Manajemen Pemeliharaan Lumba-lumba (Tursiops aduncus) di Kawasan Konservasi Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia Dikaitkan dengan Indeks Stres

MANAJEMEN PEMELIHARAAN LUMBA-LUMBA (Tursiops
aduncus) DI KAWASAN KONSERVASI MAMALIA AIR PT
WERSUT SEGUNI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN
INDEKS STRES

TALITA FAUZIAH MILANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Manajemen
Pemeliharaan Lumba-lumba (Tursiops aduncus) di Kawasan Konservasi Mamalia
Air PT Wersut Seguni Indonesia Dikaitkan dengan Indeks Stres” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Talita Fauziah Milani
NIM B04100171

ABSTRAK
TALITA FAUZIAH MILANI. Manajemen Pemeliharaan Lumba-lumba di
Kawasan Konservasi Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia Dikaitkan dengan
Indeks Stres. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN S dan AGUSTIN INDRAWATI.
Lumba-lumba hidung botol (Tursiops aduncus) yang hidup di
penangkaran dan dimanfaatkan sebagai satwa atraksi rentan terhadap kondisi
stres. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kondisi stres pada lumba-lumba
(Tursiops aduncus) yang hidup di penangkaran dan mempelajari kondisi-kondisi
lingkungan yang mendukung untuk kesehatan lumba-lumba. Kondisi stres dapat
diketahui dari indikator stres yang dihitung melalui ratio neutrofil/limfosit.
Sebanyak 7 ekor lumba-lumba hidung botol yang hidup di Kawasan Konservasi
Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia diambil sampel darahnya untuk dibuat
preparat ulas darah. Preparat ulas darah diwarnai dengan zat warna Giemsa dan

diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 x 10. Ratio neutrofil/limfosit
pada 7 ekor lumba-lumba yang didapat dari data berkisar antara 0.21-0.82. Rataan
indeks stres dari 7 ekor lumba-lumba adalah 0.53. Hasil pengamatan ini
menunjukan bahwa 7 ekor lumba-lumba yang diteliti tidak mengalami stres.
Kata kunci: ratio neutrofil/limfosit, indeks stres, Tursiops aduncus

ABSTRACT
TALITA FAUZIAH MILANI. The Relation of Stres Indicator and Bottlenose
Dolphins (Tursiops aduncus) Nursing Management in PT Wersut Seguni
Indonesia Sea Mammals Conservation Site. Supervised by ARYANI SISMIN S
and AGUSTIN INDRAWATI.
The bottlenose dolphin (Tursiops aduncus) that live in captivity and used as
animal attraction is susceptible to stress conditions. The objectives of this research
is to ascertain the stress indicator of the bottlenose dolphins (T. aduncus) which is
lived in captivity and to study the environment condition that supports the
bottlenose dolphins health. Stress condition can be discovered from stress
indicator which is neutrophil/lymphocyte ratio. Thin blood smears were preaparad
from the blood of seven bottlenose dolphins at Sea Mammals Conservation Site
PT Wersut Seguni Indonesia. Thin blood smears were stained by Giemsa and
observed under microscope with 100 x 10 magnification. Neutrophil/lymphocyte

ratio of seven bottlenose dolphins from data ranged between 0-21-0.82. The
average of the seven bottlenose dolphins stress indicator are 0.53. This research
results have shown that the observed of seven bottlenose dolphins were not in a
stress condition.
Keywords: neutrophil/lymphocyte ratio, stres indicator, Tursiops aduncus

MANAJEMEN PEMELIHARAAN LUMBA-LUMBA (Tursiops
aduncus) DI KAWASAN KONSERVASI MAMALIA AIR PT
WERSUT SEGUNI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN
INDEKS STRES

TALITA FAUZIAH MILANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Departemen Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Manajemen Pemeliharaan Lumba-lumba (Tursiops aduncus) di
Kawasan Konservasi Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia
Dikaitkan dengan Indeks Stres
Nama
: Talita Fauziah Milani
NIM
: B04100171

Disetujui oleh

Dr Drh Aryani S Satyaningtijas, MSc
Pembimbing I

Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed
Pembimbing II


Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan FKH-IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan para umatnya. Tema yang dipilih
dalam penelitian adalah “Manajemen Pemeliharaan Lumba-Lumba (Tursiops
aduncus) di Kawasan Konservasi Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia
Dikaitkan dengan Indeks Stres”.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, dukungan, dan bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua Bapak Bachtiar dan Ibu Gina Caroline, serta segenap
keluarga besar penulis atas segala do’a, semangat, dan kasih sayang yang

selalu diberikan kepada penulis.
2. Dr. Drh. Aryani S Satyaningtijas, MSc dan Dr. Drh. Agustin Indrawati,
MBiomed selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan,
ilmu, dan bimbingan kepada penulis.
3. PT Wersut Seguni Indonesia atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat
berlangsung.
4. Dr. Drh. Joko Pamungkas, MSc sebagai pembimbing akademik penulis yang
telah memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis selama menempuh
studi S1 di FKH IPB.
5. Rekan-rekan sepenelitian Rizka Fitri Syarafina dan M Suryaputra yang telah
membantu penulis melewati waktu sulit dan senang bersama selama penelitian.
6. Alif Iman Fitrianto atas doa, dukungan, motivasi serta warna yang diberikan
dalam kehidupan penulis.
7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pawitra Lintang, Natasha
Arviana, dan Hidayati yang telah menjadi sahabat yang sangat baik dan
menghibur bagi penulis, seluruh keluarga besar Fakultas Kedokteran Hewan
IPB dan seluruh pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis, baik
selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi penulis, dan bagi ilmu
pengetahuan.


