012). Gen erm merupakan gen resisten eritromisin (Mathur dan Singh 2005).
Gen erm telah diketahui keberadaannya pada plasmid yang dibawa oleh
Lactobacillus fermentum (Fons et al. 1997). Resistensi tetrasiklin terjadi dengan
memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al. 2012). Gen tet
merupakan gen resisten tetrasiklin yang berperan untuk melindungi ribosom
(Mathur dan Singh 2005). Plasmid yang membawa gen tet(M) telah diketahui
keberadaannya pada Lactobacillus yang diisolasi dari fermentasi sosis (Gevers et
al. 2002).
Transmisi gen resisten antibiotik dapat terjadi secara konjugasi diantara
sesama BAL. Perreten et al. (1997) menyatakan bahwa transposon TnFO1 pada E.
faecalis yang membawa gen tet(M) ditransfer secara konjugasi pada bakteri Gram
positif lain. Toomey et al. (2010) juga menemukan bahwa gen tet(M) dari
Lactobacillus plantarum berhasil ditransfer kepada Lactococcus lactis BU-2-60
dan E. faecalis JH2-2 secara konjugasi.
Tabel 3 Kemampuan produksi asam isolat BAL yang dikulturkan pada media
MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam
Kode Isolat
E1212
E1211
E2211
E2113
E2112
E1222
E2121
D3
D4
D5
D7
Total Asam (mg/mL)
pH
24.96 ± 0.00
21.12 ± 0.00
22.08 ± 1.36
21.12 ± 0.00
22.08 ± 1.36
25.92 ± 1.36
23.04 ± 0.00
25.92 ± 1.36
29.76 ± 1.36
28.80 ± 0.00
1.92 ± 0.00
4.46 ± 0.04
4.26 ± 0.02
4.43 ± 0.05
4.51 ± 0.03
4.51 ± 0.08
4.47 ± 0.00
4.43 ± 0.00
4.40 ± 0.01
4.32 ± 0.03
4.33 ± 0.02
5.89 ± 0.00
Seleksi BAL lokal juga dilakukan dengan menyeleksi isolat yang memiliki
produktivitas fermentasi yang tinggi. Produktivitas tersebut dapat diketahui dari
kemampuan BAL memproduksi asam laktat selama proses fermentasi. Asam
laktat merupakan produk utama hasil fermentasi oleh BAL. Dua dari tiga isolat
hasil seleksi sensitivitas antibiotik yang memiliki total asam yang tinggi (isolat
E1222 dan D4), kemudian diukur produksi asam laktatnya pada media MRSB
12
menggunakan HPLC. Hasil HPLC menunjukkan bahwa isolat E1222
memproduksi asam laktat lebih tinggi (16581.88 mg/L) dibandingkan dengan
isolat D4 (14609.24 mg/L) (Gambar 2). Isolat E1222 kemudian dipilih untuk uji
selanjutnya. Hasil identifikasi oleh Meryandini dan Wiryawan (2013)
menunjukkan bahwa isolat E1222 ialah Pediococcus pentosaceus. Produksi asam
laktat selama proses fermentasi dilakukan BAL dengan mengubah glukosa
menghasilkan asam laktat sebagai produk utamanya. Fermentasi merupakan
proses pembentukan energi melalui transfer elektron di sitoplasma (fosforilasi
tingkat substrat) (White 2007). Fermentasi dapat terjadi pada kondisi tidak adanya
akseptor elektron respiratif. Hal ini menyebabkan proses fermentasi harus
memproduksi akseptor elektron (electron sinks) yang digunakan untuk
menangkap elektron dari NADH selama proses oksidasi.
(a)
(b)
Gambar 2 Kromatogram hasil HPLC produksi asam laktat isolat (a) E1222 dan
(b) D4 pada media MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam.
Karakteristik Isolat Terpilih
Hasil pengamatan mikroskopis dan pewarnaan Gram menunjukkan bahwa
isolat E1222 bersifat Gram positif dan berbentuk kokus. Isolat E1222 mencapai
laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ m = 0.027 h-1) pada jam ke-6 (Gambar 3).
Pertumbuhan spesifik merupakan nilai kemiringan (slope) logaritma dari kurva
pertumbuhan pada fase exponensial. Soro-Yao et al. (2014) menyatakan bahwa
13
Jumlah sel (log CFU/ml)
parameter laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ m) BAL dan viabilitas sel setelah
perlakuan stres dapat digunakan untuk memprediksi BAL potensial yang dapat
digunakan sebagai kultur starter kering. Hal ini didukung dengan penelitiannya
bahwa Lactobacillus fermentum yang memiliki laju pertumbuhan spesifik
tertinggi (µ m = 1.14 h-1) dibandingkan galur lain yang diujikan, memiliki tingkat
ketahanan sel (%) tertinggi setelah pengeringan beku yaitu