Bogor, Juni 2014

Talita Fauziah Milani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Taksonomi dan Morfologi Lumba-lumba

2

Biologi dan Perilaku


3

Stres

4

METODE

5

Waktu dan Tempat Penelitian

5

Bahan dan Alat Penelitian

5

Tahap Persiapan


5

Tahap Perlakuan

6

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

6
10

Simpulan

10


Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

11

RIWAYAT HIDUP

13

DAFTAR TABEL
1 Jumlah neutrofil, limfosit, rasio N/L serta rataannya

7

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Ilustrasi Tursiops aduncus
Kolam lumba-lumba di PT Wersut Seguni Indonesia
Pakan lumba-lumba yaitu ikan kuniran
Pengambilan darah lumba-lumba di vena dorsal ekor

2
8
9
10

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lumba-Iumba merupakan salah satu bagian dari ordo cetacea yang
memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, memiliki sifat penurut, penyabar, cepat
jinak dan mudah dilatih (Gauckler 1982). Berdasarkan sifat-sifatnya itulah maka
sekarang ini banyak perusahaan yang memelihara lumba-Iumba untuk
kepentingan atraksi, disamping sebagai salah satu upaya pelestarian satwa,
pendidikan dan rekreasi. Lumba-lumba merupakan hewan yang dilindungi
berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, diikuti dengan penegasan status lumba-lumba sebagai
hewan yang dilindungi negara terlampir pada lampiran Peraturan Pemerintah
Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Status
lumba-lumba sebagai satwa yang dilindungi negara serta kedekatan lumba-lumba
sebagai hewan atraksi pada manusia yang berpotensi menularkan zoonosis
membuat kesehatan lumba-lumba menjadi hal yang wajib diperhatikan.
Lumba-lumba sebagai satwa atraksi memiliki beberapa faktor yang
berpengaruh untuk kesehatannya. Faktor yang mempengaruhi kesehatan lumbalumba antara lain faktor lingkungan, faktor pakan, dan faktor penyakit. Faktor
lingkungan berhubungan erat dengan kondisi habitat lumba-lumba. Lumba-lumba
yang hidup dalam penangkaran sebagai hewan atraksi tentu memiliki kondisi
psikologis yang berbeda dengan lumba-lumba yang hidup liar di laut lepas.
Tingkat stres pada lumba-lumba dapat berakibat buruk pada kesehatan lumbalumba itu sendiri, dan bukan tidak mungkin dapat menyebabkan kematian.
Beberapa kondisi perlu diterapkan untuk menjaga kestabilan psikologis dan
fisiologis lumba-lumba sehingga dapat mencegahnya dari stres. Penerapan Animal
Welfare merupakan standar yang harus ada di seluruh tempat penangkaran lumbalumba sehingga lumba-lumba tetap memiliki kualitas hidup yang baik walaupun
tidak hidup di habitat aslinya, yaitu laut. Indeks stres makhluk hidup dapat
diketahui dengan cara melakukan pemeriksaan ulas darah berupa pengukuran ratio
neutrofil per limfosit (Kannan et al. 2000). Dengan adanya penelitian tentang
indeks stres lumba-lumba di penangkaran sebagai hewan atraksi, diharapkan dapat
diketahui kondisi-kondisi lingkungan yang mendukung untuk kesehatan lumbalumba.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks stres pada lumba-lumba
(Tursiops aduncus) yang hidup di penangkaran sebagai satwa atraksi serta
kondisi-kondisi lingkungan yang mendukung untuk kesehatan lumba-lumba.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan perbaikan Manajemen dalam
pemeliharaan dan kesehatan lumba-lumba yang hidup dalam penangkaran sebagai
satwa atraksi melalui indeks stres yang dikaji.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Lumba-lumba
Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia air yang paling dikenal.
Lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops aduncus) merupakan salah satu
bagian dari Ordo Cetacea dengan famili Delphinidae. Lumba-lumba ini memiliki
genus yang sama dengan lumba-lumba hidung botol Tursiops truncatus. Lumbalumba hidung botol Indo-Pasifik diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Cetacea
Sub ordo
: Odontoceti
Famili
: Delphinidae
Sub family
: Delphininae
Genus
: Tursiops
Species
: Tursiops aduncus (Perrin et al. 2008)

Gambar 1 Ilustrasi Tursiops aduncus (Würtz 2010)
Lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik atau Tursiops aduncus (T.
aduncus) memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan Tursiops truncatus yaitu
tubuh yang kuat, paruh yang tidak terlalu panjang, dan sirip punggung yang
miring (Jefferson et al. 2008). Meski begitu spesies ini memiliki ukuran tubuh
yang lebih kecil dari Tursiops truncatus, rostrum proporsional yang lebih panjang,
dan memiliki spot di ventralnya ketika mencapai dewasa kelamin (Wells dan Scott
2002). Pada punggung T. aduncus terdapat sirip dorsal yang berbentuk miring dan
dua buah flipper yang terletak di bagian samping kepala. Paruh T. aduncus agak

3
pendek yang membedakannya dari bagian kepala, dan bagian kepala ini berbentuk
seperti buah melon. Bagian punggung dari T. aduncus berwarna abu-abu tua,
sedangkan bagian perutnya berwarna abu-abu muda (Coffey 1977). Ukuran
panjang dan berat pada lumba-lumba ini berbeda di tiap tempat, jantan dengan
panjang 238 cm dan berat 160 kg ditemukan di Zanzibar, Afrika Timur (Amir et
al. 2007) dan laporan tentang panjang dan berat maksimum dari T. aduncus yaitu
2.7 m dan 230 kg (Jefferson et al. 2008).
Lumba-lumba memiliki tubuh langsing untuk mempermudah
pergerakannya (Coffey 1977). Jumlah vertebrae lumba-lumba berkisar 60-65 buah,
terdiri dari 7 buah cervicalis dengan vertebrae cervicalis 1 dan 2 menyatu,
vertebrae thoracalis berjumlah 12-14 buah, vertebrae lumbalis antara 16-19 buah
dan vertebrae caudalis antara 23-28 buah (Rommel 1990).
Priyono (2001) mengamati bahwa lumba-lumba memiliki sirip ekor
berposisi mendatar dan tidak tegak berdiri apabila dibandingkan dengan bangsa
ikan, serta bergerak naik-turun untuk membantu mendorong tubuhnya. Lumbalumba dilengkapi pula dengan sirip-sirip dada dan sirip punggung untuk
membantunya bergerak di dalam air. Lebih lanjut Priyono (2001) menyatakan
bahwa sebagai hewan menyusui, lumba-lumba berdarah panas yaitu memiliki
suhu yang stabil sekitar 37 °C, bernafas dengan paru-paru, yang dilengkapi
dengan sebuah lubang pernapasan berkatup di bagian atas kepala. Satwa lumbalumba memiliki satu set gigi yang tidak memiliki gigi seri (Priyono 2001).
Biologi dan Perilaku
Observasi Cribb et al. (2013) menemukan sejumlah kawanan besar lumbalumba hidung botol yang berhabitat dan melakukan semua aktivitas perilakunya di
perairan dengan pasir polos. T. aduncus lebih menyukai area dengan bebatuan dan
terumbu karang atau perairan dengan banyak rumput laut. Mereka dapat
ditemukan di perairan dengan kedalaman 200 meter namun lebih sering berada di
perairan dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Lumba-lumba hidung botol
menyukai perairan dengan temperature 20-30 ºC (Wang dan Yang 2009).
Pada umumnya lumba-lumba memiliki indera penglihatan dan indera
penciuman yang buruk sehingga kurang mendukung aktifitas sehari-hari di dalam
habitat perairan. Namun lumba-lumba memiliki sistem sonar yang berfungsi
dalam pengenalan obyek dan lokasi di dalam air (ekolokalisasi) menggunakan
pancaran frekuensi suara. Pada bagian depan kepala terdapat organ melon
berbentuk bulat yang terbuat dari lemak berminyak dan berfungsi mengarahkan
frekuensi yang sangat tinggi ke arah sasaran. Sasaran akan terdeteksi berdasarkan
pantulan frekuensi yang diterima di bagian tertentu di rahang bawah untuk
diteruskan ke otak. Kemampuan penggunaan frekuensi lumba-lumba yaitu pada
frekuensi 750-300.000 getaran per detik (Priyono 2001).
Lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik merupakan mamalia air. Lumbalumba betina mencapai usia reproduktif pada umur 7-12 tahun (Mann et al. 2000)
sementara lumba-lumba jantan dapat mencapai usia produktif pada umur 13 tahun
(Amir et al. 2007). Lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik memiliki masa
kebuntingan selama 12 bulan (Wang dan Yang 2009). Interval kebuntingan
Tursiops aduncus sekitar 4 tahun (Mann et al. 2000).

4
Menurut Coffey (1977), lumba-lumba membatasi pilihan makanannya
untuk mangsa yang sesuai ukurannya, sebagian besar adalah ikan-ikan berukuran
kecil. Hal ini disebabkan karena lumba-lumba tidak mengunyah makanannya
melainkan langsung ditelan seluruhnya. Menurut Wang dan Yang (2009), T.
aduncus memakan ikan dan sefalopoda yang berukuran tidak lebih dari 30 cm.
Stres
Stres merupakan respon tubuh terhadap suatu ancaman tertentu yang
berupa penyesuaian terhadap kondisi tersebut (Von Borrel 2001). Selama proses
penyesuaian terhadap kondisi stres terjadi perubahan fisiologis dan tingkah laku
hewan sampai proses adaptasi tercapai. Frandson (1992) menyatakan bahwa stres
dapat diartikan sebagai respon fisiologi, biokimia, maupun tingkah laku ternak
terhadap factor fisik, kimia, dan biologis. Faktor yang mempengaruhi intensitas
stres dapat berupa jarak dan lama perjalanan, tingkah laku ternak, bentuk
pengangkutan, tingkat kepadatan, waktu pengangkutan, keadaan iklim,
penanganan saat perjalanan, efektifitas waktu istirahat setelah perjalanan, serta
sifat kerentanan individu terhadap stres. Stres dapat dibagi menjadi dua bentuk
yaitu stres akut dan stres kronis. Stres akut adalah stres yang muncul cukup kuat,
tetapi dapat menghilang dengan cepat, terutama jika penyebab stres dihilangkan.
Stres kronis adalah stres yang tidak terlalu kuat, tetapi dapat bertahan lama sampai
berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan (NSC 2004). Stres yang
berlangsung dalam waktu yang lama (stres kronis) dapat mengakibatkan
penurunan efektifitas sistem imun, sistem saraf, dan endokrin (Fowler 1999).
Archer et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat 3 tahap dalam proses
adaptasi hewan yang mengalami stres: 1) Fase alami, pada fase ini terjadi respon
tubuh berupa reaksi imun dan sekresi adrenalin, 2) fase perlawanan, pada fase ini
stres berhasil diadaptasi atau proses berlanjut, 3) fase kelelahan, akhir dari fase ini
adalah kematian. Archer et al. (1997) juga mengklasifikasikan 4 macam penyebab
stres yaitu 1) stressor somatik berupa suara keras, cahaya yang mencolok,
transportasi, panas, dingin, tekanan, efek kimia, dan obat, 2) stressor psikologik
berupa perkelahian, teror, dan restraint, 3) stressor tingkah laku meliputi terlalu
padatnya populasi kadang, teritori, dan hierarki, 4) stressor lainnya yaitu keadaan
malnutrisi, keberadaan toksin, parasit, agen infeksius, tindakan pembedahan, dan
imobilisasi fisik atau kimia.
Stres yang diakibatkan oleh trauma, infeksi, peradangan atau kerusakan
jaringan akan memicu impuls saraf ke hipotalamus kemudian hipotalamus akan
melepaskan hormon pelepas kortikotropin atau corticotrophin releasing hormone
(CRH) yang melewati sistem portal hipotalamus-hipofise menuju kelenjar pituitari
anterior (adenohipofise) (Johnson et al. 1992). Robert dan Roberts (1996)
menyatakan bahwa selanjutnya adenohipofise akan dirangsang untuk melepaskan
adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang akan bersirkulasi di dalam darah
menuju kelenjar adrenal yang berfungsi untuk mensekresikan glukokortikoid.
Zona fasikulata dan zona retikularis kelenjar adrenal lebih sensitif terhadap ACTH
untuk menghasilkan glukokortikoid dibandingkan dengan zona glomerulosa yang
menghasilkan mineralokortikoid. Glukokortikoid yang dihasilkan akan
meningkatan persediaan asam amino, lemak, dan glukosa dalam darah untuk

5
membantu memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh stres dan menstabilkan
membran lisosom untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (Frandson 1992).
Stres pada hewan dapat diukur melalui rasio neutrofil/limfosit (N/L).
Kannan et al. (2000) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah neutrofil
dan penurunan jumlah limfosit pada kambing yang mengalami stres akibat
transportasi. Rasio N/L lebih tinggi setelah proses transportasi dibandingkan
sebelum proses transportasi. Rasio N/L normal pada mamalia adalah 1,5 namun
pada kambing yang mengalami stres akibat transportasi dapat mencapai 2,7.
Penelitian yang dilakukan oleh Ambore et al. (2009) menunjukkan adanya
peningkatan neutrofil pada kambing setelah proses transportasi dan terjadi
eosinopenia. Hal ini diduga merupakan respon dari kortisol di dalam darah.
Kannan et al. (2000) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan
tidak menunjukkan adanya penurunan jumlah eosinofil dan monosit selama
transportasi.
Perubahan rasio N/L tidak hanya terjadi pada hewan yang mengalami stres
transportasi, tetapi juga pada hewan yang dikandangkan di tempat penangkaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Maheshwari (2008) terhadap Owa Jawa di tempat
penangkaran menunjukkan adanya gambaran rasio N/L yang relatif tinggi. Owa
Jawa tersebut diduga berada dalam keadaan tercekam yang mungkin disebabkan
oleh perlakuan pada saat penangkapan atau pembiusan. Satyaningtijas et al.
(2010) juga melaporkan hasil observasi stres pada domba selama transportasi
melalui perhitungan rasio N/L.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September tahun 2013 di Kawasan
Konservasi Mamalia Air Pantai Cahaya, Sendang Sikucing, Kendal milik PT
Wersut Seguni Indonesia dan Laboratorium Pawiyatan Luhur, Bendandhuwur,
Semarang, Jawa Tengah.
Bahan dan Alat Penelitian
Hewan uji yaitu lumba-lumba (Tursiops aduncus) sebanyak 7 ekor, EDTA
sebagai anti koagulan, alkohol 70 %, metil alkohol, pewarna Giemsa 10 %, spoit 5
ml, cool box, 14 buah kaca preparat, pakan tiap ekor lumba-lumba berupa ikan
kuniran diberikan 3 kali sehari sebanyak 3 kg.
Tahap Persiapan
Populasi target pada penelitian ini adalah hewan lumba-lumba (Tursiops
aduncus) yang hidup di dalam penangkaran. Hewan uji sebanyak 7 ekor. Hewan
ditangani oleh beberapa orang untuk dilakukan pengambilan darah lewat
pembuluh darah di bagian dorsal ekor.

6
Tahap Perlakuan
Sampel darah lumba-lumba diteteskan sebanyak satu tetes pada satu sisi
kaca preparat. Satu kaca preparat lain yang masih baik (tepiannya masih rata)
diambil dan ditempatkan di salah satu sisi ujungnya pada kaca preparat pertama
dengan membentuk sudut kira-kira 30. Kaca preparat kedua ditarik sampai
menyentuh tetes darah dan dibiarkan menyebar sepanjang tepi kaca preparat
kedua. Kaca preparat kedua didorong ke sepanjang permukaan kaca preparat
pertama dengan kecepatan yang cukup sehingga terbentuk lapisan darah tipis dan
merata. Preparat dikeringkan dengan mengayun-ayunkannya beberapa kali di
udara.
Pewarnaan preparat ulas darah dilakukan dengan pewarnaan Giemsa.
Preparat ulas dimasukkan ke dalam metil alkohol dan dibiarkan selama 3-5 menit.
Kemudian preparat diangkat dan dikeringkan di udara.Setelah kering, dimasukkan
ke dalam larutan pewarna Giemsa 10 % selama 45-60 menit. Kemudian preparat
ulas yang telah diwarnai dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di udara.
Pengamatan ulas darah bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung jumlah
setiap jenis leukosit, dalam hal ini jumlah neutrofil dan limfosit. Jumlah neutrofil
dan limfosit dibandingkan untuk kemudian diolah sebagai parameter data acuan
indeks stres.
Pemberian pakan dilakukan pagi, siang, dan sore hari sebanyak 3 kg per
ekor. Pemberian pakan berupa ikan kuniran dan terkadang ikan kembung
dilakukan dengan cara disuapkan ke moncong lumba-lumba satu per satu.
Prosedur Analisis Data
Data yang didapat dianalisa secara deskriptif dengan pengamatan
hematologi. Pengamatan hematologi dilakukan melalui pengamatan preparat ulas
darah dengan pewarnaan Giemsa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Stres merupakan respon tubuh terhadap suatu ancaman tertentu yang
berupa penyesuaian terhadap kondisi tersebut (Von Borrel 2001). Stres yang
diakibatkan oleh trauma, infeksi, peradangan atau kerusakan jaringan akan
memicu impuls saraf ke hipotalamus (Johnson et al. 1992). Stres pada hewan
dapat diukur melalui rasio neutrofil/limfosit (N/L). Stres menyebabkan
limfositopenia dan neutrofilia yaitu penurunan jumlah sel limfosit dan
peningkatan jumlah sel neutrofil .Mekanisme yang mendasari efek hormon stres
pada profil leukosit telah terdokumentasi dengan baik dalam studi biomedis
mamalia (Ottaway & Husband 1994; Brenner et al. 1998). Pemicu stres tidak
mengurangi jumlah sel limfosit yang beredar dengan cara merusak sel dalam skala
besar tetapi dengan mempengaruhi mekanisme kerja glukokortikoid terhadap
limfosit (Dhabhar 2002). Sebagai respon terhadap glukokortikoid, limfosit yang
beredar melekat pada sel-sel endotel yang melapisi dinding pembuluh darah
kemudian berpindah dari sirkulasi menuju ke jaringan, misalnya pembuluh limfa,
limpa, sumsum tulang dan kulit, kemudian limfosit disimpan dan tidak

7
dikeluarkan kembali (Dhabhar 2002). Glukokortikoid juga menghambat sintesis
DNA yang mempengaruhi produksi limfosit (Chastain dan Ganjam 1986).
Penarikan limfosit dari sirkulasi serta sintesis DNA yang dihambat sebagai respon
glukokortikoid menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap jumlah limfosit
yang beredar. Hal yang sebaliknya terjadi pada neutrofil. Kortisol meningkatkan
jumlah sel neutrofil yang beredar di sirkulasi dengan cara meningkatkan produksi
neutrofil dan meningkatkan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang dan sumber
lainnya (Chastain dan Ganjam 1986).
Penelitian ini melakukan pengamatan terhadap kondisi stres yang mungkin
terjadi pada lumba-lumba hidung botol (T. aduncus) yang hidup di Kawasan
Konservasi Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia. Peluang lumba-lumba ini
mengalami stres sangat besar karena lumba-lumba ini dimanfaatkan sebagai satwa
atraksi. Satwa atraksi harus dilatih untuk dapat menghibur pengunjung sehingga
satwa ini akan mengalami keletihan.
Hasil pengolahan data ratio N/L dari sampel darah 7 ekor lumba-lumba
berkisar antara 0.21-0.82. Rataan indeks stres dari 7 ekor lumba-lumba yang diuji
telah diolah secara deskriptif dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah neutrofil, limfosit, rasio N/L serta rataannya
No. Sampel
Neutrofil
Limfosit
1
38
52
2
28
70
3
33
65
4
41
50
5
31
65
6
16
78
7
36
62
Rata-rata ± SD
31.86 ± 8.24
63.14 ± 9.78
Range*
12-62
3-58

N/L
0.73
0.40
0.51
0.82
0.48
0.21
0.58
0.53 ± 0.20

Ket : Rasio N/L (Indeks stres untuk mamalia = 1.5 (Kannan et al. 2000))
Range* = rentang jumlah sel neutrofil dan limfosit lumba-lumba (Tursiops truncatus) yang
dilaporkan oleh Patricia et al. tahun 2006
SD = Standar Deviasi

Rataan indeks stres dari 7 ekor lumba-lumba (T. aduncus) yang hidup di
penangkaran yaitu di Kawasan Konservasi Mamalia Air milik PT Wersut Seguni
Indonesia adalah 0.53. Kannan et al. (2000) menyatakan bahwa rasio N/L pada
mamalia yang mengalami stres adalah lebih dari 1.5. Hasil pengolahan data
sampel darah dari 7 ekor lumba-lumba yang diuji tidak ditemukan profil darah
lumba-lumba yang memiliki ratio N/L lebih dari 1.5. Pada 7 ekor lumba-lumba
yang diteliti sampel darahnya tidak ditemukan indikasi terjadinya stres
berdasarkan rasio N/L. Hal ini dapat terjadi karena 7 ekor lumba-lumba yang
berada di Kawasan Konservasi Mamalia Air PT Wersut Seguni Indonesia
memiliki kestabilan psikologis dan fisiologis. Namun demikian, berdasarkan data
individual juga terlihat adanya nilai rasio N/L yang paling rendah yaitu 0.21 dan
yang paling tinggi 0.82. Nilai rasio N/L rendah disebabkan oleh jumlah neutrofil
yang rendah dan jumlah limfosit yang tinggi. Jumlah neutrofil yang rendah dapat
disebabkan oleh adanya infeksi bakteri atau jamur sedangkan jumlah limfosit

8
yang tinggi dapat disebabkan oleh keberadaan antigen di dalam tubuh sehingga
tubuh memproduksi antibodi (Frandson 1992).
Stres dapat ditimbulkan oleh manajemen pemeliharaan yang tidak baik.
Lumba-lumba yang hidup di penangkaran dan sebagai satwa atraksi dapat
mengalami stres antara lain yang terjadi karena stresor somatik berupa suara keras
yang ditimbulkan saat atraksi (gemuruh penonton, suara megafon) dan perlakuan
transportasi, stresor psikologik yaitu restraint dan perkelahian, stresor tingkah
laku berupa terlalu padatnya populasi dalam kolam, dan stresor lainnya berupa
malnutrisi serta keberadaan agen infeksius pada tubuh hewan. Managemen
pemeliharaan yang diamati pada penelitian ini adalah keadaan lingkungan habitat
lumba-lumba, pakan, dan manajemen kesehatan.
Lingkungan habitat lumba-lumba di Kawasan Konservasi Mamalia Air PT
Wersut Seguni Indonesia adalah 6 buah kolam yang cukup luas dengan kedalaman
yang variatif (Gambar 2). Terdapat 5 buah kolam di gedung karantina dan 1 buah
kolam di tempat atraksi. Kedalaman kolam-kolam pada gedung karantina yaitu
3.5-6 m, sedangkan kedalaman kolam pada tempat atraksi yaitu 2.5 m. Tiap kolam
diisi 2 sampai 5 ekor lumba-lumba. Kolam tempat tinggal lumba-lumba harus
memiliki kedalaman tidak kurang dari rata-rata panjang tubuh lumba-lumba yang
berada di kolam tersebut dan salah satu bagian kolam harus memiliki kedalaman
tidak kurang dari 2 kali panjang tubuh lumba-lumba (Swedish Agriculture’s
Regulations 2009) dan panjang tubuh lumba-lumba hidung botol Tursiops
aduncus yaitu 2.4-2.7 m (Amir et al. 2007; Jefferson et al. 2008) sehingga
kedalaman kolam lumba-lumba di Kawasan Konservasi Mamalia Air PT Wersut
Seguni sudah memenuhi standar supaya lumba-lumba tidak stres.

Gambar 2 Kolam lumba-lumba di PT Wersut Seguni Indonesia.
Manajemen pakan lumba-lumba di Kawasan Konservasi Mamalia Air PT
Wersut Seguni Indonesia adalah dengan memberikan pakan berupa ikan setiap
hari sebanyak 9 kg dan diberikan 3 kali sehari yaitu pagi hari, siang hari dan sore
hari. Pakan yang diberikan berupa ikan kuniran dan terkadang ikan kembung
(Gambar 3). Pakan alami lumba-lumba (T. aduncus) yaitu berupa ikan dan
sefalopoda yang berukuran tidak lebih dari 30 cm (Wang dan Yang 2009).

9
Lumba-lumba membatasi pilihan makanannya berupa ikan-ikan berukuran kecil
karena lumba-lumba tidak mengunyah makanannya melainkan langsung ditelan
seluruhnya. Ikan kuniran dan ikan kembung memiliki panjang tidak lebih dari 30
cm dan diperoleh dari hasil tangkapan laut nelayan sekitar, selain itu ikan kuniran
yang berukuran besar akan dipotong-potong terlebih dahulu sebelum diberikan
kepada lumba-lumba. Hal ini sesuai dengan pakan alami yang biasa dimakan
lumba-lumba di laut lepas sehingga lumba-lumba yang diuji tidak mengalami
malnutrisi yang disebabkan oleh pakan yang tidak sesuai.

Gambar 3 Pakan lumba-lumba yaitu ikan kuniran.
Manajemen kesehatan lumba-lumba di Kawasan Konservasi PT Wersut
Seguni Indonesia adalah lumba-lumba tidak diberikan vaksinasi. Kawasan
Konservasi PT Wersut Seguni Indonesia melakukan tindakan karantina untuk
lumba-lumba yang baru saja datang dari sirkus keliling. Pemeriksaan kesehatan
lumba-lumba di Kawasan Konservasi PT Wersut Seguni Indonesia dilakukan
apabila ada indikasi penurunan kesehatan berdasarkan laporan kurator yang
bertugas. Contoh indikasi penurunan kesehatan lumba-lumba antara lain lumbalumba tidak ingin makan, terdapat luka-luka pada tubuh lumba-lumba, dan
gangguan saluran pencernaan. Kawasan Konservasi PT Wersut Seguni Indonesia
juga melakukan pemeriksaan darah lumba-lumba setiap 3 bulan sekali secara rutin
(Gambar 4).

10

Gambar 4 Pengambilan darah lumba-lumba di vena dorsal ekor.
Penyakit yang sering menyerang lumba-lumba dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, dan jamur. Penyakit lumba-lumba yang dapat menyerang manusia antara
lain adalah lobomycosis dan brucellosis. Lobomycosis merupakan penyakit
mikotik kronis yang menyerang jaringan subkutan dan kulit lumba-lumba dan
disebabkan oleh Lacazia loboi, yang juga diketahui memiliki induk semang
manusia (Bossart 2007). Bossart (2007) menyatakan penyebab lobomycosis
belum jelas namun terdapat indikasi bahwa lobomycosis disebabkan oleh keadaan
immunosupresi. Bossart (2007) lebih lanjut menyatakan bahwa beberapa bukti
telah menjukan bahwa lobomycosis dapat menular dari lumba-lumba yang
terinfeksi ke manusia. NOAA (2013) menyatakan bahwa brucellosis dapat
ditemukan pada lumba-lumba dan paus, yaitu Brucella pinnipedialis dan Brucella
ceti. NOAA (2013) lebih lanjut menyatakan bahwa lumba-lumba yang terinfeksi
brucellosis tidak menampilkan gejala klinis. Belum ada laporan penularan
brucellosis dapat terjadi pada manusia yang berenang bersama lumba-lumba
namun kemungkinan untuk terjadi penularan ada walaupun kecil, sehingga
manusia disarankan untuk tidak berenang di lingkungan hidup lumba-lumba
apabila memiliki luka terbuka (NOAA 2013).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Indeks stres pada 7 ekor lumba-lumba yang diuji berkisar antara 0.21-0.82.
Indeks ini merepresentasikan lumba-lumba sebagai mamalia air tidak mengalami
kondisi stres,

11
Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang gambaran darah lebih lengkap dari
spesies yang sama pada populasi di tempat lain sehingga melengkapi data
fisiologis tentang darah lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops
aduncus).

DAFTAR PUSTAKA
Archer RK, Jeff Cott LB, Lehmann H. 1997. Comparative Clinical Hematology.
London (GB): Williams and Wilkins Company Baltimore.
Ambore B, Ravikanth K, Maini S, Rekhe DS. 2009. Haematological profile and
growth performance of goats under transportation stress. Veterinary World
2(5): 195-198.
Amir O, Berggren P, Jiddawi NS. 2007. Reproductive biology of the male IndoPacific Bottlenose Dolphin. London (GB): Book of Abstracts.
Bossart GD. 2007. Emerging diseases in marine mammals: from dolphins to
manatee. Microbe (2):11
Brenner I, Shek PN, Zamecnik J, Shephard RJ. 1998. Stress hormones and the
immunological responses to heat and exercise. International Journal of Sports
Medicine 19:130–143.
Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical Endocrinology of Companion Animals.
Philadelphia (US): Lea & Febiger.
Coffey DJ. 1977. The Encyclopedia of Sea Mammals. London (GB): Book of
Abstracts.
Cribb N, Miller C, Seuront L. 2013. Indo-Pacific bottlenose dolphin (Tursiops
aduncus) habitat preferences in a heterogeneous, urban, coastal environment.
Aquatic biosystems 9:3.
Dhabhar FS. 2002. A hassle a day may keep the doctor away: stress and the
augmentation of immune function. Integrative and Comparative Biology 42:
556–564.
Fowler ME. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine. Edisi ke-4. Philadelphia (US):
WB Saunders Company.
Frandson RD. 1992. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Philadelphia
(US): Lea & Febiger.
Gauckler A. 1982. Dolphins. Di dalam: Klos HG, Lang EM, editor. Handbook of
Zoo Medicine. Diseases and Treatment of Wild Animals in Zoos, Game Parks
Circuses and Private Collections. New York (US): Van Nostrand Reinhold
Company.
Kannan G, Terril TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S, Amoah EA, Samaké S.
2000. Transportation of goats: effects on physiological stress responses and
live weight loss. Journal of Animal Science 78:1450-1457.
Jefferson TA, Webber MA, Pitman RL. 2008. Marine Mammals Of The World.
Amsterdam (NL): Elsevier.

12
Johnson EO, Kamilaris TC, Chrousos GP, Gold PW. 1992. Mechanisms of stress:
a dynamic overview of hormonal and behavioral homeostasis. Neurosci.
Biobehav. Rev.16:115–130.
Maheshwari H. 2008. Rasio Netrofil/Limfosit (N/L) sebagai indikator stres pada
Owa Jawa (Hylobates moloch audebert 1797) di tempat penangkaran. The
Indonesian Journal of Physiology 7(2): 74-154.
Mann J, Connor RC, Barre LM, Heithaus MR. 2000. Female reproductive success
in bottlenose dolphins (Tursiops sp.): life history, habitat, provisioning, and
group-size effects. Behavioral Ecology 11(2): 210-219.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2013. Brucella
Infection in Whales and Dolphins [internet]. [diunduh 2014 Jul 6]. Tersedia
pada: http://www.nmfs.noaa.gov/pr/pdfs/health/brucella.pdf.
[NSC] National Safety Council. 2004. Stress Management. Boston (US): Jones
and Bartlett Publisher.
Ottaway CA, Husband AJ. 1994. The influence of neuroendocrine pathways on
lymphocyte migration. Immunology Today 15: 511–517.
Patricia AF, Thomas CH, Rene AV, Juli DG, Jeffrey A, Eric SZ, Gregory DB.
2006. Hematology, Serum Chemistry and Cytology Findings from Apparently
Healthy Atlantic Bottlenose Dolphins (Tursiops trucantus) Inhabiting the
Estuarine Waters of Charleston, South Carolina. Aquatic Mammals 32(2): 182195.
Perrin W, Würsig B, Thewissen J. 2008. Encyclopedia of Marine Mammals. San
Diego (CA): Academic Press.
Priyono A. 2001. Lumba-lumba di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Robert AR, Roberts SO. 1996. Exercise Physiology: exercise, performance, and
clinical application. Missouri (US): Mosby.
Rommel S. 1990. Osteology of The Bottlenose Dolphin. Di dalam: Leatherwood
S, Reeves RR, editor. The Bottlenose Dolphin. Santiago (US): Academic Press.
Satyaningtijas AS, Andriyanto, Ramadhoni A, Suci Y, Dewi F, Sutisna A. 2010.
Efektifitas multivitamin dan meniran (Phyllantusneruri L.) dalam menurunkan
stres pada domba selama transportasi. Berita Biologi 10(3): 393-399.
Swedish Agriculture's Regulations. 2009. SVJS 2009.92: Animal husbandry in
zoos and more.
Von Borell EH. 2001. The biology of stress and its application to livestock
housing and transportation assessment. Journal of Animal Science 79: 260-267.
Wang JY, Yang AC. 2009. Indo-Pacific Bottlenose Dolphin (Tursiops aduncus).
Di dalam: Perrin WF, Würsig B, Thewissen JGM, editor. Encyclopedia of
Marine Mammals. Edisi ke 2. Amsterdam (NL): Academic Press.
Wells RS, Scott MD. 2002. Bottlenose dolphins. Di dalam: Perrin WF, Würsig B,
Thewissen JGM, editor. Encyclopedia Of Marine Mammals. San Diego (US):
Academic Press.
Würtz M. 2010. Tursiops aduncus illustrations [internet]. [diunduh 2014 Feb 23].
Tersedia pada: http://www.artescienza.org.

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 10 Januari 1992 sebagai
putri kedua dari pasangan Bapak Bachtiar dan Ibu Gina Caroline. Penulis
bersekolah di SMA Negeri 13 Jakarta pada tahun 2010 sebelum melanjutkan
studinya di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjalani studinya penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu
IPB Political School, Forum Duta Anti Korupsi IPB, Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB), serta Himpunan Minat dan Profesi
Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA).